II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangunan Pertanian

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pembangunan Pertanian
Pembangunan pertanian merupakan salah satu faktor penting dalam
perekonomian suatu negara karena sektor pertanian memberikan sumbangan yang
cukup signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pembangunan
pertanian menjadi penting karena kontribusinya terhadap pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi nasional dalam bentuk kontribusi produk, kontribusi
pasar, kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa (Blank, 2003).
Dalam perkembangannya, Todaro dan Smith (2006) menilai peranan sektor
pertanian dalam pembangunan ekonomi semakin pasif dan lebih bersifat
penunjang semata. Pembangunan ekonomi diidentikkan sebagai transformasi
struktural dari pembangunan yang bertumpu pada aktivitas pertanian menjadi
perekonomian berbasis industri dan jasa dengan dukungan sumber tenaga kerja
dan bahan pangan murah dari pertanian. Memburuknya kinerja sektor pertanian di
negara-negara berkembang dipercaya karena terabaikannya sektor tersebut dalam
perumusan prioritas pembangunan dari para pemimpinnya (Rickman, 2007).
Sektor pertanian dalam struktur perekonomian Indonesia memiliki posisi
yang cukup penting dalam hal kontribusinya terhadap PDB maupun dalam
penyerapan tenaga kerja. Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa pembangunan
pertanian layak mendapatkan perhatian yang luas dalam pembangunan ekonomi
ke depan, baik dalam bentuk investasi yang terus meningkat, pengembangan
infrastruktur sampai pengelolaan pasar domestik. Pembangunan pertanian
Indonesia berarti pembaruan penataan pertanian yang dapat memberikan
21
sumbangan yang nyata pada upaya mengatasi kemiskinan dan mengurangi
pengangguran.
Pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada prioritas pertanian dan
ketenagakerjaan menurut Todaro dan Smith (2006) paling tidak memerlukan tiga
unsur pelengkap dasar berikut :
1.
Percepatan pertumbuhan output melalui serangkaian penyesuaian teknologi,
institusional dan insentif harga yang khusus dirancang untuk meningkatkan
produktivitas para petani kecil
2.
Peningkatan permintaan domestik terhadap output pertanian yang dihasilkan
dari strategi pembangunan perkotaan yang berorientasikan pada upaya
pembinaan ketenagakerjaan
3.
Diversifikasi kegiatan pembangunan daerah perdesaan yang bersifat padat
karya non pertanian, yang secara langsung dan tidak langsung akan
menunjang dan ditunjang oleh pertanian.
Kebijakan pembangunan pertanian yang bertujuan untuk memperbaiki taraf
hidup masyarakat terutama di perdesaan harus dimulai dari perbaikan sumbersumber pokok kemajuan pertanian (Todaro dan Smith, 2006). Sumber pokok
kemajuan pertanian adalah kemajuan teknologi dan inovasi, kebijakan ekonomi
pemerintah yang tepat dan terbentuknya kelembagaan sosial yang menunjang.
Dengan terciptanya sumber-sumber pokok kemajuan pertanian yang baik dan
sesuai, pembangunan pertanian dapat membantu memperbaiki taraf hidup
masyarakat terutama meningkatnya pendapatan, total produksi dan produktivitas.
Sektor pertanian dalam perekonomian Indonesia merupakan salah satu
sektor ekonomi yang berbasis sumber daya domestik dan dikuasai oleh sebagian
22
besar rakyat. Pembangunan sektor pertanian dan aktivitas-aktivitas ekonomi yang
banyak menggunakan produk pertanian dapat menjadi cara yang efektif dan
efisien dalam membangun sumber daya alam sambil menyerap tenaga kerja di
kawasan perdesaan (Yudhoyono, 2004).
Islam dan Braun (2008) menyatakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian
dapat memberikan stimulus pada sektor ekonomi non pertanian yang terdapat di
perdesaan dan kota-kota kecil. Setiap kenaikan sebesar US$ 1 nilai tambah yang
tercipta pada sektor pertanian akan dapat menghasilkan kenaikan nilai tambah
pada sektor non pertanian antara US$ 0.50 – US$ 1. Inilah yang menyebabkan
pembangunan sektor pertanian sangat penting dilakukan dan diperhatikan dengan
baik oleh setiap negara.
