Teori Sequential Infection dari Halstead R. Lia Kusumawati Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Pendahuluan Dengue adalah penyakit yang ditularkan gigitan terutama Aedes aegypti, juga Aedes albopictus (1,3) yang mengandung flavirus (virus dengue), ditandai dengan adanya gejala demam bifasik, sakit kepala, sakit diseluruh tubuh, kelemahan, rash, lymphadenophathy dan leukopenia. Epidemi penyakit dengue pertama kali dijumpai di Philadelphia pada tahun 1780 oleh Benjamin Rush. Dan transmisi penyakit dengue oleh Aedes aegypty pertama kali dijelaskan oleh Bancroft tahun 1906. Terdapat 100 juta kasus penyakit demam dengue dan 250.000 kasus DHF terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya. Dengue hemorhagic fever (DHF) adalah demam tinggi yang ditandai oleh gangguan hemotasis dan peningkatan permeabilitas kapiler, dimana pada beberapa keadaan dapat mengakibatkan hypovolemik shock syndrome yang disebut dengan dengue shock syndrome (DSS). Patofisiologi yang penting adalah adanya perembesan plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit dan trombositopenia. Dengue merupakan masalah utama penyakit virus yang ditularkan oleh antropoda baik didaerah tropik maupun subtropik, menyebabkan penyakit dan kematian pada manusia. Dikenal ada 4 serotipe virus dengue yang berbeda secara serologi dan biokimia : dengue tipe-1, dengue tipe-2, denguetipe-3 dan dengue tipe-4. keempat serotipe dengue ini terdapat juga di Indonesia. Halstead melaporkan bahwa DHF bukanlah penyakit baru dan epidemi dengue dimana pasien mempunyai gejala pendarahan dan syok pernah terjadi di Queenslan (1928) dan Formosa (1931). Virus ini menyebabkan infeksi tahunan dengan angka kematian sekitar 5 %. Di Indonesia, infeksi dengue telah dikenal sejak abad 18 dan baru pada tahun 1960-an dikenal demam berdarah dengue (Dengue Hemorharrgic Fever). Biologi virus dengue Virus dengue mrupakan salah satu virus yang termasuk dalam famili Falviviridae. Virion dengue merupakan partikel sferis dengan diameter nukleokapsid 30 nm dan ketebalan selubung 10 nm, sehingga diameter virion kira-kira 50 nm (3,4). Genom virus dengue terdiri dari asam ribonuklead berserat tunggal, panjangnya kira-kira 11 kilobasa. Genom terdiri dari protein struktural dan protein non struktural, yaitu gen C mengkode sintesa nukleokapsid (Capsid), gen M mengkode sintesa protein M (Membran) dan gen E mengkode sintesa glikoprotein selubung / Evelope (3,4). 1 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara Partikel virus yang belum matang (immature) mengandung lebih banyak protein rekursor (prM) dan kurang infeksius dibandingkan virion lengkap yang dilepaskan. Virus ini stabil pada ph 7-9 dan pada suhu rendah, sedang pada suhu yang relatif tinggi infektivitasnya cepat menurun. Sifat dengue yang lain adalah sangat peka terhadap beberapa zat kimia seperti sodium deoxycholate, eter, kloroform dan garam empedu karena adanya amplop lipid (3,4). Hospes virus dengue Virus dengue mampu berkembang biak didalam tubuh manusia, monyet, simpanse, kelinci, mencit, marmot, tikur dan juga hamster serta serangga khususnya nyamuk. Walaupun primata merupakan hospes alami virus, viremia yang timbul biasanya lebih rendah dan lebih pendek masanya. Pada manusia, viremia berkisar 2-12 hari, sementara pada primata 1-2 hari (4). Virus berkembang biak dalam nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus. Secara invitro, virus dengue dapat dikembangbiakkan pada berbagai biakkan sel, baik biakkan sel mamalia maupun insekta. Efek sitopatogenik yang timbul sangat berfariasi, mulai dari tanpa efek sitopatogenik sampai yang nyata. Dengan berbagi bentuk antara lain : perubahan indeks refraksi sel, perubahan morfologi sel menjadi bulat dan padat serta fungsi sel sehingga terbentuk sinsitia (4). Pembiakan pada sel insekta umumnya kurang menimbulkan efek sitopatogenik dibandingkan dengan