1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim dan pemanasan global diprediksi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (IPCC 2001). Salah satu hal yang akan berubah adalah akselerasi terhadap kenaikan muka laut yang akan menimbulkan dampak lanjutan seperti perendaman/penggenangan pesisir/pulau-pulau kecil (coastal inundation), peningkatan banjir, erosi pantai, intrusi air laut dan perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999). Selain itu, perkembangan daerah pemukiman dan pertumbuhan penduduk yang cepat pada pusat-pusat perkotaan di wilayah pesisir juga merupakan salah satu hal yang akan mengalami perubahan secara fundamental karena perubahan iklim (Nicholls 1995). Pemanasan global juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyakat pesisir. Pemanasan global dan perubahan iklim akan mempengaruhi ketahanan pangan, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, stabilitas suplai pangan, akses, dan pemanfaatan pangan. Pemanasan global berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Kenaikan suhu permukaan laut berdampak terhadap ekosistem pesisir khususnya terumbu karang. Fenomena pemutihan karang karena kenaikan suhu permukaan laut diprakirakan akan berdampak terhadap sumberdaya perikanan yang memiliki habitat ekosistem terumbu karang. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil (small islands) merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura, 1999). Fenomena ini telah 2 ditunjukkan oleh pulau-pulau kecil di beberapa negara SIDS (small island development state) di kawasan Pasifik. Umumnya, pulau-pulau kecil yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut adalah pulau yang memiliki daratan rendah (low-lying). Untuk merespon fenomena ini, kajian kerentanan terhadap kenaikan muka laut dan pengembangan strategi adaptasi menjadi sangat penting. Hal ini telah dilakukan oleh negara-negara kepulauan di kawasan Asia Pasifik sejak tahun 1992. Dalam konteks kerentanan pulau-pulau kecil, Lewis (2009) menyatakan bahwa kerentanan sudah merupakan karakteristik dari pulau-pulau kecil. Pulaupulau kecil sebagai tempat/lokasi yang sangat kecil, menyebabkan seluruh kegiatan di pulau tersebut, baik karena pengaruh dari luar maupun pengaruh internal dari sistem pulau-pulau kecil akan berinteraksi satu sama lainnya di pulau tersebut. Sekitar 7 persen area daratan muka bumi ini terdiri atas pulau-pulau kecil. Dari jumlah tersebut, Indonesia memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah pulau-pulau kecil di dunia, dimana Indonesia memiliki tidak kurang dari 10 000 pulau kecil. Pulau-pulau kecil ini tergolong unik ditinjau dari sisi bio-fisik, geografi, penduduk yang mendiami, budaya dan daya dukung lingkungannya (Beller 1990). Kawasan pulau-pulau kecil dikenal sebagai kawasan yang memiliki kekayaan sumberdaya cukup besar, seperti kekayaan ekosistem, kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan. Pulau-pulau kecil memiliki ekosistem produktif, seperti terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Kawasan pulau-pulau kecil juga menyediakan sumberdaya ikan dan berbagai kekayaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan seperti energi kelautan. Selain itu, pulau-pulau kecil juga menyediakan layanan jasa lingkungan, seperti penyedia nilai-nilai estetika, nilai-nilai sosial, pelindung keanekaragaman hayati dan pelindung atau penghalang bagi daratan dari bencana alam seperti tsunami, gelombang dan badai. Di satu sisi, pulau-pulau kecil memiliki sejumlah potensi yang dapat dikembangkan seperti disebutkan di atas, namun pada sisi lain juga terdapat sejumlah kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Ukuran pulau-pulau yang kecil bahkan sangat kecil, merupakan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari ukuran yang 3 kecil adalah keterbatasan lahan produktif untuk mendukung (daya dukung lingkungan) kebutuhan hidup manusia. Oleh karena itu, pilihan optimasi pemanfaatan sumberdaya alam pulau-pulau kecil difokuskan pada sumberdaya pesisir dan laut. Letak atau lokasi pulau-pulau kecil yang jauh dari daratan bahkan terpencil (remote) juga menjadi kendala dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Konsekuensi dari karakter ini adalah biaya transportasi dan komunikasi menjadi sangat mahal dan menyebabkan pembangunan pulau-pulau kecil sulit mencapai skala ekonomi (economical scale) yang optimal. Karakteristik pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas, menyebabkan pulau-pulau kecil menjadi salah satu kawasan yang rentan terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Kerentanan (vulnerability) merupakan salah satu aspek yang mendapat perhatian banyak pihak dalam pembangunan pulau-pulau kecil. Negara-negara yang tergolong dalam SIDS (Small Island Development State) memberikan perhatian yang serius terhadap kajian kerentanan pulau-pulau kecil (SOPAC 2005). Mengingat pentingnya kajian kerentanan ini, maka kajian kerentanan di negara-negara anggota SIDS ini didorong dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan pada tahun 1994 yang menyebutkan bahwa negara-negara kepulauan kecil dalam rangka kerjasama di tingkat nasional, regional dan kerjasama dengan lembaga internasional dan pusat-pusat penelitian, secara kontinyu bekerja untuk mengembangkan indeks kerentanan lingkungan dan indeks lainnya yang menggambarkan status dari negara-negara kepulauan. Berbeda dengan negara-negara yang tergabung dalam SIDS, Indonesia sebagai negara kepulauan yang sebagian besar pulaunya adalah pulau-pulau kecil, sampai saat ini belum memiliki indeks kerentanan (Simamora 2009). Beberapa kajian kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia telah dilakukan di beberapa tempat, namun metode dan hasil kajian kerentanan ini belum dijadikan rujukan untuk pengkajian kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia. Dari berbagai kajian kerentanan yang telah dilakukan, terdapat banyak metode dan atribut kerentanan yang digunakan. Sebagian besar indeks kerentanan pulau-pulau kecil yang dikembangkan saat ini fokus pada sistem ekonomi dan sosial, dan hanya sebagian kecil kajian kerentanan yang fokus pada kerentanan lingkungan (Atkins et al. 1998). Kajian kerentanan pulau-pulau kecil merupakan bagian dari 4 pengelolaan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan (Mimura, 1999). Hal ini berarti bahwa hasil kajian kerentanan hendaknya memberikan kontribusi bagi perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Kajian kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil dan pesisir mengacu pada indikator yang dikembangkan oleh SOPAC (1999) tentang kerentanan lingkungan (environmental vulnerability idex) dan Gornitz (1992) tentang kerentanan pesisir (coastal vulnerability index). Penelitian kerentanan lingkungan yang mengacu pada Konsep SOPAC (1999) telah dilakukan Kaly dan Pratt (2002), Gowrie (2003), dan Turvey (2007). Selain itu juga terdapat beberapa penelitian yang berhubungan dengan kerentanan pesisir (coastal vulnerability index) seperti yang dilakukan oleh Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al. (2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008). Seiring dengan perkembangan isu perubahan iklim dan pemanasan global, konsep kerentanan kemudian banyak mendapatkan perhatian dari banyak peneliti. Konsep kerentanan tersebut mengintegrasikan aspek atau dimensi ketersingkan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity) (Turner et al. 2003; Fussel and Klein 2005; Metzger et al. (2006); UNU-EHS 2006). Dalam konteks pengelolaan pulau-pulau kecil, konsep ini lebih aplikatif dalam rangka membangun pulau-pulau kecil secara berkelanjutan. Penelitian yang dilakukan ini mengacu kepada konsep yang