tinjauan pustaka

advertisement
5
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi Brucellosis
Brucellosis atau penyakit abortus atau keluron menular merupakan
penyakit bakterial bersifat zoonosis, yang disebabkan oleh berbagai spesies
Brucella. Brucella ditemukan oleh Sir David Bruce pada tahun 1886, bakteri
diisolasi dari limpa seorang prajurit yang sakit kemudian disebut Demam Malta.
Terdapat 6 spesies Brucella pada hewan yaitu B. abortus, B. melitensis, B. ovis, B.
suis, B. canis dan B. neotomae. Klasifikasi terutama berdasarkan pada perbedaan
patogenitas dan inangnya. B. melitensis merupakan spesies Brucella yang paling
patogen dan invasif pada kesehatan manusia, diikuti oleh B. suis, dan B. abortus
(Young 1995, Dokuzoguz et al. 2005; Rajashekara et al. 2006; Franco et al. 2007;
Lee & Stanek 2010).
Tabel 1 Karakteristik biovar spesies dari genus Brucella
Spesies
Morfologi
koloni
B. abortus
smooth
B. melitensis
smooth
B. suis
smooth
B. neotomae
B. ovis
B. canis
smooth
rough
rough
Biovar
Oxidase
Katalase
Urease
CO2
Produksi
H2S
1
2
3
4
5
6
9
1
2
3
1
2
3
4
5
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+/ +
-
+
+
+
+
+
+
+
-
Pertumbuhan
Thionin Basic
Fuchin
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
Aglutinasi
A M R
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
Sumber: Alton et al. (1988); Barrow & Feltham (1993)
Keterangan : + : positif, - : negatif.
Bakteri Brucella merupakan bakteri gram negatif, tidak berspora, tidak
motil, berbentuk kokobasilus dengan panjang 0,6 – 1,5 µm dan lebar 0.5 – 0,7 µm,
bersifat fakultatif intraseluler yaitu bakteri mampu hidup dan berkembang biak
+
+
+
+
+
+
-
+
+
6
dalam set fagosit. Koloni Brucella di media padat terlihat setelah inkubasi selama
2 - 3 hari. Setelah inkubasi 4 hari, koloni berbentuk bulat, berdiameter 1-2 mm,
dengan tepi halus, seperti madu pucat pada media transparan dan koloni convex.
Karakteristik
spesies
Brucella
berdasarkan
kebutuhan
CO2
dalam
pertumbuhannya, produksi H2S, aktivitas urease dan pertumbuhan pada thionin
serta basic fuchsin (Alton et al. 1988; Quinn et al. 2002).
Bovine Brucellosis disebabkan B. abortus. Brucella abortus terdapat 7
biotipe, B. melitensis 3 biotipe, B. canis 4 biotipe, dan B. ovis, B. suis, B.
neotomae masing-masing 1 biotipe (Corbel 2006; OIE 2009; CFSPH 2009).
Karakter biovar spesies Brucella dapat dilihat pada Tabel 1.
Penularan
Brucellosis dapat ditularkan antar hewan melalui rute oral karena ternak
menjilati produk abortus (plasenta, janin) dan cairan vagina dari hewan yang
terinfeksi.
Hewan yang terkontaminasi oleh bakteri Brucella juga diperoleh
melalui inhalasi, inokulasi konjungtiva, kontaminasi kulit dan inokulasi ambing
(Plommet & Fensterbank 1976). Infeksi bakteri Brucella dapat terjadi pada anak
sapi yang diberi kolostrum atau susu dari induk yang terinfeksi. Pada sapi jantan,
brucellosis tidak selalu mengakibatkan infertilitas, meskipun akan mempengaruhi
kualitas semen. Selain itu penularan juga terjadi melalui perkawinan alam sapi
jantan penderita sewaktu mengawini sapi betina dan inseminasi buatan. Sapi
tersebut menularkan Brucella selama fase akut dari penyakit, dan shedding
Brucella dapat berhenti maupun bersifat intermitent. Penularan langsung bakteri
Brucella dapat dibantu oleh satwa liar, burung dan saluran air yang terkontaminasi
urin dan kotoran uterus sapi yang abortus. Anjing membawa potongan plasenta
atau janin abortus dari satu tempat ke tempat lain. Penyebaran bakteri Brucella
juga dapat melalui kandang, pakan, padang rumput dan air yang tercemar oleh
produk abortus. Ekskresi bakteri Brucella terjadi setelah keguguran sampai sekitar
15 hari. Jumlah bakteri Brucella yang diekskresikan dari uterus akan berkurang,
namun ternak terinfeksi dapat menjadi pembawa Brucella yang mengeluarkan
bakteri secara persisten selama bertahun-tahun (Quinn et al. 2002; CFSPH 2009).