pembiakan sel pada mamalia, walaupun titer virus infektif yang dihasilkan oleh sel insekta biasanya lebih tinggi dibanding sel mamalia. Biakan sel insekta yang sering dipakai adalah AP-61 (Aedes pseudoscutelaris klon 61), sel C6/36 (Aedes albopictus, klon C6/36), tRa-284 (Toxorrynchites ambonensis, klon 284). Titer maksimum yang dapat dicapai pada pembiakan di sel insekta diatas berkisar antara seratus juta sampai satu milyar plaque forming unit per mililiter (PFU/ml). Sedangkan sel mamalia yang sering digunakan adalah LLC-Mk2 (ginjal monyet), sel BHK-21 (ginjal hamster), rero (ginjal monyet), FRhl (paru fetus monyet),. Sel LLC-MK2 dan BHK-21 sering dipakai untuk titrasi virus infektif, sedang sel FRhL biasanya dipakai di dalam pengembangan vaksin (2,3,4). Masa laten in vitro berkisar antara 12-16 jam, setelah itu virus infektif dapat ditemukan ekstra sel. Dengan infeksi yang berlanjut, jumlah virus intrasel makin berkurang dan pada saat puncak titer virus tercapai, 80% atau lebih virion ditemukan ekstrasel. Hospes seluler invitro untuk virus dengue terutama dari sel-sel yang termasuk sistim retikuloendotel yaitu sel monosit dan progenitornya, sel Endotel, sel kupfer, sel limfosit B dan makrofag. Infeksi dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor di membran plasma. Reseptor ini dapat dihancurkan oleh ensim tripsin. Cara kedua infeksi disebut immune infection enchancement, dalam ini virion membentuk komplek dengan antibodi anti dengue kelas IgG dan sisi Fc-nya. Kemudian menempel pada reseptor Fc yang ada di permukaan membran plasma sel. Antibodi antidengue yang merangsang pelipatgandaan kembangbiak virus didalam sel sistem retikuloendotel tersebut akan bekerja jika kadarnya di bawah kadar ambang netralisasi virus (2,4). Secara in vitro, pelipatgandaan kembang biak virus di dalam sel sistem retikuloendotel tidak hanya dirangsang oleh antibodi anti dengue pada kadar rendah, 2 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara tetapi juga dirangsang oleh berbagai zat aktif lain, antara lain dinding sel bakteri, toksin bakteri, komponen cacing usus, lektin dsb. Pada sel sistem retikulendotel primata mempunyai efek pengandaan kmbang biak oleh komponen mikrobata yang konsisten sedangkan pada manusia hasilnya barvariasi (4,5,6). Siklus Replikasi In Vitro Virus dengue menempel pada hospesnya melalui dua cara yaitu terikat pada reseptor virus yang ada dipermukaan sel dan melalui antibodi anti dengue yang terikat pada sel (2,3). Setelah proses penempelan, virus masuk ke dalam sel dengan dua cara yaitu : endositosis / pinositosis dan fusi antara selubung virus dengan membran plasma yang diikuti pelepasan nukleokapsid ke dalam sitoplasma sel (4,5). Tahap pertama setelah terjadinya pelepasan kapsid adalah translasi RNA virion menjadi RNA polimerase yang kemudian digunakan untuk membuat RNA template genom virus. Dalam proses replikasinya, di dalam sel terdapat 3 jenia RNA yaitu : 1. RNA dengan koefisien sedimentasi 20-22S, merupakan RNA serat ganda dimana serat satunya merupakan genom virus, disebut bentuk replikatif. 2. RNA dengan koefisien sedimentasi 20-28 S, merupakan RNA serat ganda persial, disebut bentuk replikatif antara. 3. RNA dengan koefisien sedimentasi 42S dan peka RNA se yang merupakan genom virion. Di dalam proses replikasi RNA ini, RNA polimerase difase awal dan fase lanjut siklus, berbeda afinitasnya terhadap serat RNA berpolaritas positif dan negatif, pada fase lanjut siklus replikasi terutama membentuk serat RNA berpolaritas positif. Selanjutnya pada akhir siklus pengikatan protein C pada ujung 3’RNA menghalangi ikatan RNA polimerasa dengan molekul RNA dan tetap membiarkan ujung 5’ berikatan dengan ribosom (4,5). Translasi genom virus dimulai dari kodon AUG gen protein C, prM,E,NS1 dan seterusnya. Pada fase akhir siklus replikasi yaitu menjelang atau bersamaan dengan terbentuknya virion, prM dipecah menjadi M (4,5). Setelah semua komponen virus disintesis, morfogenesis lengkap virion berlangsung dan pada dasarnya terdiri dari empat tahap yaitu : 1. Perakitan nukleokapsid dari RNA dan protein C 2. Budding nukleokapsid dari membra intraselular yang telah tersisip oleh prM dan E. 3. Pelepasan virion yang terjadi akibat proses fusi membran plasma dengan vesikel pembawa virion. 