BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamasi

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Inflamasi adalah respons protektif jaringan terhadap jejas yang tujuannya
adalah untuk melokalisir dan merusak agen perusak serta memulihkan jaringan
menjadi normal kembali (Trowbridge dan Emling, 1993). Proses inflamasi dimulai
dari fase akut dan jika inflamasinya persisten akan menjadi kronis (Trowbridge,
2002). Reaksi inflamatori akut adalah suatu reaksi lokal, segeradan menimbulkan
gangguan mikrosirkulasi dan ekstravasasi plasma (Byers, 1999). Berlawanan dengan
reaksi inflamasi akut, inflamasi kronis, didominasi oleh respons seluler, sedangkan
inflamasi akut didominasi oleh perubahan vaskularisasi (Abbott, 2007).
Mediator inflamasi yang berperan dalam proses akut ini antara lain prostaglandin,
bradikinin (dari jaringan), histamin (dari sel mastoid), serotonin (dari platelet) atau
SP, dan CGRP (dari serabut A-delta dan serabut C) (Trowbridge dan Emling, 1993).
Akibatnya terjadi perubahan aliran darah pulpa, dan meningkatnya permeabilitas
dinding pembuluh darah, sehingga terjadi ekstravasi plasma. Prostaglandin E2
(PGE2), bradikinin, dan histamin adalah mediator yang bersifat vasodilator. Selain
itu, PGE2 adalah mediator yang mensensitisasi nosiseptor sehingga memudahkan
terjadinya depolarisasi sel saraf dan terjadinya propagasi impuls nyeri (Byers, 2012).
PGE2 juga dilaporkan berperan dalam resorbsi tulang (Trowbridge, 2002). Bradikinin
Universitas Sumatera Utara
adalah mediator yang bisa mengaktifkan nosiseptor yang fungsinya membutuhkan
kehadiran PGE2 (Trowbridge, 2002). Histamin, mediator yang dikeluarkan oleh seal
mastoid, adalah juga mediator yang bisa mengaktifkan nosiseptor (Bergenholtz,
2010).
Substansi P (SP) adalah peptid yang dikeluarkan oleh serabut sensoris A-delta
dan C yang bersifat vasodilator; serabut A-delta dan C adalah serabut saraf yang
banyak terdapat dalam jaringan pulpa. SP juga menginduksi enzim siklooksigenase
(COX) (Carrasquillo, 2004), enzim yang berperan dalam sintesis PGE2. Selain itu, SP
juga bisa menginduksi degranulasi sel mastoid sehingga mengeluarkan histamin,
suatu mediator algogenik (Caviedes-Bucheli, 2008). Produksi dan pelepasan
molekul-molekul ini disebabkan rangsangan noksious, termal, mekanis, dan kimia
yang mengenai jaringan pulpa dan ligamen periodontium (Caviedes-Bucheli et al.,
2008; Awawdeh et al., 2002). Jumlah SP yang dilepaskan oleh setiap serabut saraf
sensoris meningkat selama proses inflamasi yang menyebabkan terjadinya siklus
inflamasi (Rod dan Boissonade, 2000; Caviedes-Bucheli et al., 2008). Sejumlah
penelitian telah menunjukkan bahwa kadar SP pada pulpa gigi manusia akan
mengalami peningkatan 100 kali lipat pada gigi yang mengalami inflamasi reversibel
dan 1000 kali lipat pada pulpitis ireversibel (Rod dan Boissonade, 2000; Bowles et al,
2003). SP beriteraksi dengan sel mastoid dan menginduksi pelepasan histamin yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan peninggian tekanan
intra pulpa (Sacerdote dan Levrini, 2012). Disamping itu, limfosit, granulosit dan
Universitas Sumatera Utara
makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel ini dapat distimulasi oleh SP untuk
memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi dan sitokin. SP juga menginduksi
ekspresi IL-8 yang merupakan chemo-attractant yang poten bagi neutrofil ke tempat
cedera di jaringan pulpa (Caviedes-Bucheli, 2006). Sejumlah besar mediator
inflamasi dan nosiseptif dengan cepat dapat mensensitisasi dan merangsang
nosiseptor untuk melepaskan SP yang lebih besar, baik pada sumsum tulang belakang
maupun jaringan pulpa yang akan meningkatkan sensasi nyeri (Paola dan Luca,
2012)
Inflamasi pulpa (pulpitis) merupakan kasus yang sering dijumpai dalam
praktek dokter gigi (Iqbal, 2007; Jontell, 1998). Pulpitis reversibel adalah inflamasi
pulpa yang ringan sampai sedang dan pulpa mampu pulih kembali setelah stimulus
dihilangkan (Chandra, 2010). Penyebabnya dapat karena karies, prosedur ortodonsia
atau tindakan iatrogenik pada prosedur restorasi gigi misalnya karena syok termal
