BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa daerah (Minangkabau) dan bahasa nasional (Indonesia) dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencerminkan masing-masing kebudayaan masyarakat yang saling berkaitan. Salah satu penggunaan bahasa ragam tulis yang dapat menggambarkan keterkaitan antara budaya lokal dengan budaya nasional tersebut adalah melalui penggunaan peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia yang dihubungkan dengan gagasan, nilai-nilai, dan pandangan hidup masyarakat. Peribahasa merupakan kata atau kalimat yang tetap susunannya dan mengiaskan maksud tertentu. Peribahasa berisi ungkapan, perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Selain itu, peribahasa berfungsi untuk mengontrol (direktif-prohibitif) suatu sikap atau perilaku dan untuk menilai suatu sikap atau perilaku tersebut. Peribahasa Minangkabau memiliki kekhasan tersendiri. Kekhasan tersebut terletak pada penggunaan rekonstruksi yang kompleks. Kekompleksitasan tersebut terlihat dari penggunaan kalimat majemuk yang memiliki anak kalimat yang tergolong banyak. Hal tersebut dipengaruhi oleh filosofi yang dianut masyarakat Minangkabau secara turun-temurun, yaitu alam takambang jadi guru ‘alam terkembang menjadi guru’. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber 1 2 pendidikan dalam hidup manusia berasal dari fenomena-fenomena alam semesta. Alam bisa dijadikan sebagai guru. Seseorang bisa belajar dan memperoleh pengetahuan dari alam. Seseorang dapat mempelajari sifat-sifat alam, baik benda hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) maupun benda mati. Dengan arti lain, segala sesuatu yang berkaitan dengan input bahasa dan menjadi pengaya khazanah kebudayaan bersumberkan dari alam (Oktavianus, 2013:130). Hakim (1994:2--3) mengemukakan bahwa ungkapan alam terkembang menjadi guru merupakan sumber adat Minangkabau. Sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, nenek moyang orang Minangkabau baru mampu mengetahui ketentuan alam nyata. Ketentuan alam yang dimaksudkan seumpamanya adalah daratan, laut, gunung, bukit, tumbuh-tumbuhan, bintang, matahari, api, air, dan lain sebagainya yang memiliki ketentuan sendiri, seperti lautan berombak, gunung berkabut, ayam berkokok, api membakar, air menyuburkan, dan murai berkicau. Filosofi alam takambang jadi guru ‘alam terkembang menjadi guru’ tersebut memengaruhi pandangan dan cara berpikir masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau memandang alam secara detail, misalnya mempelajari bagaimana sifat-sifat yang melekat pada sebatang pohon besar yang dapat memetaforakan sifat-sifat positif yang harus dimiliki seorang pemimpin. Mereka tidak hanya memandang pohon itu secara keseluruhan, tetapi juga mengamati bagian-bagian apa saja yang ada pada pohon tersebut. Bagian-bagian tersebut, yaitu akar, batang, dahan, ranting, daun, dan buah. 3 Sementara itu, peribahasa Indonesia juga disampaikan secara tidak langsung, tetapi penggunaan kalimatnya lebih sederhana dan singkat, yakni hanya terdiri dari satu baris atau dua baris. Meskipun peribahasa tersebut ada yang terdiri dari tiga sampai empat baris, itu sangat jarang digunakan dan ditemukan. Semua ajaran nasihat yang ada dalam peribahasa Indonesia juga berpedoman pada alam, tetapi alam dipandang secara universal. Hal tersebut terlihat ketika memetaforakan sifat-sifat pemimpin dengan pohon. Pohon dipandang secara keseluruhan tanpa mengamati dan tanpa menjabarkan bagian-bagian yang ada pada pohon. Meskipun hal tersebut ada, itu hanya sebagian kecil. Perbedaan rekonstruksi dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia dapat dikaitkan dengan tinjaun sejarah. Peribahasa Indonesia ada yang berasal dari ranah melayu yang masyarakatnya suka menyampaikan segala sesuatu dengan sindiran. Ranah melayu yang dimaksud dalam hal ini bisa melingkupi wilayah Minangkabau dan Riau. Akan tetapi, penggunaan peribahasa Indonesia bisa juga melingkupi semua etnis yang ada di Indonesia, yaitu dari Sabang--Merauke. Dengan arti lain, peribahasa Indonesia yang dapat mencerminkan budaya nasional memayungi peribahasa Minangkabau atau peribahasa dari etnis tertentu yang mencerminkan budaya lokal. Dalam hal ini, peribahasa-peribahasa yang ada pada etnis-etnis tertentu dikristalisasikan ke dalam peribahasa Indonesia yang dikemas secara sederhana dan padat. Di samping itu, ketentuan-ketentuan alam yang disusun menjadi peribahasa dapat menggambarkan berbagai bentuk dan corak kehidupan yang dinyatakan secara tidak langsung dan penuh perumpamaan. Hal itu tidak bisa 4 dijabarkan secara harfiah karena bisa saja bertentangan dengan logika. Jadi, hal itu harus mampu dipahami secara “tersurat” dan “tersirat” (Hakimy, 1994:11). Dalam hal ini, pemakaian metafora dapat membantu menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Pemakaian metafora juga berfungsi untuk memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat kepada kedua benda yang diperbandingkan. Kata-kata yang digunakan dalam peribahasa tersebut tidak hanya mengacu pada objek dan peristiwa, tetapi juga segala sesuatu yang bersifat simbolik dan metaforik. Pemakaian matafora dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan. Yang dimaksud dengan kepemimpinan dalam hal ini adalah perihal pemimpin dan cara memimpin. Jadi, kedua peribahasa ini tidak hanya menjelaskan bagaimana sosok pemimpin secara fisik, tetapi juga menjelaskan sifat-sifat dan peranan yang harus dimiliki seorang pemimpin terkait kepemimpinan. Jika berbicara mengenai sifat-sifat pemimpin, sifat-sifat mengenai pemimpin yang ada di Indonesia telah diuraikan banyak ahli ke dalam konsep yang bervariasi. Ada sifat-sifat pemimpin yang berlaku secara umum, tetapi ada juga yang berlaku pada wilayah tertentu. Sementara itu, sifat-sifat perihal kepemimpinan ada yang berpedoman pada negara barat dan adapula yang berpedoman pada masyarakat tertentu yang terdapat di Indonesia. Barnard (via Pamudji, 1993:76) mengatakan bahwa betapa sulit memerinci secara tuntas sifatsifat seorang pemimpin karena pada dasarnya hal tersebut bersifat kondisional. 