4. Pemecahan prM menjadi M. Virion flavivirus yang telah matang terdiri dari 3 protein struktural : protein nukleokapsid/ Core (C; 12kd), Protein Membra nonglikosilasi ( M; 8kd), dan protein envelop (E; 53 kd). Protein E merupakan komponen utama yang terdapat pada permukaan virion, protein ini mengadung antigen determinan penting untuk terjadinya inhibisi3 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara hemaglutinitas dan netralisasi dan sekaligus menginduksi respon imunologi pada hospes yang terinfeksi. Kompleks virus dengue Pada tahun 1954 Smithburn pertama kali menemukan adanya komplex denguespecific antigenic determinan. Kemudian Halstead melaporkan bahwa DHF dan DSS berhubungan dengan reaksi imun pada kompleks dengue, dimana antigen determinan ini ternyata mempunyai peran penting dalam proses imunopatologi penyakit ini. Kompleks imun ini terbentuk ketika virus dengue melekat pada permukaan sel yang sesuai, kemudian immunoglobullin G (non-neutralizing antibody) akan menyerang monosit melalui reseptor Fc yang banyak terdapat pada permukaan sel yang terinfeksi tersebut. Korelasi molekuler pada penyakit virus dengue berat Setelah melakukan penelitian epidemiologi selama 20 tahun di Thailand, Halstead menyatakan “the sequential infection hypothesis” atau “immuneinfection enhancement”, yang menjadi dasar patogenesis terjadinya DHF dan DSS. Dimana DHF/DSS terjadi akibat meningkatnya mekanisme imunologi pada infeksi kedua oleh virus dengue yang berbeda (heterologous), biasanya terjadi 4-6 tahun setelah infeksi pertama. Penelitian ini dilakukan Halstead pada individu yang sebelumnya pernah terinveksi virus dengue. Selain membentuk antibodi neutralizing, pada infeksi virus juga terjadi pembentukan antibodi non-nutralizing pembentukan antibodi non-neutralizing (enhancing) / antibodi cross reaktif ini merupakan faktor penting untuk berkembangnya infeksi virus dengue menjadi DHF/DSS. Ada 4 tipe virus dengue yang berbeda secara serologi menyebabkan antibodi neutralizing yang dibentuk pada infeksi pertama belum tentu dapat menetralkan/eketif terhadap virus dengue lainnya. Antivirus non neutralizing (lgG) ini bahkan memudahkan masuknya virus tipe lain kedalam sel mononuclear, makrofag atau monosid dan berkembang biak didalamnya karena kompleks virus-antivirus itu mudah melekat pada makrofag atau monosit melalui reseptor Ff yang terdapat dalam seluruh permukaan sel. Hal ini terbukti dari tingginya titer replikasi virus pada sel mononuklead manusia yang mempunyai sirkulasi antibodi dengue non-netralizing/crossreactif. Replikasi akan menyebabkan pembentukan kompleks immun (virus antibodi dependen enhancement) yang lebih banyak, dengan aktivitas komplemen intravaskular melalui jalur klasik juga meningkat dan mengakibatkan terjadinya renjatan. Peningkatan kompleks virus-antibodi akan mengaktivitas sistem komplemen, mengakibatkan dilepasnya C3a dan C5a (anafilatoksin) yang mempunyai sifat kemotaktik dan anafilaktik, menyebabkan peningkatan premabilitas dinding pembuluh darah dan terjadi pengeluaran plasma ekstravaskuler. Kompleks imun juga dapat melekat pada permukaan trombosit dan perusak trombosit yang kemudian dimusnahkan oleh sistem retikuloendothelial terutama hati danlimpa dan sehingga terjadi trombositopenia dan kelainan sistem koagulasi. Terjadinya pengeluaran zat anafila toksin dan trombositopenia ini yang menentukan beratnya penyakit yang sekaligus membedakan DF dan DHF. 4 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, akibat