BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Interpersonal 2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh salah satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari bahasa latin communico yang dalam bahasa inggris berarti to share. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa komunikasi adalah proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada pihak lain. Menurut Liliweri (2007) komunikasi adalah : (a) pernyataan diri yang efektif, (b) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-pesan dalam percakapan, bahkan melalui imajinasi, (c) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata melalui percakapan atau dengan metode lain, (d) pengalihan informasi dari seseorang kepada orang lain, (e) pertukaran makna antarpribadi dengan system symbol, dan (f) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang lain dengan efek tertentu. Komunikasi interpersonal pada hakikatnya adalah komunikasi antara komunikator dan komunikan. DeVito dalam Effendi (2000) mendefinisikan 8 komunikasi interpersonal sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi interpersonal menurut Liliweri (2007) adalah komunikasi yang dilakukan oleh dua atau tiga orang dengan jarak fisik di antara para komunikator yang sangat dekat. DeVito (2009) mengemukakan komunikasi interpersonal adalah proses selektif, sistemik, unik dan interaksi berkelanjutan antara orang-orang yang mencerminkan dan membangun pengetahuan pribadi satu sama lain dan menciptakan makna bersama. Setiap kali individu akan melakukan komunikasi, individu tidak hanya menyampaikan isi dari pesan tersebut tetapi juga harus menentukan dari seberapa jauh kadar hubungan interpersonal yang dapat di ambil dari komunikasi yang dilakukan. Artinya, setiap komunikasi mampu memberikan dampak relationship terhadap oranglain sehingga memudahkan individu untuk diterima dalam masyarakat maupun lingkungan. Menurut segi psikologi komunikasi, individu dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang oranglain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara komunikan. 2.1.2 Ciri-Ciri Komunikasi Interpersonal Adapun ciri-ciri dari komunikasi antarpribadi menurut Rogers (dalam Wiryanto, 2004) adalah sebagai berikut : a. Arus pesan cenderung dua arah 9 b. Konteks komunikasinya dua arah c. Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi d. Kemampuan mengatasi tingkat selektivitas, terutamaselektivitas keterpaan tinggi e. Kecepatan jangkauan terhadap khalayak yang besar relatiflambat f. Efek yang mungkin terjadi adalah perubahan sikap 2.1.3 Tujuan Komunikasi Interpersonal Tujuan Komunikasi Interpersonal mungkin mempunyai beberapa tujuan. Di sini akan dipaparkan 6 tujuan, antara lain ( Muhammad, 2004) : a. Menemukan diri sendiri Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal atau pribadi. Bila kita terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan orang lain kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain.Komunikasi interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara tentang apa yang kita sukai, atau mengenai diri kita. Adalah sangat menarik dan mengasyikkan bila berdiskusi mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita sendiri. Dengan membicarakan diri kita dengan orang lain, kita memberikan sumber balikan yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita. b. Menemukan dunia luar Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat memahami lebih banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi dengan kita. Banyak informasi yang kita ketahui datang dari komunikasi interpersonal, meskipun banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari media massa hal itu seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajariatau didalami melalui interaksi interpersonal. c. Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu kita pergunakan dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk membentuk dan menjaga hubungan sosial dengan orang lain. d. Berubah sikap dan tingkah laku Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh menginginkan mereka memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru, membeli barang tertentu, melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang tertentu dan percaya 10 bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kita banyakmenggunakan waktu waktu terlibat dalam posisi interpersonal. e. Untuk bermain dan kesenangan Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas kita pada waktu akhir pecan, berdiskusi mengenai olahraga, menceritakan cerita dan cerita lucu pada umumnya hal itu adalah merupakan pembicaraan yang untuk menghabiskan waktu. Dengan melakukan komunikasi interpersonal semacam itu dapat memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan rileks dari semua keseriusan di lingkungan kita. f. Untuk membantu Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakkan komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi interpersonal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan seorang teman yang putus cinta, berkonsultasi dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya diambil dan lain sebagainya. 2.1.4. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal menurut DeVito (1997) antara lain adalah : a. Keterbukaan (Openness) Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini tersebut. Supratiknya (1995), mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita saksikan. Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka diri. Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005) mengemukakan bahwa karakteristik orang yang terbuka adalah sebagai berikut: 1. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan keajegan logika. 2. Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb. 3. Mencari informasi dari berbagai sumber 11 4. Mencari pengertian pesan yang tidak kepercayaannya. sesuai dengan rangkaian b. Empati (Empathy) Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan (penerima pesan). Empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila individu tersebut dapat berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan. Menurut Winkel (2006) bahwa empathy yaitu, konselor mampu mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri. c. Dukungan (Supportiveness) Dalam komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Rahmat (2005) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari pada memahami pesan orang lain. Dukungan merupakan pemberian dorongan atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana hubungan komunikasi. Sehingga dengan adanya dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi antarpribadi akan bertahan lama karena tercipta suasana yang mendukung. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005) menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu: Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa menilai, tidak memuji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka. Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerja sama mencari pemecahan masalah, tidak mendikte orang lain, tetapi secara bersama-sama menetapkan tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya. Spontanitas, yaitu sikap jujur dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. Provisionalisme, yaitu kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan diri sendiri dapat berubah. d. Rasa positif (positivenes) Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki 12 keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. Rahmat (2005) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri; positif atau negatif. Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif, akan lahir pola perilaku komunikasi antarpribadi yang positif pula. e. Kesetaraan (Equality) Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005) mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan intelektual kekayaan atau kecantikan. Dalam persamaan tidak mempertegas perbedaan, artinya tidak mengggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama, yaitu mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat merasa nyaman, yang akhirnya proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan lancar. 2.1.5 Faktor-Faktor Komunikasi Interpersonal Faktor-faktor yang Menyebabkan Komunikasi InterpersonalMenurut Rahmat (2001) mengemukakanfaktor-faktor yang dapat menyebabkan komunikasiinterpersonal terdiri dari: a. Persepsi interpersonal Berupa pengalaman tentang peristiwa atauhubungan yang diperoleh dengan menyimpulkaninformasi dan menafsirkan pesan untukmembedakan bahwa manusia bukan benda tapisebagai objek persepsi. b. Konsep diri Menurut Brooks (dalam Rahmat 2001) konsep diri adalah suatu pandangan dan perasan individu tentang dirinya. Jika individu dapat diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan dirinya, individu cenderung akan bersikap menghormati dan menerima diri. