TRANSPERSONAL EXPERIENCE IN ORDER PENGAMAL QADIRIYYA WA NAQSYABANDIYYAH Muhammad Arief, Praesti Sedjo, SPsi., MPsi. Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2009 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id Key Word : Transpersonal Experiences, Mysticism, Sufi, Congregation Qadariyyah Wa Naqsyabandiyyah ABSTRACT : Spiritual development, including transpersonal experience, enabling individuals to achieve the highest level of awareness, health and human potential represents the excess of self-actualization. Sufi orders, especially Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah as grand tradition of Eastern spirituality is one aspect of religion that tries to dig more deeply about the spiritual experiences compared to only support religious dogma or doctrine. From the presentation above, then the question arises as to why the subject into the Order pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah, shape the types of transpersonal experiences pengamal Order Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah, and how the impact of transpersonal experiences in congregations pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah and why the subject of the Order pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah can experience transpersonal experiences. The purpose of this study was to find out why some people become pengamal Order Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah, to know the types of transpersonal experiences in the Order pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah, to determine the impact of transpersonal experiences in the Order pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah and to find out why the subject can experience transpersonal experiences . In this study, researchers used a qualitative approach to phenomenological psychology in the form of case studies because the appropriate approaches are used in the problems that aims to explore the transpersonal awareness of someone in their everyday lives. The subjects used in this study is a single subject, with the characteristics of the Order Pengamal Qadiriyya wa Naqsyabandiyyah who has run a practice-practice orders, muraqabah (meditation) and science lessons for 8 - 16 years. Data collection techniques in this research using semi-structured interview method, phenomenological observation, observation and significant others. In this interview process, to assist the process of collecting data the researcher is equipped with a guidance interview, observation guidelines, tape recorder and stationery. After doing the research is that subjects follow orders because he wanted to be close to God, also by a great father, and the subject have transpersonal experiences such as feeling the presence of God, psychokinesis, supernatural power and its impact in the experience of transpersonal subjects felt happy, calm, more be patient, more selective, more feel psychologically and physically healthy and experience positive change for themselves, especially in worship and social relations and subject to experience transpersonal experiences has been the rise due to the flow of energy seven lathifah in him (subtle organs of the body) so as to experience transpersonal experiences . PENGALAMAN TRANSPERSONAL PADA PENGAMAL TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH NPM : 10503114 Nama : Muhammad Arief Pembimbing : Praesti Sedjo, SPsi., MPsi. Tahun Sidang : 2009 Subjek : Psikologi Agama, Judul PENGALAMAN TRANSPERSONAL PADA PENGAMAL TAREKAT QADIRIYYAH WA NAQSYABANDIYYAH Abstraksi Perkembangan spiritual, termasuk di dalamnya pengalaman transpersonal, memungkinkan individu-individu untuk mencapai tingkat tertinggi kesadaran, kesehatan dan merepresentasikan potensi manusia yang melebihi aktualisasi diri. Tarekat sufi khususnya Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah sebagai tradisi agung spiritualitas timur merupakan salah satu aspek dari agama yang berusaha menggali lebih dalam mengenai pengalaman-pengalaman spiritual dibandingkan hanya mendukung dogma atau doktrin agama. Dari pemaparan diatas, maka timbul pertanyaan mengenai mengapa subjek menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, bentuk tipe-tipe pengalaman transpersonal pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, serta bagaimana dampak pengalaman transpersonal pada pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan mengapa subjek pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat mengalami pengalaman-pengalaman transpersonal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa seseorang menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, untuk mengetahui tipe-tipe pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, untuk mengetahui dampak pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan untuk mengetahui mengapa subjek dapat mengalami pengalaman transpersonal. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif psikologi fenomenologi dalam bentuk studi kasus karena pendekatan tersebut sesuai digunakan pada masalah-masalah yang bertujuan untuk mengeksplorasi kesadaran transpersonal seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu subjek, dengan karakteristik Pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang telah menjalankan amalan-amalan tarekat, muraqabah (meditasi) dan ilmu hikmah selama 8-16 tahun. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara semi-struktur, observasi fenomenologis, observasi dansignificant others. Dalam proses wawancara ini, untuk membantu proses pengumpulan data maka peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam dan alat tulis. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa subjek mengikuti tarekat karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan, juga karena dorongan ayah, dan subjek memiliki pengalaman transpersonal seperti merasakan kehadiran Tuhan, psikokinesis, memiliki kekuatan supernaturalserta dampak yang ditimbulkan dalam pengalaman transpersonal subjek merasa bahagia, tenang, lebih bersabar, lebih selektif, lebih merasa sehat secara psikologis dan fisik dan mengalami perubahan yang positif bagi dirinya terutama dalam beribadah dan hubungan sosial dan subjek dapat mengalami pengalaman transpersonal dikarenakan telah bangkitnya aliran tujuh energi lathifah dalam dirinya (organ halus tubuh) sehingga dapat mengalami pengalaman transpersonal. Judul : Pengalaman Transpersonal Pada Pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Nama/NPM : Muhammad Arief / 10503114 Pembimbing : Praesti Sedjo, S.Psi., M.Si. Abstraksi Perkembangan spiritual, termasuk di dalamnya pengalaman transpersonal, memungkinkan individu-individu untuk mencapai tingkat tertinggi kesadaran, kesehatan dan merepresentasikan potensi manusia yang melebihi aktualisasi diri. Tarekat sufi khususnya Qadariyyah wa Naqsyabandiyyah sebagai tradisi agung spiritualitas timur merupakan salah satu aspek dari agama yang berusaha menggali lebih dalam mengenai pengalaman-pengalaman spiritual dibandingkan hanya mendukung dogma atau doktrin agama. Dari pemaparan diatas, maka timbul pertanyaan mengenai mengapa subjek menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, bentuk tipe-tipe pengalaman transpersonal pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, serta bagaimana dampak pengalaman transpersonal pada pengamal tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan mengapa subjek pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat mengalami pengalaman-pengalaman transpersonal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa seseorang menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, untuk mengetahui tipe-tipe pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, untuk mengetahui dampak pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan untuk mengetahui mengapa subjek dapat mengalami pengalaman transpersonal. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kualitatif psikologi fenomenologi dalam bentuk studi kasus karena pendekatan tersebut sesuai digunakan pada masalah-masalah yang bertujuan untuk mengeksplorasi kesadaran transpersonal seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu subjek, dengan karakteristik Pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang telah menjalankan amalan-amalan tarekat, muraqabah (meditasi) dan ilmu hikmah selama 816 tahun. