WorldviewKoruptor

advertisement
JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA
26
KAMIS, 17 NOVEMBER 2011
Dr Khalif Muammar A Harris
Ahlu Sunnah wal Jamaah,
Pilar Umat
S
enin (14/11), ratusan
peserta seminar tentang
“Sejarah dan Peranan Islam
dalam Pembangunan dan
Kesatuan Bangsa” dibuat
terkesima dengan paparan
Dr Khalif Muammar tentang Kerangka
Pemikiran Melayu Tradisional. Pertanyaan
pun bertubi-tubi ditujukan kepadanya.
Seminar itu sendiri menghadirkan sejumlah pakar dari Indonesia dan Malaysia,
seperti Prof Dr Wan Mohd Nor Wan Daud,
Prof Dr Muhammad Zainy Uthman, Prof Dr
Didin Saefuddin Buchari, dan Dr Adian
Husaini. “Ahlu Sunnah wal Jamaah (ASWJ)
sebagai mainstream (arus perdana) yang
berhasil membangun peradaban yang perkasa lebih seribu tahun lamanya,” kata Dr.
Khalif, dengan tutur kata lembut dan serius.
Merujuk kepada pemikiran ulama-ulama
klasik, seperti Abd al-Qahir al-Baghdadi
(m. 429H/1037M), dalam al-Farq Bayn alFiraq, dan sejumlah ulama lainnya, Dr
Khalif Muammar menyimpulkan bahwa
ASWJ menekankan pendekatan Jalan
Tengah (al-wasatiyyahwa al-I’tidal) yang
tidak ekstrem kiri (liberalisme) dan ekstrem
kanan (ghuluw). Intinya, ASWJ
menekankan bayn al-ghuluww wa al-taqsir.
Menurut Dr Khalif, pemikiran ASWJ
cukup luas cakupannya dan dia mengajak
umat Islam tidak berkonflik karena perbedaan pemikiran internal ASWJ. “Antara alGhazali dan Ibn Taimiyah jangan dipertentangan. Meskipun berbeda, kedua ulama itu
memiliki basis-basis pemikiran yang mendasar,” kata Dr. Khalif.
Bagi para pemerhati pemikiran Islam,
nama Dr Khalif Muammar sudah tidak
asing lagi. Berbagai artikelnya sudah menghiasai media massa di Malaysia dan Indonesia. Bukunya yang berjudul Atas Nama
Kebenaran: Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal (2006) mendapat sambutan yang luar biasa di Malaysia. Selain diberi kata pengantar cendekiawan Malaysia
Dato’ Dr Siddiq Fadzil dan Prof Wan Mohd
Nor, dua orang Mufti Malaysia juga memberikan sokongan dan pengesahannya.
Pascaterbitnya buku itu, Dr. Khalif
sering diundang berbicara tentang pemikiran kontemporer di Malaysia, Indonesia, Brunei, dan Singapura. Keaktifannya dalam dunia pemikiran inilah tampaknya mendorong Universiti Teknologi
Malaysia memberikan gelar Professor
Madya pada waktu yang relatif cepat.
Siapakah Dr Khalif Muammar? Nama
lengkapnya Khalif Muammar Abdul Haris.
Ia lahir di Bandung, dari ayah asal
Tasikmalaya dan Ibu orang Bandung. “Ibu
dan bapak saya alumnus Pajagalan, Persis,
Bandung. Kemudian dari umur lima tahun
kami tinggal di Jakarta. Pada umur 10
tahun, saya dibawa oleh orang tua hijrah ke
Malaysia dan masuk pesantren di Melaka,”
tutur Dr Khalif, saat ditemui seusai acara
seminar tersebut.
Dari pesantren di Malaysia, Khalif—
begitu dia biasa dipanggil teman-temannya—melanjutkan kuliah di Universitas
Mu’tah di bidang Syari’ah dan Dirasat
Islamiyyah, Yordania. Di sanalah ia
bertemu jodoh, menikah dengan muslimah
asal Johor yang juga sama-sama belajar di
Yordania. Kini, mereka dikaruniai empat
anak.
