Minangkabau

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa daerah (Minangkabau) dan bahasa nasional (Indonesia) dapat
dijadikan sebagai sarana untuk mencerminkan masing-masing kebudayaan
masyarakat yang saling berkaitan. Salah satu penggunaan bahasa ragam tulis yang
dapat menggambarkan keterkaitan antara budaya lokal dengan budaya nasional
tersebut adalah melalui penggunaan peribahasa Minangkabau dan peribahasa
Indonesia yang dihubungkan dengan gagasan, nilai-nilai, dan pandangan hidup
masyarakat. Peribahasa merupakan kata atau kalimat yang tetap susunannya dan
mengiaskan maksud tertentu. Peribahasa berisi ungkapan, perbandingan,
perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Selain itu,
peribahasa berfungsi untuk mengontrol (direktif-prohibitif) suatu sikap atau
perilaku dan untuk menilai suatu sikap atau perilaku tersebut.
Peribahasa Minangkabau memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut
terletak pada penggunaan rekonstruksi yang kompleks. Kekompleksitasan tersebut
terlihat dari penggunaan kalimat majemuk yang memiliki anak kalimat yang
tergolong banyak. Hal tersebut dipengaruhi oleh filosofi yang dianut masyarakat
Minangkabau secara turun-temurun, yaitu alam takambang jadi guru ‘alam
terkembang menjadi guru’. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber
1 2 pendidikan dalam hidup manusia berasal dari fenomena-fenomena alam semesta.
Alam bisa dijadikan sebagai guru. Seseorang bisa belajar dan memperoleh
pengetahuan dari alam. Seseorang dapat mempelajari sifat-sifat alam, baik benda
hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) maupun benda mati. Dengan arti lain,
segala sesuatu yang berkaitan dengan input bahasa dan menjadi pengaya khazanah
kebudayaan bersumberkan dari alam (Oktavianus, 2013:130).
Hakim (1994:2--3) mengemukakan bahwa ungkapan alam terkembang
menjadi guru merupakan sumber adat Minangkabau. Sebelum agama Islam
masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minangkabau baru mampu
mengetahui ketentuan alam nyata. Ketentuan alam yang dimaksudkan
seumpamanya adalah daratan, laut, gunung, bukit, tumbuh-tumbuhan, bintang,
matahari, api, air, dan lain sebagainya yang memiliki ketentuan sendiri, seperti
lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, api membakar, air
menyuburkan, dan murai berkicau.
Filosofi alam takambang jadi guru ‘alam terkembang menjadi guru’
tersebut memengaruhi pandangan dan cara berpikir masyarakat Minangkabau.
Masyarakat Minangkabau memandang alam secara detail, misalnya mempelajari
bagaimana sifat-sifat yang melekat pada sebatang pohon besar yang dapat
memetaforakan sifat-sifat positif yang harus dimiliki seorang pemimpin. Mereka
tidak hanya memandang pohon itu secara keseluruhan, tetapi juga mengamati
bagian-bagian apa saja yang ada pada pohon tersebut. Bagian-bagian tersebut,
yaitu akar, batang, dahan, ranting, daun, dan buah.
3 Sementara itu, peribahasa Indonesia juga disampaikan secara tidak
langsung, tetapi penggunaan kalimatnya lebih sederhana dan singkat, yakni hanya
terdiri dari satu baris atau dua baris. Meskipun peribahasa tersebut ada yang terdiri
dari tiga sampai empat baris, itu sangat jarang digunakan dan ditemukan. Semua
ajaran nasihat yang ada dalam peribahasa Indonesia juga berpedoman pada alam,
tetapi
alam
dipandang
secara
universal.
Hal
tersebut
terlihat
ketika
memetaforakan sifat-sifat pemimpin dengan pohon. Pohon dipandang secara
keseluruhan tanpa mengamati dan tanpa menjabarkan bagian-bagian yang ada
pada pohon. Meskipun hal tersebut ada, itu hanya sebagian kecil.
Perbedaan rekonstruksi dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa
Indonesia dapat dikaitkan dengan tinjaun sejarah. Peribahasa Indonesia ada yang
berasal dari ranah melayu yang masyarakatnya suka menyampaikan segala
sesuatu dengan sindiran. Ranah melayu yang dimaksud dalam hal ini bisa
melingkupi wilayah Minangkabau dan Riau. Akan tetapi, penggunaan peribahasa
Indonesia bisa juga melingkupi semua etnis yang ada di Indonesia, yaitu dari
Sabang--Merauke.
Dengan
arti
lain,
peribahasa
Indonesia
yang
dapat
mencerminkan budaya nasional memayungi peribahasa Minangkabau atau
peribahasa dari etnis tertentu yang mencerminkan budaya lokal. Dalam hal ini,
peribahasa-peribahasa yang ada pada etnis-etnis tertentu dikristalisasikan ke
dalam peribahasa Indonesia yang dikemas secara sederhana dan padat.
Di samping itu, ketentuan-ketentuan alam yang disusun menjadi
peribahasa dapat menggambarkan berbagai bentuk dan corak kehidupan yang
dinyatakan secara tidak langsung dan penuh perumpamaan. Hal itu tidak bisa
4 dijabarkan secara harfiah karena bisa saja bertentangan dengan logika. Jadi, hal itu
harus mampu dipahami secara “tersurat” dan “tersirat” (Hakimy, 1994:11). Dalam
hal ini, pemakaian metafora dapat membantu menemukan makna yang terkandung
di dalamnya. Pemakaian metafora juga berfungsi untuk memperbandingkan
sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna
yang melekat kepada kedua benda yang diperbandingkan. Kata-kata yang
digunakan dalam peribahasa tersebut tidak hanya mengacu pada objek dan
peristiwa, tetapi juga segala sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik.
