pengamanan aset tanah tni dari penguasaan liar

advertisement
Vol. 1, No. 6
Mei 2013
Diterbitkan oleh
Pusat Studi Hukum Militer
Sekolah Tinggi Hukum Militer
Penanggungjawab
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer
Kolonel Chk Joko Purnomo, S.H., M.H.
Dewan Redaksi Kehormatan
Direktur Hukum Angkatan Darat
Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D.
Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM., Ph.D.
Prof. Dr. Agusddin Aminoedin, S.H.
Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
Kolonel Chk Haning Satyagraha, S.H., M.H.
Sekretaris Redaksi
Mayor Chk Sutrisno, S.H.
Kapten Chk Masyar Sa’adi, S.H., M.H.
Anggota Redaksi
Letkol Chk (K) Dr. Susiani, S.H., M.H.
Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.
Mayor Chk Untung Pramono, S.H., MT.
Fotografer
Sertu Lovi Darman
Desain Grafis
Sertu Hendro Eko Witanto
Tim Editing
Sertu Ikhwan Nizar
Serda Ralf Hansang
PNS Kusgiyanto
Alamat Redaksi
Pusat Studi Hukum Militer
Sekolah Tinggi Hukum Militer
Jl. Matraman Raya No. 126, Jakarta Timur
Telepon 021-85904737
e-mail : [email protected]
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
PENGANTAR REDAKSI
P
enguasaan Tanah Negara oleh TNI
sebagai tema utama dalam Jurnal
Hukum Militer edisi ini, merupakan
persoalan urgen yang perlu penanganan
secara konfrehensif. Banyaknya persoalan
yang menyangkut aset TNI khususnya di
bidang pertanahan, hingga saat ini masih
menjadi polemik yang tak kunjung selesai.
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang
ada di Indonesia berwenang mengatur
kepemilikan, peruntukan, peralihan dan
pendaftaran hak atas tanah. Hak negara
untuk mengatur inilah disebut sebagai “Hak
Menguasai Negara” sebagaiman diatur dalam
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Disamping artikel utama yang merupakan
tema sentral, Jurnal Hukum Militer edisi ini
juga memuat artikel lepas tentang Terorisme
Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI,
Hakim Pemeriksa Pendahuluan Telaah
Konsep RUU Hukum Acara Pidana, dan
masalah Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca reformasi.
Akhir kata, Redaksi mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca, agar penerbitan
berikutnya dari Jurnal Hukum Militer ini, dapat
lebih baik.
Jakarta,
Mei 2013
Redaksi
Jurnal Hukum Militer terbit setiap enam bulan
I
DAFTAR ISI
zz Sambutan Ketua STHM .............................................................................................iii
zz Sekilas STHM ............................................................................................................ iv
zz Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H. .................................................................... 1
zz Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H ......................................................... 8
zz Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar
Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H. ...................................................................... 16
zz Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H. .............. 21
zz Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H. ............................................................. 27
zz Ketidaktertiban Hukum Nasional Dalam
Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H. ........................................................................................ 38
zz Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah .............................................. 50
zz Berita Dalam Gambar .............................................................................................. 93
II
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
DIREKTORAT HUKUM ANGKATAN DARAT
SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
SAMBUTAN
KETUA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
“AHM-PTHM”
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Pada awal Tahun 2013, Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” melalui Jurnal Hukum Militer
mengetengahkan bahasan yang diangkat dalam artikel utama dengan tema Penguasaan Tanah Negara
oleh TNI.
Hingga saat ini berdasarkan inventarisasi terhadap tanah milik TNI dan Kementrian Pertahanan
yang secara keseluruhan mencapi kurang lebih 3,6 juta hektar, tercatat baru sekitar 371 ribu meter
persegi atau sekitar 10 persen dari keseluruhan luas tanah yang bersertifikat. Disamping itu TNI juga
masih dihadapkan dengan berbagai persoalan sengketa dengan masyarakat umum terkait status hak
kepemilikan atas tanah.
Banyaknya gugatan dari warga masyarakat atau pihak-pihak lain tersebut sering dikenal dengan
sengketa/konflik tanah, yakni sengketa/konflik yang membenturkan antara TNI dengan rakyat. Sengketa
konflik ini cukup rumit dan kompleks. Oleh karena itu beberapa pemikiran yang konstruktif terkait dengan
pokok bahasan, telah digagas dan disampaikan oleh penulis dalam beberapa artikel yang termuat di
dalam jurnal ini, diharapkan dapat memberikan gambaran dan pencerahan bagi semua pihak terkait
dengan masalah pengelolaan aset TNI khususnya di bidang pertanahan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada para penulis artikel yang berkenan memberikan kontribusi
pemikiran tentang bagaiman sebaiknya pengelolaan aset TNI khususnya di bidang pertanahan agar ke
depan lebih baik guna mendukung tugas pokok TNI sebagai alat pertahanan negara. Terima kasih juga
saya sampaikan kepada segenap staf redaksi yang telah menyiapkan penerbitan Jurnal Hukum Militer,
Vol. 1 No. 6 Tahun 2013 ini. Semoga Jurnal Hukum Militer ini dapat terbit secara berkesinambungan
untuk mewadahi pemikiran, gagasan dan diskusi-diskusi ilmiah seputar hukum militer.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer
Joko Purnomo, S.H., M.H.
Kolonel Chk NRP 32421
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
III
SEKILAS STHM
Pendahuluan
Tujuan Pendidikan
Sekolah Tinggi Hukum Militer (“AHM-PTHM”)
merupakan unsur pelaksana Direktorat
Hukum Angkatan Darat bidang pendidikan
hukum tingkat doctoral, yang berkedudukan
langsung di bawah Direktorat Hukum
Angkatan Darat.
Awalnya bernama Sekolah Hukum Militer
(SHM). Didirikan pada 5 Juni 1952, SHM
berganti nama menjadi Akademi Hukum
Militer (AHM) pada 2 Oktober 1953. Karena
pada Tahun 1961 keluar peraturan bahwa
jenjang Pendidikan Perwira Ahli Hukum
harus mencapai tingkat sarjana hukum,
Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM) pun
didirikan. Berikutnya, pada 13 Juli 1994,
AHM-PTHM disesuaikan menjadi Sekolah
Tinggi Hukum Militer (STHM). Program
studinya adalah Hukum Pidana/Militer,
Hukum Tata Negara, Hukum Internasional
dan Hukum Perdata.
Mendidik dan mengembangkan kemampuan
Perwira Mahasiswa TNI yang berjiwa Sapta
Marga agar memiliki ilmu pengetahuan
dan keterampilan di bidang Hukum dan
Hukum Militer yang dapat digunakan dalam
melaksanakan tugas pada fungsi hukum di
lingkungan TNI dan TNI AD.
Sistem Pendidikan
Perwira TNI AD yang memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. MDP maksimal 8 tahun
b. Usia maksimal 36 tahun
c. Lulus seleksi administrasi
d. Lulus Diksarcab/setingkat
e. Konduite dan prestasi kerja baik
f. Berbadan sehat dinyatakan PPBPAD 2
setempat
g. Nilai kesegaran jasmani minimal 65
h. Tidak sedang terlibat proses hukum
i. Lulus seleksi akademik
j. Lulus tes psikologi guna memenuhi
persyaratan alih korps (WO) menjadi
Korps Hukum (Chk)
Penyelenggaraan pendidikan di STHM
“AHM-PTHM” dilakukan berdasarkan sistem
satuan kredit semester (SKS), dengan materi
pendidikan yang dirancang khusus yang
akan memberikan warna khas baik dari
segi materi maupun penyelenggaraannya.
Materi kurikulum, tenaga pengajar dan
sarana pendukung lainnya diarahkan untuk
menghasilkan Sarjana Hukum yang dapat
mendukung tugas pokok TNI.
IV
Penyelenggaraan
Pendidikan
Program Sarjana menyelesaikan 144–160
SKS selama 4 tahun (8 semester) dan
Program Profesi menyelesaikan 40 SKS
selama 1 tahun (2 semester). Biaya
pendidikan disesuaikan dengan anggaran
yang berlaku di TNI AD.
Persyaratan Peserta
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
PENGUASAAN TANAH NEGARA
OLEH KEMHAN/TNI
Oleh:
Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
I.Pendahuluan
K
ementerian Pertahanan adalah unsur
pelaksana Pemerintah yang dipimpin
oleh Menteri Pertahanan yang
berkedudukan dibawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden. Kementerian Pertahanan
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
di bidang pertahanan dalam Pemerintahan dan
menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidang pertahanan;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara
yang menjadi tanggungjawab Kementerian
Pertahanan;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
lingkungan Kementerian Pertahanan dan;
d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat
sampai ke daerah.
Dalam hal penanganan masalah asset
khususnya tanah ada 3 (tiga) satuan kerja yang
menangani yaitu :
a. Biro Hukum Setjen Kemhan, apabila asset
tanah tersebut sudah masuk dalam ranah
pengadilan/sengketa di pengadilan;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
b. Direktorat Fasilitas dan Jasa Ditjen Kekuatan
Pertahanan Kemhan (Ditfasjas Ditjen
Kuathan Kemhan), dengan tugas antara
lain penanganan sengketa barang tidak
bergerak;
c. Badan Sarana Pertahanan Kemhan Direktur
Pusat Barang Milik Negara (Baranahan
Kemhan) bertugas menyiapkan dan
melaksanakan penggunaan, pemanfaatan,
penghapusan, pemindahtanganan,
pembinaan, dan pengendalian serta
pengamanan dan pemeliharaan BMN di
lingkungan Kementerian Pertahanan dan
TNI.
Konflik tanah banyak yang melibatkan
warga dan TNI, penyebabnya adalah tidak
adanya bukti kepemilikan atau sertipikat tanah
di wilayah konflik tersebut, dari sekitar 3,6
juta hektar tanah TNI, yang bersertipikat baru
sepuluh persen. Artinya, hampir tiga juta hektar
tanah yang dimiliki TNI belum bersertipikat.
Sisanya tanah milik TNI yang belum bersertipikat
itu, masih diinventarisir guna percepatan hak
miliknya. Terutama lahan yang berpotensi konflik
dan sengketa dengan masyarakat.
1
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
Karena banyak aset TNI yang bermasalah
dengan bukti kepemilikan akibatnya masyarakat
sering menggugat di pengadilan. Upaya
sertipikasi ini harus dilakukan untuk melindungi
asset milik negara itu dari gugatan masyarakat.
Dalam undang-undang tentang peraturan
dasar Pokok-pokok Agraria dinyatakan “Seluruh
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah
Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang
Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa
Bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
Nasional”(pasal 1 ayat 2 UU No.5 Tahun 1960).
Negara sebagai Organisasi kekuasaan
yang ada di Indonesia berwenang mengatur
kepemilikan, peruntukan, peralihan dan
pendaftaran atas hak bangsa Indonesia tersebut.
Hak negara untuk mengatur inilah disebut
sebagai “Hak Menguasai Negara” sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 UUPA. Apabila tidak
ada pengaturan dari negara, peruntukan dan
kepemilikan tanah menjadi kacau. Setiap orang
cenderung ingin memiliki tanah yang lebih besar
dan lebih luas. Tanpa adanya hak dari negara
untuk mengatur peruntukan dan kepemilikan
tanah, setiap orang pasti akan berlomba-lomba
untuk memiliki lebih banyak tanah yang ada.
II. Dasar Hukum
a. Landasan Filosofis.
UUD 45 Pasal 33 ayat (3)
“Bumi dan air dan Kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”.
b. Landasan Operasional
1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA)
a) Pasal 2 Ayat (1) dan (2)
b) Pasal 4 ayat (1)
2) Berdasarkan Stbl.1911 No.110 tentang
Penguasaan benda-benda tidak
bergerak, gedung-gedung, dll.
Jika instansi pemerintah menguasai tanah
negara, dipelihara dengan anggaran
belanjanya maka tanah tersebut menjadi
2
aset instansi yang bersangkutan.
3) Berdasarkan PP No. 8 Tahun 1953
tentang Penguasaan tanah-tanah negara.
Pasal “ 2 ”
Kecuali jika penguasaan atas tanah
negara dengan UU atau peraturan lain
pada waktu berlakunya PP Ini telah
diserahkan kepada suatu kementerian,
jawatan atau daerah swatantra, maka
penguasaan atas tanah negara ada pada
Menteri Dalam Negeri.
4) Surat Keputusan Angkatan Perang No.
023/P/KSAP/ tanggal 25 Mei 1950 yang
menyatakan:
“Lapangan-lapangan terbang serta
bangunan-bangunan yang termasuk
lapangan, dan alat-alat yang berada di
lapangan-lapangan tersebut menjadi
milik Angkatan Udara Republik Indonesia”
5) Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri
Republik Indonesia tanggal 9 Mei 1950
No. H/20/5/7 yang menyatakan antara
lain:
“Sebidang tanah diambil untuk keperluan
mendirikan bangunan negeri (kantor,
sekolah dsb). Bangunan tersebut telah
didirikan, dan hingga kini masih dipakai
untuk kepentingan negeri dalam hal ini
pengembalian hak tak mungkin, karena
kepentingan negara.”
III. Macam-macam Perolehan Tanah Kemhan/
TNI
a. Eks Peninggalan Pemerintah Belanda (KNIL
BELANDA)
Berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang
Nasionalisasi perusahaan milik Belanda.
Konversi hak barat  erfpacht, eigendom
verponding, nasionalisasi perusahaan milik
Belanda.
b. Eks Peninggalan Pemerintah Jepang (DAI
NIPPON)
Penguasaan tanah secara historis Bala
Tentara Jepang  proses ganti rugi
berdasarkan :
1) SE Mendagri No. H.20/5/7 tanggal 9 Mei
1950 tentang Penyelesaian tanah-tanah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
yang dahulu diambil oleh pemerintahan
pendudukan Jepang (Dai Nippon)
2) SE Mendagri No. Agr.40/25/13 tanggal 13
Mei 1953 tentang Penyelesaian tentang
tanah-tanah yang dahulu diambil oleh
pemerintahan pendudukan Jepang .
3) SE Mendagri No. 593/111/Agr tanggal
7 Januari 1983 tentang Penyelesaian
tanah rakyat yang diambil pemerintahan
Jepang.
c. Pembelian/pengadaan/pengalihan hak
atas tanah  perorangan (hm, hgb, hp &
garapan), perusahaan (hgu, hgb, hpl), hak
ulayat dll.
1) Berdasarkan Bijblad No.11372 Jo. No.
12476 tentang Pembelian tanah oleh
pemerintah.
2) Berdasarkan Permendagri No.15 Tahun
1975 tentang Ketentuan-ketentuan
mengenai tata cara pembebasan tanah.
3) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum
berdasarkan Keppres No. 55 Tahun
1993 Jo. Peraturan Kepala BPN No. 1
Tahun 1994, Perpres No. 36 Tahun 2005,
Perpres No.65 TAHUN 2006, Peraturan
KBPN RI No. 3 Th 2007.
4) Berdasarkan pelepasan hak secara
cuma-cuma oleh pemiliknya HIBAH.
5) Tukar-Menukar dan Pemanfaatan
berdasarkan :
a) KMK No. 470/KMK.01/1994 tanggal
20 September 1994 tentang Tata cara
penghapusan dan pemanfaatan BM/
KN
b) KMK No. 350/KMK.03/1994 tanggal
20 September 1994 tentang Tata cara
penghapusan dan pemanfaatan BM/
KN
c) Permenkeu No. 96/PMK.06/2007
tanggal 4 September 2007 tentang
Tata cara penggunaan, pemanfaatan,
penghapusan & pemindah-tanganan
BMN.
d. Tanah dan Bangunan Eks Asing/Cina.
1) Surat Menkeu No. S-394/ MK.03/1989
tanggal 12 April 1989.
2) Surat Dirjen Matfasjasa Dephankam No.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
B/780-16/ 19/22/DJMFJ tanggal 6 Juli
1990 perihal Gedung dan tanah bekas
Sekolah Asing/Cina.
3) Permekeu No. 188/PMK.06/2008 tanggal
20 November 2008.
e. Tanah dan/atau bangunan okupasi.
1) UU Nomor 3 PRP. Tahun 1960 tanggal
9 Pebruari 1960 ttg Penguasaan bendabenda tetap milik perseorangan WN
Belanda jo. PP Nomor 223 Tahun 1961
tanggal 6 September 1961 tentang
Pedoman pelaksanaan Pasal 4 & 5 UU
Nomor 3 PRP. Tahun 1960
2) Peraturan Presidium Kabinet Dwikora No.
5/Prk/Tahun 1965 tanggal 22 Desember
1965 tentang Penegasan status rumah/
tanah kepunyaan badan-badan hukum
yang ditinggal Direksi/ Pengurusnya
jo. Peraturan Dirjen Agraria Nomor 3
Tahun 1968 tanggal 9 April 1968 tentang
Pelaksanaan Peraturan Presidium
Kabinet Dwikora No. 5/Prk/Tahun 1965
3) Instruksi Pangab No. Inst/02/VI/1982
tangal 8 Juli 1982.
4) ST Kasad No. ST/766/1984 tanggal 23
Juni 1984.
5) Pinjam pakai dan penyewaan.
IV. Data-data tanah Kemhan/TNI
a. Tanah yang digunakan dan dikuasai Dephan
dan TNI sebanyak 12.814 bidang seluas
3.200.898.298,00 m² terdiri atas :
1) Dephan sebanyak 86 bidang seluas
1.043.327,00 m²
2) Mabes TNI sebanyak 156 bidang seluas
6.201.729,00 m²
3) TNI AD sebanyak 9.123 bidang seluas
1.308.401.735,00 m²
4) TNI AL sebanyak 959 bidang seluas
181.095.386 m²
5) TNI AU sebanyak 700 bidang seluas
1.704.156.121 m²
b. Tanah Dephan dan TNI yang bersertifikat
sebanyak 2.946 bidang seluas
371.075.405,50 m2 terdiri atas :
1) Dephan sebanyak 31 bidang seluas
404.956 m²
3
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
2) Mabes TNI sebanyak 62 bidang seluas
4.781.877 m²
3) TNI AD sebanyak 1.573 bidang seluas
87.323.896 m
4) TNI AL sebanyak 793 bidang seluas
45.273.846,50 m²
5) TNI AU sebanyak 487 bidang seluas
233.290.830 m²
c. Tanah Dephan dan TNI yang belum
bersertifikat sebanyak 9.954 bidang seluas
2.829.822.892,50 m2 terdiri atas :
1) Dephan sebanyak 55 bidang seluas
638.371 m²
2) Mabes TNI sebanyak 94 bidang seluas
1.419.852 m²
3) TNI AD sebanyak 9.198 bidang seluas
1.221.077.839 m²
4) TNI AL sebanyak 406 bidang seluas
135.821.539,50 m²
5) TNI AU sebanyak 201 bidang seluas
1.470.865.291 m²
d. Tanah Dephan dan TNI bermasalah sebanyak
389 bidang seluas 258.379.752 m2 terdiri
atas :
1) Dephan sebanyak 1 bidang seluas
11.860 m²
2) Mabes TNI sebanyak 7 bidang seluas
617.887 m²
3) TNI AD sebanyak 311 bidang seluas
123.772.306 m²
4) TNI AL sebanyak 31 bidang seluas
55.276.331 m²
5) TNI AU sebanyak 39 bidang seluas
78.701.368 m²
V.Permasalahan
a. Mengapa banyak masyarakat atau pihakpihak lain tersebut menggugat penguasaan
tanah negara oleh TNI?
b. Bagaimana cara mengatasi dalam upaya
meredam atau mengurangi gugatan
tersebut?
VI.Pembahasan
a. Banyaknya gugatan dari warga masyarakat
atau pihak-pihak lain tersebut sering dikenal
4
dengan sengketa/konflik tanah, yakni
sengketa/konflik yang membenturkan antara
TNI dengan rakyat. Sengketa konflik ini cukup
rumit dan kompleks, saling klaim antara
kedua belah pihak dengan bersikeras dalam
menunjukkan data dan bukti kepemilikan.
Ada beberapa hal yang perlu kita cermati
bersama terkait sengketa/konflik tersebut
antara lain :
1.R i w a y a t s t a t u s t a n a h y a n g
disengketakan, yang sering menunjuk
zaman kolonialisme. Riwayat status
kepemilikan ini menjadi penting untuk
ditelusuri, karena fakta menunjukkan
bahwa konflik tanah di Indonesia pada
umumnya bernuansa politik dan beragam
dimensi dalam kurun waktu berbeda.
Hal ini ditandai dengan seringnya kita
mendengar argumentasi klasik yang klise
yakni TNI menuduh rakyat menjarah
dan menduduki tanah yang dikuasai
sejak zaman kemerdekaan. Sementara
rakyat menuduh balik TNI merampas
lahan garapannya. Argumentasi usang ini
membawa pada dua kesulitan. Di satu sisi
investigasi masa lalu menemui kendala
pada persoalan pembuktian, seperti
saksi hidup dan bukti-bukti kepemilikan.
Apalagi, seiring dengan perjalanan waktu
sering dijumpai sertipikat ganda yang
mengaburkan status kepemilikan.
Berkenaan riwayat status tanah yang
disengketakan tersebut, penguasaan dan
kepemilikan tanah oleh TNI antara lain
berdasarkan pada :
a) Surat Keputusan Angkatan Perang
No. 023/P/KSAP/ tanggal 25 Mei
1950 yang menyatakan:
“Lapangan-lapangan terbang
serta bangunan-bangunan yang
termasuk lapangan, dan alat-alat
yang berada di lapangan-lapangan
tersebut menjadi milik Angkatan
Udara Republik Indonesia”
b) Surat Edaran Kementerian Dalam
Negeri Republik Indonesia tanggal
9 Mei 1950 No. H/20/5/7 yang
menyatakan antara lain:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
“Sebidang tanah diambil untuk
keperluan mendirikan bangunan
negeri (kantor, sekolah dsb).
Bangunan tersebut telah didirikan,
dan hingga kini masih dipakai
untuk kepentingan negeri dalam
hal ini pengembalian hak tak
mungkin, karena kepentingan
negara.”
c) Diperoleh dari penyerahan tentara
Belanda (KNIL) tanggal 25 Juli 1950.
2. Banyak kasus terkesan diambangkan
dan dibiarkan mereda dengan sendirinya,
kasus tersebut sulit diungkap dengan
alasan waktu, sumber daya, dan
anggaran. Kendati persoalan sengketa
tanah antara TNI dan rakyat diakui
sebagai potensi konflik rawan dan dapat
melecut kekerasan berulang, pemerintah
baik di pusat maupun di daerah belum
memberikan tanggapan memadai.
Padahal, Badan Pertanahan Nasional
dan Kementerian Keuangan dianggap
kompeten menyelesaikan persoalan rumit
ini. Begitu juga anggota Dewan sebagai
pengawas, baik di sisi operasionalisasi
kebijakan maupun penganggarannya.
Koordinasi buruk antara pusat dan
daerah dianggap sebagai salah satu
kendala. Penetapan status penguasaan
berikut peruntukannya bagi instansi
pemerintah sangat penting, guna untuk
mengetahui peruntukan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi. Banyak kasus
di lapangan, penguasaan serta tugas
pokok dan fungsi berbeda dengan
peruntukannya. Antara lain terdapat
beberapa asset TNI yang dipakai untuk
outlet-outlet.
3. Hal lain, peristiwa konflik tanah yang
melibatkan TNI kerap ditengarai sebagai
bagian dari bisnis TNI. Dalam kasus
Kebumen ini, misalnya, di tanah yang
dikuasai TNI ternyata akan didirikan
kawasan pertambangan besi yang
dikhawatirkan akan mengeruk,
mengeksploitasi, dan merusak
lingkungan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
4. Konflik tanah yang terjadi akhir-akhir ini
sejak reformasi bergulir, banyak yang
melibatkan antara warga masyarakat
dan TNI. Penyebabnya antara lain adalah
tidak adanya bukti kepemilikan atau
sertipikat tanah di wilayah konflik tanah
tersebut. Dari sekitar 3,6 juta Ha tanah
TNI, yang bersertipikat baru 10%. Artinya
hampir 3 juta Ha tanah yang di kuasai
TNI belum bersertipikat. Sisanya tanah
yang belum bersertipikat tersebut masih
perlu diinventarisir guna percepatan
penerbitan sertipikat, terutama lahan
yang berpotensi konflik tanah dengan
masyarakat. Selanjutnya TNI akan
segera melakukan sertipikasi lahan untuk
menertibkan lahan-lahan yang dikuasai
pihak lain, namun TNI tidak memiliki
anggaran untuk melakukan kegiatan
sertipikasi tersebut.
5. Sebagian besar permasalahan yang
timbul adalah tanah-tanah yang dikuasai
dengan cara okupasi. Penguasaan
tanah oleh TNI hasil okupasi yang
jumlahnya cukup banyak antara lain
berasal dari eks Militer Hindia Belanda
(KNIL) atau pendudukan tentara Jepang
berupa lahan-lahan yang diperuntukkan
untuk pertahanan/militer. Penguasaan
tanah hasil okupasi juga berasal
ketika terjadinya peristiwa G 30 S/PKI
dimana pemilik tanah/bangunan yang
merupakan anggota PKI melarikan diri,
sehingga tanah dan bangunan yang telah
ditinggalkan pemiliknya dikuasai TNI
sampai dengan sekarang.
b. Dalam upaya meredam atau mengurangi
gugatan yang dilakukan masyarakat tersebut,
ada beberapa hal yang perlu dilakukan
antara lain :
1.Inventarisasi
Kegiatan inventarisasi bertujuan
untuk mengetahui data dan fakta yang
terjadi di lapangan dengan maksud agar
dapat diketahui kelemahan dan potensi
masalah khususnya yang akan memicu
gejolak dimasyarakat dan menimbulkan
sengketa/ konflik.
5
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
Kemhan selaku pengguna BMN melalui
Badan Sarana Pertahanan Kemhan
(Baranahan Kemhan) sesuai tugas dan
fungsinya perlu mengumpulkan data dan
menginventarisasi permasalahan tersebut
dengan membangun peta permasalahan
di setiap Mabes Angkatan dan Angkatan
(untuk skala maksimal disamping sistem
informasi yang dibangun sesuai data
base yang tersedia).
H a s i l k e g i a t a n i n v e n t a r i s a s i
tersebut perlu dikoordinasikan dan
dikonsultasikan dengan pihak-pihak BPN
Pusat/ Daerah, dan Menteri Keuangan
dalam pengelolaan BMN bila aset TNI
tersebut telah tercatat sebagai BMN guna
penanganan/ penyelesaian terhadap
aset TNI yang berpotensi menimbulkan
konflik tersebut.
2. Forum Komunikasi
Forum Komunikasi perlu dilakukan
antar instansi terkait yakni antar Mabes
Angkatan, Angkatan, Kemhan, BPN
Pusat/Daerah dengan Menteri Keuangan
dalam suatu termpat yang terpusat, yakni
apakah di Biro Hukum Setjen Kemhan,
di Baranahan Kemhan atau di Ditfasjas
Ditjen Kuathan Kemhan. Banyak agenda
kegiatan dalam forum tersebut, antara
lain dapat membahas dan membuat
program bersama dalam penanganan/
penyelesaian aset TNI yang berpotensi
konflik berdasarkan skala prioritas. Dalam
forum tersebut diharapkan akan terjadi
intraksi untuk melakukan koordinasi,
konsultasi, sinkronisasi, fasilitasi dan
pendanaan program kegiatan.
Dengan demikian apabila forum
komunikasi tersebut telah terbentuk,
diharapkan dapat memetakan setiap
permasalahan aset TNI secara
konprehensif, sehingga penanganan/
penyelesaian diharapkan dapat
meredam atau mengurangi gugatan
masyarakat atau pihak lain. Selain itu
dapat memudahkan bagi satuan dalam
memberikan jawaban apabila pimpinan
menanyakan permasalahan aset TNI
6
yang menimbulkan konflik dimasyarakat.
Kementerian Pertahanan telah
menandatangani Kesepakatan Bersama
dengan Badan Pertanahan Nasional
yaitu :
a) Kesepakatan Bersama (Memorandum
Of Understanding/MoU) antara
Departemen Pertahanan RI dengan
Badan Pertanahan Nasional RI Nomor:
MoU/02/XII/2008 dan Nomor : 9-SKBBPN RI-2008 tanggal 30 Desember
2008 Tentang Pensertipikatan,
Penanganan sengketa dan konflik
tanah asset Departemen Pertahanan
RI / TNI .
b) P e rja n j ia n K e rja S a ma ( P K S )
antara Kementerian Pertahanan RI
Kepala Badan Sarana Pertahanan
dengan Badan Pertanahan Nasional
R I D e p u t i B i d a n g H a k Ta n a h
dan Pendaftaran Tanah Nomor:
PKS/031/I/2011/Baranahan dan
Nomor : 1 SKB.300/I/2011 tanggal 6
Januari 2011 tentang Pensertipikatan
tanah asset Kementerian Pertahanan
RI / TNI.
c) Perjanjian Kerja Sama antara
Kementerian Pertahanan RI Direktur
Jenderal Kekuatan Pertahanan
dengan Deputi Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa dan Konflik
Pertanahan Badan Pertanahan
Nasional RI Nomor: PKS/01/I/2011
dan Nomor: 2/SKB-600/I/2011 tanggal
6 Januari 2011 tentang Penanganan
dan Penyelesaian Sengketa dan
Konflik tanah asset Kementerian
Pertahanan RI / TNI.
Penyelesaian melalui jalur hukum
penyelesaian sengketa tanah, melalui tahapan
sebagai berikut :
a) Tahap Persiapan, dimulai pada waktu
menerima laporan pengaduan, klaim, dan
gugatan sengketa tanah, dengan cara :
(1)Melakukan penelitian terhadap subyek
dan obyek sengketa, diharapkan dari
penelitian ini diperoleh data (fisik, yuridis,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penguasaan Tanah Negara Oleh Kemhan/TNI
Oleh: Brigjen TNI Nurhajizah, S.H., M.H.
administratif yang akurat)
(2) Mencegah meluasnya dampak sengketa
tanah.
(3)Melakukan koordinasi dengan instansi
terkait.
(4) B erusaha melakukan musyawarah
antara para pihak yang bersengketa.
(5)Jika tidak terjadi kesepakatan dalam
musyawarah dapat menempuh jalur
hukum.
b) Tahap Penanganan dan penyelesaian
sengketa :
(1)Identifikasi jenis masalah/sengketa.
Proses identifikasi ini sangat penting
dan menentukan oleh karena itu hasil
identifikasi ini kita akan mengenali
masalahnya, sekaligus mengetahui
apakah pengaduan/sengketa ini
merupakan kompetensi kita atau bukan.
(2)Pengumpulan data yuridis, fisik dan
administratif.
Data yang dihimpun dan dikumpulkan
adalah dari data yuridis (bukti-bukti yang
menunjukan adanya hubungan hukum
antara pelapor dengan obyek tanah),
data fisik (yang menyangkut letak dan
batas-batas tanah) dan data administratif
(dasar apa penguasaan dan kepemilikan
itu terjadi).
(3)Pengolahan data yuridis, fisik dan
administratif.
Data-data yang dikumpulkan penting
untuk diolah, oleh karena didalam
kegiatan ini cukup menentukan lengkap
atau kurangnya data yang relevan untuk
dikumpulkan.
(4) Analisis Masalah.
Adalah suatu hal yang paling
penting dari seluruh proses kegiatan.
Analisa yang benar akan menentukan
bobot suatu pengambilan keputusan
yang berkwalitas, sebaliknya analisa
yang salah hanya akan menimbulkan
keputusan yang menyesatkan, bahkan
akan menimbulkan sengketa dan
masalah baru.
(5)Saran Pendapat Hukum
Usulan penyelesaian bahwa sengketa
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
tanah tersebut dapat diselesaikan melalui
pengadilan atau diluar pengadilan.
c) Tahap Berperkara di Pengadilan yaitu :
(1)Pembuatan Surat Kuasa
(2)Jawaban
(3)Replik/Duplik
(4)Pembuktian
(5)Kesimpulan; dan
(6)Putusan.
Bahwa penyelesaian melalui jalur hukum
adalah upaya terakhir setelah upaya melalui
komunikasi dan perdamaian (mediasi) tidak
dapat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Upaya penyelesaian melalui jalur hukum
untuk mendapatkan putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap. Biro Hukum
Setjen Kemhan antara lain mempunyai tugas
penanganan pemberian bantuan hukum
yang terkait dengan sengketa di pengadilan.