Prestasi keilmuan Dr Khalif tak lepas
dari budaya cinta ilmu yang ditanamkan
dua orang tuanya sejak kecil. Ia berkisah,
“Kedua orang tua saya merupakan guru
agama dan guru mengaji sejak di Bandung.
Dari kecil saya sudah dibawa ke pengajian
di Bandung dan di Jakarta. Guru saya yang
pertama adalah bapak saya. Beliau mengajarkan saya membaca Alquran dengan
baik dan memahamkan isi kandungannya.
Mereka bercita-cita supaya saya menjadi
seorang ustaz atau ulama yang dengan
ilmunya bisa membimbing masyarakat.
Mereka sangat memahami kondisi umat
Islam pada waktu itu yang haus akan ilmu
dan melihat bahwa kejahilan umat Islam
adalah penyebab kepada berlakunya
banyak penyimpangan dan kerusakan
dalam berbagai aspek kehidupan.”
Di Pesantrennya di Melaka, Khalif
belajar bahasa Arab dan menghafal
Alquran dan ilmu-ilmu lainnya. “Bapak
saya sangat berbangga sekali ketika saya
bisa bertutur dalam bahasa Arab. Beliau
menyarankan agar saya belajar bahasa
Inggris juga dan membelikan saya buku
bahasa Inggris,” tuturnya lebih lanjut.
Berkat penguasaan bahasa Arabnya
yang baik, saat belajar di Yordania, Khalif
Muammar menjadi pelajar asing pertama
yang dianugerahkan dean list (lauhah
syaraf) dua kali. Sepulangnya ke
Malaysia tahun 1998, kedua orang
tuanya mengizinkan untuk melanjutkan pelajaran ke peringkat yang
lebih tinggi dan membantu dengan
semampunya. Ketika itu, Khalif
bekerja sambilan.
Atas rekomendasi Dr Ugi
Suharto—dosen di International
Institute of Islamic Thought and
Civilization (ISTAC), Khalif
diterima untuk belajar di institusi
tersebut oleh Prof Dr Wan Mohd
Nor Wan Daud. Dr Ugi Suharto juga yang
kemudian memperkenalkannya dengan
pemikiran Prof al-Attas.
“Walaupun banyak yang tidak saya
pahami ketika itu, tetapi saya menerimanya
dengan antusias dan ingin lebih banyak
belajar lagi. Karena, walaupun saya punya
minat yang mendalam dalam bidang
pemikiran dan filsafat, bidang pemikiran
adalah bidang baru dan penguasaan bahasa
Inggris saya ketika itu masih lemah,”
tuturnya.
Setelah mengikuti kursus bahasa Inggris
yang intensif, Khalif mengaku baru bisa
memahami ide-ide Prof al-Attas, khususnya yang tertuang dalam buku Islam and
Secularism dan Prolegomena to the
Metaphysic of Islam. “Terus terang hanya
setelah lima tahun di ISTAC saya baru bisa
benar-benar memahami kerangka
pemikiran Islam yang diutarakan oleh al-Attas,” kata
Khalif lebih lanjut.
Setelah lulus Doktor di
ISTAC (2008), Khalif
Muammar baru dipercaya oleh Prof alAttas untuk menerjemahkan buku
Islam and
Secularism dalam
bahasa Indonesia.
Berkat kemampuan intelektual dan
kebaikan akhlaknya,
Dr Khalif diajak
bergabung oleh Prof Wan
Mohd Nor untuk
membangun
satu cita-
cita besar, “Membangun Teori dan
Epistemologi Melayu”.
“Kami membuat penyelidikan sampai ke
Aceh dan berbagai kota lain. Dan, hasilnya
kami telah membangun teori Epistemologi
Melayu berdasarkan manuskrip abad ke-17
Masehi oleh Nuruddin al-Raniri,” kata Dr
Khalif lagi.
Meskipun sudah berkibar sebagai salah
satu cendekiawan Muslim di Malaysia, Dr
Khalif tetap aktif berkiprah di Indonesia.