Pemakaian matafora dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa
Indonesia digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan. Yang dimaksud
dengan kepemimpinan dalam hal ini adalah perihal pemimpin dan cara
memimpin. Jadi, kedua peribahasa ini tidak hanya menjelaskan bagaimana sosok
pemimpin secara fisik, tetapi juga menjelaskan sifat-sifat dan peranan yang harus
dimiliki seorang pemimpin terkait kepemimpinan.
Jika berbicara mengenai sifat-sifat pemimpin, sifat-sifat mengenai
pemimpin yang ada di Indonesia telah diuraikan banyak ahli ke dalam konsep
yang bervariasi. Ada sifat-sifat pemimpin yang berlaku secara umum, tetapi ada
juga yang berlaku pada wilayah tertentu. Sementara itu, sifat-sifat perihal
kepemimpinan ada yang berpedoman pada negara barat dan adapula yang
berpedoman pada masyarakat tertentu yang terdapat di Indonesia. Barnard (via
Pamudji, 1993:76) mengatakan bahwa betapa sulit memerinci secara tuntas sifatsifat seorang pemimpin karena pada dasarnya hal tersebut bersifat kondisional.
5 Berdasarkan hal ini, dikaji sejauh mana pengaruh dan sumbangsih konsep
kepemimpinan yang tercermin dalam etnis tertentu (Minangkabau) terhadap
masyarakat nasional (Indonesia) seperti halnya konsep kepemimpinan di
Indonesia yang berpedoman pada ajaran mengenai sifat-sifat kepemimpinan yang
disebut dengan “Asta Brata”, yaitu delapan ajaran utama kepemimpinan dalam
dunia pewayangan di Jawa. Dalam ajaran tersebut, sifat-sifat pemimpin
dimetaforakan dengan sifat-sifat yang ada pada matahari, bintang, bulan, gunung,
samudra, angin, air, dan api.
Berikut diuraikan contoh perumpamaan sosok pemimpin dan sifat-sifat
pemimpin dengan ayam jago.
PM
(3) Panghulu nan ibarek ayam gadang, bakotek hilia jo mudiak, bakukuak
kiri jo kanan, mananggakkan tuah kamanangan, tiok ado kabaikan
tumbuah Inyo nan pokok pangkanyo, bakotek indak batama, tinggi
lonjak gadang sajo, gadang tungkai indak barisi, elok bungkuih
pangabek kurang
“Penghulu yang ibarat ayam jago, berkotek hilir dan mudik, berkokok
kiri dan kanan, mengoarkan hakikat kemenangan, tetapi setiap ada
kebaikan berpangkal padanya, berkotek tidak beraturan, tinggi
lompatan besar saja, besar tungkai tidak berisi, bungkus bagus
pengikat kurang’
(Hakimy, 1982:34--35)
PI
(12) Sebuah lesung seekor ayam jantannya.
‘Bagi tiap-tiap kaum ada seorang pemimpin yang akan memimpinnya’.
(Http://prpm.dbp.gov.my/Search.aspx?k=pemimpin&d=11)
Berdasarkan PM dan PI di atas, ayam jago digunakan sebagai ranah
sumber dan sosok pemimpin digambarkan sebagai ranah target. Ayam jago
merupakan sejenis ayam jantan yang berukuran besar, berbadan tinggi dan tegak,
6 memiliki jalu panjang (bagian yang keras dan runcing pada kaki ayam),
berjengger lebih besar, berbulu ekor yang panjang menjuntai. Di samping itu,
ayam jago sering dikenal sebagai ayam petarung karena keadaan fisik dan
keatraktifannya. Oleh karena itu, pemimpin dimetaforakan dengan ayam jago
karena mengacu pada sifat-sifat yang dimiliki ayam jago, yaitu memiliki
kekuatan, keberanian, dan pengaruh yang kuat dibandingkan ayam yang lain.
Dalam PI, metafora ayam jantan hanya mengilustrasikan sosok pemimpin
secara fisik. Hal ini berbeda dengan PM. Dalam PM, metafora ayam jantan tidak
hanya mengilustrasikan sosok pemimpin secara fisik, tetapi juga dikaitkan dengan
sifat-sifat yang melekat pada ayam jago seperti penjelasan di atas. Sifa-sifat
tersebut memetaforakan sifat-sifat yang ada pada seorang pemimpin. Hal ini
dijelaskan pada bagian anak-anak kalimat dalam PM. Jadi, penggunaan metafora
dalam PM dipandang sebagai kesatuan yang utuh antara kalimat majemuk dengan
anak-anak kalimat yang tergolong banyak. Bagian-bagian tersebut awalnya
disegmentasikan, kemudian disatukan sehingga berbentuk wacana.
Sementara itu, ungkapan ayam jago dalam PI mengandung makna positif
dan dalam PM bermakna negatif. Dalam PI, pemimpin itu diibaratkan dengan
ayam jago karena mempunyai kekuatan dan keberanian, misalnya di Makassar
dikenal seorang pahlawan nasional Indonesia yang bernama Sultan Hasanuddin.
Sultan Hasanuddin diberi gelar ayam jantan dari timur karena kegigihan dan
keberaniannya melawan Kolonial Belanda. Hal ini mewakili konsep pemikiran
dan pandangan masyarakat secara nasional. Beda halnya dengan pandangan
masyarakat lokal (Minangkabau), ungkapan ayam jago dan semua sifat yang
7 melekat pada ayam tersebut dipandang bermakna negatif. Dalam PM dijelaskan
bahwa sifat-sifat yang melekat pada ayam jago menggambarkan sifat seorang
pemimpin yang patut dijauhi. Hal tersebut dijelaskan secara tersirat dan tersurat
pada bagian anak kalimat dalam PM. Pembahasan mendalam mengenai hal ini
akan dijelaskan pada bab berikutnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, bahasa dapat memengaruhi cara berpikir
antara masyarakat lokal (Minangkabau) dengan masyarakat nasional (Indonesia)
yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan gagasan dalam memandang suatu konsep.