Penanganan yang ditangani oleh Biro Hukum
Setjen Kemhan yang terkait dengan asset
Kementerian Pertahanan/TNI yang saat ini
sedang berjalan sampai tahun 2011 + ada 39
(tiga puluh sembilan) perkara.
Untuk biaya bantuan hukum, sesuai
dengan Standar Biaya Khusus (SBK) dari
Kementerian Keuangan berdasarkan perkara
yang diajukan oleh Kemhan/ TNI dan Angkatan.
VII.Penutup.
Demikian makalah singkat yang dapat
kami sampaikan semoga bermanfaat dalam
upaya penanganan/penyelesaian asset TNI yang
berpotensi menimbulkan konflik di masyarakat.
7
ASPEK HUKUM PENGELOLAAN
TANAH ASET TNI
Oleh :
Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
1.Umum
T
anah selain memberikan banyak manfaat
namun juga melahirkan masalah lintas
sektoral yang mempunyai aspek ekonomi,
aspek sosial budaya, aspek politik, aspek
pertahanan dan keamanan, dan bahkan aspek
hukum.
Aspek ekonomi dari tanah menunjukkan
bahwa tanah sebagai aset ekonomi memiliki nilai
yang tinggi, karena luas tanah tetap sedangkan
jumlah manusia yang membutuhkannya semakin
bertambah. Tidak hanya orang perorangan,
bahkan badan hukum, Instansi Pemerintah,
termasuk TNI juga memerlukan tanah.
Aspek Sosial Budaya dari tanah harus
dilihat dari sudut pandang bahwa sumber hukum
Agraria Indonesia adalah Hukum Adat. Sengketa
perdata adat mengenai tanah seringkali tidak
mudah diselesaikan, apalagi jika tidak dipahami
benar tradisi pada masyarakat setempat.
Penggunaan tanah juga mempunyai
aspek politik. Program pembaharuan Agraria
Nasional yang dicanangkan Pemerintah dengan
rencana membagi sekitar 25 juta hektar tanah
8
kepada rakyat miskin, merupakan strategi politik
pertanahan saat ini, sekaligus menunjukkan
dimensi politik atas tanah.
Tanah juga mempunyai aspek pertahanan
dan keamanan. Pembangunan pangkalanpangkalan militer serta daerah-daerah latihannya
memerlukan tanah baik didaerah perkotaan
maupun di daerah pedesaan. Sengketa pemilikan
dan penguasaan antara TNI dan masyarakat
secara faktual ternyata tidak sedikit jumlahnya,
dengan latar belakang masalah bahwa secara
historis masing-masing pihak merasa berhak
atas tanah yang dipersengketakan.
Aspek hukum pertanahan, terlihat bahwa
Hukum Agraria juga memberikan andil atas
lahirnya masalah-masalah pertanahan. Dari
sudut formal, tumpang tindih beberapa peraturan
perundangan telah melahirkan perebutan
kewenangan oleh penguasa, sedangkan dari
sudut material atau substansial, tumpang tindih
peraturan perundangan itu telah melahirkan
perbedaan persepsi oleh beberapa kalangan,
yang kesemuanya membawa dampak kepada
implementasi peraturan perundangan di
lapangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Masalah pertanahan memang tidak
mungkin ditiadakan, namun diharapkan dapat
dikurangi bahkan dicegah, termasuk dalam
hal ini mengenai masalah yang timbul dari
penguasaan tanah oleh TNI, baik tanah-tanah
yang benar-benar telah menjadi aset ataupun
tanah-tanah yang sesungguhnya belum menjadi
aset TNI tetapi diklaim sebagai aset tanah TNI.
Tersedianya perangkat lunak pengaturan
dan kebijakan yang jelas dan tegas, seperti
batasan-batasan pengertian aset TNI, dasar
hukum penguasaannya, hak-hak yang dapat
dipunyainya, tata cara pengelolaannya dan
sebagainya, kiranya akan dapat memberikan
ketertiban dan kepastian hukum penguasaan Aset
TNI, bahkan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi pihak lainnya yang pada akhirnya
dapat meminimalisir atau mencegah timbulnya
masalah-masalah pertanahan.
dalam kondisi siap pakai.
Berdasar konsepsi Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2005 tentang Stantdar Akuntansi
Pemerintahan, Tanah Aset Departemen
Pertahanan/TNI adalah tanah-tanah dalam
penguasaan TNI, dengan syarat-syarat:
a. Diperoleh dengan maksud untuk dipakai
dalam kegiatan operasional TNI dan dalam
kondisi siap pakai. Dalam hal ini misalnya,
setelah tanah dimatangkan sampai tanah
tersebut siap dipakai.
b. Adanya bukti penguasaan secara hukum,
misalnya Sertifikat Hak Pakai atau Hak
Pengelolaan atas nama TNI atau adanya
bukti pembayaran dan penguasaan Sertifikat
Tanah atas nama pemilik sebelumnya.
c. Dapat diukur dengan satauan uang.
2. Istilah Tanah Aset TNI
Sedangkan mengenai status tanahnya
dapat berasal dari:
a. Tanah Negara:
1) Jika Instansi Pemerintah berdasarkan
Staatblad Tahun 1911 Nomor 110 tentang
“Penguasaan Benda-Benda Tidak
Bergerak, Gedung dan lain-lain Bangunan
Milik Negara” kemudian diatur kembali
dengan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 1953 tentang “Penguasaan
Tanah-Tanah Negara”, menguasai tanah
dimaksud sejak zaman Pemerintahan
Hindia Belanda sampai saat mulai
berlakunya Peraturan Pemerintah
Nomor 8 Tahun 1953, maka tanah
tersebut berstatus “dalam penguasaan”
(In beheer) Instansi Pemerintah yang
bersangkutan.
2) Apabila setelah berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 Tanah
Negara dikuasai oleh Instansi Pemerintah
berdasarkan Surat Keputusan Pemberian
Hak yang diterbitkan oleh Peraturan
Menteri Dalam Negeri (Sekarang
Kepala Badan Pertanahan Nasional),
dalam hal ini Peraturan Menteri Dalam
Negeri/ Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Istilah Tanah Aset TNI harus dibedakan
dengan Tanah Negara, karena masih ada
persepsi yang merancukan keduanya.
Istilah Aset dijumpai dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Pada Lampiran II dari Peraturan Pemerintah
tersebut menyatakan bahwa: “Aset adalah
sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari
peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan
diharapkan dapat diperoleh, baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam
satuan uang”.
Selanjutnya menurut Lampiran II dari
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
tersebut, “Tanah merupakan Aset Tetap”,
disamping peralatan dan mesin, gedung dan
bangunan, jalan, irigasi, dan jaringan, aset tetap
lainnya dan konstruksi dalam pengerjaan.
Tanah yang dikelompokkan sebagai aset
tetap ialah tanah yang diperoleh dengan maksud
untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah (termasuk didalamnya TNI) dan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
3. Asal-Usul Perolehan Tanah TNI
9
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Pemberian Hak atas Tanah Negara dan
Hak Pengelolaan Serta Pembatalan Hak
Atas Tanah.
Berdasarkan rumusan Staatblad
1911 Nomor 10 angka III di atas,
ternyata terdapat syarat bahwa Instansi
Pemerintah (dalam hal ini dapat
dimasukkan Departemen Pertahanan/
TNI) baru dapat diakui menguasai benda
tetap, termasuk tanah, apabila dalam
anggaran pendapatan dan belanja
Departemen disediakan anggaran untuk
perawatan untuk benda-benda tetap
tersebut, dan termasuk tanah didalamnya.
Artinya Departemen (TNI) tersebut nyatanyata melakukan perawatan atas tanahtanah dimaksud, yang untuk perawatan
itu tersedia dana dalam anggaran suatu
Departemen. Jika tidak ada anggaran
pendapatan dan belanja Departemen
maka penguasaan tersebut tidak dapat
diakui keberadaannya.
b. Tanah-tanah Penguasaan Tentara Belanda
(KNIL), Perusahaan Milik Belanda yang
berdasarkan Undang-undang Nomor 86
tahun 1958 tentang Nasionalisasi, tanahtanah tersebut penguasaannya diserahkan
kepada salah satu diantara Instansi
Pemerintah. Dalam hal ini tanah bekas
KNIL dengan memperhatikan penggunaan
tanahnya, penguasaannya diserahkan
kepada Departemen Pertahanan/ TNI
c. Penguasaan Historis Bala Tentara Jepang.
Dalam kenyataan banyak tanah-tanah
TNI yang secara historis diterima dari
penguasaan Bala Tentara Jepang, seperti
lapangan-lapangan terbang, asrama-asrama
dan lain-lain. Mengenai hal ini sudah ada
kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran
Departeman Dalam Negeri No. H.20/5/7
tanggal 9 Mei 1950 dan No 40/25/13 tanggal
13 Mei 1953 dan kemudian ditegaskan
kembali dalam Surat Edaran Direktur
Jenderal Agraria No 593/111/Agr tanggal
7 Januari 1983 yaitu kepada masyarakat
telah diberikan batas waktu 5 tahun untuk
menyelesaikan tuntutan atau klaim. Sesudah
jangka waktu tersebut, tuntutan atau klaim
10
tidak dapat diterima lagi. Hal ini sejalan
dengan ketentuan I.C.W, hapusnya tuntutan
keuangan negara setelah jangka waktu 5
tahun.
d. Tanah-tanah yang diperoleh dengan cara:
(1)Pembelian Tanah untuk Pemerintah
melalui Bijblad 11372 jo. 12746;
(2)Pembebasan tanah menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun
1975;
(3)Pengadaan Tanah menurut Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun
1985;
(4)Pengadaan tanah menurut Keputusan
Presiden No.55 Tahun 1993 jo. Peraturan
Menteri Dalam Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun
1994;
(5)Pencabutan hak berdasarkan UndangUndang Nomor 20 Tahun 1961;
(6)Pelepasan hak secara Cuma-Cuma oeh
pemiliknya kepada Pemerintah .
Tidak termasuk dalam pengertian Tanah
Aset TNI yaitu tanah kepunyaan pihak
lain yang dikuasai atau digunakan atau
dimanfaatkan oleh TNI atau sering disebut
dengan “Tanah Dalam Penguasaan” atau
Tanah Okupasi.
S e t e l a h b e r l a k u n y a U U PA , u n t u k
menyelenggarakan penertiban di dalam rangka
melaksanakan konversi menurut ketentuan
UUPA , maka tanah-tanah Negara yang dikuasai
dengan hak penguasaan sebagai dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
telah ditegaskan statusnya sebagaimana diatur
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9
Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
Penguasaan Atas Tanah Negara Dan KetentuanKetentuan Tentang Pelaksanaan Selanjutnya.
Dalam Peraturan Menteri Agraria tersebut
antara lain dinyatakan bahwa Penguasaan
Atas Tanah Negara sebagai dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953
yang telah diberikan kepada DepartemenDepartemen, Direktorat-direktorat dan Daerah
Swatantra, sepanjang tanah-tanah Negara
tersebut dipergunakan untuk kepentingan
instansi-instansi itu sendiri dikonversi menjadi
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Hak Pakai. Namun apabila penguasaan tanah
tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan
instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga
untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak
kepada pihak ketiga, maka penguasaan atas
Tanah Negara tersebut di atas dikonversi
menjadi Hak Pengelolaan.
Seiring dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara dan peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan itu, istilah Aset TNI pun lahir yang seakan
identik dengan istilah Milik TNI, hal ini terlihat dari
adanya perbuatan hukum TNI atas tanah berupa
jual-beli, sewa menyewa dan lainnya yang telah
menjadi subyek hukum privat atas tanah.
4. Permasalahan Pertanahan
Dari sudut pandang tipologi permasalahan
pertanahan, Deputi Bidang Pengkajian dan
Penanganan Sengketa Konflik Pertanahan
BPN mencatat minimal 8 tipologi masalah
pertanahan, yaitu:
a. Sengketa Penguasaan dan Pemilikan,
sebanyak 1.902 kasus (67,8 %)
b. Sengketa prosedur Penetapan Hak dan
Pendaftaran tanah, sebanyak 343 kasus
(12,19 %)
c. Sengketa batas/letak bidang tanah, sebanyak
90 kasus (3,23 %)
d. Sengketa ganti rugi tanah ex partikelir,
sebanyak 85 kasus (3,04%)
e. Sengketa tanah ulayat sebanyak 92 kasus
(3,33%)
f. Sengketa obyek Landreform sebanyak 78
kasus (2,85%)
g. Sengketa pengadaan tanah sebanyak 77
kasus (2,76 %)
h. Sengketa pelaksanaan putusan pengadilan
sebanyak 134 kasus (4, 76%).
Terhadap tanah aset TNI, konflik tanah
yang terjadi akhir-akhir ini, terutama dalam 12
tahun terakhir sejak reformasi bergulir, banyak
yang melibatkan warga dan TNI. Menurut
Wakil Menhan Letjen Sjafrie Sjamsuddin
bahwa penyebabnya adalah tidak adanya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
bukti kepemilikan atau sertifikat tanah di
wilayah konflik tersebut. Wakil Menhan Letjen
Sjafrie Sjamsuddin usai rapat kerja dengan
Komisi I DPR, Senin tanggal 22 Februari 2010
mengatakan, dari sekitar 3,6 juta hektar tanah
TNI, yang bersertifikat baru sepuluh persen.
Artinya, hampir tiga juta hektar tanah yang
dimiliki TNI belum bersertifikat. Sisanya tanah
milik TNI yang belum bersertifikat itu, masih
diinventarisir guna percepatan hak miliknya.
Terutama lahan yang berpotensi konflik dan
sengketa dengan masyarakat. Panglima TNI
Djoko Santoso mengatakan,TNI akan segera
melakukan sertifikasi lahan untuk menertibkan
aset-aset yang banyak dikuasai pihak lain.
Namun TNI tidak memiliki anggaran untuk
melakukan kegiatan sertifikasi itu.
Karena banyak aset TNI yang bermasalah
dengan bukti kepemilikan, akibatnya masyarakat
sering menggugat di pengadilan. Upaya
sertifikasi ini harus dilakukan untuk melindungi
aset milik negara itu dari gugatan. Kementerian
Pertahanan melalui Badan Sarana Pertahanan
mensosialisasikan Kesepakatan Bersama dan
Perjanjian Kerjasama antara Kemhan dengan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) tentang
Pensertifikatan Tanah, Penanganan serta
Penyelesaian Sengketa dan Konflik Tanah Aset
Kemhan/TNI.
Kesepakatan bersama antara Kementerian
Pertahanan dengan Badan Pertanahan Nasional
tersebut tertuang dalam MoU Nomor: MoU/02/
XII/2008 dan Nomor: 9-SKB-BPN RI-2008
yang ditandatangani Menhan dan Kepala BPN
pada tanggal 30 Desember 2008. Sedangkan
Perjanjian Kerjasama antara Kementerian
Pertahanan dan Badan Pertanahan Nasional
tertuang dalam Perjanjian Kerjasama Nomor:
PKS/031/I/2011/BARANAHAN dan Nomor:
1/SKB.300/I/2011 yang ditandatangani oleh
Kepala Badan Ranahan Kemhan dengan Deputi
Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN
tanggal 6 Januari 2011.
Perjanjian Kerjasama antara Kementerian
Pertahanan dan Badan Pertanahan Nasional
juga tertuang dalam Perjanjian Kerjasama
Nomor: PKS/01/I/2011 dan Nomor: 2/SKB600/I/2011 yang ditandatangani oleh Dirjen
11
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
Kekuatan Pertahanan Kemhan dengan Deputi
Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa
dan Konflik Pertanahan BPN tanggal 6 Januari
2011.
5. Hak Milik Menurut UUPA.
Menurut Pasal 21 ayat (1) UUPA, hanya
warga-negara Indonesia dapat mempunyai
hak milik. Ayat (2) menegaskan bahwa oleh
Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum
yang dapat mempunyai hak milik dan syaratsyaratnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
1963 mengatur tentang badan-badan hukum
yang boleh mempunyai hak milik atas tanah,
yaitu: bank-bank Negara, badan-badan
keagamaan, dan badan-badan sosial. Di sini
jelaslah bahwa TNI sebagai lembaga atau
institusi tidak boleh mempunyai hak milik atas
tanah. Namun sebagai Warga Negara Indonesia,
anggta TNI boleh mempunyai hak milik atas
tanah.
Sebagai lembaga atau institusi, TNI hanya
boleh mempunyai hak pakai atas tanah sebagai
mana diatur dalam Pasal 41 - 43 UUPA, jo
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996,
khususnya Pasal 39 - 58.
Mengenai yang dapat mempunyai hak
pakai diatur dalam Pasal 43 UUPA jo Pasal 39
PP Nomor 40 Tahun 1966, yaitu:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
c. Departemen, Lembaga Pemerintah Non
Departemen, dan Pemerintah Daerah;
d. Badan-badan keagamaan dan sosial;
e. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
f. Badan hukum asing yang mempunyai
perwakilan di Indonesia;
g. Perwakilan negara asing dan perwakilan
badan Internasional.
6. Hanya Hak Pakai Untuk TNI Sebagai
Lembaga atau Institusi
Apabila diperhatikan ketentuan di atas,
maka TNI sebagai lembaga atau institusi masuk
12
dalam kelompok atau huruf c, yaitu sebagai
Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jangka
waktu hak pakai atas Departemen atau lembaga
Pemerintah Non Departemen atau Pemerintah
Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 45
ayat (1) adalah untuk jangka waktu yang tidak
ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan
tertentu. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin
dipenuhinya keperluan tanah untuk keperluan
tertentu secara berkelanjutan, misalnya untuk
keperluan kantor lembaga pemerintah, untuk
kantor perwakilan negara asing dan lain-lain.
Hak Pakai yang diberikan untuk waktu yang
tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan
kepada pihak lain, akan tetapi dapat dilepaskan
oleh pemegang haknya sehingga menjadi tanah
Negara untuk kemudian dimohon dengan hak
baru oleh pihak lain tersebut.
Dengan memperhatikan ketentuan di
atas, maka TNI sebagai lembaga atau institusi,
hanya dapat diberikan hak pakai apabila tanah
itu digunakan untuk kepentingan TNI dan jangka
waktunya adalah tidak terbatas, artinya selama
tanah masih dipergunakan untuk keperluan yang
telah ditentukan. Misalnya untuk kantor, asrama,
sekolah, rumah dinas komandan, lapangan
udara, lapangan tembak, dan sebagainya.
Jadi TNI sebagai lembaga atau institusi
tidak boleh mempunyai tanah dengan hak
milik, dan ini bertentangan dengan undangundang. Namun dalam prakteknya, ada tanah
yang diklaim sebagai milik TNI, misalnya di
Kota Padang, di Jalan Ahmad Yani, dibuatkan
plang dengan kata-kata, “Tanah ini milik TNI”.
Demikian pula tanah di daerah Tunggul Hitam
Padang, dimana menurut keterangan warga
yang menyewa, tanah-tanah yang dikuasai oleh
TNI tersebut disewakan kepada masyarakat oleh
Koperasi TNI Angkatan Udara.
7. Pengelolaan Tanah Aset TNI
Seiring dengan lahirnya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
38 Tahun 2008 tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
serta Peraturan-peraturan yang berkaitan
dengan itu, terhadap Barang Milik Negara
(Tanah Aset Departemen Pertahanan/ TNI)
dimungkinkan adanya perbuatan hukum TNI
atas tanah berupa Pengelolaan yang meliputi:
(a) perencanaan kebutuhan dan penganggaran;
(b)pengadaan;
(c) penerimaan, penyimpanan dan penyaluran;
(d)penggunaan;
(e)penatausahaan;
(f)pemanfaatan;
(g)pengamanan dan pemeliharaan;
(h)penilaian;
(i)penghapusan;
(j)pemindahtanganan;
(k) pembinaan, pengawasan dan pengendalian;
(l) pembiayaan dan
(m)tuntutan ganti rugi.
Dalam artikel ini hal-hal yang bersifat
teknis tidak diulas, namun hanya diulas kegiatan
pengelolaan Aset Kementerian Pertahanan/ Aset
TNI yang relevansi dengan aspek hukum, yaitu
pemanfaatan.
Mengenai pemanfaatan Tanah Aset TNI
diatur dalam BAB VI pasal 19 sampai dengan
31 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006.
Pemanfaatan adalah pendayagunaan tanah
Aset TNI yang tidak digunakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat
Daerah (Kotama) dalam bentuk sewa, pinjam
pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna
serah dan bangun serah guna dengan tidak
mengubah status kepemilikan.
Pemanfaatan tanah milik TNI dilaksanakan
oleh Pengguna (dalam hal ini Panglima TNI/
Kasad) setelah mendapat persetujuan pengelola
(dalam hal ini Menteri Pertahanan). Pemanfaatan
aset tanah TNI disamping digunakan sendiri juga
untuk diserahkan pemanfaatannya kepada fihak
lain, dapat berupa:
a.Sewa.
Sewa adalah pemanfaatan tanah aset
TNI oleh pihak lain dalam jangka waktu
tertentu dengan menerima imbalan uang
tunai. Penyewaan tanah aset TNI di Kotama
dilaksanakan oleh Pangkotama (Kuasa
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengguna) setelah mendapat persetujuan
dari Kasad (Pengguna).
Penyewaan Tanah Aset TNI paling lama
5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang (Pasal
22 ayat 2 PP No 6 Th 2006). Persewaan
dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian
sewa-menyewa yang sekurang-kurangnya
memuat:
(1) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
(2)jenis, luas tanah, besaran sewa dan
jangka waktu;
(3)t a n g g u n g j a w a b p e n y e w a a t a s
biaya operasional dan pemeliharaan
selama jangka waktu penyewaan dan
persyaratan lain yang dianggap perlu.
Hasil penerimaan sewa disetor ke Kas
Negara.
b. Pinjam pakai
Pinjam pakai adalah penyerahan
penggunaan Tanah Aset TNI antara Instansi
TNI dengan Instansi Pemerintah atau antara
Instansi TNI dengan Instansi TNI dalam jangka
waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan
setelah jangka waktu tersebut berakhir
diserahkan kembali kepada pengelola.
Tanah Aset TNI yang dipinjampakaikan tidak
mengubah status kepemilikan Tanah Aset
TNI. Jangka waktu pinjam pakai Tanah Aset
TNI paling lama 2 (dua) tahun dan dapat
diperpanjang. Pelaksanaan pinjam pakai
dilakukan berdasarkan surat perjanjian
sekurang-kurang memuat:
(1) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian;
(2)jenis, luas dan jumlah barang yang
dipinjamkanpakaikan;
(3) jangka waktu peminjaman;
(4)tanggung jawab peminjam atas biaya
operasional dan pemeliharaan selama
jangka waktu peminjaman dan
(5)persyaratan lain yang dianggap perlu.
c. Kerjasama Pemanfaatan
Kerjasama pemanfaatan Tanah Aset
TNI adalah pendayagunaan Tanah Aset TNI
oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dalam rangka peningkatan penerimaan
negara bukan pajak dan sumber pembiayaan
lainnya. Kerjasama pemanfaatan atas Tanah
Aset TNI dilaksanakan dengan ketentuan:
13
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
(1) tidak tersedia dan atau tidak cukup tersedia
dana dalam APBN untuk memenuhi biaya
operasional/ pemeliharaan/ perbaikan
yang diperlukan terhadap Tanah Aset TNI
dimaksud;
(2)m i t r a k e r j a s a m a p e m a n f a a t a n
ditetapkan melalui tender/lelang dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya
5 (lima) peserta/peminat, kecuali untuk
kegiatan khusus dapat dilakukan
penunjukan langsung;
(3) besaran pembayaran kontribusi tetap dan
pembagian keuntungan hasil kerjasama
pemanfaatan ditetapkan dari hasil
perhitungan Tim yang ditetapkan oleh
Menteri Pertahanan.
Jangka waktu kerjasama pemanfaatan
paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak
perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.
d. Bangun Guna Serah dan Bangun serah
Guna
Bangun Guna Serah (BGS) adalah
pemanfaatan Tanah Aset TNI oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/
atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian
didayagunakan oleh pihak lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, untuk selanjutnya diserahkan
kembali tanah beserta bangunan dan/atau
sarana berikut fasilitasnya setelah berakhir
jangka waktu.
Bangun Serah Guna (BSG) adalah
pemanfaatan Tanah Aset TNI oleh pihak
lain dengan cara mendirikan bangunan dan/
atau sarana berikut fasilitasnya dan setelah
selesai pembangunannya diserahkan untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
Dasar pertimbangan BGS dan BSG atas
Tanah Aset TNI yaitu:
(1)tanah Aset TNI belum dimanfaatkan;
(2)mengopstimalkan Tanah Aset TNI;
(3)dalam rangka efisiensi dan efektifitas;
(4)menambah/meningkatkan pendapatan
negara;
(5)menunjang program pembangunan
dan kemasyarakatan Kementerian
14
Pertahanan.
Persyaratan pelaksanaan BGS dan BSG:
(1) Gedung yang dibangun berikut fasilitasnya
peruntukannya harus sesuai dengan
kebutuhan TNI sesuai dengan tugas
dan fungsinya, untuk kepentingan umum
dan atau kepentingan perekonomian/
perdagangan.
(2) Dana untuk pembangunan berikut
penyelesaian fasilitasnya tidak
membebani APBN;
(3) BGS dan BSG harus dapat dimanfaatkan
secara langsung oleh pihak ketiga,
(4)Mitra BGS dan BSG harus mempunyai
kemampuan keuangan dan keahlian,
(5)Obyek BGS dan BSG berupa sertifikat
tanah Hak Pengelolaan atas nama
Kemhan/TNI,
(6) Pihak ketiga akan memperolah Hak Guna
Bangunan diatas tanah Hak Pengelolaan
tersebut
(7)IMB atas nama Kemhan
(8)Mitra kerja BGS dan BSG membayar
kontribusi ke Kas Negara setiap tahun
selama jangka waktu pengoperasian.
(9) Jangka waktu pengguna-usahaan selama
30 (tiga puluh) tahun sejak mulai masa
pengoperasian dan dapat diperpanjang.
8.Kesimpulan
a. Pengaturan tentang pengelolaan Tanah Aset
TNI termasuk di dalam istilah Barang Negara,
yang sesungguhnya terdiri dari dua jenis
barang, yaitu barang bergerak dan barang
tidak bergerak. Terhadap barang bergerak,
TNI dapat menggunakan istilah “Milik TNI”,
namun untuk benda Tidak Bergerak yang
berwujud Tanah, tidak tepat digunakan istilah
“Milik TNI” yang mengesankan sama dengan
“Hak Milik” atas tanah. Lebih tepat apabila
digunakan istilah “Penguasaan “ TNI (dalam
hal ini Kementerian Pertahanan, dan wujud
penguasaannya berupa Hak Pakai dan Hak
Pengelolaan.
b. Aspek hukum penguasaan dan pengelolaan
Tanah Aset TNI berasaskan publickrechtelik
yang meliputi kewenangan untuk
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Aspek Hukum Pengelolaan Tanah Aset TNI
Oleh: Kolonel Chk Dwi Jaka Susanta, S.H, M.H
mengadakan kebijakan (beleidsdaad),
tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelensdaad), pengelolaan
(beheersdaad) dan pengawasan
(toezichthoudensdaad), sebagai
konsekuensi dari asas publickrechtelike dari
Hak Menguasai oleh Negara atas tanah di
Indonesia.
c. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4)
UUPA, pelaksanaan Hak Menguasai dari
Negara atas tanah dapat dikuasakan
kepada Instansi Pemerintahan (termasuk
didalamnya Kementerian Pertahanan atau
TNI)
d. Tanah Aset TNI adalah tanah-tanah dalam
penguasaan TNI, dengan syarat-syarat:
(1)Diperoleh dengan maksud untuk dipakai
dalam kegiatan operasional TNI dan
dalam kondisi siap pakai;
(2)Adanya bukti penguasaan secara
hukum, misalnya Sertifikat Hak Pakai
atau Hak Pengelolaan atas nama TNI
(Kementerian Pertahanan)
(3)Dapat diukur dengan satuan uang.
e. Terhadap Tanah Aset TNI dapat dilakukan
Pengelolaan dengan mendasarkan peraturan
perundangan yang berlaku.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
15
PENGAMANAN ASET TANAH TNI
DARI PENGUASAAN LIAR
Oleh:
Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
P
erang saudara Bharatayudha berkecamuk
di medan Kurusetra, kedua pihak yang
berhadapan Pandawa dan Kurawa, tak
lain adalah saudara misan. Ribuan prajurit dari
kedua pihak berguguran, demikian pula para
ksatria. Ironisnya, darah tertumpah hanya untuk
satu alasan : memperebutkan tanah Astina.
Dalam kisah lain “Rebutan Kikis
Tunggorono” (Rebutan batas wilayah kerajaan)
terjadi peperangan sengit antara Gatot Kaca
melawan Sutedjo dalam menyelesaikan batas
wilayah kerajaan.
Dalam realita sosial, sengketa tanah
juga sering diselesaikan dengan cara-cara
kekerasan, contoh Sengketa tanah antara
Marinir dengan Warga Alas Trogo Pasuruan
Jatim yang menewaskan 4 warga masyarakat
dan 8 orang luka tembak, Sengketa tanah antara
TNI AD (Kodiklat) dengan masyarakat di Desa
Setrojenar Kec. Bulus Pesantren Kab. Kebumen
dengan korban 10 orang warga sipil luka tembak
16
(peluru karet), Sengketa tanah Perkebunan di
Mesuji Lampung antara masyarakat dengan
Perusahaan Kelapa Wasit tahun 2012 dan masih
banyak sengketa-sengketa lain yang terlalu
banyak untuk disebutkan.
Permasalahan pertanahan di Indonesia
secara mendasar telah diatur dalam Undangundang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, dan telah ditindak
lanjuti dengan berbagai peraturan pelaksana
lainnya, namun demikian permasalahan
(sengketa) tanah kian hari bertambah komplek
permasalahannya, sehingga perlu adanya
kebijakan pemerintahan dibidang pertanahan
secara komprehensif.
2. Permasalahan
Dari latar belakang tersebut diatas, kami
merumuskan permasalahan dalam tulisan
menjadi 2, yaitu :
a. Bagaimana makna dan nilai tanah bagi
masyarakat.
b. Bagaimana cara mengamankan tanah milik
TNI dari penguasaan liar.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar
Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
B. PEMBAHASAN
1. Makna dan Nilai Tanah bagi Masyarakat
Tanah merupakan kebutuhan manusia
yang sangat vital, permasalahan yang sangat
mendasar adalah di satu sisi jumlah tanah pada
dasarnya tetap dan tidak mengalami perubahan,
namun disisi lain jumlah penduduk yang
memerlukan tanah makin meningkat jumlahnya.
Permasalahan tersebut sering menjadi faktor
yang mendasar timbulnya sengketa (konflik
pertanahan).
Sengketa tanah dalam persfektif socio
cultural dapat dipahami karena bagi masyarakat
banyak, tanah tidak hanya mempunyai nilai
ekonomis semata tetapi lebih dari itu mempunyai
nilai non ekonomis seperti soal eksistensi, harga
diri dan strata sosial yang sulit dikalkulasikan
dengan sejumlah uang.
Dorongan manusia mempertahankan
tanah pada dasarnya dapat dilihat dari 2
aspek besar yaitu, Pertama, makna tanah
bagi manusia; Kedua, relasi atau hubungan
manusia dengan tanah 1 . Kedua aspek ini
saling berhubungan, bahkan kadang-kadang
menyatu. Akibat hubungan keduanya, akan
muncul perspektif makna dan nilai tersendiri
terhadap tanah. Makin bermakna dan bernilai
relasi yang ada, maka semakin kuat orang akan
mempertahankan tanah tersebut.
Dalam masyarakat Indonesia (khususnya
Jawa), tanah mempunyai makna dan nilai sangat
tinggi bahkan sakral, hal ini dapat kita ketahui
dari filosofi Jawa dalam mempertahankan hak
atas tanah, yaitu “sedumuk bathok senyari bumi
sun belani nganti pecahing dodo lutahing ludiro”
(dalam hal mempertahankan wanita/harga
diri dan tanah kalau perlu sampai titik darah
penghabisan).
Di samping sengketa (konflik) tanah di luar
pengadilan, sengketa tanah yang diselesaikan
melalui gugatan di Pengadilan merupakan
1. Wartaya Winangun. Tanah Sumber Nilai Hidup.
Kanisius. Yogyakarta. 2004. Hal 72.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
perkara yang menonjol dari segi kuantitas.
