I. PENDAHULUAN

advertisement
1
I. PENDAHULUAN
Anggrek merupakan spesies tumbuhan yang mendapatkan perhatian oleh
pecinta tanaman hias terutama setelah dibudidayakan sehingga pasar anggrek
memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Morfologi bunga merupakan ciri khas dari
anggrek yang membedakannya dengan tumbuhan berbunga lainnya. Meskipun
tumbuhan ini bukan spesies tumbuhan yang berperan sebagai tumbuhan pokok,
namun keberadaannya sangat diperhatikan mengingat rusaknya habitat alami mereka
karena adanya konversi habitat (Puspaningtyas, 2005). Anggrek merupakan sebutan
umum untuk tumbuhan yang berasal dari famili Orchidaceae. Tumbuhan ini adalah
salah satu spesies tumbuhan yang dapat ditemukan diseluruh dunia karena
kemampuan adaptasinya yang baik kecuali benua Antartika dan juga mampu tumbuh
di ekosistem tundra, savana, maupun di hutan tropis. Anggrek tersebar diberbagai
hutan tropik seperti Amerika Tengah, Asia Tenggara, dan Kepulauan Malesia
(Holliman, 2002 dalam Agung et al., 2005). Klasifikasi anggrek menurut Cronquist
(1981) sebagai berikut.
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Classis
: Liliopsida
Ordo
: Asparagales
Famili
: Orchidaceae Juss.
Menurut Steenis (1997), famili Orchidaceae merupakan herba menahun, kerap
kali epifit, kebanyakan memiliki akar rimpang atau batang yang membesar
(pseudobulbus). Bertepi daun rata, kerapkali berdaging, hampir selalu berseling, dua
baris. Bunga berkelamin dua dan memiliki bibir (labellum) yang berbeda-beda.
2
Bakal buah tenggelam, beruang satu. Biji berjumlah sangat banyak, mudah
bertaburan, dan ringan.
Anggrek dikenal karena warna bunganya yang beraneka ragam yang dihasilkan
dari proses budidaya tanaman anggrek secara hibrid atau persilangan yang dilakukan
untuk menciptakan variasi genetik. Persilangan anggrek sudah ada sejak tahun 1930
pada zaman kekuasaan Belanda dan masih terus berlangsung hingga saat ini sehingga
semakin banyak spesies anggrek yang diperoleh dari hasil persilangan. Lestari (1985)
menyatakan bahwa budidaya tanaman anggrek dengan cara persilangan dilakukan
dengan menyilangkan antara anggrek yang satu dengan yang lainnya. Misalnya
Cymbidium eburneolowianum merupakan hasil penyilangan antara Cymbidium
eburneum dan Cymbidium lowianum.
Menurut Puspaningtyas dan Mursidawati (1999), anggrek alam atau anggrek
liar adalah induk utama yang digunakan untuk proses persilangan, namun keberadaan
anggrek alam ini semakin terdesak karena faktor konversi lahan menjadi pemukiman,
perkebunan, dan terjadinya kerusakan alam. Selain itu Puspaningtyas (2005)
menyatakan bahwa pedagang anggrek ilegal yang masuk ke dalam kawasan hutan
dan melakukan perburuan liar juga turut mengancam keberadaan anggrek.
Tipe anggrek bermacam-macam berdasarkan habitatnya yaitu terestrial,
saprofit, litofit, amoebofit, epifit dan anggrek yang hidup di air atau rawa-rawa.
Terestrial merupakan cara hidup anggrek yang berada di permukaan tanah dan
memperoleh nutrisi dari dalam tanah. Anggrek saprofit yaitu spesies anggrek yang
menyesuaikan
hidupnya
pada
humus
atau
di
atas
bahan-bahan
organik
(Soeryowinoto, 1987). Anggrek litofit adalah anggrek yang tumbuh pada bebatuan
dan merupakan spesies anggrek yang tahan terhadap paparan sinar matahari (Utami,
2011). Anggrek epifit adalah spesies anggrek yang menumpang hidup pada pohon
3
lain yaitu berada pada bagian pangkal pohon sampai ke bagian cabang dan ranting
pohon. Keberadaan anggrek epifit yang menempel pada pohon berada di lima zona
wilayah sebagai berikut (gambar 1. 1.).
