Hubungan Antara Determinasi Diri dan Komunikasi Interpersonal

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Komunikasi Interpersonal
2.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh salah satu orang atau lebih,
yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan, terjadi dalam
suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk
melakukan umpan balik. Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin
Communis yang artinya membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan
antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari bahasa latin communico
yang dalam bahasa inggris berarti to share. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa
komunikasi adalah proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada
pihak lain.
Menurut Liliweri (2007) komunikasi adalah : (a) pernyataan diri yang
efektif, (b) pertukaran pesan-pesan yang tertulis, pesan-pesan dalam percakapan,
bahkan melalui imajinasi, (c) pertukaran informasi atau hiburan dengan kata-kata
melalui percakapan atau dengan metode lain, (d) pengalihan informasi dari
seseorang kepada orang lain, (e) pertukaran makna antarpribadi dengan system
symbol, dan (f) proses pengalihan pesan melalui saluran tertentu kepada orang
lain dengan efek tertentu.
Komunikasi interpersonal pada hakikatnya adalah komunikasi antara
komunikator dan komunikan. DeVito dalam Effendi (2000) mendefinisikan
8
komunikasi interpersonal sebagai proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan
antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa
efek dan beberapa umpan balik seketika.
Komunikasi interpersonal menurut Liliweri (2007) adalah komunikasi
yang dilakukan oleh dua atau tiga orang dengan jarak fisik di antara para
komunikator yang sangat dekat. DeVito (2009) mengemukakan komunikasi
interpersonal adalah proses selektif, sistemik, unik dan interaksi berkelanjutan
antara orang-orang yang mencerminkan dan membangun pengetahuan pribadi
satu sama lain dan menciptakan makna bersama.
Setiap kali individu akan melakukan komunikasi, individu tidak hanya
menyampaikan isi dari pesan tersebut tetapi juga harus menentukan dari seberapa
jauh kadar hubungan interpersonal yang dapat di ambil dari komunikasi yang
dilakukan. Artinya, setiap komunikasi mampu memberikan dampak relationship
terhadap oranglain sehingga memudahkan individu untuk diterima dalam
masyarakat maupun lingkungan. Menurut segi psikologi komunikasi, individu
dapat menyatakan bahwa makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka
orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang oranglain
dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di
antara komunikan.
2.1.2 Ciri-Ciri Komunikasi Interpersonal
Adapun ciri-ciri dari komunikasi antarpribadi menurut Rogers (dalam
Wiryanto, 2004) adalah sebagai berikut :
a. Arus pesan cenderung dua arah
9
b. Konteks komunikasinya dua arah
c. Tingkat umpan balik yang terjadi tinggi
d. Kemampuan mengatasi tingkat selektivitas, terutamaselektivitas keterpaan
tinggi
e. Kecepatan jangkauan terhadap khalayak yang besar relatiflambat
f. Efek yang mungkin terjadi adalah perubahan sikap
2.1.3 Tujuan Komunikasi Interpersonal
Tujuan Komunikasi Interpersonal mungkin mempunyai beberapa tujuan.
Di sini akan dipaparkan 6 tujuan, antara lain ( Muhammad, 2004) :
a. Menemukan diri sendiri
Salah satu tujuan komunikasi interpersonal adalah menemukan personal
atau pribadi. Bila kita terlibat dalam pertemuan interpersonal dengan orang lain
kita belajar banyak sekali tentang diri kita maupun orang lain.Komunikasi
interpersonal memberikan kesempatan kepada kita untuk berbicara tentang apa
yang kita sukai, atau mengenai diri kita. Adalah sangat menarik dan
mengasyikkan bila berdiskusi mengenai perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita
sendiri. Dengan membicarakan diri kita dengan orang lain, kita memberikan
sumber balikan yang luar biasa pada perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita.
