peraturan pemerintah republik indonesia

advertisement
Draft Final Print
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR .... TAHUN ....
TENTANG
PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 UndangUndang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan Hewan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN
DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.
Penyakit
hewan adalah gangguan kesehatan pada hewan yang
disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan
metabolisme, trauma, keracunan, infestasi parasit, dan infeksi
mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan, dan
ricketsia, serta prion.
2.
Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara
hewan dan hewan, hewan dan manusia, atau hewan dan media
pembawa penyakit hewan lainnya melalui kontak langsung atau tidak
langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah,
pakan, peralatan, dan manusia, atau dengan media perantara
biologis seperti virus, bakteri, amuba, jamur atau prion.
3.
Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau
kelembagaan yang dibentuk Pemerintah untuk mengambil keputusan
tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan
keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini
kemampuan profesi mulai dari mengindentifikasikan masalah,
menentukan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksana kebijakan,
sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan.
1
4.
Wabah adalah kejadian penyakit luar biasa yang dapat berupa
timbulnya suatu penyakit hewan menular baru di suatu daerah atau
kenaikan kasus penyakit hewan menular mendadak.
5.
Penyakit hewan menular strategis adalah penyakit hewan yang dapat
menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan/atau
kematian hewan yang tinggi.
6.
Penyakit hewan eksotik adalah penyakit yang belum pernah ada atau
sudah dibebaskan di suatu wilayah atau negara Republik Indonesia.
7.
Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari
siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang
dipelihara maupun yang di habitatnya.
8.
Satwa liar adalah semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau
udara yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas
maupun yang dipelihara oleh manusia.
9.
Peternak adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau
korporasi yang melakukan usaha peternakan.
10. Perusahaan peternakan adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan
hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah Republik
Indonesia yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan
skala tertentu.
11. Medik veteriner adalah penyelenggaraan kegiatan praktik kedokteran
hewan.
12. Laboratorium veteriner adalah laboratorium yang mempunyai tugas
dan fungsi dalam bidang pelayanan kesehatan hewan dan kesehatan
masyarakat veteriner.
13. Dokter hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang
kedokteran hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik
veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewan.
14. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh
Menteri,
gubernur,
atau
bupati/walikota
sesuai
dengan
kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam
rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.
15. Obat hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati
hewan, membebaskan gejala penyakit, atau memodifikasi proses
kimia dalam tubuh, yang meliputi sediaan biologik, farmasetik,
premiks, dan sediaan alami.
16. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat
daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
2
17. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan.
18. Menteri
adalah
menteri
yang
menyelenggarakan
urusan
pemerintahan di bidang pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan.
Pasal 2
(1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan meliputi kegiatan:
a. pengamatan penyakit hewan;
b. pencegahan penyakit hewan;
c. pengamanan penyakit hewan;
d. pemberantasan penyakit hewan; dan
e. pengobatan hewan.
(2) Kegiatan pengendalian dan penanggulangan penyakit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan:
a. persyaratan teknis kesehatan hewan; dan
b. sistem informasi.
hewan
BAB II
PENGAMATAN PENYAKIT HEWAN
Pasal 3
Pengamatan penyakit hewan dilakukan melalui kegiatan surveilans,
penyidikan, pemeriksaan dan pengujian, peringatan dini, serta pemetaan
dan pelaporan.
Pasal 4
(1)
Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan melalui
pengumpulan data mengenai:
a. agen penyakit hewan, vektor, reservoir penyakit hewan;
b. induk semang, berupa identitas hewan, dan data klinis;
c. faktor lingkungan yang mendukung munculnya penyakit hewan;
dan
d. dampak penyakit hewan terhadap kesehatan hewan, manusia,
dan lingkungan.
(2)
Pelaksanaan surveilans dilakukan sesuai dengan rancangan dan
metode surveilans.
(3)
Pengumpulan data dilakukan paling sedikit melalui pengambilan
sampel dan spesimen sesuai dengan target jenis penyakit hewan.
(4)
Kegiatan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh otoritas veteriner nasional, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
3
Pasal 5
Perusahaan peternakan, peternak, orang perseorangan yang memelihara
hewan, dan pengelola konservasi satwa wajib memberikan kesempatan
kepada otoritas veteriner untuk melakukan surveilans dan penyidikan
penyakit hewan.
Pasal 6
Kegiatan pengumpulan data mengenai dampak penyakit hewan terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf d dilakukan oleh otoritas veteriner Kementerian
berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, kelautan dan perikanan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dan/atau kesehatan.
Pasal 7
(1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan:
a. apabila dari hasil surveilans terdapat kecurigaan adanya
kecenderungan peningkatan, muncul dan/atau penyebaran kasus
suatu penyakit hewan di suatu wilayah; dan/atau
b. apabila ada laporan dugaan adanya wabah di suatu wilayah.
(2) Penyidikan dilakukan paling sedikit melalui pengambilan sampel dan
spesimen serta data pendukung.
(3) Terhadap sampel dan spesimen sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan penelusuran asal-usul, sumber, dan agen penyakit hewan
dalam hubungan antara agen penyakit hewan, induk semang, dan
faktor lingkungan.
(4) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
otoritas veteriner Kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 8
(1)
Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dilakukan terhadap sampel dan spesimen serta data pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(2)
Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh laboratorium veteriner yang terakreditasi.
(3)
Dalam hal laboratorium veteriner yang terakreditasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) belum ada, Menteri menetapkan
laboratorium veteriner yang memiliki kemampuan pemeriksaan dan
pengujian yang diperlukan.
4
(4)
Dalam menetapkan laboratorium veteriner sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Menteri harus mempertimbangkan sumberdaya
manusia yang berkompeten, peralatan yang memadai, dan
menggunakan metodologi yang sahih.
Pasal 9
Pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
dilakukan untuk meneguhkan hasil surveilans atau hasil penyidikan
untuk memperoleh informasi mengenai hasil diagnosa, agen dan jenis
penyakit hewan di suatu wilayah.
Pasal 10
(1) Hasil pemeriksaan dan pengujian oleh laboratorium veteriner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) disampaikan kepada:
a. otoritas veteriner kabupaten/kota;
b. otoritas veteriner provinsi; dan
c. otoritas veteriner Kementerian.
(2) Otoritas veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dibentuk oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Otoritas veteriner provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dibentuk oleh pemerintah provinsi.
(4) Otoritas veteriner Kementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c merupakan lembaga yang berada pada Kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan.
Pasal 11
(1) Otoritas veteriner kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
10 ayat (2) melakukan kajian epidemiologis penyakit hewan
berdasarkan hasil pemeriksaan dan pengujian untuk menentukan
tingkat prevalensi, insidensi, morbiditas, dan mortalitas di wilayah
kabupaten/kota.
(2) Otoritas veteriner provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(3) melakukan kajian epidemiologis penyakit hewan berdasarkan hasil
pemeriksaan dan pengujian untuk menentukan tingkat prevalensi,
insidensi, morbiditas, dan mortalitas di wilayah provinsi.
(3) Otoritas veteriner Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (4) melakukan kajian epidemiologis penyakit hewan berdasarkan
hasil pemeriksaan dan pengujian untuk menentukan tingkat
prevalensi, insidensi, morbiditas, dan mortalitas di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
(4) Otoritas
veteriner
nasional
mengkoordinasikan
hasil
kajian
epidemiologis penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dengan hasil kajian epidimiologis dari otoritas veteriner di kementerian
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang konservasi
5
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, kelautan dan perikanan,
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dan/atau kesehatan.