Pada sapi, domba, kambing dan babi, kerentanan terhadap brucellosis terbesar
7
pada hewan yang sudah matang secara seksual. Hewan muda sering resisten
terhadap infeksi, meskipun infeksi dapat bersifat laten dan menimbulkan bahaya
ketika dewasa. Vaksinasi ternak dengan B. abortus S19 atau RB51 dapat
mengurangi kerentanan seribu kali lipat atau lebih pada spesies yang homolog
(Corbel 2006).
Brucella dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam
waktu tertentu. Brucella sensitif terhadap sinar matahari langsung, desinfektan
dan pasteurisasi (CFSPH 2009). Brucella tahan terhadap kekeringan, terutama bila
terdapat bahan organik seperti protein, dan bertahan hidup dalam debu serta tanah.
Bakteri dapat bertahan hidup di air keran selama beberapa bulan pada 4 - 8 °C, 2,5
tahun di 0 ºC, dan beberapa tahun pada jaringan beku atau media. Bakteri
Brucella tahan di tanah basah sampai 60 hari, di permukaan air selama 144 hari,
di dalam urin selama 30 hari, pada janin abortus selama 75 hari dan di eksudat
uterus lebih dari 200 hari. Pada bedding yang terkontaminasi Brucella, bakteri
mati pada 56 °C - 61 °C dalam waktu 4,5 jam. Selain itu telah ditemukan bahwa
Brucella dapat bertahan hidup dalam kotoran selama 53 hari pada musim dingin,
120 - 210 hari di musim semi, 1 hari di musim panas, dan 50 - 120 hari di musim
gugur (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006). Pada jaringan yang dikeluarkan
sewaktu keguguran, B. abortus dapat tahan hidup sampai 6 bulan apabila terhindar
dari sinar matahari (Quinn et al. 2002; Soeharsono 2002).
Usia, jenis kelamin, periode kebuntingan dan resistensi alami terhadap
Brucella mempengaruhi perkembangan infeksi. Ternak betina bunting cenderung
mudah terinfeksi daripada ternak tidak bunting atau jantan. Hal ini karena uterus
ternak bunting terdapat gula erythritol yang menopang pertumbuhan bakteri
Brucella (Bharde & Bhuktar 2005; Islam et al. 2009).
Pada manusia, penularan dapat terjadi secara oral, inhalasi dan lewat
konjungtiva, namun sumber utama infeksi yaitu kontak dengan produk abortus
hewan, mengkonsumsi produk peternakan terkontaminasi seperti susu dan produk
tidak dipasteurisasi (keju, susu mentah, mentega dan es krim), daging yang
dimasak kurang matang, kontak dengan kultur bakteri dan sampel jaringan di
laboratorium. Infeksi dapat terjadi pada pekerja yang berprofesi tertentu misalnya
orang yang bekerja di laboratorium, dokter hewan, inseminator, mantri hewan,
8
petugas rumah pemotongan hewan, tukang perah susu yang bekerja di daerah atau
hewan tertular atau menangani fetus abortus dan plasenta penderita brucellosis
(Corbel 1997; OIE 2009; Godfroid et al. 2010; Bennet 2010). Kandungan bakteri
pada jaringan otot relatif rendah namun konsumsi organ hewan seperti hati dan
limpa sebagai salah satu penyebab terjadinya infeksi pada manusia (Pappas et al
2005).
Gejala klinis
Brucella menyebabkan brucellosis pada manusia dan berbagai spesies
hewan (Cloeckaert et al., 2003). Penyakit ini biasanya tanpa gejala pada hewan
betina bunting. Setelah adanya infeksi oleh B. abortus pada hewan bunting dapat
menyebabkan plasentitis dan endometritis (Quinn et al. 2002; Poester et al. 2006;
OIE 2009). Penyakit ini dapat bersifat akut dengan terjadinya abortus pada ternak
yang sehat. Brucella mengakibatkan abortus pada 6 sampai 9 bulan kebuntingan.
