BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Pada masa perkembangannya, dewasa muda memiliki salah satu tugas
perkembangan yaitu pernikahan. Untuk mencapai jenjang pernikahan, dibutuhkan
intimacy, yaitu suatu potensi untuk membangun hubungan atau relasi yang dekat yang
diiringi dengan tingginya tingkat komitmen, kedekatan, dan komunikasi (Weinberger et
al, 2008). Erikson (dalam Weinberger et al, 2008) juga memaparkan bahwa terdapat tiga
elemen dalam intimacy, yaitu keinginan untuk berkomitmen dengan orang lain,
kemampuan untuk berbagi, serta mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan
dirasakan.
Namun, tidak semua individu mencapai jenjang pernikahan pada usia dewasa
muda. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang
untuk mencapai jenjang pernikahan. Salah satu faktornya adalah perceraian orangtua.
Bagi anak perempuan, trauma terhadap perceraian orangtua berdampak ketika
mencapai usia dewasa (Wallerstein & Blakeslee, dalam Ottaway, 2010). Anak yang
memiliki orangtua bercerai tidak memiliki role model yang baik dalam resolusi dan
pemecahan masalah (Amato, Ottaway, 2010). Mereka kemungkinan memiliki ketakutan
bahwa hubungan mereka juga akan berakhir seperti orangtua mereka. Ketakutan ini
akan menyebabkan fear intimacy (Brooks, 2008). Oleh karena itu, bagaimana hubungan
seseorang dengan ayahnya menjadi penting, karena terkait dengan hubungan
(relationship) yang berkualitas pada dewasa muda (Dalton et al., dalam Thorne, 2009).
Brooks (2008) menyatakan bahwa tingginya tingkat kerterlibatan ayah, memprediksi
tingginya tingkat intimacy, komitmen, dan kepercayaan dalam hubungan (relationships)
pada dewasa muda. Untuk mendeskripsikan hubungan antara ayah dan anaknya dapat
digunakan teori kelekatan (Thorne, 2009).
Kelekatan merupakan ikatan kasih sayang dengan intensitas yang kuat
sepanjang rentang kehidupan (Armsden & Greenberg, dalam Pearson & Child 2007),
walaupun intensitas dan frekuensi dari perilaku kelekatan berkurang sejalan dengan
bertambahnya usia, namun kualitas kelekatan relatif stabil (Bowlby dalam Doyle &
Moretti, 2000). Bagi anak perempuan, ayah merupakan contoh yang dekat dan sehat
mengenai bagaimana dunia lelaki yang sesungguhnya, sehingga anak perempuan tidak
akan canggung ketika kelak menghadapi lawan jenisnya dalam pergaulan sosial
(Bronstein & Cowan, 2002).
Dalam kelekatan, terdapat dimensi penting, yakni kepercayaan, komunikasi, dan
keterasingan (alienation). Kepercayaan (trust) merupakan perasaan aman dan
keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi kebutuhannya, komunikasi
(communication) merupakan aspek yang akan membantu menciptakan ikatan emosional
yang kuat antara orang tua dan anak, dan keterasingan (alienation) merupakan dimensi
yang berkaitan erat dengan penghindaran dan penolakan, seperti kurangnya tanggung
jawab terhadap anak (Armsden & Greenberg, dalam Pearson & Child 2007). Kegagalan
membentuk kelekatan pada tahun pertama kehidupan akan berakibat ketidakmampuan
mempererat hubungan sosial yang akrab pada masa dewasa (Seifert, Hoffnung, &
Hoffnung, 2006).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lee, Gillath, dan DeWall (2012) yang
berjudul Attachment Security as a Resource for Self-Regulation, mengindikasikan
bahwa terdapat hubungan antara kelekatan dengan regulasi diri. Penelitian ini
melibatkan 101 responden (61%nya adalah perempuan) yang memiliki tipe kelekatan
yang security, avoidance, anxiety, ataupun netral. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
kelekatan tipe security memfasilitasi regulasi diri ketika seseorang dalam kondisi ego
depletion, dan kelekatan tipe security juga merupakan sumber untuk regulasi diri.
Blair (2002) berpendapat bahwa seseorang yang memiliki regulasi diri, dapat
mengkomunikasikan apa yang dipikirkan dan dirasakan, memiliki ketahanan untuk tetap
memperhatikan, serta memiliki rasa ingin tahu terhadap aktivitas baru, menahan impuls,
mengikuti arahan, dan peka terhadap orang lain. Seseorang dengan tingkat regulasi diri
yang tinggi akan lebih mampu untuk beradaptasi dengan orang lain (Finkel & Campbell,
dalam Baumeister et al, 2006), serta menahan dan melakukan perilaku tertentu
(Bodrova & Leong, 2005). Selain itu, Papalia, Olds, & Feldman (2001) juga berpendapat
bahwa regulasi diri membuat seseorang mampu untuk menyesuaikan perilaku mereka,
agar dapat diterima oleh lingkungan sosialnya, sebagai dasar dari proses sosialisasi
karena berhubungan dengan domain kognitif, fisik, sosial, dan emosional.
Melihat adanya hubungan antara kelekatan dengan regulasi diri, peneliti tertarik
untuk melihat tentang dampak kelekatan ayah terhadap regulasi diri. Penelitian ini akan
mengambil responden perempuan berusia dewasa muda yang belum menikah, dan
bekerja, kuliah, atau berdomisili di daerah Jakarta Barat.
1.2.
Identifikasi Masalah
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mencari tahu: “Apakah ada dampak kelekatan
ayah terhadap regulasi diri perempuan dewasa muda yang belum menikah?”
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak kelekatan ayah
terhadap regulasi diri perempuan berusia dewasa muda yang belum menikah di Jakarta
Barat.
1.4.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini disusun dengan harapan agar dapat memberikan manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis. Manfaat-manfaat tersebut akan dijabarkan di bawah ini.
Manfaat teoritis
-
Memberikan sumbangsih keilmuan psikologi, khususnya di bidang psikologi
perkembangan dan psikologi sosial.
-
Memberikan khazanah keilmuan mengenai dampak kelekatan pada ayah
terhadap regulasi diri perempuan dewasa muda.
-
Sebagai referensi peneliti-peneliti selanjutnya yang berhubungan dengan
dampak kelekatan ayah terhadap regulasi diri.
Manfaat praktis
-
Bagi peneliti: merupakan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam tentang
regulasi diri dan kelekatan ayah.
-
Bagi perempuan dewasa muda: dapat menjadi bahan acuan mengenai
pentingnya kelekatan dengan ayah dan regulasi diri.
-
Bagi orang tua (khususnya ayah): dapat mengetahui pentingnya meluangkan
waktu bersama anak.
Download