Keterangan gambar :
Zona 1: daerah yang meliputi pangkal pohon (1/3 bagian
batang utama)
Zona 2 : daerah yang meliputi batang utama pohon hingga
percabangan pertama (2/3 batang utama)
Zona 3 : daerah yang meliputi bagian yang berasal dari
percabangan (1/3 bagian dari total panjang
cabang)
Zona 4 : daerah yang meliputi bagian tengah dari
percabangan (1/3 bagian tengah berikutnya)
Zona 5 : daerah terluar dari percabangan (1/3 bagian
paling luar percabangan)
Gambar 1.1. Zonasi Keberadaan Anggrek Epifit
(Sumber: Johansson, 1975 dalam Puspaningtyas, 1999 )
Anggrek merupakan tumbuhan monokotil yang memiliki ciri-ciri bertulang
daun lurus dan daun tajuknya (petalum) berjumlah tiga helai. Gunadi (1985)
mengungkapkan bahwa anggrek memiliki bagian tubuh tumbuhan yang terdiri dari
akar, pseudobulbus, batang, daun, bunga, dan biji. Sebagai tumbuhan yang
menempel pada pohon lain, akar merupakan bagian terpenting bagi anggrek. Selain
fungsinya untuk menempel pada pohon, akar anggrek juga berfungsi sebagai akar
udara serta dapat menangkap air dan zat hara dari udara. Pada anggrek dijumpai akar
tanah (anggrek terestrial), akar lekat, akar udara, dan akar pikat. Akar pikat
merupakan
jenis
akar
yang
dimiliki
oleh
Acriopsis,
Cymbidium,
dan
Grammatophyllum. Berdasarkan arah tumbuhnya, batang anggrek terdiri dari dua
macam yaitu monopodial dan simpodial. Monopodial artinya hanya memiliki satu
sumbu utama dan pertumbuhannya tidak terbatas, misalnya pada anggrek Vanda,
Arachnis, Renanthera, Aerides, dan Rynchostylis. Simpodial artinya pertumbuhan
batangnya tidak dapat dibedakan sumbu utamanya atau antara percabangan sama
4
besar dan pertumbuhannya terbatas, misalnya pada anggrek Cattleya, Dendrobium,
dan Oncidium (Soeryowinoto, 1974).
Soeryowinoto (1987) menyatakan bahwa cara hidup anggrek yang berbeda
memiliki morfologi yang berbeda. Anggrek terestrial daunnya berwarna hijau, lebar
dengan ketebalan yang tipis, tidak sukulen dan seperti kulit, bagian akarnya
mempunyai rambut-rambut akar yang panjang. Contoh anggrek terestrial yaitu
Platanthera, Phaius, Arundina, Spathoglottis, dan Paphiopedilum. Anggrek epifit,
daunnya berwarna hijau, sukulen dan tebal, akarnya memiliki rambut hanya di
bagian yang menempel pada pohon, memiliki mikoriza yang bersimbiosis dengan
akar untuk memperoleh zat-zat organik dari humus maupun udara untuk diberikan
kepada anggrek, misalnya pada anggrek Vanda, Phalaenopsis, dan Dendrobium.