2.2
Pengangguran dan Kemiskinan
Dua masalah utama yang sedang dihadapi oleh banyak negara berkembang
di seluruh dunia termasuk Indonesia adalah masalah pengangguran dan
kemiskinan. Pengangguran dan kemiskinan merupakan dua hal yang saling
berkaitan satu sama lain. Orang yang menganggur atau tidak punya pekerjaan
biasanya juga miskin. Orang-orang yang miskin umumnya disebabkan karena
tidak punya pendapatan akibat menganggur atau tidak punya pekerjaan (Aktar et
al, 2009).
Pengangguran sendiri terjadi ketika pertambahan tenaga kerja baru lebih
besar dibandingkan dengan pertumbuhan lapangan kerja yang dapat disediakan
setiap tahunnya baik dari sektor swasta maupun pemerintah. Pengangguran adalah
suatu situasi dimana orang-orang yang memiliki kemampuan bekerja dan juga
keinginan untuk bekerja tidak memperoleh pekerjaan. Situasi tersebut disebabkan
23
oleh banyak faktor antara lain pertumbuhan populasi yang tinggi, pertumbuhan
ekonomi yang tidak memadai, pekerjaan yang bersifat musiman dan lambatnya
pembangunan industri. Mankiw (2007) menyatakan beberapa alasan munculnya
pengangguran. Pertama, diperlukan waktu untuk mencocokkan antara para
pekerja dengan pekerjaan karena pekerja dan seluruh pekerjaan tidak identik
sehingga orang yang kehilangan pekerjaan tidak segera mendapatkan pekerjaan
barunya. Kedua, adanya kekakuan upah yang menyebabkan upah tidak segera
menyesuaikan ketika terjadi perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja,
sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya.
McEachern (2000) membedakan empat jenis pengangguran berdasarkan
atas sumbernya. Ke empat jenis pengangguran tersebut adalah : (1). Pengangguran
friksional, yaitu pengangguran yang muncul karena adanya waktu yang
diperlukan untuk menyesuaikan antara kualifikasi pekerja dengan pekerjaan yang
tersedia. (2). Pengangguran struktural, yaitu pengangguran yang muncul karena
keterampilan yang diminta pemberi pekerjaan tidak sesuai dengan keterampilan
penganggur atau penganggur tidak berlokasi sama dengan tempat pekerjaan. (3).
Pengangguran musiman, yaitu pengangguran yang timbul karena adanya
perubahan permintaan dan penawaran tenaga kerja musiman. (4). Pengangguran
siklikal, yaitu pengangguran yang terjadi karena fluktuasi pengangguran yang
disebabkan oleh siklus bisnis.
Pengangguran di Indonesia merupakan masalah yang cukup serius. Data
BPS (2007) menunjukkan sebelum krisis ekonomi 1997 tingkat pengangguran
umumnya di bawah 5 persen, namun setelah itu terus meningkat sampai dengan
11.2 persen pada 2005. Tingginya tingkat pengangguran di Indonesia merupakan
24
masalah ekonomi yang perlu diperhatikan karena menyangkut pemborosan
sumberdaya. Pemborosan tersebut menimbulkan kerugian yang ditanggung
negara, masyarakat dan individu menyangkut biaya pemeliharaan keamanan dan
stabilitas kehidupan masyarakat.
Saunders (2002) menyatakan bahwa pengangguran merupakan suatu hal
yang tidak baik untuk ekonomi sehingga lapangan kerja harus diletakkan pada
pusat sistem kesejahteraan dan menolak kesejahteraan untuk orang-orang yang
tidak ingin bekerja atau tidak ingin melibatkan diri dalam aktivitas yang
diharapkan mengarah pada terciptanya pekerjaan. Pengangguran akan menjadi
biaya bagi perekonomian karena secara keseluruhan barang dan jasa yang dapat
diproduksi menjadi berkurang. Output yang hilang ditambah dengan kerugian
ekonomis dan psikologis yang dialami individu dan keluarga merupakan biaya
pengangguran (McEachern, 2000).
Yudhoyono (2004) menyatakan bahwa tingkat pengangguran yang tinggi
dapat menimbulkan kelompok masyarakat yang pasrah total pada keadaan.
Pengangguran yang persisten dapat meningkatkan jumlah orang miskin yang
berlanjut pada kemiskinan struktural jika pemerintah dan lembaga terkait tidak
berhasil menciptakan peluang dan kemampuan yang memadai untuk mengangkat
kelompok tersebut mencapai tingkat kehidupan yang layak.
Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang
mencapai standar hidup minimal. Kemiskinan menurut BPS (2007) ditentukan
oleh kemampuan penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar minimum yang
mengacu kepada kebutuhan minimum makanan sebesar 2100 kkal per kapita per
hari ditambah dengan kebutuhan minimum non makanan yang merupakan
25
kebutuhan dasar seseorang yang meliputi papan, sandang, sekolah, transportasi
serta kebutuhan rumahtangga dan individu mendasar lainnya. Nilai pengeluaran
(dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum di atas disebut garis
kemiskinan.