saat preparasi kavitas atau karena dehidrasi kavitas (Bergenholtz, 2010). Gejala
pulpitis reversibel adalah nyeri tajam namun berlangsung sebentar saat adanya
rangsangan misalnya pada saat makan atau minum (Gulabivala, 2014). Nyeri akan
segera hilang ketika stimulus dihilangkan. Tidak ada respons terhadap perkusi atau
palpasi, dan gambaran radiografi normal (Hargreaves, 2012). Pada pulpitis reversibel
tidak ada nyeri spontan. Penanggulangannya adalah dengan menghilangkan stimulus,
membersihkan dentin terinfeksi, dan merestorasinya (Bergenholtz, 2010; Gulabivala,
2014; Chandra, 2010). Jika tidak ditanggulangi, inflamasi reversibel akan makin
Universitas Sumatera Utara
parah dan terjadi pulpitis ireversibel. Gejala pulpitis ireversibel yang spesifik adalah
timbulnya nyeri spontan dan nyeri yang tidak segera hilang ketika stimulusnya hilang
(Hargreaves, 2012). Kariesnya biasanya sudah lebih dalam. Karena jaringan pulpa
adalah jaringan yang terletak di lingkungan yang low compliance, dikelilingi oleh
dinding dentin yang keras dan kaku, serta tidak adanya sirkulasi kolateral, maka
penanganan pulpitis ireversibel adalah dengan perawatan saluran akar (Abbott, 2007).
Secara klinis, sering dijumpai keadaan yang meragukan, apakah inflamasinya
masih reversibel atau sudah ireversibel; jika pulpitis masih reversibel maka terapinya
lebih sederhana yakni dengan melakukan perawatan pulpa, tetapi apabila sudah
mencapai tahap yang ireversibel, harus dilakukan perawatan saluran akar. Keraguan
ini misalnya dijumpai pada pasien dengan gejala subyektif menyerupai pulpitis
reversibel, tetapi tanda obyektifnya sudah memperlihatkan karies yang dalam.
Mengingat persepsi nyeri seseorang dipengaruhi berbagai faktor dan tak ada kaitan
antara gejala klinis dengan keadaan histopatologis pulpa (Goodale, 1981), maka
keadaan ini menimbulkan ketidakpastian. Sampai saat ini belum ada cara yang tepat
untuk memastikan keadaan jaringan pulpa. Namun, mengingat bahwa SP, seperti
telah dikemukakan di atas, merupakan mediator inflamasi yang berefek luas, dan
belum ada data mengenai berapa kadar SP pulpa normal, kadar SP pada pulpitis
reversibel maupun pulpitis ireversibel, maka dalam penelitian ini akan dikaji data
ekspresi SP pada pulpa normal dan reversibel, sehingga diharapkan keraguan di atas
dapat diatasi.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat disusun tema sentral dari masalah penelitian ini
yakni:
a. Pulpitis reversibel adalah keadaan pulpa terinflamasi yang fungsinya masih
dapat dipulihkan.
b. Substansi P (SP) adalah mediator inflamasi yang:
• Merupakan vasodilator yang dikandung oleh serabut aferen pulpa (A-delta
dan C) dan akan diekspresikan jika serabut saraf tersebut terstimulasi.
• Dapat menginduksi enzim COX sehingga meningkatkan kadar PGE2, suatu
vasodilator yang dapat mensensitisasi nosiseptor, dan berperan dalam resorpsi tulang.
• Meningkatkan ekspresi IL-8 pulpa, mediator yang bersifat khemotaktik
terhadap neutrofil.
c. Limfosit, granulosit, dan makrofag mengandung reseptor SP dan sel-sel ini
dapat distimulasi oleh SP untuk memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi
dan sitokin.
d. Belum ada data mengenai besarnya kadar SP pada pulpa normal dan
pulpitis reversibel yang dapat membantu penegakan diagnosis
Oleh karena itu, pertanyaan penelitiannya adalah:
“Seberapa besar peningkatan konsentrasi substansi P (SP) pada pulpa normal
dan pulpitis reversibel?”
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk melihat berapa besar peningkatan konsentrasi Substansi P (SP) pada
pulpa normal dan pulpitis reversibel.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Memberikan tambahan informasi ilmiah mengenai SP dalam jaringan pulpa.
1.4.2 Manfaat Klinis
Mengetahui kadar SP pada pulpitis reversibel dan pulpa normal sehingga
dapat dijadikan marker bagi penegakan diagnosis pulpitis reversibel.
1.4.3 Manfaat praktis
Meningkatkan pelayanan konservasi gigi dalam mempertahankan vitalitas gigi
selama mungkin dalam mulut.
Universitas Sumatera Utara
Download