Anggrek saprofit memiliki daun yang termodifikasi sehingga tereduksi menjadi
berwarna putih, kecil, menjadi sisik-sisik warna putih atau hilang sama sekali,
akarnya bersimbiosis dengan mikoriza seperti anggrek epifit yaitu pada anggrek
Epipogium, Didymoplexis, dan Galeola. Berbeda dengan jenis anggrek amoebofit,
anggrek ini hanya berdaun saja atau berbunga saja. Biasanya pada musim tertentu
mengalami dormansi membentuk umbi dan ketika musim hujan anggrek amoebofit
akan berkembang lagi seperti pada spesies Nervilia. Puspaningtyas et al. (2003)
mengungkapkan bahwa Nervilia merupakan spesies anggrek yang hidup secara
terestrial dan menyukai tempat yang memiliki lapisan humus atau serasah yang tebal
dan tumbuh berkoloni karena adanya stolon dibawah tanah.
Chen et al. (1994) dalam Anonymous (2007) mengungkapkan bahwa daun
anggrek bermacam-macam yaitu subulate (berbentuk jarum), linear (berbentuk
pita/lurus), oblong (lonjong), eliptic (jorong/bujur telur), spathulate (bentuk sendok),
lanceolate (lanset/bentuk mata), oblanceolate (bentuk lanset sungsang), ovate
5
(bundar telur), obovate (bulat telur sungsang), trullate (berbentuk sekop), cordate
(bentuk jantung), triangular (segitiga), sagittate (panah), dan hastate (tombak).
Bunga memiliki tipe-tipe pembungaan bergantung kepada spesies anggreknya
yaitu terdiri dari single flowered (bunga tunggal), cymose (bunga terbatas), spicate
(permukaan berjalar/ mendaging), racemose (tandan), paniculate (malai), fasciculate
(berberkas), dan umbellate (payung). Bunga merupakan karakter terpenting pada
spesies anggrek karena bunga anggrek dapat diamati dan mudah untuk diidentifikasi
(Anonymous, 2007). Soeryowinoto (1987) mengungkapkan bahwa ciri khas anggrek
dapat terlihat pada bunga, buah, dan biji. Bagian bunga ini terdiri dari tiga sepal dan
tiga petal. Tiga sepal terdiri dari satu sepal dorsal dan dua sepal lateral, sedangkan
salah satu dari petal mengalami modifikasi yang disebut dengan labellum. Bunga
anggrek memiliki alat perkembangbiakkan yang disebut gynostemium yang artinya
merupakan gabungan dari alat kelamin jantan (stamen) dan alat kelamin betina
(gynaecium). Biji anggrek berbeda dengan biji dari tumbuhan lainnya karena biji
anggrek berukuran sangat kecil (microspermae) seperti bedak halus. Bijinya disebut
sebagai buah lentera dan apabila masak, biji akan pecah melalui bagian tengahnya
(Soeryowinoto, 1987). Biji anggrek tidak memiliki endosperma yang berfungsi
sebagai cadangan makanan untuk membantu proses perkecambahan. Selain itu,
embrio anggrek tidak memiliki kotiledon atau keping biji serta tidak ada radikula
atau akar lembaga (Gunadi, 1985).
Anggrek memperoleh nutrisi dari dalam tanah maupun udara, selain itu juga
memiliki cadangan makanan yang tersimpan di dalam umbi semu atau pseudobulbus.
Pseudobulbus menyimpan kandungan air yang cukup sehingga anggrek mampu
bertahan hidup dalam lingkungan yang kekurangan air. Beberapa spesies anggrek
6
memiliki bunga yang muncul dari bagian atas pseudobulbus kemudian muncul
diantara ketiak daun misalnya pada Cattleya (Soon, 1980).
Anggrek merupakan spesies kosmopolitan yang artinya memiliki daerah
sebaran yang luas misalnya pada anggrek Dendrobium crumenatum dengan daerah
penyebaran di India, Myanmar, Cina, Thailand, Semenanjung Malaysia, Indonesia,
Filipina, dan Kepulauan di Samudera Pasifik (Wing, 1998 dalam Agung et al.,
2005). Spesies anggrek memang melimpah di daerah tropis bahkan terdapat di rawarawa dan gurun, namun Gunadi (1985) menyatakan bahwa tidak semua anggrek
berasal dari wilayah tropis tetapi juga ditemukan spesies anggrek di daerah subtropis,
spesies di daerah dingin, hidup menempel pada pohon maupun bebatuan, dan juga
pada lapisan humus tebal di permukaan bawah hutan.
