BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Sutrisno (2007: 1) stroke adalah kerusakan pembuluh darah pada
otak yang menyebabkan gangguan saraf atau matinya sel-sel saraf otak dimana
prevalensi penderita penyakit ini semakin meningkat. Lebih jauh ia menjelaskan
bahwa sel-sel otak mengalami kematian akibat terhentinya suplai darah ke otak
sehingga sel-sel otak yang telah mati tidak dapat pulih kembali. Kerusakan pada
pembuluh darah otak menyebabkan gangguan pada sistem saraf tubuh manusia.
Kerusakan ini menyebabkan gangguan fisik, psikis, dan sosial bagi penderita.
Gangguan fisik yang dialami penderita stroke antara lain: kelumpuhan
atau lemahnya salah satu bagian anggota tubuh, kesulitan bergerak dan berjalan,
stamina menurun, rasa sakit, mati rasa (hypoesthesia), sangat peka rasa
(hyperesthesia), dan kehilangan kesadaran posisi gerak tangan (stroke association
dalam physical effects of stroke). Mulyatsih, dkk. (2010: 31-51) menyatakan
bahwa stroke menyebabkan berbagai gangguan, yaitu: kelumpuhan atau
kelemahan, sensibilitas, keseimbangan, berbicara dan berkomunikasi, menelan
makanan atau minuman, penglihatan, buang air besar dan buang air kecil,
mengenakan pakaian, memori, dan gangguan seksual. Bahkan, beberapa penderita
stroke mengalami kematian karena akutnya penyakit ini.
Data dari Departemen Kesehatan RI (2013) menunjukkan bahwa stroke
adalah penyebab kematian nomor 1 di seluruh RS di Indonesia. Angka kecacatan
1
juga tinggi bagi pasien yang berhasil sembuh dari serangan stroke (Rizaldy, 2014:
iv). Angka tersebut juga didukung data dari Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun
2013 menunjukkan prevalensi stroke nasional naik dari 8,3 per 1000 penduduk
pada tahun 2007 menjadi 12,1 per 1000 penduduk pada tahun 2013, dan tanpa
penanganan secara komprehensif, prevalensi sroke diprediksi naik 20-30 per 1000
orang dan 65 persen di antaranya mengakibatkan kecacatan (Kompas, Juli 2014).
Lebih jauh prevalensi stroke tertinggi ditemukan di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (16,6 per 1000 penduduk). Prevalensi stroke di Yogyakarta dan Jawa
Tengah berturut-turut adalah 8, 11 per 1000 penduduk dan 7,6 per 1000
penduduk. (Rizaldy, 2014:2). Data dari RS Bethesda Yogyakarta menyebutkan
bahwa jumlah orang yang terkena serangan stroke di Daerah Istimewa Yogyakarta
dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Pada tahun 2011 jumlah penderita
stroke 725 orang, tahun 2012 sebanyak 789 orang, tahun 2013 sebanyak 946
orang.
Penderita stroke yang telah mendapatkan perawatan dari rumah sakit serta
telah pulang ke rumah dan masih di bawah perawatan keluarga biasa disebut Insan
Pasca Stroke (selanjutnya disingkat IPS). IPS umumnya mengalami gangguan
psikis karena mereka kehilangan kemampuan fisik. Selain itu, mereka juga
mengalami tekanan mental akibat ketidakmampuan melakukan aktivitas seharihari sehingga muncul gangguan psikis seperti: perubahan sikap, mudah marah,
curiga, apatis, putus asa, dan lain-lain. Padahal, sebelumnya mereka adalah
sejumlah pribadi yang sabar, terbuka, peduli, dan optimis. Dengan demikian,
stroke turut mengubah kepribadian para penderitanya.
2
Kepribadian dan kondisi fisik IPS yang berubah mengakibatkan relasi
sosial yang sebelumnya berlangsung normal menjadi terganggu. Beberapa IPS
yang mengalami cacat fisik terpaksa dirumahkan dari pekerjaannya. Kondisi ini
berpengaruh pada peran mereka dalam keluarga dan lingkungannya. Kehilangan
pekerjaan bagi IPS bermakna kehilangan status sosial. Mereka tidak lagi sebagai
kelas pekerja, tetapi menjadi kelas penganggur. Bahkan, jika IPS adalah seorang
laki-laki, maka peran kepala keluarga dapat berpindah kepada istri.
Meskipun IPS mengalami gangguan fisik, psikis, dan masalah sosial,
banyak dari mereka yang mampu bertahan hidup dan bermanfaat untuk keluarga
dan lingkungan sekitarnya. Mereka mampu mengatasi kelemahan fisik, persoalan
psikis, dan sosialnya. Kemampuan mengatasi gangguan fisik, psikis, dan sosial ini
menjadi salah satu kunci dalam penyembuhan stroke.
IPS yang memiliki kemampuan bertahan hidup hingga bertahun-tahun
mampu menghadapi tekanan fisik dan mental dengan tangguh, bahkan tetap
produktif dan bermanfaat untuk orang lain adalah hal yang menarik untuk diteliti.
Fenomena ini memberikan ide bagi penulis untuk melihat lebih dalam bagaimana
mereka menyikapi stroke, usaha-usaha apa saja yang mereka lakukan sehingga
mereka dapat sembuh, dan bagaimana peran agama ketika hidup sebagai IPS.
