PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Ira Puspita Dewi NIM: C 551060041 ABSTRACT IRA PUSPITA DEWI, Shoreline change from coast of Teritip Balikpapan to coast of Ambarawang Kutai Kertanegara East Kalimantan. Under direction of MULIA PURBA and I WAYAN NURJAYA. Shoreline change from coast of Teritip Balikpapan to coast of Ambarawang Kutai Kertanegara, East Kalimantan from 2000 – 2007 was analyzed by developing a model. Initial shoreline as an input for model was the result of Landsat image in 2000, and the shoreline from Landsat ETM in 2007 was used to compare the final result of model. The model predicts shoreline change due to along shore sediment transport generated by wave that brakes at the shoreline. The characteristics of broken waves was predicted by analysing wave transformation from off-shore sea where the wave was generated by winds. Sediment transport along the coast were mostlynortheastward as the main winds that blown toward the coast were mostly from the south. Simulation for 8 years showes that accretion more intensive in the northern part than those in the south. In general, shoreline shape resulting from model show a good resemblace to those from Landsat image in 2007. Discrepancies between the two shoreline shape occurred mostly at the upstream of the head land where results of model shows erosion but the images show the shoreline almost stable. This is perhap due to existance of mangrove that prevent erosion, but the effect of this vegetation is not included in the model. Keyword : breaking wave, sediment transport, shoreline change, transformation. wave RINGKASAN IRA PUSPITA DEWI, Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, dibawah Arahan : Mulia Purba dan I Wayan Nurjaya Saat ini Pantai Teritip hingga Ambarawang digunakan dalam berbagai kegiatan untuk menunjang pembangunan di Kalimantan Timur. Beberapa kegiatan yang sedang dikembangkan adalah wisata pantai, budidaya rumput laut dan tambak. Pemanfaatan yang sering tidak dilandasi dengan pengetahuan mengenai perilaku pantai dapat berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya seperti abrasi dan akresi. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai lokasi-lokasi yang mengalami abrasi dan akresi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transformasi gelombang yang dibangkitkan angin dari laut lepas menuju pantai hingga gelombang tersebut pecah. Gelombang pecah akan menyebabkan terjadinya angkutan sedimen, sehingga lokasi-lokasi yang mengalami abrasi dan akresi dapat diketahui yang akan merubah garis pantai di lokasi penelitian selama 8 tahun (2000 – 2007). Pengambilan data batimetri dilakukan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang Laut (± 9.5 km) pada bulan September hingga Oktober 2009. Data batimetri ini kemudian dijadikan sebagai input dalam program refraksi gelombang. Selain itu tinggi, periode dan sudut gelombang laut lepas yang diprediksi berdasarkan data angin BMKG Balikpapan juga merupakan data input untuk program refraksi gelombang. Program refraksi gelombang ini akan mengeluarkan hasil tinggi, kedalaman dan sudut pada saat gelombang pecah sepanjang pantai. Hasil refraksi ini merupakan penentu transpor sedimen yang terjadi di sepanjang pantai, kemudian dijadikan sebagai patokan untuk program perubahan garis pantai di lokasi penelitian dengan patokan garis pantai awal adalah citra Landsat tahun 2000. Hasil dari model transformasi gelombang dari selatan dan timur di laut lepas menuju pantai memperlihatkan terjadinya perubahan arah dan tinggi gelombang. Transformasi gelombang menuju pantai dominan berasal dari selatan disebabkan kerena tinggi gelombang laut lepas yang terjadi di lokasi penelitian tertinggi pada musim timur dimana angin berhembus lebih kencang dengan arah angin dominan dari Selatan merupakan penyebab terjadinya hal ini. Pantai yang berbentuk tonjolan menyebabkan penguncupan gelombang (konvergensi), sedangkan pada pantai yang berbentuk cekung akan terjadi penyebaran gelombang (divergensi). Daerah yang mengalami konvergensi umumnya mempunyai tinggi gelombang pecah yang lebih besar jika dibandingkan dengan daerah divergensi. Kemiringan dasar pantai pada lokasi penelitian sangat landai sehingga nilai tinggi gelombang pecah lebih kecil jika dibandingkan dengan tinggi gelombang laut lepas (H0). Arah transpor sedimen dominan menuju ke timur laut karena orientasi pantai yang menghadap ke arah tenggara dan gelombang yang menuju pantai dari selatan dan timur. Perubahan garis pantai hasil overlay citra tahun 2000 dan 2007 selama delapan tahun memperlihatkan bahwa pada pantai yang lurus cenderung stabil, akresi terjadi pada pantai yang melengkung ke dalam, sedangkan abrasi terjadi pada pantai yang berbentuk tonjolan. Perubahan garis pantai hasil simulasi model selama delapan tahun menunjukkan bahwa pantai yang berbentuk tonjolan mengalami abrasi sedangkan pantai yang berbentuk lekukan mengalami sedimentasi. Hal ini disebabkan karena pada pantai berbentuk tonjolan tinggi gelombang yang terjadi besar, sedangkan pantai berbentuk lekukan tinggi gelombang yang terjadi kecil. Pada pantai yang berbentuk lekukan mengalami sedimentasi lebih besar jika dibandingkan dengan pantai yang berbentuk tonjolan mengalami abrasi. Hal ini diperkirakan karena ada transpor sedimen yang berasal dari bagian bawah di luar daerah simulasi model. Perbandingan hasil model dengan hasil citra Landsat tahun 2007 memperlihatkan bentuk garis pantai yang mirip. Bentuk garis pantai hasil model cenderung mengikuti bentuk garis pantai awal (citra Landsat 2000). Walaupun begitu, terdapat juga perbedaan terutama pada pantai bagian tengah yang berbentuk tonjolan maka model memprediksi adanya abrasi, tetapi citra Landsat 2007 memperlihatkan garis yang hampir tidak berubah. Hal ini diperkirakan akibat adanya pohon bakau di lokasi penelitian akan tetapi adanya tanaman tersebut tidak pertimbangkan dalam model. Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. PERUBAHAN GARIS PANTAI DARI PANTAI TERITIP BALIKPAPAN SAMPAI PANTAI AMBARAWANG KUTAI KERTANEGARA KALIMANTAN TIMUR IRA PUSPITA DEWI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 Penguji diluar Komisi: Dr. Agus S. Atmadipoera, M.Sc Oseanografi Fisik, Departemen ITK FPIK IPB Judul : Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai AmbarawangKutai Kertanegara Kalimantan Timur Nama : NIM : C 5511060041 Ira Puspita Dewi Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Ketua Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 28 Juni 2011 Tanggal Lulus : PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. atas kebesaran nikmat dan karunia-Nya akhirnya mampu menyelesaikan tesis mengenai “Perubahan Garis Pantai dari Pantai Teritip Balikpapan sampai Pantai Ambarawang Kutai Kertanegara Kalimantan Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengayaan maanfaat bagi pembaca terutama penulis dalam ilmu pengetahuan. Penulis mendapatkan bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu memberikan bimbingan, arahan masukan demi kesempurnaan tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Agus S Atmadipoera, M.Sc selaku penguji luar komisi. 3. Ibu Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku ketua program studi. 4. Rektor dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Program Master (S2) pada Program Studi Ilmu Kelautan IPB. 5. Bapak Ir. Iwan Suyatna, M.Sc beserta tim yang telah bersedia meminjamkan alat serta membantu pengambilan data di lokasi penelitian. 6. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Coremap dan BPPS tahun 2006 – 2008 yang telah memberikan bantuan materil. 7. BMKG Balikpapan, BTIC dan DISHIDROS untuk perolehan data dalam penelitian ini. 8. Teman-teman seperjuangan yang telah banyak membantu dalam segala hal (Bapak Sakka, bang Andri, Tri, Sabhan, bang Eko, Awir dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu). 9. Abah, mama, ading, suami dan anak-anak ku (Dewi & Diva) untuk semua dukungan materil, keikhlasan, penyemangat dan cinta selama ini. Sebagai manusia biasa dengan kemampuan terbatas, penulis berusaha dengan sebaik mungkin dalam menyelesaikan tesis ini. Masukan dan saran menjadi harapan tersendiri demi perbaikannya. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu memberikan rahmat-Nya bagi kita semua. Bogor, Juli 2011 Ira Puspita Dewi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan pada tanggal 23 April 1981 dan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Abdul Azis Amrullah dan Kardinah. Penulis masuk sekolah dasar (SD) tahun 1987 pada SD Negeri Murung Sari Satu Amuntai dan tamat tahun 1993 pada SD Negeri Lampihong Kanan, Kecamatan Lampihong. Kemudian melanjutkan studi tahun 1993 pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri Lampihong dan tamat tahun 1996. Setelah menamatkan SMP, penulis melanjutkan studi pada Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 2 Amuntai tamat tahun 1999. Pada tahun 1999 melanjutkan studi pada Universitas Hasanuddin pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Jurusan Ilmu Kelautan dan menamatkan studi pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Kelautan (S.Kel). Tahun 2006 penulis diterima sebagai staf pengajar pada tahun 2005 Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Mulawarman. Penulis melanjutkan studi Program Magister (S2) tahun 2006 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor. GLOSARI γ ρsw ∆t ∆x C0 CD D50 db dt Eb F Hb Hd Ho ht k Kr Ks Ld N Pl Q Qn Qx1 Qx2 r t β U* U10 Us Uz V x y αb αg αo ρs = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = indeks gelombang pecah massa jenis air laut (1025 kg/m3) step simulasi jarak antara titik sel jarak garis pantai dari garis referensi pada waktu t di titik sel i kecepatan gelombang di laut lepas koefisien gesekan (drag coefficient) diameter dari sekitar 50% material sedimen kedalaman air pada saat gelombang pecah (m) kedalaman laut yang diukur dengan echosounder pada pukul t energi gelombang yang dihitung saat gelombang pecah jarak fetch dimana angin berhembus tinggi gelombang pecah (m) tinggi gelombang pada kedalaman d tinggi gelombang di laut lepas ketinggian elevasi muka air akibat pasut pada waktu t bilangan gelombang koefisien refraksi koefisien shoaling panjang gelombang pada kedalaman d porositas sedimen (n∼0.4) fluks energi gelombang angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/det) sedimen bersih sedimen yang masuk sel sedimen yang keluar sel jarak pergeseran garis pantai pada koreksi garis pantai terhadap pasang surut waktu (detik) sudut kemiringan dasar pantai kecepatan friksi (friction velocity) kecepatan angin pada ketinggian 10 m kecepatan angin terkoreksi kecepatan angin pada ketinggian z volume sedimen (m3) absis searah panjang pantai (m) jarak antara garis pantai dan garis referensi (m) sudut datang gelombang pecah sudut garis pantai terhadap sumbu x sudut gelombang di laut lepas massa jenis sedimen DAFTAR ISI DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xv DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………xvi DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………….…. xviii I PENDAHULUAN……………………………………………………………. 1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 1.2 Kerangka Pikir…………………………………………………………… 1.3 Perumusan dan Pendekatan Masalah……………………………………. 1.4 Tujuan……………………………………………………………………. 1.5 Manfaat…………………………………………………………………... 1.6 Hipotesis…….…………………………………………………………… 1 1 2 2 3 3 4 II TINJAUAN PUSTAKA..……………………...……………………………. 5 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin...………………………………… 5 2.2 Transformasi Gelombang...……………………………………………… 6 2.3 Angkutan Sedimen ………………….………………………………….. 9 2.4 Model Perubahan Garis Pantai..…………………………………………. 11 2.5 Citra Landsat 7 TM dan ETM.…………………………………………... 12 2.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian..…………………………………… 13 III METODE PENELITIAN……………………...……………………………. 15 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian……….....………………………….……... 15 3.2 Metode Perolehan Data…..……………………………………………… 15 3.2.1 Batimetri…………………………………………………………... 16 3.2.2 Arah dan Kecepatan Angin………………………………………. 17 3.2.3 Citra Landsat……………………………………………………… 17 3.3 Analisis Data…... ………………….……………………………………. 17 3.3.1 Kedalaman……………………………………………………… 17 3.3.2 Lereng Dasar Pantai (slope)……………………………………. 18 3.3.3 Prediksi Gelombang Laut Lepas……………………………….. 18 3.3.4 Transformasi Gelombang………………………………………. 21 3.3.5 Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai (Qs)……………………… 24 3.3.6 Model Perubahan Garis Pantai………………………………… 25 3.3.7 Citra Landsat…………………………………………………… 28 3.3.8 Perbandingan Hasil Model dengan Citra……………………… 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………… 32 4.1 Karakter Angin………………..………………………………………… 32 4.2 Pembangkitan Gelombang Laut Lepas………………………………… 34 4.3 Transformasi Gelombang…………...………………………………… 36 4.4 Angkutan Sedimen………………………………………………………. 42 4.5 Perubahan Garis Pantai…………...…………………………………… 45 V SIMPULAN DAN SARAN…...…………………………………………. 5.1 Simpulan……..………………..……………………………………… 5.2 Saran………………………………………………………………….. 53 53 53 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….……….. 54 LAMPIRAN…………………………………………………………………. 