diuraikan di atas, dalam rangka mengembangkan model indeks kerentanan baru yang dapat diaplikasikan untuk menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Pulau-pulau kecil Indonesia memiliki hamparan yang cukup luas, dari barat hingga ke timur ataupun juga dari utara sampai ke selatan. Mengingat penyebaran yang sangat luas, maka dipilih tiga pulau sangat kecil yang berada di wilayah bagian barat, tengah dan timur wilayah Indonesia. Ketiga pulau tersebut adalah Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan informasi ilmiah tentang kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil Indonesia. Diharapkan kajian ini dapat memperkaya metode dan pendekatan dalam mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil di Indonesia, yang 5 selanjutnya dapat digunakan dalam perencanaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan di Indonesia. 1.2. Perumusan Masalah Banyak pulau-pulau kecil memiliki kerentanan yang tinggi terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Posisi pulau-pulau kecil yang remote merupakan faktor penyebab kerentanan pulau-pulau kecil. Belum lagi berbagai keterbatasan pulau-pulau kecil dalam hal ketersediaan lahan, kemampuan ekonomi turut menjadi faktor yang berperan terhadap kerentanan pulau-pulau kecil. Keberadaan dan kelangsungan sebuah ekosistem pulau-pulau kecil sangat dipengaruhi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil (Mimura 1999), dimana kerentanan sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri. Seberapa besar faktor luar mempengaruhi sistem pulau-pulau kecil akan menentukan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keberlanjutan dari sistem pulaupulau kecil. Kajian kerentanan (vulnerability assessment) akan memberikan kontribusi terhadap upaya pengelolaan pulau-pulau kecil berkelanjutan. Faktor luar yang mempengaruhi kerentanan adalah kenaikan muka laut, kondisi oseanografi khususnya gelombang dan pasang surut, peristiwa alam khususnya kejadian tsunami. Parameter inilah yang dinilai untuk mengkaji kerentanan pulau-pulau kecil. Kenaikan muka laut adalah fenomena global yang sudah banyak dikaji oleh para ilmuwan. Berbagai kajian dilakukan untuk mengantisipasi kerugian (ekonomi, sosial dan lingkungan) akibat kenaikan muka laut. Indonesia sebagai negara kepulauan, tidak luput dari ancaman kenaikan muka laut ini. Lebih spesifik lagi, banyak pulau-pulau kecil yang memiliki ketinggian hanya beberapa meter di atas permukaan laut. Tentunya, pulau-pulau kecil seperti ini merupakan pulau yang memiliki ancaman terbesar terhadap kemungkinan penggenangan daratan pulau. Dilihat dari posisinya terhadap keterbukaan (perairan), ada pulau kecil yang terletak pada perairan sempit (selat ataupun teluk), ada pulau yang terletak pada perairan terbuka (laut). Posisi atau letak pulau-pulau kecil yang demikian tentunya memiliki ancaman yang berbeda karena kenaikan muka laut. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji seberapa besar ancaman kenaikan muka laut terhadap pulau-pulau kecil dilihat 6 dari letak pulau-pulau kecil terhadap keterbukaan (perairan) yang dikaitkan dengan kerentanan pulau-pulau kecil. Karakteristik perairan Indonesia memiliki perbedaan antara perairan di wilayah bagian barat, bagian tengah dan timur. Perbedaan ini berimplikasi terhadap kemungkinan kisaran kenaikan muka laut, hal ini terlihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh Hamzah et al. (in press) di Pulau Lombok dan Susandi (2008) di pesisir Sumatera Selatan. Perbedaan karakteristik pulau kecil juga akan menentukan perbedaan kerentanan antara satu pulau kecil dengan pulau kecil lainnya. Pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau datar berbeda dengan pulau-pulau kecil yang berkarakter sebagai pulau berbukit. Hal ini sebagaimana diutarakan Campbell (2006) dalam mengkaji implikasi tipe pulau dengan gangguan