Salah satu komunitas yang fokus dalam usaha pemulihan dan
penyembuhan IPS adalah Komunitas Happy Embung (selanjutnya disingkat KHE)
yang basis kegiatannya di Embung Tambak Boyo, Depok Sleman Yogyakarta.
Komunitas ini dipilih sebagai objek penelitian karena banyak di antara
anggotanya, yang merupakan IPS, mampu bertahan hidup. Mereka tetap produktif
3
dan bersemangat menjalani hidup. Lebih jauh, penelitian ini juga ingin melihat
bagaimana KHE berperan dalam membantu proses penyembuhan IPS. Hal lain
yang menarik adalah bagaimana agama berperan dalam proses penyembuhan
tersebut. Diharapkan dari penelitian ini dapat diuraikan apa dan bagaimana peran
komunitas serta peran agama dalam proses penyembuhan IPS.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Menurut ilmu
psikologi
keadaan frustrasi
munculnya perilaku keagamaan (Syukur, 1994:75).1
dapat
mengakibatkan
Lebih jauh dinyatakan
bahwa orang yang mengalami frustrasi cenderung mulai berkelakuan religius.
Dengan laku religius, ia berusaha mengatasi frustrasinya. Freud berpendapat
bahwa agama merupakan alat untuk melawan kecemasan menghadapi kematian.2
Hasil dari analisis data terhadap 123 responden warga Israil yang beragama
Yahudi, Lazar menemukan bahwa kecemasan menghadapi kematian berkaitan
erat dengan motivasi beragama. Ara Norenzayan, seorang psikolog sosial di
Universitas Columbia, Vancouver Kanada (BBC, 2015)3 mengatakan bahwa saat
perubahan iklim mengamuk di dunia dan sumber daya alam menipis, maka
penderitaan dan kesulitan dapat membangkitkan kembali religiusitas. Orang-orang
ingin melarikan diri dari penderitaan, tetapi mereka tidak bisa, mereka ingin
menemukan makna, dan agama memberikan makna pada penderitaan, melebihi
ide atau keyakinan sekularisme mana pun. Lebih jauh menurut Norenzayan
1
Syukur, Nico Dister Ofm. (1994). Pengalaman dan Motivasi beragama.Kanisius. Yogyakarta.
Aryeh Lazar (2006). Fear of Personal Death as a Predictor of Motivation for Religious
Behaviour. Review of Religious Research, Vol. 48, No. 2 (Dec., 2006), pp. 179-189.
3
Nuwer Rachel, (2015) Apakah Agama Akan Bisa Lenyap, BBC. Indonesia.
2
4
hipotesis tersebut relevan dengan kejadian gempa bumi pada tahun 2011 yang
menghantam Christchurch, Selandia Baru, dimana masyarakat Selandia Baru yang
sangat sekuler, berubah menjadi religius dengan melakukan sejumlah kegiatan
agama.
Ketika manusia dalam keadaan bahaya atau sakit parah, maka ia akan
cenderung percaya kepada Tuhan. Ketakutan akan kematian dan kekhawatiran
akan masa depan yang suram akan membawanya pasrah kepada Tuhan. Seseorang
dengan penyakit kronis akan memberikan reaksi kecewa, marah, dan menolak.
Perasaan tersebut apabila tidak diatasi akan menjadi semakin berat yang kemudian
menyebabkan stres.
Keadaan yang semula merupakan sakit fisik bertambah menjadi sakit
psikis. Stroke dengan risiko kecacatan dan kematian menimbulkan reaksi yang
sama. Dengan demikian, muncul pertanyaan apakah ketika seseorang terkena
stroke akan sampai pada fase menerima keadaan dirinya? Apakah mereka
kemudian menjadi semakin religius? Bagaimana mereka menghadapinya?
Bagaimana proses penyembuhannya? Satu hal yang menjadi catatan adalah
meskipun beberapa orang dengan serangan stroke semakin terpuruk dan akhirnya
meninggal dunia, tetapi banyak pula yang mampu bertahan dan sembuh.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang menjadi
fokus pembahasan dalam penelitian ini:
1)
Bagaimana
peran
sosial
komunitas
Happy
Embung
dalam
penyembuhan IPS?
2) Bagaimana peran agama untuk penyembuhan IPS?
5
1.3 Ruang Lingkup
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada IPS, dan sebagai sumber
datanya adalah mereka yang tergabung dalam KHE. Penelitian dilakukan dari Juni
2014 sampai Agustus 2015 untuk melihat bagaimana peran komunitas dan agama
dalam proses penyembuhan IPS dan menguraikan kegiatan-kegiatan apa saja yang
mereka lakukan hingga dapat membantu IPS bangkit dari keterpurukan akibat
stroke, sembuh, dan pulih. Data yang diambil adalah pengalaman IPS dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada selama bergabung dengan komunitas.
1.4 Tujuan dan manfaat
1.4. 1 Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman mengenai peran agama
dan komunitas bagi penyembuhan IPS. Lebih jauh, penelitian ini
diharapkan
mengambil
dapat memberikan pemahaman kepada IPS
sikap
bijaksana
dalam
menyikapi
agar mampu
praktik-praktik
penyembuhan baik medis maupun nonmedis.