Orang-orang yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan,
disebut penduduk miskin karena ketidakmampuan mereka dalam memenuhi
kebutuhan dasar minimumnya. Untuk standar internasional dari Bank Dunia,
batas penduduk dengan kategori miskin adalah yang berpenghasilan USD 1.00 per
hari untuk negara berpendapatan rendah, USD 2.00 per hari untuk negara
berpendapatan sedang dan USD 14.00 per hari untuk negara berpendapatan tinggi.
Kemiskinan juga disebabkan oleh orang-orang yang dikelompokkan miskin
tersebut dalam proses produksi terutama yang ada di perdesaan hanya menerima
nilai lebih ekonomi awal yang kecil sekali (Fisher, 2005). Mereka tidak terlibat
dalam proses produksi lebih lanjut karena ketiadaan modal. Para pemilik modal
yang melakukan proses produksi lebih lanjutlah yang akhirnya menikmati nilai
lebih ekonomi dari proses produksi di atas (Yudhoyono, 2004).
Kemiskinan kadang dibedakan ke dalam dua jenis yaitu kemiskinan absolut
(absolute poverty) dan kemiskinan relatif (relative poverty). Kemiskinan absolut
adalah suatu keadaan dimana kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak
dapat dipenuhi dengan pendapatan yang dimiliki seseorang atau suatu keluarga
(Ingwe, 2009). Kemiskinan relatif diperoleh dengan membandingkan tingkat
pendapatan atau keadaan seseorang atau suatu keluarga dengan keadaan
masyarakat sekitarnya, dimana seseorang masih dianggap miskin jika pendapatan
atau keadaannya masih jauh lebih rendah dari keadaan masyarakat sekitarnya.
26
Kemiskinan juga sering dihubungkan dengan kondisi wilayah. Untuk wilayah
dengan sumberdaya alam yang subur, secara umum masyarakatnya dapat hidup
cukup sejahtera, sebaliknya untuk wilayah yang kurang subur umumnya hidup
dalam belitan kemiskinan (Gambi, 2003).
Jumlah penduduk miskin di Indonesia masih cukup besar. Besarnya jumlah
penduduk miskin, yang jika tidak tertangani dengan baik oleh pemerintah menurut
Yudhoyono (2004) dapat mengakibatkan : (1) besarnya beban sosial masyarakat,
(2) rendahnya kualitas dan produktivitas sumber daya manusia, (3) rendahnya
partisipasi aktif masyarakat, (4) menurunnya ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat, (5) menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan (6) kemungkinan merosotnya
mutu generasi yang akan datang.
2.3
Pertumbuhan Ekonomi
Salah satu indikator kemajuan pembangunan pada suatu negara adalah
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran kemampuan
suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat dari
tingkat pertumbuhan penduduknya (Dalgaard et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi
menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan tambahan
pendapatan atau kesejahteraan pada periode tertentu (Mankiw, 2007).
Pertumbuhan ekonomi diukur menggunakan data Produk Domestik Bruto
(PDB) yang mengukur pendapatan total setiap orang dalam perekonomian (Dollar
et al, 2004). Pertumbuhan ekonomi tercapai ketika tingkat produk domestik bruto
(PDB) riil mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Dornbusch et al.
(2004) menyatakan tumbuhnya PDB riil dipengaruhi oleh tersedianya sumber
27
daya modal dan tenaga kerja dan efisiensi dalam penggunaan faktor produksi atau
produktivitas.
PDB sendiri menurut Mankiw (2007) terdiri dari empat komponen sebagai
berikut : (1). Konsumsi, terdiri dari barang dan jasa yang dibeli rumah tangga
dimana tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan disposable
atau pendapatan yang dapat dibelanjakan. (2). Investasi, terdiri dari barang-barang
yang dibeli untuk penggunaan masa depan, dimana tingkat investasi dipengaruhi
oleh tingkat bunga yang mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk
membiayai investasi. (3). Pembelian Pemerintah, berupa barang dan jasa yang
dibeli oleh pemerintah pusat dan daerah yang dibiayai oleh pendapatan
pemerintah dari pajak dan pinjaman. (4). Ekspor Neto, merupakan nilai barang
dan jasa yang diekspor ke negara lain dikurangi nilai barang dan jasa yang
diimpor dari negara lain yang menunjukkan pengeluaran neto dari luar negeri atas
barang dan jasa domestik, yang memberikan pendapatan bagi produsen domestik.
