ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGELUARAN KONSUMSI RUMAHTANGGA DI INDONESIA (PERIODE TAHUN 2000-2010) OLEH MUROHMAN H14114011 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN MUROHMAN, Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga di Indonesia (Periode Tahun 2000 – 2010), dibimbing oleh DR. WIWIEK RINDAYATI, M.S. Pengeluaran konsumsi rumahtangga pada beberapa negara masih menjadi andalan utama dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi kerena kontribusinya yang cukup besar dalam pembentukan PDB. Pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia mempunyai proporsi 56,55 persen dalam pembentukan PDB pada tahun 2010 dan mempunyai andil dalam menjaga pertumbuhan ekonomi pada waktu krisis tahun 2008. Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia sekitar 237 juta jiwa. Pengeluaran konsumsi perkapita penduduk Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perkembangan pengeluaran konsumsi rumahtangga, mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya, dan menganalisis besaran pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Adanya pengaruh kenaikan harga BBM terhadap inflasi yang terjadi di Indonesia juga mendasari tujuan penelitian ini dengan menganalisis pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier berganda. Analisis statistik diskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum dinamika variabel ekonomi yang digunakan dalam analisis regresi dari tahun 2000-2010 dan variabel non ekonomi lainnya. Sedangkan analisis regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel ekonomi terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia. Hasil analisis menunjukan bahwa pendapatan nasional, suku bunga tabungan, inflasi, dan pertumbuhan investasi di Indonesia bersama-sama dapat memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga. Variabel pendapatan nasional, suku bunga tabungan, dan pertumbuhan investasi berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Sedangkan inflasi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Dampak kenaikan harga BBM ternyata tidak memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga selama tahun 2000-2010. Pendapatan merupakan determinan utama yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia. Untuk meningkatkan pendapatan perkapita pemerintah hendaknya terus meningkatkan pendapatan masyarakat dengan menjaga kestabilan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan menggerakkan sektor-sektor produktif yang mengasah kemampuan berusaha (enterpreneurship). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGELUARAN KONSUMSI RUMAHTANGGA DI INDONESIA (PERIODE TAHUN 2000-2010) OLEH MUROHMAN H14114011 Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 Judul Skripsi : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI PENGELUARAN KONSUMSI RUMAHTANGGA DI INDONESIA (PERIODE TAHUN 2000-2010) Nama : Murohman NRP : H14114011 Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Wiwiek Rindayati, M.S. NIP. 19620816 198701 2 001 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi Dedi Budiman Hakim, Ph.D. NIP.19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan : PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, November 2011 Murohman H14114011 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Murohman lahir di Semarang, salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 10 Mei 1978. Penulis adalah putra bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Muh. Sakdun dan Samini. Penulis telah menikah dengan Nur Asih Kurniawati pada tahun 2001 dan telah dikaruniai tiga orang anak bernama Rizal Putra Nurohman, Amir Fadilah Wiratama, dan Nabila Safira Ramadhani. Riwayat pendidikan penulis dimulai dari SDN 14 Merbau, Banyumanik, Semarang dan lulus pada tahun 1991. Selepas SD, penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri 12 Semarang dan lulus pada tahun 1994 serta SMU Negeri 4 Semarang dan lulus pada tahun 1997. Setelah menyelesaikan bangku SMU, penulis melanjutkan pendidikan pada Program D4 Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Penulis menyelesaikan Program D4 Jurusan Komputasi Statistik pada tahun tersebut dan mendapatkan gelar Sarjana Sains Terapan (S.ST). Penulis masih tercatat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat Seksi Statistik Sosial. Saat ini, penulis sedang menempuh Program Alih Jenis S1 Ilmu Ekonomi sebagai salah satu syarat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Mayor Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB). KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga di Indonesia (PeriodeTahun 2000-2010)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rangkaian ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Seluruh jajaran pimpinan BPS, khususnya Dr. Rusman Heriawan, yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan melalui program tugas belajar ini. 2. Dr. Wiwiek Rindayati, M.S. selaku Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini. 3. Dr. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr. dan Dr. Muhammad Findi A., M.E. selaku dosen penguji, atas saran dan kritik yang telah diberikan untuk kesempurnaan skripsi ini. 4. Istri dan anak-anakku (Nur Asih, Rizal, Fadil, dan Nabila) atas doa, dukungan dan kesabarannya. 5. Rekan-rekan seangkatan (BPS Batch 4) atas sumbangan ide, pikiran serta saran dalam menyempurnakan penulisan skripsi. 6. Seluruh dosen Program Alih Jenis S1 serta semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan. Bogor, November 2011 Murohman H14114011 viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiii I. II PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................................. 6 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 9 1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian ............................................... 9 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN .................... 11 2.1 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 11 2.2 Landasan Teori ..................................................................................... 12 2.2.1 Fungsi Konsumsi ....................................................................... 11 2.2.2 Teori Konsumsi .......................................................................... 14 2.2.2.1 Teori Konsumsi Keynes ................................................... 14 2.2.2.2 Teori Konsumsi Berdasarkan Pilihan Antar Waktu ......... 18 2.2.2.3 Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Daur Hidup ....... 20 2.2.2.4 Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Permanen .......................................................................... 22 2.2.2.5 Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Relatif ............................................................................... 24 2.2.2.6 Teori Konsumsi Berdasarkan Pendekatan Modern .......... 27 2.3 Variabel Penelitian ................................................................................ 27 2.3.1 Pendapatan ................................................................................. 27 2.3.2 Tingkat Suku Bunga .................................................................. 29 2.3.3 Inflasi ......................................................................................... 31 ix 2.3.4 Kekayaan .................................................................................... 32 2.3.5 Variabel Lain yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi ........ 32 2.4 Tinjauan Penelitian Terdahulu ............................................................. 34 2.5 Kerangka Pemikiran ............................................................................. 36 2.6 Hipotesis .............................................................................................. 38 III METODE PENELITIAN ........................................................................... 39 3.1 Jenis dan Sumber Data ........................................................................ 39 3.2 Metode Analisis Data ............................................................................ 40 3.2.1 Analisis Statistik Deskriptif ..................................................... 40 3.2.2 Analisis Regresi Linier Berganda ............................................ 40 3.2.2.1 Asumsi Regresi Linier Berganda .................................... 42 3.2.2.2 Pemeriksaan dan Pengujian Asumsi Model .................... 43 3.2.2.3 Pengujian Parameter Model ............................................. 48 3.2.2.3.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) ........................... 48 3.2.2.3.2 Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Ftest/uji F) .............................................................. 50 3.2.2.3.3 Uji Koefisien Regresi Parsial (uji t) ..................... 51 3.3 Software Analisis Data ......................................................................... 52 IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................................... 54 4.1 Analisis Statistik Deskriptif .................................................................. 54 4.1.1 Penduduk dan Kemiskinan ....................................................... 54 4.1.2 Ketenagakerjaan ........................................................................ 57 4.1.3 Konsumsi Rumahtangga ........................................................... 58 4.1.4 Pendapatan Nasional ................................................................. 61 4.1.5 Tabungan dan Investasi............................................................. 63 4.1.6 Inflasi dan Suku Bunga ............................................................. 64 4.2 Analisis Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga .................................................. 65 4.2.1 Pengujian Asumsi Model ......................................................... 66 4.2.1.1 Asusmi Normalitas ............................................................ 67 4.2.1.2 Uji Autokorelasi ................................................................. 68 x 4.2.1.3 Uji Heterokedastisitas ........................................................ 69 4.2.1.4 Uji Multikolinieritas .......................................................... 79 4.2.2 Pengujian Parameter Model ...................................................... 70 4.2.2.1 Uji Koefisien Determinasi (R2).......................................... 70 4.2.2.2 Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Uji F) ........ 71 4.2.2.3 Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t) .................................. 72 4.2.3 Analisis Model Fungsi Konsumsi ............................................. 72 4.2.3.1 Pengaruh Pendapatan Nasional Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga .................................................... 73 4.2.3.2 Pengaruh Suku Bunga TabunganTerhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga .................................................... 73 4.2.3.3 Pengaruh Inflasi Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga ..................................................................... 74 4.2.3.4 Pengaruh Pertumbuhan Investasi Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga .................................................... 74 4.2.3.5 Pengaruh Kenaikan Harga BBM Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga .................................................... 75 V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 76 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 76 5.2 Saran ..................................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 79 LAMPIRAN ....................................................................................................... 81 xi DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 Perbandingan Konsumsi Perkapita Beberapa Negara Asia Tenggara (US$) ............................................................................... 7 Tabel 1.2 Harga BBM Bersubsidi (Rp.) ......................................................... 8 Tabel 4.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 (jiwa) ................... 55 Tabel 4.2 Persentase Penduduk Miskin di Indonesia ...................................... 56 Tabel 4.3 Penduduk Menurut Kegiatan ......................................................... 57 Tabel 4.4 Persentase Pengeluaran Konsumsi Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang ........................................................................... 61 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Koefisien Regresi Linier Berganda ........................ 66 Tabel 4.6 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square dari Pengujian Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test ................................ 68 Tabel 4.7 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square dari Pengujian Breusch-Pagan-Godfrey Test.......................................................... 69 Tabel 4.8 Matrik Korelasi Antarvariabel Independen .................................... 70 Tabel 4.9 Nilai Statistik Model Pengaruh Pendapatan Nasional, Suku Bunga Tabungan, Inflasi, Pertumbuhan Investasi dan Dummy Krisis terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga.............................. 71 xii DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Fungsi Konsumsi ............................................................................ 17 Gambar 2.2 Fungsi Konsumsi Jangka Pendek dan Jangka Panjang ................... 18 Gambar 2.3 Konsumsi dan Pendapatan dalam Daur Kehidupan ........................ 21 Gambar 2.4 Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif ............................... 25 Gambar 2.5 Alur Kerangka Pemikiran ............................................................... 37 Gambar 4.1 Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto (Atas Dasar Harga Konstan 2000) .................................................. 59 Gambar 4.2 Pertumbuhan Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto ............................................................................................... 60 Gambar 4.3 Pertumbuhan Pendapatan Nasional dan Produk Domestik Bruto... 62 Gambar 4.4 Pertumbuhan Investasi dan Tabungan ............................................ 64 Gambar 4.5 Inflasi dan Suku Bunga Tabungan .................................................. 65 Gambar 4.6 Hasil Uji Kenormalan dengan Metode Jarque-Bera ....................... 67 xiii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Jumlah Penduduk, Rumahtangga dan Rata-rata Anggota Rumahtangga ............................................................................... 81 Lampiran 2 Penduduk Menurut Status Pekerjaan Utama (jiwa) .................... 81 Lampiran 3 Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan.......................................................... 82 Lampiran 4 Distribusi Pendapatan dan Indeks Gini ....................................... 82 Lampiran 5 Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000 (miliar Rp.) ......................................................................... 83 Lampiran 6 Proporsi Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000............................................................................... 84 Lampiran 7 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000 .................................................................... 85 Lampiran 8 Hasil Regresi Linier Berganda dan Pengujian Asumsi dengan Menggunakan EViews ................................................................ 