b. Menemukan dunia luar
Hanya komunikasi interpersonal menjadikan kita dapat memahami lebih
banyak tentang diri kita dan orang lain yang berkomunikasi dengan kita. Banyak
informasi yang kita ketahui datang dari komunikasi interpersonal, meskipun
banyak jumlah informasi yang datang kepada kita dari media massa hal itu
seringkali didiskusikan dan akhirnya dipelajariatau didalami melalui interaksi
interpersonal.
c. Membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti
Salah satu keinginan orang yang paling besar adalah membentuk dan
memelihara hubungan dengan orang lain. Banyak dari waktu kita pergunakan
dalam komunikasi interpersonal diabadikan untuk membentuk dan menjaga
hubungan sosial dengan orang lain.
d. Berubah sikap dan tingkah laku
Banyak waktu kita pergunakan untuk mengubah sikap dan tingkah laku
orang lain dengan pertemuan interpersonal. Kita boleh menginginkan mereka
memilih cara tertentu, misalnya mencoba diet yang baru, membeli barang tertentu,
melihat film, menulis membaca buku, memasuki bidang tertentu dan percaya
10
bahwa sesuatu itu benar atau salah. Kita banyakmenggunakan waktu waktu
terlibat dalam posisi interpersonal.
e. Untuk bermain dan kesenangan
Bermain mencakup semua aktivitas yang mempunyai tujuan utama adalah
mencari kesenangan. Berbicara dengan teman mengenai aktivitas kita pada waktu
akhir pecan, berdiskusi mengenai olahraga, menceritakan cerita dan cerita lucu
pada umumnya hal itu adalah merupakan pembicaraan yang untuk menghabiskan
waktu. Dengan melakukan komunikasi interpersonal semacam itu dapat
memberikan keseimbangan yang penting dalam pikiran yang memerlukan rileks
dari semua keseriusan di lingkungan kita.
f. Untuk membantu
Ahli-ahli kejiwaan, ahli psikologi klinis dan terapi menggunakkan
komunikasi interpersonal dalam kegiatan profesional mereka untuk mengarahkan
kliennya. Kita semua juga berfungsi membantu orang lain dalam interaksi
interpersonal kita sehari-hari. Kita berkonsultasi dengan seorang teman yang
putus cinta, berkonsultasi dengan mahasiswa tentang mata kuliah yang sebaiknya
diambil dan lain sebagainya.
2.1.4. Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal
Aspek-Aspek Komunikasi Interpersonal menurut DeVito (1997) antara
lain adalah :
a. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan
komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan reaksi
atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta memberikan
informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di
masa kini tersebut.
Supratiknya (1995), mengartikan keterbukaan diri yaitu membagikan
kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau
dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita
saksikan. Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang
lain, maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan
komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka
diri. Brooks dan Emmert (Rahmat, 2005) mengemukakan bahwa karakteristik
orang yang terbuka adalah sebagai berikut:
1. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan keajegan
logika.
2. Membedakan dengan mudah, melihat nuansa, dsb.
3. Mencari informasi dari berbagai sumber
11
4. Mencari pengertian pesan yang tidak
kepercayaannya.
sesuai dengan rangkaian
b. Empati (Empathy)
Komunikasi antarpribadi dapat berlangsung kondusif apabila
komunikator (pengirim pesan) menunjukkan rasa empati pada komunikan
(penerima pesan). Empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan orang
lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Empati adalah sebagai
suatu kesediaan untuk memahami orang lain secara paripurna baik yang nampak
maupun yang terkandung, khususnya dalam aspek perasaan, pikiran dan
keinginan. Individu dapat menempatkan diri dalam suasana perasaan, pikiran
dan keinginan orang lain sedekat mungkin apabila individu tersebut dapat
berempati. Apabila empati tersebut tumbuh dalam proses komunikasi
antarpribadi, maka suasana hubungan komunikasi akan dapat berkembang dan
tumbuh sikap saling pengertian dan penerimaan.