Dalam keterangan Ketua Mahkamah Agung RI
pada akhir tahun 2010 yang lalu jumlah perkara
Kasasi yang diperiksa di Mahkamah Agung,
tujuh puluh lima persennya adalah perkara
gugatan tentang tanah 2. Hal tersebut dapat
dipahami bahwa semenjak reformasi bergulir
terjadi pemahaman yang keliru terhadap makna
demokrasi, demokrasi dipahami secara salah
yaitu kebebasan berbicara, berpendapat dan
berbuat bebas apa saja untuk kepentingan
rakyat. Dalam masyarakat sendiri terjadi
proses konsolidasi yang semakin menguat
dengan adanya ruang politik yang lebih
terbuka, sementara kekuasaan dan kekuatan
negara dan aparatur-aparaturnya melemah
semenjak jatuhnya pemerintahan orde baru
sehingga terjadi pendudukan, penggarapan atau
pengambilan manfaat dan penjarahan tanah
oleh rakyat secara masif terlepas ada tidaknya
alas hak yang mereka miliki, dan hal ini juga
terjadi pada tanah-tanah milik TNI.
2. Cara Pengamanan Tanah Milik TNI dari
Penguasaan Liar
a. Gambaran Singkat Tanah Milik TNI
1) Data tanah milik Kemhan/TNI
a) Tanah yang digunakan dan dikuasai
Kemhan dan TNI sebanyak 12.814
bidang dengan luas seluruhnya
3.200.898.298 m2.
b) Dari Tanah tersebut yang telah
bersertifikat baru sebanyak 2.946
bidang (22,99%) dengan luas
371.075.405,50 m2.
c) Tanah yang belum bersertifikat
sebanyak 9.954 bidang dengan luas
2.289.822.892,50 m2.
d) Tanah Kemhan/TNI yang bermasalah
sebanyak 389 bidang (3,03%) seluas
258.379.752 m2.
(data dari Biro Hukum Kemhan, 27 Juli
2012).
2. Metro TV. Oktober 2010
17
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar
Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
2) Asal-usul tanah Kemhan/TNI
Tanah dan bangunan yang dipakai
oleh Kemhan/TNI tersebut diperoleh dari:
a) Pembelian atau pengadaan atas
beban APBN.
b) Pembelian atau pengadaan satuan.
c) Bekas peninggalan pemerintahan
Hindia Belanda (KNIL atau
Departemen Lain).
d) Bekas peninggalan pemerintahan
Kolonial Jepang (DAI NIPPON).
e) Okupasi Ex Milik Asing dan Organisasi
terlarang (Sekolah China).
f) Hibah dari masyarakat.
g) Tanah dan bangunan bekas yayasan
milik TNI.
Bahwa tanah-tanah tersebut diatas
yang dikuasai TNI yang merupakan
barang milik negara (KEMHAN) adalah
tanah-tanah yang sudah terdaftar pada
Daftar Inventaris Kekayaan Negara
Kementrian Keuangan, namun sebagian
belum terdaftar pada daftar IKMN
sehingga tidak mendapatkan alokasi
dana perawatan dari APBN3.
b. Langkah-langkah Pengamanan
Tanah atau bangunan yang kita miliki
(kuasai) agar tidak diserobot, dikuasai dan
diperjualbelikan oleh pihak-pihak yang tidak
bertanggung jawab perlu dilakukan tindakantindakan pengamanan, yaitu antara lain :
1)Inventarisasi.
Inventarisasi adalah kegiatan untuk
melakukan pendataan, pencatatan, dan
pelaporan hasil pendataan barang milik
negara, termasuk di dalamnya adalah
tanah dan bangunan yang dipakai atau
dikuasai oleh TNI. Inventarisasi tersebut
wajib dilakukan dan dilaporkan oleh
kuasa pengguna, pengguna barang
milik negara dan dilaporkan secara
hierarkhi kepada Menteri Keuangan RI
selaku pengelola barang milik negara.
3. Biro Hukum Kemhan. 28 Juli 2011.
18
Tujuan daripada inventarisasi adalah
untuk penyusunan rencana pemerintah,
perencanaan kebutuhan pengadaan
dan pemeliharaan barang milik negara
setiap tahun untuk digunakan sebagai
bahan penyusunan rencana anggaran,
pengamanan administratif terhadap
barang milik negara dan selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan data
yuridis jika tanah dan bangunan tersebut
akan disertifikatkan (terhadap tanah dan
bangunan yang belum bersertifikat).
2) Penguasaan fisik.
Penguasaan fisik terhadap suatu
tanah atau bangunan termasuk cara
yang tepat dan aman untuk melindungi
hak milik tanah dari penguasaan ilegal
pihak lain. Penguasaan fisik untuk
tanah milik TNI dapat dilakukan dengan
membuat bangunan, memagar, membuat
pos penjagaan, menempatkan personel
(pasukan) secara terus menerus,
memasang papan nama dan memasang
papan pengumuman larangan masuk.
Dari segi yuridis penguasaan fisik
secara terus menerus terhadap bidang
tanah lebih dari 20 tahun dapat dijadikan
alat bukti untuk pendaftaran hak atas
tanah ke BPN, jika alat-alat bukti lain
(surat-surat dan keterangan saksi)
tidak lengkap/tidak ada, sepanjang
penguasaan tersebut dilakukan dengan
itikad baik dan secara terbuka oleh yang
bersangkutan sebagai yang berhak atas
tanah, serta diperkuat oleh kesaksian
orang yang dapat dipercaya (PP No. 24
tahun 1997 tentang pendaftaran tanah).
3) Pengumpulan data-data Yuridis.
Yang dimaksud data Yuridis adalah
surat-surat tanah atau surat-surat yang
berkaitan dengan tanah yang kita miliki
atau kuasai sebagai alas hak yang sah.
Surat-surat tersebut dapat berupa :
a) Sertifikat hak
b) Akta Jual Beli dari PPAT
c) Surat Keputusan pemberian hak dari
pejabat yang berwenang.
d) Akta pemindahan hak yang dibuat
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar
Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
Kepala Adat/Kepala Desa atau
kelurahan.
e) Akta Pemindahan Hak dari PPAT.
f) Risalah lelang
g) Petuk Pajak Bumi/ Landrente/ Girik/
Pipil/ Ketitir dan Verponding Indonesia
h) Surat Keterangan riwayat tanah yang
pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan
PBB.
i) Kwitansi, Bukti Pembayaran, Berita
Acara ganti rugi.
j) Akta Hibah
k) Lain-lain bentuk alat pembuktian
tertulis dengan nama apapun juga
sepanjang berkaitan dengan tanah
yang kita miliki atau kita kuasai.
S u r a t - s u r a t t e r s e b u t d a p a t
dipergunakan sebagai alat bukti
jika sewaktu-waktu ada pihak-pihak
tertentu yang mempermasalahkan atau
menggugat tanah yang kita miliki atau
kuasai dan juga sebagai persyaratan
yang harus dilampirkan jika sewaktuwaktu kita akan mengsertifikatkan tanahtanah tersebut atau melakukan perbuatan
hukum lain.
Jika tanah yang kita miliki atau
kuasai tidak ada suratnya atau suratnya
belum lengkap maka perlu diusahakan
dengan cara mengurus dan berkoordinasi
dengan pihak-pihak terkait, yaitu Kum,
Slog, satuan pengguna, kantor desa/
kelurahan, kantor PBB, BPN, PPAT dan
lain-lain.
4) Memperketat SIP
Surat Ijin Penempatan (SIP) rumah
dinas kepada prajurit, PNS dan Pejabat
di lingkungan TNI hendaknya diterbitkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
yaitu berdasarkan :
a) Surat Keputusan Kasad Nomor
Skep.89/III/1973 tanggal 29 Maret
1973.
b) Keputusan Menhankam/Pangab
Nomor Kep-28/VIII/1975 tanggal 21
Agustus 1975.
c) Instruksi Menhankam/Pangab Nomor
Ins.23/VIII/1975 tanggal 21 Agustus
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
1975.
d) Juklak Kasad Nomor Juklak/8/
VIII/1990 tanggal 21 Agustus 1990.
Seperti yang kita ketahui bersama
banyak sekali SIP yang sudah mati
atau pemegang surat ijinnya sudah
tidak berhak lagi karena suatu alasan
tertentu (pensiun, pindah satuan,
dipecat, meninggal dunia, dll) namun
yang bersangkutan atau keluarganya
tetap tinggal di rumah dinas tersebut
namun pejabat yang berwenang masih
memberikan toleransi. Bahkan banyak
terjadi SIP dioperkan pada pihak lain/
over VB (Over Vestigeng Besluit =
pemindahan surat ijin) tanpa seijin dari
pejabat yang berwenang.
5) Mengelola Tanah/ Bangunan Sesuai
Ketentuan.
Pengelolaan tanah dan bangunan
yang meliputi perencanaan kebutuhan
dan penganggaran, pengadaan,
penggunaan, pemanfaatan, pengamanan
dan pemeliharaan, penilaian,
penghapusan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pembinaan,
pengawasan dan pengendaliaan
harus perpedoman pada Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah jo Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penggunaan,
Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan Barang Milik Negara.
Hal-hal yang sering terjadi di
lingkungan TNI adalah banyaknya kasus
pemanfaatan tanah/ bangunan dalam
bentuk sewa, pinjam pakai dan kerjasama
pemanfaatan tidak sesuai dengan
ketentuan tersebut diatas sehingga
berpotensi menjadi permasalahan hukum
(sengketa).
6) Pendaftaran tanah (Pensertifikatan
Tanah).
Sebagaimana kita ketahui, sebagian
besar tanah/bangunan TNI belum
bersertifikat sehingga perlu secara
19
Pengamanan Aset Tanah TNI Dari Penguasaan Liar
Oleh: Letkol Chk Maryono, S.H., M.H.
bertahap menurut skala prioritas untuk
didaftarkan ke BPN guna mendapatkan
sertifikat hak atas tanah (Sertifikat Hak
Pakai).
Tujuan pendaftaran tanah adalah:
a) Untuk memberikan kepastian hukum
dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang
tanah, satuan rumah susun dan
hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan.
b) Untuk menyediakan informasi kepada
pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk pemerintah agar dengan
mudah dapat memperoleh data
yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan
rumah susun yang sudah terdaftar.
c) Untuk terselenggaranya tertib
administrasi (Pasal 3 PP 24 Tahun
1997 tentang Pendaftaran Tanah).
Sedangkan fungsi sertifikat adalah
merupakan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat mengenai data fisik data yuridis
yang termuat di dalamnya, sepanjang
data fisik dan data yuridis tersebut sesuai
dengan data yang ada dalam surat ukur
dan buku tanah hak yang bersangkutan
(Pasal 32 PP 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah).
Sertifikat merupakan tanda bukti hak
yang kuat dalam arti bahwa selama tidak
dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan
data yuridis yang tercantum didalamnya
harus diterima sebagai data yang benar.
Sebagai surat tanda bukti hak,
maka fungsi sertifikat terletak pada
bidang pembuktian. Karena itu, bila
kepada hakim ditunjukkan sertifikat
hak atas tanah, maka hakim harus
menerima keterangan dalam sertifikat
sebagai hal yang benar, bila tidak dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti lain
bahwa keterangan dalam sertifikat itu
20
salah (palsu).
C. PENUTUP
Penguasaan tanah oleh siapapun perlu
adanya alas hak atau bukti kepemilikan yang
sah, bukti kepemilikan hak atas tanah yang
sempurna sesuai ketentuan hukum agraria
adalah “Sertifikat Hak Atas Tanah”. Karena
Sertifikat hak tanah memuat data fisik dan data
yuridis yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Cara memperoleh sertifikat hak atas tanah
adalah dengan cara mengajukan permohonan
kepada Kepala Kantor Pertanahan dengan
dilengkapi data-data yuridis yang berupa Suratsurat yang kita miliki berkaitan dengan tanah
yang kita sertifikatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Winangun, Wartaya Y. 2004. Tanah Sumber Nilai
Hidup. Kanisius. Yogyakarta.
Metro TV. Oktober. 2010. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok-pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/
PMK.06/2007 tentang Tatacara pelaksanaan
penggunaan, pemanfaatan, penghapusan,
dan pemindatanganan barang milik negara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
TERORISME SEBAGAI ANCAMAN
TERHADAP KEUTUHAN NKRI
Oleh:
Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
R
adikalisme yang lahir dari
fundamentalisme dan berujung pada
terorisme merupakan fenomena global,
yang dapat ditemui dalam agama-agama besar
di dunia. Ketika perspektif itu bagi sebagian
orang berbicara tentang fundamentalisme berarti
melakukan tuduhan. Hal tersebut disebabkan
fundamentalisme tidak menunjukkan keyakinankeyakinan agama, tetapi lebih merupakan
ideologi politik, yakni masalah yang menyangkut
watak negara, masyarakat, dan politik dunia.
Akan tetapi terorisme dewasa ini diartikulasikan
melalui simbol-simbol agama.
Fundamentalisme Kristen yang dalam
administrasi pemerintahan George W. Bush di
Amerika Serikat merupakan pendukung utama
neoimperalis (Maarif, 2009), tumbuh sejak
sekitar abad ke-19 dan semakin berkembang
sampai dewasa ini. Dalam tradisi Barat,
fundamentalisme ditandai dengan keberhasilan
industrialisasi yang membawa hal-hal yang
positif dan negatif pada saat yang sama.
Lahirnya fundamentalisme Yahudi
berkaitan erat dengan konstelasi geopolitik,
sehingga lahirnya fundamentalisme tersebut
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
ditandai dengan lahirnya kaum Zionis.
Fundamentalisme Yahudi ini merupakan sebuah
faham yang meyakini bahwa tanah Palestina
adalah tanah keberkatan, yang merupakan
satu-satunya yang dihadirkan bagi anak-anak
Tuhan. Yahudi menjadi agama untuk klaim
pada tanah, atau untuk keturunan dan teritorial.
Ide inilah yang merupakan cikal bakal lahirnya
negara Israel di Palestina yang mendapat
perlawanan dari penduduk setempat dengan
cara-cara intifada (gerilya) (Haryono, 2005).
Hampir satu generasi sebelum fundamentalisme
di Amerika Serikat, Gereja Katholik Roma telah
mengeluarkan dan menyebarkan The Syllabus
of Error (1864). Paus Pius IX mengecam hampir
seluruh aspek modernitas, melakukan kampanye
anti medornitas dalam sebuah platform gerejani,
ketimbang pembenaran mutlak terhadap kitab
suci. Doktrin tentang kesempurnaan Paus
didefinisikan oleh Dewan Vatican Pertama pada
tahun 1870 (Appleby, 2006).
Gerakan-gerakan radikalisme Islam yang
muncul di Indonesia pada dua dasa warsa
terakhir tidak terlepas dari perkembangan
gerakan Islam di dunia. Ini sejalan dengan
21
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
pendapat sejumlah pengamat. Dalam bukunya
Joining the Caravan?: The Middle East, Islamism
and Indonesia, Greg Fealy dan Anthony
Bubalo menjelaskan bahwa maraknya gerakan
radikalisme Islam bukan hanya fenomena
di Indonesia. Juga bukan fenomena yang
datang tiba-tiba. Gerakan ini lahir dalam situasi
politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang oleh
pendukung gerakan Islam radikal dianggap
sangat memojokkan umat Islam. Di dunia Islam
menurut KH Hasyim Muzadi dan sejumlah
pakar, fundamentalisme dan radikalisme berakar
sejak akhir Khulafaurrasyidin (kepemimpinan
empat khalifah Islam: Abu Bakar Asyidik, Umar
bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib). Akar Hizbul Takfiriyyah ini mulai
muncul sejak pecahnya Islam menjadi kelompok
Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan sebagainya.
Misalnya pembunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib
adalah orang yang amat taat beragama. Tetapi,
karena pengertian politik yang diagamakan dan
agama yang dipolitikkan, akhirnya terjadilah
peperangan.
Di samping faktor ketidakadilan global
terhadap negara-negara Muslim, seperti
yang dilakukan Presiden Amerika Serikat
George Walker Bush, Wahabisme kontemporer
merupakan paham yang menyuburkan lahirnya
paham-paham yang mengusung gerakan
terorisme. Beberapa orang berkeberatan dengan
pengaitan Wahabi dengan gerakan radikalisme
dan terorisme yang saya kemukakan ini. Tetapi
merupakan kenyataan bahwa kelompok umat
Islam yang memutuskan para pelaku teror global,
merupakan entitas yang mengaku berorientasi
pada pemurnian tauhid (keesaan Tuhan). Dasar
yang dikemukakannya adalah manhaj salafus
shalih yang dikenal di kalangan aktivis Islam
sebagai “salafi”. Kelompok ini sebenarnya
tidak ada bedanya dengan entitas-entitas lain
yang eksis di kalangan umat Islam dalam
pemahaman terhadap akidah dan fikih. Namun
sebagian kaum salafi di Arab Saudi sekarang ini
mempunyai sikap keagamaan yang ganjil, yang
berlebihan dalam memberi stigma kafir terhadap
kelompok mana saja di luar mereka. Sikap ini
di kalangan Islam dikenal dengan sikap yang al
ghuluw fi tafkir (Ulumiddin, 2008).
22
Tauhid dalam versi mereka (termasuk
Osama bin Laden) diyakini dapat mempersatukan
kaum Muslimin di seluruh dunia. Dengan hanya
satu pemahaman, kata Osama bin Laden, maka
kepentingan berdirinya kekhalifahan global akan
terwujud. The spirit of religious brotherhood
among Moslems has been strengthened which
is considered a great step towards uniting the
Moslems under the state of monotheism for
the purpose of establishing the rightly guided
Caliphate, God willing (OBL, 16 Februari 2003).
Fundamentalisme dan Terorisme
Di dunia Islam secara sporadis
sejak beberapa tahun terakhir ini gejala
fundamentalisme sangat dirasakan. Yang paling
ekstrem di antara mereka mudah terjatuh pada
perangkap terorisme (Maarif, 2009). Jihad yang
dibungkus secara ontologis untuk melakukan
terorisme, merupakan kekuatan yang sangat
dahsyat di abad ke-21 ini untuk mencapai tujuan
politik. Dari sini banyak pihak mulai menaruh
perhatian mereka yang mengaku beraliran
Wahabi dan Ikhwanul Muslimin, yang dengan
satu dan lain hal berkaitan dengan jihad global
dan teologi bom syahidnya (Delong-Bas, 2004).
Gerakan mereka ini seringkali juga diberi simbol
sebagai Islam politik.
Golongan Islam politik menurut Basam-Tibi
(2000) adalah kaum fundamentalis universal,
yang mengamuk melawan ketidakadilan dan
penerapan kekuasaan Amerika Serikat dan
pihak Barat dan Timur Tengah. Kekuatan
perlawanan tersebut dibangun secara semesta
dengan menggunakan dalih patriotism dan
spirit keagamaan. Dengan keyakinan terhadap
kekuatan yang dibangun itu, maka artikulasi
politik yang santun yang mendahulukan dialog
dan negosiasi tidak lagi mendapatkan tempat
(Arubusman, 2006). Penilaian terhadap jiwa
manusia sudah sedemikian rendah, seolah tidak
ada bedanya dengan batu. Betapapun baiknya
suatu tujuan, jika kekerasan yang dipilih untuk
mencapainya, maka secara keseluruhan konsep
itu tidak akan mendapat legitimasi sebagai suatu
kebenaran.
Sikap kekerasan yang menjadi pilihan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
dalam melakukan perlawanan oleh sekelompok
umat Islam dengan bendera jihad ini, bukan
masalah yang sederhana. Banyak aspek
yang terkait menjadi latar belakang, motif
maupun faktor yang mendukung terjadinya
tindakan-tindakan itu. Di antaranya adalah
fundamentalisme agama, kemudian juga
dipengaruhi oleh perkembangan pada tataran
geopolitik global-nasional dan juga persoalanpersoalan yang ditimbulkan dalam konteks
transisi menuju demokrasi di berbagai negarabangsa.
Menurut Arubusman (2006)
fundamentalisme Islam pertama-tama harus
dilihat sebagai suatu reaksi terhadap masalahmasalah yang mengiringi modernitas, yang
dianggap keluar terlalu jauh dari ajaran agama
Islam. Kecenderungan ini merupakan suatu
gejala ideologis sebagai respons terhadap gejala
ideologis pula, yang antara lain merupakan
buah dari benturan antar-budaya. Oleh karena
itu fundamentalisme Islam dapat dikaitkan
dengan realitas geopolitik global, serta pemikiran
manusia di balik realitas internasional tersebut.
Terdapat beberapa penjelasan yang
menghampiri mengapa fundamentalisme Islam
cenderung menggunakan kekerasan sebagai
jalan dalam memperjuangkan aspirasi politiknya.
Pada tataran geopolitik global, umat Islam di
Timur Tengah berada dalam posisi yang tidak
menguntungkan, baik secara politik maupun
ekonomi. Refleksi terhadap kejayaan Islam
yang pernah diraih beberapa abad yang lalu
serta kesimpulan subyektif, yang menganggap
umat Islam mundur karena meninggalkan
ajaran yang telah digariskan oleh Allah SWT.
Oleh karenanya, hal itu harus diperjuangkannya
kembali dengan syariat Allah. Banyaknya negara
yang mengalami instabilitas politik karena
menerapkan sistem demokrasi, juga menjadi
pendorong tumbuh suburnya fundamentalisme.
Bagi golongan mereka, demokrasi adalah
sistem pemerintahan yang tidak stabil, karena
landasannya berangkat dari pergulatan empiris
pemikiran manusia yang sekuler. Sebaliknya
sistem Islam menurut pendapat mereka akan
lebih menjamin stabilitas, walaupun hal tersebut
tidak didukung oleh fakta yang bersifat empirik.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Kalau dipetakan secara sederhana
gerakan-gerakan Islam mutakhir yang
berkembang ini (menurut pemetaan HAR
Gibb dalam Modern Trend) dan kemudian
menginspirasi lahirnya gerakan Islam radikal di
Indonesia, antara lain; Jihad Sokoto di Nigeria
pada awal abad 19, dipimpin oleh Syekh Utsman
di Muhammad bin Fudi, gerakan Mahdi di Sudan
yang dipimpin Muhammad bin Abdullah (18341886), Ikhwanul Muslimin di Mesir yang digagas
oleh Hasan Al Bana (1906-1949), Ahlul Hadis
di India di akhir abad 19 yang dipengaruhi oleh
Syekh Waliyullah, Jamaat Islami di Pakistan
yang didirikan oleh Sayyid Abdul A’la Al Maududi
pada tahun 1941. Di samping itu ada tokoh-tokoh
perorangan yang disebut sebagai pengusung
fundamentalisme, di antaranya adalah Sayyid
Qutub.
Pada masa Post Modernisme, gerakangerakan fundamentalisme menyatukan langkah
dalam sebuah gerakan politik dan kekuatan
bersenjata untuk melawan hegemoni Barat,
yang dianggap semakin mencengkeramkan
kekuasaannya di berbagai kawasan,
terutama negara-negara Muslim yang sedang
berkembang. Gerakan-gerakan itu, misalnya
Jamaah Islamiyah di Asia Tenggara, Gerakan
Thaliban di Afganistan, Gerakan Al Qaeda di
Timur Tengah, Partai FIS di Aljazair dan lain-lain.
Di Indonesia lahir juga gerakan-gerakan
Islam sejenis itu di akhir Orde Baru hingga era
Reformasi ini. Namun tidak semua gerakan
Islam menjadi gerakan fundamentalisme
dan radikalisme. Juga tidak semua gerakan
fundamentalisme yang lahir, melakukan aksiaksi terorisme. Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2004
menerbitkan hasil penelitiannya dalam bentuk
sebuah buku berjudul “Gerakan Salafi Radikal di
Indonesia”. Ada empat kelompok yang mendapat
cap “salafi radikal” dalam buku ini, yaitu Front
Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbuttahrir
(www.hidayatullah.com, 2004).
Entah apakah organisasi yang
dikelompokkan sebagai radikal tersebut
berkurang atau malah bertambah, tidak
23
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
ada lembaga resmi yang secara otoritatif
berhak memberikan label radikal kepada
sekelompok warga masyarakat. Peta gerakan
fundamentalisme-radikal kini tentu jauh
berbeda dengan enam tahun yang lalu. Setelah
pengeboman di berbagai tempat di tanah air
kita dan sejumlah pelaku terorisme ditangkap,
kita dihadapkan fakta baru di Nanggroe Aceh
Darusalam, dikabarkan sejumlah pentolan
kelompok garis keras bersatu mendirikan
Tanzim Al-Qaidah Aceh. Mereka mengatasi
perbedaan lama dan menggalang pengikut baru.
Beberapa bekas narapidana terorisme terlibat
lagi. Pola perekrutan mereka juga tidak lagi
konvensional yang selama ini mengandalkan
tiga jalur: hubungan kekerabatan, pertemanan,
dan hubungan guru-murid, tetapi sudah melebar
dengan misalnya, merekrut para korban tsunami
(Tempo, 2010). Fakta ini jika kita analisis, akan
berbicara banyak hal tentang terorisme di
Indonesia.
Banyak definisi terorisme dan definisi itu
sangat tergantung pada perspektif posisi dan
kepentingan pemberi definisi. Dari berbagai
definisi itu dapat disimpulkan bahwa terorisme
adalah suatu tindakan yang didasari sistem
nilai dan cara pandang dunia, sehingga untuk
memahaminya memerlukan suatu kerangka
dan metodologi pemikiran yang biasa digunakan
dalam tradisi filsafat. Sekadar contoh, seringkali
mereka yang diberi label teroris; pelaku kejahatan
itu justru memandang diri dan aksi terornya
sebagai tindakan suci yang berguna bagi
kemanusiaan. Logika dan bahasa serta argumen
yang mereka bangun itu, perlu dipahami untuk
mencari solusi perdamaian (Hendropriyono,
2009).
Pada umumnya terorisme diwadahi
dalam organisasi yang relatif kecil, tertutup
dan bergerak di bawah tanah secara rahasia
(klandestin). Pengorganisasian mereka yang
ramping dengan infrastruktur yang lemah,
diisi oleh anggota-anggota yang selektif yang
homogen dalam ide, pemikiran, keyakinan
dan nasib yang dalam tata kerjanya tidak
membutuhkan birokrasi yang berbelit-belit
(Suradji, 2005).
Dalam perkembangannya terorisme
24
modern yang terjadi pada pasca Perang Dunia
II dilakukan oleh ratusan organisasi dengan
berbagai macam motif, tujuan, dan sasaran,
baik yang disponsori maupun tanpa sponsor
dari negara berdaulat mana pun. Mereka berasal
dari Irlandia Utara, Jerman, Italia, Australia,
Yunani, Spanyol (RMS), Amerika Latin, Israel,
India, Jepang, China, Korea (Utara), Libya,
Iran, Suriah, Irak, Yaman Selatan, bangsa
Timur Tengah, dan berbagai bangsa Asia-Afrika
lainnya. Benang merah yang dapat ditarik dari
varasi bentuk, jenis, dan motif terorisme tersebut
adalah, bahwa mereka mengorbankan banyak
orang sipil (noncombatant) yang tidak bersalah,
bahkan tidak tahu apa-apa (Hendropriyono,
2009).
Selanjutnya terorisme dalam lingkup
universal yang dapat menggoncangkan opini
dunia, biasanya dapat dilakukan karena
disponsori oleh suatu negara. Namun
megaterorisme seperti yang terjadi di abad ini
juga terbukti dapat disponsori oleh institusi non
negara: Al Qaeda, suatu jaringan organisasi
transnasional yang kekuatannya melebihi
negara berdaulat setingkat Afghanistan. Banyak
pemuda dari negeri-negeri Muslim termasuk
dari Indonesia yang terlibat dalam perang
Afghanistan. Terorisme mulai merasuki negerinegeri Muslim itu melalui alumni Afghanistan,
seperti antara lain yang dilakukan oleh Amrozi
dkk beberapa waktu lalu. Doktrin terorisme mulai
bersinggungan dengan doktrin perang jihad
dari aliran keras asing (transnasional), yang
mengaku sebagai pengikut Wahabi, bahkan
dengan teologi mati syahid yang dijanjikan
surga.
Ancaman terhadap NKRI
Terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan masyarakatnya yang
beragam, dari suku, agama, ras, dan golongan,
tak terlepas dari sikap legowo para tokoh
Islam seperti Soekarno, Mohammad Hatta, H.
Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Kahar Muzakir
dll, dengan merelakan tujuh kata “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para
pemeluknya” yang ada dalam Piagam Jakarta.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
Maka Preambule atau Pembukaan UUD 1945
dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia,
telah menyepakati Pancasila sebagai asas
berbangsa dan bernegara, maka hal itu bias
disebut sebagai suatu kemunduran besar.
Dengan alasan apapun, dan dengan cara
apapun, upaya mengganti Pancasila dengan
ideologi lain sama halnya dengan mengkhianati
niat luhur para pendiri bangsa. Kita, dengan
ideologi dan konstitusinya, sebenarnya selalu
“welcome” terhadap gerakan-gerakan apapun,
termasuk di dalamnya gerakan-gerakan Islam,
yang pada akhir-akhir ini melakukan berbagai
aktivitasnya, baik melalui gerakan keagamaan,
sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Selama
yang dilakukan adalah misi “fastabikul khairat”
(berlomba dalam kebaikan), tentu kita sambut
dengan baik. Yang menjadi masalah jika
gerakan-gerakan itu melakukan aktivitas yang
bertentangan dengan semangat memelihara
kemajemukan, bertentangan dengan Pancasila
dan UUD 1945, baik melalui perjuangan politik,
apalagi dengan cara-cara kekerasan dalam
bentuk-bentuk terorisme. Walaupun ada sebagai
(kecil) masyarakat Indonesia mendukung aksi
terorisme, tetapi Alhamdulillah bagian terbesar
rakyat tetap menganggap terorisme sebagai
musuh bersama. Karena dari perspektif apapun
tidak ada sisi baik dari dan akibat terorisme.
Gerakan-gerakan Islam yang lahir di
Indonesia dan kemudian dapat menyesuaikan
diri dengan perjalanan bangsa, malah menjadi
kekuatan yang konstruktif dalam pembangunan
bangsa. Hal itu karena mereka memahami
kebhinekaan bangsa, dengan semangat toleransi
yang tinggi, seperti yang ditunjukkan oleh tokohtokoh pendiri bangsa. Sebaliknya, mereka
yang datang dengan membawa ideologinya
tersendiri dan memaksakan kehendak
kemudian berbenturan dengan saudara-saudara
sebangsanya sendiri. Benturan-benturan
ideologis inilah yang terus menjadi masalah dan
menjadi “PR” besar bagi bangsa kita.
Timbul kegelisahan sejauh mana
ancaman terorisme terhadap ketahanan
nasional, utamanya terhadap keutuhan NKRI?
Kegelisahan itu wajar, mengingat sejumlah
gerakan Islam fundamentalis selalu meneriakkan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
prinsip penegakkan khilafah di negeri ini.
Penegakkan Syariah Islam menjadi harga
mati. Artinya, mereka tidak lagi menginginkan
kebhinekaan atas nama mayoritas. Kelompokkelompok di luar Islam merasa terancam
eksistensinya, yang tentu saja akan memancing
reaksi dan kegelisahan. Suasana tenteram
damai yang dengan susah payah dibangun
sejak kemerdekaan akan berantakan. Konflikkonflik horizontal akan meluas di mana-mana.
Daerah-daerah yang penduduknya mayoritas
non-Muslim merasa tidak kerasan berada di
bawah naungan NKRI. Jika demikian halnya,
cukup beralasan bagi mereka untuk memiliki
keinginan merdeka terlepas dari NKRI. Dalam
era demokrasi saat ini, dunia akan memberikan
dukungan kepada setiap kelompok yang hak
demokrasi dan hak kemanusiaannya terzalimi.
Jika dirinci lebih jauh, terorisme
sebenarnya merupakan ancaman terhadap
ketahanan ideologi, ancaman terhadap
ketahanan politik, ancaman terhadap
ketahanan keamanan, serta ancaman terhadap
kemanusiaan (Hendropriyono, 2009). Karena
terorisme itu bersifat global, ancamannya tidak
bersifat domestik. Saya mengajukan empat
saran pokok menghadapi ancaman terorisme
tersebut, yakni:
-Pertama, PBB dan negara-negara maju
harus bertanggung jawab terhadap praksis
demokratisasi global yang etis.
-Kedua, Negara-negara Islam di dunia,
termasuk Indonesia yang berpenduduk
Muslim terbesar, bekerja sama untuk
membersihkan pengaruh-pengaruh
fundamentalisme/aliran keras ala Khawarij,
yang mengaku sebagai gerakan Wahabi
kontemporer. Hal ini merupakan syarat
pokok untuk menetralisir lingkungan, yang
dapat dijadikan habitat bagi terorisme dalam
melakukan regenerasi.