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan, menyalahkan dan menolak dirinya, individu cenderung akan bersikap tidak akan menyenangi dirinya. c. Atraksi interpersonal Menurut Barlund (dalam Rahmat 2001) Atraksi interpersonal diperoleh dengan mengetahui siapa yang tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa, maka individu dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi. 13 Misalnya makin tertarik individu kepada seseorang, makin besar kecenderungan individu berkomunikasinya. Kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang disebut sebagai atraksi interpersonal. d. Hubungan interpersonal Menurut Goldstein (dalam Rahmat, 2001) hubungan interpersonal ada tiga yaitu: 1) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin terbuka individu mengungkapkan perasaannya. 2) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin cenderung individu meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya (psikolog). 3) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka makin cenderung individu mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat penolongnya. 2.1.6 Pentingnya Komunikasi Interpersonal Menurut Joseph A. DeVito dalam bukunya “The Interpersonal Communication Book” (DeVito, 1992) komunikasi antarpribadi adalah: “The process of sending and receiving message beetwen two person, or among a small group of person, with some effect and some immediate feedback (proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara kelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik dalam berkomunikasi secara seketika)”. (Effendy, 2000). Pentingnya komunikasi interpersonal adalah karena prosesnya memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi berlangsung secara dialogis selalu lebih baik daripada secara monologis. Karena monologis menunjukan suatu bentuk komunikasi dimana seseorang berbicara yang lain mendengarkan, jadi tidak terdapat interaksi dan yang berperan aktif hanya komunikatornya saja, sementara komunikan bersifat pasif. Dialogis adalah bentuk komunikasi interpersonal yang menunjukan terjadinya interaksi, semua yang terlibat dalam komunikasi bentuk dialog ini berfungsi ganda masing-masing 14 menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Proses komunikasi dialogis nampak adanya upaya dari pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian bersama (mutual understanding) dan empati. Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi interpersonal di nilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan perilaku komunikan. Komunikasi yang umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face) dengan komunikan maka terjadilah kontak pribadi. Berkomunikasi interpersonal, atau secara ringkas berkomunikasi, merupakan keharusan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan senantiasa membuka serta menjalin komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu ada sejumlah kebutuhan didalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat berkomunikasi dengan sesamanya. Oleh karena itu, penting bagi individuuntuk bisa menjalankan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal sangat penting bagi kebahagiaan hidup. Johnson (1995), menunjukan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia. Pertama, komunikasi interpersonal membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Perkembangan kita sejak saat bayi sampai masa dewasa mengikuti pola semakin meluasnya ketergantungan kita kepada orang lain, diawaili dengan ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi, lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin meluas dengan bertambahnya usia kita. Bersamaan dengan proses itu, perkembangan intelektual dan sosial individusangat ditentukan oleh kualitas komunikasi individu dengan orang lain. 15 Kedua, identitas atau jati diri individu kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri sendiri. Kita menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain tentang diri sendiri. Berkat pertolongan komunikasi dengan orang lain individudapat menemukan diri, yaitu mengetahui siapa diri sendiri sebenarnya. Ketiga, dalam rangka memahami realitas di sekeliling individuserta menguji kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang lingkungan disekitar individu, perlu