86 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia selama hidupnya selalu melakukan kegiatan dalam memenuhi kebutuhannya, baik berupa kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat perlindungan, hiburan dan kebutuhan hidup lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut setiap individu dalam aktivitas keseharian melakukan pembelanjaan atau konsumsi terhadap suatu barang. Pengeluaran untuk konsumsi pada setiap individu mulai dari dilahirkan hingga akhir hidupnya, artinya setiap individu melakukan kegiatan konsumsi sepanjang hidupnya. Oleh karena itu kegiatan konsumsi mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan pembelanjaan atau konsumsi suatu barang akan menimbulkan permintaan terhadap barang tersebut. Permintaan adalah keinginan konsumen membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu (Rahardja dan Manurung, 2008). Jadi tingkat permintaan dapat mencerminkan tingkat konsumsi suatu barang yang diinginkan oleh konsumen. Sedangkan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan itu sendiri adalah harga suatu barang, harga barang lain yang terkait, tingkat pendapatan, selera, jumlah penduduk, perkiraan harga yang akan datang, distribusi pendapatan dan usaha produsen dalam meningkatkan penjualan seperti iklan dan sebagainya. Konsumsi akan terjadi jika permintaan akan suatu barang dapat dipenuhi dan ketersediaan barang dapat memenuhi kebutuhan dalam memuaskan keinginan 2 mengkonsumsi suatu barang. Konsumsi tidak akan terjadi jika permintaan akan suatu barang tidak dapat terpenuhi. Jadi kegiatan konsumsi suatu barang erat kaitannya dengan kegiatan produksi barang tersebut. Kegiatan produksi muncul disebabkan karena adanya kegiatan konsumsi. Sebaliknya kegiatan konsumsi ada karena barang tersedia dan ada yang memproduksinya. Prilaku konsumsi secara mikro dipengaruhi oleh perilaku individu dalam mengambil keputusan dalam konsumsi. Sedangkan secara makro, keputusan konsumsi rumah tangga memengaruhi keseluruhan perilaku perekonomian baik dalam jangka panjang maupun dalam jangka pendek (Mankiw, 2007). Banyak faktor yang memengaruhi besaran pengeluaran konsumsi rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan menjadi faktor ekonomi, faktor demografi, dan faktor nonekonomi. Faktor-faktor ekonomi yang memengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga, kekayaan rumah tangga, jumlah barang konsumsi tahan lama dalam masyarakat, tingkat bunga, perkiraan tentang masa depan, dan kebijakan pemerintah dalam mengurangi ketimpangan distribusi pendapatan. Faktor-faktor demografi yang memengaruhi tingkat konsumsi adalah jumlah penduduk dan komposisi penduduk. Sedangkan faktor-faktor nonekonomi yang paling berpengaruh terhadap tingkat konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat seperti pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tata nilai untuk meniru kelompok masyarakat lain (Rahardja dan Manurung, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi, rumah tangga harus mempunyai pendapatan. Walaupun secara teori konsumsi harus dilakukan 3 meskipun belum mempunyai pendapatan, yang disebut konsumsi autonomus. Tanpa adanya pendapatan perilaku konsumsi dilakukan dengan cara berhutang dimana hutang tersebut akan dibayar secara bertahap seiring diperolehnya pendapatan. Sesuai dengan teori, setiap kenaikan pendapatan rumah tangga juga akan diiringi oleh peningkatan konsumsi rumah tangga. Meningkatnya pendapatan juga memberi kemungkinan bagi masyarakat untuk menyisihkan pendapatannya sebagai cadangan pendapatan di masa yang akan datang dalam bentuk simpanan dan kekayaan. Simpanan dan kekayaan untuk masa tua tersebut dalam bentuk tabungan atau deposito (uang kuasi). Hubungan antara konsumsi dan jumlah tabungan atau kecenderungan untuk menabung adalah saling berlawanan. Jika diasumsikan tingkat pendapatan adalah tetap, maka proporsi pengeluaran konsumsi yang semakin meningkat akan cenderung menurunkan jumlah tabungan karena pendapatan yang ada akan digunakan untuk keperluan konsumsi. Sebaliknya jika terjadi penurunan pada pengeluaran konsumsi maka terdapat kecenderungan kenaikan jumlah tabungan. Tabungan merupakan bentuk lain dari pendapatan yang tidak digunakan untuk pembelanjaan atau konsumsi. Kecenderungan seseorang untuk menabung sangat dipengaruhi oleh suku bunga. Bunga tabungan yang diperoleh dapat dipandang sebagai pendapatan dari kegiatan menabung. Tingkat bunga yang tinggi akan memengaruhi kecenderungan orang untuk menabung karena mengharapkan pendapatan dari bunga yang lebih banyak. Tingkat bunga yang rendah akan mengurangi minat seseorang untuk menabung, kerena mereka lebih menyukai membelanjakan uangnya untuk konsumsi daripada memperoleh 4 pendapatan dari bunga yang rendah. Sehingga tingkat bunga mempunyai pengaruh yang cenderung berlawanan dengan aktivitas menabung berkaitan dengan kompensasi dari tingkat bunga yang akan diperoleh. Perubahan tingkat bunga mempunyai dua efek yaitu efek substitusi (substitution effect) dan efek pendapatan (income effect). Efek substitusi bagi kenaikan tingkat bunga adalah rumah tangga cenderung menurunkan pengeluaran konsumsi dan menambah tabungan, sedangkan efek pendapatan bagi kenaikan tingkat bunga adalah meningkatnya pengeluaran konsumsi dan mengurangi tabungan. Efek totalnya tergantung dari mana efek yang lebih kuat (dominan). Jadi secara teoritis tidaklah mudah membuktikan kenaikan tingkat bunga menyebabkan seseorang melakukan konsumsi lebih banyak atau lebih sedikit. Perubahan tingkat bunga juga dapat memengaruhi inflasi melalui jumlah uang beredar. Inflasi adalah kenaikan harga barang secara umum dan terjadi secara terus menerus. Efek Fisher dapat menjelaskan bagaimana hubungan satuuntuk-satu antara tingkat inflasi dan tingkat bunga dalam teori kuantitas dan persamaaan Fisher (Fisher equation). Adanya inflasi menyebabkan harga barangbarang mengalami kenaikan. Tanpa diikuti kenaikan pendapatan daya beli masyarakat akan turun sehingga masyarakat akan menyesuaikan pendapatan yang diperolehnya dengan mengurangi pengeluaran konsumsi. Hubungan antara inflasi dan konsumsi masyarakat diduga mempunyai hubungan yang negatif. Tingkat konsumsi rumah tangga mempunyai peran yang penting dalam analisis ekonomi secara makro. Banyak alasan yang mendasari pentingnya konsumsi rumah tangga dalam analisis. Alasan pertama, pengeluaran konsumsi 5 rumah tangga mempunyai proporsi terbesar dalam total pengeluaran agregat yang membentuk pendapatan nasional. Konsumsi adalah dua pertiga dari PDB, sehingga fluktuasi dalam konsumsi adalah elemen penting dari booming dan resesi ekonomi (Mankiw, 2007). Alasan kedua, besaran konsumsi rumah tangga berkaitan erat dengan faktor-faktor lain yang memengaruhinya, sehingga dapat dihasilkan teori dan model ekonomi dari konsumsi yang terbukti bermanfaat dalam analisis makro perekonomian. Alasan ketiga, perkembangan masyarakat akan memengaruhi perubahan prilaku konsumsi sehingga analisis tentang pola konsumsi akan tetap relevan mengikuti perkembangan jaman. Pengeluaran rumah tangga pada beberapa negara masih menjadi andalan utama dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi kerena kontribusinya yang cukup besar dalam pembentukan PDB. Pada awal tahun 1970-an proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap PDB di Indonesia mencapai angka sekitar 70 persen dan sebelum krisis ekonomi tahun 1997 proporsinya semakin menurun hingga sekitar 60 persen. Hingga akhir tahun 2010 proporsi pengeluaran konsumsi rumah tangga sekitar 56 persen. Fenomena perekonomian yang berfluktuasi menunjukkan pengeluaran konsumsi rumah tangga masih dianggap sebagai penolong dalam krisis ekonomi yang mampu menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Konsumsi rumah tangga juga mampu untuk menciptakan permintaan agregat yang memungkinkan investasi terus tumbuh. Minyak bumi adalah barang ekonomis yang pemanfaatan dan pengelolaannya sesuai Undang-undang Dasar dikuasai oleh negara karena menyangkut hajat hidup masyarakat. Pemerintah selaku pemegang monopoli 6 berhak mengatur pengelolaan dan distribusinya kepada masyarakat, termasuk pemberian subsidi. Pemerintah memberikan subsidi bahan bakar minyak (BBM), khususnya kepada konsumen rumahtangga bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dengan menyesuaikan harga BBM terhadap dayabelinya. Harga minyak bumi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak akan memengaruhi peningkatan jumlah subsidi yang diberikan dari anggaran pemerintah. Pada tahun 2001-2008 pemerintah secara bertahap menaikan harga BBM yang dikonsumsi masyarakat. Pemerintah beralasan menaikan harga BBM demi menjaga kondisi anggaran pemerintah agar tidak terserap terlalu banyak untuk membiayai subsidi. Naiknya harga BBM bersubsidi otomatis memicu kenaikan inflasi. Di sisi lain, terjadi penurunan dayabeli dan pendapatan disposibel masyarakat. BBM adalah kebutuhan pokok bagi masyarakat dan belum tergantikan oleh sumber energi lain sehingga berpengaruh terhadap jalannya perekonomian. 1.2. Perumusan Masalah Indonesia termasuk negara di Asia Tenggara yang mempunyai jumlah penduduk terbesar. Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Indonesia sekitar 237 juta jiwa. Jumlah penduduk yang besar ternyata tidak memberikan kontribusi terhadap peningkatan pengeluaran konsumsi jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya. Pengeluaran konsumsi perkapita penduduk Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina. Pengeluaran konsumsi 7 perkapita Indonesia pada tahun 2010 hanya sebesar 650 US$, masih rendah dibanding dengan negara-negara tetangga lainnya. Tabel 1.1 Perbandingan Konsumsi Perkapita Beberapa Negara Asia Tenggara (US$) Tahun Indonesia Malaysia Singapura Brunei Darussalam Thailand Filipina (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 2006 565 2.286 11.318 5.709 1.382 894 2007 605 2.483 10.913 6.276 1.398 919 2008 616 2.651 10.992 1.431 936 2009 625 2.626 10.658 1.409 942 2010 650 1.464 957 * 10.566 * * * *) data belum tersedia Sumber: World Bank, 2011. Pada tahun 2000-2008 pemerintah menaikan harga BBM secara bertahap dengan besaran yang bervariasi. Kenaikan terbesar harga BBM bersubsidi yaitu premium, minyak tanah dan solar terjadi pada tahun 2005, dimana persentase kenaikannya mencapai 87 persen dibandingkan periode yang lalu atau rata-rata 126 persen dalam tahun 2005. Harga BBM bersubsidi berada pada harga tertinggi pada bulan Mei 2008 dan mengalami penurunan bertahap hingga sekarang. Kenaikan harga BBM subsidi akan menimbulkan berbagai dampak yang terjadi di masyarakat, baik dampak ekonomi dan sosial-politik. Secara ekonomi, kenaikan BBM akan mengakibatkan penurunan dayabeli masyarakat karena inflasi atau kenaikan harga-harga barang dan jasa. Dampak sosial dan politik kenaikan BBM adalah timbulnya kerawanan sosial dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. 8 Tabel 1.2 Harga BBM bersubsidi (Rp.) Tahun (1) 2000 2001 2003 2005 2005 2008 2008 2009 Bulan (2) Oktober Juni Maret Maret Oktober Mei Desember Januari Premium (3) 1.150 1.450 1.810 2.400 4.500 6.000 5.500 4.500 Minyak Tanah (4) 350 450 1.800 2.200 2.000 2.500 2.500 2.500 Solar (5) 600 900 1.650 2.100 4.300 5.500 5.500 4.500 Sumber: Kementrian ESDM, 2011. Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana perkembangan pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia selama periode tahun 2000-2010. 2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi dan berapa besar pengaruhnya terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalah di atas, maka tujuan yang ingin dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perkembangan konsumsi rumah tangga di Indonesia selama periode tahun 2000-2010. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia serta menganalisis besarnya pengaruh dari masing-masing faktor tersebut. 9 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan baik kepada penulis, pemerintah dan lembaga terkait, serta peneliti lainnya, sebagai berikut: 1. Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dalam mengembangkan ilmu ekonomi yang didapatkan penulis dalam perkuliahan terutama teori yang berkaitan dengan pola konsumsi. Selain itu sebagai pembelajaran dalam menerapkan teori-teori ekonomi dalam prakteknya dengan realitas perekonomian yang ada saat ini. 2. Sebagai sumber informasi yang dapat membantu dalam pengambilan kebijakan makro ekonomi oleh pemerintah terutama yang berhubungan dengan permasalahan konsumsi rumah tangga. 3. Sebagai sumber informasi dan bahan referensi bagi pihak yang melakukan penelitian sejenis maupun penelitian lanjutan dengan pendekatan dan ruang lingkup yang berbeda. 1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya dibatasi dalam cakupan wilayah Indonesia. Rumah Tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang biasanya tinggal bersama dalam suatu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur (BPS,2010). Rumah tangga yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga yang berada di wilayah Indonesia. 10 Faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga yang akan diteliti adalah faktor ekonomi, demografi, dan nonekonomi, sedangkan besaran pengaruh faktor terhadap pengeluaran konsumsi yang diteliti hanya faktor ekonomi. Adapun data-data lain yang berupa data demografi dan sosial hanya digunakan untuk analisis diskriptif. Data yang digunakan dalam menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi adalah data series tahun 2000 – 2010 yang meliputi data pengeluaran konsumsi rumah tangga, pendapatan nasional, tingkat suku bunga, tingkat inflasi, serta pertumbuhan investasi di Indonesia. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis makroekonomi faktor-faktor yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumah tangga di Indonesia. Penelitian ini tidak menggambarkan secara lengkap bagaimana setiap individu-individu membuat pilihan-pilihan dalam melakukan kegiatan konsumsi dalam analisis mikroekonomi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga kelangsungan hidup. Menurut Albert C Mayers konsumsi adalah penggunaan barang-barang dan jasa yang langsung dan terakhir guna memenuhi kebutuhan hidup manusia. Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi adalah pembelanjaan atas barangbarang dan jasa yang dilakukan oleh rumahtangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Pembelanjaan atas makanan, pakaian, dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan atau konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi kebutuhan dinamakan barang konsumsi. Individu yang melakukan konsumsi disebut konsumen. Keinginan mengkonsumsi oleh individu akan menimbulkan permintaan terhadap suatu barang. Permintaan adalah keinginan konsumen untuk membeli barang dengan berbagai alternatif harga. Selain dipengaruhi harga permintaan juga dipengaruhi oleh pendapatan, selera, jumlah konsumen yang menginginkan barang tersebut, ekspektasi barang yang akan datang, iklan dan sebagainya. 