alam di kawasan Pasifik. Banyak pulau-pulau kecil Indonesia yang memiliki tipologi pulau-pulau kecil seperti yang disebutkan di atas. Karakteristik pulau lainnya yang diperkirakan akan menentukan kerentanan pulau kecil adalah seperti yang dikaji Asriningrum (2009), dimana pulau-pulau kecil memiliki korelasi yang berbeda terhadap pertumbuhan dan perkembangan ekosistem pesisir seperti terumbu karang, mangrove dan lamun. Perbedaan pulau-pulau kecil sebagaimana disebutkan di atas, memerlukan upaya atau pendekatan yang berbeda pula dalam menyusun strategi adaptasi dan mitigasi bencana karena gangguan alam seperti kenaikan muka laut. Konsep yang dikembangkan Turner et al. (2003), mengindikasikan bahwa untuk mengurangi tingkat kerentanan pulau-pulau kecil, upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kapasitas adaptif (adaptive capacity) dari suatu pulau kecil. Ekosistem pesisir sebagai ekosistem alami pulau-pulau kecil, memiliki kapasitas adaptif yang tinggi terhadap gangguan dari luar terhadap pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, mengintegrasikan ekosistem pesisir dalam menilai kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, merupakan pendekatan baru yang perlu dilakukan. Kapasitas adaptif pulau-pulau kecil dapat ditingkatkan dengan melakukan intervensi (kebijakan), baik melalui peningkatan kapasitas adaptif alami dari sistem pulau-pulau kecil itu sendiri maupun melalui pembangunan infrastruktur. Intervensi manajemen ini dapat dilakukan dengan mengembangkan pendekatan ‘adaptive management’ yaitu suatu pendekatan yang dilakukan dengan 7 menyesuaikan kondisi dan permasalahan spesifik dari suatu pulau kecil terkait dengan dampak dari kenaikan muka laut. Berdasarkan uraian di atas, beberapa permasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah: • Bagaimana model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang mampu memperlihatkan peran ekosistem pesisir dalam mengurangi laju kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil • Bagaimana kerentanan pulau-pulau kecil terkait dengan perubahan iklim dan kenaikan muka laut. • Seberapa besar kerentanan pulau-pulau kecil Indonesia terhadap kenaikan muka laut dan faktor-faktor yang berinteraksi dengan kenaikan muka laut. • Seberapa besar dampak kenaikan muka laut terhadap daratan pulau-pulau kecil. • Upaya apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas adaptif guna menurunkan tingkat kerentanan pulau-pulau kecil dan adaptasi terhadap kenaikan muka laut. 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah mengembangkan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil terhadap kenaikan muka laut dan gangguan alam seperti tsunami. Sedangkan tujuan spesifik penelitian adalah: 1. Memformulasikan model indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. 2. Menganalisis parameter kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil 3. Menduga indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dan memproyeksikan perubahan kerentanan pada masa yang akan datang melalui verifikasi model indeks kerentanan lingkungan pada tiga pulau kecil. 4. Menduga perendaman daratan pulau-pulau kecil akibat kenaikan muka laut. 5. Merancang strategi adaptasi berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil. 1.4. Ruang Lingkup Penelitian Sebagaimana halnya dengan batasan dan pengertian kerentanan pulau- pulau kecil yang memiliki pengertian cukup luas, lingkup kajian kerentanan pulau-pulau kecil juga sangat luas dan beragam. Dilihat dari aspek kajian 8 kerentanan, kerentanan pulau kecil dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu kerentanan ekonomi, kerentanan sosial dan kerentanan lingkungan. Masing- masing jenis kerentanan ini memiliki atribut dan tujuan yang berbeda-beda dalam melihat kerentanan suatu pulau-pulau kecil. Penelitian kerentanan pulau-pulau kecil ini merujuk