57 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Kriteria gelombang pecah……………………………………………...... Alat dan data yang digunakan……………………………………………. Jenis dan sumber data yang digunakan…………………………………... Parameter masukan pada program perubahan garis pantai………………. Frekuensi distribusi angin tahun 2000 – 2007…………………………… Frekuensi kejadian angin tahun 2000 – 2007…………………………….. Panjang fetch efektif……………………………………………………… Tinggi dan periode gelombang laut lepas yang dibangkitkan dari kecepatan angin bulanan rata-rata………………………………………... Tinggi gelombang laut lepas (H0), gelombang pecah (Hb) dan jarak pecah dari garis pantai pada saat MSL…………………………………… Tinggi gelombang pecah rata-rata tahun 2000 – 2007…………………… Laju dan arah transpor sedimen (m3/tahun) setiap tahun selama delapan tahun……………………………………………………………………… Laju dan arah transpor sedimen (m3/tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama delapan tahun……………………………………………... Laju transpor sedimen (m3/bulan) bulan rata-rata selama delapan tahun (2000 - 2007)……………………………………………………………... Perubahan garis pantai awal (citra tahun 2000) dan hasil citra tahun 2007 terhadap garis pantai di setiap lokasi…………………………………….. Perubahan garis pantai awal dan hasil model 2007 di setiap lokasi……………………………………………………………………... Perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2007 terhadap garis pantai awal (citra tahun 2000) pada berbagai grid di setiap lokasi……………………………………………………………………... 9 16 16 26 33 34 35 36 41 42 43 44 45 50 51 52 DAFTAR GAMBAR 1 Bagan alir perumusan masalah untuk pencapaian tujuan penelitian…… 2 Refraksi gelombang pada berbagai bentuk tipe kontur garis pantai (a) kontur lurus dan sejajar; (b) gabungan antara submarine ridge dan submarine canyon; (c); submarine ridge dan (d) submarine canyon....... 3 Profil gelombang dari laut lepas hingga pecah………………………… 4 Peta lokasi penelitian…………………………………………………... 5 Koreksi pengukuran kedalaman………………………………………... 6 Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat............................ 7 Bentuk grid yang digunakan dalam program transformasi gelombang... 8 Hubungan antara sudut gelombang datang (αo), orientasi pantai (αg), sudut gelombang pecah (αb)..................................................................... 9 Prosedur perhitungan selisih sedimen yang masuk dan keluar sel dengan metode perimbangan sel………………………………………. 10 Pembagian pantai menjadi sejumlah sel………………..………………. 11 Sedimen masuk dan sedimen yang keluar …………………………….. 12 Kemiringan dasar pantai……………………………………………….. 13 Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra……………………… 14 Bagan alir pengolahan data perubahan garis pantai……………………. 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin rata-rata bulanan tahun 2000 – 2007…………………. 16 Hasil perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas………… 17 Transformasi gelombang dengan arah angin dari selatan yang menggambarkan tinggi dan arah gelombang…………………………... 18 Transformasi gelombang dengan arah angin dari timur yang menggambarkan tinggi dan arah gelombang…………………………... 19 Profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di Lokasi A grid ke-48 dan Lokasi B grid ke-139………………………………………... 20 Profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di Lokasi C grid ke-214 dan Lokasi D grid ke-282……………………………………… 21 Jalur lintasan tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di lokasi penelitian………………………………………………………………... 22 Perbesaran profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di tiap lokasi (H0 = 1.4 m)……………………………………………………... 23 Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah (Hb) dan tinggi gelombang laut lepas (H0)…………………………………………………………... 24 Histogram laju transpor sedimen (m3/tahun) selama delapan tahun…… 25 Transpor sedimen (m3/tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama delapan tahun (2000 - 2007)……………………………………………. 26 Histogram laju transpor sedimen (m3/bulan) bulan rata-rata selama delapan tahun (2000 - 2007)……………………………………………. 27 Garis pantai citra Landsat jam 10.00 WITA (15 Mei 2000) sebelum dan setelah dikoreksi terhadap pasut…………………………………… 28 Garis pantai citra Landsat jam 10.00 WITA (8 Maret 2007) sebelum dan setelah dikoreksi terhadap pasut…………………………………… 4 7 8 15 18 19 23 24 25 26 27 29 30 31 32 36 38 38 39 39 40 40 42 43 44 45 46 46 xvi 29 Overlay garis pantai citra tahun 2000 dan 2007………………………... 50 30 Overlay garis pantai hasil model tahun 2000 dan 2007………………… 51 31 Overlay perubahan garis pantai selama delapan tahun dari garis pantai hasil citra 2000 (hijau) sebagai garis pantai awal, garis pantai tahun 2007 (merah) dan hasil model tahun 2007 (biru)………………………. 52 DAFTAR LAMPIRAN 1 Arah dan kecepatan angin rata-rata bulanan tahun 2000 – 2007……… 2 Wind rose (mawar angin) bulanan rata-rata setiap bulan selama delapan tahun (2000 – 2007)…………………………………………. 3 Panjang fetch di Lokasi Penelitian……………………………………. 4 Perhitungan prediksi gelombang yang dibangkitkan oleh angin selama delapan tahun (2000 – 2007)…………………………………………... 5 Koreksi Garis Pantai Citra Terhadap Pasang Surut……………………. 6 Program Transformasi Gelombang……………………………………. 7 Program Perubahan Garis Pantai………………………………………. 8 Garis pantai awal yang diperoleh dari citra satelit tahun 2000……….. 9 Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra jam 10.00 WITA…... 10 Mangrove di lokasi penelitian…………………………………………. 11 Foto sand spit di muara Sungai Ambarawang Laut …………………... 57 58 60 61 65 66 69 72 73 74 75 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Upaya manusia dalam memanfaatkan kawasan pantai sering tidak dilandasi pemahaman yang baik tentang perilaku pantai sehingga menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan pantai seperti proses abrasi dan akresi garis pantai. Proses abrasi dan akresi garis pantai pada mulanya timbul secara alami akan tetapi proses akan berlangsung lebih cepat jika pembangunan sarana kepentingan manusia tidak didasari dengan pengetahuan yang baik tentang perilaku proses dinamika perairan pantai dalam hal ini perubahan garis pantai. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka diperlukan suatu kemampuan untuk memprediksi perubahan garis pantai yang disebabkan oleh aksi gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Salah satu cara untuk memprediksi perubahan garis pantai adalah melalui pendekatan model numerik (Dean & Zheng, 1997; Elfrink & Baldock, 2002; Ashton & Murray, 2006). Model perubahan garis pantai mengkaji interaksi angin yang membangkitkan gelombang di laut lepas, transformasi gelombang dari laut lepas hingga gelombang tersebut pecah di pantai dan angkutan sedimen sepanjang pantai yang menyebabkan perubahan garis pantai. Model perubahan garis pantai akibat adanya struktur pantai telah dibuat oleh Komar (1983) dengan hanya menggunakan satu data gelombang dan tidak menyertakan proses transformasi gelombang. Purba dan Jaya (2004) melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003 menemukan erosi di sisi hilir tonjolan garis pantai dan akresi di daerah lekukan. Alphan (2005) menggunakan citra Landsat untuk mengamati perubahan garis pantai di Delta Cukurova, pantai tenggara Mediterrania, Turkey. Shibutani et al. (2007) membuat model perubahan garis pantai berdasarkan angkutan sedimen. Kim dan Lee (2009) memprediksi perubahan garis pantai yang berbentuk teluk dengan menggunakan persamaan logarithmic spiral bay. Triwahyuni et al. (2010) mengamati perubahan garis pantai di pantai timur Tarakan dengan 2 menggunakan data gelombang pecah yang dihitung di pantai akibat angin bulanan rata-rata selama 10 tahun. Penelitian ini menganalisis transformasi gelombang yang dibangkitkan oleh angin dari laut lepas menuju ke pantai serta membuat model perubahan garis pantai yang karena angkutan sedimen sejajar pantai selama 8 tahun yang diakibatkan gelombang pecah di pantai Teritip hingga Ambarawang. 1.2 Kerangka Pikir Perubahan garis pantai di Teritip hingga Ambarawang dipengaruhi oleh kondisi gelombang yang dibangkitkan oleh angin di Selat Makassar. Sesuai dengan arah angin, gelombang yang dibangkitkan di Selat Makassar akan merambat menuju ke pantai lokasi penelitian. Transformasi gelombang ini dipengaruhi oleh proses refraksi dan shoaling sehingga terjadi perubahan tinggi dan arah gelombang karena pengaruh kedalaman perairan hingga akhirnya pecah di pantai. Gelombang pecah mengakibatkan terjadinya angkutan sedimen sepanjang pantai, sehingga pantai mengalami abrasi di satu sisi dan akresi di sisi yang lain. Model perubahan garis pantai yang dilakukan dalam penelitian ini dikembangkan dari model Komar, yaitu menggunakan data gelombang laut lepas yang dibangkitkan angin. Kemudian perhitungan transformasi gelombang menghasilkan karakter gelombang pecah yang mengakibatkan angkutan sedimen sepanjang pantai. Hasil model tersebut akan dibandingkan dengan hasil perubahan garis pantai dari citra satelit lokasi penelitian tahun 2000 – 2007. Melalui model ini dapat dibangun beberapa skenario simulasi sehingga diketahui perubahan garis pantai yang terjadi. 1.3 Perumusan dan Pendekatan Masalah Saat ini Pantai Teritip hingga Ambarawang digunakan dalam berbagai kegiatan untuk menunjang pembangunan di Kalimantan Timur. Beberapa kegiatan yang sedang dikembangkan adalah wisata pantai, budidaya rumput laut dan tambak. Pemanfaatan yang sering tidak dilandasi dengan pengetahuan mengenai perilaku pantai dapat berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya 3 seperti abrasi dan akresi. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai lokasi-lokasi yang mengalami abrasi dan akresi yang menyebabkan perubahan garis pantai di lokasi penelitian. Pendekatan yang dilakukan agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan adalah dengan mempunyai informasi mengenai gelombang di laut lepas, karena data gelombang tidak tersedia maka dilakukan prediksi dari data angin. Angin yang bertiup menuju pantai adalah angin yang membangkitkan gelombang menuju pantai. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka penelitian ini akan menjawab : 1) Bagaimana kondisi tinggi, periode dan sudut gelombang laut lepas. 2) Bagaimana pola transformasi gelombang dari perairan dalam menuju perairan pantai. 3) Bagaimana pengaruh gelombang terhadap angkutan sedimen sejajar pantai. 4) Bagaimana perubahan garis pantai bedasarkan angkutan sedimen yang disebabkan oleh gelombang. Secara skematik bagan alir perumusan masalah untuk pencapaian tujuan penelitian disajikan pada Gambar 1. 1.4 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) Menganalisis tranformasi gelombang yang dibangkitkan angin dari laut lepas menuju pantai. 2) Menghitung dan menganalisis angkutan sedimen sepanjang pantai. 3) Menganalisis perubahan garis pantai yang terjadi di lokasi penelitian selama tahun 2000 – 2007. 1.5 Manfaat Hasil dari penelitian ini memberikan informasi tentang perubahan garis pantai berupa abrasi dan akresi yang diakibatkan hempasan gelombang di sepanjang lokasi penelitian. Hasil simulasi model ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dalam perencanaan dan pengendalian kawasan lingkungan pantai. Informasi tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan dan 4 pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bagi pemerintah daerah Provinsi Kalimantan Timur dalam perencanaan pembangunan di lokasi penelitian, sehingga pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan yang terencana dan berwawasan lingkungan. 1.6 Hipotesis Pada garis pantai yang berbentuk tonjolan (cekung), energi gelombang lebih terpusat sehingga akan mengalami abrasi sedangkan pada pantai yang berbentuk lekukan (cembung) energi gelombang akan tersebar sehingga akan mengalami akresi. Pemanfaatan Pantai Belum Didukung dengan Pengetahuan Dinamika Pantai Faktor/Kegiatan Manusia Faktor Alam - Gelombang yang Dibangkitkan oleh Angin Transformasi Gelombang - Transportasi Pariwisata Industri Tambak Budidaya Rumput Laut Angkutan Sedimen Permodelan Perubahan Garis Pantai Erosi & Abrasi Gambar 1 Bagan alir perumusan masalah untuk pencapaian tujuan penelitian. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin Proses pembentukan gelombang oleh angin Menurut Komar (1976) bahwa angin mentransfer energi ke partikel air sesuai dengan arah hembusan angin. Faktor yang menentukan karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin (Davis 1991 ; Shahidi et al. 2009) yaitu : (1) lama angin bertiup atau durasi angin, (2) kecepatan angin dan (3) fetch (jarak yang ditempuh oleh angin dari arah pembangkitan gelombang atau daerah pembangkitan gelombang). Semakin lama angin bertiup, semakin besar jumlah energi yang dapat dipindahkan dalam pembangkitan gelombang. Demikian halnya dengan fetch, gelombang yang bergerak keluar dari daerah pembangkitan gelombang hanya memperoleh sedikit tambahan energi. Pada pertumbuhan gelombang laut dikenal beberapa istilah seperti (USACE, 2003a) : (1) Fully developed seas, kondisi dimana tinggi gelombang mencapai harga maksimum (terjadi jika fetch cukup panjang). (2) Fully limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh fetch. Dalam hal ini panjang fetch (panjang daerah pembangkit gelombang) terbatas. (3) Duration limited-condition, pertumbuhan gelombang dibatasi oleh lamanya waktu dari tiupan angin. (4) Sea waves, gelombang yang tumbuh di daerah medan angin. Kondisi gelombang disini adalah curam yaitu panjang gelombang berkisar antara 10 sampai 20 kali lebih tinggi gelombang. (5) Swell waves (swell atau alun), gelombang yang tumbuh (menjalar) di luar medan angin. Kondisi gelombang disini adalah landai yaitu panjang gelombang berkisar antara 30 sampai 500 kali tinggi gelombang. Observasi data angin di laut dapat diambil dari kapal, anjungan minyak, bangunan offshore dan buoy yang umumnya belum sesuai dengan standar referensi ketinggian 10 m. Untuk itu perlu dikoreksi pada referensi 10 m yang 6 kemudian gunakan dalam memprediksi gelombang yang dibangkitkan oleh angin (USACE, 2003a). 