(5) Otoritas veteriner nasional menyampaikan hasil kajian epidemiologis
penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Menteri
untuk ditetapkan sebagai situasi dan status penyakit hewan di seluruh
wilayah Republik Indonesia
Pasal 12
(1) Tingkat prevalensi, insidensi, morbiditas, dan mortalitas di wilayah
kabupaten/kota disertai dengan kajian epidimiologis penyakit hewan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) direkomendasikan oleh
otoritas veteriner kabupaten/kota kepada bupati/walikota untuk
penetapan status dan situasi penyakit hewan di wilayahnya dan
ditembuskan kepada otoritas veteriner provinsi.
(2) Tingkat prevalensi, insidensi, morbiditas, dan mortalitas di wilayah
provinsi disertai dengan kajian epidemiologis penyakit hewan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) direkomendasikan oleh
otoritas veteriner provinsi kepada gubernur untuk penetapan status
dan situasi penyakit hewan di wilayahnya dan ditembuskan kepada
otoritas veteriner nasional.
(3) Status dan situasi penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaporkan oleh gubernur kepada Menteri dengan tembusan kepada:
a. bupati/walikota yang berada di dalam wilayah provinsi
bersangkutan; dan
b. gubernur yang wilayahnya berisiko tertular penyakit hewan dari
provinsi yang terjangkit penyakit hewan.
(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau
laporan dari otoritas veteriner nasional, Menteri menetapkan status
dan situasi penyakit hewan nasional dan dimuat dalam sistem
informasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang
dapat diakses oleh otoritas veteriner kabupaten/kota, provinsi,
Kementerian, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya, kelautan dan perikanan, perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, dan/atau kesehatan.
Pasal 13
(1) Berdasarkan laporan dari gubernur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (5) dan/atau rekomendasi dari otoritas veteriner nasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5), Menteri menetapkan
jenis penyakit hewan, peta, situasi dan status penyakit hewan.
(2) Status dan situasi penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa wabah, bebas, atau tertular.
(3) Penetapan situasi dan status penyakit hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan peta situasi dan status penyakit hewan.
6
(4) Peta dan situasi status penyakit hewan digunakan untuk:
a. menyusun kebijakan mengenai tindakan untuk memutus rantai
penularan penyakit hewan;
b. melakukan pengamanan dan pemberantasan di daerah tertular dan
wabah;
c. melakukan respon cepat di daerah terancam; dan
d. melakukan peringatan dini di daerah bebas.
Pasal 14
(1) Bupati/walikota atas rekomendasi otoritas veteriner kabupaten/kota
melakukan respon berupa kesiagaan darurat di daerah bebas dan
kewaspadaan dini di daerah tertular sebelum adanya penetapan oleh
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 apabila hasil diagnosa
yang dilakukan oleh laboratorium veteriner mengindikasikan terjadi
wabah.
(2) Respon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pembatasan dan pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan, dan
media pembawa penyakit hewan lainnya yang berkaitan dengan
wabah penyakit antar kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara surveilans, penyidikan,
pemeriksaan dan pengujian, serta penetapan peta situasi dan status
penyakit hewan diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PENCEGAHAN PENYAKIT HEWAN
Pasal 16
(1) Pencegahan penyakit hewan meliputi:
a. pencegahan masuk dan menyebarnya penyakit hewan dari luar
negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari satu
daerah ke daerah lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia
yang dibatasi oleh batas alam karena perpindahan hewan, produk
hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya; dan
b. pencegahan muncul, berjangkit, dan menyebarnya penyakit
hewan di dalam satu kawasan.
(2) Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a pada tempat pemasukan dan pengeluaran dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang karantina
hewan di negara Republik Indonesia.
(3) Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
7
Pasal 17
Pencegahan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf b dilakukan dengan tindakan pengebalan, pengoptimalan
kebugaran hewan, dan biosecurity.
Pasal 18
(1)
Pengebalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilaksanakan
melalui vaksinasi, imunisasi, dan peningkatan status gizi hewan.
(2)
Vaksinasi, imunisasi, dan peningkatan status gizi hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perusahaan
peternakan, peternak, dan pemilik atau pemelihara hewan.
(3)
Dalam hal tertentu vaksinasi dan imunisasi dapat dilakukan oleh
otoritas veteriner kabupaten/kota, provinsi, dan/atau kementerian
sesuai dengan kewenangannya.
(4)
Pelaksanaan vaksinasi dan imunisasi hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh atau di bawah penyeliaan dokter hewan.
Pasal 19
Pengoptimalan kebugaran hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
dilakukan dengan cara pemeliharaan hewan yang baik, penerapan prinsip
kesejahteraan hewan, dan pemberian medikasi propilaktik.
Pasal 20
Biosekuriti
pemisahan
desinfeksi,
unit usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dilakukan dengan cara
sementara hewan baru dari hewan lama, pembersihan dan
dan pembatasan lalulintas orang, hewan, dan barang dalam
atau unit produksi peternakan.
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan muncul, berjangkit, dan
menyebarnya penyakit hewan di dalam satu kawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB IV
PENGAMANAN PENYAKIT HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 22
(1)
Pengamanan penyakit hewan dilaksanakan melalui kegiatan:
a. penetapan penyakit hewan menular strategis;
b. penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan;
8
c. penerapan prosedur biosafety dan biosecurity;
d. pengebalan hewan;
e. pengawasan lalulintas hewan, produk hewan, dan media
pembawa penyakit hewan lainnya di luar wilayah kerja karantina;
f. kesiagaan darurat veteriner; dan
g. penerapan kewaspadaan dini.
(2)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh otoritas
veteriner kabupaten/kota, provinsi, dan Kementerian sesuai dengan
kewenangannya.
(3)
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan
huruf g dapat dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat.
Bagian Kedua
Penetapan Penyakit Hewan Menular Strategis
Pasal 23
(1)
Penetapan penyakit hewan menular strategis dilakukan oleh Menteri
berdasarkan rekomendasi otoritas veteriner nasional.
(2)
Rekomendasi otoritas veteriner nasional didasarkan pada hasil
analisis risiko terhadap peta situasi dan status penyakit hewan.
Bagian Ketiga
Penetapan Kawasan Pengamanan Penyakit Hewan
Pasal 24
(1) Penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan terdiri dari:
a. penetapan kawasan tertular penyakit hewan menular strategis; dan
b. kawasan bebas penyakit hewan menular strategis.
(2) Penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan dilakukan oleh
Menteri berdasarkan rekomendasi dari otoritas veteriner nasional.
(3) Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
kompartemen, zona, pulau, gugusan pulau, pulau kecil terluar,
wilayah kabupaten/kota, wilayah provinsi, tempat konservasi satwa,
dan tempat terisolasi.
(4) Pengamanan terhadap kawasan yang tertular penyakit hewan menular
strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada semua
kawasan terutama pada sentra-sentra hewan produktif dan/atau
satwa liar.
Pasal 25
Kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan tertular penyakit hewan
dan kawasan bebas penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 ayat (1) harus diawasi oleh otoritas veteriner.
9
Bagian Keempat
Penerapan Biosafety dan Biosecurity
Pasal 26
Biosafety dan biosecurity diterapkan untuk:
a. melindungi hewan, manusia, dan lingkungan dari agen penyakit
hewan;
b. memutus rantai masuknya agen penyakit ke induk semang; dan/atau
c. menjaga agen penyakit yang disimpan dan diisolasi dalam suatu
laboratorium agar tidak mengkontaminasi atau disalahgunakan.
Pasal 27
Penerapan biosafety dan biosecurity sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 dilaksanakan dengan cara melakukan:
a. penyucihamaan bagi manusia;
b. penggunaan alat pelindung diri;
c. pembersihan, pencucian dan desinfeksi alat dan mesin, kandang, dan
bangunan;
d. isolasi hewan tertular/agen penyakit hewan;
e. pemusnahan agen penyakit; dan
f. pengawasan lalu lintas orang, hewan, produk hewan, media pembawa
penyakit hewan lainnya, pakan, dan bahan pakan.