5 Berdasarkan hal ini, dikaji sejauh mana pengaruh dan sumbangsih konsep kepemimpinan yang tercermin dalam etnis tertentu (Minangkabau) terhadap masyarakat nasional (Indonesia) seperti halnya konsep kepemimpinan di Indonesia yang berpedoman pada ajaran mengenai sifat-sifat kepemimpinan yang disebut dengan “Asta Brata”, yaitu delapan ajaran utama kepemimpinan dalam dunia pewayangan di Jawa. Dalam ajaran tersebut, sifat-sifat pemimpin dimetaforakan dengan sifat-sifat yang ada pada matahari, bintang, bulan, gunung, samudra, angin, air, dan api. Berikut diuraikan contoh perumpamaan sosok pemimpin dan sifat-sifat pemimpin dengan ayam jago. PM (3) Panghulu nan ibarek ayam gadang, bakotek hilia jo mudiak, bakukuak kiri jo kanan, mananggakkan tuah kamanangan, tiok ado kabaikan tumbuah Inyo nan pokok pangkanyo, bakotek indak batama, tinggi lonjak gadang sajo, gadang tungkai indak barisi, elok bungkuih pangabek kurang “Penghulu yang ibarat ayam jago, berkotek hilir dan mudik, berkokok kiri dan kanan, mengoarkan hakikat kemenangan, tetapi setiap ada kebaikan berpangkal padanya, berkotek tidak beraturan, tinggi lompatan besar saja, besar tungkai tidak berisi, bungkus bagus pengikat kurang’ (Hakimy, 1982:34--35) PI (12) Sebuah lesung seekor ayam jantannya. ‘Bagi tiap-tiap kaum ada seorang pemimpin yang akan memimpinnya’. (Http://prpm.dbp.gov.my/Search.aspx?k=pemimpin&d=11) Berdasarkan PM dan PI di atas, ayam jago digunakan sebagai ranah sumber dan sosok pemimpin digambarkan sebagai ranah target. Ayam jago merupakan sejenis ayam jantan yang berukuran besar, berbadan tinggi dan tegak, 6 memiliki jalu panjang (bagian yang keras dan runcing pada kaki ayam), berjengger lebih besar, berbulu ekor yang panjang menjuntai. Di samping itu, ayam jago sering dikenal sebagai ayam petarung karena keadaan fisik dan keatraktifannya. Oleh karena itu, pemimpin dimetaforakan dengan ayam jago karena mengacu pada sifat-sifat yang dimiliki ayam jago, yaitu memiliki kekuatan, keberanian, dan pengaruh yang kuat dibandingkan ayam yang lain. Dalam PI, metafora ayam jantan hanya mengilustrasikan sosok pemimpin secara fisik. Hal ini berbeda dengan PM. Dalam PM, metafora ayam jantan tidak hanya mengilustrasikan sosok pemimpin secara fisik, tetapi juga dikaitkan dengan sifat-sifat yang melekat pada ayam jago seperti penjelasan di atas. Sifa-sifat tersebut memetaforakan sifat-sifat yang ada pada seorang pemimpin. Hal ini dijelaskan pada bagian anak-anak kalimat dalam PM. Jadi, penggunaan metafora dalam PM dipandang sebagai kesatuan yang utuh antara kalimat majemuk dengan anak-anak kalimat yang tergolong banyak. Bagian-bagian tersebut awalnya disegmentasikan, kemudian disatukan sehingga berbentuk wacana. Sementara itu, ungkapan ayam jago dalam PI mengandung makna positif dan dalam PM bermakna negatif. Dalam PI, pemimpin itu diibaratkan dengan ayam jago karena mempunyai kekuatan dan keberanian, misalnya di Makassar dikenal seorang pahlawan nasional Indonesia yang bernama Sultan Hasanuddin. Sultan Hasanuddin diberi gelar ayam jantan dari timur karena kegigihan dan keberaniannya melawan Kolonial Belanda. Hal ini mewakili konsep pemikiran dan pandangan masyarakat secara nasional. Beda halnya dengan pandangan masyarakat lokal (Minangkabau), ungkapan ayam jago dan semua sifat yang 7 melekat pada ayam tersebut dipandang bermakna negatif. Dalam PM dijelaskan bahwa sifat-sifat yang melekat pada ayam jago menggambarkan sifat seorang pemimpin yang patut dijauhi. Hal tersebut dijelaskan secara tersirat dan tersurat pada bagian anak kalimat dalam PM. Pembahasan mendalam mengenai hal ini akan dijelaskan pada bab berikutnya. Berdasarkan penjelasan di atas, bahasa dapat memengaruhi cara berpikir antara masyarakat lokal (Minangkabau) dengan masyarakat nasional (Indonesia) yang dikaitkan dengan nilai-nilai dan gagasan dalam memandang suatu konsep. Hal ini tentu berkaitan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Dalam hipotesis SapirWhorf (via Chaer, 1995:219) disebutkan bahwa bahasa menjadi penentu cara berpikir individu-individu suatu masyarakat sehingga mereka mampu berkomunikasi dalam kehidupan sosial. Hipotesis tersebut juga menjelaskan bahwa keterkaitan antara bahasa dan budaya sangat erat. Bahasa berpengaruh besar terhadap kebudayaan karena dapat menentukan wujud-wujud kebudayaan. Dalam arti lain, budaya masyarakat dapat tercermin melalui bahasa. Sementara itu, bahasa merupakan sesuatu yang diwariskan secara kultural. Berdasarkan semua deskripsi di atas, topik Metafora Kepemimpinan dalam Peribahasa Minangkabau dan Peribahasa Indonesia menarik bagi penulis karena beberapa faktor, yaitu (1) penggunaan metafora dalam peribahasa Minangkabau memiliki karakteristik dan keunikan sendiri karena berkaitan dengan filosofi masyarakat Minangkabau, yaitu alam takambang jadi guru ‘alam terkembang menjadi guru’, (2) sepengetahuan penulis, masih sedikit penelitian mengenai peribahasa Minangkabau yang dihubungan dengan kajian budaya 8 Minangkabau, (3) sepengetahuan penulis, belum ada penelitian yang membandingkan ranah metafora yang digunakan dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia yang dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, rumusan masalahnya adalah sebagai berikut. 