2.4
Peranan Energi Dalam Pembangunan
Energi memiliki peranan yang besar dalam pembangunan suatu
perekonomian negara. Akses terhadap pelayanan energi modern sangat penting
dalam
rangka
mencapai
tujuan-tujuan
pembangunan
seperti
penurunan
kemiskinan, perbaikan pendidikan dan keberlanjutan lingkungan (USAID, 2007).
Ketersediaan energi di tingkat lokal sangat penting untuk mendukung pertanian
yang intensif karena pembangunan pertanian itu sendiri sangat penting dalam
menurunkan kemiskinan (Raswant et al., 2008). Sektor pertanian sebagai salah
satu sektor dalam perekonomian memerlukan energi pada setiap tingkat produksi
28
mulai dari energi untuk menjalankan mesin pertanian sampai energi untuk
menjalankan sistem irigasi dan pemompaan.
Energi merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan negara
karena memiliki dampak langsung terhadap kualitas kehidupan manusia dan
pengembangan industri (Domac et al, 2005). Pertumbuhan ekonomi atau
pembangunan ekonomi suatu negara secara langsung sangat terkait dengan
konsumsi energi (World Bank, 2000). Sumber-sumber energi modern juga
diperlukan sehingga semakin banyak waktu yang tersedia untuk pelaksanaan
kegiatan pendidikan, yang dapat meningkatkan jumlah angkatan kerja untuk
kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan (Schubert et al., 2007). Sektor
pertanian di negara-negara dengan tingkat konsumsi energi yang lebih tinggi
mampu memproduksi hasil-hasil pertanian lebih tinggi dibandingkan negara lain
yang tingkat konsumsi energinya lebih rendah (FAO, 2008).
Bahan bakar minyak masih merupakan sumber energi primer paling penting
dalam skala global, walaupun pangsanya dalam konsumsi total telah menurun
(CPB, 2003). Transportasi dan proses kimia adalah aktivitas-aktivitas yang sangat
bergantung pada ketersediaan dan harga dari minyak bumi. Itulah sebabnya
kekurangan pasokan menyebabkan harganya terus meningkat selama lima dekade
terakhir.
Untuk negara-negara pengimpor minyak bumi, kenaikan harga minyak
bumi akan meningkatkan biaya produksi, menekan pertumbuhan ekonomi
(khususnya jika impor barang modal dipengaruhi) dan menyebabkan perusahaan
menurunkan
permintaan
mereka
terhadap
tenaga
kerja
(memperburuk
kemiskinan), investasi dan output. Efek langsung dari harga minyak bumi yang
29
tinggi adalah dapat memperburuk neraca pembayaran dan meningkatkan pinjaman
eksternal untuk pembiayaan kekurangan anggaran, yang mengarah pada
meningkatnya rasio pembayaran hutang dan hambatan dalam pembiayaan
program-program sosial sehingga dapat mengganggu aktivitas ekonomi (Nkomo,
2007).
2.5
Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Pengembangan bahan bakar nabati secara global diilhami oleh kisah sukses
Brazil dalam mengembangkan etanol dari gula tebu sebagai dampak dari krisis
minyak bumi sejak tahun 1973 yang telah memukul perekonomian Brazil yang
pada saat itu sangat tergantung pada impor minyak bumi dan sebelumnya telah
terbebani oleh hutang sehingga menderita inflasi yang tinggi dan pelemahan nilai
tukar mata uang (FAO, 2008). Pemerintah Brazil kemudian meluncurkan program
substitusi bahan bakar fosil dengan etanol secara resmi pada tahun 1975 dan
mengintegrasikan program ini dengan pengembangan industri manufaktur mobil
berteknologi hibrida bahan bakar minyak dan etanol sehingga industri bio etanol
di Brazil dapat berkembang dengan baik (Amatucci dan Spers, 2008).
Faktor-faktor yang mendorong kebijakan pengembangan bahan bakar nabati
semakin meningkat secara global menurut ECLAC (2008) dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1.
Faktor Energi
Adanya ketergantungan terhadap impor minyak bumi dari banyak negara
non produsen membuat fluktuasi harga minyak bumi dapat mengganggu
perekonomian. Program bahan bakar nabati bertujuan untuk menjamin
pasokan energi, mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi
30
dan menurunkan dampak yang terjadi akibat fluktuasi harga minyak bumi
terhadap harga internasional (Vedenov et al, 2006).