12 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Fungsi Konsumsi Fungsi konsumsi adalah suatu persamaan matematik yang menunjukkan hubungan antara tingkat konsumsi seseorang atau rumahtangga dengan pendapatan disposibel atau pendapatan nasional. Jika fungsi konsumsi merupakan fungsi yang dipengaruhi oleh pendapatan disposibel maka dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: C = a+ bYd Dimana a adalah konsumsi autonomus, b adalah kecenderungan mengkonsumsi marginal, dan Yd adalah pendapatan disposibel. Konsumsi aotunomus adalah tingkat konsumsi rumahtangga yang tidak dipengaruhi oleh pendapatan nasional atau dapat diartikan sebagai tingkat konsumsi dimana rumahtangga tidak mempunyai pendapatan. Pengeluaran untuk konsumsi ini dapat dibiayai oleh tabungan yang dibuat dimasa lalu atau dengan cara berhutang (dissaving). Selain dipengaruhi oleh jumlah tabungan dimasa lalu, konsumsi autonomus juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti pajak yang dipungut oleh pemerintah, ekspektasi keadaan ekonomi, tingkat harga dan suku bunga (Sukirno, 2005). Pendapatan disposibel adalah pendapatan rumahtangga yang siap digunakan untuk kegiatan konsumsi. Pendapatan disposibel berasal dari pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagai balas jasa faktor produksi dikurangi dengan pajak yang harus dibayarkan kepada pemerintah. Pendapatan disposibel dapat digambarkan melalui persamaan: 13 Yd = Y – T Dimana T adah pajak yang harus dibayarkan oleh rumahtangga kepada pemerintah. Kecenderungan mengkonsumsi marginal atau marginal propensity to consume (MPC) menggambarkan hubungan antara pertambahan pendapatan dengan pertambahan konsumsi. Dengan kata lain MPC menunjukkan persentase tambahan pendapatan yang akan digunakan oleh rumahtangga untuk konsumsi. MPC dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut: MPC = C Y d Dimana ΔC adalah pertambahan konsumsi dan ΔYd adalah pertambahan pendapatan disposibel yang menyebabkan pertambahan konsumsi tersebut. Kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau avarage propensity to consume (APC) yaitu perbandingan antara tingkat pengeluaran konsumsi (C) dengan pendapatan disposibel (Yd) yang diperoleh pada waktu konsumsi tersebut dilakukan. APC = C Yd Pendapatan yang diperoleh rumahtangga sebagai balas jasa faktor digunakan antara lain untuk membayar pajak, konsumsi, dan ditabung. Ketika pendapatan sudah cukup digunakan untuk memenuhi kebutuhan melalui konsumsi, sisa pendapatan yang tidak digunakan untuk konsumsi digunakan untuk menabung. Sehingga fungsi tabungan dapat ditunjukkan oleh persamaan berikut: 14 S = Yd – C Sedangkan kecenderungan menabung dibedakan menjadi dua yaitu kecenderungan menabung marginal dan kecenderungan menabung rata-rata. Kecenderungan menabung marginal atau marginal propensity to save (MPS) adalah perbandingan antara pertambahan tabungan karena adanya pertambahan pendapatan disposibel. MPS = S Yd Dimana ΔS adalah pertambahan tabungan dan ΔYd adalah pertambahan pendapatan disposibel yang menyebabkan pertambahan tabungan tersebut. Kecenderungan menabung rata-rata atau marginal average to save (APS) menunjukkan perbandingan antara tabungan dengan pendapatan disposibel. APS = S Yd Selain fungsi konsumsi yang merupakan fungsi dari pendapatan disposibel ada beberapa teori konsumsi dengan hipotesis yang menghubungkan antara tingkat konsumsi dengan variabel lain sehingga dalam teori konsumsi dikenal dengan hipotesis Keynes dan Post Keynes. 2.2.2. Teori Konsumsi 2.2.2.1.Teori Konsumsi Keynes Dasar teori Keynes tentang hipotesis pengeluaran untuk konsumsi adalah hukum psikologis fundamental, bahwa manusia diatur, seperti sebuah peraturan dan berdasarkan rata-rata, untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan 15 mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan pendapatan, bahkan lebih kecil daripada kenaikan pendapatan (Mankiw, 2007). Selain menggunakan analisis statistic, Keynes membuat dugaan-dugaan tentang fungsi konsumsi berdasarkan instrospeksi dan observasi kasual. Pertama dan terpenting, Keynes menduga bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal atau marginal propensity to consume (MPC) yaitu; kenaikan konsumsi dari setiap unit pendapatan, dimana besarnya nilai MPC berkisar antara nol dan satu. Kedua, Keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan yang disebut kecenderungan mengkonsumsi rata-rata atau average propensity to consume (APC), turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan merupakan kemewahan, sehingga orang kaya cenderung menabung dengan proporsi lebih tinggi dari pendapatan mereka dibanding proporsi tabungan terhadap pendapatan orang miskin. Walaupun tidak esensial untuk teori Keynes sendiri, tetapi dalil bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal turun ketika pendapatan naik menjadi pusat kajian dari ilmu ekonomi Keynesian awal. Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan konsumsi yang penting dan tingkat tabungan tidak memiliki peran penting. Asumsi dasar ini berlawanan dengan kepercayaan dari para ekonom klasik sebelumnya. Para ekonom klasik berpendapat bahwa tingkat bunga yang lebih tinggi akan mendorong tabungan dan menghambat konsumsi. Keynes menegaskan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori. Namun Keynes menulis bahwa kesimpulan utama yang diberikan oleh pengalaman adalah 16 bahwa pengaruh jangka pendek dari tingkat bunga terhadap pengeluaran individu dari pendapatan bersifat sekunder dan relative tidak penting. Jadi, menurut Keynes konsumsi secara mutlak (absolut) cenderung lebih banyak dipengaruhi dari tingkat pendapatan sekarang. Berdasarkan dugaan tersebut, fungsi konsumsi Keynes sering ditulis sebagai berikut: C = C0 + cY, C0>0, 0<c<1 Keterangan: C = konsumsi Co = konstanta c = kecenderungan mengkonsumsi marginal Y = pendapatan disposibel (Mankiw, 2007:447-448) Dalam fungsi konsumsi Keynes, kecenderungan mengkonsumsi marginal c adalah antara nol dan satu, sehingga dengan bertambahnya pendapatan akan menyebabkan konsumsi dan tabungan yang lebih tinggi. Sedangkan fungsi konsumsi yang memenuhi dugaan yang kedua tentang kecenderungan mengkonsumsi rata-rata adalah: AC = C/Y = C0/Y + c Ketika Y meningkat, C0/Y turun, dan begitu pula kecenderungan mengkonsumsi rata-rata C/Y turun. Fungsi konsumsi dapat ditunjukkan melalui gambar berikut: 17 Konsumsi (C ) Y=C C=C0+cY C0 0 Pendapatan (Y) Sumber: Sukirno, 2005 Gambar 2.1 Fungsi Konsumsi Menurut teori konsumsi absolute income hypothesis dari Keynes, konsumsi ditentukan oleh tingkat pendapatan absolut, sehingga hubungan antara pendapatan dan konsumsi merupakan fungsi konsumsi dalam jangka panjang, sehingga kurva konsumsi selalu memotong sumbu vertikal. Tetapi berdasarkan studi empiris dari Kuznets, fungsi konsumsi jangka pendek bergeser ke atas sepanjang waktu sehingga menghasilkan konsumsi jangka panjang. Jadi fungsi konsumsi menurut absolute income hypothesis merupakan fungsi konsumsi jangka pendek, sedangkan fungsi konsumsi jangka panjang dapat ditentukan melalui pergeseran keatas dari fungsi konsumsi dalam jangka pendek. Karena dalam jangka panjang nilai C/Y atau APC tidak banyak berubah dan cenderung tetap, sehingga fungsi konsumsi jangka panjang merupakan garis lurus melalui 18 titik nol. Dengan demikian, nilai MPC mempunyai kecenderungan tidak banyak berubah, sehingga dalam jangka panjang nilai MPC=APC. C/tahun LR→ MPC=APC LRC SRC3 SRC2 c SRC1 b a SR→ MPC<APC 0 Y/tahun Sumber: Prasetyo, 2009 Gambar 2.2 Fungsi Kansumsi Jangka Pendek dan Jangka Panjang 2.2.2.2.Teori Konsumsi Berdasarkan Pilihan Antarwaktu Dalam memutuskan besaran tingkat konsumsi dan tabungan dengan tingkat pendapatan yang ada, perlu mempertimbangkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Semakin besar konsumsi yang dapat dinikmati pada hari ini, semakin sedikit konsumsi yang dapat dinikmati hari esok. Kondisi tradeoff ini mengharuskan rumahtangga memperhitungkan perkiraan pendapatan dimasa depan yang akan diterima dengan konsumsi yang dapat mereka nikmati. Ekonom Irving Fisher mengembangkan model yang digunakan para ekonom untuk menganalisis bagaimana konsumen yang berpandangan ke depan 19 dan rasional membuat pilihan antarwaktu, yaitu pilihan yang meliputi periode waktu yang berbeda. Model Irving Fisher menghilangkan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh konsumen, preferensi yang mereka miliki, dan bagaimana hambatan-hambatan serta preferensi ini bersama-sama menentukan pilihan mereka terhadap konsumsi dan tabungan. Alasan orang mengkonsumsi lebih sedikit daripada yang mereka inginkan adalah karena konsumsi mereka dibatasi oleh pendapatan. Dengan kata lain, konsumen menghadapi batasan dalam menentukan berapa banyak yang pendapatan yang bisa mereka belanjakan, yang disebut batas atau kendala anggaran (budged constraint). Ketika mereka memutuskan berapa banyak akan mengkonsumsi hari ini versus berapa banyak akan menabung untuk masa depan, mereka menghadapi batasan anggaran antarwaktu (intertemporal budged constraint), yang mengukur sumber daya total yang tersedia untuk konsumsi hari ini, dan dimasa depan (Mankiw, 2007). Persamaan di bawah ini menunjukkan bagaimana pendapatan konsumen dalam dua periode membatasi konsumsi dua periode tersebut. S = Y1 – C1 Dalam periode pertama jumlah tabungan (S) sama dengan pendapatan periode pertama (Y1) dikurangi konsumsi periode pertama (C1). C2 = (1 + r)S + Y2 Konsumsi dalam periode kedua (C2) merupakan akumulasi tabungan termasuk bunganya, ditambah dengan pendapatan periode kedua (Y2), dimana r adalah tingkat bunga riil. Kedua persamaan diatas dapat diderivasikan sebagai berikut: 20 C2 = (1 + r)( Y1 – C1) + Y2 (1 + r)C1 + C2 = (1 + r)Y1 + Y2 C1 + C2 Y = Y1 + 2 1 r 1 r Persamaan ini menghubungkan konsumsi selama dua periode dengan pendapatan dalam dua periode. Persamaan ini adalah cara standar untuk menunjukkan batasan anggaran antarwaktu konsumen. Jika tingkat bunga adalah nol, batas anggaran menunjukkan bahwa konsumsi total akan sama dengan pendapatan totalnya. Sedangkan jika tingkat bunga tidak sama dengan nol, konsumsi dan pendapatan masa depan akan didiskontokan oleh faktor 1 + r yang berasal dari bunga tabungan. 2.2.2.3.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Daur Hidup Teori konsumsi berdasarkan hipotesis daur kehidupan (life cycle hypothesis) dikemukakan oleh tiga ekonom yaitu: Albert Ando, Richard Brumberg dan Franco Mondigliani. Teori ini mempelajari fungsi konsumsi berdasarkan model perilaku konsumen Fisher dimana konsumsi bergantung pada pendapatan seumur hidup seseorang. Mondigliani menekankan bahwa pendapatan bervariasi secara sistematis selama kehidupan seseorang dan tabungan membuat konsumen menggerakkan pendapatan dari masa hidupnya ketika pendapatan tinggi ke masa hidup ketika pendapatan rendah. Pada dasarnya hipotesis daur hidup berpendapat bahwa konsumsi seseorang dalam suatu waktu dipengaruhi oleh dua faktor yaitu pendapatan yang akan diterima seseorang selam hidupnya dan lamanya seseorang itu akan terus 21 hidup walaupun tidak bekerja lagi. Pendapatan seseorang selama bekerja bervariasi dan kebanyakan orang merencanakan pensiun dari bekerja pada umur 65 tahun, dan mereka berekspektasi pendapatan akan turun setelahnya. Adanya penurunan pendapatan tidak mengurangi keinginan untuk menurunkan standar kehidupannya dibanding dengan konsumsi saat sekarang. Asumsi dasar teori konsumsi hipotesis daur hidup adalah menganggap bahwa individu merencanakan perilaku konsumsi dan tabungan mereka selama periode yang panjang dengan tujuan mengalokasikan konsumsi mereka untuk membuat hidup mereka lebih baik. Sedang asumsi utamanya bahwa kebanyakan orang memilih gaya hidup yang stabil, secara umum bukannya banyak menabung disuatu periode demi pendapatan yang besar di periode berikutnya, tetapi mengkonsumsi yang sama di setiap periodenya. C/Y dissaving saving dissaving C Y 0 Sumber: Sukirno, 2005 Gambar 2.3 Konsumsi dan Pendapatan dalam Daur Kehidupan Waktu/T 22 Karena orang cenderung menerima pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan perkembangan umur mereka. Orang muda akan mempunyai tabungan yang rendah atau negatif (dissaving), usia menengah tingkat tabungan yang tinggi atau membayar pinjaman yang dibuat pada masa muda dulu, dan usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah. 2.2.2.4.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Permanen Teori konsumsi berdasarkan hipotesis pendaptan permanen (permanent income hypothesis) telah dikemukakan oleh Milton Friedman. Menurut teori ini, pendapatan masyarakat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu pendapatan permanen (permanent income) dan pendapatan sementara (transitory income). Pendapatan permanen yang dimaksud adalah kekayaan dan pendapatan yang dibelanjakan sekarang dan yang akan datang jumlahnya tetap demi menjaga kestabilan konsumsi sepanjang hidupnya. Pendapatan permanen dapat diperoleh dari upah atau gaji tetap yang diterima, atau pendapatan dari semua faktor yang menentukan kekayaan. Sedangkan pendapatan sementara adalah bagian pendapatan yang tidak diharapkan terus bertahan dan tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Milton Friedman menyatakan bahwa pendapatan sekarang terdiri dari pendapatan permanen dan pendapatan sementara atau pendapatan transitori. Secara matematik dapat ditulis sebagai berikut: Y = Yp + Yt 23 Dimana Y adalah pendapatan sekarang, Yp adalah pendapatan permanen dan Yt adalah pendapatan sementara. Dalam hipotesis ini Friedman menganggap tidak ada hubungan antara pendapatan sementara dengan pendapatan permanen, juga antara konsumsi sementara dengan konsumsi permanen, maupun konsumsi sementara dengan pendapatan sementara. Sehingga MPC dari pendapatan sementara sama dengan nol yang berarti bila konsumen menerima pendapatan sementara yang positif maka tidak akan memengaruhi konsumsi. Demikian pula bila konsumen menerima pendapatan sementara yang negatif maka tidak akan mengurangi konsumsi. Friedman menyimpulkan konsumsi bersifat proporsional terhadap pendapatan permanen sehingga fungsi konsumsi dapat ditunjukkan dengan persamaan C = αYp Dimana α adalah konstanta yang mengukur bagian dari pendapatan permanen yang dikonsumsi. Sedangkan kecenderungan rata-rata dari hipotesis pendapatan permanen adalah sebagai berikut: APC = C/Y = αYp/Y Menurut hipotesis pendapatan permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata tergantung pada rasio pendapatan permanen dengan pendapatan sekarang. Bila pendapatan sekarang secara temporer naik diatas pendapatan permanen, kecenderungan mengkonsumsi rata-rata secara temporer akan turun, sebaliknya jika pendapatan sekarang secara temporer turun terhadap pendapatan permanen maka kecenderungan mengkonsumsi rata-rata secara temporer akan naik. 24 2.2.2.5.Teori Konsumsi Berdasarkan Hipotesis Pendapatan Relatif Teori konsumsi berdasarkan hipotesis pendapatan relatif adalah pengembangan lebih lanjut dari fungsi konsumsi Keynes yang dilakukan oleh James S. Duesenberry. Dasar dari teori ini adalah studi empiris yang dilakukan Kuznets dimana James Duesenberry mengemukakan pendapatnya bahwa pengeluaran konsumsi suatu masyarakat ditentukan terutama oleh tingginya pendapatan tertinggi yang pernah dicapainya. Jika pendapatan berkurang maka konsumen tidak akan banyak mengurangi pengeluarannya untuk konsumsi. Untuk mempertahankan tingkat konsumsi yang masih tetap tinggi, mereka terpaksa harus mengurangi besarnya tabungan. Jika pendapatan bertambah lagi, maka konsumsi mereka juga akan bertambah, tetapi bertambahnya tidak begitu besar. Sedangkan tabungan akan bertambah sedikit lebih besar. Kenyataan seperti ini akan terus dijumpai sampai tingkat pendapatan tertinggi yang telah pernah dicapai dapat dicapainya lagi. Setelah pendapatan puncak daripada sebelumnya telah dapat dilalui, maka tambahan pendapatan akan banyak menyebabkan bertambahnya pengeluaran untuk konsumsi. Sedangkan dilain pihak, bertambahnya tabungan tidak begitu cepat. Dasar teori dengan hipotesis tingkat pendapatan relatif dari Duesenberry (1949) didasarkan pada dua asumsi, yaitu: 1. Selera rumahtangga atas konsumsi barang dan jasa adalah interdependent. Artinya pengeluaran konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pengeluaran yang dilakukan oleh orang disekitarnya (lingkungan tetangganya). 