1.4. 2. Bagi Peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan perbandingan
dalam melakukan penelitian terhadap objek-objek kajian agama dan
kesehatan, sehingga akan semakin memperkaya dan mengembangkan
khasanah keilmuan tentang healing atau pengobatan.
1.4. 3. Bagi Ilmu Pengetahuan
6
Hasil dari penelitian ini diharapakan dapat memberikan
kontribusi
dalam
khasanah
pengetahuan
terutama
dalam
kajian
penyembuhan (healing) sehingga dapat memperkaya diskusi-diskusi
terkait dengan topik tersebut.
1.5 Kajian Pustaka
Awal sejarah perkembangan dunia medis khususnya rumah sakit dalam
memberikan pelayanan kesehatan selalu menggabungkan antara perawatan
jasmani dengan perawatan jiwa/rohani, baik dalam arti agama maupun
psikoterapi. Lebih jauh di setiap masyarakat dan budaya kuno di seluruh dunia,
baik di Yunani, Romawi, Mesir Kuno maupun suku Aztek di Meksiko,
permasalahan sakit dan kesehatan jasmani selalu dihubungkan dengan masalah
spiritual. Orang yang mempunyai kemampuan menyembuhkan penyakit pada
umumnya adalah orang yang mempunyai latar belakang religius-spiritual. Mereka
senantiasa memberikan terapi psikoterapi spiritual di samping terapi fisik
(Subandi, 2003). Kesembuhan seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor
penyembuhan, tetapi juga didukung dengan terapi-terapi spiritual.
Subandi (2003) menjelaskan bahwa di akhir abad ke-20 dan memasuki
abad ke-21 mulai timbul kesadaran di kalangan dunia medis bahwa masalah
kesehatan bukan hanya persoalan fisik. Tidak hanya dalam dunia kedokteran,
dalam ilmu ilmu sosial juga mulai banyak yang mengkaji persoalan kesehatan,
misalnya Antropologi Kesehatan dan Psikologi Kesehatan. Perkembangan kajian
spiritualitas dan kesehatan berkembang secara cepat dalam beberapa tahun
7
terakhir. Kondisi ini memungkinkan terbukanya kembali pendekatan antara dunia
medis dan dunia religius yang oleh Matthews (1997) disebut sebagai “two
traditions of healing”.
Cohen (2003)4 mengatakan Perjalanan sejarah membuktikan bahwa
praktek penyembuhan secara spiritual muncul sebagai praktik keagamaan dalam
konteks tradisi agama tertentu dan secara tradisional dianggap hanya berasal dari
mistik, orang suci, dan orang-orang pintar. Di zaman modern berbagai praktek
penyembuhan atau healing tidak berhubungan dengan agama tradisional dan telah
masuk dalam arus dunia kesehatan. Praktek-praktek spiritual healing digunakan
dalam berbagai profesi perawatan kesehatan, kedokteran gigi dan profesi
kesehatan lainnya. Lebih jauh ia memberikan contoh bahwa beberapa dokter
berkolaborasi
dengan
penyembuh
spiritual
atau
menggunakan
energi
penyembuhan melalui sentuhan, tanpa menyebutkan gaya, ajaran, atau tekhnik
tertentu, dan penyembuhan spiritual yang disebut sebagai terapeutik sentuhan
sebagai kurikulum dibanyak sekolah keperawatan. Penggunaan sentuhan dalam
penyembuhan berpotensi dalam perawatan kesehatan, perawatan akut, operasi,
perawatan kandungan, dan lain lain. penggunaan Reiki, energi penyembuhan,
bahkan digunakan dalam upaya membantu korban pulih dari penyiksaan. Lebih
jauh, praktek-praktek penyembuhan spiritual memungkinkan untuk dijadikan
regulasi dalam mengatur penyembuhan spiritual dalam pelayanan kesehatan
klinis.
4
Michael H. Cohen (2002-2003). Healing at the Borderland of Medicine and Religion: Regulating
Potential Abuse ofAuthority by Spiritual Healers. Journal of Law and Religion, Vol. 18, No. 2 ,
pp. 373-426.
8
Lebih khusus, John T. Harrigan (2011)5 mengatakan bahwa penelitian
tentang hubungan agama dan kesehatan telah meningkat dalam beberapa tahun
terakhir. Hubungan positif telah ditemukan antara kegiatan keagamaan dengan
dukungan sosial, kesehatan psikologis yang lebih baik dan kesehatan fisik yang
juga lebih baik. (Koenig:2004). Lebih jauh, Penelitian telah menunjukkan bahwa
individu percaya bahwa doa dapat menyembuhkan kesehatan fisik dan mental
(Mackenzie et al 2000;. Barnes et al 2008.). Penelitian yang dilakukan oleh John
T. Harrigan (2011: 602), tentang hubungan kebiasaan pola hidup sehat dengan
orang-orang yang berdoa, menemukan bahwa dari 22.314 responden, 13.179 atau
59 % mereka berdoa untuk kesehatannya. Orang-orang ini ternyata memiliki
kebiasaan hidup sehat seperti:. lebih sering berkunjung ke dokter, berolahraga
berat, menggunakan tekhnik relaksasi, meditasi, terapi pengobatan gratis dan
alternatif. Orang-orang yang berdoa untuk kesehatannya lebih berpartisipasi
dalam mempromosikan perilaku hidup sehat dari pada meraka yang tidak berdoa.