Pasal 28
Pelaksanaan dari penerapan biosafety dan biosecurity harus memenuhi
persyaratan:
a. sumberdaya manusia yang bertugas harus memiliki kompetensi di
bidang biosafety dan biosecurity; dan
b. tata letak dan konstruksi alat dan mesin, kandang, laboratorium, dan
bangunan harus memenuhi standar.
Pasal 29
Biosafety dan biosecurity diterapkan paling sedikit harus dilakukan pada
pembibitan, budidaya, tempat penampungan hewan, pasar hewan, alat
angkut hewan, unit konservasi, dan laboratorium veteriner.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tatacara penerapan biosafety
dan biosecurity diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengebalan Hewan
Pasal 31
(1)
Pengebalan hewan dilakukan melalui:
a. vaksinasi;
b. imunisasi; dan/atau
c. peningkatan status gizi hewan.
10
(2)
Vaksinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat
dilakukan pada kawasan tertular penyakit hewan strategis dan
kawasan bebas penyakit hewan menular strategis yang berisiko tinggi
tertular.
(3)
Imunisasi dan peningkatan status gizi hewan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b dan huruf c dapat dilakukan pada kawasan
pengamanan penyakit hewan, baik pada kawasan tertular maupun
kawasan bebas.
Pasal 32
Kawasan bebas penyakit hewan menular strategis berisiko tinggi tertular
harus memenuhi kriteria:
a. berbatasan langsung dan tanpa barrier alam dengan kawasan tertular
atau wabah;
b. lalu lintas hewan, produk hewan, media pembawa penyakit hewan
lainnya, pakan, dan bahan pakan dengan frekwensi tinggi; dan/atau
c. jenis dan karakteristik penyakit hewan mudah dan cepat menular.
Pasal 33
(1)
Vaksinasi, imunisasi, dan peningkatan status gizi hewan yang
diberikan secara parenteral harus dilakukan oleh dokter hewan
praktik atau paramedik veteriner yang berada di bawah penyeliaan
dokter hewan.
(2)
Vaksinasi, imunisasi, dan peningkatan status gizi hewan yang
diberikan secara parenteral sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaporkan kepada otoritas veteriner setempat.
(3)
Peningkatan status gizi hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diberikan tidak secara parenteral dapat dilakukan oleh peternak
dan pemilik hewan.
Bagian Keenam
Pengawasan Lalulintas Hewan, Produk Hewan,
dan Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya
Pasal 34
(1)
Pengamanan penyakit hewan dilaksanakan
pengawasan lalulintas:
a. hewan;
b. produk hewan;
c. media pembawa penyakit hewan lainnya;
d. pakan dan bahan pakan.
(2)
Pengawasan lalulintas hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan terhadap:
a. hewan/ternak;
b. hewan kesayangan;
c. satwa liar; dan
d. hewan yang hidup di air.
11
melalui
kegiatan
(3)
Pengawasan lalulintas produk hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:
produk hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit ke
a.
hewan dan lingkungan;
b. produk hewan nonpangan yang berpotensi membawa risiko
zoonosis secara langsung kepada manusia; dan
produk pangan asal hewan.
c.
(4)
Produk hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan
produk pangan asal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf c diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pasal 35
(1)
(2)
Lalulintas hewan, produk hewan nonpangan yang berisiko
menularkan penyakit ke hewan dan lingkungan, dan media
pembawa penyakit hewan lainnya mencakup:
a. pemasukan ke dan pengeluaran dari wilayah negara Republik
Indonesia;
b. antarpulau; atau
c. antarkawasan di dalam negara Republik Indonesia.
Lalulintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
pengawasannya dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan di bidang karantina hewan.
Pasal 36
(1)
Pengawasan lalulintas hewan, produk hewan nonpangan yang
berisiko menularkan penyakit ke hewan dan media pembawa
penyakit hewan lainnya antarkawasan di dalam negara Republik
Indonesia dilakukan oleh otoritas veteriner provinsi dan/atau
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di pos
pemeriksaan kesehatan hewan sesuai dengan kewenangan dalam
satu pulau.
(3)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
otoritas veteriner kabupaten/kota dan provinsi di pos pemeriksaan
kesehatan hewan di kabupaten/kota dan di provinsi dalam satu
pulau.
(4)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
pemeriksaan kelengkapan dokumen dan pemeriksaan fisik.
(5)
Pemeriksaan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi dokumen:
a.
surat keterangan kesehatan/sertifikat veteriner dari otoritas
veteriner daerah pengirim; dan/atau
b.
surat rekomendasi pemasukan dari otoritas veteriner daerah
penerima; dan
c.
surat keterangan hasil uji dari laboratorium veteriner yang
terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri.
12
(6)
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
melalui pemeriksaan klinis dan/atau pemeriksaan organoleptik
sesuai dengan keterangan dalam dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (5).
(7)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan lalulintas
hewan, produk hewan nonpangan yang berisiko menularkan penyakit
ke hewan, media pembawa penyakit hewan lainnya, pakan dan bahan
pakan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kesiagaan Darurat Veteriner
Pasal 37
(1)
Kesiagaan darurat veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) huruf f dilakukan untuk mengantisipasi muncul dan
menyebarnya wabah penyakit hewan menular.
(2)
Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari
penyakit hewan menular eksotik atau peningkatan kasus penyakit
hewan yang sudah ada di wilayah Republik Indonesia.
(3)
Kesiagaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh ototritas veteriner sesuai dengan rencana aksi kesiagaan darurat
veteriner yang ditetapkan oleh Menteri.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pelaksanaan kesiagaan
darurat veteriner diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Kewaspadaan Dini
Pasal 38
(1)
Kewaspadaan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
huruf g dilakukan melalui tindakan pengamatan penyakit hewan
sebelum terjadinya wabah, pelaporan dan respon cepat apabila
ditemukan gejala terjadinya wabah.
(2)
Kewaspadaan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh otoritas veteriner dan dapat melibatkan peran
serta masyarakat.
(3)
Tindakan pengamatan penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan berdasarkan prakiraan munculnya wabah
penyakit.
(4)
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) otoritas
veteriner setempat harus segera merespon dengan melakukan
pemberantasan penyakit hewan.
(5)
Ketentuan
lebih
lanjut
mengenai
tatacara
kewaspadaan dini diatur dengan Peraturan Menteri.
13
pelaksanaan
BAB V
PEMBERANTASAN PENYAKIT HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1)
Pemberantasan penyakit hewan menular dilakukan untuk
membebaskan wilayah negara Republik Indonesia dari kasus
dan/atau agen penyakit hewan menular.
(2)
Pemberantasan penyakit hewan menular dilakukan pada kawasan
tertular dan pelaksanaannya dapat berdasarkan kompartemen, zona,
pulau, gugusan pulau, kabupaten/kota, dan provinsi sesuai dengan
jenis dan situasi penyakit hewan.
Pasal 40
Pemberantasan penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 dilakukan dengan cara:
a. penutupan daerah;
b. pembatasan lalulintas hewan rentan, produk hewan, dan media
pembawa penyakit hewan lainnya yang berisiko tinggi;
c. pengebalan hewan;
d. pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit;
e. penanganan hewan sakit;
f. pemusnahan bangkai hewan;
g. pengeradikasian penyakit hewan; dan
h. pendepopulasian hewan.
Bagian Kedua
Penutupan Daerah
Pasal 41
(1)
Terjadinya wabah penyakit hewan menular di suatu daerah
ditetapkan oleh Menteri atas rekomendasi otoritas veteriner
nasional.
(2)
Daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah yang terjangkit wabah
penyakit hewan menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan penutupan.