2.
Faktor Lingkungan
Argumentasi lingkungan berpusat pada kebutuhan masyarakat global untuk
menurunkan emisi gas rumah kaca yang merupakan penyebab terjadinya
pemanasan global. Penggantian bahan bakar fosil dengan bahan bakar
nabati terutama pada sektor transportasi sejalan dengan kesepakatan dalam
Protokol Kyoto (Kennedy et al, 2002).
3.
Faktor Terkait Pembangunan Pertanian
Pengembangan bahan bakar nabati membuka peluang baru untuk
pembangunan pertanian dimana produsen dan eksportir produk pertanian di
negara-negara berkembang berpotensi menghasilkan bahan bakar nabati
pada harga yang bersaing dengan bahan bakar minyak (Johnson et al,
2006). Ini membuat produsen dan eksportir tersebut memiliki peluang untuk
mengambil keuntungan dari perbaikan harga bahan baku, mempromosikan
bahan bakar nabati dan menurunkan impor atau meningkatkan ekspor
(Orden, 2002).
Pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia menurut Kementerian
Energi dan Sumberdaya Mineral (2009) dilatar belakangi oleh beberapa hal
berikut :
1.
Besarnya subsidi bahan bakar minyak dalam anggaran negara sehingga jika
terjadi kenaikan harga minyak mentah maka beban subsidi yang disiapkan
akan semakin besar.
31
2.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh bahan bakar fosil semakin
mengkhawatirkan seiring terjadinya perubahan iklim dan pemasanan global
akibat efek rumah kaca.
3.
Cadangan minyak mentah Indonesia semakin terbatas dan kinerja industri
perminyakan Indonesia semakin menurun sementara penemuan cadangan
baru belum sesuai harapan.
4.
Tingkat kemiskinan dan pengangguran yang cukup tinggi baik di perkotaan
maupun di perdesaan serta masih banyaknya lahan-lahan kritis yang
sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan produktif.
Indonesia seharusnya mampu menjadi produsen utama bahan bakar nabati
karena memiliki potensi besar dalam hal sumber bahan baku, curah hujan
memadai, hamparan lahan luas, dan jumlah tenaga kerja yang lebih dari cukup.
Indonesia memiliki lebih dari 50 jenis tanaman penghasil minyak lemak yang
dapat diubah menjadi bahan bakar biodiesel untuk substitusi solar dan lebih dari
12 jenis tanaman yang dapat dikonversi menjadi bioetanol sebagai substitusi
premium (Prihandana dan Hendroko, 2007). Secara global lahan yang tersedia
untuk pengembangan bahan bakar nabati sekitar 3.8 milyar ha. Untuk memenuhi
sampai dengan 10 persen substitusi bahan bakar petroleum dengan bahan bakar
nabati generasi pertama secara global hanya memerlukan lahan pertanian sekitar
118 – 508 juta ha (FAO, 2008).
2.6
Biodiesel dari Kelapa Sawit
Biodiesel
(metil
ester)
dapat
dihasilkan
melalui
proses
esterifikasi/transesterifikasi trigliserida. Transesterifikasi adalah penggantian
gugus alkohol dari suatu ester dengan alkohol lain dalam suatu proses yang
32
menyerupai hidrolisis menggunakan alkohol. Metanol lebih umum digunakan
karena harganya lebih murah, walaupun tidak menutup kemungkinan untuk
menggunakan jenis alkohol lainnya seperti etanol.
O
R1
C
OCH2
HOCH2
O
O
R2
C
OCH
+ 3 CH3OH
O
R3
C
HOCH
+ 3R
C
OCH3
HOCH2
OCH2
trigliserida
katalis
metanol
gliserin
metil ester
Gambar 2 Sumber
Reaksi Transesterifikasi Untuk Biodiesel : SBRC, 2009
Transesterifikasi merupakan suatu reaksi kesetimbangan. Untuk mendorong
reaksi agar bergerak ke kanan agar dihasilkan biodiesel (metil ester) maka perlu
digunakan alkohol dalam jumlah berlebih atau salah satu produk yang dihasilkan
harus dipisahkan. Pada Gambar 2 disajikan reaksi transesterifikasi trigliserida
dengan metanol untuk menghasilkan biodiesel (metil ester). Proses pembuatan
biodiesel dari minyak kelapa sawit termasuk proses yang sederhana dengan
komposisi minyak kelapa sawit 87 persen, katalis satu persen dan alkohol 12
persen. Komposisi di atas akan menghasilkan biodiesel dari minyak kelapa sawit
86 persen, alkohol empat persen, gliserin sembilan persen dan endapan bahan
anorganik satu persen (SBRC, 2009).