Merujuk pada jurnal yang ditulis oleh Jones (2004:318)6 menyatakan
bahwa beberapa faktor dapat menjembatani antara praktik keberagamaan dengan
kesehatan fisik dan mental. Pertama, banyak praktik keagamaan seperti meditasi,
doa, aktivitas kontempelasi dapat menimbulkan apa yang disebut dalam literatur
sebagai respons relaksasi yang memberikan kontribusi untuk mereduksi atau
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatik, mengurangi ketegangan otot,
mengurangi aktivitas hipofisis anterior atau menurunkan adrenalin dan tekanan
5
John T. Harrigan (2011). Health Promoting Habits of People Who Pray for Their
Health. Journal of Religion and Health, Vol. 50, No. 3.
6
James W. Jones (2004). Religion, Health, and the Psychology of Religion: How the Research on
Religion and Health Helps Us understand Religion. Journal of Religion and Health, Vol. 43.
9
darah, menormalkan detak jantung, dan mengubah gelombang otak. Semua efek
relaksasi tersebut secara signifikan berkontribusi pada kesehatan (Benson, 1996).
Faktor kedua bahwa praktik keberagamaan memberikan kontribusi pada
kesehatan fisik adalah agama memiliki peran dalam mengurangi keterlibatan
kebiasaan tidak sehat seperti penyalahgunaan alkohol, obat-obatan terlarang, seks
tidak aman, bunuh diri, tingkah laku kekerasan, dan makanan yang tidak sehat.
Crystal L. Park dkk (2016)7 mengatakan dalam konteks kedokteran
perilaku, keberagamaan dan spiritualitas telah menunjukkan pengaruh pada
banyak hasil penting termasuk kematian yang lebih rendah (Powell et al., 2003),
terkait dengan variabel kesehatan mental (Koenig, 2012) serta perilaku kesehatan
yang bermanfaat (Benjamins, 2006; Salmoirago- Blotcher et al, 2011.) dan terkait
dengan sejumlah peningkatkan hasil kesehatan yang relevan antara individu
dengan berbagai kondisi seperti penyakit kardiovaskular (Chida et al., 2009),
kanker (Laubmeier et al., 2004), dan penyalahgunaan zat (Geppert et al., 2007).
Meskipun dianggap sebagai suatu yang kontroversial '' (Blumenthal et al, 2007;..
P
506),
penelitian
tentang
keberagamaan
dan
spiritualitas
tampaknya
menunjukkan besarnya hubungan antara Keberagamaan dan spiritualitas dan hasil
kesehatan mulai dari '' kecil '' sampai '' besar '' (Hwang et al., 2011). Temuan ini
memiliki implikasi penting bagi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana
keberagamaan dan spiritualitas dan variabel kesehatan. Studi yang dilakukan oleh
Park dkk
mendokumentasikan beberapa efek menguntungkan terkait dengan
7
Crystal L. Park , Kevin S. Masters, John M. Salsman, Amy Wachholtz, Andrea D.
Clements, Elena Salmoirago-Blotcher, Kelly Trevino, Danielle M. Wischenka. (2016).
Advancing our understanding of religion and spirituality in the context of behavioral
medicine. Journal behavior and medicine.
10
dimensi keberagamaan dan spiritualitas tertentu misalnya praktek spiritualitas
secara pribadi memberikan pengaruh pada meningkatnya kontrol otot otonom
pada jantung, (Berntson et al., 2008), dan menurunkan tekanan darah terhadap
reaksi stresor (Masters et al. 2004). Berdasarkan bukti ini, diharapkan dapat
menemukan
menemukan keterkaitan yang konsisten antara religiusitas dan
spiritualitas dan hasil penyakit kardiovaskuler pada tingkat populasi.
Park dkk memberikan gambaran bagaimana religiusitas dan
spiritualitas memberikan pengaruh terhadap kesehatan fisik, mental, spiritual dan
sosial bagi penderita penyakit kardiovaskuler, sebagaimana dalam diagram
berikut:
Skema 1: Pengaruh religiusitas dan spiritualitas dalam kesehatan menurut Park
dkk
RS (Multidimensional)
Public Behavior (e.g.,
attendance)
•Private Behavior (e.g.,
prayer, spiritual
experiences)
•Beliefs
Mechanisms
•Health Behaviors
•Direct Physiological
processes
(cardiovascular,
immune, endocrine)
•Social support
Outcomes
Physical Health
•Mental health
•Social health
•Spiritual health
•Coping
11
Beberapa tokoh di Indonesia juga telah menggunakan agama sebagai
bagian dalam konsultasi dan terapi psikisnya, seperti Prof. Dr. Zakiyah Darojad
dan Prof.Dr. dr. Dadang Hawari.8
Telah banyak peneliti dan praktisi yang melakukan kajian terhadap peran
agama dalam proses penyembuhan baik penyakit mental atau kejiwaan dan
penyakit fisik. Kajian-kajian tersebut secara umum memandang fungsi agama
sebagai sarana untuk terapi kejiwaan seperti motivasi, relaksasi, ketenangan,
emosi, dan lain sebagainya. Dalam proses penyembuhan penyakit fisik, terapi
agama dapat mengurangi tekanan darah, komplikasi pasca-operasi, dan lain
sebagainya. Dari beberapa kajian dan penemuan tersebut maka tesis ini akan
mencoba menggali lebih dalam dan melengkapi penelitian atau kajian
sebelumnya, yakni meneliti peran agama lebih khusus sikap-sikap keberagamaan
dalam proses seseorang menerima penyakit stroke, dan lebih jauh bagaimana
agama dapat membantu penyembuhan atau pemulihan IPS. Penelitian dan kajian
sebelumnya masih sebatas menguraikan secara umum terapi agama yang
diberikan dan pengaruhnya terhadap gejala psikis para penderita penyakit.