Hal ini tentu berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Dalam hipotesis SapirWhorf (via Chaer, 1995:219) disebutkan bahwa bahasa menjadi penentu cara
berpikir
individu-individu
suatu
masyarakat
sehingga
mereka
mampu
berkomunikasi dalam kehidupan sosial. Hipotesis tersebut juga menjelaskan
bahwa keterkaitan antara bahasa dan budaya sangat erat. Bahasa berpengaruh
besar terhadap kebudayaan karena dapat menentukan wujud-wujud kebudayaan.
Dalam arti lain, budaya masyarakat dapat tercermin melalui bahasa. Sementara
itu, bahasa merupakan sesuatu yang diwariskan secara kultural.
Berdasarkan semua deskripsi di atas, topik Metafora Kepemimpinan
dalam Peribahasa Minangkabau dan Peribahasa Indonesia menarik bagi penulis
karena beberapa faktor, yaitu (1) penggunaan metafora dalam peribahasa
Minangkabau memiliki karakteristik dan keunikan sendiri karena berkaitan
dengan filosofi masyarakat Minangkabau, yaitu alam takambang jadi guru ‘alam
terkembang menjadi guru’, (2) sepengetahuan penulis, masih sedikit penelitian
mengenai peribahasa Minangkabau yang dihubungan dengan kajian budaya
8 Minangkabau,
(3)
sepengetahuan
penulis,
belum
ada
penelitian
yang
membandingkan ranah metafora yang digunakan dalam peribahasa Minangkabau
dan peribahasa Indonesia yang dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Bentuk-bentuk
metafora
apa
saja
yang
digunakan
untuk
mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau dan
peribahasa Indonesia?
2. Ranah apa saja yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan
dalam peribahasa Minangkabau?
3. Ranah apa saja yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan
dalam peribahasa Indonesia?
4. Bagaimana konsep kepemimpinan yang ideal menurut peribahasa
Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan penggunaan
metafora?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, yaitu:
9 1. mendeskripsikan bentuk-bentuk metafora yang digunakan untuk
mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau dan
peribahasa Indonesia;
2. mendeskripsikan
ranah
yang
dipakai
untuk
memetaforakan
kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau;
3. mendeskripsikan
ranah
yang
dipakai
untuk
memetaforakan
kepemimpinan dalam peribahasa Indonesia;
4. mengungkapkan dan mengemukakan konsep kepemimpinan yang ideal
menurut
peribahasa
Minangkabau
dan
peribahasa
Indonesia
berdasarkan penggunaan metafora.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini mencakup dua hal, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan memberi sumbangan bagi perkembangan disiplin ilmu
etnolinguistik yang merupakan kombinasi antara ilmu bahasa dengan antropologi
budaya yang dikaitkan dengan bahasa dan budaya pada suku bangsa tertentu .
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan untuk melengkapi kajian semantik
melalui penggunaan metafora. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu
meningkatkan rasa bangga berbahasa dan berbudaya lokal dan berbudaya
nasional. Di samping itu, penelitian ini juga digunakan sebagai media untuk
mengenalkan kepada khalayak umum mengenai khazanah budaya lokal
(Minangkabau) dan budaya Indonesia (nasional) yang saling berkaitan. Kedua hal
10 tersebut diilustrasikan melalui peribahasa yang berbentuk ungkapan dan
perumpamaan.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada konsep
pemimpin dan segala hal yang berhubungan dengan kepemimpinan. Hal tersebut
diilustrasikan melalui penggunaan metafora dalam peribahasa Minangkabau dan
peribahasa
Indonesia.
Peribahasa
dapat
berbentuk
ungkapan,
pepatah,
perumpamaan, bidal, pameo, dan ibarat atau tamsil. Berhubungan cakupan
peribahasa luas, penggunaan pepatah, ungkapan, dan perumpamaan difokuskan
dalam hal ini.
Sementara itu, dalam masyarakat Minangkabau penghulu dipilih sebagai
pemimpin tertinggi yang mengatur segala urusan yang berhubungan dengan adat.
Hal itu disebabkan bentuk kepemimpinan di Minangkabau juga beranekaragam,
seperti malin (penghulu dalam bidang keagamaan), manti (penghulu dalam urusan
muamalat dan aktifitas keseharian, dan dubalang (penghulu dalam urusan
pertahanan, keamanan, dan pengawasan). Sementara itu, pemimpin yang
dimaksud dalam peribahasa Indonesia adalah pemimpin secara umum karena di
dalam peribahasa tersebut tidak ada penjelasan mengenai jenis-jenis pemimpin
secara spesifik.
Selanjutnya, konsep pemimpin dan kepemimpinan yang ada dalam
peribahasa Minangkabau dan Indonesia yang diilustrasikan melalui metafora
dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya. Penggunaan metafora dalam kedua
11 hal tersebut tidak hanya menjelaskan bagaimana sosok pemimpin, tetapi juga
menjelaskan hal-hal lain yang terkait di dalamnya. Hal tesebut meliputi beberapa
hal, yaitu arti dan keberadaan penghulu, syarat-syarat menjadi penghulu, tugas
dan peranan penghulu, dan sifat-sifat penghulu ketika memimpin.
Kumpulan peribahasa Minangkabau berupa teks tulisan diambil dari bukubuku terbitan berbahasa Minangkabau yang menjelaskan budaya lokal
(Minangkabau). Sementara itu, kumpulan peribahasa Indonesia diambil dari bukubuku berbahasa Indonesia yang menjelaskan budaya nasional (Indonesia).
Analisis yang dilakukan dalam hal ini meliputi deskripsi bentuk-bentuk metafora
yang digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan, ranah yang dipakai untuk
memetaforakan kepemimpinan serta mengemukakan konsep kepemimpinan ideal
menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan
penggunaan metafora. Pada bagian ini dijelaskan sifat-sifat apa saja yang harus
dimiliki dan dijauhi oleh pemimpin.
1.6 Tinjauan Pustaka
Penelitian
terkait
penggunaan
metafora
dalam
pepatah
adat
di
Minangkabau dari sudut pandang etnolinguistik belum banyak ditemui. Adapun
penelitian terkait dengan tulisan ini dideskripsikan dalam uraian di bawah ini.