25 2. Pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pola pengeluaran konsumsi rumahtangga atau seseorang pada saat penghasilan naik akan berbeda dengan pola konsumsi ketika tingkat penghasilan turun. C/S Y=C+S j h LRC g d i C2 e C1 C0 f a 0 Y0 c b Y1 Y2 Y Sumber: Prasetyo, 2009 Gambar 2.4 Teori Konsumsi Hipotesis Pendapatan Relatif Duesenberry dalam teorinya menemukan bahwa persentase dari konsumsi dan pendapatan akan cenderung kecil pada saat perekonomian baik, dan cenderung tinggi pada saat perekonomian dalam keadaan buruk. Ketika terjadi perubahan dalam penghasilan, maka konsumsi tidak akan langsung meningkat. Hal ini terjadi karena pengaruh konsumsi periode sebelumnya yang lebih kecil. Demikian pula ketika pendapatan turun maka konsumsi tidak akan turun secara tajam karena terbiasa dengan hidup senang, yang terjadi adalah persentase dari 26 konsumsi dan pendapatannya menjadi semakin besar. Hal ini dapat dijelaskan melalui gambar 2.4. Ketika pendapatan turun dari Y2 menjadi Y0, konsumsi tidak langsung turun ke titik a, tetapi masih tetap berkonsumsi di sepanjang kurva C1 karena pengaruh konsumsi periode sebelumnya. Konsumsi terletak di titik f dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang konsumsi akan turun ke titik a. Ketika pendapatan turun terjadi pemanfaatan tabungan sebesar af untuk tetap dapat mengkonsumsi yang besar. Proporsi tabungan akan menurun dari yang seharusnya proporsinya adalah ga/gY0, karena dimanfaatkan untuk menutupi konsumsi sehingga hanya mencapai gf/gY0. Sebaliknya jika terjadi peningkatan pendapatan menjadi Y2, tingkat konsumsi tidak akan langsung naik pada kurva C2 di titik i, tetapi tetap pada kurva C1 pada titik e dalam jangka pendek, setelah itu dalam jangka panjang akan bergeser ke titik i. Dalam jangka pendek terjadi peningkatan proporsi tabungan, yang seharusnya adalah ji/jY2, namun dalam jangka pendek sebesar je/jY2. kejadian ini disebut dengan Ratchet Effect, yaitu penurunan atau kenaikan pendapatan tidak secara langsung menurunkan atau menaikkan konsumsi dalam jangka pendek, namun terjadi dalam jangka panjang. Dalam penelitiannya Duesenberry membuat kesimpulan bahwa konsumsi seseorang akan tergantung dari penghasilan saat ini dan penghasilan tertinggi tahun sebelumnya (Ratchet Effect) dan perilaku konsumsi seseorang akan tergantung pula dengan perilaku konsumsi lingkungannya (Demonstration Effect). 27 2.2.2.6.Teori Konsumsi Berdasarkan Pendekatan Modern Teori konsumsi modern pada dasarnya merupakan pengembangan dari teori yang sudah ada dan tidak dapat dipisahkan dari model dasar teori konsumsi Franco Modigliani dalam teori daur hidupnya serta model konsumsi dari Milton Friedman dalam teori pendapatan permanennya. Secara garis besar, model fungsi konsumsi modern dapat dikelompokan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Model hipotesis fungsi konsumsi pendapatan permanen berdasarkan pilihan antarwaktu Fisher (Fisher’s model of intertemporal choice) oleh Robert Hall dan Random-Walk. 2. Hipotesis fungsi konsumsi pendekatan modern dalam hidup penuh ketidakpastian (life cycle-permant income hypothesis) oleh John Y. Campbell dan N. Gregory Mankiw. 2.3 Variabel Penelitian 2.3.1 Pendapatan Seseorang melakukan kegiatan bekerja adalah untuk mendapatkan penghasilan. Penghasilan yang diperoleh akan dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan (konsumsi). Sedangkan apabila seluruh kebutuhannya telah terpenuhi kemungkinan sisa penghasilannya akan ditabung (saving) atau digunakan untuk melakukan kegiatan investasi. Jadi penghasilan atau pendapatan seseorang mempunyai peran penting dalam keseluruhan kegiatan perekonomian. Pendapatan nasional adalah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumahtangga suatu negara yang merupakan balas jasa dari penyerahan faktorfaktor produksi dalam suatu periode tertentu. Pendapatan nasional dapat dipahami 28 melalui tiga macam pendekatan penghitungan yang biasa digunakan dalam suatu negara, yaitu: 1. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) Penghitungan dengan pendekatan pendapatan untuk memperoleh nilai dari pendapatan nasional dilakukan dengan cara menjumlahkan semua pendapatan yang diperoleh dari keseluruhan pelaku ekonomi dengan aktivitas kegiatan ekonominya dalam suatu negara pada periode waktu tertentu. Pendapatan dapat diperoleh berupa sewa, bunga, upah atau gaji, deviden atau laba perusahaan. Pendapatan tersebut merupakan balas jasa faktor produksi seperti tanah, tanaga kerja, gedung, modal, dan kewirausahaan. 2. Pendekatan Produksi (Production Approach) Pendapatan nasional yang dihitung dengan pendekatan produksi metode penghitungannya dengan menjumlahkan keseluruhan nilai akhir (final goods) dari produksi barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu unit-unit produksi dalam suatu negara pada periode waktu tertentu. Penghitungan pendapatan nasional melalui pendekatan ini masih terdapat kekurangan dengan adanya penghitungan ganda (double counting). Penghitungan ganda akan terjadi jika nilai produksi sektor tertentu juga merupakan input dalam produksi sektor lainnya. Penghitungan ganda dapat dihindari melalui dua cara, yaitu dengan menghitung nilai akhir (final goods) atau dengan menghitung nilai tambah (value added). Dengan asumsi bahwa nilai akhir barang adalah nilai barang dan jasa yang siap 29 dikonsumsi oleh konsumen akhir. Sedangkan nilai tambah yang dimaksud adalah selisih nilai barang dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi termasuk nilai dari bahan baku. 3. Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach) Pendekatan pengeluaran dalam penghitungan pendapatan nasional dilakukan dengan cara menghitung keseluruhan pengeluaran masyarakat dalam suatu negara. Pengeluaran masyarakat dalam suatu negara dikelompokkan menjadi pengeluaran konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah, pengeluaran sektor perusahaan dan sektor perdagangan luar negeri atau ekspor dan impor. Tingkat pendapatan masyarakat secara umum mempunyai hubungan yang searah dengan tingkat konsumsi, dimana kenaikan pendapatan akan diikuti oleh kenaikan tingkat konsumsi, sebaliknya penurunan tingkat pendapatan akan menurunkan tingkat konsumsi. 2.3.2 Tingkat Suku Bunga Bunga adalah harga dari pinjaman yang harus dibayarkan peminjam atas pinjaman yang diterima dan imbalan bagi yang meminjamkan. Dalam hal menabung, bunga adalah balas jasa yang diberikan oleh pihak bank kepada penabung atau nasabah karena bersedia menyimpan dananya di bank. Dana nasabah oleh pihak bank akan dikelola salah satunya sebagai sumber pembiayaan dalam investasi. Ada dua macan suku bunga yang dikenal, yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Suku bunga nominal adalah tingkat suku bunga yang ditentukan berdasarkan jangka waktu satu tahun. Sedangkan suku bunga riil 30 adalah tingkat bunga nominal dikurangi laju inflasi yang terjadi selama periode yang sama. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Tingkat tabungan akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula kecenderungan atau minat masyarakat untuk menabung, sebaliknya suku bunga yang rendah akan mengurangi minat masyarakat untuk menabung. Bunga bank yang tinggi akan mengurangi tingkat konsumsi, karena orang akan cenderung untuk menabung di bank dengan balas jasa bunga yang tinggi dibandingkan dengan membelanjakan banyak uang untuk kegiatan konsumsi. Dampak dari kenaikan tingkat bunga riil terhadap konsumsi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dampak pendapatan (income effect) dan dampak substitusi (substitution effect). Dampak pendapatan adalah perubahan konsumsi yang disebabkan oleh pergerakan ke arah kurva indiferen yang lebih tinggi. Konsumen adalah penabung dan bukan peminjam maka kenaikan tingkat bunga akan membuat konsumsi dan tingkat kesejahteraan periode yang akan datang semakin baik karena sisa pendapatan yang ditabung akan memperoleh balas jasa atau bunga yang lebih tinggi. Dampak substitusi adalah perubahan konsumsi yang disebabkan oleh perubahan harga relatif konsumsi antara dua periode. Kenaikan tingkat bunga membuat konsumen memilih lebih banyak konsumsi karena konsumsi pada periode kedua akan lebih murah dibandingkan konsumsi pada periode pertama (Mankiw,2007). 31 2.3.3 Inflasi Pengertian inflasi secara umum adalah kenaikan harga-harga umum secara terus menerus dalam suatu periode tertentu. Inflasi merupakan proses kecenderungan kenaikan harga-harga umum barang-barang dan jasa secara terus menerus. Kenaikan harga-harga ini tidak berarti harus naik dengan persentase yang sama, yang penting terdapat kenaikan harga-harga umum secara terus menerus dalam periode tertentu (bulan atau tahun). Jika kenaikan harga yang terjadi hanya sekali saja dan bersifat sementara sekalipun dalam persentase yang besar tetapi tidak berdampak meluas bukanlah merupakan inflasi. Jenis inflasi berdasarkan tingkat keparahannya dapat digolongkan sebagai berikut: 1. Inflasi ringan (dibawah 10% pertahun) 2. Inflasi sedang (antara 10% - 30% pertahun) 3. Inflasi berat (antara 30% - 100% pertahun) 4. Hiperinflasi (diatas 100% pertahun) (Boediono, 1990). Sedangkan penggolongan inflasi berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1. Inflasi yang muncul disebabkan adanya dayatarik dari permintaan masyarakat akan berbagai barang yang terlalu kuat (demand pull inflation). Inflasi terjadi karena interaksi permintaan dan penawaran terhadap suatu barang dimana tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaaa barang dan jasa tersebut. 32 2. Inflasi yang muncul disebabkan karena adanya goncangan atau dorongan kenaikan biaya faktor-faktor produksi secara terus menerus dalam kurun waktu tertentu (cost push inflation). Inflasi secara umum mempunyai hubungan yang negatif dengan pola konsumsi. Adanya inflasi akan menyebabkan harga-harga barang naik, dan tanpa adanya peningkatan pendapatan, rumahtangga akan semakin sedikit memperoleh barang-barang untuk dikonsumsi. 2.3.4 Kekayaan Kekayaan adalah bentuk lain dari aset yang dimiliki oleh rumahtangga baik berupa aset likuid maupun nonlikuid, atau dalam bentuk aset riil maupun finansial. Aset riil yang dimiliki oleh rumahtangga dapat berupa rumah, tanah, dan mobil, sedangkan aset finansial dapat berupa tabungan, deposito berjangka, saham, dan surat berharga lainnya. Kekayaan dapat menambah konsumsi, karena menambah pendapatan disposibel. Penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari kekayaan disebut sebagai penghasilan nonupah. Sebagian dari penghasilan tambahan tersebut akan digunakan oleh rumahtangga untuk meningkatkan pengeluaran konsumsi. 2.3.5 Variabel Lain yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Selain variabel ekonomi yang memengaruhi konsumsi seperti pendapatan, tingkat bunga, inflasi dan kekayaan, perkembangan ekonomi yang terjadi mengakibatkan bertambahnya variabel lain yang memengaruhi konsumsi diantaranya: 33 1. Jumlah Penduduk Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun pengeluaran rata-rata perorang atau per rumahtangga relatif rendah. Pengeluaran konsumsi suatu negara akan sangat besar, jika jumlah penduduk sangat banyak dengan pendapatan perkapita yang sangat tinggi. 2. Komposisi Penduduk Komposisi penduduk dapat dibedakan menurut usia (produktif dan tidak produktif), pendidikan (rendah, menengah dan tinggi), dan wilayah (pedesaan dan perkotaan). Pengaruh komposisi penduduk terhadap tingkat konsumsi adalah semakin banyak penduduk usia produktif makin besar tingkat konsumsi, makin tinggi tingkat pendidikan masyarakat makin tinggi tingkat konsumsi dan makin banyak penduduk yang tinggal di perkotaan pengeluaran untuk konsumsi juga semakin tinggi. 3. Sosial Budaya Faktor nonekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat konsumsi adalah faktor sosial budaya masyarakat. Faktor sosial budaya masyarakat dapat dilihat dengan berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dan tatanilai karena ingin meniru kelompok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat atau lebih ideal (Rahardja dan Manurung, 2008). 34 2.4. Tinjauan Penelitian Terdahulu Ada beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi. Penelitian tersebut merupakan pengembangan dari teori-teori konsumsi yang telah dikemukakan oleh para ahli dan juga menjadi bukti empiris yang menguatkan teori tersebut. Penelitian terdahulu akan digunakan untuk membantu dalam penelitian ini untuk memahami fenomenafenomena yang berhubungan dengan konsumsi sesuai dengan kondisi yang terjadi saat ini. Virmani dan Raut (1989) menganalisis determinan konsumsi dan perilaku menabung pada dua puluh tiga negara berkembang. Dalam penelitiannya mereka meneliti variabel yang memengaruhi konsumi dengan pendekatan Random Walk dan Hall Hypothesis. Hasil penelitian diperoleh dengan pendekatan Random Walk Hypothesis dengan tingkat bunga yang tetap, variabel pendapatan sekarang, pendapatan yang akan datang, dan pendapatan yang tidak diduga memengaruhi konsumsi dan dengan variabel tingkat bunga, variabel pendapatan sekarang, pendapatan yang akan datang, pendapatan tidak diduga, suku bunga nominal, dan inflasi memengaruhi konsumsi. Tingkat bunga riil berpengaruh positif terhadap konsumsi sedangkan tingkat bunga nominal dan inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi. Singh (2004) dalam penelitiannya menyebutkan berdasarkan tinjauan teori dan temuan empiris, fungsi konsumsi dapat ditunjukkan melalui persamaan, Ct = f(Yt,Wt,Z) 35 Dimana Ct adalah konsumsi, Yt adalah pendapatan disposibel nasional, Wt adalah kekayaan, dan Z adalah determinan lain. Fungsi konsumsi yang dikembangkan Singh seperti tersebut diatas didasarkan pada pendekatan pendapatan permanen (PIH) dan pendekatan daur hidup (LIH) yang mengasumsikan bahwa rumahtangga membagi konsumsinya antara masa sekarang dan masa yang akan datang berdasarkan perkiraan kemampuan konsumsi dalam jangka panjang. Rumahtangga mencoba melancarkan konsumsi mereka dengan cara menyimpan pendapatannya untuk masa pensiun nanti. Selain itu rumahtangga memilih tingkat konsumsinya berdasarkan atas kekayaan yang dimiliki (kekayaan nyata dan keuangan). Dalam penelitiannya Singh memproksikan kekayaan dengan jumlah uang kuasi. Uang kuasi dimaksud terdiri dari tabungan yang dimiliki penduduk sepanjang waktu dan juga komponen memegang uang dalam arti luas. Determinan lain dalam model yang dibangun oleh Singh terdiri dari tingkat bunga nyata, tingkat pengangguran dan transfer bersih swasta. Tingkat bunga nyata memberikan pengaruh substitusi, sementara tingkat pengangguran digunakan sebagai proksi tentang ketidakpastian dalam hubungan dengan arus pendapatan yang akan diperoleh. Sedangkan transfer swasta bersih merefleksikan pengaruh terhadap migrasi konsumsi bersih. Isyani dan Hasmarini (2005) menganalisis konsumsi di Indonesia tahun 1989-2002 (Tinjauan Terhadap Hipotesis Keynes dan Post Keynes). Dalam penelitiannya mereka menganalisis variabel yang memengaruhi konsumsi yang 36 terdiri dari pendapatan nasional, suku bunga riil, investasi saham, jumlah uang beredar, pajak pendapatan, dan konsumsi tahun sebelumnya. Model Partial Adjustment Model (PAM) digunakan untuk menganalisis dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Hasil dari penelitian diperoleh bahwa variabel pendapatan nasional, suku bunga riil, pajak penghasilan dan konsumsi tahun sebelumnya berpengaruh signifikan terhadap konsumsi sedangkan variabel investasi saham, jumlah uang beredar tidak berpengaruh signifikan terhadap konsumsi di Indonesia. Sangadji (2008) menganalisis konsumsi di Indonesia selama tahun 20002006 tentang pengaruh pendapatan dan tingkat suku bunga riil terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia dengan menggunakan model analisis ECM (Error Correction Model). Hasil penelitiannya menunjukan bahwa konsumsi rumahtangga di Indonesia dipengaruhi oleh pendapatan dan tingkat bunga riil. Siregar (2009) menganalisis determinan konsumsi masyarakat di Indonesia selama tahun 2000-2008 tentang pengaruh pendapatan nasional, suku bunga, inflasi, dan uang kuasi terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat dengan model analisis regresi linier berganda. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendapatan nasional, suku bunga, dan inflasi berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia. 2.5. Kerangka Pemikiran Konsumsi rumahtangga sebagai penggerak utama dalam perekonomian dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang memengaruhi konsumsi 37 rumahtangga dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor demografi dan faktor nonekonomi. Fenomena yang terjadi di Indonesia adalah dengan jumlah penduduk yang banyak, pertumbuhan konsumsi rumahtangga dan konsumsi perkapita masih rendah. Konsumsi perkapita rendah Pertumbuhan konsumsi rendah Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi rumahtangga Faktor ekonomi Faktor demografi Pendapatan Faktor nonekonomi Analisis Deskriptif Suku bunga Analisis regresi linier berganda Inflasi Investasi Kenaikan BBM Kesimpulan Rekomendasi kebijakan Gambar 2.5 Alur Kerangka Pemikiran Berdasarkan uraian dari beberapa teori konsumsi yang telah dikemukakan, terutama analogi fungsi konsumsi Keynesian dan penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor ekonomi yang memengaruhi konsumsi rumahtangga. Dari beberapa faktor tersebut dapat dikembangkan suatu fungsi konsumsi, dimana pengeluaran konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan nasional, tingkat suku bunga, 38 inflasi, dan pertumbuhan investasi. Alur kerangka pemikiran dan hubungan variabel dalam penelitian dapat ditunjukan pada gambar 2.5. 2.6. Hipotesis Hipotesis merupakan dugaan awal yang masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya melalui data empiris. Berdasarkan tujuan penelitian dan kerangka pemikiran dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Pendapatan nasional berpengaruh positif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus. 2. Suku bunga berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus. 3. Inflasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus. 4. Pertumbuhan investasi berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus. 5. Kenaikan BBM berpengaruh negatif terhadap konsumsi rumahtangga di Indonesia, ceteris paribus. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia (BI). Data yang digunakan dalam analisis statistik regresi linier berganda adalah data time series triwulanan. Adapun data yang digunakan adalah: 1. Data pengeluaran rumahtangga yang diperoleh dari data PDRB penggunaan atas harga konstan tahun 2000 selama periode tahun 2000 – 2010. 2. Data pendapatan nasional yang diperoleh dari data PDB penggunaan atas harga konstan tahun 2000 selama periode tahun 2000 – 2010. pendapatan nasional diperoleh dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB) dikurangi dengan pendapatan faktor produksi netto dari luar negeri, pajak tidak langsung netto, dan penyusutan. 3. Data suku bunga tabungan selama periode tahun 2000 – 2010 yang meliputi semua jenis bank. 4. Data laju inflasi yang diperoleh dari perubahan Indeks Harga Konsumen (IHK) yang telah diolah dengan tahun dasar 2000 selama periode tahun 2000 – 2010. 5. Data pertumbuhan investasi selama periode tahun 2000 – 2010. 40 3.2. Metode Analisis Data 3.2.1. Analisis Statistik Deskriptif Analisis statistik diskriptif digunakan untuk memberikan gambaran umum secara sederhana dinamika variabel ekonomi yang digunakan dalam analisis regresi dari tahun 2000-2010 dan variabel nonekonomi lainnya. Beberapa variabel ekonomi yang akan dijelaskan meliputi PDB, pengeluaran konsumsi rumahtangga, pendapatan nasional, jumlah dan suku bunga tabungan, inflasi, dan pertumbuhan investasi. Sedangkan variabel nonekonomi yang akan dijelaskan meliputi penduduk, kemiskinan dan ketenagakerjaan. Semua variabel yang dianalisis ditunjukan melalui bantuan tabel dan grafik untuk mempermudah interpretasi dan gambaran baik kondisi ekonomi maupun nonekonomi Indonesia. 3.2.2. Analisis Regresi Linier Berganda Regresi merupakan suatu metode yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara variabel tak bebas (dependent variable) dan variabel bebas (independent variable). Model yang diperoleh disebut model regresi linear berganda jika variabel bebas yang digunakan lebih dari satu. Dalam penelitian ini, regresi linear berganda digunakan untuk melihat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Model yang dihasilkan akan mampu menggambarkan seberapa besar pengaruh masing-masing variabel independen melalui koefisien parameternya. Persamaan regresi linier berganda adalah : Y = β0 + β1X1 + β2X2 + β3X3 + ..... + βnXn + εt Keterangan : 41 Y = Variabel tidak bebas (dependen) β0 = Konstanta (intercep) β1,…, βn = Koefisien regresi X1,…, Xn = Variabel bebas (independen) εt = Error (kesalahan pengganggu) pada waktu t Variabel-variabel yang digunakan dalam model regresi linier berganda dari fungsi konsumsi rumahtangga pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Variabel tidak bebas Variabel tidak bebas yang digunakan adalah nilai pengeluaran konsumsi rumahtangga yang diperoleh dari PDB penggunaan selama tahun 2000 – 2010 dalam satuan triliun rupiah. 2) Variabel bebas Ada lima variabel bebas yang dimasukkan dalam model fungsi konsumsi rumahtangga. Pertama adalah nilai pendapatan nasional dihitung dalam satuan triliun rupiah, kedua adalah tingkat suku bunga tabungan dalam satuan persen, ketiga adalah tingkat inflasi dalam satuan persen, keempat adalah pertumbuhan investasi dalam satuan persen, dan kelima adalah variabel dummy kenaikan BBM. Model analisis yang digunakan dalam penelitian untuk menguji permasalahan terkait faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rumahtangga, digunakan persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: 42 HC = β0 + β1NI + β2SIR + β3INF + β4INV + β5DUM + ε Dimana: HC = Pengeluaran konsumsi rumahtangga (triliun) NI = Pendapatan nasional (triliun) SIR = Suku bunga tabungan (persen) INF = Laju inflasi (persen) INV = Pertumbuhan investasi (persen) DUM = Dummy kenaikan BBM(DUM=0, tidak ada kenaikan BBM, DUM=1, ada kenaikan BBM) β0 = Konstanta β1, β2, β3, β4, β5 = Koefisien regresi masing-masing variabel 3.2.2.1. Asumsi Regresi Linier Berganda Ada empat asumsi yang harus dipenuhi untuk membentuk sebuah model persamaan regresi linier berganda, yaitu: a. Asumsi Normalitas atau i ~ N (0, 2 ) Maksudnya adalah setiap sisaan (i, i=1,2,3,..,n) distribusikan secara normal dengan rata-rata nol dan varians sama dengan 2. b. Asumsi Autokorelasi Autokorelasi mengandung arti ada korelasi atau hubungan yang berurutan antara sisaan dari suatu observasi dengan sisaan observasi yang lain. tidak ada hubungan yang berurutan antar sisaan Jika dikatakan tidak ada 43 autokorelasi. Misalkan i dan j menyatakan residual dari variabel sisaan i dan j, maka: cov(μi, μj | XiXj) = E[(μi – E(μi)|Xi)][(μj – E(μj)|Xj)] cov(μi, μj | XiXj) = E[(μi|Xi).E(μj|Xj) = 0, untuk tiap i ≠ j c. Asumsi Heteroskedastisitas Secara teknis homoskedastisitas atau penyebaran sama adalah asumsi yang menyatakan bahwa sisaan dari observasi memiliki varians yang sama. var(μi | Xi) = E[μi – E(μi|Xi)]2 = E(μi2)|Xi) = σ2. Maksudnya adalah varian dari kesalahan pengganggu merupakan suatu konstanta positif yang sama dengan σ2. Jika var(μi | Xi) ≠ σ2 maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas antar sisaan dalam model. d. Asumsi Multikolinearitas Artinya adalah tidak terdapat hubungan linier yang pasti antara variabelvariabel bebas yang menjelaskan. Metode kuadrat terkecil akan menghasilkan estimator yang mempunyai sifat linier, tidak bias dan mempunyai varian yang minimum atau biasa disebut Best Linier Unbiased Estimator (BLUE) jika memenuhi keempat asumsi tersebut. 3.2.2.2. Pemeriksaan dan Pengujian Asumsi Model Pemeriksaan dan pengujian asumsi dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran terhadap keempat asumsi dalam model regresi linier berganda dengan metode OLS. Tiga asumsi yang pertama, yakni kenormalan, autokorelasi dan heteroskedastisitas berkaitan dengan sisaan dalam model, sehingga jika salah satu tidak terpenuhi maka estimator menjadi kurang valid atau 44 tidak efisien dan tidak bersifat BLUE. Sedangkan asumsi multikolinieritas berkaitan dengan hubungan yang kuat antarvariabel bebas. Jika asumsi multikolinieritas tidak terpenuhi, estimator masih bersifat BLUE namun memiliki varian dan kovarian yang besar sehingga sulit dipakai sebagai alat estimasi. a. Uji Kenormalan Pemeriksaan asumsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah distribusi dari residual menyebar normal dengan rata-rata nol dan varian σ2. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menguji normalitas adalah Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Hipotesis yang digunakan adalah : H0 : Error berdistribusi normal. H1 : Error tidak berdistribusi normal. Uji statistik ini dapat dihitung dengan rumus berikut : JB n 2 1 2 S K 3 6 4 dimana: n = jumlah sampel (degrees of freedom) S = skewness K = kurtosis 45 Jarque-Bera test mempunyai distribusi chi square (χ2) dengan derajat bebas dua. Jika hasil Jarque-Bera test lebih besar dari nilai chi square pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti error tidak berdistribusi normal. Jika hasil Jarque-Bera test lebih kecil dari nilai chi square pada α = 5 persen, maka terima hipotesis nol yang berarti error berdistribusi normal. b. Uji Autokorelasi Autokorelasi menggambarkan terdapatnya hubungan antar error. Adanya autokorelasi ini menyebabkan parameter yang akan diestimasi menjadi tidak efisien. Untuk menguji ada tidaknya autokorelasi menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis uji ini adalah : H0 : Tidak ada masalah otokorelasi H1 : Ada masalah otokorelasi Jika nilai Obs* R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi atau P-value < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Beberapa cara untuk mengatasi autokorelasi antara lain : 1. Menambahkan variabel Auto Regressive. 2. Menambahkan lag variabel independen atau lag variabel dependen. 3. Dengan melakukan differencing atau melalukan regresi nilai turunan. c. Uji Heteroskedastisitas Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedastisitas antara lain uji Breusch-Pagan-Godfrey 46 test dan White test. White test merupakan generalisasi dari Breusch-Pagan- Godfrey test yang juga memasukkan nilai residual yang dikuadratkan, tetapi mengeluarkan unsur-unsur yang memiliki order yang lebih tinggi. Konsekuensinya White test digunakan untuk mendeteksi bentuk-bentuk yang lebih umum dari heteroksedastisitas dibandingkan dengan Breusch-Pagan test. Hal ini menyebabkan para peneliti lebih banyak menggunakan Breusch-PaganGodfrey test untuk mendeteksi ada tidaknya masalah heteroskedatisitas. Breusch-Pagan heteroskedastisitas. test Metode merupakan ini lagrange multiplier merupakan perhitungan yang test untuk sederhana menggunakan R square (R2) dari beberapa persamaan yang diregresikan. Rumus Breusch-Pagan-Godfrey test dinyatakan sebagai berikut: dimana: h = unsur yang tidak diketahui, yaitu fungsi yang diturunkan secara kontinu (tidak tergantung pada i) sehingga h(.) > 0 dan h(0) = 1. s = varian z = variabel yang memengaruhi distrubance terms variance. Hipotesisnya adalah: H : Tidak terdapat heteroskedastistas 0 47 H : Terdapat heteroskedastisitas 1 Rumus paling sederhana dari Breusch-Pagan-Godfrey test dapat dihitung sebagai hasil kali antara jumlah observasi (N) dan R2. Secara matematika dirumuskan sebagai berikut: Breusch-Pagan test mempunyai distribusi chi square dengan derajat bebas satu. Apabila chi square hitung lebih besar dari chi square tabel pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Apabila chi square hitung lebih kecil dari chi square tabel pada α=5 persen, maka terima hipotesis nol yang berarti tidak ada heteroskedastisitas. d. Uji Multikolinieritas Asumsi terakhir yang harus dipenuhi dalam melakukan analisis regresi linier berganda adalah tidak adanya multikolinieritas atau hubungan linier diantara variabel-variabel bebasnya. Ada beberapa metode untuk mendeteksi adanya multokolinieritas dalam sebuah model. Cara yang pertama adalah dengan melihat nilai R2 dari model serta korelasi (R) antarvariabel bebas. Jika terdapat korelasi yang tinggi atar 2 variabel bebas (R>0,85) maka diindikasikan terjadi masalah multikolinearitas dalam persamaan tersebut (Widarjono, 2009). Multikolinearitas ini terbagi menjadi 2 yakni multikolinearity sempurna apabila r = 1 dan multikolinearity tidak sempurna apabila r <1. Cara yang kedua adalah dengan metode deteksi Klien, yakni dengan membandingkan antara koefisien determinasi dari regresi auxilary dengan 48 koefisien determinasi dari model regresi aslinya. Rule of thumb dari metode deteksi Klien adalah jika nilai koefisien determinasi dari regresi auxilary lebih besar dari koefisien determinasi dari model regresi aslinya maka pada model tersebut terjadi multikolinieritas. Sebaliknya, jika nilai koefisien determinasi dari regresi auxilary lebih kecil dari koefisien determinasi dari model regresi aslinya maka pada model tersebut tidak terjadi multikolinieritas. Terdapat beberapa pilihan untuk mengatasi masalah multikolinieritas. Pilihan pertama adalah membiarkan model tetap mengandung multikolinieritas karena model tetap menghasilkan estimator yang BLUE. Multikolinieritas hanya menyebabkan kesulitan dalam memperoleh estimator yang memiliki standard error yang kecil. Pilihan kedua adalah dengan memperbaiki model (Gujarati, 1995). Pada pilihan kedua ini terdapat tiga cara yaitu menghilangkan variabel bebas yang mempunyai hubungan linier yang kuat dengan variabel bebas lainnya, melakukan transformasi variabel dan melakukan proses penambahan data . 3.2.2.3. Pengujian Parameter Model Tahapan yang dilakukan setelah model fungsi produksi didapatkan adalah dengan melakukan pengujian hipotesis secara statistik terhadap semua parameter dalam model. Tujuannya adalah untuk menguji kelayakan model dan menguji apakah koefisien yang diestimasi telah sesuai dengan teori atau hipotesis. Beberapa pengujian secara statistik yang dilakukan terhadap paremeter model adalah uji koefisien determinasi (R2), uji koefisien regresi parsial (uji t) dan uji koefisien regresi secara menyeluruh (F-test/uji F). 49 3.2.2.3.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji kesesuaian (goodness of fit) dilakukan dengan melihat nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan oleh model. Nilai R2 menunjukkan seberapa besar variabel bebas secara bersama-sama mampu menjelaskan proporsi keragaman variabel tidak bebasnya, atau berapa persen tingkat output dapat dijelaskan oleh faktor-faktor produksi yang digunakan. Koefisien determinasi merupakan nilai korelasi yang dikuadradkan, sehingga nilainya selalu positif dan berkisar antara nol sampai satu. Nilai R2 yang semakin mendekati nol menyatakan hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas tidak kuat atau dengan kata lain perubahan pada variabel tidak bebas lebih banyak dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Sebaliknya, Nilai R2 yang mendekati satu memiliki arti hubungan antara variabel tidak bebas dan variabel bebas sangat kuat atau dengan kata lain perubahan pada variabel tidak bebas lebih banyak dijelaskan oleh variabel dari dalam model atau model yang dibuat sudah mendekati sempurna. Koefisien determinasi (R2) dapat dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut: 2 ˆ 2 xi2 SSR SSE yˆ i R 1 SSE SST y i2 yi2 2 Keterangan: R2 : Koefisien Determinasi SSR : Jumlah Kuadrat Regresi (Sum Square Residual) SSE : Jumlah Kuadrat Error (Sum Square Error) 50 SST : Jumlah Kuadrat Total (Sum Square Total) 3.2.2.3.2. Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (F-test/uji F) Tingkat kekuatan hubungan antara variabel tidak bebas dengan semua variabel bebas yang menjelaskan secara menyeluruh dalam sebuah persamaan regresi dapat diketahui dengan menggunakan uji statistik F. Prosedur pengujian dengan uji F adalah sebagai berikut: 1) Menyusun hipotesis H0: β0= β1= …= βk = 0 atau tidak ada pengaruh dari variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y. H1: minimal ada satu i 0 artinya minimal ada satu variabel bebas Xi yang memengaruhi Y (i=1,2,3,…,k). 2) Mencari nilai F hitung yang dinyatakan dalam bentuk matematis sebagai berikut : 2 SSR /( k 1) yˆ i (k 1) MSR R 2 /( k 1) Fobs SSE /( n k ) ei2 (n k ) MSE 1 R 2 /( n k ) dimana: SSR = jumlah kuadrat regresi MSR = rata-rata kuadrat regresi SSE = jumlah kuadrat sisaan MSE = rata-rata kuadrat sisaan k n = jumlah parameter = jumlah sampel 3) Pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak H0 adalah dengan membandingkan nilai F hitung dengan F fabel atau dengan melihat nilai signifikansi (probabilitas) dalam output hasil pengolahan. 