-Ketiga, Revitalisasi Pancasila perlu dilakukan
sebagai program yang bottom up (dimulai
dari penyerapan aspirasi masyarakat),
yang disesuaikan dengan filsafat bangsa
Indonesia itu.
-Keempat, Mengingat ancaman kemanusiaan
dari aksi terorisme yang melibatkan keyakinan
25
Terorisme Sebagai Ancaman Terhadap Keutuhan NKRI
Oleh: Jenderal TNI (Purn) DR. Ir. H. AM. Hendropriyono, S.E., S.H., M.H.
keagamaan, sudah waktunya gerakan semua
agama memikirkan ulang misi kemanusiaan
dengan menafsir, merekonstruksi kembali
ajaran agama bagi aksi kemanusiaan
global, tanpa memandang latar belakang
pemeluk agama. Demikian pula organisasi
dan gerakan Islam di Indonesia harus
bekerja sama untuk terus mengembangkan
pemikiran ittihad, guna mencari pemecahan
problem kemanusiaan dalam kerangka
kehidupan bangsa dan dunia global. Salah
satu misi suci dari dakwah Islam yang
rahmatan lil ‘alamin adalah pembebasan
seluruh umat manusia dari penindasan oleh
sesamanya dan dari kemiskinan, dengan
nilai dasar penyerahan sepenuhnya tentang
keberimanan seseorang dan suatu bangsa
pada Tuhan Yang Maha Kuasa, Pencipta
alam semesta. Alhamdulillahi badiil haad illa
bayani mahyair rosyad.
Pertanyaan yang sering muncul, aparat
telah bekerja keras, berhasil melumpuhkan
dan membongkar jaringan terorisme, mengapa
gerakan terorisme tidak juga berhenti? Saya
selalu menggambarkan fundamentalisme
dan terorisme itu bagai pohon dengan tanah,
akar, cabang, ranting, daun, dan atmosfer di
sekitarnya. Selama akar-akar terorisme masih
kuat menancap di lahan yang subur, maka
memangkas daun-daun tidak akan mematikan
pohon terorisme itu.
26
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh:
Letkol Chk Agustinus PH., S.H., M.H.*
A.Pendahuluan.
D
alam kurun waktu beberapa bulan
terakhir ini, istilah Hakim Pemeriksa
Pendahuluan sering dibahas dan
dibicarakan, baik pada tataran akademis
oleh para akademisi maupun tataran praktis
oleh para penegak hukum. Tidak hanya dari
segi istilah, tetapi terlebih pada substansi
materi dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan,
telah mengundang pertanyaan dan sekaligus
menimbulkan perdebatan. Perdebatan seputar
Hakim Pemeriksa Pendahuluan mulai muncul
ketika Rancangan Undang-undang (RUU)
Hukum Acara Pidana disusun dan akan
menggantikan Hukum Acara Pidana yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.
Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan
memang tidak dijumpai di dalam terminologi
hukum acara pidana di Indonesia pada Undang-
* Dosen STHM “AHM-PTHM”, Mahasiswa Program
Doktor Universitas Padjadjaran.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
merupakan istilah dan substansi baru dalam
konsep RUU Hukum Acara Pidana. Telah
dimaklumi bahwa sejak beberapa waktu lalu
pemerintah berkeinginan memperbaharui hukum
acara pidana. Dalam rangka itu, pemerintah
telah membentuk Kelompok Kerja penyusun
RUU Hukum Acara Pidana, dan Konsep RUU
Hukum Acara Pidana telah selesai disusun,
bahkan telah masuk ke lembaga legeslatif di
DPR RI.
Ti g a p u l u h t a h u n l e b i h , s e j a k
diundangkannya Undang-undang Nomor 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana, sebagai
karya agung bangsa Indonesia, undang-undang
ini telah memberikan landasan, pedoman dan
kepastian hukum dalam beracara pidana pada
sistem peradilan pidana di Indonesia. Dalam
kurun waktu itu, setelah diterapkan dan sekaligus
diuji dalam berbagai persoalan beracara di dalam
sistem peradilan pidana, merupakan waktu yang
cukup untuk melihat, memahami dan mendalami
kelemahan-kelemahan dan sekaligus kelebihankelebihan substansi hukum acara pidana
27
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
tersebut dalam implementasinya. Berdasarkan
pengalaman implementasi undang-undang
hukum acara pidana tersebut, dirasakan perlu
diadakan penyempurnaan atau pembaharuan
hukum acara pidana.
Naskah Akademik RUU Hukum Acara
Pidana tertanggal 28 April 2008, dijelaskan
bahwa salah satu alasan penting bahwa
KUHAP harus diperbaharui, adalah sebagai
konsekuensi diratifikasinya beberapa konvensi
internasional. Konvensi internasional ini lahir
setelah diundangkannya KUHAP, dan terdapat
pengaturan di dalam konvensi yang berkaitan
langsung dengan hukum acara pidana. Dalam
Covenant mengenai hak-hak sipil dan politik
yang merupakan salah satu konvensi yang telah
diratifikasi Pemerintah Indonesia, terkandung
ketentuan yang berkaitan dengan hukum acara
pidana, misalnya tentang hak-hak tersangka
dan ketentuan mengenai penahanan yang
diperketat. Sehubungan dengan itu, beberapa
negara telah membuat Hukum Acara Pidana
yang baru sama sekali. Ada pula beberapa
negara yang merubah Hukum Acara Pidananya
selaras dengan perubahan yang diatur di dalam
berbagai konvensi tersebut.
Konsep RUU Hukum Acara Pidana telah
merumuskan beberapa materi yang bersifat
pembaharuan maupun penambahan terhadap
materi lama yang telah ada di dalam hukum
acara pidana yang lama. Diantara sekian
materi penyempurnaan di dalam RUU Hukum
Acara Pidana, adalah penegasan asas legalitas
dalam undang-undang hukum acara pidana,
sistem penahanan oleh Penyidik diperketat,
perubahan atau penambahan jenis alat bukti
acara pidana, pengaturan penegasan mengenai
saksi mahkota, penegasan penyelesaian perkara
di luar pengadilan, penegasan peradilan cepat,
Mahkamah Agung tidak boleh menjatuhkan
pidana lebih berat dari pada Pengadilan Tinggi
kecuali jika putusan pengadilan di bawah
Mahkamah Agung lebih ringan dari pada
minimum khusus, dan masih banyak materi
lainnya.
Dari beberapa materi baru dalam konsep
hukum acara pidana tersebut, yang menarik
adalah konsep tentang Hakim Pemeriksa
28
Pendahuluan. Bagaimana substansi, hakikat
dan pengaturannya dalam konsep RUU Hukum
Acara Pidana perlu dibahas dan ditelaah, agar
ada pemahaman mengenai Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam hukum acara pidana.
B. Alasan pembaharuan Hukum Acara
Pidana.
Pembaharuan hukum acara pidana
didasarkan pada beberapa alasan, sebagaimana
pembaharuan pada undang-undang pada
umumnya. Selain alasan secara umum,
yaitu alasan yuridis, filosofis dan sosiologis,
menurut Andi Hamzah selaku Ketua Pokja RUU
Hukum Acara Pidana, ada beberapa alasan
khusus mengapa hukum acara pidana perlu
diperbaharui. Menurutnya, alasan dimaksud
adalah:
a. Ada Rancangan KUHP Baru sehingga
hukum acara pidana perlu disesuaikan
dengan KUHP Baru.
b. Selama 32 tahun berlalu banyak perubahan
hukum sedunia mengikuti perkembangan
teknologi dan hubungan masyarakat.
c. Secara teknis yuridis ada beberapa
kekeliruan dalam KUHAP 1981.
d. Ketentuan yang dibuat terlepas dari ketentuan
universal menimbulkan kerancuan dalam
penegakan hukum. KUHP dan KUHAP
berlaku bagi semua orang yang ada di
Indonesia, bahkan dalam delik tertentu
berlaku di seluruh dunia berdasarkan asas
universalitas.
Selain itu, yang juga menjadi pendorong
perlunya hukum acara pidana diperbaharui
adalah karena Indonesia telah meratifikasi
sejumlah konvensi internasional yang substansi
materinya berkaitan dengan penegakan hukum.
Beberapa konvensi dimaksud adalah:
1. Convention against torture and other
cruel, inhuman or degrading treatment or
punishment yang disahkan dengan undangundang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Convention against torture and
other cruel, inhuman or degrading treatment
or punishment (Konvensi Internasional
Menentang Penyiksaan dan Perlakuan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak
manusiawi, atau Merendahkan Martabat
Manusia).
2. International Covenant on Civil and Political
Rights yang disahkan dengan Undangundang Nomor 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (Konvensi Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
3. United Nation Convention Against Corruption
yang disahkan dengan Undang-undang
Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nation Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Anti Korupsi, 2003).
C. Beberapa substansi baru dalam RUU
Hukum Acara Pidana
Sebagaimana suatu Rancangan Undangundang yang bersifat pembaharuan dari undangundang yang sudah ada, maka dalam konsep
naskah terdapat rumusan-rumusan substansi
materi yang sifatnya baru atau merubah dari
substansi lama. Demikian halnya RUU Hukum
Acara Pidana dirumuskan beberapa substansi
materi baru, antara lain:
1. Merumuskan dan mempertegas asas
legalitas.
Asas legalitas (legality of principle) telah
lama dikenal dalam sistem hukum pidana
kita, terutama di dalam hukum pidana materiil
(KUHP). Tidak hanya di dalam hukum pidana
materiil, dalam hukum acara pidana pun
menganut asas legalitas. Namun, dipahami
bahwa terdapat perbedaan antara asas
legalitas dalam hukum pidana materiil dan
hukum acara pidana. Asas legalitas dalam
hukum pidana materiil tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) KUHP dan Rancangan
KUHP.
Istilah yang dipakai pada asas legalitas
menurut Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah
“perundang-undangan pidana” (wettelijk
strafbepaling). Jadi, dalam hal ini legalitasnya
mencakup peraturan perundang-undangan
yang lebih luas, meliputi Undang-undang,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Daerah. Maka dalam hal ini di dalam
Peraturan Daerah dapat memuat rumusan
tindak pidana dan ancaman pidana.
Sedangkan dalam hukum acara pidana,
istilah yang dipakai ialah “undang-undang”
(wet). Jadi, tidak boleh seseorang ditangkap,
ditahan, dituntut berdasarkan Peraturan
Pemerintah ataupun Peraturan Daerah,
melainkan harus berdasarkan undangundang.
Asas legalitas dalam hukum acara
pidana Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981 dirumuskan dalam Pasal 3: “Peradilan
dilakukan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.” Rumusan asas legalitas
dalam KUHAP ini, menurut Andi Hamzah
ada dua kekeliruan mendasar. Pertama,
kekeliruan dalam perumusannya, karena
dipakai istilah Peradilan, padahal ada
Peradilan Perdata, Peradilan Tata Usaha
Negara, dan Peradilan Agama. Mestinya
dipakai istilah Acara Pidana. Ada perbedaan
antara peradilan pidana dan acara pidana.
Menurut Joan Miller sebagaimana dikutip
Andi Hamzah, criminal justice system mulai
dari perencanaan undang-undang pidana
sampai pemasyarakatan. Sedangkan
hukum acara pidana mulai penyidikan
sampai eksekusi. Hukum acara pidana
tidak meliputi sistem pemasyarakatan,
sedangkan peradilan pidana meliputi pula
pemasyarakatan.
Kekeliruan kedua ada kata-kata
“undang-undang ini.” Penggunaan kata
ini tidak tepat karena dapat membatasi
bahwa hukum acara pidana hanya diatur
di dalam undang-undang KUHAP saja,
padahal ada ketentuan acara pidana di luar
KUHAP, seperti Undang-undang Kepolisian,
Undang-undang Kejaksaan, Undang-undang
KPK, dan lain-lain. Maka, menurut Andi
Hamzah lebih tepat rumusan asas legalitas
yang dirumuskan dalam Strafvordering
(KUHAP) Nederland, yang merumuskan:
“Strafvordering heeft alleen plaats op de
wijze bij de wet voorzien”. (Acara pidana
dijalankan hanya menurut cara yang diatur
29
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
undang-undang). Begitu pula rumusan
asas legalitas dalam KUHAP RRC : “public
security organ, people proracurate, people
judge should strictly observe this law and
other relevant law. (“Badan Sekuriti Publik,
Jaksa Rakyat, Hakim Rakyat harus secara
ketat memperhatikan undang-undang ini dan
undang-undang lain yang relevan”). Oleh
karena dipakai istilah “undang-undang ini”
maka perlu dilanjutkan dengan penambahan
“undang-undang lain yang relevan.”
Dalam pandangan Andi Hamzah, bahwa
rumusan asas legalitas dalam hukum
acara pidana Pasal 3: “Peradilan dilakukan
menurut cara yang diatur dalam undangundang ini” perlu disempurnakan. Karena,
rumusan. “… undang-undang ini” membatasi
proses beracara pidana, seolah-olah dibatasi
pada Undang-undang Nomor 8 tahun 1981,
padahal dalam proses beracara pidana
selain menggunakan Undang-undang Nomor
8 tahun 1981 juga mendasarkan undangundang lainnya, baik pada Penyidikan,
Penuntutan, dan Hukum Acara Pidana
Khusus yang diatur di dalam undang-undang
tertentu.
2. Sistem penahanan diperketat.
Sebagaimana telah dikemukakan pada
bagian awal bahwa perubahan konsep
hukum acara pidana ini dipengaruhi oleh
beberapa konvensi internasional, dan
Indonesia sudah meratifikasi Interational
Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR). Maka penahanan yang diperketat
dalam ICCPR itu harus diimplementasikan
ke dalam hukum acara pidana. Pasal 9
ICCPR mewajibkan apabila seseorang
ditangkap harus segera (promptly) dibawa
(secara fisik) ke hakim untuk ditahan. Jadi,
pada prinsipnya hakimlah yang menahan
orang, karena penahanan adalah merampas
kemerdekaan seseorang.
Dalam Rancangan hukum acara pidana
ini, ditentukan bahwa apabila seseorang
ditangkap karena diduga keras telah
melakukan delik, maka penyidik hanya
boleh menahan selama lima hari yang
30
dapat diperpanjang oleh penuntut umum
selama lima hari berikutnya. Sesudah itu
tersangka harus dibawa secara fisik ke hakim
pemeriksa pendahuluan untuk dilakukan
penahanan.
Sebagai perbandingan, oleh Andi
Hamzah diberikan gambaran pembanding
dengan penahan di beberapa negara.
Penyidik di Amerika Serikat hanya boleh
menahan orang selama dua kali dua puluh
empat jam. Penyidik di Nederland boleh
menahan tersangka selama tiga kali dua
puluh empat jam dan diperpanjang oleh
penuntut umum selama tiga kali dua puluh
empat jam, selanjutnya dibawa secara fisik
ke Rechter Commissaris untuk ditahan
selama 14 hari, sesudahnya diperpanjang
oleh hakim majelis pengadilan negeri selama
30 hari. Penyidik di Malaysia hanya boleh
menahan tersangka selama satu kali dua
puluh empat jam yang selanjutnya harus
hakim yang melakukan penahanan. Penyidik
Perancis hanya boleh menahan tersangka
selama satu kali dua puluh empat jam
diperpanjang oleh Jaksa selama satu kali dua
puluh empat jam selanjutnya dibawa secara
fisik ke hakim pembebasan dan penahanan
(juge de liberte et de la detention).
3. Perubahan Jenis Alat Bukti
Alat bukti yang dirumuskan di dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana adalah sbb:
a. Keterangan Saksi;
b. Keterangan ahli;
c.Surat;
d.Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.
Alat bukti dalam undang-undang hukum
acara pidana ini termasuk salah satu materi
yang akan diperbaharui. Konsep RUU
Hukum Acara Pidana, merumuskan alat bukti
sebagai berikut:
a. Barang bukti;
b.Surat-surat;
c. Bukti elektronik;
d. Keterangan seorang ahli;
e. Keterangan seorang saksi;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
f. Keterangan terdakwa;
g. Pengamatan hakim. Menurut Ketua Pokja RUU Hukum Acara
Pidana, Andi Hamzah, alat bukti Petunjuk
dihilangkan, diganti dengan pengamatan
hakim, hal ini sama dengan Hukum Acara
Pidana negara lain. Pengamatan hakim,
di Negeri Belanda disebut dengan istilah:
eigen waarneming van de rechter. Atau,
dalam bahasa Inggrisnya disebut judicial
notice. Selanjutnya menurut Andi Hamzah,
tidak ada Hukum Acara Pidana di dunia ini
yang menyebut petunjuk atau aanwijzing
atau Indication sebagai alat bukti, kecuali di
dalam Strafvordering Belanda Tahun 1838,
Inlandsch Regelement HIR dan KUHAP
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981,
karena meniru HIR. Landsgerechtreglement
sudah menyebut eigen waarneming van
de rechter sebagai alat bukti, begitu pula
Undang-Undang Mahkamah Agung tahun
1950 sudah menyebut “pengetahuan hakim”
sebagai alat bukti menggantikan petunjuk.
Alat bukti Keterangan Saksi dan
Keterangan Ahli, dirubah istilah yang
digunakan dalam Konsep RUU. Jika pada
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981
menggunakan istilah Keterangan Saksi dan
Keterangan Ahli. Maka, dalam Konsep RUU
menggunakan istilah Keterangan Seorang
Saksi dan Keterangan Seorang Ahli. Jadi
dalam Konsep RUU menggunakan kata
tunggal, yaitu Seorang Saksi dan Seorang
Ahli. Dengan begitu, menurut Andi Hamzah,
berarti jika sudah ada dua saksi atau dua ahli,
maka sudah cukup memenuhi alat bukti yang
dipersyaratkan, karena dipakai kata singular.
Sebaliknya pada alat bukti surat, dipakai
istilah surat-surat, artinya plural, jadi menurut
Andi Hamzah, jika ada sepuluh surat,
dihitung hanya satu alat bukti. Dalam praktek
peradilan, kurang dipahami hal ini.
4. Penegasan saksi mahkota
Sebenarnya saksi mahkota atau crown
witness atau kroon getuige sudah dikenal
dalam yurisprudensi dan doktrin hukum
pidana Indonesia yang mengacu pada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
hukum pidana Belanda. RUU Hukum Acara
Pidana menegaskan kembali, bahwa apabila
Penuntut Umum kesulitan dalam pembuktian,
maka dapat menentukan salah seorang
tersangka yang paling ringan perannya
dalam kejahatan yang dilakukan secara
medeplegen, yang bersedia membongkar
peran teman-temannya, dapat dikeluarkan
dari daftar tersangka/terdakwa dan dijadikan
saksi yang memberatkan teman-temannya
Apabila tidak ada tersangka yang dapat
dimaafkan begitu saja, karena cukup berat
perannya, maka tetap dipilih yang paling
ringan perannya untuk dijanjikan pidana yang
lebih ringan jika bersedia membongkar peran
semua teman-temannya. Tentu hal ini harus
disampaikan kepada hakim dan jika perlu
diberi perlindungan. Italia sudah membuat
undang-undang khusus mengenai saksi
mahkota dan ternyata cukup efektif untuk
memberantas kejahatan mafia.
D. Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam
RUU Hukum Acara Pidana
1. Istilah dan kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan
Istilah Hakim Pemeriksa Pendahuluan
merupakan istilah baru yang dalam konsep
RUU sebelumnya disebut sebagai hakim
komisaris. Secara historis, istilah hakim
komisaris sebenarnya bukan hal baru di
Indonesia, sebab pada masa berlakunya
Reglement op de Strafvoerdering, hal
tersebut sudah diatur dalam title kedua
tentang van regtercommissaris yang berperan
pada tahap pemeriksaan pendahuluan
sebagai pengawas (examinating judge)
untuk mengawasi, apakah tindakan upaya
paksa (dwang middelen) yang meliputi
penangkapan, penggeledahan, penyitaan
dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan
dengan sah atau tidak. Selain itu, di dalam
Reglement op de Strafvoerdering tersebut
Hakim Komisaris atau regtercommissaris
dapat melakukan tindakan eksekutif
(investigating judge) untuk memanggil
orang, baik para Saksi maupun Tersangka,
31
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
mendatangi para Saksi maupun Tersangka,
dan memeriksa serta mengadakan
penahanan sementara terhadap Tersangka.
Setelah diberlakukan Herziene Indische
Reglement (HIR) berdasarkan Staatsblad
Nomor 44 tahun 1941 istilah regtercommissaris tidak digunakan lagi.
Menurut rumusan di dalam Rancangan
Undang-undang Hukum Acara Pidana, Hakim
Pemeriksa pendahuluan adalah: “Pejabat
yang diberi wewenang menilai jalannya
penyidikan dan penuntutan, dan wewenang
lain yang ditentukan dalam Undang-undang
ini.” Selanjutnya kewenangan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, di dalam Pasal 111
RUU dirumuskan bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan memiliki wewenang untuk
memutuskan:
a. Sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan
atau penyadapan;
b. P e m b a t a l a n a t a u p e n a n g g u h a n
penahanan;
b. Bahwa keterangan yang dibuat oleh
Tersangka atau Terdakwa dengan
melanggar hak untuk tidak memberatkan
diri sendiri;
c. Alat bukti atau pernyataan yang diperoleh
secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat
bukti;
d. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk
seseorang yang ditangkap atau ditahan
secara tidak sah atau ganti kerugian
untuk setiap hak milik yang disita secara
tidak sah;
e. Tersangka atau Terdakwa berhak untuk
atau diharuskan untuk didampingi oleh
pengacara;
f. Bahwa penyidikan atau penghentian
penyidikan yang tidak berdasarkan asas
oportunitas;
g. Layak atau tidaknya suatu perkara untuk
dilakukan penuntutan ke pengadilan; dan
h. Pelanggaran terhadap hak Tersangka
yang terjadi selama tahap penyidikan.
32
2. Ha k i m P e m e r ik s a a n P e n d a hu l u a n
menggantikan Hakim Praperadilan
Pada prinsipnya Hakim Pemeriksa
Pendahuluan ini sama dengan hakim
praperadilan yang sekarang berlaku menurut
KUHAP. Namun, kewenangannya ditambah
dengan perpanjangan penahanan, izin
penggeledahan, penyitaan, dll. Hal ini untuk
mengurangi beban hakim pengadilan negeri.
Iza Fadri memperbandingkan antara
hakim praperadilan dengan hakim pemeriksa
pendahuluan, dapat digambarkan sbb:
a. Hakim Praperadilan.
1) Transparan berupa sidang
Semua permohonan yang diajukan
kepada Praperadilan, diperiksa dan
diputus dalam proses persidangan
yang terbuka untuk umum, sehingga
menjamin proses peradilan untuk
tidak bertindak sewenang-wenang
di dalam menentukan kesalahan
seseorang. Asas keterbukaan untuk
umum atau publicitas ini merupakan
dasar untuk mengontrol pengadilan
yang adil. Dengan sidang yang
dilakukan terbuka, maka kontrol
dapat dilakukan secara langsung
oleh masyarakat terhadap Penyidik,
Penuntut Umum, dan Hakim. Dengan
demikian pelaksanaan sidang lebih
bersifat transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu
dapat dihindari terjadinya kolusi pada
saat pengambilan Putusan Hakim.
Pemeriksaan Praperadilan tidak
hanya menghadirkan pemohon
praperadilan, namun juga memanggil
pejabat yang menimbulkan terjadinya
alasan permintaan pengajuan
pemeriksaan praperadilan. Secara
formal, kehadiran pejabat yang
bersangkutan dalam pemeriksaan
sidang praperadilan, bukan sebagai
pihak dalam arti pemeriksaan perkara
perdata. Secara formal, kedudukan
dan kehadiran pejabat hanya untuk
memberikan keterangan. Keterangan
pejabat didengar Hakim dalam sidang
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
sebagai bahan pertimbangan dalam
menjatuhkan putusan.
2) Masyarakat memiliki akses ke dalam
sistem
Dise b u tka n dala m KUHA P
bahwa salah satu pihak yang dapat
mengajukan praperadilan adalah
“pihak ketiga yang berkepentingan”.
Pengertian pihak ketiga yang
berkepentingan harus ditafsirkan
secara luas, tidak terbatas hanya
saksi korban dan pelapor tetapi
meliputi masyarakat luas yang
dapat diwakili oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM). Pada
dasarnya penyelesaian tindak
pidana menyangkut kepentingan
umum. Apabila bobot kepentingan
umum dalam tindak pidana yang
bersangkutan sedemikian rupa,
sangat layak dan proporsional untuk
memberikan hak kepada masyarakat
umum yang diwakili oleh LSM atau
organisasi kemasyarakatan untuk
mengajukan kepada praperadilan
atas tindakan hukum Penyidik atau
Penuntut Umum khususnya dalam
hal penghentian penyidikan atau
penuntutan.
3) Check & Ballances fungsional
Pada prinsipnya tujuan utama
pelembagaan praperadilan dalam
KUHAP adalah untuk melakukan
pengawasan horizontal atas tindakan
upaya paksa yang dikenakan
terhadap Tersangka selama tersangka
tersebut berada dalam pemeriksaan
penyidikan atau penuntutan, agar
benar-benar tindakan itu tidak
bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang. Semua
kegiatan dan tata laksana praperadilan
tidak terlepas dari struktur dan
administrasi yustisial Pengadilan
Negeri. Berdasarkan kenyataan
ini, apapun yang hendak diajukan
kepada praperadilan, tidak terlepas
dari ruang lingkup kebijaksanaan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
dan tata laksana Ketua Pengadilan
Negeri.
4) Putusan diuji
Pasal 83 ayat (2) KUHAP mengatur
tentang Putusan Praperadilan
yang dapat dimintakan Banding
ke Pengadilan Tinggi. Di dalam
pasal tersebut ditentukan, Putusan
Praperadilan yang menetapkan “tidak
sahnya” penghentian penyidikan
atau penuntutan dapat diajukan
permintaan Banding. Pasal 83 ayat (2)
KUHAP telah menentukan Pengadilan
Ti n g g i u n t u k m e m e r i k s a d a n
memutus tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dalam
bentuk putusan akhir, sehingga
terhadap putusan tersebut tidak
dapat diajukan Kasasi. Oleh karena
itu, lebih tepat apabila upaya hukum
dalam proses ini disejajarkan dengan
upaya perlawanan (verzet) terhadap
putusan praperadilan tentang tidak
sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan.
b. Hakim Pemeriksa Pendahuluan
1) Bersifat Tertutup
Sistem pemeriksaan oleh Hakim
Pemeriksa Pendahuluan pada
dasarnya bersifat tertutup (internal)
dan dilaksanakan secara individual
oleh Hakim yang bersangkutan
terhadap Penyidik, Penuntut Umum,
Saksi-saksi bahkan juga Terdakwa.
Sekalipun pemeriksaan itu dilakukan
secara objektif dan profesional,
namun karena sifatnya yang tertutup,
maka tidak ada transparansi dan
akuntabilitas publik, sebagaimana
halnya proses pemeriksaan sidang
terbuka dalam forum Praperadilan.
Akibatnya masyarakat (publik) tidak
dapat turut mengawasi dan menilai
proses pemeriksaan pengujian serta
penilaian Hakim terhadap benar
tidaknya, atau tepat tidaknya upaya
paksa yang dilakukan oleh Penyidik
ataupun Jaksa Penuntut Umum.
33
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
Dalam kondisi sekarang, syarat
transparansi dan akuntabilitas publik
ini amat diperlukan, terutama dalam
menghadapi korupsi, kolusi dan
nepotisme yang sudah melanda
bidang peradilan.
2) Masyarakat tidak memiliki akses ke
dalam sistem
S e c a r a k o n s e p s i , H a k i m
Pemeriksa Pendahuluan adalah
suatu kelembagaan yang merupakan
bagian dari fungsi Hakim yang
mengendalikan proses keadilan.
Konsep ini dipakai, pertama sebagai
lembaga yang melaksanakan fungsi
praperadilan atau pengujian terhadap
proses penyidikan dan penuntutan
yang dilakukan oleh Penyidik dan
Penuntut Umum. Secara substansial
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
mengambil peran pengujian dari
tersangka dan dilakukan oleh
negara. Bandingkan dengan sistem
Praperadilan, seseorang yang merasa
haknya atau penggunaan upaya
paksa tidak sesuai dengan ketentuan
dapat menggugat Penyidik atau
Penuntut Umum yang merupakan
representasi negara , sehingga dalam
hal ini Tersangka atau warganegara
itu sendiri yang aktif sedangkan dalam
Hakim Pemeriksa Pendahuluan hak
itu dilakukan oleh negara yang diwakili
Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Lebih lanjut perbandingan ini
merupakan bagian perbedaan
sistem praperadilan dengan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Dalam
konsep hukum common law sistem
Praperadilan ini banyak digunakan
dan juga hal ini dianut dalam KUHAP.
3) Tidak ada check & ballances
Sekalipun pemeriksaan oleh
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dilakukan secara objektif dan
profesional, namun karena sifatnya
yang tertutup, maka tidak ada
transparansi dan akuntabilitas
34
publik, sebagaimana halnya proses
pemeriksaan sidang terbuka dalam
forum Praperadilan. Akibatnya
masyarakat (publik) tidak dapat
turut mengawasi dan menilai proses
pemeriksaan pengujian serta
penilaian Hakim terhadap benar
tidaknya, atau tepat tidaknya upaya
paksa yang dilakukan oleh Penyidik
ataupun Jaksa Penuntut Umum.
Dalam kondisi penegakan hukum
saat ini, dimana kepercayaan publik
pada institusi peradilan masih sangat
rendah karena ulah dari aparat
penegak hukum sendiri yang masih
sering bertindak tidak profesional,
penerapan konsep Hakim Komisaris
akan rentan dengan tindak
penyimpangan dan penyalahgunaan
kewenangan.
4) Putusan Bersifat Final
Putusan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan bersifat final, berarti
putusan yang diambil merupakan
putusan akhir. Terhadapnya tidak
lagi dapat diajukan permintaan upaya
hukum baik banding maupun kasasi.
Atas kenyataan tersebut, nasib
Tersangka akan sangat ditentukan
oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Ketika Hakim Pemeriksa Pendahuluan
yang melakukan pemeriksaan
terhadap upaya paksa yang
dilakukan pada tahap penyidikan
atau penuntutan memiliki integritas
dan moral yang baik, maka dapat
diharapkan putusannya akan netral.
Akan tetapi ketika HPP sudah terlibat
dalam kepentingan salah satu pihak
yang berperkara, maka dikhawatirkan
putusan yang diambil menjadi tidak
netral. Terhadap putusan yang
tidak netral tersebut sudah tertutup
upaya untuk melakukan koreksi
karena putusan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan bersifat final. Suatu
kondisi yang kontradiktif dengan
semangat mencari keadilan materiil.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
3. Pandangan yang tidak sependapat
adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Sebagai suatu lembaga atau sistem
yang baru diperkenalkan dan kemudian
dirumuskan dalam suatu naskah Rancangan
Undang-u n d a n g , sudah sewa ja rn y a
kemudian menimbulkan berbagai pendapat.
Sikap dan pandangan pro dan kontra,
terlebih pada alam demokrasi bukanlah
suatu hal yang ditabukan. Maka, ada baiknya
juga jika kita mendengarkan pandangan
dan pendapat-pendapat yang berkembang,
sehingga jika memungkinkan kita dapat ikut
menelaah.
M e n u r u t p e n d a p a t y a n g k u r a n g
sependapat dengan adanya lembaga Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, memberikan
gambaran bahwa sistem pemeriksaan oleh
Hakim Pemeriksa Pendahuluan bersifat
tertutup (internal) dan dilaksanakan secara
individual oleh Hakim yang bersangkutan
terhadap Penyidik, Penuntut Umum, saksisaksi bahkan juga Terdakwa. Sekalipun
pemeriksaan itu dilakukan secara objektif
dan profesional, namun karena sifatnya yang
tertutup, maka tidak ada transparansi dan
akuntabilitas publik, sebagaimana halnya
proses pemeriksaan sidang terbuka dalam
forum pemeriksaan oleh Hakim Praperadilan
yang digelar secara terbuka.
Akibatnya masyarakat tidak dapat turut
mengawasi dan menilai proses pemeriksaan
pengujian serta penilaian Hakim terhadap
benar tidaknya, atau tepat tidaknya upaya
paksa yang dilakukan oleh Penyidik ataupun
oleh Jaksa Penuntut Umum. Kondisi seperti
ini dapat menggiring Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk menyalahgunakan
kewenangan yang diembannya.