Bersama sejumlah dosen di Bandung, pada
2009 ia mendirikan Institut Pemikiran
Islam dan Pembangunan Insan (PIMPIN) di
Bandung.
Dr Khalif Muammar yakin bahwa awal
kebangkitan umat Islam harus dimulai dari
penanaman budaya ilmu yang benar. “Jika
budaya ilmu tidak ditumbuhkan dan disuburkan, maka yang akan berkembang adalah budaya kebendaan (materialisme) dan budaya hedonisme.
Kedua-dua budaya inilah yang
merusak masyarakat Islam
ketika ini sehingga sulit
untuk maju ke depan. Dan,
tanpa individu-individu
yang berbudaya ilmu ini,
maka negara dan bangsa
akan dikuasai oleh kejahilan dan kemunduran,”
demikian tutur Dr Khalif
Muammar. (Diwawancara
dan ditulis oleh Khayrurrijal). ■
Misykat
Worldview Koruptor
eberapa bulan lalu sebuah dialog di
televisi swasta membahas perilaku
korupsi penegak hukum dan koruptor. Hadir dalam acara itu para guru
besar di bidang hukum dan advokat. Yang
muncul di situ pertanyaan mengapa hakim
dan jaksa korupsi? Padahal, mereka adalah
penegak hukum dan sangat luas ilmu hukumnya. Mereka adalah pejabat yang tinggi tanggung jawabnya.
Host acara itu lalu mengarahkan pertanyaan itu kepada para guru besar: apa yang
Bapak ajarkan kepada mereka sehingga
mereka itu korupsi? Para guru besar itu pun
bersungut-sungut lalu menjawab, “Tidak ada
yang salah dalam mata kuliah mereka.” Lalu
di mana letak salahnya? Mengapa demikian
dst... dst... menjadi kompleks.
Mungkin jika pakar bidang administrasi
negara hadir, dia akan menuding undang-undang yang lemah. Pakar ekonomi akan mengkritik gaji pegawai yang rendah. Advokat akan
berkilah korupsi atau tidak itu bergantung
pada pasalnya. Para sosiolog atau psikolog
akan mungkin lebih tegas, “Orang korupsi
karena mental pegawai.” Di balik layar sayupsayup para koruptor lain berguman singkat:
“Dia lagi apes.” Itulah realitas bangsa ini.
Pendapat-pendapat di atas tentu subjekif.
Namun, semua pasti sepakat jika perbuatan
korupsi didahului oleh pikiran yang korup.
Orang pasti berpikir sebelum berbuat. Pikiran
manusia itulah sebenarnya yang disebut
worldview. Definisinya adalah cara pandang
orang terhadap hidup dan kehidupan. Pan-
B
Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Direktur INSISTS
dangan orang terhadap makna realitas dan
makna kebenaran (Naquib al-Attas). Pikiran
yang menjadi motor perbuatan (Alparslan).
Dari perspektif agama, worldview adalah
kepercayaan kepada Tuhan beserta segala
implikasi dan konsekuensinya dalam kehidupan. Sebab, seperti ditegaskan Thomas Wall,
“Kepercayaan pada Tuhan adalah inti dari
semua worldview.” Artinya, kalau orang itu
benar-benar percaya pada Tuhan di balik harta ada rezeki, di balik kekuasaan ada amanah, di balik perbuatan ada dosa dan pahala.
Kalau orang percaya pada Tuhan, ia pasti
yakin bahwa baik-buruk, salah-benar, hartarezeki berasal dari Tuhan. Itulah worldview.
Jika orang itu tidak percaya pada Tuhan,
har ta adalah harta. Di balik harta tidak ada
apa-apa. Dari mana asalnya dan bagaimana
memperolehnya tidak penting. Yang penting
setiap orang harus bertahan hidup. Hidup
dengan segala cara asal tidak menyakiti sesama. Hidup hanya sekali dan setelah itu selesai. Perbuatan di dunia hanya akan berakibat di dunia. Ukuran baik-buruk, salah-benar
adalah manusia penentunya. Itulah worldview
koruptor.