kepada kerentanan lingkungan, yaitu kerentanan yang disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan baik aspek geofisik, biologi/ekologi maupun manusia. Aspek geofisik yang dikaji seperti kenaikan muka laut, kejadian tsunami, dan karakteristik fisik dari daratan pulau. Aspek biologi/ekologi mencakup kuantitas dan kualitas ekosistem pesisir di pulau-pulau kecil. Adapun aspek manusia mencakup demografi, aktivitas pemanfataan lahan pulau-pulau kecil dan pemukiman penduduk. Kajian spesifik kerentanan lingkungan yang sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, juga memiliki perbedaan baik dari sisi parameter yang dikaji maupun pendekatan yang digunakan. Salah satu konsep yang digunakan dalam kajian kerentanan terhadap perubahan iklim termasuk kenaikan muka laut adalah seperti yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003). Konsep kajian kerentanan yang dikemukakan Turner et al. (2003), menyajikan pendekatan kajian yang fleksibel, dimana cakupan kajian kerentanan dapat mencakup wilayah yang sangat luas ataupun lingkup yang sempit (lingkup global, regional dan lokal). Perbedaan kedua konsep tersebut di atas adalah terletak pada lingkup kajian, dimana konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) lebih fokus kepada kerentanan karena perubahan iklim (climate change) sedangkan konsep yang dikemukakan Turner et al. (2003) mencakup aspek yang lebih luas, tidak terbatas pada perubahan iklim. Namun demikian, kedua konsep kerentanan ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kerentanan, yaitu kerentanan merupakan fungsi dari ketersingkapan/keterbukaan (exposure), sensitivitas (sensitivity), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity). Penelitian ini mengacu kepada kedua konsep di atas, dimana kerentanan pulau-pulau kecil dilihat dari faktor perubahan iklim dan non iklim. Parameter atau indikator kerentanan pulau-pulau kecil dijabarkan ke dalam dimensi exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, yang masing-masing parameter dideterminasi dengan pendekatan vulnerability scoping diagram/diagram 9 pelingkupan kerentanan (Polsky et al. 2007). Tekanan perubahan alam dan aktivitas manusia akan mempengaruhi keberadaan dan sistem yang terdapat di suatu pulau kecil. Seberapa besar pengaruh ini sangat ditentukan oleh tingkat keterbukaan/ketersingkapan, sensitivitas dan kapasitas adaptif dari pulau tersebut. Dengan mengacu pada konsep kerentanan tersebut di atas, secara diagramatik ruang lingkup penelitian Formulasi Indeks Kerentanan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil: Kasus Pulau Kasu-Kota Batam, Pulau Barrang Lompo-Kota Makasar, dan Pulau Saonek-Kabupaten Raja Ampat seperti terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Ruang lingkup penelitian (Adopsi dari Turner et al. 2003) 1.5. Kerangka Pemikiran Tekanan lingkungan (alam dan manusia), termasuk perubahan iklim telah meningkatkan akselerasi terhadap kenaikan muka laut, baik pada skala global, regional maupun lokal. Akselerasi kenaikan muka laut mengancam keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil. Dampak utama dari kenaikan muka laut terhadap sistem pulau-pulau kecil adalah meningkatnya resiko penggenangan dan banjir, mempercepat laju erosi pantai, intrusi air laut dan gangguan terhadap ketersediaan air bersih (IPCC 1990). Dalam konteks yang lebih luas, kenaikan muka laut telah menyebabkan meningkatnya kerentanan pulau-pulau kecil yang diiringi oleh 10 penurunan kemampuan sistem pulau-pulau dalam menopang kelangsung hidup sistem pulau dan masyarakat yang ada di pulau tersebut. Selain kenaikan muka laut, kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil juga diperparah oleh berbagai fenomena alam lain seperti tsunami, badai, dan sebagainya. Untuk mengantisipasi dampak yang lebih parah dari kenaikan muka laut terhadap keberlanjutan