2.2 Transformasi Gelombang Gelombang yang merambat menuju tepi pantai dipengaruhi beberapa proses yaitu shoaling, refraksi, difraksi, refleksi, gesekan dasar, perkolasi, gelombang pecah, pertumbuhan gelombang oleh angin, interaksi gelombang-arus dan interaksi gelombang-gelombang (USACE, 2003a ; Balas & Inan, 2002 ; Browne et al. 2007). Walaupun transformasi gelombang merupakan kombinasi dari berbagai proses tetapi tidak semua proses tersebut sama pentingnya. Faktor yang terpenting dalam transformasi gelombang adalah refraksi dan shoaling (Carter, 1988; Maa & Wang, 1995; Kazeminezhad et al. 2007). Jika suatu muka barisan gelombang datang membentuk sudut miring terhadap tepi pantai yang mempunyai kemiringan dasar landai dengan kontur-kontur kedalaman sejajar dengan pantai, maka muka gelombang akan berubah arah dan cenderung menjadi sejajar dengan garis pantai atau mengalami proses pembiasan (refraksi). Selanjutnya arah perambatan berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman (shoaling), sehingga dapat diamati bahwa muka gelombang cenderung sejajar dengan kedalaman. Hal ini disebabkan oleh variasi batimetri sehingga gelombang mengalami refraksi atau fenomena lain di laut yang menyebabkan sebagian gelombang berjalan lebih lambat dari bagian yang lainnya (Bishop & Donelan 1989). Proses refraksi gelombang pada prinsipnya adalah sama dengan refraksi cahaya yang terjadi karena cahaya melintasi dua media perantara berbeda. Penggunaan Hukum Snell pada optik dapat digunakan karena kesamaan tersebut untuk menyelesaikan masalah refraksi gelombang yang disebabkan karena perubahan kedalaman (Sorensen, 1991). Refraksi dan shoaling akan dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang. Refraksi mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap tinggi, arah gelombang dan distribusi energi gelombang di sepanjang pantai. Perubahan arah gelombang karena refraksi 7 tersebut menghasilkan konvergensi (pemusatan) atau divergensi (penyebaran) energi gelombang yang terjadi di suatu tempat di daerah pantai (Gambar 2). Pola refraksi gelombang pada berbagai bentuk kontur kedalaman perairan dan garis pantai memperlihatkan bahwa pada garis pantai yang lurus dengan kontur kedalaman yang sejajar terhadap garis pantai, maka arah gelombang akan tegak lurus terhadap kontur kedalaman (Gambar 2a). Pantai yang mempunyai tonjolan dengan kontur kedalaman yang lebih dekat, maka arah gelombang akan berbentuk konvergen. Pantai ini adalah daerah abrasi karena terjadi pemusatan energi. Pantai yang mempunyai lekukan dengan kontur kedalaman yang lebih jauh arah gelombang berbentuk divergen, pantai ini adalah daerah akresi karena terjadi penyebaran energi gelombang (Gambar 2b). Pantai lurus yang mempunyai kontur kedalaman cekung (Gambar 2c) arah gelombang berbentuk konvergen, sedangkan pada kontur kedalaman cembung (Gambar 2d) akan berbentuk divergen. (a) (b) (c) (d) Gambar 2 Refraksi gelombang pada berbagai bentuk tipe kontur garis pantai (a) kontur lurus dan sejajar; (b) gabungan antara submarine ridge dan submarine canyon; (c); submarine ridge dan (d) submarine canyon (USACE, 2003a). 8 Profil gelombang adalah sinusoidal di laut lepas (Gambar 3), semakin menuju ke perairan yang lebih dangkal puncak gelombang makin tajam dan lembah gelombang semakin datar. Selain itu kecepatan dan panjang gelombang berkurang secara berangsur-angsur sementara tinggi gelombang bertambah. Gelombang menjadi tidak stabil (pecah) jika terlampau curam atau tinggi gelombang mencapai batas tertentu. Tinggi maksimum gelombang di laut lepas terbatas pada kecuraman gelombang maksimum untuk bentuk gelombang yang relatif stabil. Gelombang yang mencapai limited steepness akan mulai pecah yang mengakibatkan sebagian energinya hilang (CERC, 1984 ; Svedrup et al. (1942). Gambar 3 Profil gelombang sinusoidal di laut lepas (USACE, 2003a). Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringan gelombang, perbandingan antara tinggi gelombang dan kedalaman air. yaitu Untuk perairan dangkal formula gelombang pecah dapat ditulis (Horikawa, 1988): (1) Thornton dan Guza (1983), merangkum beberapa kriteria gelombang pecah yang telah dirumuskan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Diantaranya Collins (1970), Battjes (1972), Kuo dan Kuo (1974) serta Goda (1975) seperti diperlihatkan pada Tabel 1. 9 Tabel 1 Kriteria gelombang pecah Thornton dan Guza (1983) Penulis Sifat Shoaling Collins (1970) Linier Battjes (1972) Linier Kuo dan Kuo (1974) Linier Goda (1975) Nonlinier Kriteria Pecah Sumber : Thornton dan Guza (1983) Gelombang yang pecah dengan membentuk sudut terhadap garis pantai dapat menyebabkan arus menyusur pantai (longshore current). Arus menyusur pantai terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai (CERC, 1984). 2.3 Angkutan Sedimen Angkutan sedimen yang terjadi di pantai disebabkan oleh gelombang, arus dan pasang surut (Sorensen, 1991). Jika sedimen berasal dari dasar yang mudah bergerak maka arus dan gelombang akan menggerus sedimen dan terangkut sesuai dengan arah arus. Angkutan sedimen di pantai terjadi dalam dua bentuk yaitu bedload yang merupakan pergerakan butiran material secara menggelinding melalui dasar sebagai akibat pergerakan air di atasnya dan suspended load transport jika pergerakan butiran dilakukan oleh arus setelah butiran tersebut terangkat dari dasar oleh proses turbulen. Kedua bentuk angkutan sedimen di atas biasanya terjadi pada waktu yang bersamaan tetapi sulit ditentukan tempat berakhirnya angkutan dasar dan permulaan dari angkutan suspensi (van Rijn, 1993; Allen, 1985). Hampir seluruh proses masukan sedimen merupakan akibat proses-proses alami kecuali peremajaan pantai yang merupakan penambahan sedimen ke dalam sistem oleh manusia. Sedimen yang masuk dapat berasal dari longshore transport, river transport, sea-cliff erosion, on shore transport, biogenous deposition, wind transport, hydrogenous deposition. Sebaliknya sedimen keluar (output) dapat terjadi akibat angkutan sejajar pantai, angkutan ke lepas pantai (offshore 10 transport), angkutan angin, pelarutan dan abrasi (solution and abrasion) dan penambangan pasir (sand mining) (Dirjen P3K DKP, 2004). Proses dinamika pantai meliputi angkutan sedimen litoral yang didefinisikan sebagai pergerakan sedimen pada zona perairan pantai oleh gelombang dan arus. Angkutan sedimen pada perairan pantai dapat diklasifikasikan menjadi angkutan menuju dan meninggalkan pantai (onshore-offshore transport) dan angkutan sepanjang pantai (longshore transport). Angkutan menuju dan meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata tegak-lurus garis pantai, sedangkan angkutan sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata sejajar pantai (USACE, 2003b). Angkutan sedimen litoral yang sejajar dengan garis pantai, mempunyai dua kemungkinan arah pergerakan yaitu ke kanan atau ke kiri. Arah distribusi tahunan energi gelombang dapat menyebabkan laju angkutan dominan bergerak dalam satu arah. Pada sisi lain, energi gelombang tahunan terdistribusi dalam segala arah sehingga diperkirakan sedimen terangkut dalam setiap arah dengan volume yang sama (Sorensen, 1991; CHL, 2002). Angkutan sedimen yang diamati Fitrianto (2010) sekitar jetti di pelabuhan pendaratan ikan Glayem-Juntinyuat, Kabupaten Indramayu menggunakan persamaan (USACE, 2003b) yaitu : (2) (3) Besar angkutan sedimen rata-rata sepanjang pantai lokasi penelitian pada saat gelombang dibangkitkan oleh angin dari Timur adalah 194.64 m3/hari, sedangkan pada saat gelombang dibangkitkan oleh angin Tenggara adalah 27.16 m3/hari (Fitrianto, 2010). Triwahyuni et al. (2010), menghitung angkutan sedimen sepanjang pantai di pantai timur Tarakan, Kalimantan Timur menggunakan metode fluks energi dengan persamaan: (4) (5) 11 Hasil perhitungan Triwahyuni et al. (2010), diperoleh laju angkutan sedimen menuju utara terbesar adalah 9485 m3/tahun dan nilai terkecil adalah 3986 m3/tahun. Sementara itu, laju angkutan sedimen menuju ke selatan mempunyai nilai terbesar yaitu 19482 m3/tahun dan terkecil adalah 14250 m3/tahun. 2.4 Model Perubahan Garis Pantai Perubahan garis pantai pada dasarnya meliputi proses abrasi dan akresi. Abrasi pada pantai dapat terjadi apabila angkutan sedimen yang keluar atau yang berpindah meninggalkan suatu lokasi lebih besar dibandingkan dengan yang masuk, tetapi bila terjadi sebaliknya maka akan terjadi proses akresi. Pemodelan dengan menganalisis imbangan sedimen di dalam sel dapat digunakan untuk mengevaluasi sedimen yang masuk dan yang keluar dari sel yang ditinjau. Sedimen yang masuk dan yang keluar dari sel dapat dihitung dengan menggunakan beberapa persamaan yang berbeda, misalnya persamaan yang dibuat oleh Komar (1983) dan USACE (2003b). Berdasarkan analisis ini dapat diperkirakan daerah pantai yang mengalami erosi atau akresi. Pendekatan yang dilakukan adalah mengevaluasi berbagai macam sedimen yang masuk dan yang keluar kemudian membandingkannya untuk mengetahui apakah suatu ruas pantai mengalami abrasi atau akresi. Penelitian tentang perubahan garis pantai telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Komar (1983), membuat contoh model perubahan garis pantai akibat struktur pantai. Perhitungan angkutan sedimen berdasarkan pada fluks energi, hanya memperhitungkan gelombang dari satu arah. Garis pantai dari arah datang gelombang (sisi hulu jetti) mengalami sedimentasi (akresi) sedangkan pada sisi lain (hilir jetti) mengalami abrasi. Purba dan Jaya (2004), melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Perubahan garis pantai dan karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang bertiup. Bagian pantai yang mempunyai tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusur pantai yang umumnya dominan ke utara menyebabkan terjadinya erosi. Hasil gerusan ini 12 diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi. Triwahyuni et al. (2010), melakukan penelitian perubahan garis pantai di pantai timur Tarakan Kalimantan Timur, dengan mengembangkan model perubahan garis pantai yang dimodifikasi dari model yang dibuat oleh Komar (1983). Perubahan garis pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah yang dibangkitkan oleh angin menuju pantai selama 10 tahun yaitu tahun 1991 – 2001 adalah garis pantai mengalami sedimentasi lebih tinggi di utara dibandingkan di selatan karena arah angkutan sedimen sepanjang pantai menuju utara. Hasil simulasi model memberikan gambaran perubahan garis pantai yang mengikuti pola garis pantai hasil citra. Selain itu Triwahyuni et al. (2010), juga memperoleh hasil bahwa pada daerah yang terdapat sungai dan intervensi manusia hasil model dan hasil citra tidak sama. Kondisi ini terjadi karena faktor masukan sedimen dari sungai dan intervensi manusia tidak diperhitungkan dalam pengembangan model. Fitrianto (2010), membuat model perubahan garis pantai sekitar jeti di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Perhitungan transformasi gelombang menggunakan program STWave, angkutan sedimen dan perubahan garis pantai dihitung menggunakan persamaan Komar (1983). Perubahan garis pantai terjadi di sekitar jetti yang ditunjukkan dengan semakin majunya muka pantai ke arah laut di sebelah tenggara jetti sejauh 140 m dan semakin berkurangnya muka pantai (erosi) di sebelah barat laut jetti sejauh 35 m. Hal ini terjadi akibat gelombang dan arus sepanjang pantai yang bergerak dari tenggara menuju ke barat laut yang dibangkitkan oleh angin dominan berasal dari Timur dan Tenggara, sehingga angkutan sedimen dominan ke barat laut. 2.5 Citra Landsat 7 TM dan ETM Penentuan perubahan garis pantai dengan menggunakan citra satelit dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa citra satelit yang direkam dalam waktu yang berbeda. Setiap citra tersebut diperoleh garis pantai yang sesuai dengan waktu perekaman citra masing-masing. Garis pantai dari masing-masing citra dioverlay untuk melihat perubahan garis pantai satu dan yang lainnya. Dalam 13 penentuan perubahan garis pantai dengan menggunakan citra satelit tidak dikaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan garis pantai. Penelitian tentang perubahan garis pantai menggunakan citra satelit telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti : Sunday & John (2006) meneliti perubahan garis pantai di Pulau Victoria, Nigeria menggunakan citra satelit tahun 1986, 1990, 1995 dan 2002. Berdasarkan hasil overlay garis pantai tersebut menunjukkan bahwa laju erosi setiap tahun berkisar antara 1.53 – 22.29 m. Hal yang sama juga dilakukan oleh Alphan (2005) di Delta Cukurova, pantai tenggara Mediterrania, Turkey menggunakan citra Landsat MSS dan ETM tahun 1972 dan 2002. Hasil overlay garis patai tahun 1972 dan 2002 menunjukkan bahwa akresi dan abrasi terjadi sekitar muara sungai. Telah terjadi erosi sebesar 153 ha dan akresi sekitar 203 ha di muara Sungai Seyhan. Purba dan Jaya (2004) melakukan analisis perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra satelit Landsat TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Rangkaian data citra satelit ini menunjukkan garis pantai yang mengalami erosi di bagian selatan dan sedimentasi di bagian utara. 