51 Jika Fobs > Ftabel (α;k-1,n-k) atau probabilitas F kurang dari =0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya secara bersama-sama variabel-variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas. Jika Fobs < Ftabel (α;k-1,n-k) atau probabilitas F lebih dari =0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak. Artinya varibel bebas secara bersama-sama tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel tidak bebas. 3.2.2.3.3. Uji Koefisien Regresi Parsial (uji t) Uji koefisien regresi secara parsial (uji t) digunakan untuk menguji tingkat signifikansi masing-masing koefisien variabel bebas secara individu terhadap variabel tidak bebas. Beberapa langkah dalam pengujian koefisien regresi secara parsial (uji t) adalah sebagai berikut : 1) Menyusun hipotesis untuk masing-masing koefisien regresi H0 : βi = 0 artinya tidak ada pengaruh variabel bebas X i terhadap variabel tidak bebas Y. H1 : βi ≠ 0 artinya ada pengaruh variabel bebas X i terhadap variabel tidak bebas Y, i = 0,1,2, ... k 2) Mencari nilai t hitung untuk masing-masing koefisien regresi dan mencari nilai t tabel. Nilai t hitung dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut. t obs ˆ i i* se ˆ i ˆ i se( ˆ i ) dimana i* adalah nilai pada H0. 52 3) Membandingkan nilai t hitung dengan t tabel atau dengan melihat nilai signifikansi (probabilitas) untuk membuat keputusan menolak atau menerima H0. Alternatif keputusannya adalah: jika t obs t / 2;( n k ) atau probabilitas t kurang dari =0,05, maka H0 ditolak atau H1 diterima. H0 ditolak berarti bahwa variabel bebas ke-i berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang diteliti. Jika nilai t obs t / 2;( n k ) atau probabilitas t lebih dari =0,05, maka H0 diterima atau H1 ditolak. H0 diterima berarti bahwa variabel bebas ke-i tidak berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas yang diteliti. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial dengan uji-t, dapat diketahui variabel bebas yang berpengaruh secara signifikan maupun yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap model estimasi. 3.3. Software Analisis Data Penggunaan alat bantu penghitungan dalam analisis diskriptif maupun dalam analisis statistik sangat diperlukan dalam penelitian ini. Dalam mengolah data dan menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan bantuan beberapa software. Software tersebut adalah sebagai berikut : 53 1. Microsoft Excel 2003 Microsoft Excel merupakan perangkat lunak buatan Microsoft Corp. Software ini digunakan dalam pembuatan tabel dan grafik serta beberapa pengolahan data. 2. EViews 6.0 Eviews merupakan program komputer yang digunakan untuk mengolah data statistik dan data ekonometri. Program EViews dibuat oleh QMS (Quantitative Micro Software). Software ini digunakan dalam mengolah persamaan model regresi. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Statistik Deskriptif Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran umum dari variabel penelitian yang digunakan Analisis diskriptif bersifat pemaparan dalam bentuk tabel, grafik, dan diagram dan menjelaskan keterkaitan antara faktor ekonomi, demografi, dan sosial terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. 4.1.1. Penduduk dan Kemiskinan Penduduk Indonesia pada tahun 2000, 2005 dan 2010 sebanyak 205,132 juta, 219,852 juta, dan 237,641 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2010 sebesar 1,49. Sedangkan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan pada tahun 2010 sebanyak 119,630 juta dan 118,010 juta jiwa dengan sex rasio sebesar 101. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat diharapkan menjadi daya dongkrak peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan permintaan barang dan jasa yang dikonsumsi oleh penduduk. Pertumbuhan penduduk di Indonesia mempunyai pola yang sama dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumahtangga dengan pola pertumbuhan yang positif. Komposisi penduduk Indonesia adalah komposisi penduduk muda, dimana penduduk umur dibawah 20 tahun masih cukup banyak. Sedangkan angka beban ketergantungan (dependency ratio) penduduk Indonesia sebesar 0,51 dimana setiap penduduk usia produktif (15-64 tahun) harus menanggung penduduk usia 55 tidak produktif (<15 tahun dan >64 tahun). Tingkat konsumsi penduduk dipengaruhi umur dimana penduduk dengan umur muda belum mempunyai kemampuan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi melalui penciptaan pendapatan. Tabel 4.1 Penduduk Menurut Jenis Kelamin Tahun 2010 (Jiwa) Kelompok Umur (1) 0-4 5-9 10 - 14 15 - 19 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44 45 - 49 50 - 54 55 - 59 60 - 64 65 - 69 70 - 74 75 + Total (2) 11.663.261 11.975.327 11.663.715 10.614.128 9.885.703 10.630.473 9.948.969 9.337.247 8.322.596 7.032.824 5.865.971 4.400.467 2.927.179 2.225.113 1.531.516 1.606.424 (3) 11.016.612 11.279.855 11.021.590 10.264.142 9.999.541 10.676.932 9.880.045 9.166.618 8.201.552 7.007.952 5.694.865 4.047.783 3.131.207 2.468.641 1.924.842 2.228.235 Lakilaki+Perempuan (4) 22.679.873 23.255.182 22.685.305 20.878.270 19.885.244 21.307.405 19.829.014 18.503.864 16.524.149 14.040.776 11.560.836 8.448.250 6.058.385 4.693.754 3.456.359 3.834.659 119.630.913 118.010.413 237.641.326 Laki-laki Perempuan Dependency Ratio 0,51 Sex Rasio 101 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. Pada tahun 2010 penduduk yang tinggal diwilayah pedesaan sebesar 50,21 persen dan diperkotaan sebesar 49,79 persen. Migrasi penduduk atau perubahan proporsi penduduk di perkotaan akan memengaruhi tingkat konsumsi dimana pengeluaran konsumsi penduduk perkotaan hampir dua kali lipat pengeluaran konsumsi penduduk di pedesaan. Pada tahun 2009 pengeluaran konsumsi perkapita perbulan penduduk perkotaan sebesar 549 ribu rupiah sedangkan 56 pengeluaran konsumsi penduduk di pedesaan sebesar 318 ribu rupiah. Semakin tinggi penduduk yang tinggal diperkotaan akan semakin tinggi tingkat konsumsi karena kebutuhan konsumsi di perkotaan lebih besar dari pedesaan. Kemiskinan identik dengan kemampuan penduduk dalam memenuhi konsumsi kebutuhan dasar. Semakin miskin penduduk pengeluaran konsumsinya juga semakin berkurang, begitu pula sebaliknya. Tingkat kemiskinan di Indonesia sampai dengan tahun 2010 mencapai 13,33 persen, menurun dibandingkan dengan tahun 2009 sebesar 14,15 persen. Kemiskinan lebih banyak terjadi di wilayah pedesaan, hal ini berkaitan dengan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan yang masih mengandalkan sektor pertanian tradisional sebagai mata pencaharian. Pola kemiskinan di Indonesia yang semakin menurun diikuti pula oleh pola peningkatan konsumsi rumahtangga. Tabel 4.2 Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Wilayah 2009 2010 (1) (2) (3) Kota Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.) 10,72 89,28 222.123 9,87 90,13 232.988 Desa Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.) 17,35 82,65 179.835 16,56 83,44 192.354 Kota + Desa Miskin (%) Tidak Miskin (%) Garis Kemiskinan (Rp.) 14,15 85,85 200.262 13,33 86,67 211.726 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. 57 4.1.2. Ketenagakerjaan Pada tahun 2010 jumlah angkatan kerja di Indonesia sebanyak 116,263 juta jiwa dengan tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) sebesar 67,77 persen. Jumlah pengangguran pada tahun 2010 sebesar 7,27 persen, menurun dibandingkan tahun 2009 sebesar 8,01 persen. Penurunan jumlah pengangguran akan memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan jumlah pendapatan nasional, dimana semakin banyak orang yang akan bekerja dan memperoleh penghasilan. Tabel 4.3 Penduduk Menurut Kegiatan Jenis Kegiatan (1) 1 Penduduk 15 + 2 Angkatan Kerja TPAK Bekerja Pengangguran Terbuka TPT 3 Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus Rumahtangga Lainnya 2005* 2006* 2007* 2008* 2009* 2010* (2) (3) (4) (5) (6) (7) 157.020.560 160.034.589 163.235.186 166.103.521 168.796.328 171.543.878 105.830.013 106.335.365 109.036.209 111.712.356 113.788.844 116.262.804 67,40 66,45 66,80 67,25 67,41 67,77 94.453.253 95.317.019 98.756.679 102.301.304 104.678.054 107.806.670 11.376.760 11.018.347 10.279.530 9.411.053 9.110.791 8.456.135 10,75 10,36 9,43 8,42 8,01 7,27 51.190.548 53.699.224 54.198.977 54.391.165 55.007.484 55.281.074 13.250.701 13.754.243 14.048.935 13.253.587 13.738.375 14.105.620 29.932.278 31.391.988 31.561.057 32.446.855 32.962.685 32.695.626 8.007.569 8.552.994 8.588.986 8.690.724 8.306.425 8.479.829 *) Rata-rata setahun Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. Jenis lapangan usaha, status pekerjaan, dan tingkat pendidikan pekerja erat kaitannya dengan besaran balas jasa dalam bentuk pendapatan yang diperoleh penduduk. Penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebagian besar bekerja di sektor pertanian dan perdagangan, rumah makan dan hotel. Status pekerjaan penduduk 58 Indonesia dari tahun ke tahun masih didominasi sebagai buruh/karyawan/pegawai. Pada tahun 2010 penduduk yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai sebanyak 32,521 juta jiwa, sedangkan yang berusaha dibantu buruh tidak tetap dan berusaha sendiri sebanyak 21,682 juta dan 21,031 juta jiwa. Penduduk yang bekerja dengan status berusaha belum mampu memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan pendapatan nasional. Mereka yang yang berstatus berusaha sebagian adalah mereka yang bekerja dalam sektor pertanian dengan mengandalkan pekerja keluarga dalam membantu pekerjaannya. Sektor pertanian di Indonesia identik dengan pertanian tradisional dan bersifat musiman. Semakin tinggi tingkat pendidikan pekerja semakin besar pula pendapatan yang akan diperoleh. Tingkat pendidikan pekerja di Indonesia pada bulan Agustus 2010 masih didominasi lulusan SD sebesar 28,94 persen, diikuti oleh lulusan SMTA sebesar 22,91 persen. 4.1.3. Konsumsi Rumahtangga Pengeluaran konsumsi rumahtangga mempunyai proporsi yang cukup besar dalam pembentukan PDB pendekatan pengeluaran. Proporsi pengeluaran konsumsi rumahtangga dari tahun 2000-2010 berfluktuasi dan mempunyai kecenderungan pola yang menurun. Proporsi terbesar terjadi pada tahun 2000 sebesar 61,65 persen dan terendah terjadi pada tahun 2010 sebesar 56,55 persen. Pada tahun 2010 tingkat pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia sebesar 1.306,8 triliun rupiah. Selama sepuluh tahun terakhir mengalami peningkatan sebesar 450 triliun rupiah. 59 2,500 Rp. (trilyun) 2,000 1,500 1,000 500 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Konsumsi Ruta PDB Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.1 Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Sedangkan pertumbuhan konsumsi rumahtangga masih tetap tumbuh positif dari tahun ketahun dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2007-2008 sebesar 5,34 persen dan terendah tahun 2000-2001 sebesar 3,49 persen. Fenomena yang menarik diamati adalah ketika pertumbuhan konsumsi rumahtangga yang mengalami penurunan pada tahun 2005-2006 dan 2008-2009 akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan krisis global tahun 2008. Pengeluaran konsumsi dapat meredam guncangan akibat kenaikan harga BBM dan krisis dengan mempertahankan kestabilan pertumbuhan ekonomi. 60 20 18 16 14 % 12 10 8 6 4 2 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Konsumsi Ruta PDB Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.2 Pertumbuhan Konsumsi Rumahtangga dan Produk Domestik Bruto Pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia masih didominasi oleh pengeluaran konsumsi makanan dibandingkan konsumsi bukan makanan. Pada tahun 2010 persentase pengeluaran konsumsi perkapita makanan penduduk Indonesia sebesar 51,43 persen, sedangkan pengeluaran konsumsi bukan makanan sebesar 48,57 persen. Selama tahun 2005-2010 terdapat kecenderungan penurunan persentase pengeluaran makanan terhadap total pengeluaran konsumsi penduduk dari 53,86 persen menjadi 51,43 persen. Penurunan persentase konsumsi makanan terjadi seiring dengan kenaikan pendapataan yang diperoleh penduduk. Hal ini sejalan dengan teori Engel yang menjelaskan proporsi pengeluaran makanan pokok akan semakin berkurang seiring dengan naiknya pendapatan. Pendapatan yang meningkat akan dialokasikan untuk konsumsi kebutuhan lain seperti pembelian barang-barang. 61 Tabel 4.4 Persentase Pengeluaran Konsumsi Perkapita Sebulan Menurut Kelompok Barang Kelompok Barang 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (7) (8) (9) (10) (11) (12) Makanan: Jumlah (Rp.) 143.672 155.362 174.028 193.828 217.720 254.520 53,86 53,01 49,24 50,17 50,62 51,43 123.079 137.699 179.393 192.542 212.345 240.325 Persentase 46,14 46,99 50,76 49,83 49,38 48,57 Total (Rp.) 266.751 293.061 353.421 386.370 430.065 494.845 Persentase 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Persentase Bukan makanan: Jumlah (Rp.) Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. 4.1.4. Pendapatan Nasional Pendapatan nasional pendekatan pengeluaran diperoleh dari nilai PDB dikurangi transfer pendapatan netto, pajak tak langsung dan penyusutan. Pendapatan nasional merupakan agregasi dari balas jasa faktor yang diterima seluruh penduduk Indonesia. Pendapatan Nasional pada tahun 2010 sebesar 2.020,9 triliun rupiah, mengalami peningkatan sebesar 754,9 triyun rupiah selama kurun waktu sepuluh tahun. Pertumbuhan pendapatan nasional selama tahun 2000-2010 berfluktuatif dimana pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2008 sebesar 8,71 persen dan terendah pada tahun 2001 sebesar 0,71 persen. Akibat krisis tahun 2008 pendapatan nasional sempat mengalami penurunan pertumbuhan yang tinggi dari sebelumnya 8,71 persen menjadi hanya sebesar 2,14 persen pada tahun 2009. Kenaikan pendapatan nasional dari tahun 2000-2010 diikuti pula oleh kenaikan pengeluaran konsumsi. Hal ini menunjukan jika pendapatan disposibel 62 meningkat, maka konsumsi juga akan meningkat, hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposibel (Mankiw, 2007). 20 18 16 14 % 12 10 8 6 4 2 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Pendapatan Nasional PDB Sumber : Badan Pusat Statistik, 2011. Gambar 4.3 Pertumbuhan Pendapatan Nasional dan Produk Domestik Bruto Pendapatan perkapita Indonesia tahun 2010 sebesar 8,503 juta rupiah (atas dasar harga 2000). Kesenjangan pendapatan di Indonesia dilihat dari distribusi pendapatan yang diterima penduduk menurut kategori Bank Dunia, proporsi pendapatan yang diterima 20 persen lapisan atas sebesar 41,24 persen, 40 persen lapisan sedang sebesar 37,54 persen, dan 40 persen lapisan bawah sebesar 21,22 persen. Sedangkan ketimpangan pendapatan di Indonesia kategori ketimpangan yang rendah dengan besaran indeks gini pada tahun 2010 sebesar 0,38. 63 4.1.5. Tabungan dan Investasi Tabungan yang dalam penelitian ini menggunakan jumlah uang kuasi mempunyai pola yang semakin meningkat dari tahun 2000-2010. Fenomena selama kurun waktu sepuluh tahun terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah tabungan daripada pertumbuhan jumlah pengeluaran konsumsi. Kondisi ini terjadi dimana peningkatan pendapatan digunakan oleh masyarakat untuk menambah nilai tabungan. Hal ini menunjukan berlakunya Hukum Engel (Engel’s Law) dimana semakin tinggi tingkat pendapatan maka proporsi konsumsi terhadap pendapatan akan semakin berkurang. Sedangkan pertumbuhan uang kuasi berfluktuasi antara tahun 2000-2010. Penurunan pertumbuhan juga terjadi akibat adanya guncangan kenaikan BBM dan krisis dimana pertumbuhan uang kuasi turun akibat dari penarikan tabungan yang akan digunakan oleh masyarakat untuk mempertahankan tingkat konsumsi. Investasi selama tahun 2000-2010 mempunyai pola yang meningkat. Pertumbuhan investasi sangat dipengaruhi pada situasi perekonomian dimasa depan yang tidak dapat diramalkan, sehingga investasi merupakan komponen yang paling mudah berubah. Pertumbuhan investasi di Indonesia berfluktuatif mengikuti pertumbuhan jumlah tabungan. Tingkat kepercayaan dalam pengembalian pinjaman investasi masih dipengaruhi kondisi perekonomian Indonesia. Iklim investasi masih dipengaruhi oleh adanya krisis dan kenaikan BBM sehingga pelaku investasi masih menunggu (wait and see) adanya kestabilan perekonomian dalam jangka panjang. Pertumbuhan investasi tertinggi 64 terjadi tahun 2004 sebesar 14,68 persen dan terendah tahun 2003 sebesar 0,60 persen. 