membandingkan dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. Tentu saja, pembanding sosial (social comparison) semacam itu hanya dapat individu lakukan lewat komunikasi dengan orang lain. Keempat, kesehatan mental individusebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orangorang yang merupakan tokoh signifikan (significant figures) dalam kehidupan Agar merasakan bahagia, individu membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yakni pengakuan berupa tanggapan dari orang lain yang menujukan bahwa diri normal, sehat dan berharga. Lawan dari konfirmasi adalah diskonfirmasi, yakni penolakan dari orang lain berupa tanggapan yang menunjukan bahwa diri individu abnormal, tidak sehat dan tidak berharga. Semua itu hanya kita peroleh lewat komunikasi interpersonal, komunikasi dengan orang lain. 16 2.2 Determinasi Diri 2.2.1 Pengertian Determinasi Diri Determinasi diri (Self Determination Theory) adalah motivasi intrinsik keadaan yang berasal dari dalam diri individu sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan tujuan yanng individu inginkan sendiri. Dalam determinasi diri menunjukan seseorang untuk mencari pengetahuan yang baru, tantang dalam diri sendiri, menemukan hal-hal yang baru yang pada akhirnya akan diterapkan dalan kegiatan dan tindakan seseorang yang akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Dalam motivasi intrinsik ada tiga faktor ini berperan penting sebagai kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan motivasi intrinsik seseorang. Ketiga kebutuhan itu adalah; kompetensi, otonomi, dan hubungan sosial. Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory/STD) Deci & Ryan (2002, dalam Muller et al, 2006) adalah teori motivasi yang komprehensif melalui membedakan motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik ditetapkan sendiri oleh individu yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari luar dirinya. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik bersifat instrumental karena tindakan individu dilakukan dalam kendali pihak di luar diri individu. Konsepsi motivasi yang dikotomis ini, yaitu pemilahan motivasi intrinsik dengan ekstrinsik, digantikan dengan konsepsi dari Self Determination Theory melalui determinasi diri yang bersifat kontinyu yang dapat digambarkan sebagai berikut: 17 Amotivation Non Regulation Intrinsic Motivation Extrinsic Motivation External Regulation Introjected Regulation controlled Identified Regulation Integrated Regulation Intrinsic Regulation self-determined Gambar 1. Garis Kontinyu Determinasi Diri (Deci & Ryan, 2002) Dalam teori determinasi diri, aktivitas individu diamati sebagai gaya pengaturan (regulatory styles) dalam taraf determinasi diri yang berbeda-beda yang terdiri dari amotivation, 4 taraf gaya pengaturan yang termasuk dalam motivasi ekstrinsik serta pengaturan intrinsik. 2.2.2 Aspek – aspek Determinasi Diri a. Amotivation: amotivation didefinisikan sebagai “non-regulation” yang menurut STD, tidak menggambarkan tindakan karena tidak memiliki orientasi sebagai sasarannya. STD hanya membahas motivasi yang mengandung intensi/niatan untuk bertindak/an intention to act. b. External regulation: external regulation seasas dengan definisi tradisional motivasi ekstrinsik. 18 c. Introjected regulation: introjection regulation mencakup tindakan yang berkaitan dengan memelihara harga diri seperti belajar guna memberi kesan baik kepada orang lain atau karena diharapkan agar individu agar bertindak yang selaras misalnya mahasiswa hadir dalam kuliah karena beranggapan mahasiswa harus hadir dalam kuliah secara teratur. Sumber tindakan dari diri sendiri meski hal ini tergolong pada determinasi diri taraf rendah. d. Identified regulation: identified regulation bertolak dari relevansi perseorangan dalam bertindak, misalnya mahasiswa tidak berminat pada sesuatu mata kuliah, betapapun ia berkepentingan untuk mendapatkan nilai baik dalam kuliah tersebut karena berniat kuat meraih sukses menyelesaikan studi. Dalam bahasa determinasi diri, mahasiswa mengatur perilakunya setelah mengidentifikasikan diri dengan tujuan jangka menengah studinya. e. Integrated regulation: integrated regulation bergantung pada determinasi diri. Gaya pengaturan diri ini dihasilkan oleh pengintegrasian tata-nilai yang diterima individu yang disatukan ke dalam rasa diri/konsep dirinya. Tata nilai itu eksis