Di Singapura, terdapat spesies anggrek yang hanya ditemukan di hutan basah
yang akan mengalami kekeringan pada saat musim dingin yaitu Plocoglottis
javanica. Anggrek ini merupakan spesies anggrek terestrial yang sudah jarang
ditemukan, sedangkan untuk spesies Plocoglottis lowii sudah punah secara nasional
dan tidak ditemukan lagi di alam, kemudian Plocoglottis gigantea dan Plocoglottis
javanica sedang diupayakan untuk di konservasi dan termasuk ke dalam spesies yang
terancam punah. Keragaman mereka semakin berkurang karena banyaknya
pembangunan pemukiman di sekitar habitat mereka. (Ang et al., 2011).
Anggrek Bulbophyllum sessile ditemukan dari utara Thailand sampai
Kepulauan Pasifik, sedangkan untuk daerah persebarannya dapat ditemukan di
Indonesia, pulau Andaman, Indocina, dan New Guinea. Hal ini menunjukkan bahwa
anggrek tidak hanya hidup di daerah tropis tetapi juga dapat hidup di daerah
subtropis hingga ke daerah dingin. Di Singapura, spesies anggrek ini hanya
ditemukan di Bukit Timah Nature Reserve (BTNR) dan Central Catchment Nature
7
Reserve (CCNR). Bulbophyllum sessile dikategorikan sebagai spesies terancam
punah di Singapura (Lok et al., 2009).
Indonesia memiliki ribuan spesies anggrek yang hidup di dataran tinggi dengan
penyebaran anggrek yang sangat beragam bergantung pada ketinggiannya. Menurut
Comber (1990) dalam Puspaningtyas (2005), berdasarkan habitat hidupnya yaitu
dataran tinggi dengan ketinggian 500-1.500 m dpl merupakan tempat yang cocok
untuk pertumbuhan anggrek. Gunadi (1985), mengungkapkan bahwa anggrek dapat
tumbuh pada ketinggian 0-3.000 m dpl hingga ke puncak gunung, di air, dan udara
terbuka. Walaupun demikian, di dataran tinggi keragaman spesiesnya akan lebih
banyak dibandingkan dengan dataran rendah sehingga masing-masing habitat akan
memiliki spesies yang berbeda.
Anggrek merupakan salah satu spesies yang memiliki keragaman cukup besar
dan memiliki kontribusi sebanyak 10% atau sekitar 30.000 spesies dari tumbuhan
berbunga lainnya. Hidup secara kosmopolitan dan mampu tumbuh dalam habitat
yang berbeda-beda namun mereka hidup dalam lingkungan yang seimbang dan
sangat rentan terhadap kerusakan habitat (Murugan et al., 2006).
Pulau Jawa merupakan pulau yang padat penduduknya di Indonesia dan
kepadatan ini mungkin terjadi karena tanah di Jawa yang lebih subur dibandingkan
dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Kepadatan ini memicu intensitas dan aktivitas
dalam bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, maupun industri yang menyebabkan
hutan-hutan alam beralih fungsi (Puspaningtyas et al., 2003). Kepadatan penduduk
dan luas pulau Jawa yang tidak sebanding menyebabkan tekanan yang tinggi bagi
hutan untuk beralih fungsi menjadi perumahan. Hal ini menyebabkan spesies
8
anggrek yang berada di pulau Jawa terutama spesies endemik semakin berkurang
keragamannya.
Menurut Comber (1990) dalam Puspaningtyas (2005), pulau Jawa memiliki
kurang lebih 731 spesies dan 231 spesies diantaranya adalah endemik.
