Republika : Senin, 24 Maret 2008 Melemahnya Ekonomi AS dan Ekonomi Indonesia Oleh : Umar Juoro Krisis KPR berkualitas rendah (subprime mortgage) membawa pengaruh besar terhadap pelemahan ekonomi AS. Kerugiannya diperkirakan mencapai sekitar 400 miliar dolar AS. Dalam sektor keuangan, bank investasi (investment bank) yang aktivitasnya lebih banyak memperjualbelikan surat-surat berharga, bukan bank komersial, yang paling terpukul. Bahkan, banyak ekonom yang memperkirakan akibatnya lebih luas lagi, yaitu ekonomi AS mengalami resesi. Maksudnya, pertumbuhan negatif dua triwulan berturut-turut yang hanya diketahui setelah kejadiannya. Sekalipun bank sentral AS telah menurunkan bunganya menjadi 3,25 persen dan pemerintah AS memberikan stimulus fiskal, tampaknya tidak banyak menolong perekonomian yang terus melemah. Ketamakan pelaku di sektor keuangan menyebabkan kerugian yang besar dan meluas. Penurunan suku bunga di AS menyebabkan melemahnya nilai dolar dan meningkatnya harga minyak dan komoditas lainnya sebagai sarana pelimpahan investasi. Aspek ini yang memberikan pengaruh pada perekonomian dunia pada umumnya, termasuk Indonesia. Sedangkan, krisis KPR itu sendiri tidak langsung memberikan pengaruh pada perekonomian Indonesia karena lembaga keuangan di Indonesia tidak membeli sekuritas turunan dari KPR tersebut. Pengaruh besar lainnya adalah melemahnya perekonomian AS membuat ekspor Indonesia juga menurun karena pasar AS tetap merupakan salah satu tujuan ekspor utama. Perkembangan kondisi eksternal yang tidak menguntungkan ini berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Ketika nilai dolar melemah dan mata uang lain menguat, justru nilai rupiah mengalami pelemahan. Pelemahan nilai rupiah ini seiring dengan menurunnya indeks pasar modal, yang berarti investor asing melepas kepemilikan sahamnya, dan juga pelemahan di pasar obligasi. Tampaknya, permasalahan yang pernah kita alami beberapa bulan yang lalu pada saat pertama kali permasalahan KPR di AS mencuat, nilai rupiah melemah karena investor melepaskan saham dan obligasi Indonesia untuk memenuhi kewajiban pembayaran mereka sebagai akibat dari permasalahan KPR ini. Selain itu, ada juga kewajiban untuk membayar perdagangan yen dengan dolar (carry trade) pada saat yen menguat. Kecenderungan meningkatnya inflasi, sementara penentu kebijakan moneter dan fiskal tampaknya tidak secara efektif mengatasinya, membuat investor juga melepaskan saham dan obligasi Indonesia. Kebijakan fiskal berkutat pada besarnya anggaran untuk subsidi BBM dan listrik yang kemungkinan akan mencapai sekitar Rp 200 triliun dengan harga minyak berkisar pada angka 100 dolar AS per barel. Jika pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk mengurangi subsidi, inflasi pun akan semakin tinggi. Dengan harga bahan makanan yang cenderung meningkat, baik di dalam maupun luar negeri, inflasi yang relatif tinggi tidak dapat dihindarkan. Penentu kebijakan moneter tampaknya tidak bersedia untuk menaikkan suku bunga lebih awal agar dapat mengantisipasi tingginya inflasi, apalagi permasalahan pemilihan gubernur BI masih tidak pasti secara politis. Jelaslah bahwa dengan sistem ekonomi yang sudah demikian terbuka, pelemahan ekonomi AS berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Permasalahannya adalah bagaimana pengaruh buruknya dapat dinetralisasi. Upaya untuk mengendalikan inflasi merupakan prioritas, baik bagi penentu kebijakan moneter maupun fiskal. Nilai rupiah yang kuat merupakan cara yang efektif untuk mengendalikan inflasi karena cukup besarnya porsi impor bahan makanan. Karena itu, BI harus lebih aktif dalam membuat nilai rupiah relatif kuat. Tentu saja, distribusi bahan makanan merupakan faktor penting lain untuk menjaga harga bahan pangan agar tidak melonjak yang pengaruhnya besar terhadap inflasi. Sekarang ini, perbedaan antara suku bunga Indonesia dan AS cukup besar yaitu 4,75 persen. Karena itu, dari sisi ini, Indonesia sangat menarik untuk investasi portfolio. Dari sisi ini pula, nilai rupiah semestinya mengalami penguatan. Permasalahannya adalah kejelasan dalam kebijakan moneter dan fiskal yang akan memberikan kepastian pada investor. Dengan perekonomian yang sudah sangat terbuka, kebijakan ekonomi Indonesia akan sangat terkait dengan perkembangan ekonomi dunia. Sekarang ini, siklus perekonomian dunia dicirikan oleh tingginya harga komoditas, migas, pertambangan, dan pertanian. Dalam siklus ini, semestinya Indonesia diuntungkan sebagai produsen komoditas. Namun, karena tidak optimalnya produksi, Indonesia pun tidak dapat secara optimal mendapatkan keuntungan ini. Sebaliknya, justru mendapatkan permasalahan. Karena itu, upaya untuk meningkatkan produksi komoditas dengan memperbaiki iklim investasi harus dilakukan. Jika tidak, Indonesia malah dirugikan oleh siklus perekonomian global. Di atas kertas, berbagai kebijakan untuk itu telah dikeluarkan, namun hasilnya minim. Sebagai contoh, produksi minyak yang seharusnya mengalami peningkatan malah mengalami penurunan. Begitu pula dalam bidang pertambangan, Indonesia tidak menarik sebagai tujuan investasi karena peraturan yang tidak mendukung dan tidak adanya insentif yang menarik. Produksi pertanian, kecuali CPO, juga jauh dari situasi untuk memanfaatkan siklus ini.