K e b e r a d a a n H a k i m P e m e r i k s a
Pendahuluan sejatinya tidak diperlukan lagi
apabila pengawas internal masing-masing
lembaga dalam Sistem Peradilan Pidana
berjalan maksimal. Melihat kondisi geografis
Indonesia keberadaan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan akan menyulitkan pelaksanaan
tekhnis maupun manajemen peradilan.
Selain itu angka kejahatan yang tinggi akan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
cukup sulit untuk diakomodasi oleh Hakim
Pemeriksa Pendahuluan dan memerlukan
energi yang lebih untuk membentuk Hakim
Pemeriksa Pendahuluan sebagai lembaga
baru.
K e l e m b a g a a n H a k i m P e m e r i k s a
Pendahuluan yang dikonsepkan berada
pada setiap Pengadilan Negeri dua orang
Hakim, maka akan membutuhkan dana
yang sangat besar untuk membentuk Hakim
Pemeriksa Pendahuluan. Syarat Hakim
Pemeriksa Pendahuluan yang pangkat
dan golongannya setingkat dengan Ketua
Pengadilan Negeri membutuhkan suatu
lompatan Sumber Daya Manusia yang luar
biasa untuk memenuhinya di seluruh wilayah
Indonesia.
Pihak yang tidak setuju dengan
konsep Hakim Pemeriksa Pendahuluan
menawarkan sebuah konsep, bahwa
dalam rangka meningkatkan pengawasan
kinerja aparat penegak hukum, upaya
perbaikan bukan melalui penggantian
Lembaga Praperadilan dengan membentuk
Hakim Pemeriksa pendahuluan atau
Hakim Komisaris. Melainkan melalui upaya
memberdayakan Praperadilan dengan cara:
memperluas lingkup Praperadilan. Perluasan
kewenangan dalam sistem Praperadilan
diperluas kewenangannya, yaitu memeriksa:
a. Sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan,
dan penyadapan;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan
dan/atau penghentian penuntutan;
c. Sah tidaknya perolehan alat bukti;
d. Ganti kerugian karena salah dalam
penangkapan, penahanan, penyitaan,
bagi pemohon;
e. Layak atau tidaknya penanganan perkara
oleh penyidik yang melebihi waktu 1
(satu) tahun sejak diterbitkannya surat
pemberitahuan dimulainya penyidikan
kepada penuntut umum;
f. Layak atau tidaknya perkara yang telah
dilakukan gelar perkara bersama antara
penyidik dengan penuntut umum tetapi
dinyatakan oleh penuntut umum berkas
35
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
perkara tersebut masih belum lengkap;
g. Rehabilitasi terhadap perkara yang tidak
diajukan ke pengadilan.
Maka, pihak yang tidak sependapat dengan
adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan, dan
cukup dengan memperluas dan menambah
kewenangan hakim praperadilan, maka tidak
perlu disusun RUU Hukum Aacara Pidana
tetapi cukup mengamandemen KUHAP
pada rumusan kewenangan praperadilan.
Melalui amandemen ini diharapkan tidak
akan merubah secara total substansi KUHAP
yang dapat berdampak pada perubahan
mekanisme dan kelembagaan dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
E. Bagaimana dalam sistem peradilan militer
mendatang
Paling tidak ada dua hal penting yang perlu
mendapat perhatian, pemikiran, dan kajian dalam
sistem peradilan militer terkait dengan konsep
Hakim Pemeriksa Pendahulun dan terkait dengan
diperketatnya penahanan dalam konsep RUU
Hukum Acara Pidana Umum. Pertama, karena
di dalam sistem peradilan militer tidak dikenal
adanya sistem praperadilan. Pertanyaan yang
dapat diajukan adalah, apakah dengan demikian
perlu atau tidak Hakim Pemeriksa Pendahuluan
dimasukkan dalam sistem peradilan militer.
Memperhatikan kewenangan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan yang pada prinsipnya adalah
menggantikan peran praperadilan (dengan
penambahan/perluasan kewenangan) pada
tahap pemeriksaan pendahuluan sebagai
pengawas (examinating judge) untuk mengawasi
apakah tindakan upaya paksa (dwang middelen)
yang meliputi penangkapan, penggeledahan,
penahanan, dll, dilakukan dengan sah atau
tidak. Kewenangan seperti ini tidak ada di dalam
sistem peradilan militer, karena memang sistem
praperadilan tidak ada dalam undang-undang
Peradilan Militer dengan pertimbangan dan
alasan tertentu sehingga tidak diatur sistem
praperadilan. Maka, perlu dipertimbangkan dan
dikaji untuk kemungkinan diatur juga dalam
hukum acara pidana militer.
Kedua, dengan diperketatnya penahanan
36
dalam RUU Hukum Acara Pidana, dimana
kewenangan penahanan oleh Penyidik diberikan
waktu yang singkat, yaitu hanya lima hari dan
diperpanjang lima hari oleh Penuntut Umum,
dan setelah itu Tersangka harus dibawa
secara fisik ke Hakim Pemeriksa Pendahuluan
untuk dilakukan penahanan oleh Hakim.
Sedangkan di dalam sistem peradilan militer
penahanan terkait dengan kewenangan Ankum
(Atasan yang berhak menghukum) dan Papera
(Perwira Penyerah Perkara) khususnya dalam
hal perpanjangannya. Bahwa kewenangan
Ankum dan Papera memang perlu dilibatkan
dalam proses penahanan bagi militer yang
akan dilakukan penahanan, namun yang
perlu dipikirkan dan dikaji adalah perlunya
pembatasan penahanan, dan perlunya diatur
bahwa penahanan lanjutan dilakukan oleh
hakim.
F. Penutup.
Rancangan Undang-undang Hukum
Acara Pidana telah memasukkan satu substansi
dan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagai salah satu bagian penting di dalam
proses pada Sistem Peradilan Pidana/Criminal
Justice System. Keberadaan Hakim Pemeriksa
Pendahuluan dalam sistem peradilan pidana
ini perlu dicermati secara seksama, tidak
saja dari segi peran, fungsi dan tugasnya,
khususnya jika dibandingkan dengan hakim
praperadilan. Tetapi yang penting dicermati
adalah, apakah dengan keberadaan Hakim
Pemeriksa Pendahuluan proses beracara dalam
sistem peradilan pidana akan lebih memberikan
jaminan perlindungan hak-hak tersangka pada
satu sisi dan memberikan kepastian penggunaan
kewenangan aparat penegak hukum secara
proporsional. Selain itu, apakah sistem
kelembagaan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
khususnya terkait dengan kewenangannya
sudah sesuai dengan standard universal yang
dianut masyarakat bangsa-bangsa dalam proses
acara pidana dalam memberikan perlindungan
hak-hak Tersangka.
Salah satu peran penting dari Hakim
Pemeriksa Pendahuluan, yang kemudian
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Hakim Pemeriksa Pendahuluan
Telaah Konsep RUU Hukum Acara Pidana
Oleh: Letkol Chk Agustinus PH,. S.H., M.H.
menimbulkan perdebatan dan perbedaan
pandangan, adalah kewenangannya dalam
penahanan yang akan “mengambil alih”
kewenangan penahanan yang selama ini menjadi
kewenangan Penyidik. Dalam konsep RUU
kewenangan penahanan oleh Penyidik diberikan
waktu yang singkat, dan setelah itu Tersangka
harus dibawa secara fisik ke Hakim Pemeriksa
Pendahuluan untuk dilakukan penahanan oleh
Hakim Pemeriksa Pendahuluan. Selama ini,
kewenangan penahanan Penyidik berdasarkan
Pasal 24 KUHAP selama paling lama 20 hari
dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum
untuk paling lama 40 hari. Perubahan sistem
penahanan ini didasarkan pada Pasal 9 ICCPR
yang mewajibkan apabila seseorang ditangkap
harus segera (promptly) dibawa (secara fisik)
ke hakim untuk ditahan. Jadi, pada prinsipnya
hakimlah yang menahan seseorang karena
bersifat merampas kemerdekaan. Maka, dalam
Rancangan Undang-undang Hukum Acara ini,
ditentukan bahwa apabila seseorang ditangkap
karena diduga keras telah melakukan tindak
pidana, maka Penyidik hanya boleh menahan
selama lima hari yang dapat diperpanjang oleh
penuntut umum selama lima hari berikutnya.
Sesudah itu tersangka harus dibawa secara
fisik ke hakim pemeriksa pendahuluan untuk
dilakukan penahanan.
Dalam kaitan dengan “model” atau
“sistem” baru dalam RUU Hukum Acara Pidana,
khususnya terkait dengan keberadaan Hakim
Pemeriksaan Pendahuluan dan diperketatnya
penahanan, maka perlu kajian mendalam dalam
sistem peradilan militer.
Simposium Nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi” Kerjasama FH Unhas dan
Mahupiki, Makassar, 18-19 Maret 2013.
Dr. Iza Fadri SIK,S.H.,M.H., ”Tanggapan Polri
Terhadap RUU HAP” makalah dalam
Simposium Nasional Hukum Pidana dan
Kriminologi” Kerjasama FH Unhas dan
Mahupiki, Makassar, 18-19 Maret 2013.
Naskah Akademik Undang-undang Hukum
Acara Pidana, Jakarta, 28 April 2008.
Naskah Rancangan Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, SH. Hukum Acara
Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
______________. Asas-asas Hukum Pidana.
Jakarta: Yasrif Watampone, 2005.
______________. ”Beberapa hal dalam
Rancangan KUHAP,” makalah dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
37
KETIDAKTERTIBAN HUKUM NASIONAL
DALAM KEBIJAKAN LEGISLASI
PASCA REFORMASI
Oleh:
Prastopo, S.H., M.H.1
Abstrak
K
ebijakan legislasi pasca reformasi telah
membawa dampak ketidaktertiban hukum
nasional, karena tiga hal. Pertama,
pergeseran kekuasaan eksekutif ke legislatif
sehingga DPR RI berubah menjadi lembaga super
body, bahkan dapat mencampuri kewenangan
eksekutif, melalui mekanisme yang dikenal
dengan “fit and proper test”. Kedua, sistem
pemilihan umum langsung belum menemukan
mekanisme ideal sebagai model Pemilu yang
baku, sehingga menciptakan peluang bagi bakal
calon maupun calon anggota legislatif untuk
memenangkan pemilihan dengan bermodalkan
popularitas dan kekuatan finansial. Padahal
mereka yang menang akan mempunyai tugas
dan tanggung-jawab sebagai pembuat kebijakan
dalam bentuk Undang-Undang; sehingga
anggota legislatif tidak menguasai dengan
baik teori dan pengetahuan pembentukan
undang-undang yang menjadi tugas utamanya.
Sementara pelaksanaan mekanisme masukan
1. Penulis adalah dosen pada STHM “AHM-PTHM”.
38
dari para ahli tidak menjamin terjadinya proses
transformasi pengetahuan yang diharapkan.
Ketiga, dominasi kepentingan politik melalui
partai masing-masing di lembaga legislasi,
menyebabkan sistem legislasi terabaikan dan
substansi perundng-undangan sebagai produk
DPR RI tidak mendalam dan sering menimbulkan
kekecewaan masyarakat.
Ketiga hal di atas menyebabkan dalam
sistem legislasi nasional, dan sekaligus
ketidaktertiban dalam sistem legislasi nasional
dimaksud. Oleh karena itu, Negara seharusnya
memetakan permasalahan hukum dalam sebuah
sistem hukum nasional sebagai cetak biru (blue
print) yang menjadi dasar kebijakan legislasi
nasional secara bertahap dan berkelanjutan
serta menjamin terjadinya sinkronisasi antar
perundang-undangan yang ada. Hal ini sekaligus
akan mendorong secara substansial populis dan
memenuhi rasa keadilan bagi rakyat karena
materi muatan dari Undang-Undang adalah
alat atau sarana kebijakan bagi negara untuk
menjamin terwujudnya masyarakat yang adil
makmur dan sejahtera.
Kata kunci: sistem legislasi nasional,
peraturan perundang-undangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
A.PENDAHULUAN
Pergeseran kekuasaan dari eksekutif
kepada legislatif, sebagai bagian masa transisi,
telah menempatkan DPR RI sebagai lembaga
negara yang super body. Konsekuensi dari
pergeseran ini menyebabkan luasnya daya
intervensi DPR RI, bahkan menjangkau halhal yang seharusnya menjadi tugas dan
wewenang dari kepala pemerintahan (eksekutif).
Pemanfaatan proses mendapatkan “persetujuan
dari DPR RI” melalui sistem fit and proper test
telah menjadi ajang tawar menawar kekuasaan.
Kewenangan utama DPR RI yang semula
merupakan fungsi sebagai pembuat peraturan
perundang-undangan, (legislator) pengawasan
pelaksanaan pemerintahan dan pemegang hak
budgeter, sebagaimana diatur dalam hukum
tata negara, telah berubah menjadi pemegang
sebagian kekuasaan eksekutif dalam perspektif
sistem pemerintahan presidensiil. Kekuatan
lembaga legislatif smakin diperkuat lagi oleh
praktik dan pendekatan pemegang tertinggi
kekuasaan eksekutif itu sendiri, yaitu presiden
terpilih. Alih-alih fokus pada kewenangan yang
diberikan kepadanya berdasarkan konstitusi
dan peraturan perundang-undangan, presiden
lebih memilih menggunakan basis koalisi
untuk “mengamankan” jalannya pemerintahan,
sehingga mendorong praktik pemerintahan
dengan sistem parlementer.
Penataan pelaksanaan tata pemerintahan
yang diinginkan berlaku secara demokratis,
nampaknya belum dibarengi dengan penataan
2. Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif,
Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1986, hal.15 “adalah
menjadi kebiasaan untuk membagi tugas-tugas
pemerintahan ke dalam trichotomy yang terdiri dari
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pembagian ini adalah
seringkali kita temui, kendatipun batas pembagian itu
tidak selalu sempurna karena kadang-kadang satu
sama lainnya pengaruh mempengaruhi. Lebih lanjut
Ismail Sunny mengatakan bahwa UUD 1945 menganut
pemisahan kekuasaan formil yaitu pemisahan
kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipiil.
Dengan perkataan lain UUD 1945 hanya mengenal
pembagian kekuasaan (division of power) bukan
pemisahan kekuasaan (separation of power)”.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
pada fungsi pilar demokrasi lainnya, sehingga
mengakibatkan terjadinya kelemahan yang
sangat serius, strategis dan potensial merugikan
negara. Disadari memang pembagian kekuasaan
menjadi trichotomi eksekutif, legislatif dan
yudikatif, memang tidak selalu sempurna,
namun demikian perlu pula dipahami bahwa
ketiga pilar tersebut satu sama lain tidak terpisah
secara tegas, bahkan saling mempengaruhi.2
Untuk itu perlu dan harus dilakukan upaya
konstruktif sistem pembagian kekuasaan yang
lebih baik, sehingga terdapat pemerintahan yang
demokratis terhindar dari praktik bernegara yang
burokrasi dan tirani.
Era demokratisasi melalui sistem pemilihan
umum yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil, sebagaimana diatur dalam
UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu 3
memberikan hak kepada setiap warga negara
untuk secara bebas memilih dan dipilih sebagai
perwujudan hak asasi manusia yaitu persamaan
hak setiap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, yang sekaligus merupakan
hak asasi yang dijamin dalam UUD Negara
Republik Indonesia 1945. Namun demikian,
pada praktiknya interpretasi dan pelaksanaan
persamaan hak ini mengandung kelemahan
signifikan; ekses negatif yang dirasakan adalah
tidak adanya ‘penyaringan’ secara kualifikasi,
sehingga setiap orang termasuk yang tidak
memiliki visi kenegaraan yang memadai pun
dapat terpilih dan memiliki kewenangan strategis
tersebut. Bukanlah rahasia lagi jika sebagian
besar partai politik masih belum menjalankan
mekanisme seleksi yang memadai untuk
menyeleksi anggotanya pada saat mencalonkan
3. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
51, Pasal 1 ke-1 menentukan: “Pemilihan Umum,
selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”.
39
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
diri sebagai bakal calon maupun calon anggota
legislatif. Padahal para bakal calon dan calon
anggota legislatif inilah yang jika terpilih nantinya
dan akan duduk dan menjalankan tugas dan
tanggungjawab sebagai pembuat UndangUndang. Oleh karena itu, timbulnya wacana
untuk melakukan perubahan pelaksanaan
pemilu agar terjadi kesinambungan pemerintah
pusat dan daerah, efisiensi dan lain-lain,
merupakan respon langsung terhadap kondisi
tersebut.
Anggota terpilih pada umumnya
mempunyai kelemahan mendasar yaitu
lemahnya pengetahuan tentang asasasas yang baik dalam pembuatan UndangUndang, teori dan pengetahuan perundangundangan. Pengabaian terhadap kualifikasi
ini menyebabkan kelemahan pula dalam
produk yang dihasilkannya. Sekalipun terdapat
mekanisme adanya draft akademis, masukan
dari para ahli dalam proses pembahasan
Rancangan Undang-Undang, dapat dipastikan
tidak terjadi proses transformasi pengetahuan
yang diharapkan; sementara tuntutan agar
para anggota DPR memahami tujuan peraturan
perundang-undangan agar bisa diterapkan
secara efektif nantinya. Hal ini diperparah
dengan adanya fakta, dominasi kepentingan
politik melalui partai masing-masing yang sangat
besar.
Hal-hal di atas, memberi dampak pada
sistem legislasi secara nasional. Berlanjutnya
kondisi di atas menyebabkan proses dan
pelaksanaan sistem legislasi terabaikan dan
substansi perundang-undangan sebagai
produk DPR RI sebagai lembaga negara sering
menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat
bahkan menjauh dari rasa keadilan bagi
rakyat yang diwakilinya. Negara seharusnya
mampu memetakan permasalahan hukum
dalam sebuah sistem hukum nasional sebagai
cetak biru (blue print) yang menjadi dasar
kebijakan legislasi nasional secara bertahap
dan berkelanjutan serta menjamin terjadinya
sinkronisasi antar perundang-undangan yang
ada. Hal ini sekaligus akan mendorong secara
sistematis, terwujudnya perundang-undangan
yang secara substansial populis atau memenuhi
40
rasa keadilan bagi masyarakat, karena UndangUndang tersebut memang diharapkan dan
mampu menjawab serta memberikan solusi bagi
masyarakat.
Merujuk pada hal-hal di atas, saat ini telah
berkembang pemikiran dan praktik untuk memuat
ketentuan pidana dalam peraturan perundangundangan administratif. Tujuan diterapkannya
hal demikian adalah untuk menjamin efektivitas
peraturan perundang-undangan administratif
dimaksud. Namun demikian, sebagian besar
peraturan perundang-undangan administratif
tersebut mengandung kelemahan baik secara
substansial maupun material yang sekaligus
merupakan bukti yang sangat mencolok bahwa
ketertiban dalam asas pembentukan perundangundangan telah diabaikan. Ketentuan pidana
memang dapat diatur dalam sebuah UndangUndang Administratif, namun seharusnya
menggunakan asas dan prinsip sistem hukum
pidana yang ada dan diatur melalui sistem
kodifikasi yaitu dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) sebagai sui generis atau
induk hukum pidana di Indonesia.
KUHP merupakan kodifikasi hukum
pidana di Indonesia yang saat ini dirasakan
mulai mengalami kekurangan dan/atau
ketinggalan dari perkembangan jaman. Rasa
keadilan masyarakat berkembang seiring
dengan dinamika kehidupan, guna menjamin
terpeliharanya rasa keadilan, diperlukan langkah
kebijakan kriminalisasi terhadap berbagai
tindakan yang dirasakan sebagai tidak patut
atau tidak layak dilakukan di tengah-tengah
masyarakat. Langkah yang paling strategis dan
tepat untuk merespon perkembangan jaman
dimaksud adalah dengan melakukan perbaikan,
perubahan, penyesuaian yang diperlukan dalam
KUHP sebagai sui generis hukum pidana.
Sistem kodifikasi yang dianut dalam keluarga
hukum (family law) mulai ditinggalkan dan para
legislator lebih memilih mengatur berbagai
sanksi pidana serta melakukan berbagai
kriminalisasi dengan membuat delik baru dalam
berbagai perundang-undangan tersebar di
luar KUHP. Dalam upaya untuk menelaah dan
memberikan solusi terhadap permasalahan di
atas, penulis mencoba memaparkan persoalan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
proses legislasi nasional secara umum dari
perspektif administrasi dan pidana.
B. PERKEMBANGAN SISTEM POLITIK
PASCA REFORMASI
Pada masa transisi seperti yang dialami
oleh Indonesia sekarang ini, telah terjadi
fenomena politik baru sebagai dampak masa
transisi dimaksud, yaitu pergeseran kekuasaan
dari eksekutif kepada legislatif. Salah satu
dampak tersebut adalah fungsi partai politik
sebagai salah satu pilar demokrasi belum
maksimal; hal ini ditandai dengan proses
rekrutmen anggota partai politik yang tidak
dilakukan secara selektif, sehingga masalah
teknis, administrasi, maupun legal bermunculan
karenanya. Beberapa kasus ijazah palsu
misalnya, menjadi pertanda kelemahan tersebut,
SDM partai politik yang kurang memadai, sampai
dengan kepentingan politik yang dominan. Hal
ini menunjukkan pergeseran fungsi partai politik
dan fungsi legislasi pada akhirnya.
1. Pergeseran Fungsi Partai Politik
Berbagai pendapat tentang fungsi partai
politik di negara demokratis setidaknya
telah mendorong pamahaman bahwa peran
partai politik sebagai sebuah institusi sangat
strategis. Almarhumah Miriam Budiardjo
dalam bukunya “Dasar-dasar Ilmu Politik”
mengatakan ada 4 (empat) fungsi partai
politik yaitu antara lain berperan sebagai
rekrutmen politik. Partai politik sebagai
institusi hendaknya menyadari tentang
tugas dan tanggungjawabnya sebagai pilar
demokrasi yaitu melakukan rekrutmen politik.
Sebuah langkah rekrutmen seyogyanya
adalah memilih sumber daya manusia yang
mempunyai kapabilitas dan integritas sebagai
kader politik yang kelak merupakan kader
bangsa dan negara dalam melaksanakan
amanat penderitaan rakyat.
Pada praktiknya, proses rekrutmen
pasca reformasi mempunyai kecenderungan
yang kurang mengakomodir seleksi kader
yang memiliki kualifikasi yang dibutuhkan.
Partai politik sepertinya lebih memperhatikan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
aspek keuntungan partai daripada
aspek yang lain seperti menempatkan
kapabilitas dan integritas pada nomor urut
pertama. Keuntungan dimaksud, adalah
mengakomodir dan memenuhi kebutuhan
partai dalam perspektif membangun sebuah
partai yang kuat dalam arti mempunyai
banyak konstituen. Sehingga apabila di
kemudian hari terdapat kader partai yang
sekalipun kurang kapabel dan kurang
integritas, sepanjang mampu memberikan
konstribusi kepada partainya akan dipandang
sebagai menguntungkan partai.
Kelemahan lain yang dapat dicermati
dalam perspektif fungsi partai politik
adalah kewajiban partai untuk memberikan
pendidikan politik baik kepada masyarakat
terutama kepada para kadernya. Kader
partai yang pada saatnya akan menduduki
jabatan dalam lingkungan lembaga negara
DPR RI/DPRD, mempunyai tugas utama
yaitu sebagai pembuat peraturan perundangundangan. Sebagai pembuat peraturan
perundang-undangan wajib memahami
masalah-masalah terkait fungsi teknik
pembuat peraturan perundang-undangan.
Pengetahuan tentang ilmu dan teori
perundang-undangan biasanya diperoleh
dalam jenjang pendidikan Strata 1 pada prodi
hukum, sementara syarat untuk menjadi
bakal /calon anggota partai adalah tamat
sekolah menengah atas atau yang sederajat,
sehingga mutlak diperlukan pendidikan
tambahan pra pelaksanaan tugas dan
tanggungjawabnya serta pendidikan politik
secara umum.
Upaya melakukan pembekalan dan atau
pendidikan kepada para kader partai sebagai
solusi atas lemahnya rekrutmen di atas
merupakan sebuah keniscayaan yang masih
terabaikan, sehingga secara umum fungsi
partai politik khususnya sebagai rekrutmen
politik masih belum dilaksanakan.
2. Pergeseran Fungsi Legislasi
P e r m a s a l a h a n l a i n y a n g d a p a t
mengakibatkan ketidak-tertiban dalam
proses legislasi nasional diakibatkan oleh
41
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
pergeseran fungsi legislasi. Sebagaimana
diketahui, salah satu fungsi dari lembaga
legislatif adalah membuat peraturan
perundang-undangan atau fungsi legislasi.
Sebagai bentuk ideal guna memenuhi
kewajiban kenegaraan dalam menjalankan
fungsi maka sudah selayaknya para
legislator mempunyai standar pengetahuan
dasar (basic knowledge standard) tentang
pembuatan peraturan perundang-undangan.
Legislator diharapkan mampu berpikir
secara sistemik, karena pada dasarnya
peraturan perundang-undangan merupakan
kebijakan negara tertulis yang terikat dan
merupakan satu kesatuan, dalam sebuah
Sistem Hukum Nasional, sehingga setiap
peraturan perundang-undangan haruslah
merupakan bagian sebuah sistem yang
menyeluruh dan saling terkait serta lengkap
dan komprehensif. Peraturan perundangundangan yang satu terkait dengan peraturan
perundangan yang lain dan merupakan
komponen sebuah sistem tentang hukum
yang berlaku di seluruh Indonesia, sehingga
harus terjadi sinkronisasi dan harmonisasi
antara satu dengan lainnya. Sinkronisasi dan
harmonisasi serta konsistensi dalam hukum
pada dasarnya menjadi salah satu indicator
dalam membangun sebuah sistem hukum
nasional.
P a r a l e g i s l a t o r h a r u s m a m p u
mengimplementasikan dalam menyusun
perundang-undangan yang didasarkan
pada sebuah ide-ide dasar (basic ideas)
Pancasila yang di dalamnya mengandung
keseimbangan nilai/ide dan paradigma.
Sejalan dengan langkah evaluasi internal
terkait pembangunan hukum nasional
yang diarahkan dan bersumber kepada
Pancasila sebagai hukum dasar yang antara
lain kebiasaan atau hukum adat, maka
legislator juga wajib melakukan evaluasi
dengan memperhatikan kecenderungan
yang mendekati kecocokan dengan rumpun
keluarga hukum (family law) yang berlaku
di dunia internasional. Bahkan sejalan
dengan evaluasi internal maka perlu pula
dikembangkan dengan menggunakan
42
komparasi serta memperhatikan
kecenderungan dunia dalam menyelesaikan
masalah hukum.
Guna melakukan langkah pengkajian
dan pengembangan atau pembangunan
hukum, dalam perspektif fungsi legislatif
sebagai legislator, maka tidak ada pilihan
lain harus dilakukan langkah perbaikan
sumber daya manusia para anggota dewan
menuju anggota dewan yang berkualitas
dan berintegritas, agar mampu menciptakan
hukum yang mendekati pada upaya
memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Kiranya adadium “kebodohan sangat dekan
dengan ketidakadilan” harus diupayakan
agar berbalik menjadi “kepandaian akan
melahirkan kebijakan dan kebijakan akan
mendekati keadilan”.
Pada tahapan proses pembuatan
regulasi, pun tidak terlepas memberi
kontribusi ketidaktertiban pada legislasi
nasional. Proses pembuatan undang-undang
sesuai dengan UUD Negara Republik
Indonesia 1945 hasil amandemen ke-1
sampai dengan ke-4 menjadi kekuasaan
DPR RI bersama-sama Presiden. Pembagian
kewenangan mengenai fungsi legislator
ini menjadi sangat tegas bahwa yang
berwenang adalah DPR RI dan Presiden
selaku pemegang kekuasaan pemerintahan
hanya berhak mengusulkan Rancangan
Undang-Undang dan mengesahkannya
setelah disetujui dalam rapat paripurna DPR
RI. Meskipun demikian secara substansial,
proses pembuatan perundang-undangan
sangat bersifat politis.
UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan peraturan perundangundangan, sebagaimana telah diubah
dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan peraturan perundangundangan, mengatur bahwa sebelum
pembentukan perundang-undangan diatur
dengan mekanisme yang diwajibkan
antara lain : terdapat naskah akademis,4
selanjutnya dalam pembahasan rancangan
undang-undang juga terdapat mekanisme
mendapatkan dari para ahli terkait serta
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
masyarakat, tetapi seluruh masukan dan
pendapat tersebut dapat saja diabaikan dan
ditinggalkannya manakalah mereka lebih
mendapatkan masukan dari partai politiknya
masing-masing pada saat mereka membawa
dalam bentuk daftar isian permasalahan
serta prioritas tertentu yang telah digariskan
oleh pimpinan partainya.
Substansi yang diyakini oleh pakar
sesuai bidang keahliannya dan hasil
kajian lembaga akademis dalam bentuk
naskah akademis sebagai implementasi
ilmu pengetahuan hukum serta masukan
dari elemen masyarakat yang merupakan
wujud dari rasa keadilan dan nilai-nilai
budaya yang berkembang ternyata kalah
dengan daftar isian permasalahan serta
pesan yang berasal dari hasil institusi partai
politik. Sehingga substansi keadilan yang
didasarkan dari hasil keahlian dan kajian
empiris para akademisi serta rasa keadilan
masyarakat terabaikan dan yang disusun
dalam ketentuan perundang-undangan
merupakan kebijakan yang berasal dari
pembahasan politik yang sebagian besar
meninggalkan kaidah dan norma yang diatur
dalam asas hukum dan keadilan.
Berbagai kecaman terhadap lembaga
legislatif mulai ramai disampaikan, bahkan
Jimly Assiddhiqie dalam bukunya Hukum
Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi,
menyatakan : “…perlu dipertanyakan
sejauhmana fungsi legislatif itu dapat
dipertahankan sebagai fungsi utama
parlemen. Karena kehidupan berkembang
sangat cepat, makin rumit dan kompleks,
tugas-tugas hukum dan pemerintahan juga
terus berkembang makin kompleks”.5
4. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2000 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
peraturan perundang-undangan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Padahal dalam proses legislasilah letak
relasi antara asas hukum yang berkembang
baik yang sedang berlaku maupun yang
dicita-citakan dengan langkah pendekatan
politik dalam perspektif pembuatan kebijakan,
sehingga hukum sebagai produk politik tidak
akan menjadi berkesan negatif.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa
proses pembuatan perundang-undangan
di tingkat nasional sangat didominasi
kepentingan politik, sehingga asas dan
prinsip-prinsip pembuatan perundangundangan yang baik terabaikan. Draft
akademis dan pendapat para ahli hanya
dijadikan pelengkap syarat formal yang
pada akhirnya juga dikalahkan dengan
kepentingan politik (kepentingan kelompok
melalui parpol, biaya politik, dlsb); ditambah
lagi oleh fakta lemahnya sumber daya
manusia sebagai akibat fungsi parpol yang
belum berjalan. Dengan segala aspek ini
tidaklah mengejutkan jika produk hukum
yang dihasilkan tidak memuaskan dan
mencerminkan rasa keadilan masyarakat.
C. DAMPAK PERKEMBANGAN POLITIK
PA S C A R E F O R M A S I T E R H A D A P
LEGISLASI NASIONAL
Berbagai fenomena dan praktik politik
pasca reformasi sebagaimana dijelaskan
pada bagian B, berdampak pada produk
legislasi nasional itu sendiri. Dampak yang
dirasakan secara substansial adalah berbagai
penyimpangan baik terhadap substansi dan
beberapa program legislasi nasional.
5. Jimly Assiddhiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar
Demokrasi, serpihan pemikiran hukum dan HAM,
Jakarta: Penerbit Konstitusi Press, 2004, halaman
7 ketika membahas fungsi pembuat hukum, lebih
lanjut dikatakan, “…apalagi dalam praktik selama
abad 20, terlihat adanya gejala yang menunjukkan
legislatif parlemen itu sebenarnya tidak lebih penting
dibandingkan fungsi pengawasan. Karena itu, perlu pula
dipikirkan bahwa di masa depan tugas utama parlemen
itu akan dituntut lebih menekankan fungsi pengawasan
daripada fungsi legislatif.
43
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
1. Penyimpangan Asas Hukum
Kajian dalam makalah singkat ini
diarahkan secara khusus perhatiannya pada
pembangunan hukum (pidana) dan lebih
khusus lagi pada hukum pidana administrasi.