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara semi-struktur, observasi fenomenologis, observasi dan significant others. Dalam proses wawancara ini, untuk membantu proses pengumpulan data maka peneliti dilengkapi dengan pedoman wawancara, pedoman observasi, alat perekam dan alat tulis. Setelah dilakukan penelitian dapat diketahui bahwa subjek mengikuti tarekat karena ingin mendekatkan diri pada Tuhan, juga karena dorongan ayah, dan subjek memiliki pengalaman transpersonal seperti merasakan kehadiran Tuhan, psikokinesis, memiliki kekuatan supernatural serta dampak yang ditimbulkan dalam pengalaman transpersonal subjek merasa bahagia, tenang, lebih bersabar, lebih selektif, lebih merasa sehat secara psikologis dan fisik dan mengalami perubahan yang positif bagi dirinya terutama dalam beribadah dan hubungan sosial dan subjek dapat mengalami pengalaman transpersonal dikarenakan telah bangkitnya aliran tujuh energi lathifah dalam dirinya (organ halus tubuh) sehingga dapat mengalami pengalaman transpersonal. Kata Kunci : Pengalaman Transpersonal, Tasawuf, Sufi, Tarekat Qadariyyah Wa Naqsyabandiyyah A. Latar Belakang Masalah Spiritualitas semakin mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat modern dewasa ini (Munawwar, 2003). Aktivitas latihan-latihan spiritual telah diberi label sebagai spiritual atau religius. Meskipun demikian, gagasan religius memiliki jangkauan yang lebih luas terutama valensi negatif yang telah memiliki makna dengan membatasi ketaatan individu pada doktrin-doktrin yang dibentuk oleh institusional religius sehingga acapkali menghambat ekspresidiri seseorang. Di sisi lain, spiritualitas telah memiliki valensi positif sebagai pencarian kebermaknaan untuk kesatuan, transendensi dan potensi tertinggi manusia (Pargament dalam Baruss, 2003) dengan tidak mengimplikasikan ketaatan buta terhadap doktrin tertentu dalam bentuk apapun (Remen dalam Baruss, 2003). Dalam tradisi intelektual rasionalis transendental barat, spiritualitas telah diakui sebagai pencarian kebenaran universal (Taylor dalam Baruss, 2003), cakupan yang menyeluruh dan berdasarkan pengalaman langsung daripada sekedar dogma atau doktrin agama (Grof, 1996). Jadi aktivitas spiritualitas dapat berasal dari corak hidup spiritual dalam konteks aliran tradisional religius (Wallace dalam Baruss, 2003). Tarekat sufi sebagai tradisi agung spiritualitas timur merupakan salah satu aspek dari agama yang berusaha menggali lebih dalam mengenai pengalaman-pengalaman spiritual dibandingkan hanya mendukung dogma atau doktrin agama (Grof, 1996). Tarekat secara harfiah berarti “jalan” mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran-ajaran dan metode tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, muraqabah (meditasi) yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan m e la lui s e de re t am a la n - a ma la n berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama. Dari pengikut biasa (mansub) menjadi murid (tamid) selanjutnya pembantu Syekh atau wakil guru (khalifah-nya) dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid) (Bruinessen dalam Mulyati, 2006a). Seorang pengikut tarekat ketika melakukan amalan-amalan tarekat berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas kediriannya sebagai manusia dan mendekatkan diri ke sisi Allah. Dalam pengertian ini sering kali perkataan tarekat dianggap sinonim dengan istilah tasawuf, yaitu dimensi esoteris dan aspek yang mendalam dari agama Islam (Dhofier dalam Mulyati, 2006a). Di kalangan barat, istilah tasawuf lebih dikenal dengan sebutan sufisme (Mustofa, 2005). Sebagai istilah khusus, perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan “suatu organisasi ta re ka t” , ya itu s ua tu ke lom po k organisasi yang melakukan amalanamalan tertentu dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Dalam tradisi pesantren di Jawa, istilah tasawuf semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari “jalan-tarekat” itu. Sedangkan aspeknya yang bersifat etis dan praktis diistilahkan dengan tarekat (Dhofier dalam Mulyati, 2006a). Tarekat yang dibahas dalam penelitian ini adalah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyyah. Sufisme merupakan salah satu minat khusus orientasi penelitian mahzab keempat psikologi yaitu psikologi transpersonal (Grof, 1996). Dalam kajian psikologi transpersonal, sufisme didefinisikan sebagai mistisisme Islam (Frager, 1989) dan psikologi spiritual dari Timur (Tart, 2001). Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah adalah salah satu aliran dalam tasawuf atau sufisme (Praja dkk, 1995). Berdasarkan hal tersebut, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah adalah salah satu orientasi kajian penelitian psikologi transpersonal. Selanjutnya, Daniels (2006) mengemukakan pengalaman transpersonal mempunyai asumsi umum yang berarti berhubungan dengan ragam kesadaran yang lebih tinggi atau diri yang biasa terlewati. O`kane (1989) menjelaskan individu pengamal tarekat mampu melewati batasan-batasan kesadaran diri yang biasa untuk mengetahui kesadaran-kesadaran transendental atau transpersonal melalui hasil latihan-latihan spiritual dalam bentuk amalan-amalan dan muraqabah (meditasi). Berdasarkan uraian tersebut, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah merupakan salah satu jalan atau cara bagi individu untuk memperoleh pengalaman-pengalaman transpersonal. Penelitian-penelitian psikologi transpersonal di Amerika Serikat menunjukkan bahwa para pengamal tarekat memiliki pengalamanpengalaman transpersonal. Dalam literatur psikologi transperson al, pengamal tarekat memiliki pengalaman kesadaran kesatuan dengan lima elemen yaitu tanah, logam, udara, air dan api; pengalaman kesadaran mengetahui seluruh alam semesta sehingga dapat beridentifikasi dengan berbagai warisannya misalnya matahari, bulan, binatang, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya; indera keenam yaitu clairvoyance, clairaudience, telepati dan psikometri (membaca sejarah benda hanya dengan memegangnya), pengalaman keluar dari tubuh (out-ofbody-experience); lathoif (organ energi halus); pengalaman bertemu dan komunikasi dengan roh, kesadaran kosmik, bersatu dengan Tuhan (fana) (O`kane, 1989). Pengalaman kesadaran mengetahui seluruh tahap perkembangan setiap manusia, pengalaman kesadaran dengan tumbuh-tumbuhan serta aspekaspek eksistensi kehidupan lainnya kemudian pengala man kesatua n eksistensial dengan alam semesta serta mengetahui rahasianya, pengalaman mitologis, kemampuan indera keenam, pengalaman kesadaran mengetahui esensi-esensi ketuhanan, kemampuan menghilang atau teleportasi menuju ke tempat tujuannya dalam sekejap (Shafii dalam Safken, 1998). Pengalaman kesadaran tumbuhtumbuhan yang ber tasbih, tahan terhadap tusukan senjata tajam dan panasnya bara api, pengalaman puncak kesadaran bersatu dengan Tuhan (fana) (Frager, 2005) tetapi tiga penelitian psikologi transpersonal terdahulu tersebut belum menginvestigasi secara menyeluruh pengalaman transpersonal pada pengamal tarekat. Dengan kata lain, peneliti-peneliti tersebut tidak mengkhususkan penelitiannya untuk mengetahui seluruh pengalaman transpersonal pada pengamal tarekat. Diharapkan dengan penelitian orisinil pe nga la m a n tra ns p e rs ona l pa da pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah turut memperkaya keilmuan psikologi transpersonal khususnya di bidang tarekat. Penelitian sejarah tarekat di Indonesia juga melaporkan para pengamal tarekat di Indonesia dari hasil latihan amalan ilmu hikmah memiliki kemampuan pengobatan spritual, kemampuan menghilang, memukul lawan dari jarak jauh dan kekuatan-kekuatan dahsyat lainnya untuk masuk ke dalam tubuhnya sendiri (sambatan) kemudian kemampuan memperagakan seni beladiri apapun tanpa mempelajari seni fisiknya, melihat serta komunikasi dengan jin, debus (ilmu kekebalan tubuh) dan kekuatan-kekuatan supernatural lainnya (hadiran) (Bruinessen, 1999) dan komunikasi pribadi peneliti dengan para pengamal tarekat diantaranya Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah bahwa mereka memiliki pengalaman pengalaman transpersonal. Perkembangan spiritual, termasuk di dalamnya pengalaman transpersonal, memungkinkan individuindividu untuk mencapai tingkat tertinggi kesadaran, kesehatan yang dipertimbangkan dan merepresentasikan p ote n s i m a n us ia y a n g m e le b ih i aktualisasi diri (Cowley, 1993). Potensi itu dicapai sufi dengan menemukan kedamaian, kebenaran, mengenal Tuhan sehingga mendapatkan nilai-nilai dan aspek-aspek aktualisasi diri yang transenden. Ini juga mengembangkan aspek-aspek tambahan dari kehidupannya, yaitu karakteristik yang lebih maju. Pada setiap perkembangannya, sufisme atau tasawuf memberikan manfaat, termasuk setiap aspek dari kehidupan sehari-hari. (Wilcox, 2003). Sebagai salah satu tradisi agung spiritualitas Timur, Tarekat Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah merupakan suatu jalan bagi para pengamalnya menuju pengalaman transpersonal. Pengalaman transpersonal mengantarkan manusia menuju kehidupan positif yang lebih bermakna dan sebagai hubungan dirinya dengan lingkungannya baik itu sesama manusia, segala bentuk alam materi ataupun non materi dan ketuhanan. B. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini disusun untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa subjek menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah? 2. T i p e - t i p e pengalaman transpersonal apa saja yang termasuk di dalam pengalaman pengamal Tare ka t Q a diriyya h w a Naqsyabandiyyah? 3. Bagaimanakah dampak pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah? 4. Mengapa subjek pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat mengalami pengalaman transpersonal? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menapa seseorang menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, tipe-tipe pengalaman pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah, dampak pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dan mengapa pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat mengalami pengalaman transpersonal. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki dua manfaat yaitu: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini memperkuat penelitian dari Shafii (dalam Shafken, 1998), Bruinessen (1999) dan O`kane (1989) dan sebagai penelitian yang mengivestigasi penuh pengalaman transpersonal pada pengamal tarekat diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat untuk psikologi transpersonal dengan memberikan tambahan data tentang pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Selanjutnya, memperluas dan menambah wawasan peneliti-peneliti di bidang psikologi khususnya psikologi jungian, parapsikologi dan psikologi fenomenologi tentang struktur-stuktur kesadaran transpersonal akan kemampuan pengamal tarekat. Bagi psikologi maupun para ilmuwan sosial lainnya diharapkan dengan adanya penelitian ini sebagai langkah awal dalam mempelajari ilmu pengetahuan autentik melalui studi empiris tradisi intelektual transendental tentang penelitian kesadaran transpersonal 2. Manfaat Praktis Memperluas dan menambah khasanah, wawasan, pengetahuan, manfaat praktek-praktek spiritual Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah sehingga dapat dijadikan contoh oleh para praktisi spiritual untuk memahami pengalaman-pengalaman transpersonal. Bagi psikolog dan psikiater agar memahami secara lebih mendalam potensi-potensi, kemampuan-kemampuan tertinggi manusia sehingga mendapatkan pemahaman mendalam tentang spiritualitas. Sedangkan untuk ma s ya ra ka t um um aga r le bih mengethaui manfaat latihan-latihan spiritual dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupannya serta mendapatkan pemahaman mendalam mengenai spiritualitas. Hal yang terpenting dari semuanya yaitu pengalaman-pengalaman transpersonal dapat dipahami secara intelektual transendental. E. Pengalaman Transpersonal 1. Pengertian Pengalaman Transpersonal Pengalaman-pengalaman transpersonal memiliki nama-nama lain dan menyerupai pengalamanpengalaman praeternatural (Nelson, 1989), pengalaman-pengalaman luar biasa manusia (Braud dan Palmer, 2002), pengalaman-pengalaman transendental (Baruss, 2003) dan pengalaman-pengalaman spiritual (Hardy dalam Hibbard, 2007). Grof (1988) mendefinisikan pengalaman transpersonal sebagai perluasan kesadaran fenomenologis melewati batasan biasa diri-tubuh dan melewati batasan ruang serta waktu. 2. Kategori Pengalaman Transpersonal Grof (1988) secara keseluruhan pengalaman transpersonal dapat dibagi menjadi tiga kategori besar, yaitu : a. Pengalaman Perluasan dalam Konsensus Realitas dan Ruang Waktu 1) Transendensi batasan ruang Pengalaman t rans personal melibatkan transendensi dari ruang rintangan yang sebelumnya dinyatakan bahwa batasan-batasan antara individu dan kesatuan dengan alam semesta belum dapat diperbaiki dan absolut. Dalam keadaan khusus, sangat memungkinkan sekali untuk mengidentifikasi diri dengan alam semesta termasuk di dalamnya menyatukan alam semesta atau kosmos dengan diri. Secara spesifik tipe-tipe pengalamannya terdiri dari pengalaman dua rangkap yang menyatu (perasaan bergabung dengan orang lain tetapi tetap menahan identitas kesadaran dirinya), identifikasi dengan orang lain (pengalaman identifikasi menyeluruh dengan orang lain sehingga kehilangan kesadaran identitas diri sendiri secara sementara), identifikasi grup serta kesadaran grup, identifikasi dengan binatangbinatang, identifikasi dengan tumbuh-tumbuhan serta prosesproses yang berkaitan dengan tumbuhan, kesatuan dengan kehidupan serta semua penciptaannya, pengalaman dengan zat benda mati serta proses anorganik, kesadaran yang berhubungan dengan planet, pengalaman-pengalaman di luar bum i, ide ntifika si de nga n keseluruhan fisik alam semesta dan fenomena paranormal yang mencakup transendensi tempat (pengalaman keluar dari tubuh, clairvoyance dan clairaudience menjelajahi kejadian yang terjadi saat itu juga). 2) Transendensi batasan waktu linier Secara spesifik tipe-tipe pengalamannya terdiri dari pengalaman-pengalaman embrio dan janin (intrauterine & prenatal), pengalaman-pengalaman leluhur (perasaan kemunduran sejarah dan identfikasi dengan salah satu leluhur), pengalaman-pengalaman rasial serta kolektif (identifikasi dengan anggota-anggota dengan kesamaan etnisitas atau kemanusiaan secara keseluruhan), pengalaman inkarnasi masa lalu (perasaan meyakini suatu kejadian di kehidupan lainnya misalnya deja vu), pengalaman-pengalaman sejarah genetik (identifikasi total dengan anggota-anggota spesies lain tapi dengan perasaan meyakini kemunduran waktu sejarah awal evolusioner), pengalamanpengalaman yang berhubungan dengan evolusi planet (menyaksikan imej -imej panorama evolusi planet), pengalaman-pengalaman kosmogenetik (menyaksikan panorama evolusi seluruh alam semesta) dan fenomena paranormal meliputi transendensi waktu (prekognisi, clairvoyance kejadian masa lalu & depan, clairaudience masa lalu & depan, psikometri yaitu membaca sejarah benda dengan cara memegang benda tersebut dan menjelajahi waktu) kemudian introversi fisik serta bagian sempit kesadaran: organ, jaringan otot serta kesadaran yang berhubungan dengan sel (kesadaran ruang bagian dalam dari fisik bahkan beridentifikasi secara fenomenologis dengan organorgan, jaringan-jaringan otot dan selsel). b. Pengalaman Perluasan Melewati Realitas Konsensus dan Ruang Waktu Dalam grup besar pengalaman transpersonal ini, perluasan kesadaran menuju melewati dunia fenomenal dan jarak waktu merupakan rangkaian kesatuan yang dirasakan dalam seluruh kehidupan termasuk khususnya fenomena astral-paranormal. Dalam peristiwa tersebut, subjek melaporkan petualangan fantastik yang nampaknya dapat terjadi di seluruh alam semesta yang kita miliki. Dalam tahap-tahap kesadaran yang tidak pada biasanya, imej-imej dunia terdahulu (primordial) dari ketidaksadaran kolektif sebagaimana diuraikan oleh Jung (dalam Grof, 1988) dapat memasuki kehidupan. Secara spesifik tipe-tipe pengalamannya terdiri dari pengalaman-pengalaman arwah dan mediumisasi (bertemu dan komunikasi telepatik dengan orang yang sudah meninggal), fenomena energi organ halus (melihat dan mengalami bidang serta aliran energi misalnya melihat aura, merasakan energi organ halus dan membaca penyakit orang lain) pengalamanpengalaman dengan roh-roh binatang (merasakan kedalaman serta bertemu dengan esensi arkhetipal binatangbinatang), pertemuan dengan roh-roh pe m bim bing se rta e ksis te ns i keberadaan manusia super (guruguru, pembimbing-pembimbing dan protektor-protektor dari dunia spiritual) berkunjung ke alam semesta yang berbeda serta bertemu dengan penghuninya (berjumpa serta berkomunikasi dengan alien & melihat piring terbang alien) pengalaman mitologis serta rangkaian cerita dongeng (dunia legenda-legenda dan dongengdongeng secara literal datang ke kehidupan seperti perjuangan sebagai pahlawan yang memiliki resolusi positif), pengalamanpengalaman