Widya (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Metaforis PetatahPetitih Berbahasa Minangkabau tentang Konsep Kepenghuluan (Studi Tentang
Kearifan Budaya)” mengkaji sifat-sifat kepenghuluan ideal di Minangkabau
melalui Petatah-petitih. Petatah-petitih tersebut dikelompokkan berdasarkan
12 komponen
pembentuk
makna
kearifan
budaya
Minangkabau
tentang
kepenghuluan. Berdasarkan kajian tersebut, konsep tentang sifat kepenghuluan
ideal di Minangkabau dimetaforakan dengan mengambil perumpamaan dari
gejala-gejala alam. Salah satunya adalah sifat-sifat kepenghuluan ideal yang
diumpamakan dengan bagian-bagian pohon beringin.
Sifat-sifat penghulu yang tercermin dalam pepatah tersebut dikaitkan
dengan sifat-sifat penghulu yang tercermin dalam bahasa ragam umum (bahasa
percakapan sehari-hari), baik berbentuk lisan maupun tulisan. Selain itu,
ditemukan alur pikir metaforis mengapa media tersebut digunakan. Kecermatan
dan kecerdasan pencipta petatah dalam memperhatikan dan memilih sifat-sifat
positif bagian-bagian pohon beringin mengawali pembentukan metafora dalam
kognisi. Sifat-sifat tersebut kemudian ditransfer pada sifat-sifat kepenghuluan
ideal.
Perbedaan kajian ini dengan kajian Metafora Pemimpin dalam Peribahasa
Minangkabau dan Indonesia mencakup beberapa hal, yaitu (1) penggunaan
metafora pemimpin tidak hanya dikaji dari sudut pandang peribahasa
Minangkabau, tetapi juga dikaitkan dengan peribahasa Indonesia dengan melihat
konteks sosial dan budaya, (2) ranah yang digunakan untuk memetaforakan
pemimpin lebih variatif, (2) arti dan keberadaan pemimpin, sifat-sifat pemimpin,
tugas dan peranan pemimpin, serta syarat-syarat menjadi pemimpin yang
tercermin dalam satu ranah metafora juga dibandingkan dengan penggunaan ranah
lain, (3) konsep kepemimpinan yang ideal tidak hanya memaparkan sifat-sifat
13 yang harus dimiliki seorang pemimpin, tetapi juga mencakupi sifat-sifat yang
harus dijauhi.
Ningsi, dkk (2013) dalam Jurnal Bahasa dan Seni yang berjudul “Metafora
dalam Pasambahan Maanta Marapaulai di Nagari Tanjung Kecamatan Koto VII
Kabupaten Sijunjung” mengkaji bentuk, makna, dan konteks penggunaan
metafora dalam tradisi lisan pasambahan ‘persembahan’ dalam acara perkawinan.
Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan berbagai jenis penggunaan metafora,
yaitu metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora dari konkret ke
abstrak, dan metafora sinaestetik. Selain itu, makna metafora dalam pasambahan
tersebut menjelaskan keterkaitan antara makna dasar (literal meaning) dan makna
dari informan. Makna dasar dari suatu kata merujuk pada suatu wujud yang
konkret (keberadaan secara fisik di dunia). Sementara itu, terdapat dua konteks
dalam penggunaan metafora dalam pasambahan perkawinan, yaitu konteks situasi
dan konteks budaya.
Himawan (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Lelakaq dalam Budaya
Sasak: Analisis Etnoliguistik” mengemukakan aspek kearifan lokal yang tersebar
dalam kehidupan masyarakat Sasak melalui lelakaq (pantun). Lelakaq memiliki
ciri khas kebahasaan dan unsur-unsur tanda atau lambang tertentu yang sesuai
dengan latar budaya masyarakat Sasak. Lelakaq mengandung pesan moral berupa
nilai agama, niali sosial, nilai budaya, serta nila kearifan lainnya. Melalui hal
tersebut, Himawan mendeskripsikan karakteristik lelakaq sebagai wacana dan
sistem kognisi masyarakat Sasak yang tercermin di dalamnya. Hal tersebut
dikaitkan dengan pengunaan metafora yang terdapat dalam lelakaq.
14 Noverita (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Gelar-Gelar Penghulu di
Minangkabau (Kajian Semantik)” mengemukakan tiga hal, yaitu bentuk satuan
lingual gelar-gelar penghulu di Minangkabau, kajian semantis gelar-gelar
penghulu di Minangkabau, dan komponen makna gelar-gelar penghulu di
Minangkabau. Pada bagian penghulu dan kepenghuluan di Minangkabau dari
perspektif budaya, Noverita menjelaskan bagaimana konsep kepenghuluan
penghulu di Minangkabau dan bagaimana sosok penghulu di Minangkabau.
Oktavianus dan Revita (2013) dalam bukunya yang berjudul Kesantunan
dalam Bahasa Minangkabau juga mengemukakan tentang penggunaan metafora
dalam pidato adat di Minangkabau pada salah satu tulisannya. Pada bagian
tersebut dijelaskan bahwa ciri khas bahasa Minangkabau ragam adat terletak pada
penggunaan metafora. Hal ini terjadi karena masyarakat Minangkabau menganut
filosofi alam terkembang menjadi guru
Berdasarkan semua penelitian di atas, pembahasan mengenai metafora
pemimpin dalam peribahasa Minangkabau yang dikaitkan dengan peribahasa
Indonesia belum dilakukan. Walaupun ada, penelitian tersebut terfokus pada
analisis makna metaforis dalam pepatah Minangkabau mengenai konsep
kepemimpinan yang ditinjau dari penggunaan satu ranah metafora, yaitu ranah
tumbuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ranah yang digunakan untuk
memetafora penghulu (pemimpin) tidak hanya bersumber dari satu ranah, tetapi
juga dilihat dari penggunaan ranah lain.