Menurut Winkel (2006) bahwa empathy yaitu, konselor mampu
mendalami pikiran dan menghayati perasaan siswa, seolah-olah konselor pada
saat ini menjadi siswa, tanpa terbawa-bawa sendiri oleh semua itu dan kehilangan
kesadaran akan pikiran serta perasaan pada diri sendiri.
c.
Dukungan (Supportiveness)
Dalam komunikasi antarpribadi diperlukan sikap memberi dukungan dari
pihak komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi.
Rahmat (2005) mengemukakan bahwa “sikap supportif adalah sikap yang
mengurangi sikap defensif . Orang yang defensif cenderung lebih banyak
melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya ddalam situasi komunikan dari
pada memahami pesan orang lain.
Dukungan merupakan pemberian dorongan atau pengobaran semangat
kepada orang lain dalam suasana hubungan komunikasi. Sehingga dengan adanya
dukungan dalam situasi tersebut, komunikasi antarpribadi akan bertahan lama
karena tercipta suasana yang mendukung. Jack R.Gibb (Rahmat, 2005)
menyebutkan beberapa perilaku yang menimbulkan perilaku suportif, yaitu:
Deskripsi, yaitu menyampaikan perasaaan dan persepsi kepada orang lain tanpa
menilai, tidak memuji atau mengecam, mengevaluasi pada gagasan, bukan pada
pribadi orang lain, orang tersebut “merasa” bahwa kita menghargai diri mereka.
Orientasi masalah, yaitu mengajak untuk bekerja sama mencari pemecahan
masalah, tidak mendikte orang lain, tetapi secara bersama-sama menetapkan
tujuan dan memutuskan bagaimana mencapainya. Spontanitas, yaitu sikap jujur
dan dianggap tidak menyelimuti motif yang terpendam. Provisionalisme, yaitu
kesediaan untuk meninjau kembali pendapat diri sendiri, mengakui bahwa
manusia tidak luput dari kesalahan sehingga wajar kalau pendapat dan keyakinan
diri sendiri dapat berubah.
d.
Rasa positif (positivenes)
Rasa positif merupakan kecenderungan seseorang untuk mampu bertindak
berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan,
menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, memiliki
12
keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka terhadap
kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat memberi
dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima penghargaan tanpa
merasa bersalah.
Rahmat (2005) menyatakan bahwa sukses komunikasi antarpribadi banyak
tergantung pada kualitas pandangan dan perasaan diri; positif atau negatif.
Pandangan dan perasaan tentang diri yang positif, akan lahir pola perilaku
komunikasi antarpribadi yang positif pula.
e. Kesetaraan (Equality)
Kesetaraan merupakan perasaan sama dengan orang lain, sebagai manusia
tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu,
latar belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya. Rahmat (2005)
mengemukakan bahwa persamaan atau kesetaraan adalah sikap memperlakukan
orang lain secara horizontal dan demokratis, tidak menunjukkan diri sendiri lebih
tinggi atau lebih baik dari orang lain karena status, kekuasaan, kemampuan
intelektual kekayaan atau kecantikan. Dalam persamaan tidak mempertegas
perbedaan, artinya tidak mengggurui, tetapi berbincang pada tingkat yang sama,
yaitu mengkomunikasikan penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat
merasa nyaman, yang akhirnya proses komunikasi akan berjalan dengan baik dan
lancar.
2.1.5 Faktor-Faktor Komunikasi Interpersonal
Faktor-faktor yang Menyebabkan Komunikasi InterpersonalMenurut
Rahmat
(2001)
mengemukakanfaktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan
komunikasiinterpersonal terdiri dari:
a. Persepsi interpersonal
Berupa pengalaman tentang peristiwa atauhubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkaninformasi dan menafsirkan pesan untukmembedakan
bahwa manusia bukan benda tapisebagai objek persepsi.
b. Konsep diri
Menurut Brooks (dalam Rahmat 2001) konsep diri adalah suatu
pandangan dan perasan individu tentang dirinya. Jika individu dapat diterima
orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan dirinya, individu cenderung
akan bersikap menghormati dan menerima diri. Sebaliknya, bila orang lain selalu
meremehkan, menyalahkan dan menolak dirinya, individu cenderung akan
bersikap tidak akan menyenangi dirinya.
c.