2.6 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pantai Teritip merupakan bagian dari Kota Balikpapan sedangkan Pantai Salok Api dan Pantai Ambarawang merupakan kelurahan di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Lokasi penelitian merupakan bagian dari perairan Selat Makassar (Makassar Strait). Secara umum komposisi substrat pantai terdiri atas lumpur, pasir, pecahan karang dan moluska. Umumnya substrat lumpur terdapat di sekitar muara sungai (BPPD Balikpapan, 2007). Lebih lanjut BPPD Balikpapan (2007), juga menjelaskan bahwa dasar perairan di daerah penelitian memiliki lereng pantai yang sangat landai. Kedalaman dasar perairan semakin dalam pada arah lautan pada jarak 1100 m dari garis pantai memiliki kedalaman tujuh meter dari permukaan laut. Gambaran angkutan sedimen dan karakter gelombang pada kedalaman 20 m di Pantai Balikpapan yang diperoleh Purba et al. (2008). Tinggi gelombang laut lepas dari data angin maksimum sebesar 2.40 m dengan periode 6.20 detik dan 14 tinggi gelombang terendah adalah 0.85 m dengan periode 3.83 detik. Tinggi gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh kecepatan angin rata-rata berkisar antara 0.18 - 0.56 m dengan periode berkisar antara 1.84 - 3.19 detik. Gelombang ini menyebabkan terjadinya angkutan sedimen di Pantai Balikpapan. Arah angkutan sedimen adalah dari barat daya menuju timur laut bersamaan dengan bertiupnya angin dari Selatan dimana angkutan mencapai maksimum pada bulan September. III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pantai Teritip hingga Pantai Ambarawang kurang lebih 9.5 km dengan koordinat x = 116o59’56.4’’ – 117o8’31.2’’ BT dan y = 1o7’1.2’’ – 1o11’6’’ LS (Gambar 4). Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan September hingga Oktober 2009. Gambar 4 Peta lokasi penelitian dan peta sounding batimetri. 3.2 Metode Perolehan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan primer. Data sekunder merupakan data penunjang yang didapatkan dari instansi dan lembaga terkait, sedangkan data primer diperoleh dari data yang diambil di lokasi penelitian dengan menggunakan alat seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan diperlihatkan pada Tabel 3. 16 Tabel 2 Alat dan data yang digunakan Alat dan Data Perangkat survei lapangan : 1. Kapal 2. GPS akuisisi 3 meter 3. Echosounder odom Echotrac DF3200 MKII akuisisi 0.1 meter 4. Batu duga 5. Citra Landsat tahun 2000 dan 2007 Perangkat analisis data : 1. Hardware dan Software Komputer (MS. Excel, Macro Excel, WRPLOT view, ERmapper, Surfer dan Arcview) Kegunaan wahana sampling penentuan posisi menentukan kedalaman untuk mengoreksi Echosounder mengetahui perubahan garis pantai analisis data Tabel 3 Jenis dan sumber data yang digunakan No Jenis data 1 3 Pasang surut Batimetri 4 5 6 Citra Landsat Arah dan kecepatan angin Gelombang Pr √ Sifat Data L P S √ √ √ √ √ Sumber Dishidros Biotrop Stasiun meteorologi balikpapan Keterangan : Pr = Prediksi L = Lapangan P = Primer S = Sekunder 3.2.1 Batimetri Pengukuran batimetri diukur dengan menggunakan Echosounder pada beberapa titik yang membentuk lintasan sepanjang transek lokasi penelitian (Gambar 4), sedangkan posisi titik pengukuran kedalaman diukur menggunakan GPS. Hasil pengukuran kedalaman dan posisi diplot pada peta digital guna mendapatkan peta batimetri (kedalaman laut). Pemeruman dilakukan sepanjang garis pantai (kurang lebih 9.5 km) dan ke arah laut sejauh 13 km hingga kedalaman lebih dari 24 m. Hasil pemeruman ini dikoreksi dengan data pasang surut sehingga dapat diketahui kedalaman sesungguhnya terhadap referensi MSL. Data batimetri hasil pengukuran digunakan untuk menghitung transformasi gelombang dari tahun 2000 – 2007 dengan asumsi bahwa batimetri yang diukur tahun 2009 dianggap tidak mengalami perubahan yang berarti. 17 3.2.2 Arah dan Kecepatan Angin Arah dan kecepatan angin diperoleh dari Stasiun Meteorologi Klas II Balikpapan. Data yang digunakan adalah data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000 – 2007. Arah angin digunakan sebagai arah datang gelombang, sedangkan kecepatan angin dan panjang fetch digunakan untuk menghitung tinggi gelombang di laut lepas. Selanjutnya tinggi gelombang di laut lepas digunakan untuk mengetahui karakteristik gelombang pecah. Berdasarkan data tersebut maka angkutan sedimen dapat dihitung dan prediksi perubahan garis pantai dapat dilakukan. 3.2.3 Citra Landsat Citra Landsat diperoleh dari Biotrop Training Information Centre (BTIC). Lembaga ini memperoleh data citra dari National Aeronautics and Space Administration (NASA) Amerika. Perolehan garis pantai dari citra tahun 2000 digunakan sebagai garis pantai awal, sedangkan garis pantai citra tahun 2007 digunakan untuk membandingkan dengan hasil model. 3.3 Analisis Data 3.3.1 Kedalaman Hasil pengukuran kedalaman laut sebelum dipetakan terlebih dahulu dikoreksi terhadap Mean Sea Level (MSL) sebagai titik referensi (Gambar 5). Data MSL diperoleh dari konstanta harmonik pasang surut yang diterbitkan oleh DISHIDROS. Koreksi pasang surut dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut: Δd = dt – (ht – MSL) (6) Kemudian peta kedalaman yang diperoleh dianalisis untuk mengetahui kemiringan dasar pantai pada tiap profil yang ditentukan untuk mengoreksi garis pantai citra dan menganalisis perilaku gelombang dan pengaruhnya terhadap angkutan sedimen menyusur pantai. 18 ht -MSL Gambar 5 Koreksi pengukuran kedalaman. 3.3.2 Lereng Dasar Pantai (Slope) Penentuan nilai kemiringan dasar pantai diperoleh melalui persamaan : (7) 3.3.3 Prediksi Gelombang Laut Lepas (1) Koreksi Kecepatan Angin Data angin diperoleh dari BMKG Balikpapan. Data angin ini diukur di darat pada ketinggian 12 m. Data arah dan kecepatan angin mempunyai satu nilai setiap bulan selama 8 tahun (2000 – 2007) dengan fetch lebih besar dari 10 mile (USACE, 2003a), sehingga perlu dilakukan: a) Koreksi ketinggian Kecepatan angin pada penelitian ini diukur bukan pada ketinggian 10 m, maka data angin perlu dikoreksi ke ketinggian 10 m. Koreksi ketinggian dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003a): (8) b) Koreksi rata-rata kecepatan angin untuk durasi 1 jam Data yang diperoleh adalah data angin bulanan sehingga perlu dilakukan koreksi rata-rata kecepatan angin untuk durasi 1 jam. 19 Koreksi ini dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003a): untuk satuan Uf meter per detik (9) untuk t < 3600 untuk 3600 < t < 36000 (10) (11) (12) c) Koreksi pengukuran kecepatan angin dari darat ke laut Koreksi ini dilakukan untuk data angin yang diukur di darat. Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut dilakukan dengan menggunakan Gambar 6 untuk fetch cukup panjang (>10 mile). Gambar 6 Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat. d) Koreksi stabilitas Untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile maka diperlukan koreksi stabilitas, karena dalam penelitian ini perbedaan temperatur air laut dan udara tidak diketahui, maka diasumsikan sebagai kondisi tidak stabil dan menggunakan nilai RT = 1,1 20 (2) Jarak Pembangkitan Gelombang (Fetch) Fetch pada penelitian ini ditentukan pada kedalaman 20 m kemudian ditarik garis lurus pada 8 arah mata angin hingga membentur daratan. Lebar fetch, tidak dihitung karena relatif tidak mempengaruhi kondisi gelombang pada area fetch Resio dan Vincent (1979) dalam USACE (2003a). Apabila panjang fetch yang diperoleh lebih dari 200 km maka panjang fetch maksimum yang digunakan yaitu 200 km. Hal in dilakukan karena angin konsisten hanya sampai 200 km. Jarak fetch ditentukan dengan menggunakan peta rupa bumi 1814-64 BALIKPAPAN dan 1914-43 SAMBOJA edisi I-1991 dengan skala 1 : 50.000. Arah datang gelombang di lokasi penelitian tergantung pada arah datang angin yang terjadi di Selat Makassar. Sesuai dengan letak geografis garis pantai lokasi penelitian yang menghadap ke tenggara, maka arah angin yang dapat membangkitkan gelombang secara maksimal adalah angin yang datang dari arah Timur Laut, Timur, Tenggara dan Selatan. Sedangkan angin yang berasal dari arah Utara, Barat Laut dan Barat tidak digunakan karena berasal dari darat sehingga diperkirakan tidak menyebabkan pembangkitan gelombang menuju pantai pada lokasi penelitian. (3) Perhitungan Tinggi dan Periode Gelombang Perhitungan tinggi dan periode gelombang menggunakan data angin bulanan yang nilainya berbeda setiap bulan selama 8 tahun (2000 - 2007). Persamaan yang digunakan untuk menentukan tinggi gelombang di perairan lepas pantai dari data kecepatan angin dan fetch adalah (USACE, 2003a): (13) dan perioda gelombang : (14) 21 (15) (16) (17) 3.3.4 Transformasi Gelombang (1) Penentuan arah dan tinggi gelombang Transformasi gelombang merupakan perubahan bentuk gelombang selama penjalaran gelombang dari laut lepas menuju pantai. Data masukan model terdiri dari : 1) Data kedalaman dasar laut (d) 2) Tinggi gelombang laut lepas (H0) 3) Sudut gelombang laut lepas (α0) 4) Perioda gelombang laut lepas (T0) 5) Percepatan gravitasi = 9.8 m/det2 6) Phi = 3.14 7) Step simulasi (∆t) = 1 hari 8) Lama simulasi = 53 tahun 9) Jumlah titik grid sejajar pantai i = 318 10) Jumlah titik grid tegak lurus pantai j = 318 Parameter-parameter yang dihitung pada setiap titik grid adalah : 1) Panjang gelombang (Ldij) 2) Kecepatan gelombang (Cdij) 3) Sudut gelombang (αdij) 4) Koefisien refraksi (Krdij) 5) Koefisien shoaling (Ksdij) 6) Tinggi gelombang (Hdij) Selain itu tinggi gelombang pecah (Hbdij), kedalaman air dimana gelombang pecah (dbij) dan sudut gelombang pecah ( sejajar pantai. bxij) dihitung pada setiap titik grid Perubahan arah gelombang dihitung dengan menggunakan persamaan Snellius (USACE, 2003): 22 (18) (19) (20) (21) (22) Tinggi gelombang pada kedalaman (d) disetiap titik grid dihitung dengan menggunakan persamaan (USACE, 2003): (23) (24) (25) (26) (27) (2) Penentuan Tinggi dan kedalaman gelombang pecah Tinggi gelombang pecah dan kedalaman gelombang pecah ditentukan dengan menggunakan asumsi sebagai berikut: bila (28) sehingga: (29) (30) (31) Daerah yang disimulasikan dalam program tranformasi gelombang terlebih dahulu didiskritisasikan ke dalam sistem grid, dengan sumbu x sejajar pantai dan sumbu y menuju laut lepas. Indeks sel dalam arah x adalah i dan dalam arah y adalah j (Gambar 7). Pada tiap titik grid dihitung 23 tinggi dan sudut gelombang serta kedalaman perairan. Tinggi, sudut dan kedalaman perairan pada gelombang pecah dihitung hanya pada titik grid dalam arah i. Jumlah titik grid dalam arah x adalah 318 (imax = 318) dengan interval antara titik grid adalah 30 m (∆x = 30). Dalam arah y jumlah titik grid adalah 532 (jmax = 532) dengan interval antara titik grid 30 m (∆y = 30 m). Program transformasi gelombang dibuat dalam bahasa basic ditunjukkan pada Lampiran 6. Input data yang digunakan pada program transformasi gelombang terdiri dari data batimetri, tinggi, periode dan arah gelombang laut lepas. Gambar 7 Bentuk grid yang digunakan dalam program transformasi gelombang. (3) Penentuan sudut datang gelombang terhadap garis pantai Apabila gelombang datang dengan membentuk sudut αo terhadap sumbu x, maka sudut datang gelombang pecah terhadap garis pantai adalah (Komar, 1983): αbdij = αg ± αbxdij (32) 24 Besar angkutan sedimen sepanjang pantai tergantung pada sudut datang gelombang pecah. Karena adanya perubahan garis pantai maka sudut gelombang pecah akan berubah dari satu sel ke sel yang lain. Sudut gelombang pecah dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: (33) Sudut αg dibentuk oleh garis pantai dengan garis sejajar sumbu x, antara sel i dan sel i + 1 seperti diperlihatkan pada Gambar 8 αbx αg Gambar 8 Hubungan antara sudut gelombang datang (αbx), orientasi pantai (αg), sudut gelombang pecah (αb). (Komar, 1983). 3.3.5 Angkutan Sedimen Sepanjang Pantai (Qs) Metode yang digunakan dalam perhitungan laju angkutan sedimen sepanjang pantai adalah metode fluks energi (Komar, 1983). Potensi laju angkutan sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport), dipengaruhi oleh fluks energi gelombang pecah sejajar pantai (Pℓ): (N/det) (34) (N/m atau kg/det2) (35) (m/det) (36) Sehingga diperoleh persamaan : (N/det) (37) 25 Laju angkutan sedimen sejajar pantai diperoleh dengan menggunakan persamaan : (m3/det) (38) Perubahan garis pantai dapat ditentukan dengan menentukan selisih sedimen yang masuk dan keluar sel menggunakan metode perimbangan sel sedimen. Berdasarkan hasil perhitungan angkutan sedimen pada tiap sel, maka dapat dilakukan perhitungan perubahan garis pantai. Pada penelitian ini, sel disusun dalam arah sejajar pantai, sehingga selisih sedimen yang masuk dan keluar sel (Gambar 9) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: (m3/det) (39) Gambar 9 Prosedur perhitungan selisih sedimen yang masuk dan keluar sel dengan metode perimbangan sel. 3.3.6 Model Perubahan Garis Pantai Model perubahan garis pantai yang dibuat didasarkan pada persamaan kontinuitas sedimen. Dalam hal ini, panjang pantai dibagi menjadi 317 titik sel dengan panjang yang sama yaitu ∆x = 30 m, seperti diperlihatkan pada Gambar 10. Pada setiap sel ditinjau angkutan sedimen yang masuk dan keluar dari sel. Sesuai dengan hukum kekekalan massa, maka laju angkutan sedimen bersih di dalam sel adalah sebanding dengan perubahan massa di dalam sel setiap satuan waktu. Program perubahan garis pantai dibuat dalam bahasa basic ditunjukkan pada Lampiran 7. Masukan data yang digunakan pada program perubahan garis pantai terdiri dari data garis pantai awal yang diperoleh dari citra satelit tahun 2000 (Lampiran 8), hasil refraksi gelombang (tinggi, sudut dan kedalaman gelombang pecah) dan beberapa parameter lainnya ditunjukkan pada Tabel 4. 