Setelah abortus dan kelahiran normal berikutnya, sebagian besar bakteri
diekskresikan ke plasenta, cairan fetus, susu dan leleran vagina (OIE 2009).
Sehingga pada ternak bunting yang terinfeksi
mengakibatkan kelahiran dini,
penurunan produksi susu, konsepsi tertunda dan infertilitas sementara atau
permanen. Pada hewan jantan terinfeksi mengakibatkan orchitis dan epididimiitis
yang menyebabkan infertilitas (Corbel 1997; Quinn et al. 2002). Hewan jantan
yang terinfeksi dapat ditemukan Brucella di dalam semennya sehingga berpotensi
sebagai sumber penularan penyakit jika digunakan untuk Inseminasi Buatan. Pada
infeksi akut, Brucella ditemukan dalam organ tubuh yang paling utama yaitu
kelenjar getah bening (Quinn et al. 2002). Di beberapa negara tropis, satu-satunya
indikator yang jelas adanya infeksi kronis brucellosis pada hewan yaitu higroma
pada persendian kaki. Pembesaran kantung persendian carpus atau tarsus terlihat
mencolok sehingga dapat terlihat dari jauh (Godfroid et al. 2004; Bharde &
Bhuktar 2005). Dilaporkan bahwa di Arab Saudi, domba yang menderita higroma
pada kakinya dapat diisolasi B. melitensis (Ramadan et al. 2012)
Pada manusia, brucellosis menyebabkan deman malta (demam undulant),
dan mengakibatkan komplikasi penyakit muskulo skeletal, kardiovaskular dan
sisitem syaraf pusat seperti sakit kepala, lemah, kehilangan berat badan, dan panas
9
dingin (Corbel 1997; Quinn et al. 2002, Bennet 2010). Kerentanan terhadap
brucellosis pada manusia tergantung pada berbagai faktor, termasuk status
kekebalan tubuh, rute infeksi, jumlah inokulum dan spesies Brucella (Young
1995, Pappas et al. 2005; Corbel 2006).
Patogenesis
Spesies Brucella sebagai bakteri patogen fakultatif intraselular mampu
bertahan dan bereplikasi dalam sel fagosit tubuh inang (Halling et al., 2005).
Patogenesis Brucella terutama berdasarkan kemampuannya untuk masuk,
bertahan hidup dan berkembang biak dalam sel inang (Gorvel & Moreno 2002).
Setelah masuk ke tubuh, Brucella tertelan oleh leukosit polymorphonuclear
(PMLs), yang akan tertarik ke lokasi inokulasi. Faktor virulensi utama adalah sel
dinding lipopolisakarida (LPS). Hal ini dikarenakan LPS B. abortus mengandung
komponen 5-guanosin monofosfat. Dengan adanya kemampuan tersebut, hampir
15 – 30% bakteri ini mampu bertahan di dalam sel polymorphonuclear atau
mononuclear (Al Nassir 2011). Brucella mampu bertahan dan bereplikasi dalam
sel fagosit dari sistem retikuloendotelial dan sel non-fagosit seperti trofoblas.
Kemampuan tersebut melibatkan fusi sementara dari vakuola yang mengandung
Brucella dengan lisosom, selanjutnya pada protein lisosomal (Young 1995; Star et
al. 2008). Setelah proses ini, vakuola yang mengandung Brucella terhubung
dengan retikulum endoplasma (RE). Retikulum endoplasma terhubung lagi
dengan kompartemen tempat untuk replikasi intraseluler Brucella dalam
makrofag, sel epitel dan trofoblas plasenta. Bakteri dapat menyebabkan infeksi
kronis pada tempat tersebut (Xavier et al. 2010). Forestier et al. (1999)
menunjukkan bahwa LPS dari B. abortus terakumulasi dalam lisosom dan
kemudian ke permukaan sel makrofag membentuk kelompok besar yang disebut
macrodomains.
Faktor serum normal, termasuk komplemen, terlibat dalam opsonisasi
organisme untuk fagositosis, namun PMLs membatasi kemampuan untuk
membunuh bakteri dalam fagosit. Beberapa faktor yang melindungi Brucella dari
PMLs adalah copper-zink superoksida dismutase, O-polisakarida, dan nukleotida.