25 20 % 15 10 5 0 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun Tabungan Investasi Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 dan Bank Indonesia, 2011. Gambar 4.4 Pertumbuhan Investasi dan Tabungan 4.1.6. Inflasi dan Suku Bunga Inflasi dapat memengaruhi tingkat konsumsi masyarakat, dimana adanya inflasi tanpa adanya peningkatan pendapatan menyebabkan daya beli masyarakat akan menurun. Inflasi triwulanan di Indonesia berfluktuatif antara tahun 20002010. inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005 dimana terjadi fenomena kenaikan harga minyak dunia yang diikuti kenaikan harga BBM di dalam negeri yang terjadi pada triwulan keempat sebesar 10,34 persen. Kecenderungan untuk menabung sangat dipengaruhi oleh tingkat suku bunga yang berlaku. Tingkat suku bunga yang berlaku dapat dibedakan menjadi suku bunga riil dan nominal. Tingkat suku bunga riil selama sepuluh tahun 65 berfluktuasi dimana tingkat bunga riil sangat dipengaruhi adanya guncangan dalam perekonomian dalam bentuk inflasi. Sedangkan tingkat bunga nominal mempunyai kecenderungan menurun hingga tahun 2010. Hingga tahun 2010 triwulan terakhir suku bunga tabungan berada pada tingkat 3,28 persen pertahun. 20 15 % 10 5 0 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 -5 Tahun Inflasi Bunga Tabungan Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 dan Bank Indonesia, 2011. Gambar 4.5 Inflasi dan Suku Bunga Tabungan 4.2. Analisis Regresi Linier Berganda Faktor-faktor yang Memengaruhi Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Hasil pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer EViews, ditampilkan sebagai berikut: 66 Tabel 4.5 Hasil Estimasi Koefisien Regresi Linier Berganda Variable Coefficient (1) t-Statistic Prob. (2) 100.4399 (4) 7.7767 (5) 0.0000 NI 0.4663 19.5347 0.0000 SIR -2.8080 -3.8198 0.0005 INF -0.3434 -0.5446 0.5893 RINV -0.8429 -3.4466 0.0014 DUM -5.0065 -1.3986 0.1702 Constanta R2 = 0.9778 Ajusted R2 = 0.9748 Sumber: Pengolahan Eviews Guna mengetahui apakah estimasi model tersebut merupakan model yang terbaik dan layak untuk digunakan maka perlu dilakukan serangkaian tes atau pengujian. Estimator dalam model dikatakan terbaik jika memiliki sifat BLUE (Best Linier Unbiased Estimator) yakni linier, tidak bias dan memiliki varian minimum. Pengujian dilakukan dengan metode uji statistik untuk melihat tingkat kesesuaian model, uji ekonometrika terhadap semua asumsi yang digunakan serta uji ekonomi terhadap arah hubungan dari semua variabel. 4.2.1. Pengujian Asumsi Model Pengujian sumsi model dilakukan dengan metode ekonometrika yakni untuk menguji apakah model regresi linier berganda dari fungsi konsumsi dengan metode OLS telah memenuhi asumsi-asumsi yang ditentukan. Asumsi 67 yang akan diuji tersebut meliputi asumsi normalitas, autokorelasi, heteroskedastisitas dan multikolinieritas. 4.2.1.1. Asumsi Normalitas Pemeriksaan asumsi pertama yaitu pemeriksaan kenormalan digunakan Jarque-Bera test. Uji ini mengukur perbedaan skewness dan kurtosis data dan dibandingkan dengan apabila datanya bersifat normal. Hipotesis yang digunakan adalah: H0 : Error berdistribusi normal. H1 : Error tidak berdistribusi normal. Jika hasil Jarque-Bera test lebih besar dari nilai chi square pada tingkat signifikansi α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti error tidak berdistribusi normal. 12 Series: Residuals Sample 2000Q2 2010Q4 Observations 43 10 8 6 4 2 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis -3.76e-15 -0.123519 10.18552 -12.46119 5.329984 -0.162050 2.582869 Jarque-Bera Probability 0.499944 0.778823 0 -10 -5 0 5 10 Sumber: Pengolahan Eviews Gambar 4.6 Hasil uji kenormalan dengan metode Jarque-Bera 68 Berdasarkan hasil penghitungan, didapatkan nilai Jarque-Bera sebesar 0,4999. Nilai tersebut lebih besar dari nilai 5 persen, maka terima H0. Artinya error model berdistribusi normal. 4.2.1.2. Uji Autokorelasi Model yang dipilih harus memenuhi asumsi terbebas dari autokorelasi, yaitu tidak ada hubungan antar error. Pengujian autokorelasi menggunakan menggunakan Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test. Hipotesis uji ini adalah : H0 : Tidak ada masalah otokorelasi H1 : Ada masalah otokorelasi Apabila nilai Obs* R-squared > nilai kritis maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi atau chi square hitung < α maka H0 ditolak yang berarti terdapat autokorelasi. Hasil deteksi autokorelasi dengan metode Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test mendapatkan nilai chi-square ( ) sebesar 0,8316 dengan nilai Prob. chi square hitung sebesar 0,6598. Nilai ini lebih besar dari tingkat signifikansi α (5 persen), artinya menerima H0 yang berarti tidak terdapat masalah autokorelasi dalam model. Tabel 4.6 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square(2) dari pengujian BreuschGodfrey Serial Correlation LM Test F-statistic 0.345133 Prob. F(2,35) 0.7205 Prob. ChiObs*R-squared 0.831639 Square(2) 0.6598 Sumber: Pengolahan Eviews 69 4.2.1.3. Uji Heterokedastisitas Pemeriksaan asumsi selanjutnya adalah pengujian heteroskedastisitas yang dilakukan dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey test. Hipotesis dalam pengujian ini adalah: H : Tidak terdapat heteroskedastistas 0 H : Terdapat heteroskedastisitas 1 Apabila chi square hitung lebih besar dari chi square tabel pada α = 5 persen, maka tolak hipotesis nol yang berarti terjadi heteroskedastisitas. Hasil deteksi heteroskedastisitas dengan metode Breusch-Pagan-Godfrey Heteroskedasticity Test mendapatkan nilai chi-square ( ) sebesar 6,1545 dengan nilai probabilitas chi-square sebesar 0,2915. Nilai probabilitas chi-square tersebut lebih besar dari tingkat signifikansi =0,05, sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H0 sehingga varian sisaan dari model bersifat konstan (homoskedastisitas). Tabel 4.7 Nilai Obs*R-squared dan Prob. Chi-Square dari pengujian BreuschPagan-Godfrey test F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS Sumber: Pengolahan Eviews 4.2.1.4. 1.236057 6.154482 3.606394 Prob. F(5,37) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5) 0.3121 0.2915 0.6074 Uji Multokolinieritas Pemeriksaan asumsi terakhir adalah pemeriksaan multikolinieritas, dimana dalam model yang dipilih tidak ada korelasi tinggi antarvariabel-variabel independen. Uji Multikolinieritas menunjukkan tidak terjadi multikolinieritas 70 sempurna antarvariabel-variabel independen yang ditunjukkan oleh korelasi antarvariabel yang berada di bawah batas rule of thumb (r < 0,85). Tabel 4.8 Matrik Korelasi Antarvariabel Independen Pendapatan Nasional Suku Bunga Tabungan Pendapatan Nasional 1.0000 Suku Bunga Tabungan -0.8227 Inflasi -0.1552 Pertumbuhan Investasi 0.0951 Sumber: Pengolahan Eviews Pertumbuhan Investasi Inflasi -0.8227 -0.1552 0.0951 1.0000 0.1371 0.1371 1.0000 -0.1135 -0.2743 -0.1135 -0.2743 1.0000 Metode lain untuk menguji asumsi multikolinieritas adalah menggunakan deteksi Klien, yakni membandingkan nilai R2 dari model asal dengan nilai R2 dari semua regresi auxilary. Berdasarkan hasil pengolahan dengan Program Eviews dapat diketahui bahwa semua nilai R2 dari regresi auxilary lebih rendah dari R2 pada model regresi awal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa estimasi model regresi sudah memenuhi asumsi yang keempat, yakni terbebas dari multikolinieritas. 4.2.2. Pengujian Parameter Model 4.2.2.1. Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji statistik yang pertama dilakukan adalah uji koefisien determinasi (R2) yakni untuk melihat tingkat kesesuaian atau kecocokan dari estimasi model yang erbentuk (goodness of fit). Koefisien determinasi menjelaskan seberapa besar proporsi variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel independen. Dalam model diperoleh nilai koefisien R2 0,9748 yang berarti variabel pendapatan 71 nasional, suku bunga tabungan, inflasi, dan pertumbuhan investasi dapat memengaruhi variabel pengeluaran konsumsi rumahtangga sebesar 97,48 persen, selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model. 4.2.2.2. Uji Koefisien Regresi Secara Menyeluruh (Uji F) Pengujian parameter model berikutnya adalah dengan menggunakan uji koefisien regresi secara menyeluruh atau disebut uji F (F-tes). Hipotesis nol (H0) yang diajukan dalam uji ini adalah nilai koefisien β1=β2=β3=β4=β5=0 yang berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis alternatifnya adalah ada satu koefisien βi≠0 atau minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel tidak bebas. Nilai F-hitung dari hasil regresi signifikan pada nilai α=5% dengan nilai Fhitung sebesar 326,1480. Berdasarkan kondisi tersebut maka keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatif. Hal ini berarti keempat variabel tidak bebas dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap variabel pengeluaran konsumsi rumahtangga atau model yang digunakan cukup baik Tabel 4.9 Nilai Statistik Model Pengaruh Pendapatan Nasional, Suku Bunga Tabungan, Inflasi, Pertumbuhan Investasi dan Dummy Kenaikan BBM terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga R-squared Adjusted R-squared F-statistic Prob(F-statistic) Sumber: Pengolahan Eviews 0.977814 0.974816 326.1480 0.000000 72 4.2.2.3. Uji Koefisien Regresi Parsial (Uji t) Pengujian secara parsial terhadap semua koefisien regresi dilakukan dengan uji t (t-test). Hipotesis yang diajukan dalam pengujian ini adalah masingmasing koefisien persamaan bernilai nol atau βi=0. Artinya adalah tidak ada pengaruh dari variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah βi≠0 yang artinya ada pengaruh dari setiap variabel bebas Xi terhadap variabel tidak bebas Y. Jika nilai t statisik >t table (α/2,n-k) maka tolak H0 berarti dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas. Selain itu, dapat juga dilihat dari prob masing-masing variabel bebasnya. Apabila prob variabel bebas < α=0,05 maka dapat disimpulkan bahwa variabel tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel tidak bebas. Dibandingkan dengan nilai t-tabel (t 0,05 / 2;37 ) yang sebesar 2.02619, koefisien 0, 1, 2, dan 4, dalam persamaan memiliki nilai t-hitung yang lebih besar. Hanya koefisien 3 dan 5 yang lebih rendah dari t-tabel, atau signifikan pada taraf 0,5893 dan 0,1702. 4.2.3. Analisis Model Fungsi Konsumsi Fungsi pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia selama kurun waktu tahun 2000 – 2010 secara ekonomi dipengaruhi oleh pendapatan nasional, suku bunga tabungan, dan perubahan investasi. Kenaikan harga BBM yang terjadi antara tahun 2001-2008 ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap pengeluaran 73 konsumsi rumahtangga. Sedangkan inflasi yang terjadi selama kurun waktu tersebut tidak signifikan memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga. 4.2.3.1. Pengaruh Pendapatan Nasional Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Pendapatan nasional berpengaruh dan mempunyai hubungan yang positif dalam meningkatkan pengeluaran konsumsi rumahtangga dengan MPC sebesar 0,4664. Hal ini menunjukkan setiap peningkatan pendapatan nasional sebesar 1 triliun akan meningkatkan konsumsi rumahtangga sebesar 0,4664 triliun rupiah, ceteris paribus. Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi dalam penelitian sejalan dengan penelitian terdahulu, yang menunjukan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Hal ini sesuai dengan teori konsumsi yang ada dimana konsumsi secara mutlak (absolut) cenderung lebih banyak dipengaruhi tingkat pendapatan sekarang. Penelitian Siregar menunjukan bahwa fungsi konsumsi mempunyai MPC sebesar 0,43 sedangkan penelitian Isyani menunjukan fungsi konsumsi dalam jangka pendek dan jangka panjang mempunyai MPC sebesar 0,21 dan 0,83. Hal ini juga sesuai dengan dugaan Keynes bahwa kecenderungan mengkonsumsi marginal adalah antara 0 dan 1. 4.2.3.2. Pengaruh Suku Bunga Konsumsi Rumahtangga Tabungan Terhadap Pengeluaran Tingkat suku bunga tabungan berpengaruh signifikan dan mempunyai hubungan yang negatif terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Koefisien regresi tingkat suku bunga tabungan sebesar – 2,8080 menunjukkan bahwa adanya kenaikan tingkat suku bunga sebesar 1 persen akan menurunkan pengeluaran 74 konsumsi rumahtangga sebesar 2,8080 triliun, ceteris paribus. Sejalan dengan model yang dikembangkan ekonom Irving Fisher tingkat suku bunga memberikan pengaruh terhadap individu untuk membuat pilihan antar waktu dalam melakukan konsumsi yang dibatasi anggaran atau pendapatan (budged constraint). Adanya kenaikan tingkat suku bunga tabungan akan menarik minat masyarakat untuk mengalihkan sebagian pendapatannya yang tidak dikonsumsi untuk ditabung dengan mengharapkan balas jasa dari bunga yang cukup besar dalam jangka panjang. 4.2.3.3. Pengaruh Inflasi Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Inflasi selama tahun 2000-2010 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Konsumsi masyarakat Indonesia relatif tidak terpengaruh dengan adanya perubahan harga karena tingkat ekonomi masyarakat yang rendah. Sebagian besar dari pendapatan masyarakat digunakan untuk konsumsi terutama konsumsi makanan dan kebutuhan pokok. Inflasi yang terjadi antara tahun 2000-2010 lebih didominasi adanya kenaikan harga-harga bahan makanan, makanan jadi dan minuman sehingga berapapun tingkat harga yang ditawarkan tetap akan dibeli oleh masyarakat. 4.2.3.4. Pengaruh Pertumbuhan Konsumsi Rumahtangga Investasi Terhadap Pengeluaran Pertumbuhan investasi di Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengeluaran konsumsi dengan koefisien sebesar -0,8429. Hal ini menunjukan setiap peningkatan jumlah investasi sebesar 1 persen maka akan terjadi pengurangan pengeluaran konsumsi rumahtangga sebesar 0,8429 triliun, 75 ceteris paribus. Konsumsi dalam perekonomian dua sektor dipengaruhi oleh pendapatan dan investasi. Rumah tangga dihadapkan kepada pilihan untuk mengalokasikan pendapatan yang diperoleh untuk kegiatan konsumsi atau untuk tabungan. Oleh lembaga keuangan tabungan yang ada akan disalurkan untuk kegiatan investasi. 4.2.3.5. Pengaruh Kenaikan Harga BBM Terhadap Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga Kenaikan BBM yang terjadi tahun 2001-2008 tidak berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Kenaikan harga BBM otomatis akan menyebabkan inflasi dan menurunkan dayabeli masyarakat. Adanya penurunan dayabeli masyarakat akibat kenaikan harga BBM diantisipasi oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan. Pemerintah memberikan keringanan pajak impor bagi bahan kebutuhan pokok serta subsidi bagi komoditas seperti beras, tepung terigu, jagung, dan kedelai serta menaikan pajak ekspor untuk CPO untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dalam negeri dan menstabilkan harga minyak goreng. Dalam rangka mengurangi beban masyarakat berpenghasilan rendah akibat kenaikan harga BBM, pemerintah mengalokasikan dana kompensasi yang disalurkan dalam bentuk Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM). Program ini didistribusikan ke dalam empat bidang yaitu, pendidikan, kesehatan, infrastruktur pedesaan, dan bantuan langsung tunai (BLT). BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penelitian ini dilakukan dalam rangka untuk mengkaji pengaruh pendapatan nasional, tingkat suku bunga, inflasi dan pertumbuhan investasi terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia dalam kurun waktu tahun 2000 – 2010. Berdasarkan hasil pembahasan pada bab sebelumnya, terdapat beberapa kesimpulan: 1. Penduduk, kemiskinan, dan kondisi ketenagakerjaan mempunyai pola yang berhubungan dengan peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga. Pengeluaran konsumsi rumahtangga mempunyai proporsi yang cukup besar dalam pembentukan PDB dengan proporsi 56,55 persen pada tahun 2010. Pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia masih didominasi konsumsi untuk makanan daripada untuk konsumsi bukan makanan dengan persentase sebesar 51,43 dan 48,57 persen. Seiring kenaikan pendapatan proporsi pengeluaran konsumsi makanan semakin menurun. 