26 Qi = Angkutan sepanjang pantai Garis pantai Sel i i-1 i+1 yi ∆x = 30 Gambar 10 Pembagian pantai menjadi sejumlah sel (Komar, 1983). Tabel 4 Parameter masukan pada program perubahan garis pantai Parameter Percepatan gravitasi Phi Frekuensi kejadian gelombang Interval sel (∆x) Step simulasi (∆t) Lama simulasi Massa jenis air laut Jumlah titik grid sejajar pantai Satuan m/det2 % m hari hari kg/m3 - Nilai 9.81 3.14 1.00 30.00 1.00 1590 1025 317 Angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel dan perubahan volume yang terjadi di dalamnya diperlihatkan pada Gambar 11. Laju perubahan volume sedimen yang terjadi di dalam sel adalah : (m3/det) (40) Bila diasumsikan bahwa kedalaman air di pantai sama dengan tinggi sel maka volume sedimen yang masuk dan keluar sel (Gambar 11) dinyatakan dengan persamaan: (m3) (41) Subsitusi persamaan (41) ke persamaan (40) diperoleh: (m) (42) 27 Gambar 11 Sedimen masuk dan sedimen yang keluar (Komar, 1983). Jika persamaan (42) diselesaikan dengan menggunakan metode beda hingga (finite difference), maka diperoleh : (43) Perubahan garis pantai dihitung dengan menggunakan persamaan (43) yang dibuat dalam bahasa basic. Data masukan model terdiri dari data garis pantai awal yang diperoleh dari citra satelit tahun 2000. Tinggi, sudut dan kedalaman gelombang pecah (hasil perhitungan transformasi gelombang), percepatan gravitasi = 9.8 m/det2, phi = 3.14, frekuensi kejadian gelombang = 1, step simulasi (∆t) = 1 hari, lama simulasi = 53 bulan, massa jenis air laut = 1025 kg/m3, jumlah titik grid sejajar pantai = 317. Pada persamaan (43), nilai ∆t, d dan ∆x adalah tetap sehingga ∆y hanya tergantung pada ∆Q. Apabila ∆Q negatif (angkutan sedimen yang masuk lebih kecil dari yang keluar sel) maka ∆y akan negatif, yang berarti pantai mengalami abrasi. Sebaliknya, jika ∆Q positif (angkutan sedimen yang masuk lebih besar dari yang keluar sel) maka ∆y akan positif atau pantai mengalami akresi. Apabila ∆Q = 0 maka ∆y = 0 yang berarti pantai stabil. Beberapa asumsi yang digunakan dalam pembuatan model yaitu: 1. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi transformasi gelombang selain shoaling dan refraksi diabaikan 2. Kedalaman air di pantai sama dengan tinggi sel 3. Tinggi gelombang pecah terjadi jika 4. Posisi garis pantai pada titik sel 1 tidak berubah selama simulasi 28 5. Posisi garis pantai pada titik sel akhir sama dengan posisi garis pantai sebelumnya ( ). 3.3.7 Citra Landsat Citra Landsat yang dianalisis adalah citra tanggal 15 Mei 2000 sebagai kondisi awal dan citra Landsat-TM tanggal 8 Maret 2007 path/row 116/61 dengan format geotiff sebagai kondisi akhir pantai. Penglolahan citra dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ERMapper 6.4. Berikut ini diuraikan tahapan pengolahan data citra : (1) Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan (real world coordinate). Data raster umumnya ditampilkan dalam bentuk ”raw” data dan memiliki kesalahan geometrik sehingga perlu dikoreksi secara geometrik kedalam sistem koordinat bumi. Pengambilan Ground control point (GCP) yang disebut titik kontrol di bumi dilakukan dengan sistem Universal Tranverse Mercator (UTM) sebanyak 19 titik kontrol dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Pengukuran titik kontrol dilakukan pada bulan Oktober 2009 di lokasi-lokasi yang kodisinya dianggap tidak berubah dari tahun 2000 – 2009, seperti simpangan jalan dan jembatan pada lokasi penelitian. Titik kontrol tersebut menjadi titik ikat pada semua citra Landsat yang akan dianalisis sehingga didapatkan citra yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan (di muka bumi). (2) Pemotongan Citra (Image Cropping) Pemotongan data citra dilakukan untuk membatasi citra yang akan dianalisis hanya pada daerah penelitian. Pemotongan citra dapat dilakukan berdasarkan koordinat, jumlah pixel atau hasil zooming daerah. Pada citra Landsat terdapat delapan tampilan kanal. Akan tetapi dari delapan kanal tersebut hanya lima kanal yang digunakan dalam pegolahan citra, yaitu kanal 1, 2, 3, 4 dan 5. 29 (3) Analisis Citra untuk Perubahan Garis Pantai Penajaman kanal menggunakan komposit kanal Red Green Blue (RGB) 542. Kanal ini digunakan karena ketiga kanal tersebut paling sesuai untuk mendeteksi perubahan garis pantai. Setelah dilakukan penajaman citra kemudian citra didigitasi untuk mendapatkan keakuratan garis pantai. (4) Koreksi Garis Pantai Hasil Citra Terhadap Pasang Surut Koreksi terhadap pasang surut sangat penting dilakukan untuk menghilangkan pengaruh pasang surut terhadap perekaman citra. Hal ini akan mempengaruhi hasil perubahan garis pantai. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut dilakukan dengan cara berikut. (a) Menentukan kemiringan dasar pantai Kemiringan dasar pantai peroleh dengan mengetahui nilai kedalaman (d) dan jarak (m) dari garis pantai sampai kedalaman d, seperti pada Gambar 12. m β d Gambar 12 Kemiringan dasar pantai. Pada Gambar 12 diperoleh kemiringan dasar pantai yakni: (44) (b) Menentukan koreksi garis pantai citra terhadap MSL Koreksi garis pantai citra terhadap MSL dilakukan dengan mengetahui selisih posisi muka air (η) pada saat perekaman citra terhadap MSL, seperti pada Gambar 13. MSL diperoleh dari konstanta-konstanta pasut DISHIDROS. 30 r β Posisi muka air pada saat perekaman citra η MSL Gambar 13 Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra. sehingga jarak pergeseran garis pantai (r) diperoleh melalui persamaan : (45) Tinggi pasut pada saat perekaman citra tahun 2000 berada pada 190 cm dan tinggi pasut pada saat perekaman citra tahun 2007 berada pada 80 cm, dengan posisi MSL 140 cm. Jika perekaman citra dilakukan pada saat air laut pasang maka garis pantai digeser ke arah laut sejauh r, sebaliknya jika air laut surut maka garis pantai digeser ke arah darat sejauh r (Lampiran 5). (5) Overlay Proses ini dilakukan untuk melihat perubahan garis pantai yang terjadi di lokasi penelitian. Overlay dilakukan pada garis pantai tahun 2000, garis pantai hasil model tahun 2007 dan garis pantai hasil citra tahun 2007 dengan program Arcview 3.3. 3.3.8 Perbandingan Hasil Model dengan Citra Pada model perubahan garis pantai, garis pantai Citra tahun 2000 digunakan sebagai input garis pantai awal. Garis pantai citra tahun 2007 digunakan untuk membandingkan garis pantai hasil simulasi pada model (2000 – 2007). Hasil perubahan garis pantai yang diperoleh dari citra Landsat dan hasil dari model di dibandingkan, jika ditemukan kesamaan berarti model yang dibuat sudah benar. Adapun bagan alir pengolahan data perubahan garis pantai disajikan pada Gambar 14. 31 Pengumpulan dan Pengolahan Data Batimetri Koreksi Pasut Peta RBI Angin BMKG 2000 - 2007 Fetch Koreksi Ketinggian Koreksi Durasi 1 Jam Koreksi dari Darat ke Laut Koreksi Stabilitas Pasut DISHIDROS Citra Landsat TM 2000 Citra Landsat ETM 2007 Koreksi Geometrik MSL Pemotongan Citra Kecepatan Angin Terkoreksi Batimetri Terkoreksi Penggabungan Kanal (542) Prediksi Gelombang Laut Lepas (Hmo, Tp) Lereng Pantai Digitasi Garis Pantai Tranformasi gelombang Gelombang Pecah (Hb, db, ab) Angkutan Sedimen M O D E L Perubahan Garis Pantai Garis Pantai 2007 Garis Pantai 2000 MEMBANDINGKAN Garis Pantai Citra 2007 Overlay Perubahan Garis Pantai Gambar 14 Bagan alir pengolahan data perubahan garis pantai. Garis Pantai Terkoreksi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakter Angin Angin merupakan salah satu faktor penting dalam membangkitkan gelombang di laut lepas. Mawar angin dari data angin bulanan rata-rata selama tahun 2000 - 2007 diperlihatkan pada Gambar 15a. Hasil analisis data angin bulanan rata-rata di Balikpapan menunjukkan bahwa arah angin dominan dari Selatan menyusul dari Utara, Barat Laut, Barat Daya dan Timur. Kecepatan angin terkecil 1.5 m/det dan terbesar ≥ 4.5 m/det dengan arah resultan yaitu 204o sebesar 19 %. Persentase angin tertinggi sebesar 36.5% pada interval kecepatan angin 2.5 - 3.0 m/det diikuti oleh 28.1%, 11.5%, 9.4%, 4.2% dan terkecil 1.0% masingmasing pada interval 3.0 - 3.5 m/det, 3.5 - 4.0 m/det, 4.0 - 4.5 m/det, ≥ 4.5 m/det dan yang terkecil pada interval 1.5 - 2.0 m/det (Gambar 15b). Pada Tabel 5 terlihat bahwa frekuensi distribusi angin bulanan tertinggi adalah dari Selatan sebesar 53.13% dari total distribusi angin. Angin yang bertiup dari Timur hanya terdistribusi sebesar 2.08% dari total kejadian angin, sedangkan angin dari arah lainnya tidak dibahas karena posisi pantai menghadap ke tenggara sehingga angin dari arah tersebut dianggap tidak membangkitkan gelombang Frekuensi (%) menuju pantai. a b Gambar 15 Mawar angin (a) dan histogram distribusi frekuensi (b) kecepatan angin dari angin bulanan rata-rata tahun 2000 – 2007. 33 Tabel 5 Frekuensi distribusi angin tahun 2000 - 2007 Kecepatan Angin (m/det) Arah 1.5 - 2.0 2.0 - 2.5 U 0.00 3.13 17.71 8.33 2.08 0.00 0.00 Total (%) 31.25 TL 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 2.5 - 3.0 3.0 - 3.5 3.5 - 4.0 4.0 - 4.5 >= 4.5 T 0.00 0.00 1.04 1.04 0.00 0.00 0.00 2.08 TG 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 S 1.04 4.17 13.54 11.46 9.38 9.38 4.17 53.13 BD 0.00 0.00 1.04 2.08 0.00 0.00 0.00 3.13 B 0.00 0.00 0.00 1.04 0.00 0.00 0.00 1.04 BL 0.00 2.08 3.13 4.17 0.00 0.00 0.00 9.38 Total 1.04 9.38 36.46 28.13 11.46 9.38 4.17 100.00 Frekuensi kejadian angin seperti terlihat pada Tabel 6, secara keseluruhan mempunyai total kejadian sebanyak 96 kali. Frekuensi kejadian angin terbanyak adalah 35 kali dengan kecepatan angin 2.5 – 3.0 m/det dengan arah angin dari Selatan sebanyak 51 kali dari total kejadian angin. Frekuensi kejadian angin yang membangkitkan gelombang menuju lokasi penelitian sebanyak 53 kali kejadian (dari Selatan 51 kali dan dari Timur 2 kali). Kondisi ini menunjukkan bahwa angin yang berasal dari Selatan memberikan pengaruh paling besar terhadap perubahan pantai pada lokasi penelitian, dengan kecepatan angin 1.5 - 4.5 m/det. Pada kisaran kecepatan angin 2.5 – 3.0 m/det angin yang dapat membangkitkan gelombang dominan dari Selatan sebanyak 13 kali dari total kejadian angin. Berdasarkan arah angin, terlihat bahwa pada bulan Juni – September (Musim Timur) angin berhembus lebih kencang (2.5 – 4.5 m/det) dengan arah angin terbanyak dari Selatan. Pada bulan Desember – Maret (Musim Barat) angin bertiup terbanyak dari Utara dengan kecepatan berkisar antara 2.0 – 3.5 m/det. Karakter angin di lokasi penelitian mirip dengan karakter angin di pantai timur Tarakan seperti yang telah diteliti oleh (Triwahyuni, 2010) dimana gelombang dibangkitkan oleh angin yang berasal dari Timur Laut, Timur, Tenggara dan Selatan. Bila dilihat dari orientasi garis pantai dan arah angin, maka lokasi penelitian dipengaruhi oleh gelombang yang dibangkitkan oleh angin dari Timur, Tenggara dan Selatan. Arah dan kecepatan angin bulanan rata-rata selama tahun 34 2000 - 2007 disajikan pada Lampiran 1 dan hasil analisis data angin secara keseluruhan disajikan dalam bentuk mawar angin (wind rose) perbulan pada Lampiran 2. Tabel 6 Frekuensi kejadian angin tahun 2000 – 2007 Arah Kecepatan Angin (m/det) 1.5 - 2.0 2.0 - 2.5 2.5 - 3.0 3.0 - 3.5 3.5 - 4.0 4.0 - 4.5 >= 4.5 Total U 0 3 17 8 2 0 0 30 TL 0 0 0 0 0 0 0 0 T 0 0 1 1 0 0 0 2 TG 0 0 0 0 0 0 0 0 S 1 4 13 11 9 9 4 51 BD 0 0 1 2 0 0 0 3 B 0 0 0 1 0 0 0 1 BL 0 2 3 4 0 0 0 9 Total 1 9 35 27 11 9 4 96 4.2 Pembangkitan Gelombang Laut Lepas Fetch yang panjang dan kecepatan angin yang besar menghasilkan gelombang yang besar (Garrison, 2005), sehingga panjang fetch menentukan tinggi gelombang yang terbentuk. Hasil analisis panjang fetch dapat dilihat pada Lampiran 3. Panjang fetch efektif dari nilai fetch yang dapat membangkitkan gelombang disajikan pada Tabel 7. Fetch terpanjang terdapat pada arah Timur, Tenggara dan Selatan. Hal ini disebabkan karena pada lokasi penelitian pada arah Timur, Tenggara dan Selatan lebih terbuka (laut bebas). Angin yang berhembus dari arah Utara, Barat dan Barat Laut tidak diperhitungkan karena berasal dari darat (tidak membangkitkan gelombang). Sedangkan lebar fetch tidak mempengaruhi kondisi gelombang pada area fetch relatif sehingga tidak digunakan dalam memprediksi fetch efektif menurut Resio dan Vincent (1979) dalam USACE (2003a). Hasil perhitungan panjang fetch pada semua arah angin diperoleh bahwa panjang fetch di lokasi penelitian lebih besar dari 200 km sehingga panjang fetch yang digunakan adalah 200 km. Hal ini dilakukan untuk mereduksi hasil prediksi gelombang yang terlalu besar (Saville et al. 1962 dalam CERC 1984). 