Sementara fenomena penyakit stroke meskipun ada beberapa kesamaan dalam
8
Prof. Dr. Zakiyah Darojad telah menerbitkan beberapa buku terkait dengan psikoterapi agama
antara lain: Peranan Agama dalam Kesehatan Mental (1973), Islam dan Kesehatan Mental (1983),
Do’a Menunjang Semangat Hidup (1992), dan Puasa Meningkatkan Kesehatan Mental (1993).
Sementara Prof. Dr. dr. Dadang Hawari telah menerbitkan beberapa buku yang berkaitan peran
agama dalam penyembuhan beberapa gangguan kejiwaan seperti: Konsepsi Islam Memerangi
AIDS dan NAZA (1996), Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa (1997), Do’a dan
Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis (1998), Gerakan Nasional Anti Mo-Limo Madat, Minum,
Main, Maling, dan Madon (2000), Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia (2001),
Terapi (Detoksifikasi) dan Rehabilitasi (Pesantren) Mutakhir (Sistem terpadu) Pasien Naza
(Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif Lain) Metode Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari Psikiater
(2001), Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAZA (Narkotika, Alkohol, dan Zat Adiktif) (2001),
Dimensi Religi dalam Praktik Psikiatri dan Psikologi (2002), Manajemen Stres Cemas dan
Depresi (2002). (Ariyanto, 2006:5).
12
akibat psikisnya, tetapi dalam hipotesis penulis memberikan dampak yang lebih
besar dibandingkan penyakit yang lain, baik secara fisik maupun psikis.
1.6 Landasan Teori
Penelitian ini disusun untuk mengetahui peran agama dan komunitas
dalam proses penyembuhan atau pemulihan IPS. Oleh karena itu diperlukan
beberapa teori sebagai alat untuk menganalisis data yang diperoleh dari lapangan.
Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori healing dan
psikologi sosial.
1,6.1. Healing
Healing menurut Javaheri (2006 : 172)9 (dalam Chez dan Jonas,
1997 : 1157) adalah suatu proses internal penyembuhan atau pemulihan
yang melibatkan fisik, emosi, mental, tingkat spiritual, dan hasilnya individu
merasa sebagai manusia yang lengkap atau utuh dalam keseimbangan atau
harmoni dengan diirinya dan lingkungan sekelilingnya. Pengertian ini
sangat berbeda dengan pengobatan, di mana diartikan sebagai intervensi
medis dari luar pasien untuk menghilangkan fakta atau diagnosis suatu
penyakit. Healing merupakan usaha pemulihan dengan melibatkan semua
aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun mental. Secara fisik dengan
intervensi medis sementara secara psikologis dengan menggunakan
pendekatan psikis dan spiritual, seperti dengan pemberaian motivasi atau
9
Fatemeh Javaheri (2006). Prayer Healing: an Experiential Description of Iranian Prayer
Healing. Journal of Religion and Health, Vol. 45, No. 2.
13
dukungan, berdoa, meditasi, dan lain-lain. Menurut Sidabutar dkk (2003)10
healing diartikan “to make whole” atau suatu proses untuk mengembalikan
lagi menjadi satu kesatuan. Healing mempunyai akar kata yang sama
dengan health dan whole dalam bahasa Inggris. Termasuk dalam pengertian
ini adalah “membuat menjadi baik atau sehat kembali”, “membuat luka
menjadi tertutup”, dan “kembali pada situasi semula”.
Menurut Deepak Chopra (2007:16) terapi agama adalah salah satu
proses healing dengan menggunakan metode selain medis. Lebih jauh ia
mengatakan bahwa penyembuhan bukan hanya sebuah proses fisik, tetapi
juga merupakan proses yang melibatkan mental. Lebih jauh ia menjelaskan
bila seorang dokter melihat tulang retak dan pulih kembali, atau melihat
tumor ganas yang menyebar, mereka akan mencari mekanisme fisik
kondisi tersebut. Padahal, mekanisme fisik ibarat sebuah tabir.
Sesungguhnya di balik tabir itu ada sesuatu yang abstrak, pengetahuan
yang tidak bisa dilihat ataupun disentuh. Kejadian itulah yang disebut
sebagai healing atau penyembuhan.
Sejalan dengan pemikiran dari Chopra, dr.J.B., Suharjo B.
Cahyono, Sp.P.D. mengatakan bahwa penyembuhan dapat diidentikan
dengan bangku tiga kaki. Kaki pertama adalah upaya dari diri sendiri (self
care), misalnya perubahan gaya hidup. Kaki kedua berupa pengobatan dan
tindakan medis. Kaki ketiga adalah pengobatan alternatif, misalnya
meditasi, biofeedback, hipnotis, akupungtur, homeopati, produk natural,
10
Sondang Irene E Sidabutar dkk (2003). Pemulihan Psikososial Berbasis Komunitas, Kontras
dan Yayasan Pulih (Pusat Pencegahan dan Penanganan Trauma Psikologis).