Steenis
(1972) dalam Puspaningtyas (2003) menyatakan jumlah anggrek di Jawa Tengah
rendah yaitu 279 spesies dan 16 spesies endemik, sedangkan Puspaningtyas (2005)
mengungkapkan bahwa di Gunung Simpang, Jawa Barat ditemukan 137 spesies
anggrek yang terdiri dari 95 anggrek epifit dan 42 spesies anggrek tanah. Populasi
anggrek tanah maupun epifitnya berlimpah dan banyaknya spesies anggrek ini
ditemukan pada ketinggian < 800 m dpl, sedangkan ketinggian > 800 m dpl hanya
ditemukan 14 spesies anggrek karena lahan di sekitarnya telah beralih fungsi menjadi
areal persawahan dan perkebunan. Puspaningtyas (2007) mengungkapkan hasil
eksplorasi di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur, pada ketinggian > 100 m dpl
ditemukan 25 spesies anggrek yang mencakup 20 ordo, terdiri dari 20 spesies
anggrek epifit dan 5 spesies anggrek tanah. Pohon yang ditumpangi oleh anggrek
epifit ini ada 19 spesies pohon, 4 spesies diantaranya disukai oleh anggrek yaitu
pohon jati (Tectona grandis), Clausena indica, bungur (Lagerstroemia speciosa),
dan mangga (Mangifera indica).
Menurut Wahyuningsih (2005) di Lereng Selatan Gunung Slamet dengan
ketinggian 1.000-1.500 m dpl terdapat 39 spesies anggrek dari 23 genus. Hasil
identifikasi terdiri dari
Agrostophyllum, Appendicula, Bulbophyllum, Calanthe,
Cerastolistys, Coelogyne, Corymborkis, Chrysoglossum, Cryptostylis, Flikingeria,
Eria, Dendrobium, Liparis, Macodes, Malaxis, Phaius, Pholidota, Tainia,
Saccolabium, Dendrochilum, Corymborkis, Hylophila, dan Trichotosia. Beberapa
spesies diantaranya merupakan endemik Jawa yaitu Pholidota camelostalyx var
9
vaginata, Cerastolistys hackeri, Dendrobium montamum, Cryptostylis javanica, dan
Tainia elongata.
Juwarni (2005) menemukan spesies anggrek epifit dan terestrial di Wanawisata
Baturaden, yaitu Acriopsis javanica, Agrostophyllum bicuspidatum, Bulbophylum
sp.2, Dendrobium lobatum, Eria obliterata, Vanda sp.1, Appendicula ramosa,
Bulbophyllum flavescens, Bulbophyllum sp.1, Bulbophyllum sp.3, Vanda sp.2, Vanda
sp.3, Trixpermum arachnites, Dendrobium sp.1, dan Dendrobium sp.3. Anggrek
epifit ditemukan dari 6 jenis pohon yang ditumpangi diantaranya pinus (Pinus
merkusii), rasamala (Altingia excelsa), damar (Agathis lorantifolia), keningir/ manis
jangan (Cinamomum burmanii), jati sabrang (Peronema canescens), dan kopeng
(Ficus ribes).
Berbagai macam jenis anggrek ternyata memang mampu hidup dari daerah
tropis hingga ke daerah dingin. Walaupun demikian, anggrek memiliki keterbatasan
faktor lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidupnya. Umumnya spesies
anggrek memang tumbuh di hutan-hutan alam dari mulai menempel pada pohon
hingga hidup di tanah, serasah, maupun bebatuan terjal. Hal ini dikarenakan kondisi
lingkungan di hutan sangat mendukung pertumbuhan anggrek seperti kelembaban,
sinar matahari, curah hujan, angin, suhu, serta serasah yang tebal memberi mereka
zat hara untuk tumbuh. Kemudian ditambah dengan keberadaan mikoriza atau jamur
yang bersimbiosis dengan akar anggrek untuk membantu penyerapan zat hara yang
dibutuhkan (Gunadi, 1985). Oleh karena itu, untuk melakukan kegiatan eksplorasi,
keberadaan anggrek banyak dilakukan di lereng-lereng gunung ataupun di hutan
lindung.