1. Bentuk-bentuk metafora apa saja yang digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia? 2. Ranah apa saja yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau? 3. Ranah apa saja yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Indonesia? 4. Bagaimana konsep kepemimpinan yang ideal menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan penggunaan metafora? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu: 9 1. mendeskripsikan bentuk-bentuk metafora yang digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia; 2. mendeskripsikan ranah yang dipakai untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau; 3. mendeskripsikan ranah yang dipakai untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Indonesia; 4. mengungkapkan dan mengemukakan konsep kepemimpinan yang ideal menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan penggunaan metafora. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini mencakup dua hal, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memberi sumbangan bagi perkembangan disiplin ilmu etnolinguistik yang merupakan kombinasi antara ilmu bahasa dengan antropologi budaya yang dikaitkan dengan bahasa dan budaya pada suku bangsa tertentu . Selain itu, penelitian ini juga diharapkan untuk melengkapi kajian semantik melalui penggunaan metafora. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan rasa bangga berbahasa dan berbudaya lokal dan berbudaya nasional. Di samping itu, penelitian ini juga digunakan sebagai media untuk mengenalkan kepada khalayak umum mengenai khazanah budaya lokal (Minangkabau) dan budaya Indonesia (nasional) yang saling berkaitan. Kedua hal 10 tersebut diilustrasikan melalui peribahasa yang berbentuk ungkapan dan perumpamaan. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi dan difokuskan pada konsep pemimpin dan segala hal yang berhubungan dengan kepemimpinan. Hal tersebut diilustrasikan melalui penggunaan metafora dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia. Peribahasa dapat berbentuk ungkapan, pepatah, perumpamaan, bidal, pameo, dan ibarat atau tamsil. Berhubungan cakupan peribahasa luas, penggunaan pepatah, ungkapan, dan perumpamaan difokuskan dalam hal ini. Sementara itu, dalam masyarakat Minangkabau penghulu dipilih sebagai pemimpin tertinggi yang mengatur segala urusan yang berhubungan dengan adat. Hal itu disebabkan bentuk kepemimpinan di Minangkabau juga beranekaragam, seperti malin (penghulu dalam bidang keagamaan), manti (penghulu dalam urusan muamalat dan aktifitas keseharian, dan dubalang (penghulu dalam urusan pertahanan, keamanan, dan pengawasan). Sementara itu, pemimpin yang dimaksud dalam peribahasa Indonesia adalah pemimpin secara umum karena di dalam peribahasa tersebut tidak ada penjelasan mengenai jenis-jenis pemimpin secara spesifik. Selanjutnya, konsep pemimpin dan kepemimpinan yang ada dalam peribahasa Minangkabau dan Indonesia yang diilustrasikan melalui metafora dikaitkan dengan konteks sosial dan budaya. Penggunaan metafora dalam kedua 11 hal tersebut tidak hanya menjelaskan bagaimana sosok pemimpin, tetapi juga menjelaskan hal-hal lain yang terkait di dalamnya. Hal tesebut meliputi beberapa hal, yaitu arti dan keberadaan penghulu, syarat-syarat menjadi penghulu, tugas dan peranan penghulu, dan sifat-sifat penghulu ketika memimpin. Kumpulan peribahasa Minangkabau berupa teks tulisan diambil dari bukubuku terbitan berbahasa Minangkabau yang menjelaskan budaya lokal (Minangkabau). Sementara itu, kumpulan peribahasa Indonesia diambil dari bukubuku berbahasa Indonesia yang menjelaskan budaya nasional (Indonesia). Analisis yang dilakukan dalam hal ini meliputi deskripsi bentuk-bentuk metafora yang digunakan untuk mengilustrasikan kepemimpinan, ranah yang dipakai untuk memetaforakan kepemimpinan serta mengemukakan konsep kepemimpinan ideal menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan penggunaan metafora. Pada bagian ini dijelaskan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki dan dijauhi oleh pemimpin. 