I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penggunaan hewan model dalam penelitian biomedis sangat penting, karena akan tidak praktis dan tidak pantas jika menggunakan manusia sebagai objek penelitian berbagai penyakit (Ihedioha et al., 2012). Di antara berbagai macam hewan model, marmot memiliki kelebihan sebagai hewan model untuk mempelajari biologi manusia dan penyakitnya karena marmot merupakan hewan mammal, hormonal dan respon imunnya mirip dengan manusia. Selain itu penanganan marmot relatif mudah karena marmot kecil, jinak, dan jarang menggigit. Marmot termasuk herbivora, sehingga dapat digunakan untuk penelitian vegetarian. Penelitian yang menggunakan marmot telah dilakukan sejak abad ke-17 (Percy and Barthold, 2008). Beberapa penelitian yang menggunakan marmot sebagai hewan modelnya antara lain, penelitian immunologi (Pilorz et al., 2005), respon terhadap patogen (Broder et al., 1978), vaksin (Jones et al., 2003), infeksi (Padilla-Carlin et al., 2008) dan untuk penelitian autoimun (Gu et al., 2012). Penggunaan marmot dalam penelitian biomedis meliputi antibodi poliklonal, sebagai sumber sel darah merah, penyakit anafilaksis, reaksi hipersensitivitas, herpes, kudis, uji pendengaran dan tuberkulosis (Noonan, 1994). Salah satu profil fisiologis yang penting adalah profil darah atau hematologis. Hematologi adalah ilmu yang mempelajari cara penilaian darah. Nilai hematologis berguna untuk menilai kondisi kesehatan dan sebagai acuan nilai awal (baseline) atau kontrol dalam suatu penelitian (Fitria dan Sarto, 2014). Darah mempunyai peran vital dalam menjaga homeostasis tubuh, medium transportasi, penyangga perubahan pH dan sistem pertahanan tubuh (Tortora and Derrickson, 2006). Darah terdiri dari dua bagian utama yaitu korpuskula dan plasma. Korpuskula terdiri dari sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan keping darah (trombosit). Plasma merupakan cairan terdiri dari 90% air yang berfungsi mengangkut berbagai bahan dalam darah (Sherwood, 2007; Paulsen, 1996). Gambaran normal darah marmot diperlukan untuk menentukan status kesehatan dan membantu diagnosis penyakit pada marmot. Diagnosa penyakit atau abnormalitas organ berhubungan dengan uji kualitas dan kuantitas komponen 1 2 selular darah karena darah merupakan penghubung dari berbagai sistem tubuh. Nilai hematologis dipengaruhi oleh kondisi geografis, seperti lokasi, iklim, suhu, kelembapan, ketinggian, dan pencahayaan sehingga nilai hematologis bersifat spesifik (Fitria dan Sarto, 2014). Nilai hematologis pada jantan sering dikaitkan dengan kadar hormon testosteron. Hormon testosteron menstimulus produksi sel darah merah, sehingga jumlah sel darah merah pada jantan lebih tinggi daripada betina (Roger, 2011). Menurut Bauer et al. (2008), testosteron meningkat seiring umur reproduksi marmot, dan menurun setelah mencapai dewasa. Meskipun marmot secara luas telah digunakan untuk berbagai penelitian, namun di Indonesia, belum banyak yang mengembangbiakan marmot khusus untuk kepentingan penelitian seperti halnya tikus dan mencit. Kebutuhan marmot untuk penelitian dipenuhi dari pasar-pasar hewan. Hal ini tentunya akan memunculkan ketidakseragaman data karena prosedur pemeliharaan yang tidak sesuai dengan standarisasi hewan coba (housing, pakan, sanitasi, pengawinan dan pencatatan kelahiran yang tidak jelas). Selain itu, umur reproduksi marmot belum tercatat secara pasti. Oleh karena itu penelitian ini penting dilakukan untuk mendapatkan acuan dalam rangka penyediaan marmot sebagai hewan coba yang terstandardisasi. B. Permasalahan Bagaimana profil darah marmot (Cavia porcellus L. 1758) jantan dikaitkan dengan profil reproduksi? C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari profil darah marmot (Cavia porcellus) jantan dikaitkan dengan profil reproduksi yang ditinjau dari jumlah eritrosit, kadar Hb (hemoglobin), hematokrit, MCV, MCH, MCHC, jumlah leukosit total, persentase eosinofil, neutrofil, limfosit, basofil, monosit, dan jumlah trombosit. D. Manfaat Untuk mendapatkan acuan dalam rangka penyediaan marmot sebagai hewan coba.