Proses produksi biodiesel menggunakan minyak kelapa sawit (crude palm
oil) sebagai bahan baku memerlukan pretreatment untuk memisahkan trigliserida
dengan gum/wax dengan membubuhkan asam sitrat atau asam fosfat. Hal ini
dilakukan
untuk
menjaga
reaksi
transesterifikasi
yang
sempurna
serta
33
memudahkan proses pemisahan biodiesel dari gliserol. Proses selanjutnya dapat
diterapkan salah satu dari proses esterifikasi atau pemisahan asam lemak.
Sedangkan inti dari proses produksi biodiesel adalah proses transesterifikasi
trigliserida dengan metanol menggunakan katalis basa. Biodiesel yang diproduksi
merupakan senyawa ester.
Seiring dengan makin berkembangnya biodiesel maka semakin banyak
negara-negara
yang
tertarik
dan
telah
memulai
upaya-upaya
untuk
mengembangkan biodiesel. Johnston dan Holloway (2006) telah melakukan
analisis data dari 226 negara yang potensial untuk mengkaji potensi
pengembangan biodiesel berdasarkan volume produksi, biaya produksi dan daya
saing ekspor. Malaysia dan Indonesia merupakan negara yang paling potensial
sebagai produsen biodiesel seperti terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Negara-Negara Potensial Sebagai Produsen Biodiesel
Negara
Potensi Produksi (liter)
Malaysia
Indonesia
Argentina
Amerika Serikat
Brazil
Belanda
Jerman
Filipina
Belgia
Spanyol
14 540 000 000
7 595 000 000
5 255 000 000
3 212 000 000
2 567 000 000
2 496 000 000
2 024 000 000
1 234 000 000
1 213 000 000
1 073 000 000
Biaya Produksi
(US$/liter)
0.53
0.49
0.62
0.70
0.62
0.75
0.79
0.53
0.78
1.71
Sumber : Johnston dan Holloway, 2006
2.7
Tinjauan Studi Terdahulu
2.7.1 Kemiskinan, Pengangguran dan Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian mengenai kemiskinan dan pengangguran sudah cukup banyak
yang melakukan. Son dan Kakwani (2004) melakukan penelitian mengenai
34
hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan menggunakan elastisitas
kemiskinan. Elastisitas kemiskinan memperkirakan persentase perubahan
kemiskinan yang disebabkan oleh satu persen perubahan dalam pendapatan per
kapita. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
berpihak pada rakyat miskin (pro poor growth) memiliki dampak yang lebih besar
dalam pengurangan kemiskinan.
Yudhoyono (2004) melakukan penelitian mengenai pembangunan pertanian
dan perdesaan sebagai upaya mengatasi kemiskinan dan pengangguran melalui
analisis ekonomi politik kebijakan fiskal menggunakan pendekatan model
ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran pemerintah
untuk infrastruktur memberi pengaruh positif bagi pengurangan pengangguran
dan kemiskinan di perkotaan sedangkan pengurangan kemiskinan di perdesaan
dipengaruhi oleh pengeluaran untuk pertanian.
Krongkaew et al. (2006) melakukan penelitian mengenai pertumbuhan
ekonomi, lapangan kerja dan keterkaitannya terhadap penurunan kemiskinan di
Thailand menggunakan analisa makro dan mikro. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada periode 1988-1996 di Thailand
mampu menurunkan tingkat kemiskinan dari semula 32.6 persen menjadi 11.4
persen dan meningkatkan lapangan kerja yang dapat menyerap banyak
pengangguran di Thailand.
Selim (2006) melakukan penelitian mengenai keterkaitan kemiskinanlapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang pro rakyat miskin di negara
Bangladesh, Bolivia dan Ethiopia mengunakan analisa deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat atau lebih sedikit
35
merupakan penyebab lambatnya pertumbuhan lapangan kerja di Bangladesh,
Bolivia dan Ethiopia. Untuk menumbuhkan lapangan kerja diperlukan
pertumbuhan pertanian, peningkatan aktivitas-aktivitas non pertanian di pedesaan,
ekspor yang berbasis padat karya, pelaksanaan industrialisasi dan manufaktur,
mendukung usaha kecil dan sektor informal perkotaan, pembentukan lapangan
kerja untuk wanita, program infrastruktur dan jaring pengaman. Untuk
mengintegrasikan rakyat miskin dalam proses pertumbuhan, yang diperlukan
adalah investasi dalam modal manusia, memperbaiki akses pelayanan sosial dan
peningkatan akses ke sumber daya produktif.