Brucella yang lolos dari PMLs tertelan oleh makrofag, kemudian tinggal dalam
10
organ-organ sistem retikuloendotelial (hati, limpa, sumsum tulang) dan
berkembang biak di makrofag dan monosit. Beberapa sistem organ dapat terlibat
dalam penyakit brucellosis (sistem syaraf pusat, jantung, persendian, sistem
genitourinari, sistem paru-paru, dan kulit). Brucellosis tersebut menyebabkan
infeksi bersifat lokal maupun sistemik yang dapat melibatkan hampir seluruh
organ. Setelah infeksi, dihasilkan antibodi humoral terhadap LPS dan antigen
dinding sel lainnya. Namun, pengembangan imunitas berperantara sel merupakan
prinsip mekanisme saat pemulihan. Kekebalan selular melibatkan peran T limfosit
sitotoksik dan aktivasi makrofag sehingga meningkatkan aktivitas bakterisidal
melalui pelepasan sitokin (misalnya gamma interferon dan tumor necrosis faktor)
dari Thelper limfosit (Bharde & Bhuktar 2005; Corbel 2006; Bennett 2010).
Brucellosis menyebabkan hewan lahir lemah atau aborsi pada trimester
terakhir kebuntingan ketika B. abortus berpindah ke uterus. Lokalisasi dan
replikasi B. abortus pada hewan bunting dikaitkan dengan adanya empat-karbon
alkohol erythritol. Erythritol dapat merangsang dan meningkatkan pertumbuhan
Brucella. Bakteri menetap di sel-sel yang mampu menyediakan nutrisi yaitu
saluran kelamin hewan. Bharde & Bhuktar (2005), erythritol ditemukan pada
plasenta sapi, domba, kambing, babi dan anjing serta vesikula seminalis dan testis
pada hewan jantan. Brucella menggunakan erythritol (glukosa) tersebut sebagai
sumber karbon utama dan energi sehingga dilengkapi satu set enzim untuk
mengubah glukosa menjadi berbagai jenis molekul gula yang digunakan dalam
kelangsungan hidup B. abortus. Erythritol dalam jumlah miligram dapat
meningkatkan pertumbuhan B. abortus secara in vitro (Anderson & Smith 1965;
Anderson & Cheville 1986; Haag et al. 2010).
Koleksi material
Diagnosis
brucellosis
dan pemilihan sampel
hewan
melalui
pemeriksaan
kultur,
yang tergantung pada pengamatan tanda-tanda klinis.
Sampel diagnosis termasuk janin abortus (isi lambung, limpa dan paru-paru),
membran fetus, plasenta induk, leleran vagina (swab), susu, semen dan cairan
higroma. Apabila menggunakan bangkai hewan sebagai sampel, maka jaringan
yang dikultur adalah sistem retikuloendotelial (kepala, kelenjar getah bening,
11
kelenjar susu dan limpa), kebuntingan terakhir atau uterus awal melahirkan, dan
ambing. Pertumbuhan normal bakteri
setelah 4 - 5 hari, tetapi kultur dapat
diamati sampai 2 – 3 minggu sebelum dinyatakan negatif (Alton et al. 1988;
Quinn et al. 2002; OIE 2009, Godfroid et al. 2010).
Sampel jaringan, leleran vagina, susu, serum dan produk peternakan harus
segera didinginkan setelah pengambilan, dan dibawa ke laboratorium secepatnya.
Sampel (susu dan jaringan) yang tidak langsung dikultur harus disimpan dalam
kondisi beku (Alton et al. 1988).
Diagnosis Brucellosis
Diagnosis
brucellosis
dilakukan secara
serologi
dan
pemeriksaan
bakteriologis. Uji serologi dapat dilakukan dengan Rose Bengal Test (RBT),
Complement Fixation Test (CFT), Serum agglutination test (SAT) dan Enzyme
Linked Immunosorbent Assays (ELISA). Buffered Brucella Antigen Tests
(BBATs) seperti RBT dan Buffered Plate Agglutination Test (BPAT) dan
Fluorescence Polarisation Assay (FPA) dapat dilakukan sebagai uji screening.
Pengujian pada kelompok sapi perah dapat dilakukan dengan uji Milk Ring Test
(MRT) (OIE 2009).
Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan isolasi dan identifikasi bakteri
penyebab brucellosis. Isolasi bakteri berasal dari spesimen organ janin keguguran
dan pada sapi jantan dapat diisolasi dari semennya (Alton et al. 1988; OIE 2009;
Godfroid et al. 2010). Apabila uji serologi dilakukan untuk pemberantasan
penyakit brucellosis maka pengujian dilakukan melalui dua tahap yaitu uji
screening (penyaringan) dengan menggunakan uji yang memiliki sensitivitas yang
sangat tinggi (RBT dan MRT) sehingga seluruh hewan yang terinfeksi terjaring.