Lahirnya berbagai UU Administrasi yang
di dalam memuat ketentuan pidana telah
membawa kita pada sebuah kenyataan
betapa banyak permasalahan yang harus
dilakukan pengkajian untuk bahan perbaikan.
Hukum administrasi mencakup ruang
lingkup yang sangat luas, karena mencakup
seperangkat hukum yang diciptakan oleh
lembaga administrasi dalam bentuk undangundang. Philipus M. Hadjon dalam bukunya
Himpunan Perundang-undangan Republik
Indonesia sebagaimana dikutip oleh Barda
Nawawi Arief, mencatat setidaknya sampai
dengan 1987, terdapat 88 (delapan puluh
delapan) aturan yang termuat dalam hukum
administrasi, sudah barang tentu lebih
banyak lagi dalam kondisi saat ini.
Ternyata benar bahwa pembangunan
hukum nasional tidaklah cukup dijalankan
melalui perancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), karena sebenarnya
KUHP hanya berupa salah satu hukum
substantif sebagai hukum materiil, sebagai
peninggalan colonial yang telah usang
(ubsolute and unjust) serta ketinggalan
jaman dan tidak sesuai dengan kenyataan
(outmoded and unreal). Hukum kolonial yang
merupakan warisan dan diberlakukan dalam
negara bekas jajahan pada dasarnya telah
memberlakukan hukum yang sama sekali
tidak bersumber pada budaya dan nilai-nilai
asli Indonesia.
Hukum pidana sebagaimana sifat hukum
pada umumnya akan selalu berkembang,
demikian pula dalam tataran internasional
hukum pidana telah mengalami pergeseran
arah pembangunannya, hal ini ditandai
dengan rekomendasi untuk melakukan
kajian/penggalian hukum yang hidup dan
bersumber dari nilai-nilai hukum agama
dan hukum tradisional/ adat serta nilai-nilai
hukum asli dari masyarakat. Hal ini sejalan
dengan yang disampaikan oleh Barda
44
Nawawi Arief, dalam bukunya yang berjudul
“Pembaharuan Hukum Pidana, dalam
perspektif perbandingan” yang mengatakan:
“…bahwa kecenderungan internasional di
dalam melakukan upaya pemikiran kembali
dan penggalian hukum dalam rangka
memantapkan strategi penanggulangan
kejahatan yang integral ialah himbauan untuk
melakukan pendekatan yang berorientasi
nilai (value oriented approach) baik nilai
kemanusiaan maupun nilai-nilai identitas
budaya dan nilai-nilai moral keagamaan”.
Sementara jika diperhatikan para
legislator justru membuat berbagai peraturan
perundang-undangan administratif sebagai
hukum pidana administrasi dengan sanksi
yang tidak mempunyai keseragaman. Ada
yang menggunakan hanya pidana (single
track system); ada yang menggunakan
istilah sanksi administrasi, tetapi ada yang
menggunakan istilah tindakan administrasi;
ada yang menggunakan pidana pokok,
tetapi ada yang menggunakan pidana pokok
serta pidana tambahan; sanksi administrasi
sebagai tindakan tata tertib; dan sebagainya.
Bahkan hukum pidana administrasi seolah
mengarah meninggalkan trend sanksi pidana
yang sedang berlaku secara internasional.
Sementara itu trend sanksi pada hukum
pidana internasional sedang menuju pada
ide penggunaan pidana penjara yang selektif
dan limitatif, double track system yaitu antara
sanksi pidana/punishment dengan tindakan/
treatment, pemaafan/pengampunan hakim
(rechterlijk pardon) dan sebagainya.
Munculnya delik baru sebagai bentuk
kebijakan kriminal berupa tindakan
mengkriminalisasikan berbagai tindakan
pada perundang-undangan administratif
semakin menambah panjangnya deretan
daftar delik tersebar di luar KUHP.
Kurang dicermati adanya kemungkinan
mendisiplinkan berlakunya sistem kodifikasi
yaitu dengan menarik berbagai delik yang
tersebar di luar KUHP ke dalam KUHP
melalui sistematika kodifikasi hukum pidana
yang telah dirumuskan dalam KUHP.
Terkait masalah kriminalisasi Soedarto
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
dalam bukunya yang berjudul “Hukum dan
Hukum Pidana” sebagaimana disitir oleh
Muladi dan Barda Nawawi Arief, mengatakan
bahwa untuk mempermasalahkan perbuatan
apa yang seharusnya dijadikan tindak
pidana harus memenuhi 4 (empat) hal
inti . Penyimpangan lain juga didapati
dalam lapangan praktik penegakan hukum
hukum pidana yang menimbulkan masalah
penegakan hukum (pidana) juga didapati
dalam masalah sinkronisasi beberapa hukum
fomal sebagai ketentuan pelaksanaan
penegakan hukum pidana materiil
terutama sehubungan dengan merespons
perkembangan kejahatan seiring dengan
era globalisasi yang memunculkan berbagai
delik baru sebagai akibat perkembangan
teknologi, terutama yang berkaitan dengan
bukti dan cara pembuktian.
Sementara itu pada sisi lain para
legislator semakin ketinggalan para hakim
pada Mahkamah Kostitusi sebagai lembaga
yang berfungsi melaksanakan judicial review
terhadap berbagai peraturan perundangundangan di bawah UUD. Mahkamah
Konstitusi mempunyai kemampuan
menafsirkan dan atau memaknai hukum
yang diamanatkan konstitusi sebagai
kesepakatan nasional atau frame work
berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak
mengherankan jika kemudian terdapat kasus
yang akhir-akhir ini aktual yaitu sengketa
masa jabatan ketua KPK terpilih.
2. Politik Hukum Indonesia
Sebagaimana diketehui berbagai protes
dan kritik dari masyarakat, akademisi serta
para pemerhati hukum dan perundangundangan yang berujung pada permohonan
pengujian perundang-undangan (Judicial
review) melalui Mahkamah Konstitusi
sebagian besar disertai dengan permohonan
uji formil yaitu permohonan yang berkaitan
dengan mekanisme atau proses pembuatan
perundang-undangan. Pemohon dalam
pengujian formil biasanya mendasarkan pada
alasan bahwa proses pembuatan UndangUndang tidak responsif, kurang menyertakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
peran serta masyarakat sebagai subyek
hukum, dan lain-lain. Sedangkan alasan
atau dasar permohonan yang berkaitan
dengan permohonan materiil lebih diarahkan
pada potensi pelanggaran hak-hak sipil,
pelanggaran hak asasi manusia, tidak pro
rakyat bahkan tuduhan neo liberal.
Berdasarkan fakta tersebut, para legislator
sebagai wakil rakyat yang terlibat langsung
dengan pembuatan kebijakan diharapkan
menyambut baik dan merespons dengan
melakukan langkah-langkah perbaikan
yang signifikan dan strategis yaitu dengan
merubah atau memperbaiki mekanisme
pengambilan keputusan politis secara lebih
responsif dan populis, memperhatikan
substansi Undang-Undang agar memenuhi
kebutuhan masyarakat, memperhatikan
perlindungan terhadap kepentingan bangsa
dan negara, serta menciptakan peraturan
perundang-undangan yang menghor-mati
dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Undang-Undang yang pada dasarnya
merupakan kebijakan negara tertulis
wajib memenuhi standar yang ditentukan
dalam menyusunnya yaitu setidaktidaknya memenuhi asas-asas yang baik
dalam peraturan perundan-undangan .
Sementara itu Solly Lubis dalam bukunya
Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
mengatakan ada 3 (tiga) paradigma dalam
penyusunan peraturan perundang-undangan
yaitu landasan filosofis/paradigma filosofis,
landasan yuridis/paradigma yuridis dan
landasan politis/ paradigma politis .
3. Proses Program Legislasi Nasional
Pada masa orde baru, eksekutif
memegang kekuasaan yang sangat kuat
bahkan memenuhi teori yang dikemukakan
oleh seorang sejarahwan dari Inggris, Lord
Acton, yang mengatakan : “power tend to
corrupt, but ubsoludly power corrup ubsoludly”.
Dengan mengingat bahwa pemerintahan
dijalankan oleh manusia dan manusia
selalui dilengkapi dengan kelemahan,
demikianlah setiap pemegang kekuasaan
akan senantiasa cenderung menggunakan
45
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
kekuasaanya secara menyimpang dan
barang siapa memegang kekuasaan
yang mutlak maka dapat dipastikan akan
menggunakan kekuasaannya yang mutlak
tersebut secara menyimpang. Pemerintah
Orde Baru telah terbukti dilaksanakan
secara otoriter dan militeristik, hal ini terjadi
karena kekuasaan yang berlebihan diberikan
dan atau dimiliki oleh lembaga eksekutif.
Meskipun demikian terdapat beberapa hal
praktek penyelenggaraan negara yang dapat
dijadikan bahan belajar bersama, khususnya
terkait proses prolegnas.
Prolegnas adalah program legislasi
nasional, yang oleh I Gde Panca Astawa
dikatakan “...Prolegnas adalah instrumen
perencanaan pembentukan Undang-Undang
yang disusun oleh DPR RI dan Presiden
dan berisikan skala prioritas sesuai dengan
perkembangan masyarakatyang memuat
program legislatif jangka panjang, menengah
dan pendek”.
Pasca reformasi proses prolegnas
dilaksanakan melalui proses pembuatan
dalam kebijakan dengan diberikan payung
hukum berupa Undang-Undang, kritik yang
dapat disampaikan adalah dalam penyusunan
prolegnas masih dimungkinkan bersifat
parsial dan belum secara komprehensif.
Prolegnas disusun dalam waktu 5 (lima)
tahunan dan dilaksanakan setiap tahun,
tetapi tidak terdapat jaminan bahwa apa
yang telah disepakati oleh rejim yang
berkuasa saat ini akan secara pasti menjadi
kelanjutan dibahas dan diteruskan untuk
rejim yang berkuasa berikutnya. Kelemahan
ini sama dengan permasalahan yang dialami
ketika para penyelenggara negara terpilih
dari hasil pemilu akan secara arif dan
bijaksana mengikuti dan melanjutkan RAPBN
pendahulunya. Prolegnas seharusnya
disusun secara sistemik sebagai bagian
sistem prolegnas nasional menuju sistem
hukum nasional yaitu berupa sebuah blue
print pembangunan hukum (pidana) yang
dibangun berdasarkan asas-asas dan
prinsip hokum yang berasal dari nilai-nilai
Ketuhanan, budaya asli bangsa Indonesia,
46
dengan menghormati dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia tetapi tetap selaras dan
serasi dengan trend perkembangan hokum
(pidana) yang berlaku secara internasional
dan universal.
Dari perspektif waktu, terdapat sebuah
mekanisme penyusunan program legislasi
nasional dalam jangka pendek dan jangka
menengah (sebagai bagian pembuatan
hukum positif yang akan dilaksanakan dalam
waktu sekaran dan dalam waktu dekat
dilakukan berbagai sinkronisasi, harmonisasi
dan mengikuti perkembangan hukum yang
berlaku dalam masyarakat baik secara
nasional maupun prinsip dan asas hukum
internasional) serta terdapat pula langkah
penyusunan prolegnas untuk kebutuhan
jangka panjang yang merupakan bagian
penyempurnaan serta menyusun hukum
yang dicita-citakan.
D. MENUJU TERTIB HUKUM NASIONAL
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di
atas, kiranya dapat dipahami bahwa kebijakan
legislasi pada saat ini belum menuju pada tertib
hukum nasional. Kebijakan legislasi masih
sangat bergantung pada para penyelenggara
negara yang sedang berkuasa, tergantung
pada wawasan serta latar belakang pemikiran
atau interest para penyelenggaran negara yang
telah menang dalam pemilu serta masih diwarnai
dengan kepentingan sesaaat dan kepentingan
kelompok tertentu.
Untuk menghindari hal tersebut,
maka hal yang bisa dilakukan paling tidak
mengembalikan fungsi hukum sebagai produk
politik dengan segala konsekuensinya dan
pertanggungjawabannya pada bangsa dan
Negara, serta menempatkan kembali Pancasila
sebagai asas bernegara, sebagai pedoman
dan batasan dalam melaksanakan wewenang
yang diberikan secara politik kepada lembaga
eksekutif maupun legislatif. Pancasila sebagai
dasar Negara yang berasal dari nilai-nilai asli
bangsa Indonesia secara fleksibel tetap dapat
mengikuti perkembangan pembangunan hokum
dunia, karena Pancasila diciptakan dengan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
memperhatikan nilai Ketuhanan, kebangsaan,
persatuan bangsa dan keselamatan bangsa dan
Negara, nilai kerakyatan dan keadilan.
1. Hukum Sebagai Produk Politik
Kiranya tidak dapat dipungkiri bahwa
hukum merupakan produk politik, hal senada
juga dibuktikan melalui desertasi Mahfud MD
yang dikutip dari dalam bukunya yang berjudul
“Politik hukum di Indonesia”, dikatakan
bahwa “...hubungan tolak tarik antara
politik dan hukum, maka hukumlah yang
terpengaruh oleh politik, karena subsistem
politik mempunyai konsentrasi energi yang
lebih besar daripada hukum”. Sehingga
hukum memang sangat dipengaruhi oleh
politik, namun hendaknya hukum tidak hanya
dipandang sebagai das sollen (keharusan)
yaitu hukum harus merupakan pedoman
dalam segala tingkat hubungan antar
anggota masyarakat termasuk dalam segala
kegiatan politik. Dengan membuat hukum
yang secara substansial memenuhi kriteria
yang menguntungkan bagi kepentingan
tertentu maka harus dipatuhi dan dijadikan
landasan bertindak. Sudah selayaknya
hukum juga dilihat dari perspektif das sein
(kenyataan) bahwa dalam kenyataannya
memang hukum merupakan produk politik,
tetapi dalam keputusan politik sebagai
proses harus memperhatikan juga kenyataan
realitas hukum dengan politik. Dalam
mengambil keputusan politik yang kelak
akan melahirkan hukum dibatasi dengan
berbagai ketentuan baik syarat hukum yang
populis, asas pembuatan hukum yang baik,
tujnuan hukum disandingkan dengan tujuan
bernegara dan sebagainya.
Demikianlah proses pembuatan hukum
tertulis berupa perundang-undangan,
mulai dari proses perencanaan pembuatan
peraturan perundang-undangan didasarkan
pada bingkai pemikiran yang dituangkan
dalam sebuah prolegnas. Prolegnas yang
dilaksanakan adalah prolegnas 5 (lima)
tahunan dan dikerjakan dalam setiap
tahun anggaran, sebagai bagian program
kerja masing-masing yang berkuasa pada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
saat itu. Ketika memasuki tahap proses
pembuatan akan sangat diwarnai dengan
dinamika yang berkembang dan interes
yang ada serta melatarbelakangi proses
itu sendiri, sehingga hukum yang lahir jauh
dari rasa keadilan masyarakat. Hukum yang
lahir seolah mengabaikan berbagai asas
pembuatan hukum yang baik, asas serta
prinsip hukum itu sendiri, tujuan pembuatan
hukum dibuat sebaik mungkin berupa
bungkus yang indah tetapi substansi yang
dibuat belum memadai disebut sebagai
sebuah sistem kebijakan tertulis yang
menampung amanat penderitaan rakyat
berdasarkan pada ideologi bangsa.
H u k u m y a n g d i b u a t s e h a r u s n y a
memenuhi seluruh syarat pembuatan hukum
dan secara integral merupakan bagian
membangun dan memperbaharui hukum
secara nasional sehingga menuju tertib
hukum nasional. Dalam perspektif hukum
pidana, khususnya perkembangan lahirnya
hukum pidana administrasi, seyogyanya
terdapat sinkronisasi antara asas hukum
pidana administrasi sebagai lex specialis
dengan hukum pidana umum sebagai
genusnya. Berbagai asas hukum pidana
terutama yang berkaitan dengan penerapan
sanksi pidana dalam perundang-undangan
administrasi sudah selayaknya diambil
langkah kebijakan penerapan sanksi pidana
dengan memedomani trend sanksi pidana
yang sedang berlaku di Indonesia serta trend
sanksi pidana internasional.
Seluruh kebijakan kriminal yang telah
dilakukan dalam proses pembuatan hukum
pidana administrasi, seyogyanya juga
diselaraskan dengan langkah kodifikasi
hukum, sebagai pilihan sistem yang berlaku
dalam hukum pidana, yaitu dengan memilah
berbagai delik yang telah lahir dalam
perundang-undangan administrasi untuk
ditarik dan dimasukkan dalam KUHP sebagai
delik baru berdasarkan klasifikasi delik yang
telah diatur dalam KUHP.
Pembahasan pada bagian ini diarahkan
pada pandangan saya bahwa untuk
mencapai sebuah tertib hukum nasional
47
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
diperlukan sebuah blue print pembangunan
hukum secara nasional yang dapat
diimplementasikan melalui proses legislasi
nasional yang sistemik, konsisten dan
berkelanjutan. Sistem pembangunan hukum
nasional akan memuat berbagai asas-asas,
prinsip-prinsip hukum baik nasional (yaitu
menggali dari nilai-nilai keagamaan dan
budaya serta rasa keadilan rakyat bangsa
Indonesia yang terkandung dalam Pancasila
sebagai dasar negara) tetapi sekaligus
tetap secara selaras dilakukan sinkronisasi
dengan berlakunya asas-asas dan prinsip
hukum yang berlaku secara internasional
dan universal.
Pada saat ini yang terjadi adalah
pembangunan hukum yang belum bersifat
sistemik sehingga hukum dibangun
berdasarkan target legislasi yang masih
parsial, tidak konsistem serta terdapat
kecenderungan menjauh dari asas-asas
dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku
secara nasional dan internasional (sebagai
contohnya adalah berbagai perundangundangan pidana administratif). Dengan
tanpa mengingkari fakta bahwa hukum
merupakan produk politik, tetapi dengan
segala keterbatasan yang saya miliki saya
ingin mengajukan usulan agar dalam
membangun hukum, relasi hukum dan
politik diarahkan pada menetapkan dan
memprioritaskan terbentuknya sebuah
sistem hukum nasional sebagai blue print
pembangunan hukum nasional (yang sampai
dengan saat ini masih berupa wacana),
menciptakan sebuah sistem tata kelola partai
politik yang mendukung pelaksanaan fungsi
legislatif sebagai lembaga negara sehingga
tercipta relasi anatara hukum dan politik yang
ideal menuju tertib hukum nasional.
2. Revitalisasi Pancasila Sebagai Asas
Bernegara
Terkait dengan hukum yang berlaku
dan yang akan datang, sudah selayaknya
Pancasila sebagai idea bangsa menjadi
sumber hukum utama bagi pembangunan
hukum. Sebagaimana telah dikemukakan
48
oleh Barda Nawawi Arief terdahulu, patut
kita bersyukur bahwa ternyata Pancasila
s e b a g a i id e o lo g i b a n g s a I n d on e s i a
mampu memberikan landasan dalam
menetapkan ideologi bangsa yang up to
date, yaitu menempatkan landasan filosofi
pembangunan hukum yang sampai dengan
saat ini sejalan dengan perkembangan
hukum yang berlaku secara internasional.
P a n c a s i l a m e n g a m a n a t k a n
pembangunan hukum agar senantiasa
melandasi nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan
(humanis), kebangsaan dan kerakyatan
serta keadilan. Dalam perspektif Ketuhanan,
hukum wajib digali dan disesuaikan dengan
nilai spiritualitas dari setiap ajaran agama
yang pada dasarnya mengajarkan untuk
berbuat baik dalam hubungan dengan
manusia dan Tuhannya. Hukum juga
mempunyai kewajiban untuk melindungi
bangsa dan negara, oleh karena itu hukum
yang dibangun haruslah memenuhi kriteria
perlindungan kepentingan bangsa dan
sekaligus merupakan alat pemersatu bangsa.
Daniel S Lev dalam bukunya “Hukum
dan politik di Indonesia, kesinambungan
dan perubahan”, mengatakan bahwa “...
satu-satunya solusi yang paling tepat adalah
pengetahuan yang relevan, ideologi yang
diartikulasikan secara jelas, dan kekuasaan
yang dikelola secara efektif ...”. Hukum yang
meninggalkan kepentingan kebangsaan pada
dasarnya hukum yang bertentangan dengan
hukum yang hidup dan berkembang dalam
berbangsa dan bernegara. Hukum harus pula
memenuhi nilai perlindungan kepada rakyat,
perlindungan pada hak asasi manusia, hak
pribadi secara seimbang dengan bangsa
atau masyarakat pada umumnya. Dan
yang paling penting adalah nilai keadilan
yang diharapkan oleh seluruh masyarakat
bangsa Indonesia wajib diusahakan dalam
membentuk hukum. Sejalan dengan hal
tersebut maka sudah seharusnya seluruh
pembuatan hukum harus dilandaskan pada
Pancasila sebagai dasar negara yang
merupakan cita-cita bangsa dan negara yang
mengandung nilai-nilai luhur.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Ketidaktertiban Hukum Nasional
Dalam Kebijakan Legislasi Pasca Reformasi
Oleh: Prastopo, S.H., M.H.
E.PENUTUP
Sebagai penutup dari makalah ini dan
sebagai kesimpulan yang dapat ditarik dari
pembahasan di atas, bahwa pasca reformasi
pembangunan hukum masih harus tetap
dilakukan kritisi agar menuju jalan dan sasaran
yang tepat yaitu pembangunan hukum yang
menuju kepada tujuan berbangsa dan bernegara
sekaligus menunju terciptanya tertib hukum
nasional. Berdasarkan pembahasan di atas,
pembangunan hukum pasca reformasi masih
dilaksanakan secara parsial, dilakukan oleh
para legislator yang belum secara maksimal
mempunyai kapabelitas serta integritas sebagai
pembuat perundang-undangan, sehingga
menuju pada pembuatan perundang-undangan
yang justru menjauh dari asas, prinsip dan tujuan
dibuatnya hukum.
Hal ini juga ditambah dengan
permasalahan sistem politik yang masih dalam
masa transisi, sehingga masih diwarnai dengan
berbagai kelemahan disana-sini, bahkan dapat
dikatakan proses pembuatan hukum khususnya
hukum pidana administrasi masih sangat
dipengaruhi dengan lemahnya penataan pilar
demokrasi berupa partai politik yang sangat
kuat pengaruhnya dalam pengambilan kebijakan
tertulis yang berbentuk perundang-undangan.
Pembangunan hukum hendaknya tetap
berpegang pada prinsip dan asas pembuatan
hukum yang baik, memedomani asas dan
prinsip hukum itu sendiri serta tujuan dibuatnya
hukum. Hal lain yang harus diperhatikan adalah
bahwa pembuatan hukum harus senantiasa
berada satu bangunan dalam bangunan sistem
hukum nasional sebagai tertib hukum yang dlam
perspektif hukum pidana adalah memedomani
seluruh ketentuan hukum pidana umum sebagai
genus kecuali yang memang dapat diatur secara
menyimpang sebagai pengeculaiannya.
Demikianlah studi tentang relasi hukum
dan politik yang dipilih dengan diberi judul
“Kebijakan legislasi pasca reformasi, masih
belum menuju tertib hukum nasional” ini disusun
dengan segala keterbatasan waktu yang
tersedia, sehingga penuh dengan kekurangan.
Namun tidak berlebihan kiranya jika disertai
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
harapan agar dapat menjadi bagian menambah
wacana berpikir dalam membangun hukum
secara nasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku :
Nawawi Arief, Barda, Pembaharuan hukum
pidana dalam perspektif kajian perbandingan,
Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2005,
Assidiqqie, Jimmly, Hukum Tata Negara dan
Pilar-pilar Demokrasi, serpihan pemikiran
hukum dan HAM, Jakarta: Penerbit Konstitusi
Press, 2004,
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik,
edisi revisi, Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008
Lubis, Solly, Ilmu Pengetahuan Perundangundangan, Bandung : Penerbit Mandar Maju,
2009
Lev, Daniel S., Hukum dan politik di Indonesia,
kesinambungan dan perubahan, Jakarta :
LP3ES, 1990
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori
dan kebijakan pidana, Bandung: Penerbit
Alumni, 1992,
MD, Mahfud, Politik hukum di Indonesia, Jakarta
: LP3ES, 1998,
Panca Astawa, I Gde dan Suprin Na’a, Dinamika
hukum dan ilmu perundang-undangan di
Indonesia, Bandung: PT Penerbit Alumni,
2008,
Sunny, Ismail, Pergeseran kekuasaan eksekutif,
Jakarta: Penerbit Aksara Baru, 1986
2. Undang-Undang :
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2000 tentang Pembentukan peraturan
perundang-undangan, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Perubahan terhadap
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan perundangundangan.
49
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 ayat (2) dan Pasal 49 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat ( 2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Barang milik negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
2. Barang milik daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal
dari perolehan lainnya yang sah.
3. Pengelola barang adalah pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan
50
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dan pedoman serta melakukan pengelolaan
barang milik negara/daerah.
4. Pengguna barang adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan barang milik
negara/daerah.
5. Kuasa pengguna barang adalah kepala
satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk
oleh pengguna barang untuk menggunakan
barang yang berada dalam penguasaannya
dengan sebaik-baiknya.
6. Perencanaan kebutuhan adalah kegiatan
merumuskan rincian kebutuhan barang
milik negara/daerah untuk menghubungkan
pengadaan barang yang telah lalu dengan
keadaan yang sedang berjalan sebagai
dasar dalam melakukan tindakan yang akan
datang.
7. Penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan
oleh pengguna barang dalam mengelola
dan menatausahakan barang milik negara/
daerah yang sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi instansi yang bersangkutan.
8. Pemanfaatan adalah pendayagunaan
barang milik negara/daerah yang tidak
dipergunakan sesuai dengan tugas pokok
dan fungsi kementerian/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah, dalam bentuk sewa,
pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, dan
bangun serah guna/bangun guna serah
dengan tidak mengubah status kepemilikan.
9. Sewa adalah pemanfaatan barang milik
negara/daerah oleh pihak lain dalam jangka
waktu tertentu dan menerima imbalan uang
tunai.
10.Pinjam pakai adalah penyerahan penggunaan
barang antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah dan antar pemerintah
daerah dalam jangka waktu tertentu tanpa
menerima imbalan dan setelah jangka waktu
tersebut berakhir diserahkan kembali kepada
pengelola barang.
11.K e r j a s a m a p e m a n f a a t a n a d a l a h
pendayagunaan barang milik negara/daerah
oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu
dalam rangka peningkatan penerimaan
negara bukan pajak/pendapatan daerah dan
sumber pembiayaan lainnya.
12.Bangun guna serah adalah pemanfaatan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
barang milik negara/daerah berupa tanah
oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, kemudian didayagunakan
oleh pihak lain tersebut dalam jangka
waktu tertentu yang telah disepakati, untuk
selanjutnya diserahkan kembali tanah
beserta bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya setelah berakhirnya jangka
waktu.
13.Bangun serah guna adalah pemanfaatan
barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya, dan
setelah selesai pembangunannya diserahkan
untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
14.Penghapusan adalah tindakan menghapus
barang milik negara/daerah dari daftar
barang dengan menerbitkan surat keputusan
dari pejabat yang berwenang untuk
membebaskan pengguna dan/atau kuasa
pengguna barang dan/atau pengelola
barang dari tanggung jawab administrasi
dan fisik atas barang yang berada dalam
penguasaannya.
15.Pemindah tanganan adalah pengalihan
kepemilikan barang milik negara/daerah
sebagai tindak lanjut dari penghapusan
dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan
atau disertakan sebagai modal pemerintah.
16.Penjualan adalah pengalihan kepemilikan
barang milik negara/daerah kepada pihak
lain dengan menerima penggantian dalam
bentuk uang.
17.Tu k a r - m e n u k a r a d a l a h p e n g a l i h a n
kepemilikan barang milik negara/daerah
yang dilakukan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, antar pemerintah
daerah, atau antara pemerintah pusat/
pemerintah daerah dengan pihak lain,
dengan menerima penggantian dalam
bentuk barang, sekurang-kurangnya dengan
nilai seimbang.
18.Hibah adalah pengalihan kepemilikan barang
dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, dari pemerintah daerah kepada
pemerintah pusat, antar pemerintah daerah,
51
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
atau dari pemerintah pusat/ pemerintah
daerah kepada pihak lain, tanpa memperoleh
penggantian.
19.Penyertaan modal pemerintah pusat/
daerah adalah pengalihan kepemilikan
barang milik negara/daerah yang semula
merupakan kekayaan yang tidak dipisahkan
menjadi kekayaan yang dipisahkan untuk
diperhitungkan sebagai modal/saham
negara atau daerah pada badan usaha milik
negara, badan usaha milik daerah, atau
badan hukum lainnya yang dimiliki negara.
20.Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan
yang meliputi pembukuan, inventarisasi,
dan pelaporan barang milik negara/daerah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
21.Inventarisasi adalah kegiatan untuk
melakukan pendataan, pencatatan, dan
pelaporan hasil pendataan barang milik
negara/daerah.
22.Penilaian adalah suatu proses kegiatan
penelitian yang selektif didasarkan pada
data/fakta yang objektif dan relevan dengan
menggunakan metode/teknik tertentu untuk
memperoleh nilai barang milik negara/
daerah.
23.Daftar barang pengguna, yang selanjutnya
disingkat dengan DBP, adalah daftar yang
memuat data barang yang digunakan oleh
masing-masing pengguna barang.
24.Daftar barang kuasa pengguna, yang
selanjutnya disingkat dengan DBKP, adalah
daftar yang memuat data barang yang
dimiliki oleh masing-masing kuasa pengguna
barang.
25.Kementerian negara/lembaga adalah
kementerian negara/ lembaga pemerintah
non kementerian negara/lembaga negara.
26.Menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat
yang bertanggungjawab atas penggunaan
barang kementerian negara/lembaga yang
bersangkutan.
27.Pihak lain adalah pihak-pihak selain
kementerian negara/lembaga dan satuan
kerja perangkat daerah.
Pasal 2
(1)Barang milik negara/daerah meliputi:
52
a. barang yang dibeli atau diperoleh atas
beban APBN/D;
b. barang yang berasal dari perolehan
lainnya yang sah;
(2)Barang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b meliputi:
a. barang yang diperoleh dari hibah/
sumbangan atau yang sejenis;
b. b a r a n g y a n g d i p e r o l e h s e b a g a i
pelaksanaan dari perjanjian/kontrak;
c. barang yang diperoleh berdasarkan
ketentuan undang-undang; atau
d. barang yang diperoleh berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 3
(1)Pengelolaan barang milik negara/daerah
dilaksanakan berdasarkan asas fungsional,
kepastian hukum, transparansi dan
keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan
kepastian nilai.
(2)Pengelolaan barang milik negara/daerah
meliputi:
a.p e r e n c a n a a n k e b u t u h a n d a n
penganggaran;
b.pengadaan;
c.penggunaan;
d.pemanfaatan;
e. pengamanan dan pemeliharaan;
f.penilaian;
g.penghapusan;
h.pemindahtanganan;
i.penatausahaan;
j. p e m b i n a a n , p e n g a w a s a n d a n
pengendalian.
BAB II
PEJABAT PENGELOLAAN BARANG
MILIK NEGARA/DAERAH
Bagian Kesatu
Pengelola Barang
Pasal 4
(1) Menteri Keuangan selaku bendahara umum
negara adalah pengelola barang milik
negara.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
(2)Pengelola barang milik negara berwenang
dan bertanggungjawab:
a. merumuskan kebijakan, mengatur, dan
menetapkan pedoman pengelolaan
barang milik negara;
b. meneliti dan menyetujui rencana
kebutuhan barang milik negara;
c. menetapkan status penguasaan dan
penggunaan barang milik negara;
d. mengajukan usul pemindahtanganan
barang milik negara berupa tanah dan
bangunan yang memerlukan persetujuan
DPR;
e. memberikan keputusan atas usul
pemindahtanganan barang milik negara
berupa tanah dan bangunan yang
tidak memerlukan persetujuan DPR
sepanjang dalam batas kewenangan
Menteri Keuangan;
f. m e m b e r i k a n p e r t i m b a n g a n d a n
meneruskan usul pemindahtanganan
barang milik negara berupa tanah dan
bangunan yang tidak memerlukan
persetujuan DPR sepanjang dalam batas
kewenangan Presiden;
g. memberikan keputusan atas usul
pemindahtanganan dan penghapusan
barang milik negara selain tanah dan
bangunan sesuai batas kewenangannya;
h. m e m b e r i k a n p e r t i m b a n g a n d a n
meneruskan usul pemindahtanganan
barang milik negara selain tanah dan
bangunan kepada Presiden atau DPR;
i. menetapkan penggunaan, pemanfaatan
atau pemindahtanganan tanah dan
bangunan;
j. memberikan keputusan atas usul
pemanfaatan barang milik negara selain
tanah dan bangunan;
k. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
inventarisasi barang milik negara serta
menghimpun hasil inventarisasi;
l. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n
pengendalian atas pengelolaan barang
milik negara;
m. menyusun dan mempersiapkan Laporan
Rekapitulasi barang milik negara/daerah
kepada Presiden sewaktu diperlukan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pasal 5
(1) Gubernur/bupati/walikota adalah pemegang
kekuasaan pengelolaan barang milik daerah.