Atraksi interpersonal
Menurut Barlund (dalam Rahmat 2001) Atraksi interpersonal diperoleh
dengan mengetahui siapa yang tertarik kepada siapa atau siapa menghindari siapa,
maka individu dapat meramalkan arus komunikasi interpersonal yang akan terjadi.
13
Misalnya makin tertarik individu kepada seseorang, makin besar kecenderungan
individu berkomunikasinya. Kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya
tarik seseorang disebut sebagai atraksi interpersonal.
d.
Hubungan interpersonal
Menurut Goldstein (dalam Rahmat, 2001) hubungan interpersonal ada tiga
yaitu:
1) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin terbuka
individu mengungkapkan perasaannya.
2) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka semakin cenderung
individu meneliti perasaannya secara mendalam beserta penolongnya
(psikolog).
3) Semakin baik hubungan interpersonal seseorang maka makin cenderung
individu mendengarkan dengan penuh perhatian dan bertindak atas nasehat
penolongnya.
2.1.6 Pentingnya Komunikasi Interpersonal
Menurut Joseph A. DeVito dalam bukunya “The Interpersonal
Communication Book” (DeVito, 1992) komunikasi antarpribadi adalah:
“The process of sending and receiving message beetwen two person, or among a
small group of person, with some effect and some immediate feedback (proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau diantara
kelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
dalam berkomunikasi secara seketika)”. (Effendy, 2000).
Pentingnya
komunikasi
interpersonal
adalah
karena
prosesnya
memungkinkan berlangsung secara dialogis. Komunikasi berlangsung secara
dialogis selalu lebih baik daripada secara monologis. Karena monologis
menunjukan suatu bentuk komunikasi dimana seseorang berbicara yang lain
mendengarkan, jadi tidak terdapat interaksi dan yang berperan aktif hanya
komunikatornya saja, sementara komunikan bersifat pasif. Dialogis adalah bentuk
komunikasi interpersonal
yang menunjukan terjadinya interaksi, semua yang
terlibat dalam komunikasi bentuk dialog ini berfungsi ganda masing-masing
14
menjadi pembicara dan pendengar secara bergantian. Proses komunikasi dialogis
nampak adanya upaya dari pelaku komunikasi untuk terjadinya pengertian
bersama (mutual understanding) dan empati.
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi
interpersonal di nilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan,
opini, dan perilaku komunikan. Komunikasi yang umumnya berlangsung secara
tatap muka (face to face) dengan komunikan maka terjadilah kontak pribadi.
Berkomunikasi
interpersonal,
atau
secara
ringkas
berkomunikasi,
merupakan keharusan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan senantiasa
membuka serta menjalin komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu
ada sejumlah kebutuhan didalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat
berkomunikasi dengan sesamanya. Oleh karena itu, penting bagi individuuntuk
bisa menjalankan komunikasi interpersonal.
Komunikasi interpersonal sangat penting bagi kebahagiaan hidup. Johnson
(1995), menunjukan beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi
antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia.
Pertama, komunikasi interpersonal membantu perkembangan intelektual
dan sosial kita. Perkembangan kita sejak saat bayi sampai masa dewasa mengikuti
pola semakin meluasnya ketergantungan kita kepada orang lain, diawaili dengan
ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi,
lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin meluas dengan
bertambahnya usia kita. Bersamaan dengan proses itu, perkembangan intelektual
dan sosial individusangat ditentukan oleh kualitas komunikasi individu dengan
orang lain.