berdampingan secara harmonis dengan segi-segi lain dalam diri individu. Gaya pengaturan diri ini amat dekat dengan regulasi determinasi diri yang intrinsik dan secara empiris sulit membedakannya dengan intrinsic regulation. f. Intrinsic regulation: intrinsic motivation ini merupakan prototipe motivasi dalam determinasi diri dan menunjukkan kecenderungan inheren/asli untuk menemukan tantangan, pengetahuan, hal-hal baru serta pengalaman 19 emosional yang positif seolah individu amat larut terserap ke dalam kegiatannya (seperti konsep flow, mengalir saja) Sesuai STD, mahasiswa secara intrinsik mengatur diri ketika melakukan apa yang ingin dilakukannya. Jadi determinasi diri dapat digambarkan adanya “keselarasan subyektif antara diri individu dengan tindakan yang dilakukannya. Pengembangan dan pemeliharaan sistem pengaturan determinasi diri menurut STD tergantung pada dapat terpenuhinya salah satu dari tiga kebutuhan psikologi asli yaitu kebutuhan otonomi, bersekutu secara sosial dan berkompetensi. Autonomy merujuk pada rasa cakap memilih/choice dan bertindak/agency, individu perlu merasa dapat memilih dan melakukan tindakannya sendiri. Competence menunjuk pada rasa efektif/effectiveness, individu perlu merasa memiliki kendali atas hasil-hasil tindakannya dan merasa memiliki kecakapan memberikan dampak pada lingkungannya. Relatedness merujuk pada rasa dialaminya koneksi/ keterhubungan sosial yang efektif dan memiliki relasi sosial yang bermakna, terhubungkan dalam interaksi dengan orang-orang yang dipentingkannya. Lingkungan yang mengembangkan ketiga kebutuhan dasar itu menghasilkan perilaku berdeterminasi diri atau individu yang bermotivasi intrinsik. Konteks sosial keluarga, kampus dan profesi memudahkan terpenuhinya ketiga kebutuhan itu melalui menyediakan tantangan optimal untuk berkembang, memberi loloh-balik dan keterlibatan antar pribadi. Deci et al (Zinkiewicz, Hammond & Trapp, 2003) menyatakan faktor kontekstual yang mendukung otonomi seperti menyediakan landasan rasional makna giat belajar, mengakui perasaan mahasiswa dan mena- 20 warkan pilihan bahan dan tagihan belajar. Belajar berbasis proyek misalnya memberi mahasiswa pilihan wujud akhir tugas yang sebagai basis penilaian. Teori determinasi diri membuat perbedaan antara tipe motivasi ekstrinsik yang dijadikan ketetapan pribadi/self determined atau atonomik dengan tipe motivasi ekstrinsik yang terkendali/contolled beserta dampaknya yang berbeda pada kualitas pengalaman belajar dan bekerja. Motivasi ekstrinsik yang terkendali bergantung pada ganjaran dan sanksi ekslisit atau implisit dan pada pendangan pribadi tentang apa yang diharapkan dari diri sendiri yang pada giliranya menghasilkan perilaku yanng merupakan tenggapan terhadap tekanan karena perilaku itu dikendalikandari luar diri individu. Motivasi ekstrinsik yang demikian itu menjauhkan individu dari determinasi diri setra menngakibatkan menurunya motivasi intrinsik. Belajar yang dikendalikan oleh motivasi ekstrinsik ini karena berlangsung dalam kondisi yang dikendalikan cenderung menjadi jenis belajar ingatan jangka pendek dan terintegrasikan secara buruk dalam tata nilai dan ketrampilan jangka panjang. Selanjutnya, motivasi ekstrinsik yang otonomik dapat berubah menjadi motivasi intrinsik melalui ditetapkannya manjadi milik pribadi (yang determinasikan diri), yang mendapat persetujuan dari diri sendiri, mampu mereflaksikan diri sehingga menjadi menarik, menyenangkan dan penting bagi diri sendiri pula, motivasi ekstrinsik yang sudah menjadi milik sendiri ini mengarahkan munculnya perilaku yang disertai oleh nuansa suka-rela, berkarya dan pilihan pribadi. Robinson (1997) menegaskan bahwa perilaku akademik diamati sebagai perilaku yang dimotivasi secara intrinsik, ekstrinsik atau tidak termotivasi. 