sistem pulau-pulau kecil, banyak negara telah mengembangkan atau menggalakkan kajian kerentanan, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan. Penelitian ini memformulasikan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, yang kemudian melakukan verifikasi terhadap model kerentanan yang dibangun pada tiga pulau kecil yang memiliki karakteristik yang berbeda baik dari aspek geografis, ekosistem maupun kondisi sosial masyarakatnya. Sebagaimana telah diuraikan bahwa lingkup penelitian ini mengacu pada konsep yang dikemukakan Fussel dan Klein (2006) dan Turner et al. (2003), yang mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity. Untuk membangun kedua konsep di atas supaya menjadi operasional dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil, digunakan konsep metodologi yang dikemukakan Villa dan McLeod (2002) dan Schroter et al. (2005). Villa dan McLeod (2002) mengembangkan kerangka teori yang mampu menghasilkan indikator kerentanan. Menurutnya dalam melakukan kajian kerentanan diperlukan 3 model, yaitu model sistem, model kerentanan dan model matematik. Dalam konteks penelitian ini, sistem model yang digunakan adalah sistem pulau-pulau kecil yang menjadi objek penelitian. Model sistem ini dibatasi pada luasan yang meliputi daratan pulau-pulau kecil beserta hamparan habitat pesisir (ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir, pantai berlumpur dan pantai berbatu). Model kerentanan yang diacu adalah kerentanan yang didefinisikan sebagai fungsi dari dimensi exposure, sensitivity dan adaptive capacity, yang mana masing-masing dimensi ini memiliki parameter-parameter lingkungan yang terukur. Adapun model matematik adalah persamaan indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (IK-PPK), baik persamaan matematik yang statis maupun dinamis. Sementara schroter et al. (2005) mengembangkan pendekatan 8 tahapan dalam melakukan kajian 11 kerentanan. Kedelapan tahapan tersebut, merupakan langkah-langkah operasional yang dapat dilakukan dalam mengkaji kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Dengan melakukan modifikasi dan menggabungkan kedua konsep metodologi tersebut, maka secara diagramatik kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini seperti tersaji pada Gambar 2. Gambar 2. 1.6. Kerangka pikir kajian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil (Modifikasi dari Schroter et al. 2005; Villa dan McLeod 2002) Hipotesis Berdasarkan perbedaan karakteristik ketiga pulau yang dipilih sebagai lokasi untuk memverifikasi model indeks kerentanan lingkungan yang dikonstruksi dalam penelitian ini, diduga ada perbedaan kerentanan lingkungan di 12 antara ketiga pulau-pulau kecil tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini membandingkan tingkat kerentanan lingkungan ketiga pulau kecil tersebut. Perbedaan kerentanan lingkungan ketiga pulau ini berimplikasi pada konsep pengelolaan yang perlu dikembangkan untuk tetap mempertahankan eksistensi dan proses pembangunan secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil. 1.7 Kebaharuan (Novelty) Kajian kerentanan sudah dimulai sejak tahun 1970. Kajian kerentanan yang banyak dilakukan saat ini mencakup aspek yang lebih luas dibandingkan kajian kerentanan sebelumnya (Lewis 2009). Namun demikian, kajian kerentanan ini lebih banyak fokus pada aspek sosial ekonomi, yang secara geografi memiliki karakteristik yang spesifik (Atkins, 1998). Indeks kerentanan ekonomi diantaranya dikembangkan Briguglio (1995, 1997), The Commonwealth Secretariat (Wells 1996, 1997); Pantin (1997), Atkins et al. (1998), the Caribbean Development Bank (Crowards 1999), dan Adrianto dan Matsuda (2004). Indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil dikembangkan oleh negara-negara kepulauan dalam kelompok SIDS (Small Island Development States). Indeks kerentanan lingkungan ini telah