14
peyembuhan, terapi metabolik, elektromagnetik, qi gon, reiki, sentuhan
terapi, dan lain sebagainya. Dengan proses healing setidak-tidaknya
penyakit akan membaik apabila ada sinergi antara ketiga pilar tersebut.
Lebih jauh, metode penyembuhan atau healing yang dilakukan pada
pasien dari dr. Chopra memiliki beberapa prinsip di antaranya:
1. Membawa tubuh pasien pada suatu kondisi istirahat yang
dalam dan total.
2. Membawa kehidupan sehari-hari pasien ke dalam suatu kondisi
yang tenang, yang merupakan dasar bagi penyembuhan. Lebih
khusus dalam Ayurweda, tingkat relaksasi total dan tinggi
merupakan
prasyarat
bagi
penyembuhan
setiap
bentuk
penyakit. (Chopra, 2007 : 26-27)
Prinsip lain dalam proses penyembuhan adalah bahwa tubuh
manusia
mempunyai
potensi
yang
sangat
besar
dalam
proses
penyembuhan. Banyak bukti bahwa tubuh memiliki kemampuan
penyembuhan diri yang tak terbatas. Jika ingin membebaskan diri dari rasa
sakit dan penyakit, rasa cemas, takut, sedih, putus asa, harus dimulai
terlebih dahulu dengan mengubah pikiran dan keyakinan. Barangkali kita
selama ini terlalu meyakini bahwa diri kita, sikap dan perilaku kita, adalah
seperti adanya. Kita sebenarnya jauh lebih besar dan lebih baik daripada
yang kita yakini. Seperti yang dikemukakan oleh Dr. Herbert Benson,
kesembuhan sangat tergantung keyakinan; pada diri sendiri, pada dokter
15
yang merawat, dan pada harapan yang dibangkitkan melalui hubungan
dokter dan pasien (Cahyono, 2011:XV-XVI).
1.6.2. Psikologi Sosial
Manusia merupakan makhluk individu, sosial, dan berketuhanan
(Gerungan, 1991:22-26). Manusia sebagai makhluk individu berarti bahwa
pribadi manusia merupakan keseluruhan jiwa-raga yang mempunyai
struktur dan kecakapan yang khas. Sementara sebagai makhluk sosial,
manusia tidak dapat hidup seorang diri tanpa lingkungan sosialnya.
Dengan
interaksi
sosial
manusia
dapat
merealisasikan
potensi
individualnya.
Menurut Sarlito (2000:3) mengutip dari Shaw dan Costanzo,
psikologi sosial adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku
individu sebagai fungsi dari rangsang-rangsang sosial.11 Kurt Lewin
(dalam Gerungan, 1991:40) sebagai pencetus aliran field psychology
mengatakan bahwa guna menyelidiki tingkah laku manusia dengan sebaikbaiknya, maka harus mempertimbangkan bahwa manusia hidup dalam satu
field, suatu medan kekuatan-kekuatan fisis maupun psikis yang senantiasa
berubah-ubah menurut situasi kehidupannya.12
Hubungan antar-manusia membentuk interaksi sosial. Gerungan
(1991:57) mengutip dari H. Boner dalam bukunya Social Psychology
mengatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau
11
12
Sarlito Wirawan Sarwono (2000). Teori-teori Psikologi Sosial. Raja Grafindo. Jakarta.
Gerungan (1991). Psikologi Sosial. Eresco Bandung.
16
lebih manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi,
mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.
Ada beberapa faktor dalam interaksi sosial, yaitu imitasi, sugesti,
indentifikasi, simpati, dan introyeksi.
Lebih jauh Gerungan mengambil pendapat dari Gabrile Tarde yang
mengatakan bahwa seluruh kehidupan sosial berdasarkan faktor imitasi.
Imitasi adalah contoh-mencontoh, tiru-meniru, ikut-mengikuti. Imitasi
dapat mendorong individu atau kelompok melakukan perbuatan yang baik,
tetapi imitasi juga dapat menimbulkan kebiasaan di mana orang
mengimitasi tanpa kritik.
Sugesti adalah proses di mana seorang individu menerima suatu
cara penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik
terlebih dahulu. Sugesti dapat terjadi kareana beberapa hal, yaitu: karena
hambatan berpikir, sugesti karena pikiran terpecah belah misalnya,
menghadapi kesulitan hidup, sugesti karena otoritas atau prestise, dan
sugesti karena will to believe.13 (Gerungan, 1991:61-66). Identifikasi
adalah dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain, di mana
kecenderungan ini bersifat tidak sadar. Sementara simpati adalah perasaan
tertariknya orang yang satu kepada orang yang lain berdasarkan perasaan
dengan kesadaran.
13
Will to believe yaitu diterimanya suatu sikap-pandangan tertentu karena sikap atau pandangan
itu sebenarnya sudah terdapat dalam dirinya.
17
Sebuah
komunitas
atau
kelompok
dapat
ditelaah
dengan
menggunakan teori hubungan sosial. Sarlito (2005:5)14 dalam Johnson dan
Johnson mengatakan kelompok adalah dua individu atau lebih yang
berinteraksi tatap muka (face to face interaction) di mana masing-masing
menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari
keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing
menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan
bersama.