15 1.7 Landasan Teori
1.7.1
Metafora
Menurut
Oktavianus
dan
Revita
(2013:127),
metafora
adalah
memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan
komponen makna yang melekat kepada kedua benda yang diperbandingkan.
Metafora sebagai bentuk kreatif makna dalam bahasa berkaitan dengan tuturan
manusia. Sementara itu, menurut Wahab (1991:65) metafora adalah ungkapan
kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai,
melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun oleh
makna yang dimaksud dalam ungkapan kebahasaan tersebut,
Metafora tidak hanya menyangkut masalah bahasa, tetapi juga
berhubungan dengan kebudayaan dan cara berfikir manusia atau pandangan
pribadi dari anggota suatu kelompok masyarakat. Masalah yang paling mendasar
dalam sebuah metafora dititikberatkan pada hubungan antara kata dan makna kata
di satu pihak dan makna yang sesungguhnya yang dimaksudkan oleh si pembicara
atau yang disebut sebagai makna metaforis (Herlina Ningsi, dkk, 2013:4--5).
Ullmann (2007:267--270) membagi metafora menjadi empat bentuk.
Pertama, metafora antropomorfis adalah metafora yang membandingkan namanama organ tubuh manusia dengan benda-benda tidak bernyawa, misalnya dalam
bahasa Indonesia ditemukan frase kaki meja dan kaki gunung. Kedua, metafora
binatang adalah metafora yang yang sumber imajinasinya adalah binatang. Dalam
bahasa Indonesia ada lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah,
dan cocor bebek. Ketiga, metafora dari konkret ke abstrak adalah metafora yang
16 mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak menjadi bentuk konkret. Dalam
bahasa Indonesia terdapat kata sinar yang bermakna konkret, kemudian dialihkan
maknanya menjadi abstrak, seperti sinar mata, sinar wajah, hidupnya sedang
bersinar, dan lain-lain. Keempat, metafora sinaestetik adalah metafora yang
didasarkan pada transfer dari satu indra ke indra yang lain, dari indra pendengaran
ke indra penglihatan, dan dari indra sentuhan ke indra bunyi.
Haley (1980:139--154) dan Lunsford (1980:159) membagi metafora ke
dalam sembilan jenis berdasarkan medan maknanya, yaitu:
a. Metafora ke-ada-an (being), yaitu metafora yang meliputi hal-hal yang
abstrak, seperti kebenaran dan kasih.
b. Metafora kosmos (cosmos), yaitu metafora yang meliputi benda-benda
kosmos, misalnya matahari, bintang, dan bulan.
c. Metafora tenaga (energy), yaitu metafora yang berkaitan dengan segala
sesuatu yang memiliki kekuatan, misalnya angin, cahaya, api, dan air dengan
prediksi dapat bergerak.
d. Metafora substansi (substance), yaitu metafora yang meliputi macam-macam
gas dengan prediksinya dapat memberi kelembatan, bau, dan tekanan.
e. Metafora permukaan bumi (terrestrial) adalah metafora yang meliputi hal-hal
yang terikat atau terbentang di permukaan gravitasi bumi, misalnya sungai,
laut, dan gunung.
f. Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda
yang tidak bernyawa, misalnya meja, buku, kursi, dan gelas.
17 g. Metafora tumbuhan (living), yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh
jenis tumbuh-tumbuhan (flora), seperti pohon, sagu, dan padi.
h. Metafora binatang (animate) adalah metafora yang berhubungan dengan
makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan sebagainya,
misalnya kuda, kucing, dan burung.
i. Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan
makhluk yang mempunyai akal yang dapat berfikir dan berbicara (melalukan
aktivitas).
Di samping itu, Lindawati (2006:101--120) menjelaskan bagaimana alam
dalam persepsi manusia masyarakat Minangkabau ke dalam aneka konsep bentuk,
ukuran, dan takaran dalam bahasa Minangkabau. Ketika manusia melakukan
kontak dengan alam sekitar, manusia akan mengidentifikasi segala sesuatu yang
ada di dalamnya. Identifikasi tersebut dapat dilakukan berdasarkan bentuk fisik
dan non fisik. Setelah benda-benda tersebut diamati, orang Minangkabau
mengidentifikasikan alam sekitarnya berdasarkan kuantitas dan kualitas. Hal-hal
yang teridentifikasi mencakup empat bentuk. Pertama, identitas manusia.
Identitas manusia mencakup bentuk fisik dan non fisik. Kedua, identitas binatang.
Identitas binatang bisa dinyatakan melalui fisik dan sifat. Ketiga, tumbuhan. Hal
ini menyangkut dengan seluruh jenis-jenis tumbuhan. Keempat, identitas benda
alam. Identifikasi benda alam yang dimaksud di sini adalah benda-benda yang
dekat dengan manusia dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bendabenda tersebut dapat berbentuk benda cair (air), benda padat (batu), dan benda gas
(asap).
18 Jadi, metafora merupakan pemakaian kata atau sekelompok kata yang
tidak mengadung makna yang sebenarnya dengan cara membandingkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang
melekat pada kedua hal yang dibandingkan tersebut. Metafora tidak hanya
berbentuk kata, tetapi juga bisa melingkupi tataran frase, kalimat, dan wacana.
Dalam hal ini, terdapat keterkaitan antara kata dengan kata, kata dengan frase,
frase dan kalimat sehingga menjadi kesatuan yang utuh berbentuk wacana. Ranah
metafora yang digunakan dapat bersumber dari alam, yaitu makhluk hidup dan
benda mati.
1.7.2
Definisi Kepemimpinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan merupakan
perihal pemimpin dan cara memimpin. Kepemimpinan sudah melingkupi semua
hal yang berhubungan dengan pemimpin, baik yang bersifat fisik maupun psikis.
Rivai, dkk. (2013:2--3) dalam bukunya yang berjudul Pemimpin dan
Kepemimpinan dalam Organisasi memberi pandangan mengenai pengertian
pemimpin dan kepemimpinan sebagai berikut:
Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan
dan kelebihan, khususnya kecakapan/kelebihan di satu bidang
sehingga dia mampu memengaruhi orang-orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi
pencapaian satu atau beberapa tujuan.
