Segera susun-Kps - Perpustakaan BAPPENAS

advertisement
Segera Susun Strategi
Arah Pembangunan Pertanian Belum Jelas
Kompas : Senin, 28 September 2009 | 03:54 WIB
Jakarta, Kompas - Indonesia harus segera menyusun strategi pembangunan industri
pertanian yang terintegrasi dengan sektor lain. Jika tidak, Indonesia hanya akan jadi
negara yang menampung produk olahan dari negara-negara anggota G-20 lainnya.
Demikian disampaikan secara terpisah oleh Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian
Universitas Gadjah Mada M Maksum dan Ahli Peneliti Utama Bidang Kebijakan Pertanian
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Husein Sawit, Minggu (27/9).
Menurut Husein, negara-negara anggota G-20 sangat ekspansif melakukan perluasan
pasar, termasuk pasar komoditas dan produk olahan pertanian. ”Pertanyaannya, apakah
Indonesia cukup mampu melakukannya?” ujar Husein dari Bogor.
Keraguan itu muncul karena hingga kini pembangunan industri pertanian Indonesia belum
jelas arahnya. ”Pembangunan sektor pertanian berjalan sendiri, terisolasi dari
pembangunan sektor lain seperti jasa, keuangan, industri, perdagangan, dan
infrastruktur,” ujar Husein.
Ekspor komoditas pertanian Indonesia, kata Husein, masih didominasi ekspor bahan
mentah, seperti minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) karet, kakao, dan kopi.
”Umumnya harga bahan mentah di pasaran rendah sehingga daya saingnya juga rendah,”
kata Husein.
Dengan tergantikannya peran G-8 oleh G-20, yang salah satu anggotanya Indonesia,
akan terjadi penguatan peran negara berkembang. Namun, agar tidak hanya menjadi
pasar bagi negara-negara anggota G-20 lainnya, Indonesia harus segera menyusun
strategi pembangunan industri pertanian yang terintegrasi dengan sektor keuangan, jasa,
perdagangan, industri, dan infrastruktur.
Dalam pertemuan di Pittsburgh, Amerika Serikat, para pemimpin G-20 menyepakati
komunike bersama, yaitu, antara lain, mendorong pembangunan ekonomi global yang
terbuka yang diawali dengan penguatan dunia perdagangan dan investasi serta
pengetatan peraturan perbankan. Selain itu juga disepakati digantikannya peran negara
maju yang terhimpun dalam kelompok G-8 dengan G-20, yang selain beranggotakan
negara maju juga negara berkembang.
Menurut Maksum, dengan adanya kesepakatan itu, seharusnya Indonesia segera
menetapkan arah pembangunan sektor pertaniannya. Tanpa arah yang jelas, Indonesia
akan semakin dalam masuk ke jebakan impor.
”Sungguh saya khawatir Indonesia justru masuk semakin dalam,” katanya.
Sikap Indonesia dalam berbagai perundingan putaran Doha terkait konflik Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) juga tidak pernah terdengar. Berbeda dengan Brasil, China,
India, dan Afrika Selatan yang gencar menolak diskriminasi perdagangan.
”Kita akan mulai dari mana. Selama ini kita menganaktirikan sektor pertanian,” kata
Maksum.
Ditegaskan, jebakan pangan akan semakin serius. ”Ini karena format pembangunan
sistem pangan yang tidak jelas harus ditransaksikan dalam G-20, yang memperhadapkan
selera kapitalistik, liberalisasi, antiproteksi pada satu sisi, dan ekonomi kerakyatan yang
propertanian pada sisi lain,” kata Maksum.
Kekuatan regional
Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), yang juga Sekretaris
Jenderal Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Hermanto Siregar, untuk
bisa mengambil manfaat dari perubahan dari G-8 ke G-20, Indonesia perlu segera
menggalang kekuatan di tingkat regional, terutama dalam bidang pangan.
”Asia potensi lumbung pangan dunia, terutama untuk komoditas tertentu, seperti beras
dan CPO,” kata Hermanto.
Adapun di tingkat lokal, lanjut Hermanto, Indonesia harus terus meningkatkan
produktivitas komoditas pertanian dan pembangunan industri pertanian, yaitu, antara lain,
dengan melakukan ekstensifikasi pertanian di luar Pulau Jawa dan riset yang mumpuni.
”Beberapa komoditas pangan produktivitasnya masih bisa dipacu,” ujarnya.
Hermanto berpendapat, digantikannya peran G-8 oleh G-20 menguntungkan Indonesia
dalam membangun sektor pertanian. ”Setidaknya bisa mendapatkan akses permodalan
untuk membangun pertanian. Pada forum keuangan internasional, suara Indonesia akan
lebih didengar. Bagaimanapun membangun pertanian butuh modal,” katanya. (MAS)
Download