Teori hubungan pribadi disebut teori Firo-B (Fundamental
Interpersonal Relation Orientation Behaviour). Teori ini dikemukakan
oleh Schutz (1958). Inti dari teori hubungan pribadi adalah bahwa
kebutuhan dasar dalam hubungan antara individu dan individu lainnya
menurut Schutz ada tiga macam, yaitu inklusi, kontrol dan afeksi.
Kebutuhan inklusi adalah kebutuhan untuk terlibat dan termasuk dalam
kelompok, kebutuhan kontrol adalah kebutuhan akan arahan, petunjuk, dan
pedoman berperilaku dalam kelompok, dan kebutuhan afeksi adalah
kebutuhan
akan
kasih
sayang
dan
perhatian
dalam
kelompok
(Sarlito:2005:13).
Schutz mengatakan walaupun setiap orang memiliki ketiga
kebutuhan dasar tersebut akan tetapi tiap-tiap orang ada salah satu
kebutuhan yang lebih menonjol daripada yang lainnya. Sehingga, ada tiga
tipe kepribadian manusia ditinjau dari hubungan dengan orang lain, yaitu
14
Sarlito Wirawan Sarwono (2005). Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan.
Balai Pustaka. Jakarta.
18
tipe inklusi, tipe control dan tipe afeksi. Akibat dari tidak terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan tersebut pada masa kanak kanak menyebabkan
individu menjadi merasa dirinya tidak bermakna atau insignifikan
(insignificant), merasa tidak mampu inkompeten (incompetent), merasa
tidak dicintai (unlovable). Lebih jauh, Menurut Schutz bahwa dalam
hubungan antar pribadi dapat terjadi hubungan yang selaras atau
kompatibel (orang yang mebutuhkan inklusi akan berhubungan dengan
orang yang memberi inklusi, orang yang membutuhkan control akan
berhubungan
dengan
yang dapat
memberi control,
orang
yang
membutuhkan afeksi akan berhibungan dengan orang memberi afeksi. Jika
hubungan tersebut kompatibel kemungkinan untuk berlanjut lebih besar
daripada jika hubungan tersebut inkompatibel.
1.7 Metode Penelitian
Seorang peneliti memperoleh data dengan berbagai cara. Khotari
(2004:96)15 mengatakan bahwa ada beberapa metode pengumpulan data,
diantaranya adalah metode observasi, interview, kuesioner, dan metode-metode
lain seperti: kartu garansi, distributor audit, panel konsumen, penggunaan alat
mekanik, melalui teknik proyektif, wawancara mendalam dan analisis isi.
Penelitian ini menggunakan beberapa metode untuk mengumpulkan data yaitu:
observasi partisipatif dan wawancara.
15
Khotari, C.R (2004) Research Methodology Method and Technique (Second Revised Edition).
New Age International Publisher. New Delhi.
19
1.7.1
Observasi Partisipan
Bernard menyatakan observasi partisipan adalah sebuah metode di
mana observer atau peneliti terlibat langsung dengan yang diteliti. Ia akan
dekat dengan individu atau masyarakat yang diteliti sehingga mereka akan
merasa nyaman dengan kehadiran peneliti yang pada akhirnya peneliti
mendapatkan data informasi tentang kehidupan mereka (Bernard:342).
Nawawi (1985:104)16 menyebutkan bahwa observasi partisipan adalah suatu
proses pengamatan yang dilakukan oleh observer dengan ikut mengambil
bagian dalam kehidupan orang-orang yang akan diobservasi. Observer
berlaku sungguh-sungguh seperti anggota dari kelompok yang akan
diobservasi.
Melalui observasi partisipan peneliti memperoleh data dan
deskripsi yang realistis dan mendalam. Peneliti mendapatkan data terkait
dengan proses-proses mental atau psikologis dan spiritual penderita stroke
ketika menajalani proses penyembuhan, baik secara medis atau religius.
Selain itu, informasi dari komunitas stroke atau IPS akan memperkaya
data terkait dengan pengalaman batin yang dikombinasikan dengan
pengalaman fisik baik ketika proses penyembuhan maupun dalam proses
rehabilitasi pasca-stroke.
Penelitian ini melibatkan beberapa IPS di Yogyakarta yang
tergabung dalam KHE. Untuk mendapatkan data terkait dengan
pengalaman mereka dalam menjalani proses penyembuhan maka penulis
16
Prof. Dr. H. Hadari Nawawi (1985). Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
20
mengikuti semua kegiatan yang mereka laksanakan seperti: jalan pagi
keliling Embung Tambak Boyo, sharing komunitas, kunjungan atau home
visit ke rumah IPS, terapi wisata, syawalan, fisioterapi di RS. Dr. Sardjito,
dan lain sebagainya.