1.6 Tinjauan Pustaka Penelitian terkait penggunaan metafora dalam pepatah adat di Minangkabau dari sudut pandang etnolinguistik belum banyak ditemui. Adapun penelitian terkait dengan tulisan ini dideskripsikan dalam uraian di bawah ini. Widya (2010) dalam tesisnya yang berjudul “Analisis Metaforis PetatahPetitih Berbahasa Minangkabau tentang Konsep Kepenghuluan (Studi Tentang Kearifan Budaya)” mengkaji sifat-sifat kepenghuluan ideal di Minangkabau melalui Petatah-petitih. Petatah-petitih tersebut dikelompokkan berdasarkan 12 komponen pembentuk makna kearifan budaya Minangkabau tentang kepenghuluan. Berdasarkan kajian tersebut, konsep tentang sifat kepenghuluan ideal di Minangkabau dimetaforakan dengan mengambil perumpamaan dari gejala-gejala alam. Salah satunya adalah sifat-sifat kepenghuluan ideal yang diumpamakan dengan bagian-bagian pohon beringin. Sifat-sifat penghulu yang tercermin dalam pepatah tersebut dikaitkan dengan sifat-sifat penghulu yang tercermin dalam bahasa ragam umum (bahasa percakapan sehari-hari), baik berbentuk lisan maupun tulisan. Selain itu, ditemukan alur pikir metaforis mengapa media tersebut digunakan. Kecermatan dan kecerdasan pencipta petatah dalam memperhatikan dan memilih sifat-sifat positif bagian-bagian pohon beringin mengawali pembentukan metafora dalam kognisi. Sifat-sifat tersebut kemudian ditransfer pada sifat-sifat kepenghuluan ideal. Perbedaan kajian ini dengan kajian Metafora Pemimpin dalam Peribahasa Minangkabau dan Indonesia mencakup beberapa hal, yaitu (1) penggunaan metafora pemimpin tidak hanya dikaji dari sudut pandang peribahasa Minangkabau, tetapi juga dikaitkan dengan peribahasa Indonesia dengan melihat konteks sosial dan budaya, (2) ranah yang digunakan untuk memetaforakan pemimpin lebih variatif, (2) arti dan keberadaan pemimpin, sifat-sifat pemimpin, tugas dan peranan pemimpin, serta syarat-syarat menjadi pemimpin yang tercermin dalam satu ranah metafora juga dibandingkan dengan penggunaan ranah lain, (3) konsep kepemimpinan yang ideal tidak hanya memaparkan sifat-sifat 13 yang harus dimiliki seorang pemimpin, tetapi juga mencakupi sifat-sifat yang harus dijauhi. Ningsi, dkk (2013) dalam Jurnal Bahasa dan Seni yang berjudul “Metafora dalam Pasambahan Maanta Marapaulai di Nagari Tanjung Kecamatan Koto VII Kabupaten Sijunjung” mengkaji bentuk, makna, dan konteks penggunaan metafora dalam tradisi lisan pasambahan ‘persembahan’ dalam acara perkawinan. Berdasarkan penelitian tersebut, ditemukan berbagai jenis penggunaan metafora, yaitu metafora antropomorfis, metafora binatang, metafora dari konkret ke abstrak, dan metafora sinaestetik. Selain itu, makna metafora dalam pasambahan tersebut menjelaskan keterkaitan antara makna dasar (literal meaning) dan makna dari informan. Makna dasar dari suatu kata merujuk pada suatu wujud yang konkret (keberadaan secara fisik di dunia). Sementara itu, terdapat dua konteks dalam penggunaan metafora dalam pasambahan perkawinan, yaitu konteks situasi dan konteks budaya. Himawan (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Lelakaq dalam Budaya Sasak: Analisis Etnoliguistik” mengemukakan aspek kearifan lokal yang tersebar dalam kehidupan masyarakat Sasak melalui lelakaq (pantun). Lelakaq memiliki ciri khas kebahasaan dan unsur-unsur tanda atau lambang tertentu yang sesuai dengan latar budaya masyarakat Sasak. Lelakaq mengandung pesan moral berupa nilai agama, niali sosial, nilai budaya, serta nila kearifan lainnya. Melalui hal tersebut, Himawan mendeskripsikan karakteristik lelakaq sebagai wacana dan sistem kognisi masyarakat Sasak yang tercermin di dalamnya. Hal tersebut dikaitkan dengan pengunaan metafora yang terdapat dalam lelakaq. 14 Noverita (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Gelar-Gelar Penghulu di Minangkabau (Kajian Semantik)” mengemukakan tiga hal, yaitu bentuk satuan lingual gelar-gelar penghulu di Minangkabau, kajian semantis gelar-gelar penghulu di Minangkabau, dan komponen makna gelar-gelar penghulu di Minangkabau. Pada bagian penghulu dan kepenghuluan di Minangkabau dari perspektif budaya, Noverita menjelaskan bagaimana konsep kepenghuluan penghulu di Minangkabau dan bagaimana sosok penghulu di Minangkabau. Oktavianus dan Revita (2013) dalam bukunya yang berjudul Kesantunan dalam Bahasa Minangkabau juga mengemukakan tentang penggunaan metafora dalam pidato adat di Minangkabau pada salah satu tulisannya. Pada bagian tersebut dijelaskan bahwa ciri khas bahasa Minangkabau ragam adat terletak pada penggunaan metafora. Hal ini terjadi karena masyarakat Minangkabau menganut filosofi alam terkembang menjadi guru Berdasarkan semua penelitian di atas, pembahasan mengenai metafora pemimpin dalam peribahasa Minangkabau yang dikaitkan dengan peribahasa Indonesia belum dilakukan. Walaupun ada, penelitian tersebut terfokus pada analisis makna metaforis dalam pepatah Minangkabau mengenai konsep kepemimpinan yang ditinjau dari penggunaan satu ranah metafora, yaitu ranah tumbuhan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini ranah yang digunakan untuk memetafora penghulu (pemimpin) tidak hanya bersumber dari satu ranah, tetapi juga dilihat dari penggunaan ranah lain. 15 1.7 Landasan Teori 1.7.1 Metafora Menurut Oktavianus dan Revita (2013:127), metafora adalah memperbandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat kepada kedua benda yang diperbandingkan. Metafora sebagai bentuk kreatif makna dalam bahasa berkaitan dengan tuturan manusia. Sementara itu, menurut Wahab (1991:65) metafora adalah ungkapan kebahasaan yang tidak dapat diartikan secara langsung dari lambang yang dipakai, melainkan dari prediksi yang dapat dipakai baik oleh lambang maupun oleh makna yang dimaksud dalam ungkapan kebahasaan tersebut, Metafora tidak hanya menyangkut masalah bahasa, tetapi juga berhubungan dengan kebudayaan dan cara berfikir manusia atau pandangan pribadi dari