Lisna
(2007)
melakukan
penelitian
mengenai
dampak
kebijakan
ketenagakerjaan terhadap tingkat pengangguran dan perekonomian Indonesia di
era otonomi daerah menggunakan pendekatan model ekonometrika. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kebijakan peningkatan upah minimum dapat
mempengaruhi kenaikan tingkat pengangguran, inflasi dan menurunkan GDP.
Agrawal (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pertumbuhan
ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan di Kazakhstan menggunakan analisis
regresi ekonometrika. Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan ekonomi dapat
meningkatkan pendapatan pemerintah, yang sebagian diantaranya kemudian dapat
digunakan untuk membiayai program-program yang dapat menurunkan atau
mengurangi kemiskinan.
Aktar dan Ozturk (2009) melakukan penelitian mengenai dampak
pertumbuhan ekonomi dan investasi asing langsung terhadap penurunan tingkat
pengangguran di Turki menggunakan pendekatan model Vector Auto Regression
(VAR) dan Kointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi asing
36
langsung di Turki ternyata tidak menciptakan banyak lapangan kerja baru selama
periode penelitian walaupun ekspor Turki mampu menarik banyak investasi asing
langsung. Model pertumbuhan ekonomi berbasis ekspor tidak tepat untuk Turki
karena pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu mengatasi masalah
pengangguran yang terjadi di Turki.
2.7.2 Energi dan Pengembangan Bahan Bakar Nabati
Penelitian mengenai energi dan pengembangan bahan bakar nabati
diantaranya dilakukan oleh Nkomo (2007) yang melakukan penelitian mengenai
keterkaitan antara penggunaan energi, kemiskinan dan pembangunan ekonomi di
negara-negara komunitas pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC)
menggunakan model analisis deskriptif terhadap data kuantitatif yang tersedia.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penduduk di negara-negara
komunitas pembangunan Afrika Bagian Selatan (SADC) tidak memiliki akses ke
pelayanan dan pasokan energi dasar serta pertumbuhan ekonomi yang rendah
tidak mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, memperbaiki standar hidup
keluarga dan mengurangi kemiskinan.
Gonsalves (2006) melakukan penelitian mengenai industri bahan bakar
nabati di India menggunakan model analisis deskriptif terhadap data bahan bakar
nabati yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengembangan bahan
bakar nabati berupa bio etanol dan bio diesel di India akan memainkan peranan
yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan energi India. Pengembangan
bahan bakar nabati dapat menciptakan 127.6 juta lapangan kerja untuk
perkebunan, 36.8 juta untuk pengumpulan bibit dan memperbaiki kehidupan
37
sosial masyarakat dengan meningkatnya akses masyarakat pedesaan pada
pelayanan energi.
Peskett
et
al.
(2007)
melakukan
penelitian
mengenai
dampak
pengembangan bahan bakar nabati terhadap pertanian dan penurunan kemiskinan
di negara-negara OECD menggunakan model analisis deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengembangan bahan bakar nabati punya potensi memiliki
peran penting dalam penurunan kemiskinan melalui efek lapangan kerja,
pengganda pertumbuhan yang lebih luas dan efek harga energi. Efek
distribusional dari pengembangan bahan bakar nabati cukup krusial, antara
produsen
dan
konsumen,
antara
negara-negara
surplus
dan
defisit
pangan/pakan/energi.
Triyanto (2007) melakukan penelitian mengenai pengembangan bisnis
biodiesel dari minyak kelapa sawit dan pengaruhnya terhadap stabilitas pasokan
minyak goreng di Indonesia menggunakan metode wawancara mendalam dan
focus group discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang paling
mempengaruhi perkembangan bisnis biodiesel dari kelapa sawit adalah faktor
politik dan faktor ekonomi. Bisnis biodiesel dari kelapa sawit memiliki prospek
yang cukup baik untuk dikembangkan dengan strategi yang tepat. Jika produksi
biodiesel dari kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran dan dalam waktu yang
relatif cepat dapat mengganggu stabilitas pasokan minyak kelapa sawit untuk
minyak goreng.
Susila dan Munadi (2008) melakukan penelitian mengenai dampak
pengembangan biodiesel berbasis crude palm oil terhadap kemiskinan di
Indonesia menggunakan gabungan model ekonometrika dan model simulasi
38
memanfaatkan hasil-hasil penelitian terdahulu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengembangan biodiesel berbasis crude palm oil berpengaruh positif
terhadap industri crude palm oil namun berpengaruh negatif terhadap industri
minyak goreng domestik dan secara umum dapat mengurangi jumlah orang
miskin walaupun relatif kecil.