2. Pengaruh variabel ekonomi pendapatan nasional, suku bunga tabungan, inflasi, pertumbuhan investasi, dan kondisi krisis finansial secara bersamasama mampu memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga sebesar 97,48 persen selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar model yang tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. 77 3. Pendapatan nasional mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Setiap peningkatan pendapatan sebesar 1 triliun rupiah akan meningkatkan konsumsi sebesar 0,4664 triliun rupiah. 4. Tingkat suku bunga tabungan mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Setiap kenaikan suku bunga sebesar 1 persen akan mengurangi pengeluaran konsumsi sebesar 2,8080 triliun rupiah. 5. Pertumbuhan investasi mempunyai pengaruh yang negatif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Setiap pertumbuhan investasi sebesar 1 persen akan mengurangi pengeluaran konsumsi sebesar 0,8429 triliun rupiah. 6. Kenaikan harga BBM ternyata tidak mempunyai pengaruh terhadap pengeluaran konsumsi rumahtangga. Untuk mempertahankan dayabeli masyarakat akibat kenaikan BBM, pemerintah mengeluarkan kebijakan ekspor-impor dan subsidi kebutuhan pokok serta Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS BBM). 5.2. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan dalam penelitian ini, beberapa saran dan rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai berikut: 1. Perilaku konsumsi masyarakat di Indonesia masih didominasi pengaruh pendapatan yang diperoleh. Pemerintah hendaknya terus meningkatkan pendapatan dengan menjaga kestabilan dan peningkatan pertumbuhan 78 ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan menggerakkan sektor-sektor produktif yang mengasah kemampuan berusaha (enterpreneurship). 2. Pemerintah melalui pemegang otoritas moneter dalam hal ini Bank Indonesia harus berupaya menjaga kestabilan tingkat suku bunga. Tingkat bunga yang stabil dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sektor perbankan sebagai sumber pembiayaan investasi dalam menggerakkan roda perekonomian. 3. Pemerintah harus berupaya menjaga kestabilan iklim investasi, dengan menumbuhkan investasi dalam negeri, salah satunya dengan mempermudah sistem birokrasi yang ada. 4. Besaran pengaruh determinan lain seperti faktor demografi dan nonekonomi yang memengaruhi pengeluaran konsumsi rumahtangga di Indonesia, tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam penelitian-penelitian selanjutnya dengan bahasan yang sama. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia. Berbagai Edisi Tahun Penerbitan. BPS, Jakarta. _________________. 2011. Data Strategis BPS. BPS, Jakarta Bank Indonesia. Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia. Berbagai Edisi Tahun Penerbitan. BI, Jakarta. _________________. 2009. Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi Januari 2009 . BI, Jakarta. Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. Edisi Tiga. BPFE, Yogyakarta Dumairy. 2004. Perekonomian Indonesia. Cetakan kelima. Penerbit Erlangga, Jakarta. Gujarati, D.N. 2004. Basic Econometrics Fourth Edition. Mac Grow-Hill International Editions, Singapore. Isyani dan Hasmarini. 2005. Analisis Konsumsi Masyarakat di Indonesia Tahun 1989-2002 (Tinjauan Terhadap Hipotesis Keynes dan Post Keynes). Jurnal Ekonomi Pembangunan. Vol 6, No 2, pp. 143-162. Juanda, B. 2009. Ekonometrika Pemodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor Mankiw, N. G. 2007. Makroekonomi. Edisi Keenam. Fitria Liza dan Imam Nurmawan [penterjemah]. Erlangga, Jakarta. Nicholson, W. 1994. Teori Ekonomi Mikro: Prinsip Dasar dan Perluasan. Daniel Wirajaya [penerjemah]. Jilid Kesatu Edisi ke-3. Binarupa Aksara, Jakarta. Prasetyo, P. E. 2009. Fundamental Makro Ekonomi. Beta Offset, Yogyakarta. Rahardja, P. dan Mandala Manurung. 2008. Pengantar Ilmu Ekonomi (Mikroekonomi & Makroekonomi) Edisi Ketiga. Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta. Raut, L. K. dan Virmani, A. 1990. Determinants of Consumption and Saving Behavior in Developing Countries. The World Bank Economic Review. Vol 3, No 3. Rianse, U. dan Abdi. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, Teori dan Aplikasi. Alfabeta, Bandung. 80 Sangadji, M. 2008. Fungsi Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Ekonomi Iqtishoduna. Vol. 3, No. 2. Singh, B. 2004. Modelling Real Private Consumption Expenditure-An Empirical Study on Fiji, Working Paper. Economic Departement Reserve Bank of Fiji, Fiji. Siregar, K. 2009. Analisis Determinan Konsumsi Masyarakat di Indonesia [tesis]. Fakultas Ekonomi, Universitas Sumatra Utara, Medan. Sukirno, S. 1996. Pengantar Teori Mikroekonomi. Edisi Kedua. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________. 2004. Makroekonomi Teori Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. _________. 2005. Makroekonomi Modern, Perkembangan Pemikiran dari Klasik Hingga Keynesian Baru. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Widarjono, A. 2009. Ekonometrika, Pengantar dan Aplikasinya. Ekonosia. FEUII, Yogyakarta. Winarno, W.W. 2009. Analisis Ekonometrika dan Statistika Dengan Eviews. Edisi Kedua. UPP STIM YKPN, Yogyakarta. 81 Lampiran 1 Jumlah Penduduk, Rumahtangga, dan Rata-rata Anggota Rumahtangga Jumlah Penduduk (ribu jiwa) (2) 205.132 207.995 210.898 213.841 216.826 219.852 222.747 225.642 228.523 231.370 237.641 Tahun (1) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Rumahtangga (3) 52.008,3 52.730,7 53.453,2 54.175,6 54.898,0 55.118,6 55.942,0 57.006,4 57.716,1 58.421,9 59.118,9 Rata-rata Anggota Rumahtangga (4) 3,9 3,9 3,9 3,9 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). Lampiran 2 Penduduk Menurut Status Pekerjaan Utama (jiwa) Status Pekerjaan Utama 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) 19.504.632 20.324.527 20.921.567 21.046.007 21.030.571 19.946.732 21.024.297 21.772.994 21.933.546 21.681.991 2.850.448 2.883.832 3.015.326 3.033.220 3.261.864 26.821.889 28.042.390 28.183.773 29.114.041 32.521.517 5.541.158 5.917.400 5.991.493 5.878.894 5.815.110 4.618.280 4.458.772 5.292.262 5.670.709 5.132.061 16.173.796 17.278.999 17.375.335 18.194.246 18.764.653 95.456.935 99.930.217 102.552.750 104.870.663 108.207.767 Berusaha Sendiri Berusaha Dibantu Buruh Tidak Tetap/Buruh Tidak Dibayar Berusaha Dibantu Buruh Tetap/Buruh Dibayar Buruh/Karyawan/Pegawai Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian Pekerja Keluarga/Tak Dibayar Total Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). 82 Lampiran 3 Persentase Penduduk yang Bekerja Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan 2009 2010 Tingkat Pendidikan (1) Feb Agust Feb Agust (2) (3) (4) (5) Tidak/Belum Tamat SD 18,36 24,37 22,28 21,43 SD 34,69 28,27 29,22 28,94 SLTP 18,99 18,49 18,90 19,07 SMTA 21,36 21,76 22,32 22,91 6,60 7,10 7,28 7,64 100,00 100,00 100,00 100,00 104.485.444 104.870.663 107.405.572 108.207.767 Perguruan Tinggi Jumlah/Total Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011. Lampiran 4 Distribusi Pendapatan dan Indeks Gini Tahun 40% Rendah 40% Sedang 20% Tinggi Indeks Gini (1) (2) (3) (4) (5) 2002 20,92 36,89 42,19 0,33 2003 20,57 37,10 42,33 0,32 2004 20,80 37,13 42,07 0,32 2005 20,22 37,69 42,09 0,33 2006 21,42 37,65 41,26 0,36 2007 18,74 36,51 44,75 0,38 2008 18,72 36,43 44,86 0,37 2009 21,22 37,54 41,24 0,37 2010 * * * 0,38 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). 83 Lampiran 5 Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000 (miliar Rp.) Jenis Pengeluaran 2000 2001 2002 2003 2004 (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pengeluaran konsumsi 947.578 984.382 1.031.083 1.077.998 1.130.358 - Rumahtangga 856.798 886.736 920.750 956.593 1.004.109 90.780 97.646 110.334 121.404 126.249 - Pemerintah Pembentukan modal tetap domestik bruto 275.881 293.793 307.585 309.431 354.866 Perubahan Inventori 33.283 41.847 13.085 45.997 25.099 Diskrepansi Statistik -13.145 -11.767 9.547 -26.896 8.757 569.490 573.163 566.188 599.516 680.621 Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto 423.318 441.012 422.271 428.875 543.184 1.389.770 1.440.406 1.505.216 1.577.171 1.656.517 -92.162 -66.211 -56.357 -81.231 -80.468 1.297.608 1.374.195 1.448.859 1.495.941 1.576.049 -37.820 27.283 57.685 65.877 46.041 69.489 72.020 75.261 78.859 82.826 1.265.940 1.274.892 1.315.914 1.351.205 1.447.182 Pendapatan netto terhadap luar negeri Produk Nasional Bruto Pajak tidak langsung netto (-/-) Penyusutan (-/-) Pendapatan Nasional Jenis Pengeluaran 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (7) (8) (9) (10) (11) (12) Pengeluaran konsumsi 1.178.431 1.224.492 1.284.157 1.360.488 1.444.846 1.503.198 - Rumahtangga 1.043.805 1.076.928 1.130.847 1.191.191 1.249.011 1.306.801 - Pemerintah 134.626 147.564 153.310 169.297 195.834 196.398 Pembentukan modal tetap domestik bruto 441.362 493.822 510.100 553.444 393.501 403.719 Perubahan Inventori 33.508 29.027 -243 2.170 -2.065 7.499 Diskrepansi Statistik -8.535 16.238 54.187 27.040 1.141 6.145 793.613 868.256 942.431 1.032.278 932.249 1.071.385 639.702 694.605 757.566 833.342 708.529 830.982 1.750.815 1.847.127 1.964.327 2.082.456 2.177.742 2.310.690 Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto Pendapatan netto terhadap luar negeri -107.382 -113.857 -120.564 -96.596 -109.819 -93.073 1.643.434 1.733.269 1.843.764 1.985.861 2.067.923 2.217.617 Pajak tidak langsung netto (-/-) 34.699 55.424 56.398 45.382 83.420 81.208 Penyusutan (-/-) 87.541 92.356 98.216 104.123 108.887 115.535 1.521.194 1.585.488 1.689.149 1.836.356 1.875.616 2.020.875 Produk Nasional Bruto Pendapatan Nasional Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). 84 Lampiran 6 Proporsi Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Jenis Pengeluaran (1) Pengeluaran konsumsi - Rumahtangga - Pemerintah Pembentukan modal tetap domestik bruto Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto Pendapatan Nasional Jenis Pengeluaran (1) Pengeluaran konsumsi - Rumahtangga - Pemerintah Pembentukan modal tetap domestik bruto Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto Pendapatan Nasional 2000 2001 2002 2003 2004 (2) 68,18 61,65 6,53 (3) 68,34 61,56 6,78 (4) 68,50 61,17 7,33 (5) 68,35 60,65 7,70 (6) 68,24 60,62 7,62 19,85 2,39 -0,95 40,98 30,46 100,00 91,09 20,40 2,91 -0,82 39,79 30,62 100,00 88,51 20,43 0,87 0,63 37,62 28,05 100,00 87,42 19,62 2,92 -1,71 38,01 27,19 100,00 85,67 21,42 1,52 0,53 41,09 32,79 100,00 87,36 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (7) 67,31 59,62 7,69 (8) 66,29 58,30 7,99 (9) 65,37 57,57 7,80 (10) 65,33 57,20 8,13 (11) 66,35 57,35 8,99 (12) 65,05 56,55 8,50 22,48 1,91 -0,49 45,33 36,54 100,00 86,88 21,86 1,57 0,88 47,01 37,60 100,00 85,84 22,47 -0,01 2,76 47,98 38,57 100,00 85,99 23,71 0,10 1,30 49,57 40,02 100,00 88,18 23,42 -0,09 0,05 42,81 32,54 100,00 86,13 23,95 0,32 0,27 46,37 35,96 100,00 87,46 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). 85 Lampiran 7 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Penggunaan Atas Dasar Harga Konstan 2000 (persen) Jenis Pengeluaran (1) Pengeluaran konsumsi - Rumahtangga - Pemerintah Pembentukan modal tetap domestik bruto Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto Pendapatan Nasional Jenis Pengeluaran (1) Pengeluaran konsumsi - Rumahtangga - Pemerintah Pembentukan modal tetap domestik bruto Perubahan Inventori Diskrepansi Statistik Ekspor barang dan jasa Impor barang dan jasa (-/-) Produk Domestik Bruto Pendapatan Nasional 2001 2002 2003 2004 2005 (2) 3,88 3,49 7,56 (3) 4,74 3,84 12,99 (4) 4,55 3,89 10,03 (5) 4,86 4,97 3,99 (6) 4,25 3,95 6,64 6,49 25,73 -10,48 0,64 4,18 3,64 0,71 4,69 -68,73 -181,13 -1,22 -4,25 4,50 3,22 0,60 251,52 -381,73 5,89 1,56 4,78 2,68 14,68 -45,43 -132,56 13,53 26,65 5,03 7,10 10,89 33,50 -197,47 16,60 17,77 5,69 5,11 2006 2007 2008 2009 2010 (7) (8) (9) (10) (11) 3,91 3,17 9,61 4,87 5,01 3,89 5,94 5,34 10,43 6,20 4,85 15,67 4,04 4,63 0,29 2,60 -13,37 -290,24 9,41 8,58 5,50 4,23 9,32 -100,84 233,71 8,54 9,06 6,35 6,54 11,89 -992,95 -50,10 9,53 10,00 6,01 8,71 3,30 -195,15 -95,78 -9,69 -14,98 4,58 2,14 8,50 -463,10 438,36 14,92 17,28 6,10 7,74 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah). 86 Lampiran 8 Hasil Regresi Linier Berganda dan Pengujian Asumsi dengan Menggunakan EViews Dependent Variable: HC Method: Least Squares Date: 12/05/11 Time: 09:20 Sample (adjusted): 2000Q2 2010Q4 Included observations: 43 after adjustments Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C NI SIR INF INV DUM 100.4399 0.466370 -2.808004 -0.343435 -0.842914 -5.006531 12.91537 0.023874 0.735113 0.630597 0.244562 3.579439 7.776770 19.53474 -3.819827 -0.544619 -3.446628 -1.398692 0.0000 0.0000 0.0005 0.5893 0.0014 0.1702 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.977814 0.974816 5.678710 1193.167 -132.4624 326.1480 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 265.4316 35.78403 6.440113 6.685862 6.530738 1.844166 12 Series: Residuals Sample 2000Q2 2010Q4 Observations 43 10 8 6 4 2 0 -10 -5 0 5 10 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis -3.76e-15 -0.123519 10.18552 -12.46119 5.329984 -0.162050 2.582869 Jarque-Bera Probability 0.499944 0.778823 87 Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 0.345133 0.831639 Prob. F(2,35) Prob. Chi-Square(2) 0.7105 0.6598 Test Equation: Dependent Variable: RESID Method: Least Squares Date: 12/05/11 Time: 09:20 Sample: 2000Q2 2010Q4 Included observations: 43 Presample missing value lagged residuals set to zero. Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C NI SIR INF INV DUM RESID(-1) RESID(-2) -1.891229 0.003412 0.097929 -0.042539 0.054405 -0.075189 0.040798 -0.145467 13.43821 0.024940 0.763073 0.654289 0.262904 3.708614 0.181186 0.182580 -0.140735 0.136812 0.128334 -0.065016 0.206937 -0.020274 0.225173 -0.796732 0.8889 0.8920 0.8986 0.9485 0.8373 0.9839 0.8232 0.4310 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.019340 -0.176791 5.781968 1170.090 -132.0425 0.098609 0.998083 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat -3.76E-15 5.329984 6.513606 6.841271 6.634439 1.907741 88 Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey F-statistic Obs*R-squared Scaled explained SS 1.236057 6.154482 3.606394 Prob. F(5,37) Prob. Chi-Square(5) Prob. Chi-Square(5) 0.3121 0.2915 0.6074 Test Equation: Dependent Variable: RESID^2 Method: Least Squares Date: 12/05/11 Time: 09:21 Sample: 2000Q2 2010Q4 Included observations: 43 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C NI SIR INF INV DUM -59.90963 0.101267 6.220610 5.707055 1.937015 -10.21432 79.23260 0.146460 4.509734 3.868557 1.500326 21.95897 -0.756124 0.691429 1.379374 1.475242 1.291062 -0.465155 0.4544 0.4936 0.1761 0.1486 0.2047 0.6445 R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic) 0.143127 0.027334 34.83748 44905.05 -210.4631 1.236057 0.312056 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat 27.74807 35.32359 10.06805 10.31380 10.15868 2.375706 Multikolinierity test NI NI SIR INF INV 1.0000 -0.8227 -0.1552 0.0951 SIR -0.8227 1.0000 0.1371 -0.1135 INF -0.1552 0.1371 1.0000 -0.2743 INV 0.0951 -0.1135 -0.2743 1.0000 Deteksi Klien Regresi Asli Regresi Auxilary 1 Regresi Auxilary 2 Regresi Auxilary 3 Regresi Auxilary 4 R-squared Adjusted R-squared 0.9803 0.8710 0.7410 0.1410 0.1127 0.9776 0.8575 0.7137 0.0506 0.0193