Menurut Astuti (2012), Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi yang
terdapat di Jawa Tengah, terletak pada 7⁰14’LS dan 109⁰12’BT dengan ketinggian
10
3.428 m dpl atau sekitar 11.246 ft. Kawasan hutan lindung Gunung Slamet terletak
14 km disebelah utara kota Purwokerto. Hutan lindung ini tergolong ke dalam tipe
hutan hujan tropis dengan curah hujan 5.000 mm/tahun, suhu 8⁰C-18⁰C, kelembaban
udara 60%-95%, dan mempunyai topografi bukit yang terjal. Jenis tanah di hutan
lindung ini tergolong ke dalam tanah regosol kelabu, litosol, dan juga tanah berpasir.
Gunung Slamet terletak di sekitar perbatasan antara Kabupaten Pemalang,
Brebes, Banyumas, Purbalingga, dan Tegal, Jawa Tengah (Minarto, 2011).
Puspaningtyas et al. (2003) mengungkapkan bahwa untuk menuju ke Gunung Slamet
dapat ditempuh dengan menggunakan beberapa jalur pendakian yaitu Baturraden
(Kabupaten Banyumas), Belik (Kabupaten Pemalang), Guci (Kabupaten Tegal),
Serang dan Bambangan (Kabupaten Purbalingga).
Penelitian dilakukan melalui jalur pendakian Baturaden di Lereng Selatan
Gunung Slamet. Lokasi ini dipilih sebagai daerah eksplorasi karena lereng sebelah
selatan masih memiliki ekosistem yang terjaga dengan pepohonan yang rimbun serta
keragaman satwa yang dilindungi dibandingkan dengan lereng sebelah utara dan
timur. Selain itu, lereng selatan merupakan sumber aliran air untuk kabupaten
Banyumas seperti sungai Banjaran, sungai Gumawong, dan sungai Logawa (Narwin,
2012). Lebih lanjut, Setiawan et al. (2007) mengungkapkan Lereng Selatan Gunung
Slamet yang memiliki letak geografis demikian, memungkinkan angin yang dibawa
dari laut selatan pulau Jawa turun di lereng ini, sehingga menyebabkan curah hujan
tinggi. Hal inilah yang menyebabkan lereng selatan dari Gunung Slamet mempunyai
wilayah yang lebih hijau dibandingkan dengan lereng lainnya.
Eksplorasi perlu dilakukan untuk mengetahui kekayaan anggrek alam yang ada
di Lereng Selatan Gunung Slamet. Puspaningtyas (2007) menyatakan bahwa
memang sekarang keberadaan maupun kekayaan anggrek di alam telah mengalami
11
perubahan. Selain itu, kerusakan alam akibat erupsi gunung merapi juga
mengakibatkan banyaknya spesies anggrek yang mengalami kepunahan (Dwiyani et
al., 2012). Oleh karena itu, untuk mengetahui keragaman spesies anggrek alam dapat
dilakukan eksplorasi di habitat alaminya.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana keragaman spesies anggrek alam di Lereng Selatan Gunung Slamet.
2. Bagaimana keragaman habitat anggrek alam di Lereng Selatan Gunung Slamet.
Tujuan Penelitian:
1. Mengetahui keragaman anggrek alam di Lereng Selatan Gunung Slamet.
2. Mengetahui keragaman habitat anggrek alam di Lereng Selatan Gunung Slamet.
Manfaat penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
keberadaan spesies anggrek alam di Lereng Selatan Gunung Slamet serta mengetahui
karakter morfologi spesies anggrek alam pada berbagai habitatnya sebagai data
informasi untuk dilakukan konservasi secara in-situ maupun ek-situ. Konservasi
dilakukan agar keberadaan spesies anggrek di hutan-hutan alam terutama di Lereng
Selatan Gunung Slamet tidak mengalami kepunahan.
Related documents
Download