35 Tabel 7 Panjang fetch efektif No Arah 1 Utara 2 Arah (o) Fetch (km) Fetch (m) 360 13.75 13750 Timur Laut 45 40.06 40060 3 Timur 90 200.00 200000 4 Tenggara 135 200.00 200000 5 Selatan 180 200.00 200000 6 Barat Daya 225 103.46 103460 7 Barat 270 10.26 10260 8 Barat Laut 315 7.49 7490 Berdasarkan Gambar 16 dari hasil perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas terlihat bahwa gelombang tertinggi terjadi pada bulan Agustus berkisar antara 1.2 - 1.4 m dengan periode berkisar antara 5.0 - 5.2 detik, sedangkan gelombang terendah terjadi pada bulan Desember berkisar antara 0.6 - 0.8 m dengan periode berkisar antara 4.4 - 4.6 detik. Kecepatan angin bulanan rata-rata terbesar selama 8 tahun adalah 4.04 m/det yang terjadi pada bulan Agustus dengan arah dari Selatan (180o), sedangkan nilai terkecil terjadi pada bulan Desember dengan kecepatan angin sebesar 2.00 m/det dari Selatan (Tabel 8). Berdasarkan kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat bahwa apabila kecepatan angin besar maka tinggi dan periode gelombang laut lepas akan tinggi (kecepatan angin 4.04 m/det, tinggi gelombang laut lepas 1.29 m dan periode 5.00 detik). Sebaliknya, apabila kecepatan angin kecil maka tinggi dan periode gelombang laut lepas yang dihasilkan juga kecil (kecepatan angin 2.00 m/det, tinggi gelombang laut lepas 0.77 m dan periode 4.21 detik). Perhitungan gelombang yang dibangkitkan oleh angin disajikan pada Lampiran 4. Berdasarkan data arah angin, maka gelombang yang merambat menuju pantai terjadi setiap bulan (Januari – Desember), kecuali pada bulan Februari dan April (Tabel 8). 36 H0 T0 Gambar 16 Hasil perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas. Tabel 8 Tinggi dan periode gelombang laut lepas yang dibangkitkan dari kecepatan angin bulanan rata-rata Bulan Kec.angin Arah Fetch H0 T0 (m/det) 0 (m) (m) (det) Januari Maret Mei Juni Juli Agustus September Oktober Novembar Desember ( ) 2.95 3.00 2.66 3.11 3.71 4.04 3.55 2.86 2.36 2.00 180 90 180 180 180 180 180 180 180 180 200000 200000 200000 200000 200000 200000 200000 200000 200000 200000 1.02 1.03 0.94 1.06 1.21 1.29 1.17 1.00 0.86 0.77 4.63 4.65 4.51 4.68 4.89 5.00 4.84 4.58 4.38 4.21 4.3 Transformasi Gelombang Pola transformasi gelombang yang dihasilkan diperoleh dari program permodelan refraksi gelombang menggunakan basic language program yang kemudian divisualisasikan kedalam bentuk gambar seperti pada Gambar 17 dan 18. Transformasi gelombang di laut dipengaruhi oleh bentuk pantai dan kedalaman suatu perairan. Pantai lokasi penelitian menghadap ke timur dengan kelerengan yang sangat landai yaitu 0.0030 (pada jarak 100 m ke lepas pantai kedalaman air 0.3 m). Gambar 17 dan 18 memperlihatkan transformasi gelombang dari laut lepas yang dibangkitkan oleh angin bulanan rata-rata 37 masing-masing dari arah Selatan dan Timur. Pada lokasi penelitian terdapat dua arah angin yang membangkitan gelombang di laut lepas yaitu dari arah Selatan dan Timur. Transformasi gelombang disimulasikan menggunakan gelombang dari arah Selatan (180o) dengan tinggi gelombang laut lepas 1.4 m dan Timur (90o) dengan tinggi gelombang laut lepas 1.03 m. Transformasi gelombang dengan arah angin dari Selatan (Gambar 17) memperlihatkan bahwa pada laut lepas arah gelombang tetap. Pembelokan arah perambatan gelombang terjadi ketika mendekati garis pantai dan pucak gelombang cenderung sejajar garis pantai. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Siegle dan Asp (2007) yang meneliti transformasi gelombang di Pantai Selatan Santa Catarina dengan menggunakan program Nearshore spectral wind-wave model – developed by DHI Water and Environment (MIKE21 NSW). Transformasi gelombang dari laut lepas menuju pantai memperlihatkan terjadinya perubahan arah dan tinggi gelombang setiap titik grid. Transformasi gelombang dengan arah angin dari Timur memperlihatkan hal yang serupa (Gambar 18). Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju pantai akan mengalami perubahan tinggi dan arah yang disebabkan oleh proses refraksi akibat kedalaman laut menurun, sehingga panjang dan kecepatan gelombang kecil serta bertambahnya tinggi gelombang. Konvergensi (penguncupan gelombang) terjadi pada garis kontur/pantai yang menjorok ke luar, sedangkan divergensi (penyebaran gelombang) terjadi pada garis kontur/pantai yang menjorok ke darat (Gambar 18). Daerah yang mengalami konvergensi umumnya mempunyai tinggi gelombang pecah yang lebih besar jika dibandingkan dengan daerah divergensi. Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke pantai mengalami perubahan tinggi gelombang seperti diperlihatkan pada Gambar 19, Lokasi A dan Lokasi B serta Gambar 20 Lokasi C dan Lokasi D menjelaskan bahwa posisi jalur lintasan transformasi gelombang setiap lokasi diperlihatkan pada Gambar 21. 38 510000 512000 514000 512000 514000 9876000 9876000 508000 506000 504000 502000 Ambarawang Laut KALIMANTAN TIMUR 9874000 9874000 Salok Api Gunung Tembak 9872000 9872000 S E L AT M A K A S S A R 9870000 9870000 Teritip PETA TRANSFORMASI GELOMBANG DARI ARAH SELATAN PADA LOKASI PENELITIAN N W E 508000 506000 504000 502000 Darat Arah Gelombang Tinggi Gelombang (0,5 m) Garis Pantai S 1 0 1 2 KM Kedalaman (m) : 0- 4 4- 8 8 - 12 12 - 16 16 - 20 20 - 24 24 - 28 28 - 32 32 - 36 510000 Lokasi Penelitian PROV. KALIMANTAN TIMUR Balikpapan SELAT MAKASSAR Gambar 17 Transformasi gelombang dengan arah angin dari menggambarkan tinggi dan arah gelombang. 504000 508000 506000 510000 Selatan yang 512000 514000 512000 514000 9876000 9876000 502000 Sumber Peta : 1. Google Earth 2. Survey Lapangan 2009 Ambarawang Laut KALIMANTAN TIMUR 9874000 9874000 Salok Api Gunung Tembak 9872000 9872000 S E L AT M A K A S S A R 9870000 9870000 Teritip 502000 504000 PETA TRANSFORMASI GELOMBANG DARI ARAH TIMUR PADA LOKASI PENELITIAN N W E S 1 0 1 2 KM 508000 506000 Kedalaman (m) : 0- 4 4- 8 8 - 12 12 - 16 16 - 20 20 - 24 24 - 28 28 - 32 32 - 36 Darat Arah Gelombang Tinggi Gelombang (0,5 m) Garis Pantai 510000 Lokasi Penelitian PROV. KALIMANTAN TIMUR Balikpapan SELAT MAKASSAR Sumber Peta : 1. Google Earth 2. Survey Lapangan 2009 Gambar 18 Transformasi gelombang dengan arah angin dari Timur yang menggambarkan tinggi dan arah gelombang. 39 Gelombang tersebut terlebih dahulu mengalami penurunan tinggi gelombang. Kemudian mendekati garis pantai tinggi gelombang meningkat sampai akhirnya pecah dan tinggi gelombang mengalami penurunan sampai nol di garis pantai. Perbesaran profil tinggi gelombang dari laut lepas (H0 = 1.4 m) hingga pecah di tiap lokasi diperlihatkan oleh Gambar 22. Terlihat pada Lokasi D gelombang pecah paling dekat dari garis pantai, artinya bahwa lereng pantai pada Lokasi D lebih terjal jika dibandingkan dengan lokasi yang lain. 1.6 Lokasi B 1.4 Tinggi Gelombang (m) Tinggi Gelombang (m) 1.6 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Lokasi A 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 3000 6000 9000 12000 0 3000 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) H H0 0 = 1.4 m H0 = 1.03 m H0 6000 9000 12000 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) H H0 0 = 1.4 m H H0 0 = 0.71 m H H00 = 1.03 m H H00 = 0.71 m Gambar 19 Profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di Lokasi A grid ke-48 dan Lokasi B grid ke-139. 1.6 Lokasi C 1.4 Tinggi Gelombang (m) Tinggi Gelombang (m) 1.6 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 Lokasi D 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 3000 6000 9000 12000 0 3000 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) H H0 0 = 1.4 m H H00 = 1.03 m H H00 = 0.71 m 6000 9000 12000 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) H H0 0 = 1.4 m HH0 0 = 1.03 m H H0 0 = 0.71 m Gambar 20 Profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di Lokasi C grid ke-214 dan Lokasi D grid ke-282. 40 1.2 0.8 Lokasi A 0.4 0 90 390 690 990 1290 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Tinggi Gelombang (m) 1.6 1.6 1.2 0.8 Lokasi B 0.4 0 90 390 690 990 1290 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) 1.6 1.6 1.2 0.8 Lokasi C 0.4 0 90 390 690 990 1290 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Tinggi Gelombang (m) Tinggi Gelombang (m) Tinggi Gelombang (m) Gambar 21 Jalur lintasan tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di lokasi penelitian. 1.2 0.8 Lokasi D 0.4 0 90 390 690 990 1290 Jarak Tegak Lurus Pantai (m) Gambar 22 Perbesaran profil tinggi gelombang dari laut lepas hingga pecah di tiap lokasi (H0 = 1.4 m). Jarak gelombang pecah dari garis pantai untuk tinggi gelombang laut lepas 1.4 m dan 1.03 m pada Lokasi B lebih besar dibandingkan dengan Lokasi A, C dan D (Tabel 9). Hal ini disebabkan karena kemiringan dasar pantai Lokasi B lebih landai dari pada lokasi lainnya. Tinggi gelombang pecah pada setiap lokasi tidak terlalu berbeda, karena tinggi gelombang laut lepas kecil. 41 Tabel 9 Tinggi gelombang laut lepas (H0), tinggi gelombang pecah (Hb) dan jarak pecah dari garis pantai pada saat MSL H0 (m) 1.40 Lokasi A Jarak Hb pecah (m) (m) 540 1.33 Lokasi B Jarak Hb pecah (m) (m) 630 1.33 Lokasi C Jarak pecah Hb (m) (m) 600 1.31 Lokasi D Jarak Hb pecah (m) (m) 420 1.32 1.03 390 0.93 420 0.93 390 0.93 270 0.93 0.71 300 0.70 300 0.70 300 0.70 210 0.70 Nilai tinggi gelombang pecah lebih rendah dari nilai tinggi gelombang di laut lepas (Gambar 23). Hal ini terjadi karena kemiringan dasar pantai pada lokasi penelitian sangat landai, sehingga nilai tinggi gelombang pecah lebih kecil jika dibandingkan dengan tinggi gelombang laut lepas (H0). Hasil ini sesuai dengan formulasi Horikawa (1988) yang menyatakan bahwa tinggi gelombang pecah tergantung pada kemiringan dasar pantai dan panjang gelombang. Horikawa (1988) menjelaskan hubungan antara tinggi gelombang laut lepas dan tinggi gelombang pecah. Tinggi gelombang pecah akan lebih kecil dari pada tinggi gelombang di laut lepas apabila kemiringan dasar pantai sangat landai dan sebaliknya tinggi gelombang pecah akan lebih besar dibandingkan dengan tinggi gelombang di laut lepas apabila kemiringan dasar pantai lebih besar (curam). Tinggi gelombang laut lepas dan tinggi gelombang pecah tertinggi terjadi pada bulan Agustus berkisar antara 1.2 – 1.4 m, sedangkan terendah tejadi pada bulan Desember sebesar 0.76 m (Gambar 23 dan Tabel 10). Hal ini berhubungan dengan musim dimana pada saat Musim Timur (bulan Juni – September) angin berhembus lebih kencang berkisar antara 2.5 – 4.5 m/det dengan arah angin terbanyak dari Selatan. Pada Musim Barat (bulan Desember – Maret) angin bertiup terbanyak dari Utara dengan kecepatan berkisar antara 2.0 – 3.5 m/det. 42 H0 Hb Gambar 23 Hasil perhitungan tinggi gelombang pecah (Hb) dan tinggi gelombang laut lepas (H0). Tabel 10 Tinggi gelombang pecah rata-rata tahun 2000 – 2007 Bulan Januari Maret Mei Juni Juli Agustus September Oktober Novembar Desember 4.4 Tinggi Gelombang Pecah (m) 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 0.88 1.12 1.23 1.23 0.88 0.76 0.82 - 0.88 1.00 1.12 1.23 1.00 0.88 0.88 - 1.00 1.12 1.23 1.33 1.33 1.12 1.12 1.12 1.23 1.23 1.23 1.00 0.88 - 0.99 0.88 1.16 0.99 1.28 1.09 1.08 0.88 - 0.94 0.94 0.88 0.88 1.00 1.00 1.12 0.76 0.88 1.00 1.33 1.33 1.23 1.12 - 0.83 0.83 0.91 0.71 - - Rata-rata 0.99 0.94 0.93 1.03 1.15 1.23 1.11 1.00 0.83 0.76 Angkutan Sedimen Gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkan gelombang disebut angkutan sedimen. Jumlah laju angkutan sedimen yang didapat dari hasil perhitungan tiap tahun selama delapan tahun ditunjukkan pada Gambar 24 dan Tabel 11. Selama penelitian angkutan sedimen bersih setiap tahun dominan ke arah timur laut. Purba et al. (2008) juga mendapatkan arah angkutan sedimen sepanjang pantai yang dominan ke arah utara di pantai timur Balikpapan. Hal ini disebabkan karena orientasi pantai cenderung menghadap ke tenggara sedangkan arah datang gelombang dominan dari arah selatan sehingga pada saat gelombang pecah akan membangkitkan angkutan sedimen sejajar pantai ke arah timur laut. 43 Bersih Gambar 24 Histogram laju angkutan sedimen (m3/tahun) selama delapan tahun. Tabel 11 Laju dan arah angkutan sedimen (m3/tahun) setiap tahun selama delapan tahun Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Ke Timur Laut 10949 10761 12486 12770 13831 11440 13175 4336 Angkutan Sedimen (m3/tahun) Ke Barat Daya Bersih 1035 9914 434 10326 180 12306 12770 13831 11440 13175 4336 Arah Bersih Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Laju angkutan sedimen menentukan jumlah sedimen yang dipindahkan dari satu sel ke sel lain selama kurun waktu tertentu. Laju dan arah angkutan sedimen (Qs) sepanjang pantai selama 8 tahun diperlihatkan pada Gambar 25 dan Tabel 12. Angkutan sedimen terbesar terjadi pada Lokasi A (15941 m3/tahun) dan terkecil pada Lokasi C (3483 m3/tahun). Arah angkutan yang menuju ke barat daya hanya terjadi pada dua lokasi yaitu Lokasi C (557 m3/tahun) dan D (55 m3/tahun). Selisih laju angkutan sedimen menuju timur laut dan barat daya dinyatakan dengan angkutan sedimen bersih. Angkutan sedimen bersih pada ke-4 lokasi adalah terbesar 2926 m3/tahun menuju ke timur laut, terkecil sebesar 7591 m3/tahun ke menuju ke timur laut. Hal ini disebabkan karena orientasi garis pantai cenderung menghadap ke tenggara sedangkan gelombang yang merambat ke pantai lokasi penelitian dominan dari selatan, sehingga angkutan sedimen ke arah timur laut lebih dominan dari pada ke barat daya. 44 Bersih 3 Gambar 25 Angkutan sedimen (m /tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama delapan tahun (2000 - 2007). Tabel 12 Laju dan arah angkutan sedimen (m3/tahun) setiap lokasi sepanjang pantai selama delapan tahun Lokasi A Arah Angkutan Timur Laut Barat Daya (m3/tahun) (m3/tahun) 15941 - Bersih Qs (m3/tahun) Arah - Timur Laut B 14181 - - Timur Laut C 3483 557 2926 Timur Laut D 7645 55 7591 Timur Laut Perubahan angkutan sedimen setiap bulan di setiap lokasi selama delapan tahun dapat dilihat pada Gambar 26 dan Tabel 13. Angkutan sedimen terbesar terjadi pada bulan Agustus sebesar 2372 m3/tahun ke arah timur laut, sehingga perkembangan sand spit di sekitar muara sungai yang ada di sepanjang pantai lokasi penelitian cenderung berkembang ke arah utara (Lampiran 11). Hal ini disebabkan karena arah datang gelombang yang merambat ke pantai dominan dari arah selatan yang mengangkut sedimen ke arah utara. Selain itu orientasi pantai pada lokasi penelitian merupakan pantai timur Pulau Kalimantan, maka angkutan sedimen terbesar terjadi pada Musim Timur (bulan Agustus) yang disebabkan angin pada Musim Timur yang bertiup dominan dari Selatan sangat kencang dibandingkan pada Musim Barat. 