15
Kedua, identitas atau jati diri individu kita terbentuk dalam dan lewat
komunikasi dengan orang lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara
sadar maupun tidak sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam
hati semua tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri sendiri. Kita
menjadi tahu bagaimana pandangan orang lain tentang diri sendiri. Berkat
pertolongan komunikasi dengan orang lain individudapat menemukan diri, yaitu
mengetahui siapa diri sendiri sebenarnya.
Ketiga, dalam rangka memahami realitas di sekeliling individuserta
menguji kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang lingkungan disekitar
individu, perlu membandingkan dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain
tentang realitas yang sama. Tentu saja, pembanding sosial (social comparison)
semacam itu hanya dapat individu lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
Keempat, kesehatan mental individusebagian besar juga ditentukan oleh
kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orangorang yang merupakan tokoh signifikan (significant figures) dalam kehidupan
Agar merasakan bahagia, individu membutuhkan konfirmasi dari orang
lain, yakni pengakuan berupa tanggapan dari orang lain yang menujukan bahwa
diri normal, sehat dan berharga. Lawan dari konfirmasi adalah diskonfirmasi,
yakni penolakan dari orang lain berupa tanggapan yang menunjukan bahwa diri
individu abnormal, tidak sehat dan tidak berharga. Semua itu hanya kita peroleh
lewat komunikasi interpersonal, komunikasi dengan orang lain.
16
2.2 Determinasi Diri
2.2.1 Pengertian Determinasi Diri
Determinasi diri (Self Determination Theory) adalah motivasi intrinsik
keadaan yang berasal dari dalam diri individu sendiri yang dapat mendorong
melakukan tindakan tujuan yanng individu inginkan sendiri. Dalam determinasi
diri menunjukan seseorang untuk mencari pengetahuan yang baru, tantang dalam
diri sendiri, menemukan hal-hal yang baru yang pada akhirnya akan diterapkan
dalan kegiatan dan tindakan seseorang yang akan dilakukan sesuai dengan
kebutuhan. Dalam motivasi intrinsik ada tiga faktor ini berperan penting sebagai
kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi dalam meningkatkan motivasi intrinsik
seseorang. Ketiga kebutuhan itu adalah; kompetensi, otonomi, dan hubungan
sosial.
Teori Determinasi Diri (Self Determination Theory/STD) Deci & Ryan
(2002, dalam Muller et al, 2006) adalah teori motivasi yang komprehensif
melalui membedakan motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi
intrinsik ditetapkan sendiri oleh individu yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari
luar dirinya. Sebaliknya, motivasi ekstrinsik bersifat instrumental karena tindakan
individu dilakukan dalam kendali pihak di luar diri individu. Konsepsi motivasi
yang dikotomis ini, yaitu pemilahan motivasi intrinsik dengan ekstrinsik,
digantikan dengan konsepsi dari Self Determination Theory melalui determinasi
diri yang bersifat kontinyu yang dapat digambarkan sebagai berikut:
17
Amotivation
Non
Regulation
Intrinsic
Motivation
Extrinsic Motivation
External
Regulation
Introjected
Regulation
controlled
Identified
Regulation
Integrated
Regulation
Intrinsic
Regulation
self-determined
Gambar 1. Garis Kontinyu Determinasi Diri (Deci & Ryan, 2002)
Dalam teori determinasi diri, aktivitas individu diamati sebagai gaya pengaturan (regulatory styles) dalam taraf determinasi diri yang berbeda-beda yang
terdiri dari amotivation, 4 taraf gaya pengaturan yang termasuk dalam motivasi
ekstrinsik serta pengaturan intrinsik.
2.2.2 Aspek – aspek Determinasi Diri
a.
Amotivation: amotivation didefinisikan sebagai “non-regulation” yang
menurut STD, tidak menggambarkan tindakan karena tidak memiliki
orientasi sebagai sasarannya. STD hanya membahas motivasi yang
mengandung intensi/niatan untuk bertindak/an intention to act.
b.