Kepemimpinan adalah suatu perilaku dengan tujuan
tertentu untuk memengaruhi aktivitas para anggota kelompok
untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat individu dan organisasi dalam pencapaian tujuan yang
telah ditetapkan oleh organisisi.
(Rivai, dkk 2013:2--3)
19 Dilihat dari sisi bahasa Indonesia, pemimpin sering disebut penghulu,
pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua,
kepala, penuntun, raja-raja, dan tua-tua. Di samping itu, pemimpin di Minangkabu
dikenal juga dengan pangulu ‘penghulu’. Tiap suku dikepalai oleh seorang
penghulu suku. Amir (1997:67) mengemukakan bahwa pangulu berasal dari kata
hulu yang berarti ‘kepala, pangkal, asal-usul’. Maksud kepala dalam hal ini adalah
pemimpin kaum. Hal ini juga dikaitkan dengan istilah kalang hulu yang berarti
‘penggalang atau pengganjal kepala atau bantal’. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, penghulu memiliki beberapa arti, yaitu: (1) kepala; tua: (2) kepala adat;
(3) kepala urusan agama islam di kabupaten atau kota madya; (4) penasihat urusan
agama islam di pengadilan negeri; kadi.
Jadi, penghulu di Minangkabau berarti orang yang memegang tampuk
tangkai dan menjadi pengendali, pengarah, pengawas, dan pelindung terhadap
anak kemenakan, serta tempat keluarnya sebuah aturan dan keputusan yang
dibutuhkan oleh masyarakat dan anak kemenakan yang dipimpin (Amir, 1997:67).
Dalam masyarakat adat Minangkabau, penghulu merupakan sebutan
kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Penghulu bertanggung
jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan wilayahnya. Di
samping itu, penghulu juga bertanggung jawab terhadap permasalahan yang
terdapat dalam masyarakat (Ibrahim, 2014:177). Dalam keseharian, penghulu
dipanggil dengan gelar datuak ‘datuk’. Gelar datuak ini merupakan gelar pusaka
secara turun temurun dari nenek moyang suku bersangkutan. Walaupun penghulu
merupakan gelar yang diterima secara turun temurun oleh seorang laik-laki yang
20 bertali darah (menurut keturunan ibu) dalam gelar pusaka yang bersangkutan,
seorang penghulu tetap diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya
(Widya, 2010:15).
1.7.3
Konsep Peribahasa
Danandjaya (via Mursini, 2010:2) mengemukakan bahwa salah satu
bentuk folklor lisan adalah ungkapan tradisional yang berupa peribahasa, pepatah,
dan pameo. Menurut KBBI, peribahasa memiliki dua pengertian, yaitu (1)
kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud
tertentu (termasuk juga bidal, ungkapan, dan perumpamaan, (2) ungkapan atau
kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup
atau aturan tingkah laku.
Badudu (1983:1--3) mengemukakan bahwa peribahasa merupakan semua
bentuk yang mengandung arti kiasan, termasuk ungkapan berupa kata/frase,
perumpamaan, ibarat/tamsil, petatah dan petitih. Surdayat (2008:89) juga
mengemukakan bahwa peribahasa adalah salah satu bentuk idiom berupa kalimat
yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambang kehidupan. Hal tersebut
meliputi pepatah, perumpamaan dan pameo.
Di samping itu, Arimi (200:24) dalam laporan penelitiannya yang berjudul
“Pikiran-Pikiran Kolektif dalam Peribahasa Indonesia” mengemukakan bahwa
peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat (yang memiliki verba atau kata
yang difungsikan sebagai verba, memiliki susunan yang tetap (membeku), tidak
bermakna leksikal (harfiah atau kata per kata), melainkan mengandung makna
kias (metaforis), dan penggunaannya dimaksudkan untuk mengontrol atau menilai
21 sikap dan perilaku seseorang atau kelompok tertentu. Dalam laporan penelitian
tersebut juga diuraikan bahwa peribahasa mencakup empat kekuatan penting,
yaitu: (1) secara kognitif peribahasa sebagai penguat tulisan atau percakapan, (2)
secara afektif dan psikomotorik peribahasa sebagai alat nasihat (adivice
instrument), (3) secara statis konvensional peribahasa sebagai sumber kebenaran
umum dalam bersikap dan berperilaku dalam sebuah masyarakat bahasa, (4)
secara dinamik peribahasa sebagai hipogram dalam menciptakan bentuk
transformasi baru plesetan untuk memunculkan efek humor bagi masyarakat.
Peribahasa berfungsi untuk menyatakan pikiran. Fungsi ini dapat dibagi menjadi
dua, yaitu untuk mengontrol (direktif-prohibitif) suatu sikap atau perilaku dan
untuk menilai suatu sikap atau perilaku tersebut.
Di sisi lain, Yustinah dan Iskak (2006:60) memandang peribahasa sebagai
sebuah istilah umum berbentuk frasa atau kalimat yang susunannya tetap dan
biasanya mengungkapkan maksud tertentu. Dalam hal ini, peribahasa mencakup
ungkapan, pameo, tamsil atau ibara bidal, perumpamaan, dan pepatah.
Djamaris (1984:21) mengemukakan bahwa peribahasa bersifat universal,
berlaku untuk semua orang dan segala zaman; peribahasa dapat ditafsirkan sesuai
suasana dan situasi peribahasa itu digunakan; peribahasa itu mempunyai arti
kiasan; peribahasa itu merupakan perumpamaan yang tepat, halus, dan jelas;
peribahasa adalah mutiara bahasa, mestika bahasa, bunga bahasa, dan keindahan
bahasa; dan peribahasa itu dapat digunakan sebagai nasihat, sindiran-sindiran, dan
digunakan sebagai bahasa diplomasi.