(2)Pemegang kekuasaan pengelolaan barang
milik daerah mempunyai wewenang:
a. menetapkan kebijakan pengelolaan
barang milik daerah;
b. menetapkan penggunaan, pemanfaatan
atau pemindahtanganan tanah dan
bangunan;
c. menetapkan kebijakan pengamanan
barang milik daerah;
d. mengajukan usul pemindahtanganan
barang milik daerah yang memerlukan
persetujuan DPRD;
e. menyetujui usul pemindahtanganan dan
penghapusan barang milik daerah sesuai
batas kewenangannya;
f. menyetujui usul pemanfaatan barang
milik daerah selain tanah dan/atau
bangunan.
(3)Sekretaris Daerah adalah pengelola barang
milik daerah.
(4)Pengelola barang milik daerah berwenang
dan bertanggung jawab:
a. menetapkan pejabat yang mengurus dan
menyimpan barang milik daerah;
b. meneliti dan menyetujui rencana
kebutuhan barang milik daerah;
c. meneliti dan menyetujui rencana
kebutuhan pemeliharaan/perawatan
barang milik daerah;
d. mengatur pelaksanaan pemanfaatan,
penghapusan, dan pemindahtanganan
barang milik daerah yang telah disetujui
oleh gubernur/bupati/walikota atau
DPRD;
e. melakukan koordinasi dalam pelaksanaan
inventarisasi barang milik daerah;
f. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n
pengendalian atas pengelolaan barang
milik daerah.
Bagian Kedua
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang
Pasal 6
(1)Menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan
53
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
kementerian negara/lembaga adalah
pengguna barang milik negara.
(2)Pengguna barang milik negara berwenang
dan bertanggungjawab:
a. menetapkan kuasa pengguna barang
dan menunjuk pejabat yang mengurus
dan menyimpan barang milik negara;
b. mengajukan rencana kebutuhan dan
penganggaran barang milik negara
untuk kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya;
c. melaksanakan pengadaan barang milik
negara sesuai dengan perundangundangan yang berlaku;
d. mengajukan permohonan penetapan
status tanah dan bangunan untuk
penguasaan dan penggunaan barang
milik negara yang diperoleh dari beban
APBN dan perolehan lainnya yang sah;
e. menggunakan barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya untuk
kepentingan penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi kementerian negara/
lembaga;
f. mengamankan dan memelihara barang
milik negara yang berada dalam
penguasaannya;
g. mengajukan usul pemanfaatan dan
pemindahtanganan barang milik negara
selain tanah dan bangunan;
h. mengajukan usul pemindahtanganan
dengan tindak lanjut tukar menukar
berupa tanah dan bangunan yang masih
dipergunakan untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi namun tidak
sesuai dengan tata ruang wilayah atau
penataan kota;
i. mengajukan usul pemindahtanganan
dengan tindak lanjut penyertaan modal
pemerintah pusat/daerah atau hibah
yang dari awal pengadaaannya sesuai
peruntukkan yang tercantum dalam
dokumen penganggaran;
j. menyerahkan tanah dan bangunan yang
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya kepada pengelola barang;
54
k. m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n
pengendalian atas penggunaan
barang milik negara yang ada dalam
penguasaannya;
l. melakukan pencatatan dan inventarisasi
barang milik negara yang berada dalam
penguasaannya;
m. menyusun dan menyampaikan Laporan
Barang Pengguna Semesteran (LBPS)
dan Laporan Barang Pengguna
Tahunan (LBPT) yang berada dalam
penguasaannya kepada pengelola
barang.
Pasal 7
(1) Kepala kantor dalam lingkungan kementerian
negara/lembaga adalah kuasa pengguna
barang milik negara dalam lingkungan kantor
yang dipimpinnya.
(2)Kuasa pengguna barang milik negara
berwenang dan bertanggungjawab:
a. mengajukan rencana kebutuhan barang
milik negara untuk lingkungan kantor
yang dipimpinnya kepada pengguna
barang;
b. mengajukan permohonan penetapan
status untuk penguasaan dan penggunaan
barang milik negara yang diperoleh dari
beban APBN dan perolehan lainnya yang
sah kepada pengguna barang;
c. melakukan pencatatan dan inventarisasi
barang milik negara yang berada dalam
penguasaannya;
d. menggunakan barang milik negara
yang berada dalam penguasaannya
untuk kepentingan penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kantor yang
dipimpinnya;
e. mengamankan barang milik negara yang
berada dalam penguasaannya;
f. mengajukan usul pemindahtanganan
barang milik negara berupa tanah dan
bangunan yang tidak memerlukan
persetujuan DPR dan barang milik
negara selain tanah dan bangunan
kepada pengguna barang;
g. menyerahkan tanah dan bangunan yang
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi kantor yang dipimpinnya kepada
pengguna barang;
h.m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n
pengendalian atas penggunaan
barang milik negara yang ada dalam
penguasaannya;
i. menyusun dan menyampaikan Laporan
Barang Kuasa Pengguna Semesteran
(LBKPS) dan Laporan Barang Kuasa
Pengguna Tahunan (LBKPT) yang
berada dalam penguasaannya kepada
pengguna barang.
Pasal 8
(1)Kepala satuan kerja perangkat daerah
adalah pengguna barang milik daerah.
(2)Kepala satuan kerja perangkat daerah
berwenang dan bertanggungjawab:
a. mengajukan rencana kebutuhan barang
milik daerah bagi satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
b. mengajukan permohonan penetapan
status untuk penguasaan dan penggunaan
barang milik daerah yang diperoleh dari
beban APBD dan perolehan lainnya yang
sah;
c. melakukan pencatatan dan inventarisasi
barang milik daerah yang berada dalam
penguasaannya;
d. menggunakan barang milik daerah yang
berada dalam penguasaannya untuk
kepentingan penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
e. mengamankan dan memelihara barang
milik daerah yang berada dalam
penguasaannya;
f. mengajukan usul pemindahtanganan
barang milik daerah berupa tanah dan/
atau bangunan yang tidak memerlukan
persetujuan DPRD dan barang milik
daerah selain tanah dan bangunan;
g. menyerahkan tanah dan bangunan yang
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya kepada gubernur/bupati/
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
walikota melalui pengelola barang;
h.m e l a k u k a n p e n g a w a s a n d a n
pengendalian atas penggunaan
barang milik daerah yang ada dalam
penguasaannya;
i. menyusun dan menyampaikan Laporan
Barang Pengguna Semesteran (LBPS)
dan Laporan Barang Pengguna
Tahunan (LBPT) yang berada dalam
penguasaannya kepada pengelola
barang.
BAB III
PERENCANAAN KEBUTUHAN DAN
PENGANGGARAN
Pasal 9
(1)Perencanaan kebutuhan barang milik
negara/ daerah disusun dalam rencana kerja
dan anggaran kementerian negara/lembaga/
satuan kerja perangkat daerah setelah
memperhatikan ketersediaan barang milik
negara/daerah yang ada.
(2)Perencanaan kebutuhan barang milik
negara/daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berpedoman pada standar
barang, standar kebutuhan, dan standar
harga.
(3)Standar barang dan standar kebutuhan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh pengelola barang setelah
berkoordinasi dengan instansi atau dinas
teknis terkait.
Pasal 10
(1) Pengguna barang menghimpun usul rencana
kebutuhan barang yang diajukan oleh kuasa
pengguna barang yang berada di bawah
lingkungannya.
(2)Pengguna barang menyampaikan usul
rencana kebutuhan barang milik negara/
daerah kepada pengelola barang.
(3)Pengelola barang bersama pengguna
barang membahas usul tersebut dengan
memperhatikan data barang pada pengguna
barang dan/atau pengelola barang untuk
ditetapkan sebagai Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D).
55
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
BAB IV
PENGADAAN
Pasal 11
Pengadaan barang milik negara/daerah
dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip
efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing,
adil/tidak diskriminatif dan akuntabel.
Pasal 12
(1)Pengaturan mengenai pengadaan tanah
dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman
pelaksanaan pengadaan barang milik
negara/daerah selain tanah diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB V
PENGGUNAAN
Pasal 13
Status penggunaan barang ditetapkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. barang milik negara oleh pengelola barang;
b. barang milik daerah oleh gubernur/bupati/
walikota.
Pasal 14
(1)Penetapan status penggunaan barang milik
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf (a) dilakukan dengan tata cara
sebagai berikut:
a. Pengguna barang melaporkan barang
milik negara yang diterimanya kepada
pengelola barang disertai dengan usul
penggunaan;
b. Pengelola barang meneliti laporan
tersebut dan menetapkan status
penggunaan barang milik negara
dimaksud.
(2)Penetapan status penggunaan barang milik
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf (b) dilakukan dengan tata cara
sebagai berikut:
a. Pengguna barang melaporkan barang
milik daerah yang diterimanya kepada
pengelola barang disertai dengan usul
56
penggunaan;
b. Pengelola barang meneliti laporan
tersebut dan mengajukan usul
penggunaan dimaksud kepada gubernur/
bupati/walikota untuk ditetapkan status
penggunaannya.
Pasal 15
Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan
status penggunaannya untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian negara/
lembaga/satuan kerja perangkat daerah,
untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam
rangka menjalankan pelayanan umum sesuai
tugas pokok dan fungsi kementerian negara/
lembaga/ satuan kerja perangkat daerah yang
bersangkutan.
Pasal 16
(1)Penetapan status penggunaan tanah
dan/atau bangunan dilakukan dengan
ketentuan bahwa tanah dan/atau bangunan
tersebut diperlukan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang dan/atau kuasa pengguna
barang yang bersangkutan.
(2) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna
barang wajib menyerahkan tanah dan/
atau bangunan yang tidak digunakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara; atau
b. g u b e rn u r/ b u p a t i/ wa lik o t a m e l a l u i
pengelola barang untuk barang milik
daerah.
Pasal 17
(1)Pengelola barang menetapkan barang milik
negara berupa tanah dan/atau bangunan
yang harus diserahkan oleh pengguna
barang karena sudah tidak digunakan untuk
menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi
instansi bersangkutan.
(2)Gubernur/bupati/walikota menetapkan
barang milik daerah berupa tanah dan/
atau bangunan yang harus diserahkan
oleh pengguna barang karena sudah tidak
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
digunakan untuk menyelenggarakan tugas
pokok dan fungsi instansi bersangkutan.
(3)D a l a m m e n e t a p k a n p e n y e r a h a n
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengelola barang memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
a. standar kebutuhan tanah dan/atau
bangunan untuk menyelenggarakan
dan menunjang tugas pokok dan fungsi
instansi bersangkutan;
b. hasil audit atas penggunaan tanah dan/
atau bangunan.
(4)Tindak lanjut pengelolaan atas penyerahan
tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. ditetapkan status penggunaannya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
instansi pemerintah lainnya;
b. dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi
barang milik negara/daerah;
c.dipindahtangankan.
Pasal 18
(1)Pengguna barang milik negara yang tidak
menyerahkan tanah dan/atau bangunan yang
tidak digunakan untuk menyelenggarakan
tugas pokok dan fungsi instansi bersangkutan
kepada pengelola barang dikenakan sanksi
berupa pembekuan dana pemeliharaan
tanah dan/atau bangunan dimaksud.
(2)Pengguna barang milik daerah yang
tidak menyerahkan tanah dan/atau
bangunan yang tidak digunakan untuk
menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi
instansi bersangkutan kepada gubernur/
bupati/ walikota dikenakan sanksi berupa
pembekuan dana pemeliharaan tanah dan/
atau bangunan dimaksud.
(3)Tanah dan/atau bangunan yang tidak
digunakan sesuai dengan Pasal 16 ayat (1)
dicabut penetapan status penggunaannya.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
BAB VI
PEMANFAATAN
Bagian Pertama
Kriteria Pemanfaatan
Pasal 19
(1)Pemanfaatan barang milik negara berupa
tanah dan/atau bangunan sebagaimana
d ima ksu d d a la m Pa sa l 1 7 a ya t (1 )
dilaksanakan oleh pengelola barang.
(2)Pemanfaatan barang milik daerah berupa
tanah dan/atau bangunan sebagaimana
d ima ksu d d a la m Pa sa l 1 7 a ya t (2 )
dilaksanakan oleh pengelola barang setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/
walikota.
(3)P e m a n f a a t a n b a r a n g m i l i k n e g a r a /
daerah berupa tanah dan/atau bangunan
yang diperlukan untuk menunjang
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pengguna barang/kuasa pengguna barang
dilakukan oleh pengguna barang dengan
persetujuan pengelola barang.
(4)Pemanfaatan barang milik negara/daerah
selain tanah dan/atau bangunan dilaksanakan
oleh pengguna barang dengan persetujuan
pengelola barang;
(5)Pemanfaatan barang milik negara/daerah
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan
teknis dengan memperhatikan kepentingan
negara/daerah dan kepentingan umum.
Bagian Kedua
Bentuk Pemanfaatan
Pasal 20
Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik
negara/daerah berupa:
a.sewa;
b. pinjam pakai;
c. kerjasama pemanfaatan;
d. bangun guna serah dan bangun serah guna.
57
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Ketiga
Sewa
Pasal 21
(1)Penyewaan barang milik negara/daerah
dilaksanakan dengan bentuk:
a. penyewaan barang milik negara atas
tanah dan/atau bangunan yang sudah
diserahkan oleh pengguna barang
kepada pengelola barang;
b. penyewaan barang milik daerah atas
tanah dan/atau bangunan yang sudah
diserahkan oleh pengguna barang
kepada gubernur/bupati/walikota;
c. penyewaan atas sebagian tanah dan/
atau bangunan yang masih digunakan
oleh pengguna barang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3);
d. penyewaan atas barang milik negara/
daerah selain tanah dan/atau bangunan.
(2)Penyewaan atas barang milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilaksanakan oleh pengelola barang.
(3)Penyewaan atas barang milik daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilaksanakan oleh pengelola barang setelah
mendapat persetujuan gubernur/bupati/
walikota.
(4)Penyewaan atas barang milik negara/ daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c dan d, dilaksanakan oleh pengguna barang
setelah mendapat persetujuan dari pengelola
barang.
Pasal 22
(1) Barang milik negara/daerah dapat disewakan
kepada pihak lain sepanjang menguntungkan
negara/daerah.
(2)Jangka waktu penyewaan barang milik
negara/daerah paling lama lima tahun dan
dapat diperpanjang.
(3)Penetapan formula besaran tarif sewa
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. barang milik negara oleh pengelola
barang;
b. barang milik daerah oleh gubernur/
bupati/walikota.
(4) Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat
58
perjanjian sewa-menyewa, yang sekurangkurangnya memuat:
a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. jenis, luas atau jumlah barang, besaran
sewa, dan jangka waktu;
c. tanggung jawab penyewa atas biaya
operasional dan pemeliharaan selama
jangka waktu penyewaan;
d. persyaratan lain yang dianggap perlu.
(5)Hasil penyewaan merupakan penerimaan
negara/daerah dan seluruhnya wajib
disetorkan ke rekening kas umum negara/
daerah.
Bagian Keempat
Pinjam Pakai
Pasal 23
(1)Pinjam pakai barang milik negara/daerah
dilaksanakan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah.
(2)Jangka waktu pinjam pakai barang milik
negara/daerah paling lama dua tahun dan
dapat diperpanjang.
(3)Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan
surat perjanjian yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. jenis, luas atau jumlah barang yang
dipinjamkan, dan jangka waktu;
c. tanggung jawab peminjam atas biaya
operasional dan pemeliharaan selama
jangka waktu peminjaman;
d. persyaratan lain yang dianggap perlu.
Bagian Kelima
Kerjasama Pemanfaatan
Pasal 24
Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/
daerah dengan pihak lain dilaksanakan dalam
rangka :
a. mengoptimalkan daya guna dan hasil guna
barang milik negara/daerah;
b. m e n i n g k a t k a n p e n e r i m a a n n e g a r a /
pendapatan daerah.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 25
(1)Kerjasama pemanfaatan barang milik
negara/daerah dilaksanakan dengan bentuk:
a. kerjasama pemanfaatan barang milik
negara atas tanah dan/atau bangunan
yang sudah diserahkan oleh pengguna
barang kepada pengelola barang;
b. kerjasama pemanfaatan barang milik
daerah atas tanah dan/atau bangunan
yang sudah diserahkan oleh pengguna
barang kepada gubernur/bupati/ walikota;
c. kerjasama pemanfaatan atas sebagian
tanah dan/atau bangunan yang masih
digunakan oleh pengguna barang;
d. kerjasama pemanfaatan atas barang
milik negara/ daerah selain tanah dan/
atau bangunan.
(2)Kerjasama pemanfaatan atas barang milik
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a dilaksanakan oleh pengelola
barang.
(3)Kerjasama pemanfaatan atas barang milik
daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b dilaksanakan oleh pengelola
barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota.
(4)Kerjasama pemanfaatan atas barang milik
negara/daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf c dan d, dilaksanakan
oleh pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang.
Pasal 26
(1)Kerjasama pemanfaatan atas barang
milik negara/daerah dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. tidak tersedia atau tidak cukup tersedia
dana dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah untuk memenuhi
biaya opera sio n a l/p e meliha ra a n /
perbaikan yang diperlukan terhadap
barang milik negara/daerah dimaksud;
b. mitra kerjasama pemanfaatan ditetapkan
melalui tender dengan mengikutsertakan
sekurang-kurangnya lima peserta/
peminat, kecuali untuk barang milik
negara/daerah yang bersifat khusus
dapat dilakukan penunjukan langsung;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
c. m i t r a k e r j a s a m a p e m a n f a a t a n
harus membayar kontribusi tetap ke
rekening kas umum negara/daerah
setiap tahun selama jangka waktu
pengoperasian yang telah ditetapkan dan
pembagian keuntungan hasil kerjasama
pemanfaatan;
d. besaran pembayaran kontribusi tetap
dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan ditetapkan dari
hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang;
e. besaran pembayaran kontribusi tetap
dan pembagian keuntungan hasil
kerjasama pemanfaatan harus mendapat
persetujuan pengelola barang;
f. selama jangka waktu pengoperasian,
mitra kerjasama pemanfaatan dilarang
menjaminkan atau menggadaikan barang
milik negara/daerah yang menjadi obyek
kerjasama pemanfaatan;
g. jangka waktu kerjasama pemanfaatan
paling lama tiga puluh tahun sejak
perjanjian ditandatangani dan dapat
diperpanjang.
(2)Semua biaya berkenaan dengan persiapan
dan pelaksanaan kerjasama pemanfaatan
tidak dapat dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Bagian Keenam
Bangun Guna Serah dan
Bangun Serah Guna
Pasal 27
(1)Bangun guna serah dan bangun serah
guna barang milik negara/daerah dapat
dilaksanakan dengan persyaratan sebagai
berikut:
a. pengguna barang memerlukan bangunan
dan fasilitas bagi penyelenggaraan
pemerintahan negara/daerah untuk
kepentingan pelayanan umum dalam
rangka penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi; dan
b. tidak tersedia dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
untuk penyediaan bangunan dan fasilitas
59
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dimaksud.
(2) Bangun guna serah dan bangun serah guna
barang milik negara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola
barang.
(3) Bangun guna serah dan bangun serah guna
barang milik daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengelola
barang setelah mendapat persetujuan
gubernur/bupati/walikota.
(4) Tanah yang status penggunaannya ada pada
pengguna barang dan telah direncanakan
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi pengguna barang yang bersangkutan,
dapat dilakukan bangun guna serah dan
bangun serah guna setelah terlebih dahulu
diserahkan kepada:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. gubernur/bupati/walikota untuk barang
milik daerah.
(5)Bangun guna serah dan bangun serah
guna sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilaksanakan oleh pengelola barang dengan
mengikutsertakan pengguna barang dan/
atau kuasa pengguna barang sesuai tugas
pokok dan fungsinya.
Pasal 28
Penetapan status penggunaan barang milik
negara/daerah sebagai hasil dari pelaksanaan
bangun guna serah dan bangun serah guna
dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik negara,
dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsi kementerian negara/lembaga
terkait;
b. gubernur/bupati/walikota untuk barang milik
daerah, dalam rangka penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi satuan kerja
perangkat daerah terkait.
Pasal 29
(1)Jangka waktu bangun guna serah dan
bangun serah guna paling lama tiga puluh
tahun sejak perjanjian ditandatangani.
(2)Penetapan mitra bangun guna serah dan
mitra bangun serah guna dilaksanakan
60
melalui tender dengan mengikutsertakan
sekurang-kurangnya lima peserta/ peminat.
(3)Mitra bangun guna serah dan mitra
bangun serah guna yang telah ditetapkan,
selama jangka waktu pengoperasian harus
memenuhi kewajiban sebagai berikut:
a. membayar kontribusi ke rekening kas
umum negara/daerah setiap tahun, yang
besarannya ditetapkan berdasarkan
hasil perhitungan tim yang dibentuk oleh
pejabat yang berwenang;
b. tidak menjaminkan, menggadaikan atau
memindahtangankan objek bangun guna
serah dan bangun serah guna;
c. memelihara objek bangun guna serah
dan bangun serah guna.
(4)Dalam jangka waktu pengoperasian,
sebagian barang milik negara/daerah hasil
bangun guna serah dan bangun serah guna
harus dapat digunakan langsung untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintah.
(5) Bangun guna serah dan bangun serah guna
dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian
yang sekurang-kurangnya memuat:
a. pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian;
b. objek bangun guna serah dan bangun
serah guna;
c. jangka waktu bangun guna serah dan
bangun serah guna;
d. hak dan kewajiban para pihak yang
terikat dalam perjanjian;
e. persyaratan lain yang dianggap perlu.
(6)Izin mendirikan bangunan hasil bangun
guna serah dan bangun serah guna harus
diatasnamakan Pemerintah Republik
Indonesia/Pemerintah Daerah.
(7)Semua biaya berkenaan dengan persiapan
dan pelaksanaan bangun guna serah dan
bangun serah guna tidak dapat dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Daerah.
Pasal 30
(1)Mitra bangun guna serah barang milik
negara harus menyerahkan objek bangun
guna serah kepada pengelola barang pada
akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan
fungsional pemerintah.
(2) Mitra bangun guna serah barang milik daerah
harus menyerahkan objek bangun guna
serah kepada gubernur/bupati/walikota pada
akhir jangka waktu pengoperasian, setelah
dilakukan audit oleh aparat pengawasan
fungsional pemerintah.
(3)Bangun serah guna barang milik negara
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a h a r u s
menyerahkan objek bangun serah guna
kepada pengelola barang segera setelah
selesainya pembangunan;
b. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a d a p a t
mendayagunakan barang milik negara
tersebut sesuai jangka waktu yang
ditetapkan dalam surat perjanjian;
c. setelah jangka waktu pendayagunaan
berakhir, objek bangun serah guna
terlebih dahulu diaudit oleh aparat
pengawasan fungsional pemerintah
sebelum penggunaannya ditetapkan oleh
pengelola barang.
(4)Bangun serah guna barang milik daerah
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a h a r u s
menyerahkan objek bangun serah guna
kepada gubernur/bupati/walikota segera
setelah selesainya pembangunan;
b. m i t r a b a n g u n s e r a h g u n a d a p a t
mendayagunakan barang milik daerah
tersebut sesuai jangka waktu yang
ditetapkan dalam surat perjanjian;
c. setelah jangka waktu pendayagunaan
berakhir, objek bangun serah guna
terlebih dahulu diaudit oleh aparat
pengawasan fungsional pemerintah
sebelum penggunaannya ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota.
Pasal 31
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun
serah guna barang milik negara diatur dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Menteri Keuangan.
BAB VII
PENGAMANAN DAN PEMELIHARAAN
Bagian Pertama
Pengamanan
Pasal 32
(1) Pengelola barang, pengguna barang dan/atau
kuasa pengguna barang wajib melakukan
pengamanan barang milik negara/daerah
yang berada dalam penguasaannya.
(2)Pengamanan barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pengamanan administrasi, pengamanan
fisik, dan pengamanan hukum.
Pasal 33
(1)Barang milik negara/daerah berupa tanah
harus disertifikatkan atas nama Pemerintah
Republik Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan.
(2) Barang milik negara/daerah berupa bangunan
harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan
atas nama Pemerintah Republik Indonesia/
pemerintah daerah yang bersangkutan.
(3)Barang milik negara selain tanah dan/atau
bangunan harus dilengkapi dengan bukti
kepemilikan atas nama pengguna barang.
(4)Barang milik daerah selain tanah dan/atau
bangunan harus dilengkapi dengan bukti
kepemilikan atas nama pemerintah daerah
yang bersangkutan.
Pasal 34
(1)Bukti kepemilikan barang milik negara/
daerah wajib disimpan dengan tertib dan
aman.
(2) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik
negara berupa tanah dan/atau bangunan
dilakukan oleh pengelola barang.
(3) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik
negara selain tanah dan/atau bangunan
dilakukan oleh pengguna barang/kuasa
pengguna barang.
(4) Penyimpanan bukti kepemilikan barang milik
daerah dilakukan oleh pengelola barang.
61
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Kedua
Pemeliharaan
Pasal 35
(1) Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna
barang bertanggung jawab atas pemeliharaan
barang milik negara/daerah yang ada di
bawah penguasaannya.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada Daftar Kebutuhan
Pemeliharaan Barang (DKPB).
(3)Biaya pemeliharaan barang milik negara/
daerah dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Pasal 36
(1)Kuasa pengguna barang wajib membuat
daftar hasil pemeliharaan barang yang berada
dalam kewenangannya dan melaporkan/
menyampaikan daftar hasil pemeliharaan
barang tersebut kepada pengguna barang
secara berkala.
(2) Pengguna barang atau pejabat yang ditunjuk
meneliti laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan menyusun daftar hasil
pemeliharaan barang yang dilakukan dalam
satu tahun anggaran sebagai bahan untuk
melakukan evaluasi mengenai efisiensi
pemeliharaan barang milik negara/daerah.
BAB VIII
PENILAIAN
Pasal 37
Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan
dalam rangka penyusunan neraca pemerintah
pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah.
Pasal 38
Penetapan nilai barang milik negara/daerah
dalam rangka penyusunan neraca pemerintah
pusat/daerah dilakukan dengan berpedoman
pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
Pasal 39
(1)Penilaian barang milik negara berupa
tanah dan/atau bangunan dalam rangka
62
pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan
penilai independen yang ditetapkan oleh
pengelola barang.
(2)Penilaian barang milik daerah berupa
tanah dan/atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota, dan dapat
melibatkan penilai independen yang
ditetapkan oleh gubernur/bupati/walikota.
(3)Penilaian barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan
nilai wajar, dengan estimasi terendah
menggunakan NJOP.
(4)Hasil penilaian barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. gubernur/bupati/walikota untuk barang
milik daerah.
Pasal 40
(1)Penilaian barang milik negara selain
tanah dan/atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengguna barang, dan dapat melibatkan
penilai independen yang ditetapkan oleh
pengguna barang.
(2)Penilaian barang milik daerah selain
tanah dan/atau bangunan dalam rangka
pemanfaatan atau pemindahtanganan
dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan
penilai independen yang ditetapkan pengelola
barang.
(3)Penilaian barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) dilaksanakan untuk mendapatkan
nilai wajar.
(4)Hasil penilaian barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh:
a. pengguna barang untuk barang milik
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
negara;
b. pengelola barang untuk barang milik
daerah.
BAB IX
PENGHAPUSAN
Pasal 41
Penghapusan barang milik negara/daerah
meliputi:
a. penghapusan dari daftar barang pengguna
dan/atau kuasa pengguna;
b. penghapusan dari daftar barang milik negara/
daerah.
Pasal 42
(1)Penghapusan barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
huruf a, dilakukan dalam hal barang milik
negara/daerah dimaksud sudah tidak berada
dalam penguasaan pengguna barang dan/
atau kuasa pengguna barang;
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat
keputusan penghapusan dari:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan dari pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
atas usul pengelola barang untuk barang
milik daerah.
(3)P e l a k s a n a a n a t a s p e n g h a p u s a n
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selanjutnya dilaporkan kepada pengelola
barang.
Pasal 43
(1)Penghapusan barang milik negara/daerah
dari daftar barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
huruf b dilakukan dalam hal barang milik
negara/daerah dimaksud sudah beralih
kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau
karena sebab-sebab lain.
(2) Penghapusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan penerbitan surat
keputusan penghapusan dari:
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
Pasal 44
(1)Penghapusan barang milik negara/daerah
dengan tindak lanjut pemusnahan dilakukan
apabila barang milik negara/daerah
dimaksud:
a. tidak dapat digunakan, tidak dapat
dimanfaatkan, dan tidak dapat
dipindahtangankan; atau
b. alasan lain sesuai ketentuan perundangundangan.
(2)Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengguna barang dengan surat keputusan
dari pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/ walikota
untuk barang milik daerah.
(3)Pelaksanaan pemusnahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam
berita acara dan dilaporkan kepada pengelola
barang.
BAB X
PEMINDAHTANGANAN
Bagian Pertama
Bentuk-Bentuk dan Persetujuan
Pasal 45
Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai
tindak lanjut atas penghapusan barang milik
negara/daerah meliputi:
a.penjualan;
b. tukar Menukar;
c.hibah;
d. penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
Pasal 46
(1)Pemindahtanganan barang milik negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
63
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk:
a. tanah dan/atau bangunan;
b. selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai lebih dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah);
dilakukan setelah mendapat persetujuan
DPR.
(2)Pemindahtanganan barang milik daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
untuk:
a. tanah dan/atau bangunan;
b. selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai lebih dari Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
dilakukan setelah mendapat persetujuan
DPRD.
(3)Pemindahtanganan barang milik negara/
daerah berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dan ayat (2) huruf a tidak memerlukan
persetujuan DPR/DPRD, apabila:
a. sudah tidak sesuai dengan tata ruang
wilayah atau penataan kota;
b. harus dihapuskan karena anggaran untuk
bangunan pengganti sudah disediakan
dalam dokumen penganggaran;
c. diperuntukkan bagi pegawai negeri;
d. diperuntukkan bagi kepentingan umum;
e. d i k u a s a i n e g a r a b e r d a s a r k a n
keputusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
dan/atau berdasarkan ketentuan
perundang-undangan, yang jika status
kepemilikannya dipertahankan tidak
layak secara ekonomis.
(3) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk tanah dan/atau bangunan yang
bernilai di atas Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh
pengelola barang setelah mendapat
persetujuan Presiden;
b. u n t u k t a n a h d a n / a t a u b a n g u n a n
yang bernilai sampai dengan
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dilakukan oleh pengelola barang;
(2)Pemindahtanganan barang milik daerah
berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
ayat (3) dilakukan oleh pengelola barang
setelah mendapat persetujuan gubernur/
bupati/ walikota.
Pasal 47
(1)Usul untuk memperoleh persetujuan DPR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(1) diajukan oleh pengelola barang.
(2)Usul untuk memperoleh persetujuan DPRD
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(2) diajukan oleh gubernur/bupati/walikota.
Pasal 50
Pemindahtanganan barang milik daerah
selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dilakukan oleh pengelola barang
setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/
walikota.
Pasal 49
(1)Pemindahtanganan barang milik negara
selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai
sampai dengan Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) dilakukan oleh
penguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang.
(2)Pemindahtanganan barang milik negara
selain tanah dan/atau bangunan yang
bernilai di atas Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah) dilakukan oleh pengguna barang
setelah mendapat persetujuan Presiden.
(3)Usul untuk memperoleh persetujuan
Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diajukan oleh pengelola barang.
Pasal 48
(1)Pemindahtanganan barang milik negara
berupa tanah dan/atau bangunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat
64
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Kedua
Penjualan
Pasal 51
(1)Penjualan barang milik negara/daerah
dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. untuk optimalisasi barang milik negara
yang berlebih atau idle;
b. secara ekonomis lebih menguntungkan
bagi negara apabila dijual;
c. s e b a g a i p e l a k s a n a a n k e t e n t u a n
perundang-undangan yang berlaku.