(3)
Penutupan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
paling lama 1x24 jam sejak ditetapkannya suatu daerah terjangkit
wabah oleh Menteri.
Pasal 42
Dalam hal bupati/walikota atau gubernur belum melaporkan kejadian
penyakit hewan menular kepada Menteri untuk dinyatakan sebagai
wabah, maka otoritas veteriner setempat melakukan tindakan
14
pemberantasan sebagaimana
penutupan daerah.
dimaksud
dalam
Pasal
40,
kecuali
Pasal 43
(1) Terhadap penutupan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
ayat (2) pada kawasan wabah, otoritas veteriner harus memerintahkan
kepada perusahaan peternakan, peternak, orang perseorangan yang
memelihara hewan, dan pengelola konservasi satwa untuk melakukan:
a. pengandangan hewan rentan; dan
b. pengisolasian hewan sakit dan hewan terduga sakit.
(2) Otoritas veteriner sesuai dengan kewenangannya melakukan:
a. komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai terjadinya wabah
penyakit hewan dan cara pengendalian dan penanggulangannya;
b. pengawasan terhadap kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 44
Penetapan daerah wabah penyakit hewan menular dapat diubah oleh
Menteri sebagai:
a. daerah terkendali, apabila wabah penyakit hewan sudah dapat
dikendalikan; dan
b. daerah bebas apabila penyakit hewan berhasil diberantas.
Pasal 45
(1)
Perubahan penetapan dari daerah wabah ke daerah terkendali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan oleh Menteri
berdasarkan rekomendasi otoritas veteriner nasional.
(2)
Daerah yang telah ditetapkan sebagai daerah terkendali wajib
dilakukan pencabutan penetapan penutupan daerah oleh gubernur
atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 46
Perubahan status dari daerah terkendali menjadi daerah bebas ditetapkan
oleh Menteri atas rekomendasi dari otoritas veteriner nasional.
Bagian Ketiga
Pembatasan Lalulintas Hewan, Produk Hewan, dan
Media Pembawa Penyakit Hewan Lainnya
Pasal 47
(1) Pembatasan lalulintas hewan, produk hewan, dan media pembawa
penyakit hewan lainnya ke dan dari kawasan wabah dilakukan melalui
tindakan pelarangan terhadap seluruh lalulintas hewan rentan
terhadap penyakit, produk hewan, dan media pembawa penyakit
hewan lainnya yang berisiko membawa agen penyakit.
(2) Hewan, produk hewan, dan media pembawa penyakit hewan lainnya
hanya dapat dilalulintaskan apabila telah memenuhi persyaratan
15
teknis kesehatan hewan, persyaratan teknis kesehatan produk hewan,
dan persyaratan teknis media pembawa penyakit hewan lainnya.
Bagian Keempat
Pengebalan Hewan
Pasal 48
(1)
Pengebalan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf c
dilakukan terhadap semua hewan rentan penyakit yang berada
pada kawasan terjangkit wabah penyakit.
(2)
Pengebalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui vaksinasi, imunisasi, dan/atau peningkatan status gizi
hewan secara serentak, massal, terpadu, berkelanjutan, dan
terkoordinasi sampai tercapai tingkat kekebalan kelompok hewan.
Pasal 49
Dalam pelaksanaan pengebalan hewan di daerah wabah, Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib
menyediakan vaksin, antisera, dan obat peningkatan status gizi.
Pasal 50
(1)
Imunisasi dan peningkatan status gizi hewan di daerah wabah wajib
dilakukan oleh perusahaan peternakan, peternak, dan orang
perseorangan yang memelihara hewan.
(2)
Vaksinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) dilakukan
oleh perusahaan peternakan, peternak, dan orang perseorangan
yang memelihara hewan.
(3)
Pelaksanaan imunisasi dan vaksinasi hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh dan/atau
dibawah penyeliaan dokter hewan.
(4)
Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memberikan bantuan
kepada peternak dan orang perseorangan yang memelihara hewan
untuk melaksanakan vaksinasi, imunisasi, dan/atau obat
peningkatan status gizi.
(5)
Pelaksanaan vaksinasi, imunisasi, dan/atau obat peningkatan
status gizi dilakukan dibawah penyeliaan otoritas veteriner.
Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengebalan hewan dan
pemberian bantuan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pengisolasian Hewan Sakit atau Terduga Sakit
Pasal 52
16
(1)
(2)
Pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 38 huruf d dilakukan pada kandang yang berada di
kawasan tertular penyakit hewan.
Dalam hal seluruh hewan yang terdapat dalam unit usaha tertular
penyakit hewan, pengisolasian hewan sakit dilakukan pada unit
usaha tersebut.
(3)
Pengisolasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
peternak, pemelihara, dan/atau penanggungjawab hewan sakit di
bawah pengawasan otoritas veteriner setempat.
(4)
Pengisolasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
otoritas veteriner setempat.
(5)
Selama
pengisolasian,
peternak,
pemelihara,
dan/atau
penanggungjawab hewan sakit atau terduga sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) melakukan:
a. perawatan hewan sakit atau terduga sakit;
b. pelaporan perkembangan status kesehatan hewan kepada
otoritas veteriner setempat; dan
c.
penerapan prosedur biosafety dan biosecurity sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26.
Bagian Keenam
Penanganan Hewan Sakit
Pasal 53
(1)
Penanganan hewan sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf e dilakukan terhadap hewan sakit dan hewan terduga sakit
sesuai dengan jenis hewan, jenis dan sifat penyakit hewan.
(2)
Penanganan hewan sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tindakan perawatan, depopulasi, eliminasi, eutanasi,
pemotongan bersyarat, dan/atau pemusnahan hewan di area
tertentu.
(3)
Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh
peternak, pemelihara, dan/atau penanggungjawab hewan sakit atau
terduga sakit di bawah pengawasan otoritas veteriner setempat.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan hewan sakit
diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pemusnahan Bangkai Hewan
Pasal 54
(1)
Pemusnahan bangkai hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf f dilakukan berdasarkan jenis hewan, jenis penyakit, waktu,
dan tempat pemusnahan.
17
(2)
Dalam hal adanya bangkai hewan, otoritas veteriner paling lambat 12
jam wajib memeriksa dan mengawasi proses pemusnahan bangkai
hewan.
(3)
Pemusnahan bangkai hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan di tempat kejadian dengan cara pembakaran dan/atau
penguburan.
(4)
Pemusnahan bangkai hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh peternak, pemelihara, dan/atau penanggungjawab
hewan sakit atau terduga sakit di bawah pengawasan otoritas
veteriner.
Pasal 55
(1)
Sarana yang digunakan untuk melakukan tindakan pemusnahan
bangkai hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang
tercemar dan masih dapat digunakan harus disucihamakan sebelum
digunakan kembali.
(2)
Sarana dan prasarana yang tercemar dan tidak dapat disucihamakan
harus dimusnahkan.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pemusnahan
bangkai hewan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Pengeradikasian Penyakit Hewan
Pasal 57
(1)
Pengeradikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 huruf g dilakukan dengan cara:
a. desinfeksi pada hewan dan lingkungannya;
b. penggunaan bahan kimia selain desinfektan;
c. pembakaran;
d. penggunaan musuh alami vektor;
e. pengomposan; dan/atau
f. aplikasi teknologi lainnya.
(2)
Pengeradikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, pemelihara
hewan, atau penanggung jawab hewan.
(3)
Pengeradikasian penyakit hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan di bawah pengawasan otoritas veteriner.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
pengeradikasian diatur dengan Peraturan Menteri.
18
dan
tata
cara
Bagian Kesembilan
Pendepopulasian Hewan
Pasal 59
(1) Pendepopulasian hewan dapat dilakukan pada hewan yang sakit,
terduga sakit dan/atau hewan pembawa penyakit hewan.