anggota suatu kelompok masyarakat. Masalah yang paling mendasar dalam sebuah metafora dititikberatkan pada hubungan antara kata dan makna kata di satu pihak dan makna yang sesungguhnya yang dimaksudkan oleh si pembicara atau yang disebut sebagai makna metaforis (Herlina Ningsi, dkk, 2013:4--5). Ullmann (2007:267--270) membagi metafora menjadi empat bentuk. Pertama, metafora antropomorfis adalah metafora yang membandingkan namanama organ tubuh manusia dengan benda-benda tidak bernyawa, misalnya dalam bahasa Indonesia ditemukan frase kaki meja dan kaki gunung. Kedua, metafora binatang adalah metafora yang yang sumber imajinasinya adalah binatang. Dalam bahasa Indonesia ada lidah buaya, kumis kucing, jambu monyet, kuping gajah, dan cocor bebek. Ketiga, metafora dari konkret ke abstrak adalah metafora yang 16 mengalihkan ungkapan-ungkapan yang abstrak menjadi bentuk konkret. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata sinar yang bermakna konkret, kemudian dialihkan maknanya menjadi abstrak, seperti sinar mata, sinar wajah, hidupnya sedang bersinar, dan lain-lain. Keempat, metafora sinaestetik adalah metafora yang didasarkan pada transfer dari satu indra ke indra yang lain, dari indra pendengaran ke indra penglihatan, dan dari indra sentuhan ke indra bunyi. Haley (1980:139--154) dan Lunsford (1980:159) membagi metafora ke dalam sembilan jenis berdasarkan medan maknanya, yaitu: a. Metafora ke-ada-an (being), yaitu metafora yang meliputi hal-hal yang abstrak, seperti kebenaran dan kasih. b. Metafora kosmos (cosmos), yaitu metafora yang meliputi benda-benda kosmos, misalnya matahari, bintang, dan bulan. c. Metafora tenaga (energy), yaitu metafora yang berkaitan dengan segala sesuatu yang memiliki kekuatan, misalnya angin, cahaya, api, dan air dengan prediksi dapat bergerak. d. Metafora substansi (substance), yaitu metafora yang meliputi macam-macam gas dengan prediksinya dapat memberi kelembatan, bau, dan tekanan. e. Metafora permukaan bumi (terrestrial) adalah metafora yang meliputi hal-hal yang terikat atau terbentang di permukaan gravitasi bumi, misalnya sungai, laut, dan gunung. f. Metafora benda mati (object) adalah metafora yang meliputi benda-benda yang tidak bernyawa, misalnya meja, buku, kursi, dan gelas. 17 g. Metafora tumbuhan (living), yaitu metafora yang berhubungan dengan seluruh jenis tumbuh-tumbuhan (flora), seperti pohon, sagu, dan padi. h. Metafora binatang (animate) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk organisme yang dapat berjalan, berlari, terbang dan sebagainya, misalnya kuda, kucing, dan burung. i. Metafora manusia (human) adalah metafora yang berhubungan dengan makhluk yang mempunyai akal yang dapat berfikir dan berbicara (melalukan aktivitas). Di samping itu, Lindawati (2006:101--120) menjelaskan bagaimana alam dalam persepsi manusia masyarakat Minangkabau ke dalam aneka konsep bentuk, ukuran, dan takaran dalam bahasa Minangkabau. Ketika manusia melakukan kontak dengan alam sekitar, manusia akan mengidentifikasi segala sesuatu yang ada di dalamnya. Identifikasi tersebut dapat dilakukan berdasarkan bentuk fisik dan non fisik. Setelah benda-benda tersebut diamati, orang Minangkabau mengidentifikasikan alam sekitarnya berdasarkan kuantitas dan kualitas. Hal-hal yang teridentifikasi mencakup empat bentuk. Pertama, identitas manusia. Identitas manusia mencakup bentuk fisik dan non fisik. Kedua, identitas binatang. Identitas binatang bisa dinyatakan melalui fisik dan sifat. Ketiga, tumbuhan. Hal ini menyangkut dengan seluruh jenis-jenis tumbuhan. Keempat, identitas benda alam. Identifikasi benda alam yang dimaksud di sini adalah benda-benda yang dekat dengan manusia dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Bendabenda tersebut dapat berbentuk benda cair (air), benda padat (batu), dan benda gas (asap). 18 Jadi, metafora merupakan pemakaian kata atau sekelompok kata yang tidak mengadung makna yang sebenarnya dengan cara membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat pada kedua hal yang dibandingkan tersebut. Metafora tidak hanya berbentuk kata, tetapi juga bisa melingkupi tataran frase, kalimat, dan wacana. Dalam hal ini, terdapat keterkaitan antara kata dengan kata, kata dengan frase, frase dan kalimat sehingga menjadi kesatuan yang utuh berbentuk wacana. Ranah metafora yang digunakan dapat bersumber dari alam, yaitu makhluk hidup dan benda mati. 1.7.2 Definisi Kepemimpinan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepemimpinan merupakan perihal pemimpin dan cara memimpin. Kepemimpinan sudah melingkupi semua hal yang berhubungan dengan pemimpin, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Rivai, dkk. (2013:2--3) dalam bukunya yang berjudul Pemimpin dan Kepemimpinan dalam Organisasi memberi pandangan mengenai pengertian pemimpin dan kepemimpinan sebagai berikut: Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya kecakapan/kelebihan di satu bidang sehingga dia mampu memengaruhi orang-orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa tujuan. Kepemimpinan adalah suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk memengaruhi aktivitas para anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisisi. (Rivai, dkk 2013:2--3) 19 Dilihat dari sisi bahasa Indonesia, pemimpin sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja-raja, dan