Tapi masalahnya, mengapa orang beragama masih juga korupsi? Jawaban lumrah
tentu ia korup bukan karena perintah agamanya. Menurut sabda Nabi, tidak ada orang
mencuri dan pada saat yang sama dia
beriman. Lalu, apakah keimanan orang tidak
dapat mencegahnya dari perbuatan korupsi?
Masalahnya sungguh kompleks. Agama hanya dianggap sebagai dogma. Beragama ber-
arti menjalankan ritual semata. Masjid, gereja,
adalah tempatnya. Di ruang publik agama
tidak boleh angkat bicara. Porno atau tidak
porno tidak boleh diukur dari agama. Ambisi
berpolitik tidak boleh dicampur nawaitu dalam
ibadah, apalagi dicampur istigasah.
Di saat agama dikerdilkan, dan ketika keberagamaan dimarginalkan, hasrat menjadi
kaya raya merupakan tujuannya. Worldview
pemeluk agama diisi oleh cara pandang materialistis, hedonistis, pragmatis, empiristis,
dan rasionalistis. Cara hidup sekuler telah
mencokok arah hidup pemeluk agama-agama. Cinta harta merasuki rongga-rongga pikiran para pemeluk agama. Begitulah worldview
pemeluk agama dikuasai worldview sekuler.
Akibatnya, mindset mereka berubah. Agar
menjadi kaya dan hidup enak di dunia, orang
harus meninggalkan moral dan akhlak ajaran
agama. Yang tetap bertahan pada keimanan
agamanya dianggap bodoh dan tidak cerdas.
Ketika saya berkunjung kembali ke
Inggeris pada Maret 2010, di Nottingham
saya mendengar berita menarik. Professor
Richard Lynn dari Ulster University, Irlandia
Utara; Professor Helmuth Nyborg dari
Universitas Aarhus, Denmark; dan Professor
John Harvey Sussex, Inggris menerbitkan
hasil riset mereka. Riset itu dilakukan di 137
negara di dunia, termasuk Indonesia.
Menarik karena risetnya mengkaji sebuah
hipotesis adanya korelasi negatif antara IQ
dan iman. Hipotesisnya kira-kira berbunyi
begini: semakin bodoh seseorang itu ia
semakin religius, dan semakin cerdas seseo-
rang itu ia semakin sekuler dan bahkan ateis.
Bukan hanya itu, Verhage (1964) dan Bell
(2002) di Belanda, dan Kanazawa (2009) di
Amerika Serikat memperoleh hasil serupa.
Dari mereka bertiga ini sekurangnya diperoleh
empat temuan. Pertama, ada hubungan korelasi negatif antara kecerdasan dan keimanan.
Kedua, orang elite yang cerdas semakin kurang religius dibanding penduduk secara
umum. Ketiga, di kalangan pelajar semakin
berumur dan semakin berilmu semakin turun
keimanan mereka. Keempat, sepanjang abad
dua puluh meningkatnya masyarakat yang
cerdas diikuti oleh menurunnya keimanan.
Implikasi dari hipotesis di atas jelas, orang
cerdas adalah yang meninggalkan agamanya.
Tapi masalahnya, apakah orang tidak beragama itu karena saking cerdasnya? Jika jawabnya iya, matriks kecerdasannya itu hanya
sebatas masalah dunia. Apakah orang yang
taat beragama dan pada saat yang sama bisa
hidup makmur di dunia tidak bisa dianggap
lebih cerdas dari yang hanya berpikir dunia.
Dr David Rosmarin, psikiatri Rumah Sakit
McLean di Massachussetts, menulis paper.
Di situ disimpulkan, orang yang percaya pada
Tuhan cenderung lebih tenang dan tidak gelisah menghadapi hidup yang serba tidak pasti. (Lihat International Herald Tribune, 19 Oktober 2011, hal 8). Tentu lebih baik dibanding
orang yang tidak percaya Tuhan. Jika demikian benarlah sabda Nabi: “Orang cerdas (alkaysu) adalah orang yang bekerja di dunia
untuk tujuan akhirat.” Wallahu a’lam. ■
Download