Hasil screening yang menunjukkan hasil positif kemudian dikonfirmasi dengan uji
yang memiliki spesifisitas yang sangat tinggi seperti CFT atau ELISA (Godfroid
et al. 2010).
Pengobatan pada hewan yang menderita brucellosis secara efektif belum
ada. Pada manusia, pengobatan dilakukan dengan memberikan antibiotika
tetracycline 500 mg/ 6 jam/ peroral selama 6 minggu, doxycycline 100mg/ 12
jam/ per oral selama 6 minggu, atau pemberian aminoglycosides pada 1 – 3
12
minggu pada terapi awal ditambah tetracycline atau doxycycline (Corbel 2006).
Pada percobaan mencit yang diinfeksi B. abortus kemudian dilakukan pengobatan
dengan gentamisin selama tiga hari menunjukkan bahwa jumlah bakteri di limpa
setelah 1 dan 3 minggu pengobatan tidak mengalami penurunan (Prior et al. 2005)
Epidemiologi
Kegiatan penanggulangan gangguan reproduksi dilakukan melalui
pengendalian penyakit hewan yang memiliki nilai ekonomis tinggi untuk menekan
jumlah kematian ternak dan meningkatkan produktivitas ternak. Brucellosis
sebagai salah satu penyakit reproduksi pada ternak mempunyai pengaruh penting
terhadap nilai ekonomi. Di Indonesia wabah brucellosis terjadi pertama kali tahun
1983 pada sapi potong di Propinsi Sulawesi Selatan (Ditkeswan 2001). Tahun
1986 diketahui 16 propinsi tertular dan tahun 1991 meningkat menjadi 26 propinsi
kecuali propinsi Bali, sehingga brucellosis dinyatakan sebagai penyakit hewan
endemik di Indonesia.
Program pengendalian dan pemberantasan PHM brucellosis dilakukan
secara bertahap. Pada tahun 2002, pulau Bali dinyatakan bebas historis penyakit
brucellosis melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 443/Kpts/TN.540/7/2002,
sementara pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dinyatakan bebas
penyakit brucellosis melalui program pemberantasan dalam Keputusan Menteri
Pertanian No. 444/Kpts/TN.540/7/2002. Pulau Sumbawa provinsi Nusa tenggara
Barat bebas Brucella berdasar SK Menteri Pertanian No. 97/Kpts/PO.660/2/2006.
Di tahun 2009, Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau
dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 2541/Kpts/PD.610/6/2009. Pulau Kalimantan
juga dinyatakan bebas dari penyakit brucellosis pada sapi dan kerbau melalui
Keputusan Menteri Pertanian No. 2540/Kpts/PD.610/6/2009 menyatakan Pulau
Kalimantan bebas dari penyakit hewan keluron menular (brucellosis) pada sapi
dan kerbau.
Pada saat ini, target penanggulangan gangguan reproduksi di 21 provinsi,
11 provinsi memiliki prevalensi brucellosis pada sapi potong sangat rendah (02%) yaitu provinsi di Pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung,
13
Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Barat, 4 provinsi memiliki kasus tinggi
pada sapi potong yaitu Nangroe Aceh Darussalam, Nusa Tenggara Timur (P.
Timor yaitu TTU dan Belu), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan
sebanyak 7 provinsi telah bebas brucellosis berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian (Ditjennak 2010). Namun tahun 2011, Provinsi Sumatera Selatan,
Bengkulu, Lampung &
Kepulauan Bangka Belitung ditetapkan bebas dari
penyakit hewan keluron menular pada sapi berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian No. 5681/kpts/PD.620/12/2011. Peta situasi brucellosis di Indonesia
sampai tahun 2011 terlihat pada Gambar 1.
Di Pulau Jawa yang merupakan populasi tertinggi sapi perah, kasus
Brucellosis masih relatif tinggi dengan prevalensi rata-rata 2 - 3%. Upaya
pemberantasannya dilakukan dengan vaksinasi karena prevalensi lebih dari 2%
sehingga test and slaughter belum dilakukan mengingat tingginya jumlah yang
harus dipotong dan mahalnya biaya kompensasi.