tua-tua. Di samping itu, pemimpin di Minangkabu dikenal juga dengan pangulu ‘penghulu’. Tiap suku dikepalai oleh seorang penghulu suku. Amir (1997:67) mengemukakan bahwa pangulu berasal dari kata hulu yang berarti ‘kepala, pangkal, asal-usul’. Maksud kepala dalam hal ini adalah pemimpin kaum. Hal ini juga dikaitkan dengan istilah kalang hulu yang berarti ‘penggalang atau pengganjal kepala atau bantal’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penghulu memiliki beberapa arti, yaitu: (1) kepala; tua: (2) kepala adat; (3) kepala urusan agama islam di kabupaten atau kota madya; (4) penasihat urusan agama islam di pengadilan negeri; kadi. Jadi, penghulu di Minangkabau berarti orang yang memegang tampuk tangkai dan menjadi pengendali, pengarah, pengawas, dan pelindung terhadap anak kemenakan, serta tempat keluarnya sebuah aturan dan keputusan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan anak kemenakan yang dipimpin (Amir, 1997:67). Dalam masyarakat adat Minangkabau, penghulu merupakan sebutan kepada ninik mamak pemangku adat yang bergelar datuk. Penghulu bertanggung jawab dan berkewajiban memelihara anggota kaum, suku, dan wilayahnya. Di samping itu, penghulu juga bertanggung jawab terhadap permasalahan yang terdapat dalam masyarakat (Ibrahim, 2014:177). Dalam keseharian, penghulu dipanggil dengan gelar datuak ‘datuk’. Gelar datuak ini merupakan gelar pusaka secara turun temurun dari nenek moyang suku bersangkutan. Walaupun penghulu merupakan gelar yang diterima secara turun temurun oleh seorang laik-laki yang 20 bertali darah (menurut keturunan ibu) dalam gelar pusaka yang bersangkutan, seorang penghulu tetap diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya (Widya, 2010:15). 1.7.3 Konsep Peribahasa Danandjaya (via Mursini, 2010:2) mengemukakan bahwa salah satu bentuk folklor lisan adalah ungkapan tradisional yang berupa peribahasa, pepatah, dan pameo. Menurut KBBI, peribahasa memiliki dua pengertian, yaitu (1) kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya, biasanya mengiaskan maksud tertentu (termasuk juga bidal, ungkapan, dan perumpamaan, (2) ungkapan atau kalimat ringkas, padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku. Badudu (1983:1--3) mengemukakan bahwa peribahasa merupakan semua bentuk yang mengandung arti kiasan, termasuk ungkapan berupa kata/frase, perumpamaan, ibarat/tamsil, petatah dan petitih. Surdayat (2008:89) juga mengemukakan bahwa peribahasa adalah salah satu bentuk idiom berupa kalimat yang susunannya tetap dan menunjukkan perlambang kehidupan. Hal tersebut meliputi pepatah, perumpamaan dan pameo. Di samping itu, Arimi (200:24) dalam laporan penelitiannya yang berjudul “Pikiran-Pikiran Kolektif dalam Peribahasa Indonesia” mengemukakan bahwa peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat (yang memiliki verba atau kata yang difungsikan sebagai verba, memiliki susunan yang tetap (membeku), tidak bermakna leksikal (harfiah atau kata per kata), melainkan mengandung makna kias (metaforis), dan penggunaannya dimaksudkan untuk mengontrol atau menilai 21 sikap dan perilaku seseorang atau kelompok tertentu. Dalam laporan penelitian tersebut juga diuraikan bahwa peribahasa mencakup empat kekuatan penting, yaitu: (1) secara kognitif peribahasa sebagai penguat tulisan atau percakapan, (2) secara afektif dan psikomotorik peribahasa sebagai alat nasihat (adivice instrument), (3) secara statis konvensional peribahasa sebagai sumber kebenaran umum dalam bersikap dan berperilaku dalam sebuah masyarakat bahasa, (4) secara dinamik peribahasa sebagai hipogram dalam menciptakan bentuk transformasi baru plesetan untuk memunculkan efek humor bagi masyarakat. Peribahasa berfungsi untuk menyatakan pikiran. Fungsi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk mengontrol (direktif-prohibitif) suatu sikap atau perilaku dan untuk menilai suatu sikap atau perilaku tersebut. Di sisi lain, Yustinah dan Iskak (2006:60) memandang peribahasa sebagai sebuah istilah umum berbentuk frasa atau kalimat yang susunannya tetap dan biasanya mengungkapkan maksud tertentu. Dalam hal ini, peribahasa mencakup ungkapan, pameo, tamsil atau ibara bidal, perumpamaan, dan pepatah. Djamaris (1984:21) mengemukakan bahwa peribahasa bersifat universal, berlaku untuk semua orang dan segala zaman; peribahasa dapat ditafsirkan sesuai suasana dan situasi peribahasa itu digunakan; peribahasa itu mempunyai arti kiasan; peribahasa itu merupakan perumpamaan yang tepat, halus, dan jelas; peribahasa adalah mutiara bahasa, mestika bahasa, bunga bahasa, dan keindahan bahasa; dan peribahasa itu dapat digunakan sebagai nasihat, sindiran-sindiran, dan digunakan sebagai bahasa diplomasi. 