(2) Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf
h dilakukan dengan cara:
a. pemotongan hewan;
b. pemusnahan populasi hewan di kawasan tertentu; atau
c. pengeliminasian hewan.
(3) Pemotongan hewan dilakukan pada hewan sakit, terduga sakit, atau
hewan pembawa penyakit hewan yang berpotensi menularkan
penyakit pada hewan, manusia, dan/atau lingkungan.
(4) Pemusnahan populasi hewan di kawasan tertentu dilakukan apabila
dipastikan hewan di suatu kawasan tertentu menjadi sumber
penyebaran penyakit hewan menular yang bersifat eksotik dan/atau
penularannya cepat.
(5) Pengeliminasian hewan dilakukan terhadap hewan liar yang sakit,
terduga sakit, dan/atau hewan pembawa penyakit hewan.
(6) Pengeliminasian satwa liar yang sakit, terduga sakit, dan/atau hewan
pembawa penyakit hewan dilakukan dengan memperhatikan status
konservasi.
Pasal 60
(1) Selain cara pendepopulasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
ayat (2) pendepopulasian dapat juga dilakukan melalui eutanasi.
(2) Ketentuan mengenai tata cara eutanasi diatur dengan Peraturan
Menteri
Pasal 61
(1)
Pendepopulasian hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan, pemelihara hewan,
atau penanggungjawab hewan di bawah pengawasan dokter hewan.
(2)
Dalam melaksanakan pengawasan, dokter hewan sebagaiman
dimaksud pada ayat (1) wajib berdasarkan visum et repertum dokter
hewan berwenang.
(3)
Pelaksanaan pendepopulasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan.
19
Pasal 62
Pendepopulasian satwa liar yang dilindungi yang tertular penyakit hewan
menular eksotik dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan di bidang konservasi dan sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 63
(1)
Kompensasi diberikan kepada setiap orang perseorangan yang
memiliki hewan sehat yang hewannya didepopulasi berdasarkan
pedoman pemberantasan wabah penyakit hewan.
(2)
Jenis kompensasi, tata cara, dan persyaratan pemberian kompensasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri
setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pemerintahan
dalam negeri.
BAB VIII
PENGOBATAN HEWAN
Pasal 64
(1)
Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e
merupakan tindakan medik pada hewan.
(2)
Tindakan medik pada hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi tindakan preventif, kuratif, promotif, dan rehabilitatif.
(3)
Tindakan medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan pemberian obat hewan.
Pasal 65
(1)
Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 menjadi
tanggung jawab pemilik hewan, peternak, atau perusahaan
peternakan.
(2)
Tindakan pengobatan hewan dilakukan berdasarkan hasil diagnosa
dokter hewan.
(3)
Dalam hal berdasarkan diagnosa dokter hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pengobatan hewan dilakukan dengan
memberikan obat keras, wajib menggunakan resep dokter hewan dan
pemakaian obat hewan harus sesuai dengan petunjuk dokter hewan.
(4)
Dalam hal berdasarkan diagnosa dokter hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pengobatan hewan dilakukan dengan
20
(5)
memberikan obat bebas, pemberian obat kepada hewan dilakukan
oleh pemilik hewan, peternak, atau perusahaan peternakan dengan
mengikuti petunjuk yang tercantum dalam kemasan dan/atau leaflet
obat hewan.
Dalam hal berdasarkan diagnosa dokter hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) pengobatan hewan dilakukan dengan
memberikan obat bebas terbatas, pemberian obat kepada hewan
dilakukan oleh dokter hewan atau paramedik veteriner di bawah
penyeliaan dokter hewan.
Pasal 66
(1)
Setiap tindakan pengobatan harus dicatat dan didokumentasikan
oleh pemilik hewan, peternak, perusahaan peternakan dan/atau
tenaga kesehatan hewan.
(2)
Pencatatan dan pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digunakan untuk pemantauan dan evaluasi perkembangan status
kesehatan hewan.
(3)
Pencatatan dan pendokumentasian sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 67
(1) Dalam hal terjadi wabah dalam skala kabupaten/kota, provinsi, atau
nasional, pengobatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1)
dilakukan pemerintah kabupaten/kota, pemerintah provinsi, dan/atau
kementerian sesuai kewenangannya.
(2) Pelaksanaan pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh dokter hewan di bawah pengawasan otoritas veteriner.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengobatan
oleh otoritas veteriner diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
PERSYARATAN TEKNIS KESEHATAN HEWAN
Pasal 68
(1) Setiap orang yang melakukan pemasukan hewan, media pembawa
penyakit hewan lainnya, produk hewan, pakan dan/atau bahan pakan
ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib memenuhi
persyaratan teknis kesehatan hewan.
(2) Setiap orang yang melakukan pengeluaran, lalulintas dari satu pulau
ke pulau lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan
lalulintas antar kawasan dalam satu pulau hewan, produk hewan
wajib memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan.
21
Pasal 69
(1) Persyaratan teknis kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 68 meliputi persyaratan teknis untuk:
a. hewan hidup dan media pembawa penyakit hewan lainnya yang
berkaitan dengan hewan hidup;
b. produk hewan; serta
c. pakan dan bahan pakan.
(2) Persyaratan teknis kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a diterapkan dalam pemasukan ke dalam wilayah negara
Republik Indonesia.
(3) Persyaratan teknis kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dan huruf c diterapkan dalam:
a. pengeluaran dari dalam wilayah negara Republik Indonesia;
b. pelalulintasan dari satu pulau ke pulau lain dalam wilayah Republik
Indonesia; dan
c. pelalulintasan antarkawasan dalam satu pulau di dalam wilayah
negara Republik Indonesia.
(4) Persyaratan teknis kesehatan hewan hidup untuk dikembangbiakan
disamping harus memenuhi ketentuan ayat (2) dan ayat (3) harus pula
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 70
(1) Hewan hidup yang dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wilayah
negara Republik Indonesia, dilalulintaskan dari satu pulau ke pulau
lain dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan dilalulintaskan
antarkawasan dalam satu pulau harus memenuhi persyaratan teknis:
a. fisik hewan:
b. sertifikat kesehatan hewan.
(2) Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hewan hidup yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia juga harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pengeluaran hewan hidup juga harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh Menteri dan persyaratan yang ditetapkan oleh negara
tujuan.
(4) Selain persyaratan lalulintas antarkawasan dalam satu pulau hewan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lalulintas antarkawasan
dalam satu pulau hewan hidup juga harus memenuhi persyaratan
yang ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 71
Hewan hidup yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 harus berasal dari
negara yang telah disetujui oleh Menteri.
22
Pasal 72
(1) Untuk memperoleh persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71, negara asal Hewan hidup harus mengajukan permohonan
kepada Menteri.
(2) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri harus mempertimbangkan:
a. status penyakit Hewan menular di negara asal; dan
b. hasil analisis risiko rencana Pemasukan Hewan hidup dari luar
negeri.
(3) Analisis risiko rencana Pemasukan Hewan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui:
a. pemeriksaan dokumen sistem penyelenggaraan kesehatan Hewan di
negara asal;
b. verifikasi sistem kesehatan Hewan di negara asal;
c. audit pemenuhan sistem kesehatan Hewan di negara asal; dan
d. penetapan tingkat perlindungan yang dapat diterima.
(4) Analisis risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh
Otoritas Veteriner Kementerian.
(5) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri melarang pemasukan
hewan hidup dengan cara mengeluarkan surat penolakan.
(6) Dalam hal hasil analisis risiko negara asal memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri mengeluarkan surat
persetujuan.
(7) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dicabut jika di
negara yang bersangkutan terjadi wabah yang ditetapkan oleh
Organisasi Badan Kesehatan Hewan Dunia.
