FIX _2 - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati serta negara
megadiversity kedua setelah Brazil. Salah satu dari keanekaragaman hayati
Indonesia adalah satwa primata. Sebanyak 20% spesies primata dunia dapat
ditemukan di negara kepulauan ini. (Supriatna dan Wahyono, 2000). Berdasarkan
data International Union for Conservation of Nature (IUCN) tentang 25 primata
dunia yang populasinya terancam selama tahun 2008-2010, bahwa Indonesia
memiliki 4 dari primata tersebut yaitu Tarsius tumpara, Nycticebus javanicus,
Simias concolor, Pongo abelii. Salah satu dari spesies primata yang terancam
populasinya adalah orangutan sumatera yang saat ini populasinya sekitar 6600
individu (Mittermeier, R.A. dkk., 2009).
Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang masih berada di Asia,
sementara tiga kerabatnya, yaitu gorila, simpanse, dan bonobo, populasinya
dominan berada di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat
dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari pulau jawa di ujung selatan sampai ujung
utara Pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan, namun saat ini jenis kera
besar 90% berada di Indonesia dan hanya ditemukan di Sumatera bagian utara dan
Kalimantan. Penyebab utama terjadinya penyempitan daerah sebaran tersebut
adalah dikarenakan manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama,
terutama dataran alluvial di sekitar daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut.
1
2
Sebagian besar lahan tersebut yang dimanfaatkan oleh manusia, nyatanya
berakibat fatal bagi pihak orangutan sehingga berakibat pada pengurangan
populasi orangutan (Soehartono dkk., 2007). Berdasarkan data Wich tahun 2008,
total populasi orangutan di pulau Borneo (Indonesia dan Malaysia) adalah sekitar
54.000 (Wetik, 2011).
Penelitian terhadap primata termasuk orangutan telah banyak dilakukan
terkait keragaman genetik, tingkah laku, manajemen pemeliharaan hingga
manajemen kesehatan, namun penelitian terkait manajemen kesehatan termasuk
mengenai gangguan saluran pencernaan pada orangutan di Indonesia masih jarang
dilakukan. Menurut Wahyuni (1999), gangguan saluran pencernaan merupakan
masalah yang paling sering ditemukan pada satwa primata. Gangguan ini biasanya
ditandai dengan gejala diare yang disebabkan oleh bakteri enteropatogen.
Enteropatogen yang paling sering menginfeksi orangutan adalah Shigella
sp., Escherichia coli, dan Salmonella sp. (Aieolo, 2000). Selain bakteri
enteropatogen, terdapat pula bakteri normal pada saluran pencernaan yang bersifat
patogen oportunis yang pada kondisi tertentu memiliki kemungkinan untuk
menjadi patogen, sehingga identifikasi mengenai bakteri saluran pencernaan yang
ditemukan pada kasus diare perlu dilakukan untuk dapat melaksanakan
pengendalian terhadap wabah penyakit saluran pencernaan.
Penelitian mengenai kejadian diare bakterial pada orangutan kalimantan
masih sedikit dilakukan. Pengobatan yang tepat perlu diberikan untuk menunjang
kesembuhan. Pengobatan menggunakan antibiotik yang tidak tepat dapat
3
menimbulkan resitensi bakteri terhadap antibiotika, sehingga sensitivitas bakteri
perlu diuji terlebih dahulu untuk menghindari kesalahan pemilihan antibiotik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi dan identifikasi bakteri
Gram negatif yang ditemukan pada orangutan (Pongo pygmaeus) dengan kasus
diare, serta mengetahui sensitivitas bakteri tersebut terhadap 20 macam antibiotika
meliputi amoksisilin, ampisilin, karbenisilin, cefoksitin, cefaklor, cefotaksim,
cefiksim, ceftriakson, ciprofloksasin, enrofloksasin, norfloksasin, flumequin,
levofloksasin, streptomisin, gentamisin, amikasin, kloramfenikol tigesiklin,
oksitetrasiklin dan sulfametoksazol/ trimetrophrim.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
bakteri yang terdapat pada orangutan yang mengalami diare. Melalui penelitian ini
diharapkan mampu memberikan referensi pemberian antibiotika pada orangutan.
Download