Awalnya pihak KHE menolak kehadiran penulis. Mereka
memberikan kesempatan kepada penulis untuk bergabung dalam kegiatan,
tetapi ketika penulis mencatat kegiatan dan kejadian di sana mereka
cenderung menutup diri. Beberapa kali penulis mengikuti kegiatan mereka,
menemani IPS jalan keliling embung, memijit tangan IPS ketika mereka
duduk di pinggir embung sambil mendengarkan keluh kesahnya,
membantu IPS naik tangga menuju tempat sharing, menata kursi ketika
akan dan sesudah sharing, menuntun IPS ke mobil, membukakan pintu
ketika mereka masuk mobil, dan lain sebagainya. Penulis memposisikan
diri sebagai volunteer dalam komunitas itu. Akhirnya, mereka membuka
diri menerima kehadiran penulis. Mereka memberikan kesempatan untuk
mengikuti semua kegiatannya bahkan penulis diberikan kesempatan oleh
ketua untuk mengikuti aktivitasnya. Penulis mengikuti fisioterapi,
mengantar ke toko lampu, mengantar ke acara santunan fakir miskin,
sambil diberikan kesempatan untuk wawancara.
1.7.2. Wawancara
Wawancara adalah a conversation with purpose (percakapan
dengan tujuan) (Endraswara, 2003:212).
Tujuan dari wawancara ini
adalah untuk menggali pemikiran konstruktif seorang informan, yang
21
menyangkut peristiwa, organisasi, perasaan, perhatian, dan sebagainya
terkait dengan pengalaman hidup dengan stroke untuk merekonstruksi
pemikiran ulang tentang hal ihwal yang dialami informan pada masa lalu
atau sebelumnya, dan untuk mengungkap proyeksi informan dalam hal ini
terkait dengan proses penyembuhan penyakit stroke.
Peneliti melakukan wawancara dengan kurang lebih 10 anggota
KHE. Beberapa orang yang diwawancara adalah Bapak AN sebagai ketua
komunitas, Bapak WN sebagai sesepuh komunitas, Bapak FX, Bapak HR,
Bapak BB, Bapak SB, Bapak PR, Ibu EF, Ibu lT sebagai anggota, dan
Bapak EB sebagai relawan komunitas. Dari kesepuluh informan
(interviewee) enam di antaranya dilakukakan wawancara mendalam, yaitu
kepada Bapak AN, Bapak FX, Bapak BB, Bapak PR, Ibu lT, dan Ibu EF.
Proses wawancara dilakukan di beberapa tempat. Wawancara
kebanyakan dilakukan di Embung Tambak Boyo sebagai basis dari
kegiatan komunitas baik ketika jalan pagi, sharing, maupun setelah
kegiatan rutin selasa pagi, di rumah sakit atau di rumah IPS. Wawancara
dengan Bapak AN misalnya dilakukan di Hall Rehabilitasi Medis Rumah
Sakit Dr. Sardjito sambil beliau melakukan fisio terapi, di dalam mobil
sambil menemani beliau mengunjungi beberapa tokonya, dan di rumah
ketika bulan ramadhan. Teknik wawancara dengan menggunakan
pendekatan petunjuk umum wawancara, yaitu pewancara membuat garis
22
besar atau pokok wawancara sebelum wawancara dilakukan (Moleong,
1993 : 136)17
1.7.3. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil observasi dan interview dianalisis
dengan metode deskriptif-reflektif. Hadari (1998:63) mengatakan bahwa
metode deskriptif adalah suatu prosedur pemecahan masalah yang
diseldiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek atau
objek penelitian (seorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak sebagaimana adanya. Lebih
jauh Ia mengatakan bahwa metode ini harus diberikan bobot yang lebih
tinggi dengan memberikan analisis dan interpretasi data tersebut. Kita
dapat membandingkan persamaan dan perbedaan gejala yang ditemukan,
mengukur dimensi suatu gejala, mengadakan klasifikasi gejala, menilai
gejala, menetapkan standar, menetapkan hubungan antar gejala, dan lainlain.
Pengalaman-pengalaman
penyembuhan
dan
IPS
bersosialisasi
ketika
dalam
menjalankan
sebuah
komunitas
proses
akan
direfleksikan dengan teori-teori tentang healing dan teori lain yang
digunakan dalam penelitian ini sehingga diperoleh kesimpulan bagaimana
agama dan komunitas berperan dalam proses penyembuhan stroke.
17
DR. Lexy J. Moleong, M.A. (1993). Metode Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosda Karya.
Bandung.
23
1.8 Sistematika Penelitian
BAB I berisi pendahuluan yang meliputi (1) Latar Belakang Masalah, (2)
Pertanyaan Penelitian, (3) Ruang Lingkup Penelitian, (4) Tujuan dan Manfaat
Penelitian, (5) Kajian Pustaka, (6) Landasan Teori, (7) Metode Penelitian, dan (8)
Sistematika Penelitian
BAB II menguraikan tentang Komunitas Happy Embung, yang meliputi
sejarah singkat pendiriannya, tujuan pendiriannya, prinsip sosial komunitas,
anggota-anggotanya, dan kegiatan yang dilangsungkan di dalamnya.
BAB III menguraikan tentang peran komunitas sebagai ruang ekspresi
sosial IPS. Bab ini juga menguraikan komunitas sebagai medium katarsis bagi IPS
berikut bagaimana tanggapan IPS terhadap kegiatan-kegiatan yang ada di
komunitas.
BAB
IV
menguraikan
bagaimana
peran
agama
dalam
proses
penyembuhan IPS. Peran yang diuraikan di dalamnya adalah bagaimana konsepkonsep dalam agama, seperti sabar, syukur, pasrah, dan ikhlas mampu diolah
menjadi motivasi bagi IPS untuk sembuh.
BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran penelitian
selanjutnya.
24
Download