diaplikasikan oleh Kaly dan Pratt (2000), Gowrie (2003), dan Turvey (2007) untuk menilai kerentanan beberapa negara kepulauan. Pendekatan yang digunakan dalam penentuan indeks kerentanan lingkungan ini adalah dengan memasukkan berbagai parameter yang berkaitan dengan tekanan dari faktor iklim, non iklim dan manusia. Kajian kerentanan (indeks kerentanan) khususnya terhadap pesisir (coastal vulnerability indeks) juga banyak dilakukan dengan mengacu kepada konsep yang dikemukakan Gornitz (1992) seperti yang dilakukan Pendleton et al. (2004); Boruff et al. (2005); Doukakis (2005), Demirkesen et al. (2008), Rao et al. (2008), Al-Jeneid et al. (2008) dan DKP (2008). Secara ringkas tinjauan (review) kajian-kajian kerentanan ini disajikan pada Tabel 1. 13 Tabel 1. Tinjauan beberapa kajian kerentanan lingkungan Konsep Kajian Kerentanan SOPAC (1999) Gornitz (1992) Peneliti Kaly UL dan Pratt C (2002) Gowrie MN (2003) Pendleton EA et al. (2004) Boruff BJ et al. (2005) Doukakis (2005) Rao et al. (2008) Departemen Kelautan dan Perikanan (2008) Tinjauan Penelitian ini baru mampu menghitung indeks kerentanan sesaat • Penelitian ini hanya menyajikan kerentanan sesaat. • Penelitian ini tidak mengintegrasikan ekosistem pesisir (habitat pesisir) sebagai suatu ekosistem yang mampu mengurangi kerentanan pesisir/PPK. DKP (2008) memasukkan terumbu karang dan mangrove sebagai parameter penghitungan kerentanan Berdasarkan konsep kerentanan yang diacu dalam penelitian ini, bahwa kerentanan merupakan fungsi dari exposure, sensitivity, dan adaptive capacity, penelitian ini memiliki kelebihan dibandingkan kajian-kajian kerentanan lingkungan yang disajikan pada Tabel 1. Kelebihan tersebut terkait dengan diintegrasikannya ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil. Pesisir dan pulau-pulau kecil umumnya memiliki ekosistem yang mampu menekan atau memperkecil kerentanan pesisir dan pulau-pulau kecil yang disebut dengan kapasitas adaptif. Dengan menggunakan konsep kerentanan ini, dapat diketahui seberapa besar peran ekosistem pesisir tersebut mampu menekan kerentanan lingkungan yang akan terjadi. Salah satu karakteristik kerentanan adalah bersifat dinamik. Menurut Preston dan Stafford-Smith (2009) kerentanan akan selalu mengalami perubahan, karena adanya perubahan faktor-faktor yang berhubungan dengan kerentanan itu sendiri. Untuk mengetahui perbedaan antara kajian kerentanan yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang mengacu kepada konsep kerentanan SOPAC (1999) maupun Gornitz (1992) dengan penelitian kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang dilakukan ini, sajikan ilustrasi perubahan kerentanan pada Gambar 3. 14 Gambar 3. Ilustrasi perubahan kerentanan pulau-pulau kecil Kerentanan sebagaimana dikemukakan Preston dan Stafford-Smith (2009) akan mengalami perubahan seperti pada V1, sedangkan kajian kerentanan yang telah dilakukan hanya mampu menghasilkan satu nilai kerentanan (kerentanan sesaat semisal V0 jika kerentanan diukur pada t=0). Berbeda dengan penelitian ini, kajian yang dilakukan akan menghasilkan nilai kerentanan secara dinamik (V1) dan juga mampu memproyeksikan perubahan kerentanan dengan melakukan penataan kapasitas adaptif (AC) suatu pulau kecil (V1-V2). Peran ekosistem pesisir pulau-pulau kecil dalam meningkatkan kapasitas adaptif pulau telah dikemukakan oleh Othman (1994), Barnet dan Adger (2003), Mazda et al. (2007) dan McClanahan et al. (2008). Dengan mengkonstruksi model indeks kerentanan lingkungan yang baru dengan mengintegrasikan parameter ekosistem pesisir, maka kebaharuan dari penelitian ini adalah terformulasikannya model baru dalam menghitung indeks kerentanan lingkungan pulau-pulau kecil yang juga mengkuantifikasi peran ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil untuk menurunkan kerentanan lingkungan baik kerentanan sesaat maupun dinamika kerentanan.