(8) Apabila Organisasi Badan Kesehatan Hewan Dunia menyatakan bahwa
wabah di negara asal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah
berakhir, Menteri mencabut larangan pemasukan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) berdasarkan rekomendasi otoritas veteriner
yang dibuat setelah melakukan analisis risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 73
Setiap hewan hidup dari negara yang telah memperoleh persetujuan
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (6) wajib memiliki
sertifikat veteriner dari otoritas veteriner di negara asal.
Pasal 74
(1) Setiap pelaku usaha yang memasukkan hewan hidup ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia dari negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 harus mendapatkan izin pemasukan dari Menteri, kecuali
untuk bibit ternak.
23
(2) Dalam hal izin pemasukan sudah diberikan namun di negara asal
hewan hidup terjadi wabah, izin pemasukan yang bersangkutan
dinyatakan tidak berlaku terhitung sejak pencabutan persetujuan
negara di negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (7).
Pasal 75
(1) Pelaku usaha wajib mereekspor hewan hidup paling lama 3 (tiga) hari
kerja terhitung sejak izin pemasukan dinyatakan tidak berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 pada ayat (2).
(2) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak izin pemasukan
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku
usaha wajib mereekspor.
(3) Segala biaya yang berkaitan dengan reekspor sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dibebankan kepada pelaku usaha.
Pasal 76
(1) Pengeluaran hewan hidup ke luar wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) harus:
a. disertai dengan Sertifikat Veteriner yang diterbitkan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian; dan
b. memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan.
(2) Dalam hal hewan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal
dari satwa liar, sertifikat veteriner hanya dapat dikeluarkan setelah
memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 77
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan pengeluaran
hewan hidup ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan
memperhatikan kelestarian wilayah sumber bibit.
Pasal 78
Produk Hewan yang dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) harus berasal
dari negara dan Unit Usaha yang telah disetujui oleh Menteri.
Pasal 79
(1) Pelaku usaha wajib mereekspor produk Hewan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 75 paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak izin
pemasukan dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 74 pada ayat (2).
24
(2) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) hari sejak izin pemasukan
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku
usaha belum melakukan reekspor, produk Hewan yang bersangkutan
wajib dimusnahkan.
(3) Pemusnahan produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib dilakukan oleh pelaku usaha paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak berakhirnya jangka waktu reekspor produk Hewan.
(4) Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) pelaku usaha belum melakukan pemusnahan,
Menteri melakukan pemusnahan.
(5) Segala biaya yang berkaitan dengan reekspor atau pemusnahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan ayat (4), dibebankan kepada
pelaku usaha
Pasal 80
(1) Pengeluaran produk Hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) harus:
a. disertai dengan Sertifikat Veteriner yang diterbitkan oleh Otoritas
Veteriner Kementerian; dan
b. memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh negara tujuan.
(2) Dalam hal produk Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari Satwa Liar, Sertifikat Veteriner hanya dapat dikeluarkan
setelah memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Pasal 81
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
memfasilitasi pelaku usaha untuk melakukan kegiatan Pengeluaran
produk Hewan ke luar wilayah negara Republik Indonesia.
Pasal 82
(1) Pemasukan, pengeluaran, dan pelalulintasan:
a. media pembawa penyakit hewan lainnya; dan
b. pakan dan bahan pakan,
secara mutatis mutandis mengikuti persyaratan teknis kesehatan
hewan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal
84.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan, pengeluaran dan
pelalulintasan hewan hidup, produk hewan, media pembawa penyakit
hewan lainnya, pakan dan bahan pakan, diatur dengan Peraturan
Menteri.
25
BAB X
SISTEM INFORMASI
Pasal 83
(1)
Sistem informasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b
diselenggarakan pada kementerian, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota.
(2)
Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
wajib mengembangkan sistem informasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 84
(1) Sistem Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 merupakan
sistem informasi yang terintegrasi antara sistem informasi
kementerian, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Sistem Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat status dan situasi penyakit hewan menular dan persyaratan
teknis kesehatan hewan.
(3) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari
data yang diolah sesuai dengan perkembangan situasi penyakit
hewan.
Pasal 85
Sistem informasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
merupakan bagian dari sistem informasi veteriner.
Pasal 86
Sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 harus dapat
diakses oleh setiap orang.
Pasal 87
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumpulan dan pengolahan data serta
penyajian informasi pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 88
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan di
bidang pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan yang telah ada
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
26
Pasal 89
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan
dan Pengobatan Hewan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 90
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUSILO BAMBANG YUDOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR.......
27
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
TENTANG
PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT HEWAN
I.
UMUM
Pengaturan pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan
menjadi bagian penting untuk mempertahankan status kesehatan
hewan nasional, melindungi wilayah negara Republik Indonesia dari
ancaman penyakit hewan dan/atau gangguan kesehatan manusia,
hewan,
dan
ekosistemnya
melalui
kegiatan
pengamatan,
pencegahan, pengamanan, pemberantasan penyakit hewan,
dan/atau pengobatan hewan. Agar kegiatan-kegiatan tersebut dapat
diselenggarakan dengan efektif dan efisien, perlu dilengkapi dengan
persyaratan teknis kesehatan hewan ketika hewan dilalulintaskan,
baik dalam hubungan antarnegara (pemasukan dan pengeluaran),
maupun dalam lalulintas antarpulau di dalam wilayah negara
Republik Indonesia, atau lalulintas antarkawasan pengamanan
penyakit hewan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
Pengamatan penyakit hewan merupakan persyaratan dasar dan
digunakan sebagai bahan kebijakan dalam pengendalian dan
penanggulangan penyakit hewan. Pengamatan dilakukan melalui
kegiatan surveilans dan pemetaan penyakit hewan, penyidikan dan
peringatan dini, pemeriksaan dan pengujian, serta pelaporan.
Pencegahan penyakit hewan meliputi pencegahan masuk dan
menyebarnya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah
negara Republik Indonesia, atau dari satu pulau ke pulau lain
dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan pencegahan penyakit
hewan ke luar negeri yang merupakan kewajiban moral sebagai
anggota organisasi kesehatan hewan dunia, serta pencegahan
muncul, berjangkit, dan menyebarnya penyakit hewan di dalam
satu kawasan, termasuk lalulintas dalam satu kawasan
pengamanan penyakit hewan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Pencegahan penyakit hewan dari/ke luar negeri dilakukan pada
tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang karantina hewan, serta dilakukan
apabila memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan yang diatur
dalam peraturan pemerintah ini. Sedangkan pencegahan muncul,
berjangkit, dan menyebarnya penyakit hewan dalam suatu kawasan
pengamanan penyakit hewan dilakukan dengan tindakan
pengebalan, pengoptimalan kebugaran hewan, dan biosecurty.
Pemberantasan penyakit hewan yang dilakukan pada daerah wabah
dan daerah endemik merupakan upaya pembebasan wilayah negara
Republilk Indonesia dari kasus dan/atau agen penyakit hewan, dan
28
dilakukan pada kisaran kompartemen, zona, pulau, gugusan pulau,
kabupaten/kota, dan provinsi.
Pengobatan hewan merupakan tindakan medik pada hewan
dimaksudkan untuk menjamin status kesehatan hewan terhadap
individu dan/atau populasi hewan. Mengingat pengobatan hewan
memerlukan obat hewan dan pengaturan ruang lingkup
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan meliputi juga
obat hewan, maka secara terpisah diperlukan pengaturan kembali
tentang obat hewan sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor
78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan.