22 Berdasarkan semua pengertian peribahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa peribahasa dapat meliputi pepatah, perumpamaan, ungkapan, bidal, tamsil atau ibarat, dan pameo. Berikut penjelasan semua hal tersebut, tetapi kajian lebih difokuskan pada peribahasa berbentuk pepatah, perumpamaan, dan ungkapan. Menurut KBBI, pepatah merupakan peribahasa yang mengandung nasehat dan ajaran dari orang tua (biasanya dipakai atau diucapkan untuk mematahkan lawan bicara). Pepatah berkaitan dengan adat istiadat, undang-undang, dan peraturan masyarakat, contohnya hancur badan dikandung tanah, budi baik dikenang jua artinya ‘budi baik seseorang itu jangan dilupakan’. Pepatah lain menyatakan manusia tahan kias, binatang tahan palu. Pepatah tersebut menggambarkan aspek kehidupan masyarakat. Perasaan yang peka dan rasa bahasa yang tinggi sangat dibutuhkan untuk menyampaikan, memahami, dan menerima pepatah tersebut. Menurut Bakar (1981:6), kata pepatah berasal dari kata “patah” yang setelah melalui proses reduplikasi sehingga menjadi “pepatah”. Pepatah digunakan untuk mematahkan pembicaraan orang lain secara halus dan berbentuk sindiran. Pepatah termasuk salah satu bentuk tamsilan atau sindiran. Pepatah menjadi dasar hukum masyarakat dalam bertingkah laku yang mencakup segala aspek kehidupan manusia, seperti politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Kelahiran pepatah disebabkan oleh kecenderungan watak masyarakat Minangkabau yang lebih banyak menyampaikan sesuatu secara kias. Ini dianggap sebagai sebagai ciri kebijaksanaan. Sebaliknya, kemampuan memahami sindiran dianggap pula sebagai ciri kearifan. 23 Kekeliruan yang terjadi dalam mengartikan pepatah disebabkan oleh pendangkalan pemahaman. Hal tersebut juga dipicu jika hanya mengartikan pepatah secara harfiah karena akan bertentangan dengan logika sendiri. Oleh karena itu, baik masyarakat Minangkabau maupun masyarakat secara keseluruhan di Indonesia harus mampu memahami petatah secara baik dan benar. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui seluk-beluk adat secara baik dan benar hingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Hakimy, 1994:10--11). Yustinah dan Iskak (2006:60) mengemukakan bahwa perumpamaan merupakan peribahasa yang mengandung perbandingan. Ada dua perbandingan, yaitu perbandingan tertutup dan terbuka. Perbandingan tertutup biasanya didahului oleh kata-kata bagai, bak, umpama, dan seperti. Perumpamaan terbuka tidak menggunakan kata-kata tersebut, misalnya habis manis sepah dibuang. Ungkapan merupakan gabungan kata yang maknanya tidak dapat diturunkan dari makna-makna kata yang membentuknya, seperti buah mulut, jantung hati, dan mata hati. Sementara itu, menurut KBBI, bidal adalah peribahasa yang mengandung nasihat, sindiran, dan peringatan, misalnya berkata peliharalah lidah. Menurut KBBI, tamsil atau ibarat adalah perumpamaan yang sudah ada penjelasannya. Tamsil juga merupakan peribahasa yang berisi pengandaian untuk menyindir atau menasehati dengan mengkritik, misalnya tua-tua keladi, makin tua makin jadi. Di samping itu, pameo merupakan peribahasa yang dijadikan sebagai semboyan pemberi semangat, misalnya gantungkan cita-citamu setinggi bintang artinya ‘bersikap optimis dalam mencapai cita-cita itu’. 24 Jadi, peribahasa dapat berbentuk kata atau kelompok kata, kalimat atau penggalan kalimat yang memiliki susunan yang baku dan berisi ungkapan dan perumpamaan untuk mengiaskan maksud tertentu. Peribahasa mengandung ajaran nasihat, sindiran, dan peringatan untuk menilai sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan peribahasa terinspirasi dari hal-hal yang ada di sekitar masyarakat bersangkutan. Hal-hal tersebut sering ditemukan dan mencerminkan aktivitas keseharian masyarakat. 1.7.4 Perspektif Bahasa dan Kebudayaan Bahasa adalah sistem, artinya, bahasa dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat dikaidahkan. Bahasa itu sebuah sistem lambang, berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Chaer, 1995:14-15). Nababan (via Chaer, 1995:215) mengelompokkan definisi kebudayaan atas empat golongan, yaitu (1) definisi yang melihat kebudayaan sebagai pengatur dan pengikat masyarakat; (2) definisi yang melihat kebudayaan sebagai hal-hal yang diperoleh manusia melalui belajar; (3) definisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia; dan (4) definisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerja sama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia. Keterkaitan antara bahasa dan budaya sangat erat. Bahasa berpengaruh besar terhadap kebudayaan karena dapat menentukan wujud-wujud kebudayaan. Dalam artian lain, budaya masyarakat dapat tercermin melalui bahasa. Hal ini sejalan dengan hipotesis Sapir-Whorf. Di dalam hipotesis itu dikemukakan bahwa 25 bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menetukan cara dan jalan pikiran manusia, serta memengaruhi tingkah laku masyarakat tertentu. Di samping itu, Franz Boas selaku pelopor linguistik deskriptif mengemukakan bahwa di antara berbagai aspek budaya yang dikaji dan dipahami dalam antropologi, bahasa merupakan aspek budaya sangat penting. 