berkurangnya volume plasma intravaskular sampai lebih dari 30% akan menyebabkan hipovolemik, hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi dan syok (DSS), yang bila tidak diatasi akan mengakibatkan anaksia jaringan, aksidosis metabolik dan kematian (7). Walaupun demikian pernah dilaporkan juga kasus DHF-DSS pada pasien yang baru pertama kali terinfeksi, juga pada bayi dibawah umur 1 tahun yang mempunyai resiko tinggi karena antibodi non-neutralizing / enhacing yang didapat dari ibunya. Hipotesis ini menunjukkan bahwa destruksi monosit dan makrofag yang terjadi selama reputasi akan menyebabkan pelepasan mediator biologis (anafilatoksin) yang meyebabkan gangguan hemodinamik yang terjadi pada pasien penderita DHF / DSS. Dengan hipotesis “sequential infection” dari Halstead ini dapat dijelaskan kontroversi, mengapa pada infeksi sekunder pada virus dengue ternyata kasusnya menjadi lebih berat dibanding dengan infeksi primernya. Teori “secondary infection” Halstead ini juga didukung oleh kasus infeksi sekunder DHF / DSS di Thailand (Burke et al., 1988), Tahiti (Moreau et al., 1973) dan Cuba (Guzman et al., 1984). Epidemiologi Kekebalan terhadap infeksi ulang oleh sero tipe yang sejenis biasanya sempurna dan seumur hidup. Tetapi dengan adanya infeksi oleh serotipe lain maka sering terjadi infeksi sekuansial yang manifestasinya menjadi lebih berat. Pada beberapa kasus wabah, sering terjadi insidens dengue yang lebih tinggi pada wanita. Hal ini mungkin disebabkan karena wanita lebih sering tinggal di rumah pada saat terjadinya gigitan vektor Aedes aegypti. Pada suatu daerah epidemi dengue, dapat dijumpai 10-20 nyamuk Aedes aegypti betina per ruangan, dimana 5-10% dari nyamuk-naymuk tersebut terinfeksi virus dengue. Kontrol dan pencegahan Sebelum ada vaksin dengue yang efektif, kontrol dan eradikasi Aedes aegypti dilakukan dengan larvasida dan penyemprotan sarang nyamuk dengan insektisida. Kontrol epidemi yang terpenting adalah dengan membunuh naymuk Aedes aegypti betina dewasa insektisida organophospat. Pada saat ini WHO tengah berusaha mengembangkan vaksin yang aman dan efektif tetapi masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Ada beberapa jenis vaksin yang telah dibuat dan antaranya : 1. Vaksin rekonbinan sub unit 2. Produksi partikel rekombinan noninfeksius. 3. Virus yang dilemahkan. 4. Vaksin vektor hidup (dengan mengekspresikan gen virus dengu ke dalam vektor seperti : sallmonella, vaccinia, virus rubella dan adenovirus. Kesimpulan Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa kompleks virus-antibody anti-dengue dan kemampuan replikasi virus di dalam monosit merupakan faktor penting yang berperan dalam perkembangan infeksi virus dengue menjadi DHF/DSS, 5 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara Dengan hipotesis “sequential infection” dari Halstead ini dapat dijelaskan kontroversi, mengapa pada infeksi sekunder oleh virus dengue ternyata kasusnya menjadi lebih berat dibandingkan dengan infeksi primernya. Daftar Pustaka 1. Bernad N Field. 1996. Fields Virology, 3rd Ed., Lippincott-Raven, Vol 1B, 9611034. 2. Edouard Kurstak, R.G. Marusyk, 1990. The Molecular Epidemiology of Dengue Viruses genetic and Microevolution, Applied Virology Research. Vol. 2, Plenum Publishing Corporation. 293-315. 3. Erik A. Henchal, Robert Putnak, 1990. The Dengue Viruses. Clinical Microbiology Reviews. 3 (4) : 376-396. 4. Jawets E., Melnick J.L, Adelberg., et al…1995. Medical Microbiology. Appleton & Lange Norwalk, Connecticut. 443-444. 5. Neal Nathanson et al, 1997. Viral Pathogenesis. Lippincott-Raven. 793-799. 6. Schlesinger,S. 1986. The Toga viridae and Flaviviridae, Plenum Press, New York : 343. 7. Trent, D.W., Manske, C.L, Fox GT.E. 1990. The Molecular Epidemiology of Dengue Viruses. Applied Virology Research, : 293-315 6 e-USU Repository ©2005 Universitas Sumatera Utara