Penetapan persyaratan teknis kesehatan hewan untuk pemasukan
hewan, produk hewan, media pembawa penyakit hewan lainnya,
pakan dan bahan pakan, dan persyaratan teknis kesehatan hewan
untuk pengeluaran hewan dan produk hewan, serta persyaratan
teknis
kesehatan
hewan
dalam
lalulintas
antarkawasan
pengamanan penyakit hewan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia didasarkan pada status kesehatan hewan berkaitan
dengan jenis hewan dan jenis penyakit hewan strategis serta
penyakit hewan eksotik dari negara/daerah asal atau unit usaha.
Dalam rangka memberikan dasar hukum yang lebih lengkap untuk
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan dan sekaligus
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 39 dan Pasal 48
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan
Kesehatan
Hewan,
perlu
menetapkan
pengendalian
dan
penanggulangan
penyakit
hewan
dalam
suatu peraturan
pemerintah.
Agar tidak terjadi duplikasi pengaturan, maka peraturan
pemerintah ini mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun
1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan, dan
Pengobatan Penyakit Hewan, yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
“Agen penyakit hewan” yaitu faktor yang keberadaannya,
berpotensi menimbulkan suatu penyakit hewan.
29
“Vektor” adalah hewan yang dapat membawa bibit
penyakit hewan menular dan menyebarkan kepada hewan
dan/atau manusia, seperti lalat, nyamuk, dan caplak.
“Reservoir penyakit hewan” yaitu tempat tinggal agen
penyakit hewan tanpa menyebabkan sakit, tetapi dapat
menularkan penyakit ke hewan rentan lain
Huruf b
Induk semang” yaitu hewan yang menjadi korban penyakit
yang aktual atau potensial meliputi hewan, satwa liar,
dan satwa aquatik.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Sampel yaitu sebagian dari populasi yang tidak mencakup
seluruh populasi.
Spesimen yaitu bahan yang diambil dari individu atau bahan
lainnya untuk pemeriksaan laboratorium
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Orang perseorangan yang memelihara hewan dalam
ketentuan ini termasuk juga, pengumpul, pemotong, dan
penjual hewan.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Data pendukung misalnya, lokasi, jenis hewan, kejadian
penyakit, dan jenis spesimen.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
30
Pasal 8
Ayat (1)
Pemeriksaan merupakan kegiatan untuk menilai
kondisi fisik sampel dan spesimen serta dokumen yang
menyertainya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tingkat prevalensi” adalah suatu
gambaran pengukuran munculnya penyakit pada satu titik
waktu tertentu (proporsi jumlah kasus yang diamati
dibandingkan dengan populasi berisiko pada satu titik
waktu tertentu).
Yang dimaksud dengan “tingkat insidensi” adalah
mengukur penyebaran penyakit dengan mengukur
frekuensi kasus-kasus baru dalam populasi yang berisiko
selama periode waktu tertentu.
Yang dimaksud dengan “tingkat morbiditas” adalah tingkat
penularan penyakit, yang ditunjukkan dengan prevalensi
atau insidensi pada suatu populasi atau populasi tertentu.
Yang dimaksud dengan “tingkat mortalitas” adalah
merupakan proporsi dari hewan yang terkena penyakit
yang mati akibat penyakit tersebut
Ayat (2)
Lihat penjelasan ayat (1)
Ayat (3)
Lihat penjelasan ayat (1)
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Status dan situasi penyakit hewan dapat berupa daerah
bebas, wabah, dan daerah tertular atau endemik.
Yang dimaksud dengan “daerah bebas” dapat dibedakan
menjadi daerah bebas historis dan daerah bebas setelah
31
dilakukan
berbagai
penanggulangan.
upaya
pengendalian
dan
Yang dimaksud dengan “daerah bebas secara historis”
adalah daerah yang tidak pernah ditemukan adanya bibit
penyakit hewan menular.
Yang dimaksud dengan “Daerah bebas setelah dilakukan
upaya pengendalian dan penanggulangan” adalah daerah
yang semula terdapat kasus atau agen penyakit hewan
menular, setelah dilakukan pengamatan ternyata tidak
ditemukan lagi kasus atau bibit penyakit hewan menular.
Yang dimaksud dengan “daerah tertular” yaitu daerah
yang ditemukan kasus penyakit hewan menular tertentu
pada
populasi
hewan
rentan
dan
berdasarkan
pengamatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “wilayah berisiko tertular”
adalah wilayah yang berbatasan langsung, wilayah yang
menerima pemasukan hewan dan produk hewan dari
daerah tertular dalam rangka perdagangan hewan, dan
lalulintas orang dan barang dari dan ke wilayah
tertular.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “daerah terancam” yaitu
daerah (provinsi, kabupaten/kota) yang masih
berstatus bebas penyakit yang berbatasan
langsung dengan daerah tertular tanpa dibatasi
oleh batas (barrier) alam seperti laut, sungai,
gunung, kawasan hutan alam maupun daerah
32
bebas lainnya walaupun mempunyai batas alam
namun frekuensi lalu lintas hewan ataupun
produk hewan tinggi dan berada di luar wilayah
kerja karantina.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesiagaan darurat veteriner”
adalah tindakan antisipatif dalam menghadapi ancaman
penyakit hewan menular eksotik, baik yang berasal dari
luar negeri atau yang berasal dari daerah lain dalam
wilayah negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan “kewaspadaan dini” adalah
tindakan pengamatan penyakit secara cepat (early
detection), pelaporan terjadinya tanda munculnya penyakit
secara cepat (early reporting), dan pengamanan secara awal
(early
response)
termasuk
membangun
kesadaran
masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Batas alam adalah laut, sungai, atau daratan
yang dapat menghalangi pergerakan hewan
secara alami.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pencegahan muncul,
berjangkit, dan menyebarnya penyakit hewan di
dalam satu kawasan” adalah pencegahan muncul,
berjangkit, dan menyebarnya penyakit hewan
yang berasal dari hewan, benih, produk hewan,
bahan biologik atau media pembawa penyakit
lainnya yang berada di dalam satu kawasan.
Ayat (2)
Tempat pemasukan dan pengeluaran dalam ketentuan
ini adalah tempat pemasukan dan pengeluaran yang
ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
33
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” misalnya
peternak, orang perseorangan yang memelihara hewan
yang tidak memiliki kemampuan untuk membiayai
pelaksanaan vaksinasi dan imunisasi terhadap hewan
peliharaan sedangkan jenis penyakitnya sangat mudah
menular.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “pemberian medikasi propilaktik”
adalah pemberian obat dalam rangka meningkatkan
ketahanan tubuh, misalnya pemberian prebiotik, probiotik
dan sinbiotik.
Prebiotik adalah komponen pakan antara pakan dan obat
merupakan hasil fermentasi yang berguna untuk merangsang
pertumbuhan atau aktivitas bakteri yang menguntungkan
system pencernaan.
Probiotik adalah mikroba hidup sebagai tambahan pakan
(feed supplement) yang mempunyai efek menguntungkan
untuk keseimbangan mikroba pada usus.
Synbiotik adalah suplemen yang mengandung prebiotik dan
probiotik yang bekerjasama untuk meningkatkan mikroflora
yang ada pada usus
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan “biosecurity” adalah kondisi
terlindungnya manusia, hewan, dan lingkungannya dari
agen penyakit hewan.
34
Yang dimaksud dengan “biosafety” adalah kondisi agar
manusia yang melakukan kegiatan dalam lingkungan
laboratorium dan lingkungan sekitar terlindungi dari
agen penyakit hewan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tempat terisolasi” yaitu tempat yang
tidak memiliki akses untuk berhubungan dengan tempat lain.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Huruf a
Manusia dalam ketentuan ini yaitu manusia yang bertugas di
laboratorium, unit usaha peternakan, atau manusia yang
masuk ke dalam laboratorium atau unit usaha peternakan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “alat pelindung diri” (personal
protection equipment) misalnya, tutup kepala, kacamata,
masker, sarung tangan, baju, dan sepatu boot.