21 Perilaku yang secara intrinsik termotivasikan dikenakan pada pengajaran tugas akademik demi untuk menangani tugas itu sendiri dan untuk memberi rasa sengang dan kepuasan pribadi. Deci & Ryan (1985) menemukan motivasi yang otonomik, yakni yang ditetapkan individu secara pribadi terlah berhasil meningkatkan kenerja belajar siswa. Dengan kata lain, siswa yang memiliki motivasi yang ditetapkan sendiri/ self-determined dalam mengerjakan tugas-tugas pelajaran sangat besar kecenderungan siswa lebih betah berada di sekolah untuk belajar daripada siswa yang motivasi belajarnya kurang ditatapkan secara pribadi.. Teori determinasi diri diujikan pula melalui penelitian Fotier, Vallerand& Guay (Robinson, 1997). Dua ratus enampuluhtiga siswa kelas XI dari dua SMA di Montreal mengisi angket evaluasi diri yanng berisikan butir-butir kompetensi akademik, determinasi diri dan motivasi akademik yang otonomik. Sebagai indikator kinerja akademik adalah nilai matematika, bahasa Perancis, biologi dan geografi. Temuan penelitian menunjukan siswa yanng merasa berkompetensi dan menetapkan sendiri motivasinya belajar memiliki profil motivasi otonimi tinggi. Teori determinasi diri menyiratkan mekna behwa kinerja akademik yang tinggi tergantung pada rasa otonomik individu siswa. Dengan kata lain, siswa yang mendiri mencapai kinerja akademik bertaraf tinggi dibandingkan dengan siswa yanng tergantung pada orang lain. Chirkov, Ryan& Willness (2005) menemukan segi pentingnya praktik budaya dan frekuensi penerapan tata nilai seperti yang diungnkapkan model budaya Triandis tentang orientasi individualisme-kolektivisme dan orientasi harizontal-vertikal pada mahasiswa Brazil dan Canada. Para peneliti mengukur taraf otonomi mahasiswa atas penerapan praktik budaya dan taraf dukungan orang 22 tua dan dosen terhadap pemenuhan kebutuhan untuk menjadi otonomik, untuk merasa berkompetensi dan untuk bersekutua seperti yang tertuang dalam teori determinasi diri. Ditemukan rasa otonomik yang lebih tinggi beserta kebutuhan mendapat dukungan dari orang tua dan dosen berkorelasi denga taraf kesehatan jiwa dan identitas budaya yang lebih tinggi pada kedua kelompok mahasiswa itu. detemukan pula orientasi budaya secara vertikal kerang terinternalisasikam dan kedua kelompok mahasiswa itu. Dibahas segi pentinya proses internalisasi tata nilai melampaui batasan budaya, perbedaan konseptual antara otonomi dengan individualisme dan ketidak-bergantungan/independence serta korelasi entara orientasi budaya secara horisontal dengan kebutuhan mendapat dukungan psikologik. 2.3. Hasil Penelitian Yang Relevan Hasil penelitian Chirkov et al (2003) menunjukkan dosen yang menetapkan pilihan bagi mahasiswa menyebabkan melemahnya motivasi intrinsik. Di pihak lain, mengadopsi pilihan yang telah ditetapkan oleh orang-orang penting yang dipercayai oleh mahasiswa Asia telah mengembangkan motivasi intrinsik. Otonomi/kemandirian pada beberapa masyarakat di luar masyarakat barat menunjukkan individu yang mandiri ternyata tidak lebih bahagia hidupnya dibandingkan dengan individu yang kurang mandiri. Pandangan bertentangan tentang kemandirian yang melintasi lingkup budaya ini menarik untuk dikaji lebih lanjut. Hasil penelitian Canggih (2010) mengatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara komunikasi interpersonal dengan motivasi berprestasi diri yang 23 salah satunya di pengaruhi oleh motivasi intrinsik yang meliputi determinasi diri. Pada taraf 95% dengan besar pengaruhnya sebesar 16%. Dalam penelitian yang dilakukan Anggraeni (2008) menelusuri determinasi beberapa faktor afektif yang mempengaruhi keberhasilan belajar mahasiswa dan mengungkap bagaimana secara psikologis faktor-faktor tersebut dirasakan oleh mahasiswa. Untuk menentukan determinasi setiap faktor efektif dalam membedakan antara mahasiswa yang berprestasi tinggi dengan mahasiswa yang berprestasi rendah. Hasil penelitian menunjukkan tingkat anxiety dan learned helplessness mahasiswa berprestasi tinggi lebih rendah dibandingkan dengan mahasiswa berprestasi rendah, sementara tingkat self efficacy, locus of control, interest, dan integrativeness mahasiswa berprestasi tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa berprestasi rendah, dan perbedaan ini dibuktikan signifikan. Hasil penelitian Padmomartono (2008) dalam penelitian yang berjudul meramalkan prestasi akademik mahasiswa PGSD-UKSW berdasarkan determinasi diri dan consciousness dalam faktor kepribadian “the big five” menyatakan bahwa 22,4% prestasi akademik mahasiswa dapat diramalkan secara bersama-sama oleh determinasi diri dan faktor kepribadian the big five sementara 77.6% diramalkan oleh faktor-faktor yang tidak diteliti. 2.4. Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan teori – teori yang ada hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan yang signifikan antara 24 determinasi diri dan komunikasi interpersonal pada mahasiswa Bimbingandan Konseling angkatan 2009FKIP UKSW tahun akademik 2011/2012. 25