1.7.5 Studi Etnolinguistik Himawan (2012:17) mengemukakan bahwa berdasarkan makna kata pembentukannya, etnolinguistik berasal dari dua kata, yaitu etnos yang berarti ‘bangsa’ dan linguistics yang berarti ‘ilmu bahasa’. Etnolinguistik adalah studi tentang bahasa pada suku bangsa tertentu yang belum mengenal tulisan. Berdasarkan perkembangan zaman, studi etnolinguistik tidak hanya dilakukan pada masyarakat dalam suku bangsa yang belum mengenal tulisan, tetapi juga dilakukan pada suku bangsa yang sudah mengenal tulisan dengan memfokuskan pada hubungan antara bahasa dengan kebudayaan tertentu. Sare (2006:93) menjelaskan bahwa etnolinguistik berusaha mengkaji bahasa bukan hanya dari strukturnya semata, tetapi lebih pada fungsi dan pemakaiannya dalam kehidupan sosial budaya masyarakat sehari-hari. Hal-hal yang secara khusus diamati biasanya adalah istilah-istilah dalam struktur dan hubungan kekerabatan sebuah masyarakat, konsep warna, pola pengasuhan anak, bahasa dalam upacara adat, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kebudayaan masyarakat. Semua istilah tersebut dianalisis dan dihubungkan dengan gagasan, niali-nilai, dan pandangan hidup yang dimiliki masyarakat tertentu (Lauder via Sare, 2006:18) 26 Cara berbahasa seseorang memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaannya. Sutardi (2007:77) mengemukakan bahwa seluruh permasalahan tentang hubungan antara bahasa dan kebudayaan termasuk dalam bidang etnoliguistik, yakni bidang yang tumbuh dari etnologi ataupun linguistik deskriptif, hampir menjadi kajian tersendiri. Etnolinguistik meliputi segala aspek dari struktur dan penggunaan bahasa yang ada hubungannya dengan masyarakat, kebudayaan, dan perilaku manusia. Sementara itu, Hymes (via Hartono 1964:4) mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik, kita bisa menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh kebudayaan, sosial, mental, dan psikologis. Apa hakikat sebenarnya dari bentuk kata dan makna dari hubungan keduanya. 1.8 Metode Penelitian Dalam melakukan penelitian diperlukan metode-metode untuk membantu kelancaran penelitian. Hal tersebut dimulai dari penyediaan data, pengumpulan data, analisis data, dan penyajian hasil analisis. Objek penelitian ini adalah penggunaan metafora. Penyediaan data dilakukan dengan cara mengambil data tertulis berupa peribahasa. Bahan yang digunakan diambil dari kumpulan peribahasa Minangkabau sebanyak 38 buah dan peribahasa Indonesia sebanyak 34 buah. Pengumpulan peribahasa dilakukan selama tiga minggu pada November. Setelah itu, penjaringan data dilakukan dengan menggunakan teknik simak. Teknik simak dilakukan melalui studi kepustakaan mengenai peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia yang menggambarkan kepemimpinan. 27 Kepemimpinan dalam hal ini mencakup perihal pemimpin dan cara memimpin.. Keseluruhan peribahasa tersebut disimak, dikumpulkan, dan diseleksi sesuai topik permasalahan, yaitu peribahasa yang menggambarkan perihal kepemimpinan. Buku-buku yang dijadikan sebagai referensi data, yaitu buku-buku yang membahas mengenai budaya lokal (Minangkabau) yang dikaitkan dengan budaya nasional (Indonesia). Melalui kumpulan buku tersebut, dipilah dan dikelompokkan peribahasa yang dapat mengilustrasikan kepemimpinan. Hal tersebut mencakup arti dan keberadaan pemimpin, syarat-syarat menjadi pemimpin, tugas dan peranan pemimpin, dan sifat-sifat. Hal serupa juga dilakukan pada peribahasa Indonesia. Buku-buku tersebut, yaitu Adat Minangkabau: Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, Pegangan Penghulu di Minangkabau, Curaian Adat Minangkabau, Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya, Tambo Alam Minangkabau, 2700 Peribahasa Indonesia, Kamus 2000 Peribahasa Indonesia, dan Peribahasa. Selain itu, teknik simak juga digunakan untuk menjaring data berupa teks-teks berbahasa Minangkabau dan berbahasa Indonesia yang diuduh melalui internet, baik yang berbentuk artikel maupun jurnal ilmiah. Teks-teks tersebut disimak, dikumpulkan, dan diseleksi sesuai topik permasalahan. Setelah data diperoleh dan dikumpulkan, data dianalisis dengan cara mengklasifikasikannya berdasarkan ranah metafora yang digunakan. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah metode padan. Analisis data tidak hanya mengacu pada makna unsur-unsur yang ada dalam metafora (intralingual), tetapi juga mengaitkan dengan makna, informasi, dan konteks tuturan yang ada di luar bahasa (ekstralingual). Hal tersebut bertujuan untuk mengungkapkan 28 khazanah budaya lokal (Minangkabau) yang berkaitan dengan budaya nasional (Indonesia) yang diilustrasikan melalui penggunaan metafora dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia. Kata-kata yang berpotensi sebagai metafora tersebut akan diperbandingkan dengan sesuatu yang lain dengan melihat kesamaan komponen makna yang melekat kepada kedua hal yang diperbandingkan. Selanjunya, metode yang digunakan dalam penyajian analisis data adalah metode informal, yaitu perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa. 1.9 Sistematika Penyajian Sistematika penelitian ini terdiri atas tiga bab yang disusun sistematis dari bab satu sampai bab tiga. Berikut adalah uraian sistematika penyajian penelitian. Bab 1 Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan latar belakang masalah yang mendasari topik penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, landasan teori yang digunakan, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II memuat analisis dan pembahasan mengenai bentuk-bentuk metafora untuk mengilustrasikan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia Bab III memuat analisis dan pembahasan mengenai ranah yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Minangkabau. 29 Bab IV memuat analisis dan pembahasan mengenai ranah yang digunakan untuk memetaforakan kepemimpinan dalam peribahasa Indonesia. Bab V memuat analisis mengenai konsep kepemimpinan yang ideal menurut peribahasa Minangkabau dan peribahasa Indonesia berdasarkan penggunaan metafora. Bab VI memuat penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.