kebahagiaan khusus serta kemarahan dewa -dewa, pengalaman-pengalaman arkhetipe universal (kedalaman pola-pola universal di dalam jiwa yang mereprentasikan generalisasi biologis, psikologis, sosial dan profesional misalnya wanita, pria, ayah, ibu, anak dan anak), pemahaman intuitif tentang simbolsimbol universal (insight tentang makna simbol-simbol esoteris yang terkait dengan realitas transendental), inspirasi kreatif serta dorongan keberanian hati (artistik, ilmiah, filosofis, inspirasi religius, pemecahan masalah dan kreativitas), pengalaman dengan pencipta alam semesta serta tercapainya wawasan kreasi kosmik (perasaan berjumpa atau merasakan kehadiran sang pencipta alam semesta), pengalaman ke s a da ra n kos m ik ( pe ra s a a n ketidakterbatasan, tak diduga serta tak terlukiskan mencakup totalitas eksistensi dan menjangkau pokok yang mendasari seluruh realitas biasanya diungkapkan dalam bentuk syair atau sajak) dan suprakosmik serta kehampaan metakosmik (identifikasi fenomenologis dengan permulaan kekosongan, ketiadaan dan kehampaan menuju kejernihan hati). c. Pengalaman Transpersonal bersifat Psychoid Fenomena transpersonal bersifat psychoid memiliki karakteristikkarakteristik ganjil. Pada satu sisi, psychoid menjelaskan peristiwaperistiwa di dalam subjektifitas paranormal. Pada sisi lain, psychoid menjelaskan konektivitas penuh arti dengan perubahan-perubahan fisik tertentu dalam realitas dunia umum. Istilah psychoid yang digunakan di sini memberikan kesan bahwa fenomena psychoid adalah peranakan-peranakan ganjil yang ada dalam zona waktu antara kesadaran dan perkara. Jung dalam (Grof, 1988) menggunakan istilah psychoid dalam hubungan sifat khusus arkhetipe-arkhetipe dan jiwa yang menyebabkan peristiwa-peristiwa sinkronisitas, sebagai tambahan untuk elemen-elemen dunia material. Di sini diambil kebebasan untuk memperluas ke tipe-tipe fenomena lain yang didiskusikan dalam golongan ini. 1) Hubungan-hubungan sinkronisitas diantara kesadaran dan perkara Dalam konteks ini, difokuskan pada bentuk sinkronisitas yang paling menarik yaitu suatu hubungan kekhususan individu pada peristiwaperistiwa dalam paranormal dengan peristiwa-peristiwa fisik dalam kehidupan individu. Peristiwaperistiwa sinkronisitas semacam ini berasosiasi dengan seluruh bentukbentuk pengalaman transpersonal. Pengalaman transpersonal subjek muncul saat mendekati situasi atau peristiwa yang membahayakan dirinya meskipun disebabkan oleh orang lain atau faktor -faktor eksternal independen. Keadaan atau situasi berbahaya yang dialami subjek cenderung terpecahkan secara magis sampai selesai. 2) Kejadian-kejadian psychoid yang terjadi secara spontan Secara spesifik tipe-tipe pengalamannya terdiri dari kekuatankekuatan fisik supernormal (perubahan-perubahan spektakuler fisiologis dalam tubuh atau kekuatan fisik), fenomena makhluk halus (melihat, berjumpa serta berkomunikasi dengan makhluk halus) serta mediumisasi fisik (komunikasi-komunikasi nyata termasuk suara, pembicaraan, telekinesis dan materialisasi), kejadian psikokinesis secara spontan atau ketukan peri ( poltergeist ), objek-objek terbang yang tidak teridentifikasi (UFO dan fenomena alien yang dijumpai secara fisik). 3) Psikokinesis yang disengaja Psikokinesis yang disengaja didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi lingkungan materi tanpa intervensi fisik dari tubuh (otot-otot dan kelenjarkelenjar) dengan kehendak sederhana sehingga menimbulkan suatu peristiwa yang dikehendakinya atau dengan melakukan suatu tindakan yang diluar dari kebiasaan hubungan antara sebab dan akibat sebagai hasilnya. Secara spesifik tipe-tipe pengalamannya terdiri dari upacara magis, penyembuhan (penyembuhan spiritual) serta menjatuhkan kutukan, kekuatankekuatan supernatural (eksistensi fisik lebih dari satu di suatu tempat dalam waktu yang bersamaan, ilmu kekebalan tubuh, levitasi) dan psikokinesis laboratorium (mempengaruhi objek dari jarak jauh). 3. Dampak Pengalaman Transpersonal Dampak pada kehidupan dari pengalaman-pengalaman luar biasa atau pengalaman-pengalaman transpersonal dibawah ini, yaitu (Braud dan Palmer, 2002): a. Aspek-aspek bermakna 1. Keterbukaan yaitu sebagian subjek memiliki kepercayaankepercayaan dan sikap-sikap sangat positif. Mereka melaporkan perluasan dan kedalaman kepercayaankepercayaan dan sikap-sikap mengenai pengalamannya dan spiritualitas yaitu subjek lebih menyukai untuk menginterpretasikan dan menemukan kebermaknaan pengalaman-pengalamannya sebagai pengalaman-pengalaman spiritual. 2. Spiritualitas yaitu subjek lebih menyukai untuk menginterpretasikan dan menemukan kebermaknaan pengalaman-pengalamannya sebagai pengalaman-pengalaman spiritual. 3. Aspek-aspek kebutuhan-hubungan yaitu subjek menguraikan bagaimana banyak pengalamannya menunjukkan sebagai ”pengalaman- pengalaman menolong”, tepat di saat subjek membutuhkannya. b. Peningkatan keterbukaan 1. Keterbukaan selektif yaitu subjek menguraikan bagaimana keterbukaan pengalamanpengalamannya mendapatkan tempat utama dengan anggotaanggota keluarga terdekat dan grup khusus dengan orang yang dirasa aman untuk berbagi tipetipe pengalamannya. 2. Aspek-aspek bermanfaat yaitu berbagi pengalaman memiliki efek-efek bermanfaat bagi subjek misalnya menghubungkan dirinya secara lebih mendalam, peningkatan tingkat kedalaman kepada diri, orang lain, alam dan kehidupan secara keseluruhan. c. Manfaat psikologis dan fisik Manfaat-manfaat psikologis dan fisik dilaporkan hampir seluruh subjek yang memiliki pengalamanpengalaman luar biasa atau transpersonal melaporkan manfaat kesehatan seperti menurunkan stress, membantu dalam mengurangi penyakit dan penderitaan di kehidupannya. d. Kehadiran spiritualitas Kehadiran spiritualitas adalah s e g i t e ra k h i r d a l a m k u a l i t a s kelompok sindrom lebih baik (wellness). Spiritualitas memiliki banyak definisi, terhadap definisi studi ini, spiritual didefinisikan sebagai suatu perasaan interkonektivitas, perasaan ”lebih” atau sebagai diri terbesar, puncak atau nilai-nilai mendalam. Subjek menguraikan banyak pengalamannya memiliki aspek-aspek spiritual yang berkontribusi bagi pertumbuhan spiritual dan keadaan sehat spiritual. e. Aspek-aspek perubahan transformatif Eksplorasi perubahan dan transformasi dengan pengalamanpengalaman luar biasa atau transpersonal dilaporkan oleh subjek dalam kehidupan sehari -hari. Sebagian besar subjek mengamati pengalamannya mempengaruhi kehidupannya secara positif serta luar biasa menolong diantaranya memberikan bimbingan, penyingkapan kesadaran, keterbukaan, konektivitas dan peluang untuk perubahan transformatif. 4. Aktivasi lathoif (organ halus) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah O`Kane (1989) seorang psikolog transpersonal dan khalifah tarekat menjelaskan seluruh latihan-latihan spiritual dalam tarekat (termasuk Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah) mencakup pembukaan berbagai lathifah. Lathifah yang berarti kehalusan juga memiliki arti roda yang dialami sebagai hubungan antara berbagai sirkuit, semacam jari-jari dari roda. Lathifah-lathifah (lathoif) juga menggambarkan sirkuit urat-urat syaraf pusat serta sistem autonomik yang membentuk tiang fondasi kesadaran serta menggerakkan lintasan energi di dalam lathifah yang berkorespondensi dengan kesadaran pengalaman transpersonal.` Elemen penting atau utama lainnya adalah hubungan suara-suara khusus dalam tiap-tiap tipe wazifa (amalan tarekat, amalan m ur a q a b a h da n a m a la n ilm u hikmah) dengan lathoif (lathifahlathifah) yang diaktifkan sehingga pengulangan doa-doa dalam bentuk amalan tersebut memunculkan impresi idea tertentu yang nyata serta jelas melalui kedalaman pikiran alam bawah sadar pengamal tarekat dalam bentuk peruba han - perubaha n kesadaran. Amalan utama yang diamalkan dalam Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah adalah dzikir lathoif (lathifah-lathifah). Dengan dzikir ini, seseorang memusatkan kesadarannya berturut-turut pada tujuh titik halus (lathoif) pada tubuh (Syaikhu, 2003). Aktifnya energi lathifah qalab mengha s ilka n kesadaran diri dengan tubuh serta ke sa da ra n diri; lathifah nafs menghasilkan kesadaran identitas hubungan diri dengan orang lain; lathifah qalb menghasilkan kesadaran teori adlerian serta kesadaran bersama; lathifah sirr menghasilkan kesadaran nilai-nilai altruistik, psikologi jungian, pe n ga la m a n pe rta m a de n ga n ketuhanan di dalam diri, kesadaran alam semesta; lathifah ruh menghasilkan kapasitas kesadaran bidang pengalaman mental, realitas dunia ruh dan mendengarkan suara hati diri serta orang lain; lathifah khafi menghasilkan kesadaran indera keenam, kekuatan-kekuatan paranormal atau supernatural serta diri sebagai psike dan puncaknya yaitu lathifah haqq menghasilkan kesadaran non-dualitas (suprakosmik dan kehampaan metakosmik) dan non-duality. Dengan kata lain, keeksisan diri sebagai suatu entitas yang tidak terpisah (O`Kane, 1989). F. Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah 1. Pengertian Tarekat Sebelum menjelaskan tarekat, akan dijelaskan terlebih dahulu pengertian dan hubungan antara tasawuf, tarekat dan sufi. Ajibah dalam Isa (2007) mengemukakan para ulama berpendapat bahwa, asal mula kata tasawuf berasal dari bahasa arab yaitu al-shuf (bulu domba), al-sifah (jernih) Tasawuf dalam Islam bersumber dari teladan perilaku Rasul umat Islam yaitu Nabi Muhammad (Siregar, 2002). Kata tarekat berasal dari bahasa arab yaitu thariqah yang berarti al-khat fi al-syai` (garis sesuatu), al-sirah (jalan) dan alsabil (jalan) (Mukram dalam Jamil, 2005). Hubungan langsung antara tasawuf dan tarekat terlihat dari tarekat sebagai pengorganisasian tasawuf yang berkembang dalam berbagai aliran. Bila tasawuf adalah sebuah konsep, maka tarekat adalah jalan untuk mewujudkan konsep tasawuf tersebut. Tarekat adalah pelembagaan ajaran tasawuf ya ng dila kuka n oleh Wali (Ulama sufi) untuk menjaga ajarannya (Siregar, 2002). Dalam bahasa arab, shufi (sufi) memiliki beberapa makna, termasuk suci dan wol (para sufi terdahulu mengenakan mantel wol sederhana dan mencari kesucian batiniah). Seseorang yang mengamalkan tarekat disebut sufi (Frager, 2005). Kaum sufi dibagi menjadi dua golongan yaitu kategori tasawuf akhlaqiy (perilaku) merupakan golongan yang mengutamakan tasawuf sebagai alat untuk pembentukan akhlak (perilaku) mulia dan golongan tasawuf falsafi (filsafat) yaitu tasawuf yang menekankan pada aspek filsafat-nya. Persamaannya ialah sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan akhir (Praja, 1995). 2. Pengertian Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah ialah sebuah tarekat gabungan dari Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah. Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas (Mulyati, 2006b). Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah tampil sebagai sebuah tarekat gabungan karena Syekh Sambas adalah seorang Syekh dari kedua tarekat tersebut (Att as dalam Mulyati, 2006b) dan mengajarkannya dalam satu versi (Mulyati, 2006b) namun dalam prakteknya, Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah lebih menekankan unsur-unsur Qadiriyyah daripada unsur-unsur Naqsyabandiyyah (Bruinessen, 1999). Selanjutnya, Syekh Ahmad Khatib Sambas menjelaskan silsilah Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yaitu (Sambas, 1983) dimulai dari Allah SWT – Malaikat Jibril – Nabi Muhammad SAW – Sayyidina Ali bin Abi Thalib – Imam Husain - Imam Zainul Abidin – Syekh Muhammad AlBaqir – Imam Ja`far – Syekh Musa Al-Kazim – Syekh Abi Al-Hasan – Syekh Ma`ruf Al-Karkhi – Syekh Sari Al-Saqati – Syekh Al-Ta`ifa – Syekh Abi Bakar Al-Shibli – Syekh Abdul Wahid Al-Tamimi – Syekh Abu Al- Faraj – Syekh Abi Hasan – Syekh Abi Said – Sulthon Al-Awliya Syekh Abdul Qadir Jaelani – Syekh Muhammad Al-Hattak – Syekh Saraf – Syekh Nur – Syekh Wali – Syekh Husam – Syekh Yahya – Syekh Abu Bakar – Syekh Abdul Al-Rahim – Syekh Uthman – Syekh Syekh Abdul Al-Fatah – Syekh Muhammad Murad – Syekh Syamsuddin – Syekh Ahmad Khatib Sambas. 3. Amalan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Amalan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah terdiri dari serangkaian teknik-teknik spiritual dan praktik-praktik ibadah yang khas. Hal terpenting dari semua ibadah tersebut adalah dzikir (bahasa Arab: dzikr ,”mengingat Tuhan”), yang berisi pembacaan nama-nama Allah dan kalimat “La ilaha illa Allah” dengan cara yang khas dan jumlah yang sudah ditentukan, serta berbagai rangkaian doa (hizib, shalawat) atau doa yang panjang (ratib, wirid). Pembacaan ini kadangkala digabungkan dengan pengaturan nafas, gerakan tubuh tertentu dan kadang-kadang juga terdapat beberapa amalan asketik. Kegunaan atau manfaat dari amalanamalan tersebut hanya dapat “dibeli” dengan berpuasa atau pengekangan diri lainnya di bawah bimbingan guru. Tarekat Qadiriyyah w a Naqsyabandiyyah juga mempunyai teorinya yang khas tentang hal dan maqam (tingkatan) ruhani yang akan dicapai oleh para pengamalnya melalui latihan-latihan tersebut (Bruinessen, 1999). Sedangkan amalan ilmu hikmah adalah amalan yang terdiri dari berbagai jenis. Ada satu jenis amalan memiliki banyak fungsi tetapi pada umumnya satu amalan untuk satu fungsi. Mulai yang berfungsi untuk beladiri hadiran yaitu mampu melakukan berbagai teknik beladiri apapun tanpa perlu mempelajari teknik fisik beladiri tersebut, memukul lawan dari jarak jauh, melihat dan berkomunikasi dengan makhluk halus, ilmu kekebalan tubuh dari hantaman senjata tajam serta tembakan peluru, melariskan dagangan, pengobatan dan lain sebagainya (Luthi dalam Jindan, 2007). Hubungannya dengan tarekat adalah ilmu-ilmu hikmah sering melekat pada tarekat, banyak Mursyid Tarekat sekaligus punya nama sebagai ahli hikmah. Hal yang perlu dicatat bahwa amalan-amalan ilmu hikmah bukanlah tujuan utama dalam bertarekat (Bruinessen, 1999). 4. Mengapa Seseorang Mengikuti Tarekat Alasan-alasan mengapa seseorang mengikuti tarekat adalah sebagai berikut: a. Individu ingin melengkapi kewajiban-kewajiban agama lahir karena tidak merasa cukup melaksanakan kewajbankewajiban itu sehingga ditambahnya dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah yang akan meninggikan kedudukannya di sisi Allah SWT. Kewajibankewajiban itu menyampaikannya kepada posisi dekat Allah dan amalan-amalan sunnah itu menyampaikannya kepada kedudukan dicintai Allah SWT (Qadhawi, 1995). b. Frager (2005) mengemukakan permulaan seseorang mengikuti tarekat tertentu, biasanya diawali ketertarikan terhadap untaian kata seorang filsuf atau penyair sufi besar. Langkah selanjutnya berhubungan dengan para sufi dan menjadi akrab dengan adat istiadat dan praktek-praktek spiritual mereka. c. Sebelum memasuki dunia tarekat, seseorang masih dalam pengembaraan spiritual, mencoba mencari jati diri dan memecahkan masalah yang tengah dihadapinya dengan mendekatkan diri kepada Tuhan. Inilah momen dimana seseorang memasuki dunia tarekat dan orang yang mendapatkan manfaat dari coping ini, semakin pasti melangkah untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan (Aida, 2005). G. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pe nde ka ta n kua litatif ps ikologi fenomenologi dengan bentuk studi kasus yang bermaksud mendeskripsikan hasil penelitian dan berusaha menemukan gambaran menyeluruh mengenai suatu pengalaman. Menurut Baruss (2003) perspektif tentang kesadaran terdiri dari tiga pendekatan penelitian yaitu fisiologis, kognitif dan experiential. Perspektif experiential terkait dengan pengalaman kesadaran yang dimiliki oleh individu itu sendiri. Perspektif ini dike na l juga se ba ga i pe rs pe ktif fenomenologis yang berarti fenomena yang tampil seperti apa adanya tanpa melalui perubahan ke dalam beberapa hal konseptualisasinya. Perspektif terhadap kesadaran tersebut digunakan oleh psikologi, filsafat, antropologi dan studi-studi spiritual melalui metode introspeksi. Dengan kata lain, individu itu sendiri yang memeriksa isi pengalaman-pengalamannya sebagai metode pemeriksaan utama dalam penelitian. Grof (1988) mengemukakan pengalaman-pengalaman transpersonal merefleksikan realitas experiential. Hal tersebut juga diperkuat oleh Valle dan Mos h (1998) ba hwa pe ne litia n penelitian pengalaman transpersonal menggunakan pendekatan penelitian kualitatif psikologi fenomenologi. Menurut Stake (dalam Basuki, 2006), penelitian studi kasus adalah suatu penelitian (inquiry) atau studi tentang suatu masalah yang memiliki sifat kekhususan (particularity) dapat dilakukan baik dengan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif dengan sasaran perorangan (individual) maupun kelompok bahkan masyarakat luas. H. Subjek Penelitian 1. Karakteristik Subjek Pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yang telah menjalankan amalan-amalan tarekat, muraqabah (meditasi) dan ilmu hikmah minimal selama 8-16 tahun. 