45 Gambar 26 Histogram laju angkutan sedimen (m3/bulan) bulan rata-rata selama delapan tahun 2000 – 2007. Tabel 13 Jumlah laju angkutan sedimen (m3/bulan) bulan rata-rata selama delapan tahun (2000 - 2007) Bulan Januari Maret Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember 4.5 Angkutan Sedimen (m3/bulan) Ke Timur Laut 1426 1448 1302 1633 2112 2372 1984 1477 1072 943 Ke Barat Daya 94 118 114 113 69 49 49 - Bersih 1426 1448 1208 1515 1997 2259 1916 1428 1023 943 Bersih Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Timur Laut Perubahan Garis Pantai Hasil analisis citra Landsat tahun 2000 setelah dikoreksi terhadap MSL memperlihatkan bahwa garis pantai mundur ke arah daratan (Gambar 27). Hal ini terjadi karena perekaman citra pada saat surut, sehingga garis pantai tersebut akan mundur ke arah darat setelah dikoreksi terhadap MSL. Garis pantai pada saat MSL adalah garis pantai yang digunakan dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk menghindari kerancuan karena garis pantai akan selalu berubah akibat pengaruh pasang surut air laut. Citra Landsat tahun 2007 sebelum dan setelah dikoreksi terhadap MSL memperlihatkan bahwa garis pantai citra setelah dikoreksi maju ke arah laut jika dibandingkan dengan garis pantai sebelum dikoreksi (Gambar 28). Perubahan ini terjadi karena citra direkam pada saat pasang, sehingga apabila dikoreksi terhadap MSL maka bergeser ke arah laut. 46 Gambar 27 Garis pantai citra Landsat jam 10.00 WITA (15 Mei 2000) sebelum dan setelah dikoreksi terhadap pasut. Gambar 28 Garis pantai citra Landsat jam 10.00 WITA (8 Maret 2007) sebelum dan setelah dikoreksi terhadap pasut. 47 Hasil overlay citra tahun 2000 dan 2007 memperlihatkan pada Lokasi A bagian selatan dan Lokasi B bagian utara mempunyai pantai yang relatif stabil yang ditunjukkan dengan garis pantai yang berimpit (Gambar 29). Pada Lokasi A bagian utara mengalami abrasi. Abrasi terbesar terjadi pada grid 31 sebesar 70.88 m, sedangkan pada Lokasi B bagian selatan mengalami akresi. Akresi terbesar terjadi pada grid 164 sejauh 88.19 m. Perubahan garis pantai terbesar terjadi di Lokasi C berupa akresi yang terjadi hampir secara keseluruhan, Lokasi C mengalami akresi terbesar sampai 103.21 m pada titik grid 233. Pada Lokasi D bagian tengah mengalami akresi terbesar mencapai 66,34 m di grid 281, sedangkan pada bagian bawah, abrasi mencapai 80.94 m pada grid 317. Nilai akresi dan abrasi selama 8 tahun dapat dilihat pada Tabel 14. Hasil running model selama delapan tahun menunjukkan hasil yang mirip dengan hasil citra 2007 (Gambar 30). Hasil ini diperoleh dari proses coba ulang (trial and error) sehingga didapatkan hasil garis pantai yang mendekati garis pantai sebenarnya (citra Landsat tahun 2007). Perubahan garis pantai hasil model 2007 diperlihatkan pada Tabel 15. Perubahan garis pantai hasil simulasi model selama delapan tahun menunjukkan bahwa pantai mengalami abrasi di satu sisi dan akresi di sisi lain. Akresi terbesar terjadi sampai 80.2 m pada Lokasi D (grid 282) sedangkan abrasi terbesar sejauh 104.5 (grid 282) m. Perbedaan (akresi dan abrasi) yang terjadi dipengaruhi oleh arah datang gelombang yang berbeda dari laut lepas, sehingga sudut gelombang yang datang di pantai juga berbeda karena pengaruh orientasi garis pantai. Selain itu, konfigurasi garis pantai juga menyebabkan adanya perbedaan abrasi dan akresi yang terjadi. Garis pantai antara hasil model dan hasil citra yang berhimpit diperoleh pada garis pantai yang lurus atau tidak berbelok-belok. Garis pantai yang berimpit tersebut dimulai dari bagian tengah Lokasi A berlanjut hingga Lokasi B bagian tengah, semakin ke bawah hasil model dan citra mulai berbeda. Garis pantai hasil model dan citra memperlihatkan adanya ketidak sesuaian. Adanya perbedaan ini diakibatkan oleh morfologi pantai yang berbentuk tonjolan dan lengkungan. Pada Lokasi B bagian bawah, Lokasi C bagian atas dan Lokasi D bagian tengah dimana morfologi pantainya melengkung kearah daratan, hasil model memperlihatkan adanya akresi garis pantai. Selanjutnya pada garis pantai 48 yang berbentuk tonjolan yaitu pada Lokasi A bagian atas, pada daerah batas antara Lokasi C dan Lokasi D (Lokasi C bagian bawah dan Lokasi D bagian atas), serta Lokasi D bagian bawah hasil model memperlihatkan adanya abrasi. Pada pantai yang membentuk tonjolan akan tergerus, hasil gerusan ini diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada pantai yang berbentuk lengkungan seperti yang ditemukan Triwahyuni et al. (2010) di pantai timur Tarakan. Orientasi pantai pada Lokasi C dan Lokasi D berkelok-kelok menyebabkan sudut gelombang pecah yang terjadi pada setiap titik grid akan berbeda. Adanya perbedaan sudut gelombang pecah mengakibatkan arah angkutan sedimen pada Lokasi C dan Lokasi D ke arah timur laut dan sebagian ke arah barat daya. Hal ini menyebabkan pantai pada lokasi C dan Lokasi D selain mengalami abrasi (pantai yang berbentuk tonjolan) juga mengalami akresi (pantai yang melengkung ke darat). Secara umum perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2007 menunjukkan adanya kemiripan jika ditinjau terhadap citra tahun 2000. Pada pantai yang melengkung ke dalam hasil model dan hasil citra sama-sama memperlihatkan adanya akresi yang terjadi pada batas antara Lokasi B dan Lokasi C serta Lokasi C bagian tengah, sedangkan Lokasi A bagian atas dan Lokasi D bagian bawah (pantai yang menonjol) hasil model dan citra memperlihatkan adanya kemiripan yaitu sama-sama mengalami akresi. Tidak demikian dengan batas antara Lokasi C dan D (C bagian bawah dan D bagian atas) dan sebagian Lokasi C terlihat garis pantai hasil model memperlihatkan adanya perbedaan dengan garis pantai hasil citra. Pada lokasi tersebut garis pantai hasil model mengalami abrasi, sedangkan hasil citra mengalami akresi (Gambar 31). Hal ini diperkirakan karena pada batas Lokasi C dan D terdapat tonjolan yang paling besar jika dibandingkan dengan morfologi pantai yang lain di lokasi penelitian, sehingga energi gelombang terkonsentrasi dan terjadi erosi seperti yang ditemukan Purba dan Jaya (2004) di pantai Lampung. Pada kenyataannya di lokasi tersebut terdapat pohon bakau (Lampiran 10) yang akan menghalangi abrasi bahkan cenderung menahan sedimen. Pengaruh pohon bakau tidak dimasukkan dalam model ini, oleh karena itu maka 49 hasil model dan citra tidak sesuai. Posisi perubahan garis pantai yang mengalami akresi dan abrasi terbesar setiap lokasi dari hasil perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2007 terhadap garis pantai awal (citra tahun 2000) diperlihatkan pada Gambar 31 dan Tabel 16. Selisih akresi dari hasil model dan citra terbesar terjadi pada Lokasi B (grid 182) sebesar 23.35 m sedangkan terkecil terjadi di Lokasi C (grid 191) sejauh 11.97 m. Hal ini terjadi karena grid 182 terletak di ujung garis pantai berbentuk lengkungan sehingga akresi dari hasil model (56.6 m) jauh lebih kecil dari pada hasil citra (79.95 m), sedangkan grid 191 terletak pada pertengahan lengkungan sehingga akresi hasil model (72.9 m) mendekati hasil citra (84.87 m). Selisih abrasi dari hasil model dan citra terbesar terjadi pada Lokasi D (grid 252) sejauh 79.24m, sedangkan terkecil terjadi pada Lokasi A (grid 10) sejauh 15.26 m (Tabel 16). Hal ini disebabkan karena grid 252 terletak pada pertengahan garis pantai yang berbentuk tonjolan sehingga abrasi hasil model (104.5 m) jauh lebih besar dari hasil citra (25.26 m), sedangkan grid 10 terletak pada ujung garis pantai yang berbentuk tonjolan sehingga abrasi hasil model (44 m) mendekati hasil citra (59.26 m). Jumlah sedimen dari pantai yang mengalami abrasi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan sedimen yang terendapkan pada pantai yang mengalami akresi. Hal ini menunjukkan bahwa pada proses perubahan garis pantai ada pengaruh sedimen yang berasal dari luar wilayah penelitian yang tidak dimasukkan dalam model. 50 501000 502000 503000 504000 505000 Grid 31 Ambarawang Laut KALIMANTAN TIMUR 506000 9876000 9876000 500000 9875000 9875000 A 9874000 9874000 Salok Api Gunung Tembak B 9873000 9873000 Grid 164 MAKASSAR 9872000 9872000 SEL AT C Grid 233 9871000 9871000 Teritip N 0 D 500 501000 1500 meter Garis pantai citra 2000 Garis pantai citra 2007 Grid 317 500000 1000 9870000 9870000 Grid 281 503000 502000 504000 505000 506000 Gambar 29 Overlay garis pantai citra tahun 2000 dan 2007. Tabel 14 Perubahan garis pantai awal (citra tahun 2000) dan hasil citra tahun 2007 terhadap garis pantai di tiap-tiap lokasi Lokasi Garis Pantai Awal dan Citra 2007 Akresi (m) No Grid Abrasi (m) No Grid A - - 31 70.88 B C 164 88.19 - - 233 103.21 - - D 281 66.34 317 80.94 51 9876000 Grid 10 9876000 Ambarawang Laut KALIMANTAN TIMUR 506000 505000 504000 503000 502000 501000 500000 9875000 9875000 A 9874000 9874000 Salok Api B Gunung Tembak 9873000 9873000 Grid 182 SEL AT MAKASSAR 9872000 9872000 Grid 191 C 9871000 Grid 247 9871000 Teritip Grid 252 N 9870000 D 0 500 1500 meter 1000 9870000 Grid 282 Garis pantai awal Garis pantai hasil model 500000 501000 503000 502000 504000 505000 506000 Gambar 30 Overlay garis pantai hasil model tahun 2000 dan 2007. Tabel 15 Perubahan garis pantai awal dan hasil model 2007 di tiap-tiap lokasi Garis Pantai Awal dan Hasil Model 2007 Lokasi No Grid Akresi (m) No Grid Abrasi (m) A - - 10 44 B 182 56.6 - - C 191 72.9 247 93 D 282 80.2 252 104.5 52 501000 502000 503000 504000 505000 Grid 10 Ambarawang Laut KALIMANTAN TIMUR 506000 9876000 9876000 500000 9875000 9875000 A B Gunung Tembak 9873000 9873000 9874000 9874000 Salok Api Grid 182 Grid 191 MAKAS SAR 9872000 9872000 SEL AT C 9871000 9871000 Teritip Grid 252 N 9870000 0 D 500 1000 9870000 Grid 282 1500 meter Garis Pantai Citra 2000 Garis Pantai Citra 2007 Garis Pantai Hasil Model 500000 502000 501000 503000 504000 505000 506000 Gambar 31 Overlay perubahan garis pantai selama delapan tahun dari garis pantai hasil citra 2000 (hijau) sebagai garis pantai awal, garis pantai tahun 2007 (merah) dan hasil model tahun 2007 (biru). Tabel 16 Perbandingan perubahan garis pantai hasil model dan citra tahun 2007 terhadap garis pantai awal (citra tahun 2000) pada berbagai grid di setiap lokasi Garis pantai Citra dan hasil model 2007 Lokasi Akresi (m) No Grid Model A - - B Abrasi (m) Selisih No Grid Model - 10 44 59.26 - 15.26 182 56.6 79.95 - - - 23.35 - C 191 72.9 84.87 - - - 11.97 - D 282 80.2 65.51 252 104.5 25.26 14.69 79.24 Citra Citra Akresi Abrasi 53 V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Dari hasil perhitungan transformasi gelombang diperoleh bahwa pada saat gelombang merambat dari laut lepas menuju pantai tinggi gelombang mengalami penurunan kemudian mendekati garis pantai tinggi gelombang meningkat sampai akhirnya pecah, serta terjadi pembelokan arah gelombang sehingga pada garis garis pantai yang menjorok ke luar (tonjolan) terjadi konvergensi sedangkan pada garis pantai yang menjorok ke darat (cembung) terjadi divergensi. Berdasarkan simulasi model selama tahun 2000 – 2007 terlihat bahwa arah angkutan sedimen dominan menuju ke timur laut. Hal ini terjadi karena orientasi pantai arah hampir utara-selatan di bagian selatan dan barat daya-timur laut di sisi utara dan gelombang menuju pantai dominan berasal dari selatan dimana tinggi gelombang laut lepas tertinggi terjadi pada Musim Timur. Bentuk garis pantai hasil model cenderung mengikuti bentuk garis pantai awal (citra Landsat 2000). Kalau ada tonjolan maka dihilirnya ada abrasi dan pada lekukan ke dalam (pantai yang cembung) umumnya terjadi akresi. Perbandingan hasil model dengan hasil citra Landsat tahun 2007 memperlihatkan bentuk garis pantai yang mirip. Walaupun begitu, terdapat juga perbedaan terutama pada garis pantai berbentuk tonjolan (batas Lokasi C dan D dan sebagian Lokasi C) dimana akibat adanya tonjolan maka model memprediksi adanya abrasi, tetapi citra Landsat 2007 memperlihatkan garis pantai yang hampir tidak berubah. Hal ini diperkirakan akibat adanya pohon bakau di lokasi tersebut yang menghalangi proses abrasi, akan tetapi pengaruh adanya pohon bakau tidak dipertimbangkan dalam model. 