External regulation: external regulation seasas dengan definisi tradisional
motivasi ekstrinsik.
18
c.
Introjected regulation: introjection regulation mencakup tindakan yang
berkaitan dengan memelihara harga diri seperti belajar guna memberi
kesan baik kepada orang lain atau karena diharapkan agar individu agar
bertindak yang selaras misalnya mahasiswa hadir dalam kuliah karena
beranggapan mahasiswa harus hadir dalam kuliah secara teratur. Sumber
tindakan dari diri sendiri meski hal ini tergolong pada determinasi diri
taraf rendah.
d.
Identified regulation: identified regulation bertolak dari relevansi
perseorangan dalam bertindak, misalnya mahasiswa tidak berminat pada
sesuatu mata kuliah, betapapun ia berkepentingan untuk mendapatkan nilai
baik dalam kuliah tersebut karena berniat kuat meraih sukses menyelesaikan studi. Dalam bahasa determinasi diri, mahasiswa mengatur
perilakunya setelah mengidentifikasikan diri dengan tujuan jangka
menengah studinya.
e.
Integrated regulation: integrated regulation bergantung pada determinasi
diri. Gaya pengaturan diri ini dihasilkan oleh pengintegrasian tata-nilai
yang diterima individu yang disatukan ke dalam rasa diri/konsep dirinya.
Tata nilai itu eksis berdampingan secara harmonis dengan segi-segi lain
dalam diri individu. Gaya pengaturan diri ini amat dekat dengan regulasi
determinasi diri yang intrinsik dan secara empiris sulit membedakannya
dengan intrinsic regulation.
f.
Intrinsic regulation: intrinsic motivation ini merupakan prototipe motivasi
dalam determinasi diri dan menunjukkan kecenderungan inheren/asli
untuk menemukan tantangan, pengetahuan, hal-hal baru serta pengalaman
19
emosional yang positif seolah individu amat larut terserap ke dalam
kegiatannya (seperti konsep flow, mengalir saja) Sesuai STD, mahasiswa
secara intrinsik mengatur diri ketika melakukan apa yang ingin
dilakukannya.
Jadi
determinasi
diri
dapat
digambarkan
adanya
“keselarasan subyektif antara diri individu dengan tindakan yang
dilakukannya.
Pengembangan dan pemeliharaan sistem pengaturan determinasi diri
menurut STD tergantung pada dapat terpenuhinya salah satu dari tiga kebutuhan
psikologi asli yaitu kebutuhan otonomi, bersekutu secara sosial dan berkompetensi. Autonomy merujuk pada rasa cakap memilih/choice dan bertindak/agency,
individu perlu merasa dapat memilih dan melakukan tindakannya sendiri. Competence menunjuk pada rasa efektif/effectiveness, individu perlu merasa memiliki
kendali atas hasil-hasil tindakannya dan merasa memiliki kecakapan memberikan
dampak pada lingkungannya. Relatedness merujuk pada rasa dialaminya koneksi/
keterhubungan sosial yang efektif dan memiliki relasi sosial yang bermakna, terhubungkan dalam interaksi dengan orang-orang yang dipentingkannya. Lingkungan yang mengembangkan ketiga kebutuhan dasar itu menghasilkan perilaku
berdeterminasi diri atau individu yang bermotivasi intrinsik. Konteks sosial keluarga, kampus dan profesi memudahkan terpenuhinya ketiga kebutuhan itu melalui
menyediakan tantangan optimal untuk berkembang, memberi loloh-balik dan
keterlibatan antar pribadi. Deci et al (Zinkiewicz, Hammond & Trapp, 2003) menyatakan faktor kontekstual yang mendukung otonomi seperti menyediakan
landasan rasional makna giat belajar, mengakui perasaan mahasiswa dan mena-
20
warkan pilihan bahan dan tagihan belajar. Belajar berbasis proyek misalnya
memberi mahasiswa pilihan wujud akhir tugas yang sebagai basis penilaian.