22 Berdasarkan semua pengertian peribahasa di atas, dapat disimpulkan
bahwa peribahasa dapat meliputi pepatah, perumpamaan, ungkapan, bidal, tamsil
atau ibarat, dan pameo. Berikut penjelasan semua hal tersebut, tetapi kajian lebih
difokuskan pada peribahasa berbentuk pepatah, perumpamaan, dan ungkapan.
Menurut KBBI, pepatah merupakan peribahasa yang mengandung nasehat
dan ajaran dari orang tua (biasanya dipakai atau diucapkan untuk mematahkan
lawan bicara). Pepatah berkaitan dengan adat istiadat, undang-undang, dan
peraturan masyarakat, contohnya hancur badan dikandung tanah, budi baik
dikenang jua artinya ‘budi baik seseorang itu jangan dilupakan’. Pepatah lain
menyatakan manusia tahan kias, binatang tahan palu. Pepatah tersebut
menggambarkan aspek kehidupan masyarakat. Perasaan yang peka dan rasa
bahasa yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menyampaikan, memahami, dan
menerima pepatah tersebut.
Menurut Bakar (1981:6), kata pepatah berasal dari kata “patah” yang
setelah melalui proses reduplikasi sehingga menjadi “pepatah”. Pepatah
digunakan untuk mematahkan pembicaraan orang lain secara halus dan berbentuk
sindiran. Pepatah termasuk salah satu bentuk tamsilan atau sindiran. Pepatah
menjadi dasar hukum masyarakat dalam bertingkah laku yang mencakup segala
aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan. Kelahiran pepatah disebabkan oleh kecenderungan watak masyarakat
Minangkabau yang lebih banyak menyampaikan sesuatu secara kias. Ini dianggap
sebagai sebagai ciri kebijaksanaan. Sebaliknya, kemampuan memahami sindiran
dianggap pula sebagai ciri kearifan.
23 Kekeliruan yang terjadi dalam mengartikan pepatah disebabkan oleh
pendangkalan pemahaman. Hal tersebut juga dipicu jika hanya mengartikan
pepatah secara harfiah karena akan bertentangan dengan logika sendiri. Oleh
karena itu, baik masyarakat Minangkabau maupun masyarakat secara keseluruhan
di Indonesia harus mampu memahami petatah secara baik dan benar. Hal tersebut
bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk adat secara baik dan benar hingga dapat
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Hakimy, 1994:10--11).
Yustinah dan Iskak (2006:60) mengemukakan bahwa perumpamaan
merupakan peribahasa yang mengandung perbandingan. Ada dua perbandingan,
yaitu perbandingan tertutup dan terbuka. Perbandingan tertutup biasanya
didahului oleh kata-kata bagai, bak, umpama, dan seperti. Perumpamaan terbuka
tidak menggunakan kata-kata tersebut, misalnya habis manis sepah dibuang.
Ungkapan merupakan gabungan kata yang maknanya tidak dapat
diturunkan dari makna-makna kata yang membentuknya, seperti buah mulut,
jantung hati, dan mata hati. Sementara itu, menurut KBBI, bidal adalah
peribahasa yang mengandung nasihat, sindiran, dan peringatan, misalnya berkata
peliharalah lidah.
Menurut KBBI, tamsil atau ibarat adalah perumpamaan yang sudah ada
penjelasannya. Tamsil juga merupakan peribahasa yang berisi pengandaian untuk
menyindir atau menasehati dengan mengkritik, misalnya tua-tua keladi, makin tua
makin jadi. Di samping itu, pameo merupakan peribahasa yang dijadikan sebagai
semboyan pemberi semangat, misalnya gantungkan cita-citamu setinggi bintang
artinya ‘bersikap optimis dalam mencapai cita-cita itu’.
24 Jadi, peribahasa dapat berbentuk kata atau kelompok kata, kalimat atau
penggalan kalimat yang memiliki susunan yang baku dan berisi ungkapan dan
perumpamaan untuk mengiaskan maksud tertentu. Peribahasa mengandung ajaran
nasihat, sindiran, dan peringatan untuk menilai sikap dan perilaku seseorang
dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan peribahasa terinspirasi dari hal-hal yang
ada di sekitar masyarakat bersangkutan. Hal-hal tersebut sering ditemukan dan
mencerminkan aktivitas keseharian masyarakat.
1.7.4
Perspektif Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa adalah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen
yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bahasa itu sebuah sistem
lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan
manusiawi (Chaer, 1995:14-15).
Nababan (via Chaer, 1995:215) mengelompokkan definisi kebudayaan
atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur
dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal
yang diperoleh manusia melalui belajar; (3) definisi yang melihat kebudayaan
sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definisi yang melihat
kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk
memperoleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Keterkaitan antara bahasa dan budaya sangat erat. Bahasa berpengaruh
besar terhadap kebudayaan karena dapat menentukan wujud-wujud kebudayaan.
Dalam artian lain, budaya masyarakat dapat tercermin melalui bahasa. Hal ini
sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa
25 bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menetukan cara dan
jalan pikiran manusia, serta memengaruhi tingkah laku masyarakat tertentu. Di
samping itu, Franz Boas selaku pelopor linguistik deskriptif mengemukakan
bahwa di antara berbagai aspek budaya yang dikaji dan dipahami dalam
antropologi, bahasa merupakan aspek budaya sangat penting.
1.7.5
Studi Etnolinguistik
Himawan (2012:17) mengemukakan bahwa berdasarkan makna kata
pembentukannya, etnolinguistik berasal dari dua kata, yaitu etnos yang berarti
‘bangsa’ dan linguistics yang berarti ‘ilmu bahasa’. Etnolinguistik adalah studi
tentang bahasa pada suku bangsa tertentu yang belum mengenal tulisan.
Berdasarkan perkembangan zaman, studi etnolinguistik tidak hanya dilakukan
pada masyarakat dalam suku bangsa yang belum mengenal tulisan, tetapi juga
dilakukan pada suku bangsa yang sudah mengenal tulisan dengan memfokuskan
pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan tertentu.