2. Jumlah Subjek Penelitian Menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), jumlah subjek tergantung pada apa yang ingin diteliti, tujuan penelitian, pertimbangan waktu dan sumber yang tersedia. Agar tercapai penelitian yang terfokus dan mendalam maka peneliti menggunakan subjek 1 (satu) orang. I. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode wawancara, observasi fenomenologis dan observasi, berikut ini adalah penjabaran lengkap mengenai tiga metode yang digunakan dalam penelitian: 1. Metode Wawancara Wawancara semi-struktur menggunakan suatu standarisasi daftar wawancara. Daftar wawancara terdiri dari beberapa urutan pertanyaan-pertanyaan yang pada umumnya ditetapkan terlebih dahulu. Bagaimanapun, tipe wawancara semi- struktur tidak sepenuhnya tergantung pada ketetapan penggunaan daftar wawancara (Langridge, 2004). Interviewer bebas untuk menggali dan improvisasi pertanyaan-pertanyaan berikutnya. Pertanyaanpertanyaan biasanya tak dibatasi karena ”tujuannya untuk mendorong komunikasi, menggali dan mendorong urutan respon informan untuk mencari perluasan, penjelasan dan hal-hal spesifik selanjutnya” (Arksey & Knight, 1999). Arksey & Knight (1999) mengemukakan agar fleksibilitas wawancara semi-struktur tetap terjaga, dilakukan hal sebagai berikut yaitu urutan pertanyaan yang bervariasi disesuaikan dengan alur wawancara, susunan kata pertanyaan bervariasi untuk membantu pembicaraan terlihat natural, biarkan wawancara terlihat mengalir dan berikan perhatian untuk membangun kepercayaan dan hubungan. Pertanyaan-pertanyaan sebaiknya dapat dimengerti dengan jelas, tepat, relevan, sederhana dan tidak ambigu. 2. Metode Observasi Fenomenologis Metode introspeksi kadangkala disebut dengan observasi fenomenologis (Higgard dalam Pekala dan Cardena, 2000) sebagai suatu objek dari legitimasi penelitian ilmiah (Pekala dan Cardena, 2000) sebagai contoh Mcclelland & Rumelhart (dalam Pekala dan Cardena, 2000) mendemonstrasikan bahwa keterangan kesadaran dapat dibentuk secara teoritis dan diteliti berdasarkan pengalaman. Farthing (dalam Pekala dan Cardena, 2000) menekankan introspeksi tidak memerlukan observasi langsung terhadap pengalaman kesadaran tetapi refleksi yang berlangsung dalam pengalaman kesadaran: ”Hal tersebut merupakan bentuk kesadaran reflektif dan cara berpikir mengenai pengalaman individu itu sendiri. Awal ”arus” pengalaman adalah hal utama kesadaran”. Oleh karena itu, Pekala dan Cardena (2000) menegaskan introspeksi mencakup deskripsi isi-isi dan proses pengalaman kesadaran tanpa elaborasi, kesimpulankesimpulan, atribusi-atribusi; dengan kata lain, individu yang ”mengobservasi” isi-isi kesadaran serta menggambarkan ”arus” pengalamannya melalui periode introspeksi pada saat peneliti mengajukan pertanyaan. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Baruss (2003) bahwa tiap-tiap orang mengembangkan idea-idea atau gagasan-gagasan tentang sifat kesadaran berdasarkan pengalaman-pengalaman melalui observasi-observasi yang dilakukan oleh subjek itu sendiri. Strategi ini telah diakui berbagai peneliti-peneliti kesadaran la innya m is a lnya D e nne t; Mandler dalam Baruss (2003). Faktanya, suatu tahap-tahap kesadaran transendental atau transpersonal akan tetap sulit dimengerti kecuali kalau individu itu sendiri telah memasuki kesadaran tersebut untuk dapat memahaminya (Wulff dalam Baruss, 2003). Selanjutnya, tidak cukup bagi peneliti yang tetap sebagai observer yang tidak tertarik untuk mengetahui tahaptahap kesadaran transendental atau transpersonal tetapi membutuhkan observer yang aktif menjadi subjek jika ingin mengetahui kesadaran tersebut (Merrel-Wolff dalam Baruss, 2003). Berdasarkan uraian di atas, peneliti memiliki kualifikasi sebagai observer yang aktif sebagai subjek. Hal tersebut dikarenakan peneliti dan subjek sama-sama pengamal tarekat. Meskipun peneliti bukan pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah namun mengamalkan Tarekat Naqsyabandiyyah selama 5 tahun yang sekarang ini aktif sebagai murid (tamid) dan anggota Perguruan Pencak Silat Pejuang Siliwangi selama 8 tahun yang juga menggunakan amalanamalan ilmu hikmah dari tarekat sebagai tambahan kemampuan untuk melengkapi kemampuan beladiri fisik. Oleh karena itu, kapasitas peneliti sebagai observer yang aktif menjadi subjek dapat membantu dalam memahami tahap-tahap kesadaran transpersonal yang dideskripsikan oleh subjek kepada peneliti. 3. Metode Observasi Peneliti juga melakukan observasi, dimana peneliti memperhatikan dan mencatat aktivitas–aktivitas yang berlangsung, serta orang- orang yang terlibat dalam kejadian. Observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya. Observasi yang akan dilakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek selama wawancara, interaksi subjek dengan penelitian dan hal–hal lain yang dianggap relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara (Poerwandari, 2001). Selanjutnya, Pekala dan Cardena (2000) mengemukakan apabila memungkinkan peneliti dapat mencoba mengobservasi keakuratan pengalaman experiential yang bersifat psikofenomenologis sebagai usaha dalam menilai perubahanperubahan subjektif (kesadaran) yang bersamaan dengan bukti fisik yang bertujuan menetapkan bukti sifat fisik pengalaman te rs e b u t. Be r da s a r ka n ha l tersebut, peneliti akan meminta kepada subjek untuk mendemonstrasikan pengalamanpengalaman transpersonal yang berkombinasi antara aspek fisik da n a s pe k ke s a da r a n ji ka memiliki pengalaman tersebut sehingga peneliti dapat mengobservasi langsung aspek fisik pengalaman tersebut. J. Keakuratan Penelitian Pekala dan Cardena (2000) mengemukakan empat macam teknik triangulasi penelitian psikologi fenomenologi terhadap kesadaran experiential, yaitu: 1. Triangulasi Data Menggunakan sumber data yaitu hasil wawancara, dokumen pribadi serta sejarah kehidupan subjek, hasil wawancara significant other sebagai penguat hasil introspeksi subjek dan hasil pengamatan terhadap pengalaman transpersonal subjek yang memiliki aspek fisik. 2. Triangulasi Pengamat Pengamat lainnya yang turut memeriksa hasil pengumpulan data dalam konteks penelitian tersebut. Dalam penelitian ini, beberapa pengamat yaitu dosen pembimbing yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data. 3. Triangulasi Teori Penggunaan teori yang berlainan untuk memastikan bahwa data yang dikumpulkan sudah memenuhi syarat. Pada penelitian ini, berbagai teori telah dijelaskan pada bab II. 4. Triangulasi Metode Metode cross-check dengan sumber-sumber data dapat diharapkan menguatkan informasi. K. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk pengalaman transpersonal ini pada dasarnya mengikuti metode pembandingan tetap ( constant comparison method) dari Glaser dan Strauss (dalam Hibbard, 2007) yang menggunakan rangkaian tahap-tahap analisis data agar dapat memperkirakan data “bagaimana untuk menggambarkan agar dapat ditulis atau direkam ke dalam alatalat material peneliti, membuat dan mengklasifikasikan pengalamanpengalaman subjek” ke dalam kategori pengalaman transpersonal. Isi analisis data terdapat tujuh tahap, yaitu (Hibbard, 2007): 1. Pembacaan awal (Initial reading). Tiap deskripsi verbal dari suatu pengalaman terdokumentasi dalam rekaman kemudian disalin ke suatu lembar kertas yang terpisah. 2. Meninjau deskripsi secara luas (Overview of descriptions). Membaca setiap lembar kertas untuk mendapatkan suatu “rasa” tentative (bersifat sementara) terhadap tipe-tipe pengalaman yang telah dilaporkan. Perhatian diberikan lebih menyeluruh kepada pola-pola dan bentukbentuk dengan lebih detail. 3. Mengidentifikasi deskriptor (Identifying Descriptors). Setiap lembar dibaca kembali untuk identifikasi karakteristikkarakteristik deskriptif atau sifat dari tiap-tiap pengalaman. Deskriptornya dicatat dengan pensil di tiap-tiap kertas paling bawah. 4. Pemisahan awal (Initial sorting). Setiap lembar sementara digolongkan kedalam sifat penggelompokan atau kategori yang mengandung kemiripan atau menyerupai tipe-tipe pengalaman. Suatu label deskriptif sementara ditempatkan kepada tiap penggelompokan atau kategori. 5. Pemisahan akhir (Final sorting). Setiap lembar kertas dibaca sekali lagi, dibandingkan dan dikaitkan lagi dan ditentukan kembali bila diperlukan. Namanama kategori tiap lembar pengalaman perlu direvisi supaya membuat uraian lebih tepat. 