Arndt et al. (2008) melakukan penelitian mengenai dampak pengembangan
bahan bakar nabati terhadap kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi di
Mozambique menggunakan model analisis computable general equilibrium. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengembangan bahan bakar nabati berupa bio
etanol dan bio diesel memberikan peluang untuk meningkatkan produksi di
Mozambique, mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan
dan menurunkan kemiskinan di Mozambique. Hal yang perlu diperhatikan adalah
intensitas pekerja terkait metode produksi yang digunakan, karena model
mengindikasikan bahwa derajat intensitas pekerja berpotensi mempengaruhi
distribusi pendapatan.
Pfuderer dan Castillo (2008) melakukan penelitian mengenai dampak
pengembangan bahan bakar nabati terhadap harga komoditas produk pertanian
menggunakan model general equilibrium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bahan bakar nabati memang memberikan tekanan pada harga komoditas produk
pertanian namun kenaikan harga komoditas ini dipengaruhi oleh banyak faktor
yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang. Perubahan harga komoditas
pertanian secara historis tidak sepenuhnya direfleksikan oleh indeks harga
konsumen.
39
Amatucci dan Spers (2008) melakukan penelitian mengenai alternatif bahan
bakar nabati yang dapat digunakan di Brazil melalui analisis dokumen dan
wawancara mendalam dengan para stakeholder. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengalaman rakyat Brazil terhadap bio etanol dan bio diesel sangat berbeda
signifikan. Bio etanol telah mencapai tahap matang sepanjang rantai nilainya
sementara biodiesel masih rapuh dan bergantung pada inisiatif kelembagaan untuk
berkembang penuh.
Elbersen et al. (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan
biodiesel di Brazil menggunakan model studi literatur dan wawancara para ahli.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa walaupun secara tidak langsung, Brazil telah
menjadi pemasok biodiesel utama melalui reekspor biodiesel kedelai Amerika
Serikat ke Uni Eropa dan membangun infrastruktur dan pasar untuk biodiesel
yang mereka produksi dari tanaman domestik yang ada di Brazil serta menyiapkan
standar produksi biodiesel agar dapat memenuhi standar yang diterima oleh Uni
Eropa. Pengembangan biodiesel dari kelapa sawit juga telah dimulai di Brazil
walaupun masih sangat kecil dan memerlukan pembukaan lahan perkebunan baru
di lahan-lahan yang terdegradasi.
Lopez dan Laan (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan
bahan bakar nabati khususnya bio diesel dari minyak kelapa sawit di Malaysia
menggunakan model analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh harga minyak
kelapa sawit dan harga minyak bumi dan sebagian besar industri biodiesel dari
kelapa sawit di Malaysia (92 lisensi) tidak beroperasi karena tinggi dan
berfluktuasinya harga minyak kelapa sawit. Untuk mengembangkan industri
40
biodiesel dari kelapa sawit, pemerintah Malaysia memberikan subsidi dan insentif.
Jika seluruh industri biodiesel dari kelapa sawit Malaysia beroperasi penuh,
mereka dapat menghasilkan 2.7 juta ton per tahun dengan menggunakan 3 juta ton
minyak kelapa sawit, yang sebagian besar ditujukan untuk pasar ekspor.
Hartoyo et al. (2009) melakukan penelitian mengenai dampak perubahan
permintaan crude palm oil sebagai bahan bakar alternatif (nabati) terhadap
ketersediaan
pangan
dan
kebijakan
yang
terkait
menggunakan
model
ekonometrika persamaan simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit tidak menyebabkan stabilitas
ketersediaan pangan di domestik terganggu sehingga layak untuk ditingkatkan.
Pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit di dunia juga dapat
meningkatkan ekspor minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel sehingga
menambah devisa negara.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu karena penelitian ini
mengkaji dampak pengembangan biodiesel dari minyak kelapa sawit terhadap
beberapa indikator makroekonomi terutama pertumbuhan ekonomi, pengangguran
dan kemiskinan di Indonesia secara sekaligus sementara pada penelitian terdahulu
hanya mengkaji dampaknya terhadap salah satu indikator terutama dampak
terhadap kemiskinan. Khusus untuk kemiskinan, penelitian ini disamping melihat
dampaknya secara total juga membedakan kajian dampaknya terhadap kemiskinan
di perdesaan dan kemiskinan di perkotaan.
Download