Gambar 1 Peta situasi brucellosis di Indonesia sampai tahun 2011
(Ditkeswan 2012)
Secara serologi, sekitar 80,5% dari ternak yang mengalami abortus
disebabkan oleh bakteri B. abortus (positif CFT). Sekitar 48,5% kejadian abortus
terjadi pada umur kebuntingan trimester dua (4 - 6 bulan) dan sekitar 48,5%
lainnya terjadi pada trimester tiga (6 - 9 bulan). Oleh karena itu dapat diketahui
14
97% kejadian abortus terjadi pada umur kebuntingan lebih tua dari tiga bulan
(Putra 2005).
Kontrol Brucellosis
Usaha pengendalian brucellosis di lapangan berdasarkan Keputusan
Menteri Pertanian No.828/Kpts/OT.210/10/98 mengenai Pedoman Pemberantasan
Brucellosis pada ternak di Indonesia. Dua strategi pemberantasan berdasarkan
tingkat kejadiannya yaitu apabila prevalensi reaktor ≥ 2 % dengan kategori
tertular berat, maka metode pemberantasannya dengan cara vaksinasi. Sedangkan
pada daerah kategori tertular rendah (prevalensi < 2%), ditetapkan dengan teknik
potong bersyarat (test and slaughter).
Pengendalian penyakit brucellosis pada ternak melalui vaksinasi dapat
dilakukan dengan menggunakan vaksin hidup dan mati yang dilemahkan. Vaksin
hidup yang dilemahkan mempunyai beberapa kelebihan dibanding vaksin mati
yang pada umumnya mampu menghasilkan imunitas cukup lama dan merangsang
reaksi kekebalan pada tubuh inang yaitu cell-mediated. Oleh karena vaksin
diberikan hidup, maka bakteri mereplikasi dalam tubuh inang sehingga vaksin
lebih murah. Namun, vaksin hidup yang dilemahkan dapat menyebabkan aborsi.
Vaksin B. abortus Strain 45/20 dengan adjuvant merupakan vaksin mati
yang dikembangkan karena adanya kemungkinan reverse apabila menggunakan
vaksin hidup. Strain 45/20 berasal dari Brucella S45/0 yang diisolasi dari material
sapi abortus sebelum tahun 1922 dengan morfologi smooth dan virulen pada
marmot. Brucella S45/0 selanjutnya dipassase 20 kali pada marmot sehingga
morfologi menjadi rough atau kasar sehingga secara umum disebut Strain 45/20.
Vaksin diberikan pada ternak dewasa dan memberikan perlindungan sekitar 70 %
(Morgan 1982; WHO 1997).
Saat ini terdapat dua vaksin hidup yang dilemahkan untuk mencegah
brucellosis pada sapi adalah vaksin B. abortus Strain 19 (S19) dan RB51. Strain
19 memiliki smooth lipopolisakarida yang ditentukan oleh panjang rantai O
polisakarida pada permukaan sel. Lipopolisakarida B. abortus tipe smooth terdiri
dari lipid A, inti oligosakarida dan rantai khas O polisakarida (O-antigen). Vaksin
S19 menginduksi respon antibodi pada sisi rantai panjang O. Alasan penggunaan
15
vaksin S19 adalah timbulnya respon antibodi yang tinggi sehingga memberikan
proteksi pada sapi yang divaksin. Tetapi vaksin ini menyebabkan masalah karena
antibodi yang diproduksi menimbulkan positif palsu pada tes serologi terhadap
infeksi Brucella (Stevens et al. 1995; Cardoso et al. 2006). Vaksin S19
merupakan vaksin stabil yang tidak akan kembali menjadi virulen. Dosis
pemberian 5 - 8 X 1010 CFU/ml yang diberikan subcutan.Vaksin diberikan pada
sapi umur 3 – 6 bulan yang dapat memberikan perlindungan sampai 5 kali
kebuntingan dan mungkin dapat lebih (Morgan 1982; OIE 2009). Strain 19
memiliki efek aborsi pada sapi bunting dan virulen pada manusia (Cardoso et al.
2006). Morgan (1982) menyatakan bahwa penggunaan vaksin S19 memberikan
perlindungan yang lebih baik dari vaksin S45/20 dengan adjuvant.