Teori determinasi diri membuat perbedaan antara tipe motivasi ekstrinsik
yang dijadikan ketetapan pribadi/self determined atau atonomik dengan tipe
motivasi ekstrinsik yang terkendali/contolled beserta dampaknya yang berbeda
pada kualitas pengalaman belajar dan bekerja. Motivasi ekstrinsik yang terkendali
bergantung pada ganjaran dan sanksi ekslisit atau implisit dan pada pendangan
pribadi tentang apa yang diharapkan dari diri sendiri yang pada giliranya
menghasilkan perilaku yanng merupakan tenggapan terhadap tekanan karena
perilaku itu dikendalikandari luar diri individu. Motivasi ekstrinsik yang demikian
itu menjauhkan individu dari determinasi diri setra menngakibatkan menurunya
motivasi intrinsik. Belajar yang dikendalikan oleh motivasi ekstrinsik ini karena
berlangsung dalam kondisi yang dikendalikan cenderung menjadi jenis belajar
ingatan jangka pendek dan terintegrasikan secara buruk dalam tata nilai dan
ketrampilan jangka panjang.
Selanjutnya, motivasi ekstrinsik yang otonomik dapat berubah menjadi
motivasi
intrinsik
melalui
ditetapkannya
manjadi
milik
pribadi
(yang
determinasikan diri), yang mendapat persetujuan dari diri sendiri, mampu
mereflaksikan diri sehingga menjadi menarik, menyenangkan dan penting bagi
diri sendiri pula, motivasi ekstrinsik yang sudah menjadi milik sendiri ini
mengarahkan munculnya perilaku yang disertai oleh nuansa suka-rela, berkarya
dan pilihan pribadi.
Robinson (1997) menegaskan bahwa perilaku akademik diamati sebagai
perilaku yang dimotivasi secara intrinsik, ekstrinsik atau tidak termotivasi.
21
Perilaku yang secara intrinsik termotivasikan dikenakan pada pengajaran tugas
akademik demi untuk menangani tugas itu sendiri dan untuk memberi rasa
sengang dan kepuasan pribadi. Deci & Ryan (1985) menemukan motivasi yang
otonomik, yakni yang ditetapkan individu secara pribadi terlah berhasil
meningkatkan kenerja belajar siswa. Dengan kata lain, siswa yang memiliki
motivasi yang ditetapkan sendiri/ self-determined dalam mengerjakan tugas-tugas
pelajaran sangat besar kecenderungan siswa lebih betah berada di sekolah untuk
belajar daripada siswa yang motivasi belajarnya kurang ditatapkan secara pribadi..
Teori determinasi diri diujikan pula melalui penelitian Fotier, Vallerand&
Guay (Robinson, 1997). Dua ratus enampuluhtiga siswa kelas XI dari dua SMA di
Montreal mengisi angket evaluasi diri yanng berisikan butir-butir kompetensi
akademik, determinasi diri dan motivasi akademik yang otonomik. Sebagai
indikator kinerja akademik adalah nilai matematika, bahasa Perancis, biologi dan
geografi. Temuan penelitian menunjukan siswa yanng merasa berkompetensi dan
menetapkan sendiri motivasinya belajar memiliki profil motivasi otonimi tinggi.
Teori determinasi diri menyiratkan mekna behwa kinerja akademik yang tinggi
tergantung pada rasa otonomik individu siswa. Dengan kata lain, siswa yang
mendiri mencapai kinerja akademik bertaraf tinggi dibandingkan dengan siswa
yanng tergantung pada orang lain.