6. Kategorisasi akhir (Final categorization). Setiap lembar kertas diperiksa kembali untuk ditetapkan jika itu diperlukan selanjutnya dibagi kembali atau jika dapat dikombinasikan dengan lembar kertas lainnya atau digolongkan kedalam lembar kertas lainnya. Dalam cara ini, kategori dan subkategori pengalaman-pengalaman transpersonal dikembangkan. 7. Membuat suatu klasifikasi (Create a taxonomy). Kategorikategori dan sub-sub kategori kemudian diatur ke dalam klasifikasi logis dan penuh arti. Klasifikasi yang dihasilkan dari data kemudian dibandingkan dengan teori pengalaman transpersonal. Data mengacu kepada karakteristik-karakteristik umum deskriptif subjek dan label tipe-tipe pengalamannya secara induktif diambil dari data menurut deskripsi subjek itu sendiri. Tiap pengalaman subjek dapat lebih dari satu tipe pengalaman transpersonal. Tiap tipe pengalaman ditinjau dari laporan deskripsi fenomenologis. L. Pembahasan Dari hasil penelitian ditemukan hasil sebagai berikut: 1. Alasan subjek menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Alasan subjek menjadi pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, dipengaruhi wawasan dari filsuf sufi, tarekat sebagai jalan hidup dan penyempurna syariat untuk kesempurnaan lahir dan batin dan diajak mengamalkan tarekat oleh ayahnya. 2. Kategori Pengalaman Transpersonal Dari hasil penelitian ditemukan tipe-tipe pengalaman transpersonal subjek pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dalam kategori pertama dalam transendensi batasan ruang yaitu subjek dapat melakukan kontak spiritual dengan ayahnya (pengalaman dua rangkap menyatu), mengetahui kondisi sesama pengamal tarekat ketika berdoa bersama (identifikasi grup dan kesadaran grup), mengetahui sifat-sifat tumbuhan (identifikasi dengan tumbuh-tumbuhan dan proses yang berkaitan dengan tumbuhan), melihat berbagai interaksi kehidupan di bumi (kesatuan dengan kehidupan dan semua penciptaannya), kesadaran berada di luar bola bumi kemudian kesadarannya kembali ke bumi serta merasakan bersatu dengan lima elemen zat benda mati sehingga dapat berlevitasi (pengalaman dengan zat benda mati dan proses anorganik serta berkombinasi dengan tipe pengalaman transpersonal di luar bola bumi serta kekuatan supernatural), penghayatan planet bumi (kesadaran yang berhubungan dengan planet), bersatu dengan cahaya bintang scorpio (pengalaman di luar bola bumi), clairvoyance, telepati, keluar dari tubuh (fenomena paranormal yang mencakup transendensi tempat). Sedangkan dalam transendensi batasan waktu linier yaitu subjek merasakan kondisi ayahnya (pengalaman-pengalaman leluhur), penghayatan sejarah sunda serta mampu melakukan beladiri dan tarian tanpa latihan beladirinya (pengalaman rasial dan kolektif), déjà vu (pengalaman inkarnasi masa lalu), prekognisi serta menerawang peristiwa masa lalu serta masa depan dan membaca sejarah patung Buddha dengan memegangnya (fenomena paranormal yang meliputi transendensi waktu). Tipe pengalaman transpersonal dalam kategori kedua diantaranya yaitu dzikir lathifah untuk pengembangan kekuatan organ halus, mendekatkan diri kepada Tuhan, kesehatan dirinya dan membaca penyakit seseorang (fenomena energi organ halus); melihat siluman binatang (pengalamanpengalaman dengan roh binatang), bertemu dengan Siddharta Gautama serta menulis kitab Buddha (pertemuan dengan roh-roh pembimbing dan eksistensi keberadaan manusia super berkombinasi dengan tipe pengalaman arwah dan mediumisasi), mengunjungi dunia alien dengan keluar dari tubuh atau merogo sukm o (berkunjung ke alam semesta yang berbeda dan bertemu dengan penghuninya berkombinasi dengan tipe pengalaman transpersonal fenomena paranormal yang mencakup transendensi tempat), memasuki alam mitologis dengan cara merogo sukmo kemudian bertarung dengan dukun yang menguasai para siluman mitologis untuk menyelamatkan seorang gadis dari upacara pengorbanan (pengalaman mitologis dan rangkaian cerita dongeng berkombinasi dengan tipe pengalaman transpersonal fenomena paranormal yang mencakup transendensi tempat), mengetahui arti simbol spiritual dua titik lathifah atau organ halus (pengalaman dengan pencipta alam semesta dan tercapainya wawasan kreasi kosmik), melakukan tarian sambil melantunkan syair (pengalaman kesadaran kosmik), pengalaman ketuhanan dan kesunyataan atau kejernihan hati (suprakosmik dan kehampaan metakosmik). Tipe pengalaman transpersonal dalam kategori ketiga diantaranya yaitu selamat dari kecelakaan (hubunganhubungan sinkronisitas diantara kesadaran dan perkara), secara spontan mampu mengangkat beban berat (kekuatan-kekuatan fisik supernormal), penyembuhan spiritual (penyembuhan dan menjatuhkan kutukan), komunikasi dan pertemuan dengan makhluk halus (fenomena makhluk halus dan mediumisasi fisik), debus atau ilmu kekebalan tubuh serta levitasi kemudian eksistensi fisik dapat menjadi tiga (kekuatankekuatan supernatural) dan mengunci serta mempengaruhi pergerakan lawan (psikokinesis laboratorium). Beberapa pengalaman transpersonal subjek saling berkombinasi dengan tipe pengalaman transpersonal lainnya. Subjek juga memiliki pandangan intelektual tra ns e n de nta l . Se la in i t u , berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa subjek juga menekankan bahwa semua pengalaman transpersonal yang dialaminya berasal dari kekuatan pikirannya. Subjek mengemukakan pengalamanpengalaman tersebut dapat dimengerti berdasarkan pengalaman-pengalaman langsung yang diperolehnya. Bagi subjek, pengalaman dunia arkhetipe seperti alien hanya dapat dirasakan ketika kesadarannya berubah, bukan dalam bentuk kesadaran biasa ketika melihat dunia material atau fisik. Pengalamanpengalaman transpersonal lainnya seperti kesadaran alam semesta juga berasal dari bentuk perubahan kesadaran yang dialami oleh dirinya melalui pikirannya. Pandangan intelektual subjek tersebut sesuai dengan Baruss (2003) yaitu pandangan studi empiris dalam tradisi intelektual transendental terdiri dari gagasan kesadaran dan dunia fisik sebagai sifat keberadaan yang dibentuk oleh pikiran manusia. Diantara dua kutub dualis tersebut, membentuk berbagai pergerakan realitas pikiran yang dianggap terdiri dari kedua aspek yaitu aspek fisik dan aspek tra nsendental. Para intelektual transendental dapat disebut posisi ”transenden” yang cenderung menekankan subjektifitas yaitu aspek-aspek kesadaran experiential atau fenomenologis dan mempercayai kesadaran memberikan makna terhadap realitas dan menetapkan bukti dimensi spiritual. Bagi intelektual transendental yang telah beridentifikasi dengan posisi luar biasa transenden pada s ka la tra n s e nde n e k s tre m kemungkinan besar lebih mempercayai pengalamanpengalaman yang tidak biasanya dengan menekankan perubahanperubahan kesadaran. Bagi intelektual transendental, kesadaran adalah realitas fundamental yang dapat dipahami melalui proses transformasi-diri. 3. Dampak Pengalaman Transpersonal Dampak pengalaman transpersonal pada pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah yaitu aspekaspek bermakna diantaranya subjek mampu mendapatkan data-data rasional tentang pengalaman transpersonal (keterbukaan), meningkatkan motivasi dalam dirinya sehingga mencerdaskan pola pikirnya dalam mengarungi kehidupannya sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan (spiritualitas), karakter diri berkembang sehingga menolong disaat berhubungan dengan orang lain (aspek kebutuhan-hubungan). Pada peningkatan keterbukaan, subjek hanya terbuka pada ayah dan guru mengenai pengalamannya (keterbukaan selektif), kemudian keadaan psikologis lebih sabar, ikhlas dan bersyukur dan pola makan serta pikir yang teratur sehingga tubuh atau fisik sehat (manfaat psikologis dan fisik), pengetahuan spiritual lebih terbuka serta kesehatan spiritual ya n g t um b u h de n g a n ba i k sehingga keyakinan terhadap Tuhan semakin mantap karena f i s i k n y a s e ha t ( ke h a d i r a n spiritualitas) dan semangat hidup meningkat serta perubahan komunikasi dengan orang lain karena tutur perkataannya santun sehingga mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain (aspek-aspek perubahan transformatif). 