Huruf c
Cukup jelas
35
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Vaksinasi dimaksudkan untuk membentuk sabuk kebal
(immune belt).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Imunisasi dan peningkatan status gizi hewan hewan di
kawasan bebas dimaksudkan untuk membentuk sabuk kebal
(immune belt).
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Hewan, produk hewan, dan media
pembawa penyakit hewan lainnya yang dilalulintaskan”
adalah hewan, benih, produk hewan, bahan biologik, dan
media pembawa penyakit hewan lainnya yang diangkut dan
dibawa dari satu kawasan ke kawasan lain dalam satu pulau.
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
produk pangan asal hewan dan produk hewan nonpangan
yang berpotensi membawa risiko zoonosis secara langsung
kepada manusia diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas
36
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup Jelas
Pasal 37
Cukup Jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Tindakan pengamatan penyakit hewan dalam rangka
kewaspadaan dini dilakukan untuk memastikan kebenaran
antara ramalan dengan munculnya jenis penyakit hewan
secara lebih cepat dan tepat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
jenis dan situasi penyakit hewan dalam ketentuan ini
misalnya brucellosis, rabies, dan avian influenza.
Situasi penyakit hewan di kawasan tertular dalam ketentuan
ini meliputi situasi yang bersifat sporadis, endemik, dan
wabah.
Pasal 40
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pembatasan lalulintas hewan dimaksudkan agar hewan yang
berada dalam unit usaha atau unit produksi peternakan
selalu dalam kondisi sehat dan tidak tertular oleh hewan yang
baru masuk.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
37
Huruf g
Yang dimaksud dengan pengeradikasian penyakit hewan
adalah tindakan untuk membasmi agen dan vektor penyakit
hewan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “pendepopulasian hewan” adalah
tindakan mengurangi dan/atau meniadakan jumlah hewan
dalam rangka pengendalian dan penanggulangan penyakit
hewan, menjaga keseimbangan rasio hewan jantan dan
betina, dan menjaga daya dukung habitat.
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
38
Ayat (2)
“Pemotongan
bersyarat”
dalam
ketentuan
ini
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penularan
atau penyebaran penyakit hewan pada hewan,
lingkungan, dan manusia. Pemotongan bersyarat
dilakukan pada hewan yang menderita penyakit
tertentu yang sebagian tubuhnya masih dapat
dimanfaatkan untuk konsumsi manusia dan bagian
yang
berisiko
menularkan
penyakit
harus
dimusnahkan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat (1)
Sarana dalam ketentuan ini misalnya kandang, alat dan
mesin yang digunakan dalam melakukan pemusnahan
terhadap bangkai hewan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Penggunaan
musuh
alami
vektor
dalam
ketentuan ini misalnya untuk menghilangkan
agen dan vektor berupa serangga, menggunakan
musuh alami burung pemakan serangga.
Huruf e
Yang
dimaksud
dengan
pengkomposan
(decompossing) adalah pengolahan kotoran, sisa
pakan, dan alas kandang menjadi pupuk kompos.
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
39
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Lihat penjelasan Pasal 53 ayat (2)
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kawasan tertentu” adalah
kawasan yang menjadi sumber penularan penyakit
hewan menular dan penularannya cepat.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hewan liar” adalah hewan yang
hidup secara bebas baik yang berpemilik maupun tidak
berpemilik.
Ayat (6)
Berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundangundangan di bidang konservasi sumber daya alam
hayati diantaranya adalah dalam hal penanggulangan
Zoonosis prioritas yang dilakukan di dalam habitatnya,
terutama di dalam kawasan konservasi, maka
pelaksanaan penanggulangan Zoonosis di lapangan
harus sesuai dengan ketentuan mengenai konservasi
ekosistem, spesies dan genetik, serta harus berada di
bawah koordinasi pejabat yang berwenang dalam
pengelolaan spesies Satwa Liar dan kawasan
konservasi.
Tindakan pemusnahan tidak selalu dapat dilakukan
bagi Satwa Liar terutama bagi spesies yang telah
terancam punah. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan
depopulasi dan euthanasia spesies di dalam kawasan
konservasi baik untuk spesies terancam punah maupun
tidak, mengingat fungsi dan nilainya yang penting di
dalam ekosistem dan bagi kepentingan umat manusia
baik generasi saat ini maupun yang akan datang, serta
mengingat kemungkinan banyaknya penyakit baru yang
muncul (new emerging diseases) yang berasal dari
Satwa Liar, maka Pengendalian dan Penanggulangan
Zoonosis harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian
sebagaimana
diamanatkan
oleh
Undang-Undang
tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
40
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “eutanasi” yaitu pemusnahan
hewan secara individu karena mengandung penyakit
hewan menular.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketentuan visum et repertum dimaksudkan hanya untuk
pelaksanaan pendepopulasian hewan dalam rangka
pemberantasan penyakit hewan menular.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penggunaan obat keras harus dengan resep dokter
hewan karena bila pemakaiannya tidak sesuai dengan
ketentuan dapat menimbulkan bahaya bagi hewan
dan/atau manusia yang mengkonsumsi hasil hewan
tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penggunaan obat bebas terbatas harus dilakukan oleh
dokter hewan atau paramedik veteriner di bawah
penyeliaan dokter hewan karena harus diberikan dalam
jumlah, aturan dosis, bentuk sediaan dan cara
pemakaian tertentu.
Pasal 66
Cukup jelas
41
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pakan adalah bahan makanan
tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang
tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk
kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembangbiak.
Yang dimaksud dengan bahan pakan adalah bahan hasil
pertanian, perikanan, peternakan, atau bahan lainnya
yang layak dipergunakan sebagai pakan, baik yang telah
diolah maupun yang belum diolah.
Pasal 69
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan “media pembawa penyakit
hewan
lainnya”
yaitu
benda-benda
yang
berhubungan langsung dengan hewan selama
perjalanan dari negara asal sampai tiba di tempat
pemasukan di dalam wilayah negara Republik
Indonesia, misalnya pakan hijauan dan bendabenda yang berhubungan langsung dengan pakan
hijauan, dan kotoran hewan.
huruf b
cukup jelas
huruf c
cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hewan hidup untuk
dikembangbiakkan” meliputi antara lain tidak
terbatas pada bibit ternak.
Pasal 70
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “fisik hewan” yaitu:
a. hewan harus sehat secara klinis; dan
b. fungsi fisiologis normal.
c. untuk hewan bibit, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, juga harus memenuhi
persyaratan fungsi reproduksi normal.
Huruf b
Sertifikat
kesehatan
berdasarkan:
42
hewan
diterbitkan
a. riwayat vaksinasi;
b. hasil pengujian laboratorium secara individual
atau uji petik specimen yang mewakili
kelompok
c. status dan situasi penyakit hewan paling
sedikit dilengkapi data jenis hewan, jenis
penyakit hewan
d. hasil analisis risiko.
Ayat (2)
Persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri meliputi
paling sedikit hewan hidup:
a. tidak membawa penyakit hewan menular eksotik
untuk kawasan tujuan;
b. status kesehatan hewan.
Ayat (3)
Persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri untuk
mengeluarkan hewan hidup, disamping sesuai dengan
ayat (2) juga harus mempertimbangkan kelestarian
sumber daya genetik hewan.
Ayat (4)
Persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri untuk
lalulintas antarkawasan bagi hewan hidup juga harus
mendapat rekomendasi pemasukan dari otoritas
veteriner kawasan tujuan
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Sertifikat veteriner dapat berupa sertifikat untuk individual
dan sertifikat untuk kelompok.
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
43
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
44
Download