Pada tahun 2004, Departemen Pertanian RI mengijinkan peredaran vaksin
strain RB51. Strain RB51 merupakan mutan kasar dari B. abortus virulen strain
2308 (S2308) dan dibuat dengan melakukan passase berulang B. abortus 2308
dalam media yang mengandung rifampisin dan penisillin. Strain RB51 tidak
memiliki rantai O antigen (Schurig et al. 1991). Ternak yang divaksin dengan
strain RB51 tidak memproduksi antibodi terhadap O antigen yang terdeteksi pada
uji serologi brucellosis (Schurig et al. 1991; Cheville et al. 1993). Strain RB51
resisten terhadap rifampisin (Miranda 2009). Seperti vaksin S19, strain RB51 juga
menyebabkan infeksi pada manusia. Selain itu terdapat vaksin B. melitensis Rev. 1
untuk vaksinasi kambing dan domba.
Teknik potong bersyarat (test and slaughter) yaitu setiap hewan yang diuji
secara serologi dan hewan dengan reaksi positif (reaktor) harus dipotong. Pada
daerah tertular rendah (prevalensi < 2%) maka dilakukan test and slaughter. Test
and slaughter dilakukan pada 50 % populasi sapi dan kerbau betina di tingkat
provinsi apabila terdapat sumberdaya yang memadai. Dan tahun kedua dilakukan
50% sisanya serta desa-desa yang positif CFT dari hasil uji pertama. Test and
slaughter tahun ketiga dilakukan di kecamatan atau desa dengan kasus positif
CFT dalam dua tahun terakhir. Tahun kelima dilakukan pada desa dengan kasus
positif CFT dalam dua tahun terakhir. Daerah bebas brucellosis apabila prevalensi
nol atau paling tinggi 0, 2 % (Ditkeswan 2001).
16
Radiasi
Radiasi merupakan energi yang dipancarkan dalam bentuk partikel atau
gelombang. Radiasi diklasifikasikan sebagai radiasi non pengion (energi rendah)
atau pengion (energi tinggi). Jenis radiasi non pengion seperti sinar ultraviolet,
cahaya tampak, radiasi inframerah, radiasi frekuensi radio dan gelombang mikro.
Radiasi pengion dari matahari (sinar kosmik), bahan radioaktif, dan mesin X-ray.
Radiasi pengion dikelompokkan menjadi dua golongan sesuai dengan komponen
fisiknya yaitu memiliki masa dan bermuatan atau tidak bermuatan, dan hanya
memiliki energi saja. Empat jenis utama dari radiasi pengion (1) partikel. alpha
bermuatan positif terdiri dari dua neutron dan dua proton, relatif berat dan
bergerak lambat dari emisi radioaktif lainnya, (2) partikel beta merupakan partikel
bermuatan negatif terdiri dari elektron dan lebih ringan serta cepat dibandingkan
partikel alpha, (3) sinar gamma adalah radiasi gelombang elektromagnetik pendek
yang dipancarkan oleh peluruhan radioaktif atom tidak stabil dan mempunyai
penetrasi yang tinggi, dan (4) sinar X mempunyai energi lebih rendah dan
kemampuan penetrasinya kurang daripada sinar gamma. Sinar X yang
dipancarkan berasal dari proses luar inti, sementara sinar gamma berasal dari inti
(Czarnecki 2009).
Sinar gamma
Sinar gamma berupa radiasi elektromagnetik panjang gelombang pendek
dipancarkan oleh isotop radioaktif sebagai inti tidak stabil dan meluruh untuk
mencapai bentuk stabil. Deoxyribonucleic acid (DNA) merupakan target selular
yang mengatur hilangnya viabilitas setelah terpapar sinar gamma. Kerusakan
DNA terjadi secara dominan oleh efek tidak langsung sinar gamma, yang
berinteraksi dengan atom lainnya atau molekul, khususnya air sehingga
mengalami
hidrolisis
dan
menghasilkan
radikal
bebas.