Chirkov, Ryan& Willness (2005) menemukan segi pentingnya praktik
budaya dan frekuensi penerapan tata nilai seperti yang diungnkapkan model
budaya Triandis tentang orientasi individualisme-kolektivisme dan orientasi
harizontal-vertikal pada mahasiswa Brazil dan Canada. Para peneliti mengukur
taraf otonomi mahasiswa atas penerapan praktik budaya dan taraf dukungan orang
22
tua dan dosen terhadap pemenuhan kebutuhan untuk menjadi otonomik, untuk
merasa berkompetensi dan untuk bersekutua seperti yang tertuang dalam teori
determinasi diri. Ditemukan rasa otonomik yang lebih tinggi beserta kebutuhan
mendapat dukungan dari orang tua dan dosen berkorelasi denga taraf kesehatan
jiwa dan identitas budaya yang lebih tinggi pada kedua kelompok mahasiswa itu.
detemukan pula orientasi budaya secara vertikal kerang terinternalisasikam dan
kedua kelompok mahasiswa itu. Dibahas segi pentinya proses internalisasi tata
nilai melampaui batasan budaya, perbedaan konseptual antara otonomi dengan
individualisme dan ketidak-bergantungan/independence serta korelasi entara
orientasi budaya secara horisontal dengan kebutuhan mendapat dukungan
psikologik.
2.3. Hasil Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian Chirkov et al (2003) menunjukkan dosen yang menetapkan pilihan bagi mahasiswa menyebabkan melemahnya motivasi intrinsik. Di
pihak lain, mengadopsi pilihan yang telah ditetapkan oleh orang-orang penting
yang dipercayai oleh mahasiswa Asia telah mengembangkan motivasi intrinsik.
Otonomi/kemandirian pada beberapa masyarakat di luar masyarakat barat
menunjukkan individu yang mandiri ternyata tidak lebih bahagia hidupnya dibandingkan dengan individu yang kurang mandiri. Pandangan bertentangan tentang
kemandirian yang melintasi lingkup budaya ini menarik untuk dikaji lebih lanjut.
Hasil penelitian Canggih (2010) mengatakan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara komunikasi interpersonal dengan motivasi berprestasi diri yang
23
salah satunya di pengaruhi oleh motivasi intrinsik yang meliputi determinasi diri.
Pada taraf 95% dengan besar pengaruhnya sebesar 16%.
Dalam
penelitian
yang
dilakukan
Anggraeni
(2008)
menelusuri
determinasi beberapa faktor afektif yang mempengaruhi keberhasilan belajar
mahasiswa dan mengungkap bagaimana secara psikologis faktor-faktor tersebut
dirasakan oleh mahasiswa. Untuk menentukan determinasi setiap faktor efektif
dalam membedakan antara mahasiswa yang berprestasi tinggi dengan mahasiswa
yang berprestasi rendah. Hasil penelitian menunjukkan tingkat anxiety dan
learned helplessness mahasiswa berprestasi tinggi lebih rendah dibandingkan
dengan mahasiswa berprestasi rendah, sementara tingkat self efficacy, locus of
control, interest, dan integrativeness mahasiswa berprestasi tinggi lebih tinggi
dibandingkan dengan mahasiswa berprestasi rendah, dan perbedaan ini dibuktikan
signifikan.
Hasil penelitian Padmomartono (2008) dalam penelitian yang berjudul
meramalkan
prestasi
akademik
mahasiswa
PGSD-UKSW
berdasarkan
determinasi diri dan consciousness dalam faktor kepribadian “the big five”
menyatakan bahwa 22,4% prestasi akademik mahasiswa dapat diramalkan secara
bersama-sama oleh determinasi diri dan faktor kepribadian the big five sementara
77.6% diramalkan oleh faktor-faktor yang tidak diteliti.
2.4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang dan teori – teori yang ada hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “Ada hubungan yang signifikan antara
24
determinasi diri dan komunikasi interpersonal pada mahasiswa Bimbingandan
Konseling angkatan 2009FKIP UKSW tahun akademik 2011/2012.
25
Download