Sare (2006:93) menjelaskan bahwa etnolinguistik berusaha mengkaji
bahasa bukan hanya dari strukturnya semata, tetapi lebih pada fungsi dan
pemakaiannya dalam kehidupan sosial budaya masyarakat sehari-hari. Hal-hal
yang secara khusus diamati biasanya adalah istilah-istilah dalam struktur dan
hubungan kekerabatan sebuah masyarakat, konsep warna, pola pengasuhan anak,
bahasa dalam upacara adat, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan
kebudayaan masyarakat. Semua istilah tersebut dianalisis dan dihubungkan
dengan gagasan, niali-nilai, dan pandangan hidup yang dimiliki masyarakat
tertentu (Lauder via Sare, 2006:18)
26 Cara
berbahasa
seseorang
memengaruhi
dan
dipengaruhi
oleh
kebudayaannya. Sutardi (2007:77) mengemukakan bahwa seluruh permasalahan
tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan termasuk dalam bidang
etnoliguistik, yakni bidang yang tumbuh dari etnologi ataupun linguistik
deskriptif, hampir menjadi kajian tersendiri. Etnolinguistik meliputi segala aspek
dari struktur dan penggunaan bahasa yang ada hubungannya dengan masyarakat,
kebudayaan, dan perilaku manusia. Sementara itu, Hymes (via Hartono 1964:4)
mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik, kita bisa menelusuri bagaimana
bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh kebudayaan, sosial, mental, dan
psikologis. Apa hakikat sebenarnya dari bentuk kata dan makna dari hubungan
keduanya.
1.8 Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian diperlukan metode-metode untuk membantu
kelancaran penelitian. Hal tersebut dimulai dari penyediaan data, pengumpulan
data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Objek penelitian ini adalah
penggunaan metafora. Penyediaan data dilakukan dengan cara mengambil data
tertulis berupa peribahasa. Bahan yang digunakan diambil dari kumpulan
peribahasa Minangkabau sebanyak 38 buah dan peribahasa Indonesia sebanyak 34
buah. Pengumpulan peribahasa dilakukan selama tiga minggu pada November.
Setelah itu, penjaringan data dilakukan dengan menggunakan teknik simak.
Teknik simak dilakukan melalui studi kepustakaan mengenai peribahasa
Minangkabau dan peribahasa Indonesia yang menggambarkan kepemimpinan.
27 Kepemimpinan dalam hal ini mencakup perihal pemimpin dan cara memimpin..
Keseluruhan peribahasa tersebut disimak, dikumpulkan, dan diseleksi sesuai topik
permasalahan, yaitu peribahasa yang menggambarkan perihal kepemimpinan.
Buku-buku yang dijadikan sebagai referensi data, yaitu buku-buku yang
membahas mengenai budaya lokal (Minangkabau) yang dikaitkan dengan budaya
nasional
(Indonesia).
Melalui
kumpulan
buku
tersebut,
dipilah
dan
dikelompokkan peribahasa yang dapat mengilustrasikan kepemimpinan. Hal
tersebut mencakup arti dan keberadaan pemimpin, syarat-syarat menjadi
pemimpin, tugas dan peranan pemimpin, dan sifat-sifat. Hal serupa juga dilakukan
pada peribahasa Indonesia. Buku-buku tersebut, yaitu Adat Minangkabau: Pola
dan Tujuan Hidup Orang Minang, Pegangan Penghulu di Minangkabau, Curaian
Adat Minangkabau, Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya, Tambo Alam
Minangkabau, 2700 Peribahasa Indonesia, Kamus 2000 Peribahasa Indonesia,
dan Peribahasa. Selain itu, teknik simak juga digunakan untuk menjaring data
berupa teks-teks berbahasa Minangkabau dan berbahasa Indonesia yang diuduh
melalui internet, baik yang berbentuk artikel maupun jurnal ilmiah. Teks-teks
tersebut disimak, dikumpulkan, dan diseleksi sesuai topik permasalahan.
Setelah data diperoleh dan dikumpulkan, data dianalisis dengan cara
mengklasifikasikannya berdasarkan ranah metafora yang digunakan. Metode yang
digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan. Analisis data tidak
hanya mengacu pada makna unsur-unsur yang ada dalam metafora (intralingual),
tetapi juga mengaitkan dengan makna, informasi, dan konteks tuturan yang ada di
luar bahasa (ekstralingual). Hal tersebut bertujuan untuk mengungkapkan
28 khazanah budaya lokal (Minangkabau) yang berkaitan dengan budaya nasional
(Indonesia) yang diilustrasikan melalui penggunaan metafora dalam peribahasa
Minangkabau dan peribahasa Indonesia. Kata-kata yang berpotensi sebagai
metafora tersebut akan diperbandingkan dengan sesuatu yang lain dengan melihat
kesamaan
komponen
makna
yang
melekat
kepada
kedua
hal
yang
diperbandingkan. Selanjunya, metode yang digunakan dalam penyajian analisis
data adalah metode informal, yaitu perumusan dengan menggunakan kata-kata
biasa.
1.9
Sistematika Penyajian
Sistematika penelitian ini terdiri atas tiga bab yang disusun sistematis
dari bab satu sampai bab tiga. Berikut adalah uraian sistematika penyajian
penelitian.
Bab 1 Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang masalah
yang mendasari topik penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang
lingkup penelitian, landasan teori yang digunakan, metode penelitian, dan
sistematika penyajian.
Bab II memuat analisis dan pembahasan mengenai bentuk-bentuk
metafora untuk mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau
dan peribahasa Indonesia
Bab III memuat analisis dan pembahasan mengenai ranah yang digunakan
untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau.
29 Bab IV memuat analisis dan pembahasan mengenai ranah yang digunakan
untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Indonesia.
Bab V memuat analisis mengenai konsep kepemimpinan yang ideal
menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan
penggunaan metafora.
Bab VI memuat penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Download