Radikal
bebas
menyebabkan kerusakan materi sel. Efek langsung adalah terjadinya pemutusan
ikatan senyawa-senyawa penyusun sel. Kematian sel dominan disebabkan oleh
terputusnya untai ganda DNA, terpisahnya beberapa pasangan basa, yang
umumnya tidak dapat diperbaiki oleh sel. Efek sinar gamma terhadap viabilitas
mikroorganisme, DNA gagal mengamplifikasi karena terjadi degradasi DNA,
17
seperti perubahan dalam site pengikatan primer atau pengurangan DNA menjadi
fragmen-fragmen yang lebih kecil dari target (Hall & Giaccia 2006). Radiasi
ionisasi menyebabkan atom dan molekul menjadi terionisasi atau tereksitasi
sehingga terputusnya ikatan kimia, menghasilkan ikatan kimia baru dan adanya
ikaatan antar makromolekul, adanya kerusakan molekul yang mengatur aktivitas
sel (misalnya DNA, RNA, protein) baik pada stuktur maupun ikatan proteinnya
(Tubiana et al. 1990). Ketahanan radiasi DNA pada sel-sel hidup banyak
ragamnya, DNA dalam sel hidup lebih tahan radiasi daripada ekstrak DNA karena
massa molekul rendah sehingga menyerap radikal bebas dalam sel (Hall &
Giaccia 2006).
Penggunaan sinar gamma beragam manfaatnya seperti untuk sterilisasi
alat-alat medis, pengawetan makanan dan pengolahan jaringan allografts dan
komponen darah, dan menghindarkan kebutuhan suhu tinggi yang dapat merusak
suatu produk. Selain itu sinar gamma juga digunakan untuk membuat vaksin yang
lebih efektif daripada pemanasan atau inaktivasi kimiawi. Penelitian penggunaan
vaksin yang dilemahkan dengan memberikan paparan radiasi pengion terhadap
suspensi mikroorganisme dilakukan pada bakteri (Gordon et al. 1964) dan virus
(Sykes 1965). Sinar gamma yang dimanfaatan untuk inaktivasi yaitu radiasi
elektromagnetik panjang gelombang pendek yang memiliki kemampuan penetrasi
tinggi dan memiliki karakteristik tanpa memberikan radiaoaktivitas pada materi
yang terpapar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan infektivitas
akan rusak namun sifat antigenesitas tetap utuh (Reitman & Tribble 1967). Vaksin
iradiasi bakteri Listeria monocytogenes meningkatkan respon imun dibandingkan
teknik konvensional. Bakteri diiradiasi mendorong respon imun dari sistem
kekebalan sel T (Kochman 2006). Sinar gamma juga digunakan untuk
melemahkan Plasmodium (WHO 2001). Vaksin lain dengan teknik iradiasi yaitu
metaserkaria iradiasi yang mampu mengurangi jumlah Fasciola hepatica pada
anak sapi, penggunaan radiasi sinar X pada larva stadium kedua yang menetas
dari telur cacing paru Dictyocaulus viviparus penyebab pneumoni verminosa
(Tizard 1988).
Inaktivasi patogen melalui iradiasi merupakan metode yang dapat
diandalkan dalam menerapkan vaksin aman 100% dilemahkan (inaktiv) terhadap
18
penyakit patogen (IAEA 2012). Hal ini ditunjukkan dengan munculnya vaksin
anti-parasit iradiasi untuk malaria pada manusia. Dosis iradiasi gamma yang
relatif rendah dari sumber
60
Co digunakan untuk menonaktifkan organisme,
misalnya malaria iradiasi 150 Rad, Fasciola iradiasi 30 Gy, Brucella iradiasi 6
kGy, sedangkan patogen virus memerlukan dosis yang lebih tinggi misalnya RVF
iradiasi pada 25 kGy (IAEA 2012). Vaksin aktif protozoa malaria dari stadium
sporozoit menggunakan dosis iradiasi berkisar 150 – 200 Gy (Hoffman et al.
2002). Radiasi gamma dari sumber 60Co juga digunakan untuk inaktivasi Lansing
poliomyelitis, St. Louis encephalitis. Western equine encephalomyelitis dan
vaccinia viruses (Russell & Kempe 1956). Paparan radiasi gamma pada B.
neotomae dan strain rekombinan overexpressing superoxide dismutase serta
protein periplasmik 26 kDa tidak menyebabkan replikasi bakteri (Moustofa et al.
2011).
Bakteri Brucella rekombinan iradiasi gamma masih mempunyai
kemampuan metabolik aktif (Sanakkayala et al. 2005). Agen hidup yang diradiasi
dengan iradiasi gamma mencegah replikasi agen dalam inang, tapi tidak
menghentikan aktivitas metabolik agen. Agen tetap aktif secara metabolik,
sehingga mampu menghasilkan senyawa imunogenik yang mampu menstimulasi
respon protektif tubuh inang (Enright et al. 2001).
Download