4. Aktivasi Lathoif (organ halus) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah Sebagai Teknik Menuju Pengalaman Transpersonal Subjek pengamal Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dapat mengalami pengalaman transpersonal karena melakukan latihan-latihan spiritual sehingga membangkitkan aliran energi tujuh lathifah (organ halus) dalam tubuhnya. Tiap -tiap lathifah memiliki fungsi masingmasing dalam setiap tipe-tipe pengalaman transpersonal yaitu aktifnya energi lathifah qalab menghasilkan kesadaran diri dengan tubuh serta kesadaran diri, lathifah nafs menghasilkan kesadaran identitas hubungan diri dengan orang lain, lathifah qalb menghasilkan kesadaran teori adlerian serta kesadaran bersama, lathifah sirr menghasilkan kesadaran nilai-nilai altruistik, psikologi jungian, pengalaman pertama dengan ketuhanan di dalam diri, kesadaran alam semesta, lathifah ruh menghasilkan kapasitas kesadaran bidang pengalaman mental, realitas dunia ruh dan mendengarkan suara hati diri serta orang lain, lathifah khafi menghasilkan kesadaran indera keenam, kekuatan-kekuatan paranormal atau supernatural serta diri sebagai psike dan puncaknya yaitu lathifah haqq menghasilkan kesadaran nondualitas (suprakosmik dan kehampaan metakosmik). M. Saran Saran yang diberikan penulis yaitu : 1. Untuk praktisi spiritual Untuk para praktisi spiritual diha ra pka n da pa t m e na rik manfaat dari amalan-amalan tarekat sebagai bentuk pengobatan diri pribadi maupun penerapan aplikasinya kepada masyarakat umum, introspeksi diri melalui pemahaman jiwa alam semesta dalam diri dan manfaat kemampuan transpersonal dalam amalan ilmu hikmah sebagai bentuk perlindungan diri yang tetap bertujuan meminta pertolongan Tuhan. 2. Untuk kalangan masyarakat umum Untuk masyarakat umum diharapkan dapat mengambil manfaat amalan-amalan tarekat agar dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dan membantu dalam kesehatan fisik serta mental diri pribadi. 3. Untuk kalangan psikolog Untuk kalangan psikolog di Indonesia agar dapat terjun langsung sebagai seorang praktisi spiritual, salah satu contoh kongkritnya adalah para psikolog transpersonal barat yang berperan sekaligus sebagai pengamal tarekat dari mursyid, khalifah atau posisi lainnya sehingga dapat menggunakan teknik-teknik psikospiritual organ halus (lathoif) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah sebagai psikoterapi dan penyembuhan fisik. Selain itu, psikologi transpersonal sufi seperti kesadaran alam semesta melalui teknik meditasi dapat membantu dalam teknik-teknik psikoterapi dan pengembangan teori psikologi serta aplikasinya. 4. Untuk peneliti selanjutnya Bagi peneliti selanjutnya yang ingin mengembangkan atau melanjutkan penelitian, diharapkan dapat aplikasikan metode pendekatan penelitian psikologi fenomenologi secara penuh dan berikan label hubungan antara tipe amalan tarekat (tipe-tipe dzikir seperti latho `if , asmaul husna; shalawat; hizib dan ratib), tipe muraqabah (meditasi) dan tipe amalan ilmu hikmah (misalnya `asma, asror, rajah dan lain sebagainya) dengan tipe-tipe pengalaman transpersonal. N. Daftar Pustaka Aida, N. (2005). Mengungkap p e n g a l a m a n s p i r i tu a l d a n ke be rma knaa n hidup pa da pengamal thariqah. Indigenous: Jurnal Berkala Ilmiah Berkala Psikologi, 7(2), 108-129. Arksey, H. & Knight, P. (1999). Interviewing for social scientists. London: Sage Publication. Baruss, I. (2003). Alterations of consciousness: An empirical analysis for social scientists. Washington, DC: American Psychological Association. Basuki, A. M. (2006). Pendekatan kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan budaya. Jakarta: Universitas Gunadarma. Braud, W. & Palmer, G. (2002). Exceptional human experiences, disclosure, and a more inclusive view of physical, psychological and spiritual well-being. The Jo ur na l of Tr a ns p er s on al Psychology. 34(1), 29-61. Bruinessen, M. (1999). Kitab kuning, pesantren dan tarekat: Tradisitradisi Islam di Indonesia. (Alih Bahasa oleh Kholidy Ibhar & Farid Wajidi). Bandung: Mizan. Cowley, A. S. (1993). Transpersonal social work: A theory for the 1990s. Social Work, 38(5), 527534. Daniels, M. (2006). Transpersonal FAQ - Frequently Asked Questions about the Transpersonal. http://www.transpersonalscience. org/tranfaq.aspx#Q 13 Frager, R. (1989). Transpersonal ps y ch olo gy : Pr om i s e an d pr os pects . In Va lle, R. & Halling, S. (Eds.), Existentialphenomenological perspectives in psychology: Exploring the breadth of human experience (pp. 289-309). New York: Plenum Press. Frager, R. (2005). Hati, diri dan jiwa: Psikologi sufi untuk transformasi. (Alih Bahasa oleh Hasmiyah Rauf). J akarta: Serambi. Grof, S. (1988). The adventure of selfdiscovery: Dimensions of consciousness and new perspectives in psychotherapy and inner exploration. Albany: State University of New York Press. Grof, S. (1996). Theoretical and empirical foundations of transpersonal psychology. In Boorstein, S. (Ed.), Transpersonal psychotherapy (pp. 43-64). Albany: State University of New York Press. Hibbard, W. (2007). Native American Sweat Lodge ceremony: Reports of transpersonal experiences by Non-Native practitioners. The Jour nal of Tr ans personal Psychology, 39(1), 68-91. Isa, A. Q. (2007). Cetak biru tasawuf: Spiritual ideal dalam Islam. (Alih Bahasa oleh. Tim Ciputat Press di Mesir). Jakarta: Ciputat Press. Jindan, F. (2007). Nasihat spiritual: Mengenal tarekat ala Habib Luthfi bin Yahya. Bekasi: Hayat Publishing. Langride, D. (2004). Introduction to research methods and data analysis in psychology. Harlow: Pearson Education. Mulyati, S. (Ed.). (2006a). Pendahuluan. Dalam Mengenal & memahami tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia (pp. 3-21). Jakarta: Kencana & Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulyati, S. (Ed.). (2006b). Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah: Tarekat temuan tokoh Indonesia asli. Dalam Mengenal & memahami tarekat-tarekat muktabarah di Indonesia (pp. 2532 90). Jakarta: Kencana & Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Munawwar, S. A. (2003). Pengamalan tasawuf di era modern. Dalam Munawwar, S. A., Amin, M. & Kartanegara, M. (Eds.), Pengamalan tasawuf masyarakat modern (pp. 5-31). Jakarta: Media Sufi Indonesia. Nelson, P. L. (1989). Personality factors in the frequency of reported sponta neous praete natural experiences. The Journal of Transpersonal Psychology, 21(2), 193-210. O`kane, T. A. (1989). Transpersonal dimensions of transformations: A study of the contributions drawn from the sufi order teachings and training to the emerging field of transpersonal psychology. Ann Arbor: The Union for Experimenting College and Universities. Pekala, R. J. & Cardena, E. (2000). Methodological issues in the study of altered states of consciousness and anomalous experience. In E. Cardena, S. J. Lynn & S. C. Krippner. (Eds.), Varieties of anomalous experience: Examining the scientific evidence (pp. 47-82). Washington, DC: American Psychological Association. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Poerwandari, E. K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia. Qardhawi, Y. (1995). Fatwa-fatwa kontemporer I & II. (Alih Bahasa oleh Mohammad Nurhakim) Jakarta: Gema Insani Press. Safken, A. (1998). Sufi stories as vehicles of self-development: Exploration, using in-depth interviews, of the self-perceived effects of the study of sufi stories. (Doctoral Dissertation, Institute of Transpersonal Psychology, 1998). UMI Dissertation Services (UMI No. 9833355). Praja, J. S. (1990). TQN pondok pesantren Suryalaya dan perkembangannya pada masa Abah Anom (1950-1990). Dalam Nasution, H (Ed.), Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah sejarah asal-usul perkembangannya. Tasikmalaya: Institut Agama Islam Mubarokiyah. Praja, J. S., Syafi`i, R., Ain, N., Alba, C., Sumpeno., Hadoliah, L., Nuruddin, A., Hamzah, Y. (1995). Model tasawuf menurut syari`ah : Penerapannya dalam perawatan korban narkotik dan berbagai penyakit ruhani. Tasikmalaya: Latifah Press, Institut Agama Islam Latifah Mubarakiyah & Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Sambas, A. K. (1983). Fath al-arifin. Surabaya. Siregar, R. (2002). Tasawuf: Dari sufisme klasik ke neo-sufisme. Jakarta: Rajawali Press. Tart, C. T. (2001). Parapsychology and transpersonal psychology: “Anomalies” of to be explained away or spirit to manifest. Journal of Parapsychology, 66(2), 31-47. Valle, R. & Mosh, R. (1998). Transpersonal awareness in phenomenological inquiry: Philosophy, reflections, and recent research. In W. Braud & R. Anderson. (Eds.), Transpersonal research methods for the social science: Honoring human experience (pp. 95-113). Thousand Oaks, CA: Sage Publication. Wilcox, Lynn. (2003). Ilmu jiwa berjumpa tasawuf: Sebuah upaya spiritualisasi psikologi. (Alih Bahasa oleh IG Harimurti Bagoesoka). Jakarta: Serambi.