5.2 Saran Perhitungan transformasi gelombang dari laut lepas menuju ke pantai hanya memperhitungkan pengaruh shoaling dan refraksi. Karena itu untuk pengembangan model ini disarankan untuk menambahkan pengaruh dari gesekan dasar, perkolasi, interaksi gelombang-arus dan interaksi gelombang-gelombang yang disesuaikan dengan kondisi lokasi penelitian. DAFTAR PUSTAKA Allen JRL. 1985. Principles of Physical Sedimentology. Department of Geology. University of Reading. London : George Allen and Unwin. Alphan H. 2005. Perceptions of Coastline Changes in River Deltas: Southeast Mediterranean Coast of Turkey. J Environ Pollut 23(1):92-102. Ashton A, Murray B. 2006. High-Angle Wave Instability and Emergent Shoreline Shapes: 1. Modeling of sand waves. flying spits, and capes. J Geophys Res 111:1-19. Balas L, Inan A. 2002. A Numerical Model of Wave Propagation on Mild Slopes. J Coas Res 36:16-21. Battjes JA. 1972. Set-Up Due to Irregular Waves. In Proceedings of the 13th International Conference Coastal Engineering. New York. American Society of Civil Engineers. 1993-2004. Bishop CT, Donelan MA. 1989. Wave Prediction Models in Application in Coastal Modelling. Editor: V. C. Lakhan and A. S. Trenhale. Amsterdam: Elseiver Science Published BV. BPPD (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) Balikpapan. 2007. Studi Penyebaran Sedimen dan Terumbu Karang di Perairan Balikpapan. Laporan Akhir. Balikpapan Kalimantan Timur. Browne M et al. 2007. Near-Shore Swell Estimation from a Global Wind-Wave Model: Spectral process, linear, and artificial neural network models. J Coas Eng 54:445-460. Carter RWG. 1988. Coastal Environmental, An Introduction to the Physical, Ecological dan Cultural System of Coasts Lines. London: Academic Press. [CERC] Coastal Engineering Research Center. 1984. Shore Protection Manual Volume I, Fourth Edition. Washington: U.S. Army Coastal Engineering Research Center. [CHL] Coastal Hydraulic Laboratory. 2002. Coastal Engineering Manual, Part IVI. Washington DC: Department of the Army. U.S. Army Corp of Engineers. Collins JI. 1970. Probabilities of Breaking Wave Characteristics. In Proceedings of the 13th International Conference Coastal Engineering. New York. American Society of Civil Engineers. 399-412 Davis RA Jr. 1991. Oceanography; An Introduction to the Marine Environment, New Jersey: WCB Publisher International Published. 55 Dean RG, Zheng J. 1997. Numerical Model and Intercomparisons of Beach Profil Evolution. J Coas Eng 30:169-201. Dirjen P3K (Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil). 2004. Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan Garis Pantai. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Elfrink B, Baldock T. 2002. Hydrodynamics and Sediment Transport in the Swash Zone: a Review and perspectives. J Coas Eng 45:149-167. Fitrianto R. 2010. Pemodelan Perubahan Garis Pantai Sekitar Jetty di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Glayem-Juntinyuat: Kasus Kabupaten Indramayu [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Garrison. 2005. Oceanography, An Invitation to Marine Science. USA. Learning, Inc. Goda Y. 1975. Irregular Wave Deformation in the Surf Zone . J Coast Eng 18:1226. Horikawa K. 1988. Nearshore Dynamics and Coastal Processes. Japan. University of Tokyo Press. Kazeminezhad MH, Shahidi AE, Mousavi SJ. 2007. Evaluation of Neuro Fuzzy and Numerical Wave Prediction Models in Lake Ontario. J Coas Res 50:317-321. Kim IH, Lee JL. 2009. Numerical Modeling of Shoreline Change Due to Stucture-Induced Wave Diffraction. J Coas Res 56:78-82. Komar PD. 1976. Beach Processes and Sedimentation. Englewood Cliffs. New Jersey: Prentice-Hall Inc. Komar PD. 1983. Nearshore Current and Sand Transport on Beaches in Johns Ed., Physical Oceanografi of Coastal and Shefl Seas. Florida. CERC Press, Inc. Kuo CT, Kuo ST. 1974. Effect of Wave Breaking on Statistical Distribution of Wave Heights. J Proc Civ Eng Oceans 3:1211-1231 Maa JPY, Wang DWC. 1995. Wave Transformation Near Virginia Coast: the “Halloween” Northeaster, J coas res. 11(4):1258-1271. Purba M, Jaya I. 2004. Analisis Perubahan Garis Pantai dan Penutupan Lahan antara Way Penet dan Way Sekampung, Kabupaten Lampung Timur. J Ilmu-ilmu Per Perik Indo 11(2): 109-121. 56 Purba M, Sakka, Hartanto MT. 2008. Studi Analisis dan Disain Tanggul Penahan dari Ban Bekas di Sisi Alur Pelayaran dan Kolam Manuver DUKS PT. Thiess Contractors Indonesia, Balikpapan. Laporan Akhir. Balikpapan, Kalimantan Timur. Saville T. 1962. An Approximation of the Wave Run-Up Frequency Distribution. U.S. Army Beach Erosion Board. Washington D.C. Shahidi AE, Kazeminezhad MH, Mousavi SJ. 2009. On the Prediction of Wave Parameters Using Simplified Method. J Coas Eng 56:505-509. Shibutani Y, Kuroiwa M, Matsubara Y. 2007. One-Line Model for Predicting Shoreline Changes Due to Beach Nourishments. J Coas Eng 50:511 – 515. Siegle E, Asp NE. 2007. Wave Refraction and Longshore Transport Patterns Along The Southern Santa Catarina Coast. Brazilian J Oceanograp 55(2):109-120. Sorensen RM. 1991. Basic Coastal Engineering. New York. John Wiley & Sons, Ltd. Sunday OA, John TO. 2006. Lagos Shoreline Change Pattern: 1986-2002. AmEur J Sci Res 1 (1): 25-30. Svedrup HU, Johnson MW, Fleming RH. 1942. The Oceans, Their Physics, Chemestry and General Biology. New Jersey: Prentice Hall. Inc. Thornton EB, Guza RT. 1983. Transformation of Wave Height Distribution, J Geophys Res 88(C10):5925-5938. Triwahyuni A, Purba M, Agus SB. 2010. Pemodelan Garis Pantai Timur Tarakan, Kalimantan Timur. Ilmu Kelautan: Indo J Mar Sci 1(Edisi Khusus):9-23. [USACE] U.S. Army Corps of Engineers. 2003a. Coastal Hydrodynamic Part II. Washington DC. Depatement of The Army, U.S. Army Corps of Engineers. [USACE] U.S. Army Corps of Engineers. 2003b. Coastal Sediment Processes Part III. Washington DC. Depatement of The Army, U.S. Army Corps of Engineers. Van Rijn LC. 1993. Principles of Fluid Flow and Surface Waves In Rivers, Estuaries, Seas, and Oceans.University of Utrecht Departement of Physical Geography. Netherlands. Aqua Publications. LAMPIRAN 58 Lampiran 2 Wind rose bulanan rata-rata setiap bulan selama delapan tahun (2000 – 2007) Januari Pebruari Maret April Mei Juni 59 Lampiran 2 (Lanjutan) Wind rose bulanan rata-rata setiap bulan selama delapan tahun (2000 – 2007) Juli September November Agustus Oktober Desember 60 Lampiran 3 Panjang fetch di lokasi penelitian 66 Lampiran 6 Program transformasi gelombang Sub Macro1() Dim imax, imax1, jmax, jmax1, jHari, pHari, kn, hr, i, j, k, Z, hrke As Integer Dim nHari As Double Dim kelandaian, Phi, Grav, DelT, DDT, DDP, DDS, sdtGel0, perGel0, tiGel0 As Double Dim sdtrad, frekGel0, cel0, pjgGel0, Gamma, kh2, HTan, pjgGelRef, sinSdt, cosSdt, pkh, HSin As Double Dim ks, kr, isPecah, Dir, pl As Double Dim H(319, 533), pjgGel(319, 533), cel(319, 533), SdtGel(319, 533), bilGel(319, 533), N(319, 533), TiGel(319, 533) As Double Dim HPecah(319), SdtPecah(319), TiPecah(319) As Double Dim IPecah(319) As Double Dim xp(319), yp(533) As Integer Dim DDIR$, b$, ndT$, ndH$, ndS$, cd$ Dim PerOff(1590), TiOff(1590), SdtOff(1590) As Double DDIR$ = "D:\Ira\MATRIX\" ' DIRECTORY KERJA imax = 318 imax1 = 319 jmax = 532 jmax1 = 533 kelandaian = 0.003 Phi = 22 / 7 Grav = 9.81 DelT = 1 jHari = 1590 pHari = 30 Gamma = 0.78 nHari = 1 / DelT kn = jHari * nHari hr = jHari Open DDIR$ + "318 bati.csv" For Input As #1 For j = jmax To 1 Step -1 For i = 1 To imax Step 1 Input #1, DH H(i, j) = DH Next i Next j Close #1 ' Cek Daratan cp = 0 For i = 1 To imax Step 1 For j = 2 To jmax - 1 Step 1 If H(i, j - 1) = 0 And H(i, j) = 0 And H(i, j + 1) > 0 Then cp = cp + 1 xp(cp) = i yp(cp) = j End If Next j Next i Z=0 Open DDIR$ + "input 1.03.csv" For Input As #1 67 Lampiran 6 (Lanjutan) Program transformasi gelombang ' Buka file gelombang ' Format : ' Kolom 1 ---> Tinggi Gelombang ' Kolom 2 ---> Periode Gelombang ' Kolom 3 ---> Sudut Gelombang (Derajat) While Not EOF(1) Z=Z+1 Input #1, DDT, DDP, DDS TiOff(Z) = DDT PerOff(Z) = DDP SdtOff(Z) = DDS Wend Close #1 b$ = "," Open DDIR$ + "1has_ref gel.txt" For Output As #2 Print #2, "Tinggi_Gel_Pch" + b$ + "Kedalaman_Gel_Pch" + b$ + "Sudut_Gel_Pch_(Radian)" + b$ + "1_Pnt_2_Laut" For k = 1 To kn hrke = Int(k / nHari) 'Hitung hrke '-------------------------PERHITUNGAN PARAMETER GELOMBANG-----------------------tiGel0 = TiOff(hrke) perGel0 = PerOff(hrke) sdtGel0 = SdtOff(hrke) sdtrad = sdtGel0 * Phi / 180 frekGel0 = 2 * Phi / perGel0 cel0 = Grav * perGel0 / (2 * Phi) pjgGel0 = cel0 * perGel0 '---------------LOOPING PERHITUNGAN TINGGI GELOMBANG SETIAP TITIK GRID-------BT$ = Chr(9) For j = jmax To 1 Step -1 For i = 1 To imax Step 1 HTan = (Exp(kh2) - Exp(-kh2)) / (Exp(kh2) + Exp(-kh2)) pjgGelRef = (Grav * perGel0 * perGel0 / (2 * Phi)) * HTan pjgGel(i, j) = pjgGelRef cel(i, j) = pjgGel(i, j) / perGel0 sinSdt = (Sin(sdtrad) / cel0) * cel(i, j) cosSdt = ((1 - (sinSdt ^ 2)) ^ 0.5) SdtGel(i, j) = Atn(sinSdt / cosSdt) bilGel(i, j) = 2 * Phi / pjgGel(i, j) pkh = bilGel(i, j) * H(i, j) HSin = (Exp(2 * pkh) - Exp(-(2 * pkh))) / 2 N(i, j) = 0.5 * (1 + (2 * pkh / HSin)) HTan = (Exp(pkh) - Exp(-pkh)) / (Exp(pkh) + Exp(-pkh)) ks = (1 / (2 * N(i, j) * HTan)) ^ 0.5 kr = (Cos(sdtrad) / Cos(SdtGel(i, j))) ^ 0.5 TiGel(i, j) = tiGel0 * ks * kr Next i Next j 68 Lampiran 6 (Lanjutan) Program transformasi gelombang '-------------------------- PERHITUNGAN GELOMBANG PECAH -------------------For i = 1 To imax Step 1 isPecah = 0 For j = jmax To 1 Step -1 HPecah(i) = H(i, j) SdtPecah(i) = SdtGel(i, j) TiGel(i, j) = Gamma * H(i, j) TiPecah(i) = TiGel(i, j) IPecah(i) = j For kk = 1 To j Next kk isPecah = 1 ndH$ = Trim(Str(HPecah(i))) ndS$ = Trim(Str(SdtPecah(i))) ndT$ = Trim(Str(TiPecah(i))) cd$ = "1" Print #2, ndT$ + b$ + ndH$ + b$ + ndS$ + b$ + cd$ ElseIf isPecah = 0 Then HPecah(i) = H(i, j + 1) TiPecah(i) = TiGel(i, j + 1) SdtPecah(i) = SdtGel(i, j + 1) ndH$ = Trim(Str(HPecah(i))) ndT$ = Trim(Str(TiPecah(i))) ndS$ = Trim(Str(SdtPecah(i))) cd$ = "2" Print #2, ndT$ + b$ + ndH$ + b$ + ndS$ + b$ + cd$ IPecah(i) = j + 1 isPecah = 1 Next j Keluar: Next i Open DDIR$ + "1Matrix_TiGel_untuksurver.txt" For Output As #20 Print #20, "Data-i" + BT$ + "Data-j" + BT$ + "Tinggi_Gel" + BT$ + "Sudut_Gel" For i = imax To 1 Step -1 For j = 1 To jmax Step 1 Print #20, Trim(Str(i)) + BT$ + Trim(Str(j)) + BT$ + Trim(Str(TiGel(i, j))) + BT$ + Trim(Str(SdtGel(i, j) * (180 / 3.14))) Next j Next i Close #20 Next k Close #2 End Sub 69 Lampiran 7 Program perubahan garis pantai Sub Macro1() DDIR$ = "D:\Ira\Gp Model\" T$ = Chr(9) ' DEFINISI PARAMETER Pi = 3.141592654 g = 9.81 rhoa = 1030 ' ALOKASI DIMENSI Dim DELX, PL, QE, DELT, CN, TANB, TANI, DIR, SINB, COSB, A, ASIN, CK As Double CN = 0.01 DELX = 30 DELT = 1 BLN = 30 LT = 1590 N = 317 ' ALOKASI DIMENSI Dim Y(318), Q(318) As Double Dim DelY(318), TAN0(318) As Double Dim TGEL(318, 1590), HGEL(318, 1590), SGEL(318, 1590) As Double ' -------------------------- BACA DATA HASIL REFRAKSI GELOMBANG Open DDIR$ + "has_ref 1590AB.txt" For Input As #1 Line Input #1, par$ For K = 1 To LT For i = 1 To N Input #1, DT, DK, DS TGEL(i, K) = DT HGEL(i, K) = DK SGEL(i, K) = DS Next i Next K Close #1 ' -------------------------- BACA DATA GARIS PANTAI Open DDIR$ + "GP_awal.txt" For Input As #1 For i = 1 To NY Input #1, PDY Y(i) = PDY Next i Close #1 Open DDIR$ + "Hasil model.txt" For Output As #2 Open DDIR$ + "Hasil model1.txt" For Output As #3 70 Lampiran 7 (Lanjutan) Program perubahan garis pantai '---------------------- MENGHITUNG SUDUT GELOMBANG For i = 1 To N TAN0(i) = Tan(SGEL(i, m) * Pi / 180) If Y(i) = Y(i + 1) Then TANB = TAN0(i) DIR = 1 ElseIf Y(i) > Y(i + 1) Then TANI = (Y(i) - Y(i + 1)) / DELX TANB = (TANI + TAN0(i)) / (1 - TANI * TAN0(i)) DIR = 1# Else TANI = (Y(i + 1) - Y(i)) / DELX If TANI >= TAN0(i) Then TANB = (TANI - TAN0(i)) / (1 + TANI * TAN0(i)) DIR = -1 Else TANB = (TAN0(i) - TANI) / (1 + TANI * TAN0(i)) DIR = 1 End If End If A = TANB ^ 2 SINB = Sqr(A / (A + 1)) COSB = Sqr(1 - SINB ^ 2) ASIN = Atn(SINB / Sqr(-SINB * SINB + 1)) '---------------------- MENGHITUNG ANGKUTAN SEDIMEN PL = CN * rhoa * g * TGEL(i, K) ^ 2 * Sqr(g * HGEL(i, m)) * SINB * COSB / 8 Q(i) = DIR * 3.534 * PL Next i '---------------------- MENGHITUNG PERUBAHAN GARIS PANTAI Q(N - 1) = Q(N) Y(1) = Y(1) For i = 2 To N - 1 Y(i) = Y(i) + (Q(i - 1) - Q(i)) * DELT / (DELX * TGEL(i, m)) Next i Y(N) = Y(N - 1) '---------------------- PERINTAH MENCETAK If Fix(K / BLN) > 0 Then Print #2, "=== Bulan ke " + Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + " ===" Print #2, "Perubahan Garis Pantai (m)" + T$ + "Angkutan Sedimen" For i = 1 To N CK = Val(FormatNumber(Y(i), 1)) Print #2, Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Print #3, Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + T$ + Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Else Print #2, Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Format(Q(i), "0000.0") Print #3, Trim(Str(Format(K / BLN, "00.00"))) + T$ + Format(Y(i), "0000.0") + T$ + Lampiran 7 (Lanjutan) Program perubahan garis pantai Format(Q(i), "0000.0") 71 End If Next i If (K Mod 1 = 0) Then m=m+1 End If End If End If Next K Close #2 Close #3 End Sub 73 Lampiran 9 Posisi tinggi muka air pada saat perekaman citra jam 10.00 WITA Grafik pasut 15 Mei 2000 60 Tinggi pasut (cm) 40 40 20 50 50 40 20 0 40 20 40 20 0 20 0 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 -30 -30 -40 -40 -50 -50 -60-60 -20 -40 -60 -80 Jam 150 Grafik pasut 8 Maret 2000 110 100 Tinggi pasut (cm) 50 70 50 0 -50 -100 -150 20 100 60 50 0 90 10080 10 -20 0 1 2 3 4 -40 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 -40 18 19 20 21 22 23 -60 -80 -90 -90 -100-90 -110-120 Jam 74 Lampiran 10 Mangrove di lokasi penelitian 75 Lampiran 11 Foto sand spit di muara Sungai Ambarawang Laut