(2)Penjualan barang milik negara/daerah
dilakukan secara lelang, kecuali dalam halhal tertentu.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. barang milik negara/daerah yang bersifat
khusus;
b. barang milik negara/daerah lainnya yang
ditetapkan lebih lanjut oleh pengelola
barang.
Pasal 52
(1) Penjualan barang milik negara/daerah berupa
tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(2) Penjualan barang milik negara/daerah selain
tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
Pasal 53
(1)Penjualan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) huruf a dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. kuasa pengguna barang mengajukan
usul kepada pengguna barang untuk
diteliti dan dikaji;
b. pengguna barang mengajukan usul
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
penjualan kepada pengelola barang;
c. pengelola barang meneliti dan mengkaji
usul penjualan yang diajukan oleh
pengguna barang sesuai dengan
kewenangannya;
d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n g e l u a r k a n
keputusan untuk menyetujui atau tidak
menyetujui usulan penjualan yang
diajukan oleh pengguna barang dalam
batas kewenangannya;
e. untuk penjualan yang memerlukan
persetujuan Presiden atau DPR,
pengelola barang mengajukan usul
penjualan disertai dengan pertimbangan
atas usulan dimaksud;
f. penerbitan persetujuan pelaksanaan
oleh pengelola barang untuk penjualan
sebagaimana dimaksud pada butir e
dilakukan setelah mendapat persetujuan
Presiden atau DPR.
(2)Penjualan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) huruf b dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usul
penjualan kepada pengelola barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
usul penjualan yang diajukan oleh
pengguna barang sesuai dengan
kewenangannya;
c. p e n g e l o l a b a r a n g m e n g e l u a r k a n
keputusan untuk menyetujui atau tidak
menyetujui usulan penjualan yang
diajukan oleh pengguna barang dalam
batas kewenangannya;
d. Untuk penjualan yang memerlukan
persetujuan gubernur/bupati/walikota
atau DPRD, pengelola barang mengajukan usul penjualan disertai dengan
pertimbangan atas usulan dimaksud.
(3)Penerbitan persetujuan pelaksanaan
oleh pengelola barang untuk penjualan
sebagaimana dimaksud pada huruf d
dilakukan setelah mendapat persetujuan
gubernur/ bupati/walikota atau DPRD.
(4)Hasil penjualan barang milik negara/daerah
wajib disetor seluruhnya ke rekening kas
umum negara/daerah sebagai penerimaan
negara/daerah.
65
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Bagian Ketiga
Tukar menukar
Pasal 54
(1)Tukar menukar barang milik negara/daerah
dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. untuk memenuhi kebutuhan operasional
penyelenggaraan pemerintahan;
b. untuk optimalisasi barang milik negara/
daerah; dan
c. tidak tersedia dana dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
(2)Tukar menukar barang milik negara dapat
dilakukan dengan pihak:
a. pemerintah daerah;
b. badan usaha milik negara/daerah atau
badan hukum milik pemerintah lainnya;
c.swasta.
(3)Tukar menukar barang milik daerah dapat
dilakukan dengan pihak:
a. pemerintah pusat;
b. badan usaha milik negara/daerah atau
badan hukum milik pemerintah lainnya;
c.swasta.
Pasal 55
(1)Tukar menukar barang milik negara/daerah
dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan yang telah
diserahkan kepada pengelola barang
untuk barang milik negara dan gubernur/
bupati/walikota untuk barang milik daerah;
b. tanah dan/atau bangunan yang masih
dipergunakan untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi pengguna barang
tetapi tidak sesuai dengan tata ruang
wilayah atau penataan kota;
c. barang milik negara/daerah selain tanah
dan/atau bangunan.
(2) Penetapan barang milik negara berupa tanah
dan/atau bangunan yang akan dipertukarkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k
barang milik daerah, sesuai batas
kewenangannya.
66
(3) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(4) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(5) Tukar menukar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh pengguna
barang setelah mendapat persetujuan
pengelola barang.
Pasal 56
(1)Tukar menukar barang milik negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengelola barang mengkaji perlunya
tukar menukar tanah dan/atau bangunan
dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
b. pengelola barang menetapkan tanah dan/
atau bangunan yang akan dipertukarkan
sesuai batas kewenangannya;
c. tukar menukar tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan melalui proses persetujuan
dengan berpedoman pada ketentuan
pada Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat
(1);
d. pelaksanaan serah terima barang yang
dilepas dan barang pengganti harus
dituangkan dalam berita acara serah
terima barang.
(2)Tukar menukar barang milik negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1) huruf b dan c dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada pengelola barang disertai alasan/
pertimbangan, kelengkapan data, dan
hasil pengkajian tim intern instansi
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
alasan/ pertimbangan tersebut dari aspek
teknis, ekonomis, dan yuridis;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan tukar
menukar dengan berpedoman pada
persetujuan pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang
dilepas dan barang pengganti harus
dituangkan dalam berita acara serah
terima barang.
Pasal 57
(1)Tukar menukar barang milik daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55
ayat (1) huruf a dan b dilaksanakan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. pengelola barang mengajukan usul tukar
menukar tanah dan/atau bangunan
kepada gubernur/bupati/walikota disertai
alasan/pertimbangan, dan kelengkapan
data;
b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan
mengkaji alasan/pertimbangan perlunya
tukar menukar tanah dan/atau bangunan
dari aspek teknis, ekonomis, dan yuridis;
c. apabila memenuhi syarat sesuai
peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/
walikota dapat mempertimbangkan untuk
menyetujui dan menetapkan tanah dan/
atau bangunan yang akan dipertukarkan;
d. tukar menukar tanah dan/atau bangunan
dilaksanakan melalui proses persetujuan
dengan berpedoman pada ketentuan
pada Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat
(2);
e. pengelola barang melaksanakan tukar
menukar dengan berpedoman pada
persetujuan gubernur/bupati/ walikota;
f. pelaksanaan serah terima barang yang
dilepas dan barang pengganti harus
dituangkan dalam berita acara serah
terima barang.
(2)Tukar menukar barang milik daerah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1) huruf c dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada pengelola barang disertai alasan/
pertimbangan, kelengkapan data, dan
hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
alasan/pertimbangan tersebut dari aspek
teknis, ekonomis, dan yuridis; apabila
memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
c. pengguna barang melaksanakan tukar
menukar dengan berpedoman pada
persetujuan pengelola barang;
d. pelaksanaan serah terima barang yang
dilepas dan barang pengganti harus
dituangkan dalam berita acara serah
terima barang.
Bagian Keempat
Hibah
Pasal 58
(1) Hibah barang milik negara/daerah dilakukan
dengan pertimbangan untuk kepentingan
sosial, keagamaan, kemanusiaan, dan
penyelenggaraan pemerintahan negara/
daerah.
(2) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. bukan merupakan barang rahasia
negara;
b. b u k a n m e r u p a k a n b a r a n g y a n g
menguasai hajat hidup orang banyak;
c. t i d a k d i g u n a k a n l a g i d a l a m
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
dan penyelenggaraan pemerintahan
negara/daerah.
Pasal 59
(1)Hibah barang milik negara/daerah dapat
berupa:
a. tanah dan/atau bangunan yang telah
diserahkan kepada pengelola barang
67
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk barang milik negara dan gubernur/
bupati/walikota untuk barang milik daerah;
b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal
pengadaaannya direncanakan untuk
dihibahkan sesuai yang tercantum dalam
dokumen penganggaran;
c. barang milik negara/daerah selain tanah
dan/atau bangunan.
(2)Penetapan barang milik negara/daerah
berupa tanah dan/atau bangunan yang akan
dihibahkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k
barang milik daerah, sesuai batas
kewenangannya.
(3) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(4) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(5) Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dilaksanakan oleh pengguna barang
setelah mendapat persetujuan pengelola
barang.
Pasal 60
(1)Hibah barang milik negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pengelola barang mengkaji perlunya
hibah berdasarkan pertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58;
b. pengelola barang menetapkan tanah dan/
atau bangunan yang akan dihibahkan
68
sesuai batas kewenangannya;
c. proses persetujuan hibah dilaksanakan
dengan berpedoman pada ketentuan
Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);
d. pelaksanaan serah terima barang yang
dihibahkan harus dituangkan dalam
berita acara serah terima barang.
(2)Hibah barang milik negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf
b dan c dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada pengelola barang disertai dengan
alasan/pertimbangan, kelengkapan data,
dan hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan hibah
dengan berpedoman pada persetujuan
pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang
dihibahkan harus dituangkan dalam
berita acara serah terima barang.
Pasal 61
(1)Hibah barang milik daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf
a dan b dilaksanakan dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. pengelola barang mengajukan usul
hibah tanah dan/atau bangunan kepada
gubernur/bupati/walikota disertai dengan
alasan/pertimbangan, dan kelengkapan
data;
b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan
mengkaji berdasarkan pertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58;
c. apabila memenuhi syarat sesuai
peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/
walikota dapat mempertimbangkan
untuk menetapkan dan/atau menyetujui
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
tanah dan/atau bangunan yang akan
dihibahkan;
d. proses persetujuan hibah dilaksanakan
dengan berpedoman pada ketentuan
Pasal 46 ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);
e. pengelola barang melaksanakan hibah
dengan berpedoman pada persetujuan
gubernur/bupati/walikota;
f. pelaksanaan serah terima barang yang
dihibahkan harus dituangkan dalam
berita acara serah terima barang.
(2)Hibah barang milik daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada Pengelola Barang disertai
alasan/pertimbangan, kelengkapan data,
dan hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
d. pengguna barang melaksanakan hibah
dengan berpedoman pada persetujuan
pengelola barang;
e. pelaksanaan serah terima barang yang
dihibahkan harus dituangkan dalam
berita acara serah terima barang.
Bagian Kelima
Penyertaan Modal
Pemerintah Pusat/Daerah
Pasal 62
(1) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah
atas barang milik negara/daerah dilakukan
dalam rangka pendirian, pengembangan,
dan peningkatan kinerja badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya
yang dimiliki negara/daerah;
(2) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan pertimbangan sebagai
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
berikut:
a. barang milik negara/daerah yang dari
awal pengadaaannya sesuai dokumen
penganggaran diperuntukkan bagi
badan usaha milik negara/daerah atau
badan hukum lainnya yang dimiliki
negara/ daerah dalam rangka penugasan
pemerintah; atau
b. barang milik negara/daerah lebih optimal
apabila dikelola oleh badan usaha milik
Negara/daerah atau badan hukum
lainnya yang dimiliki negara/daerah baik
yang sudah ada maupun yang akan
dibentuk.
Pasal 63
(1) Penyertaan modal pemerintah pusat/daerah
atas barang milik negara/daerah dapat
berupa:
a. tanah dan/atau bangunan yang telah
diserahkan kepada pengelola barang
untuk barang milik negara dan gubernur/
bupati/walikota untuk barang milik daerah;
b. tanah dan/atau bangunan yang dari awal
pengadaaannya direncanakan untuk
disertakan sebagai modal pemerintah
pusat/daerah sesuai yang tercantum
dalam dokumen penganggaran;
c. barang milik negara/daerah selain tanah
dan/atau bangunan.
(2)Penetapan barang milik negara/daerah
berupa tanah dan/atau bangunan yang akan
disertakan sebagai modal pemerintah pusat/
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. g u b e r n u r / b u p a t i / w a l i k o t a u n t u k
barang milik daerah, sesuai batas
kewenangannya.
(3)Penyertaan modal pemerintah pusat/
daerah atas barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilaksanakan oleh:
a. pengelola barang untuk barang milik
negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/ bupati/walikota
69
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
untuk barang milik daerah.
(4)Penyertaan modal pemerintah pusat/
daerah atas barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dilaksanakan oleh:
a. pengguna barang setelah mendapat
persetujuan pengelola barang untuk
barang milik negara;
b. pengelola barang setelah mendapat
persetujuan gubernur/ bupati/walikota
untuk barang milik daerah.
(5)Penyertaan modal pemerintah pusat/
daerah atas barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan oleh pengguna barang setelah
mendapat persetujuan pengelola barang.
Pasal 64
(1)Penyertaan modal pemerintah pusat atas
barang milik negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengelola barang mengkaji perlunya
penyertaan modal pemerintah
berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
b. pengelola barang menetapkan tanah dan/
atau bangunan yang akan disertakan
sebagai modal pemerintah sesuai batas
kewenangannya;
c. proses persetujuan penyertaan modal
pemerintah dilaksanakan dengan
berpedoman pada ketentuan Pasal 46
ayat (1) dan Pasal 48 ayat (1);
d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n
Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Pusat dengan melibatkan instansi terkait;
e. pengelola barang menyampaikan
Rancangan Peraturan Pemerintah
kepada Presiden untuk ditetapkan;
f. penggelola barang melakukan serah
terima barang kepada badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya
milik negara/daerah yang dituangkan
dalam berita acara serah terima barang
setelah Peraturan Pemerintah ditetapkan.
(2)Penyertaan modal pemerintah pusat atas
70
barang milik negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) huruf b dan c
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada pengelola barang disertai dengan
alasan/pertimbangan, kelengkapan data,
dan hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n
Rancangan Peraturan Pemerintah
tentang Penyertaan Modal Pemerintah
Pusat dengan melibatkan instansi terkait;
e. pengelola barang menyampaikan
Rancangan Peraturan Pemerintah
kepada Presiden untuk ditetapkan;
f. pengguna barang melakukan serah
terima barang kepada badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya
milik negara/daerah yang dituangkan
dalam berita acara serah terima barang
setelah Peraturan Pemerintah ditetapkan.
Pasal 65
(1)Penyertaan modal pemerintah daerah atas
barang milik daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dan b
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. pengelola barang mengajukan usul
penyertaan modal pemerintah atas tanah
dan/atau bangunan kepada gubernur/
bupati/walikota disertai dengan alasan/
pertimbangan, dan kelengkapan data;
b. gubernur/bupati/walikota meneliti dan
mengkaji berdasarkan pertimbangan dan
syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62;
c. apabila memenuhi syarat sesuai
peraturan yang berlaku, gubernur/ bupati/
walikota dapat mempertimbangkan untuk
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
menetapkan dan/atau menyetujui tanah
dan/atau bangunan yang akan disertakan
sebagai modal pemerintah;
d. proses persetujuan penyertaan modal
pemerintah dilaksanakan dengan
berpedoman pada ketentuan Pasal 46
ayat (2) dan Pasal 48 ayat (2);
e. pengelo la bara n g me laksan a k a n
penyertaan modal pemerintah dengan
berpedoman pada persetujuan gubernur/
bupati/walikota;
f. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
dengan melibatkan instansi terkait;
g. pengelola barang menyampaikan
Rancangan Peraturan Daerah kepada
DPRD untuk ditetapkan;
h. pengguna barang melakukan serah
terima barang kepada badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya
milik negara/daerah yang dituangkan
dalam berita acara serah terima barang
setelah Peraturan Pemerintah/Peraturan
Daerah ditetapkan.
(2)Penyertaan modal pemerintah daerah atas
barang milik daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) huruf c dilaksanakan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pengguna barang mengajukan usulan
kepada pengelola barang disertai alasan/
pertimbangan, kelengkapan data, dan
hasil pengkajian tim intern instansi
pengguna barang;
b. pengelola barang meneliti dan mengkaji
berdasarkan pertimbangan dan syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62;
c. apabila memenuhi syarat sesuai peraturan
yang berlaku, pengelola barang dapat
mempertimbangkan untuk menyetujui
sesuai batas kewenangannya;
d. p e n g e l o l a b a r a n g m e n y i a p k a n
Rancangan Peraturan Daerah tentang
Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
dengan melibatkan instansi terkait;
e. pengelola barang menyampaikan
Rancangan Peraturan Daerah kepada
DPRD untuk ditetapkan;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
f. pengguna barang melakukan serah
terima barang kepada badan usaha milik
negara/daerah atau badan hukum lainnya
milik negara/daerah yang dituangkan
dalam berita acara serah terima barang
setelah Peraturan Pemerintah/ Peraturan
Daerah ditetapkan.
Pasal 66
(1)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan penjualan, tukar menukar,
hibah, dan penyertaan modal pemerintah
atas barang milik negara diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan.
(2)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan penjualan, tukar menukar,
hibah, dan penyertaan modal pemerintah
atas barang milik daerah diatur dalam
Peraturan Daerah dengan berpedoman pada
kebijakan umum pengelolaan barang milik
negara/daerah.
BAB XI
PENATAUSAHAAN
Bagian Pertama
Pembukuan
Pasal 67
(1)K u a s a p e n g g u n a b a r a n g / p e n g g u n a
barang harus melakukan pendaftaran dan
pencatatan barang milik negara/daerah
ke dalam Daftar Barang Kuasa Pengguna
(DBKP)/Daftar Barang Pengguna (DBP)
menurut penggolongan dan kodefikasi
barang.
(2)Pengelola barang harus melakukan
pendaftaran dan pencatatan barang milik
negara/daerah berupa tanah dan/atau
bangunan dalam Daftar Barang Milik Negara/
Daerah (DBMN/D) menurut penggolongan
barang dan kodefikasi barang.
(3)Penggolongan dan kodefikasi barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(4)Penggolongan dan kodefikasi barang daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Dalam
71
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Negeri setelah mendapat pertimbangan
Menteri Keuangan.
Pasal 68
(1)Kuasa pengguna barang/pengguna barang
harus menyimpan dokumen kepemilikan
barang milik negara/daerah selain tanah
dan/atau bangunan yang berada dalam
penguasaannya.
(2) Pengelola barang harus menyimpan dokumen
kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang
berada dalam pengelolaannya.
Bagian Kedua
Inventarisasi
Pasal 69
(1)Pengguna barang melakukan inventarisasi
barang milik negara/daerah sekurangkurangnya sekali dalam lima tahun.
(2)Dikecualikan dari ketentuan ayat (1),
terhadap barang milik negara/daerah yang
berupa persediaan dan konstruksi dalam
pengerjaan, pengguna barang melakukan
inventarisasi setiap tahun.
(3)Pengguna barang menyampaikan laporan
hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) kepada pengelola
barang selambat-lambatnya tiga bulan
setelah selesainya inventarisasi.
Pasal 70
Pengelola barang melakukan inventarisasi
barang milik negara/daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang berada dalam
penguasaannya sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun.
Bagian Ketiga
Pelaporan
Pasal 71
(1)Kuasa pengguna barang harus menyusun
Laporan Barang Kuasa Pengguna
Semesteran (LBKPS) dan Laporan Barang
Kuasa Pengguna Tahunan (LBKPT) untuk
disampaikan kepada pengguna barang.
(2) Pengguna barang harus menyusun Laporan
72
Barang Pengguna Semesteran (LBPS)
dan Laporan Barang Pengguna Tahunan
(LBPT) untuk disampaikan kepada pengelola
barang.
(3) Pengelola barang harus menyusun Laporan
Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D)
berupa tanah dan/atau bangunan semesteran
dan tahunan.
(4)Pengelola barang harus menghimpun
Laporan Barang Pengguna Semesteran
(LBPS) dan Laporan Barang Pengguna
Tahunan (LBPT) sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) serta Laporan Barang Milik
Negara/Daerah (LBMN/D) berupa tanah dan/
atau bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
(5) Pengelola barang harus menyusun Laporan
Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D)
berdasarkan hasil penghimpunan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 72
Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat
(5) digunakan sebagai bahan untuk menyusun
neraca pemerintah pusat/daerah.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan pembukuan, inventarisasi, dan
pelaporan barang milik negara diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan.
BAB XII
PEMBINAAN, PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 74
(1)Menteri Keuangan menetapkan kebijakan
umum pengelolaan barang milik negara/
daerah.
(2)Menteri Keuangan menetapkan kebijakan
teknis dan melakukan pembinaan
pengelolaan barang milik negara.
(3)M e n t e r i D a l a m N e g e r i m e n e t a p k a n
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
kebijakan teknis dan melakukan pembinaan
pengelolaan barang milik daerah sesuai
dengan kebijakan sebagaimana ayat (1).
Bagian Kedua
Pengawasan dan Pengendalian
Pasal 75
(1)Pengguna barang melakukan pemantauan
dan penertiban terhadap penggunaan,
pemanfaatan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pemeliharaan, dan
pengamanan barang milik negara/daerah
yang berada di bawah penguasaannya.
(2)Pelaksanaan pemantauan dan penertiban
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
untuk kantor/satuan kerja dilaksanakan oleh
kuasa pengguna barang.
(3)Kuasa pengguna barang dan pengguna
barang dapat meminta aparat pengawas
fungsional untuk melakukan audit tindak
lanjut hasil pemantauan dan penertiban
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4)Kuasa pengguna barang dan pengguna
barang menindaklanjuti hasil audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai
ketentuan perundang-undangan.
Pasal 76
(1)Pengelola barang berwenang untuk
melakukan pemantauan dan investigasi
atas pelaksanaan penggunaan,
pemanfaatan, dan pemindahtanganan
barang milik negara/daerah, dalam rangka
penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan
pemindahtanganan barang milik negara/
daerah sesuai ketentuan yang berlaku.
(2)Sebagai tindak lanjut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pengelola
barang dapat meminta aparat pengawas
fungsional untuk melakukan audit atas
pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan,
dan pemindahtanganan barang milik negara/
daerah.
(3)Hasil audit sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan kepada pengelola
barang untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
perundang-undangan.
Pasal 77
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian
atas barang milik negara diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 78
(1)Pejabat/pegawai yang melaksanakan
pengelolaan barang milik negara/daerah
yang menghasilkan penerimaan negara/
daerah dapat diberikan insentif.
(2)Pejabat/pegawai selaku pengurus barang
dalam melaksanakan tugas rutinnya
diberikan tunjangan yang besarannya
disesuaikan dengan kemampuan keuangan
negara/daerah.
(3)Pemberian insentif dan/atau tunjangan
kepada pejabat/pegawai yang melaksanakan
pengelolaan barang milik negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(4)Pemberian insentif dan/atau tunjangan
kepada pejabat/ pegawai yang
melaksanakan pengelolaan barang milik
daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Daerah
dengan berpedoman pada kebijakan umum
pengelolaan barang milik negara/daerah.
Pasal 79
(1) Barang milik negara/daerah yang digunakan
oleh badan layanan umum/badan layanan
umum daerah merupakan kekayaan
negara/daerah yang tidak dipisahkan untuk
menyelenggarakan kegiatan badan layanan
umum/badan layanan umum daerah yang
bersangkutan.
(2)Pengelolaan barang milik negara/daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengikuti ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah ini, kecuali terhadap
barang-barang tertentu yang diatur tersendiri
73
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
dalam Peraturan Pemerintah tentang Badan
Layanan Umum.
Pasal 80
(1)Pengelola barang dapat membentuk badan
layanan umum dan/atau menggunakan jasa
pihak lain dalam pelaksanaan pemanfaatan
dan pemindahtanganan barang milik negara
berupa tanah dan/atau bangunan.
(2)Pengelolaan barang milik negara yang
berasal dari badan khusus yang dibentuk
dalam rangka penyehatan perbankan,
diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
barang milik daerah diatur dalam Peraturan
Daerah
BAB XIV
GANTI RUGI DAN SANKSI
Pasal 82
(1)Setiap kerugian negara/daerah akibat
kelalaian, penyalahgunaan/pelanggaran
hukum atas pengelolaan barang milik negara/
daerah diselesaikan melalui tuntutan ganti
rugi sesuai dengan peraturan perundangundangan.
(2)Setiap pihak yang mengakibatkan kerugian
negara/daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif
dan/atau sanksi pidana sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83
(1)Barang milik negara/daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang telah ada sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib
dilakukan inventarisasi dan diselesaikan
dokumen kepemilikannya.
(2)Inventarisasi dan penyelesaian dokumen
kepemilikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut oleh pengelola
74
barang berkoordinasi dengan kementerian
negara/lembaga yang bertanggung jawab
di bidang pertanahan nasional dan instansi
teknis terkait.
(3)Semua biaya yang timbul sebagai akibat
pelaksanaan ketentuan pada ayat (2)
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Daerah.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah
ini, semua peraturan yang mengatur mengenai
pengelolaan barang milik negara/daerah yang
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 85
Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut
Peraturan Pemerintah ini harus diselesaikan
selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak
Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 86
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan
Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2006
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 14 Maret 2006
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006 NOMOR 20
Salinan sesuai dengan aslinya
DEPUTI MENTERI SEKRETARIS NEGARA
BIDANG PERUNDANG-UNDANGAN,
ABDUL WAHID
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
75
PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2006
TENTANG
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
I.
UMUM
1.Pendahuluan
Dalam rangka menjamin terlaksananya
tertib administrasi dan tertib pengelolaan
barang milik negara/daerah diperlukan
adanya kesamaan persepsi dan langkah
secara integral dan menyeluruh dari unsurunsur yang terkait dalam pengelolaan barang
milik negara/daerah.
Pengelolaan barang milik negara/
daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah ini dilaksanakan dengan
memperhatikan asas-asas sebagai berikut:
a. Asas fungsional, yaitu pengambilan
keputusan dan pemecahan masalahmasalah di bidang pengelolaan barang
milik negara/daerah yang dilaksanakan
oleh kuasa pengguna barang, pengguna
barang, pengelola barang dan gubernur/
bupati/walikota sesuai fungsi, wewenang,
dan tanggung jawab masing-masing;
b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan
barang milik negara/ daerah harus
dilaksanakan berdasarkan hukum dan
76
peraturan perundang-undangan;
c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan
pengelolaan barang milik negara/
daerah harus transparan terhadap hak
masyarakat dalam memperoleh informasi
yang benar;
d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang
milik negara/daerah diarahkan agar
barang milik negara/daerah digunakan
sesuai batasan-batasan standar
kebutuhan yang diperlukan dalam rangka
menunjang penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi pemerintahan secara
optimal;
e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan
pengelolaan barang milik negara/ daerah
harus dapat dipertanggung-jawabkan
kepada rakyat;
f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan
barang milik negara/daerah harus
didukung oleh adanya ketepatan jumlah
dan nilai barang dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan dan pemindahtanganan
barang milik negara/daerah serta
penyusunan Neraca Pemerintah.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
2. Gambaran Umum
a. Ruang Lingkup Barang Milik Negara/
Daerah dan Pengelolaan
Ruang lingkup barang milik negara/
daerah dalam Peraturan Pemerintah
ini mengacu pada pengertian barang
milik negara/daerah berdasarkan
rumusan dalam Pasal 1 angka 10 dan
angka 11 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara. Atas dasar pengertian tersebut
lingkup barang milik negara/daerah
disamping berasal dari pembelian
atau perolehan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
juga berasal dari perolehan lainnya
yang sah. Barang milik negara/daerah
yang berasal dari perolehan lainnya
yang sah selanjutnya dalam Peraturan
Pemerintah ini diperjelas lingkupnya
yang meliputi barang yang diperoleh dari
hibah/ sumbangan/sejenisnya, diperoleh
sebagai pelaksanaan perjanjian/
kontrak, diperoleh berdasarkan
ketentuan undang-undang dan diperoleh
berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pengaturan mengenai lingkup barang
milik negara/daerah dalam Peraturan
Pemerintah ini dibatasi pada pengertian
barang milik negara/daerah yang bersifat
berwujud (tangible) sebagaimana
dimaksud Bab VII Pasal 42 sampai
dengan Pasal 49 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
Pengelolaan barang milik negara/
daerah dalam Peraturan Pemerintah ini,
meliputi perencanaan kebutuhan dan
penganggaran, pengadaan, penggunaan,
pemanfaatan, pengamanan dan
pemeliharaan, penilaian, penghapusan,
pemindahtanganan, penatausahaan,
pembinaan, pengawasan dan
pengendalian. Lingkup pengelolaan
barang milik negara/daerah tersebut
merupakan siklus logistik yang lebih
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
terinci sebagai penjabaran dari siklus
logistik sebagaimana yang diamanatkan
dalam penjelasan Pasal 49 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004,
yang antara lain didasarkan pada
pertimbangan perlunya penyesuaian
terhadap siklus perbendaharaan.
b. Pejabat Pengelolaan Barang Milik
Negara/Daerah
P a d a d a s a r n y a b a r a n g m i l i k
negara/daerah digunakan untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
kementerian negara/lembaga/ satuan
kerja perangkat daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004.
Terkait dengan hal tersebut, Pasal 4 ayat
(1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 menetapkan
bahwa menteri/pimpinan lembaga/kepala
satuan kerja perangkat daerah adalah
pengguna barang bagi kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya.
Sebagai konsekuensi dari prinsip
tersebut di atas, maka tanah dan/atau
bangunan milik negara/daerah yang
tidak dimanfaatkan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi instansi yang bersangkutan
wajib diserahkan pemanfaatannya
kepada Menteri Keuangan/gubernur/
bupati/ walikota untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pemerintahan
negara/daerah sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 49 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004.
Menteri Keuangan/gubernur/bupati/
walikota melakukan pemanfaatan atas
tanah dan/atau bangunan tersebut untuk:
1) digunakan oleh instansi lain yang
memerlukan tanah/bangunan dalam
rangka penyelenggaraan tugas pokok
dan fungsinya melalui pengalihan
status penggunaan;
2) dimanfaatkan, dalam bentuk sewa,
kerja sama pemanfaatan, pinjam
pakai, bangun guna serah dan
77
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
bangun serah guna; atau
3) dipindahtangankan, dalam bentuk
penjualan, tukar menukar, hibah,
penyertaan modal pemerintah pusat/
daerah.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur
pejabat yang melakukan pengelolaan
barang milik negara/daerah. Dalam
pengelolan barang milik negara, Menteri
Keuangan adalah pengelola barang,
menteri/pimpinan lembaga adalah
pengguna barang, dan kepala kantor
satuan kerja adalah kuasa pengguna
barang. Sedangkan dalam pengelolaan
barang milik daerah, gubernur/bupati/
walikota adalah pemegang kekuasaan
pengelolaan barang milik daerah,
sekretaris daerah adalah pengelola
barang, dan kepala satuan kerja
perangkat daerah adalah pengguna
barang.
D a s a r p e n g a t u r a n m e n g e n a i
wewenang dan tanggung jawab pejabat
pengelolaan barang milik negara/daerah
adalah sebagai berikut:
1) Menteri Keuangan selaku pengelola
barang mempunyai fungsi yang
mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat
(2) huruf q, Pasal 42 ayat (1), Pasal
46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2004. Berdasarkan ketentuan
pada pasal-pasal tersebut, fungsi
Menteri Keuangan selain menyangkut
fungsi pengaturan (regelling) juga
melakukan fungsi pengelolaan atas
barang milik negara khususnya
tanah dan/atau bangunan, termasuk
mengambil berbagai keputusan
administratif (beschikking). Dalam
kedudukannya sebagai pengelola
barang, dan dihubungkan dengan
amanat Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Nomor 17 tahun 2003,
Menteri Keuangan juga berwenang
mengajukan usul untuk memperoleh
persetujuan DPR, baik dalam rangka
pemindahtangan barang milik negara
berupa tanah dan/atau bangunan
78
maupun pemindahtangan barang
milik negara selain tanah dan/atau
bangunan yang nilainya di atas
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
2) Menteri/pimpinan lembaga selaku
pengguna barang mempunyai fungsi
yang mengacu pada Pasal 9 huruf
f Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2003 serta Pasal 4 huruf g dan
huruf h, Pasal 42 ayat (2), dan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004. Fungsi menteri/
pimpinan lembaga selaku pengguna
barang pada dasarnya menyangkut
penggunaan barang milik negara
yang ada dalam penguasaannya
dalam rangka penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi kementerian negara/
lembaga. Dalam melaksanakan
fungsi dimaksud, menteri/ pimpinan
Lembaga berwenang menunjuk
kuasa pengguna barang.
3) Gubernur/bupati/walikota selaku
kepala pemerintah daerah mempunyai
fungsinya mengacu pada Pasal 5
huruf c, Pasal 43 ayat (1), Pasal
47 ayat (2), dan Pasal 49 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004. Gubernur/bupati/walikota
selaku kepala pemerintah daerah
merupakan pemegang kekuasaan
pengelolaan barang milik daerah yang
teknis pengelolaannya dilaksanakan
oleh:
a) s e k r e t a r i s d a e r a h s e b a g a i
pengelola barang atas dasar
pertimbangan bahwa kepala
satuan kerja pengelola keuangan
daerah selaku bendahara umum
daerah, fungsinya mengacu
pada Pasal 9 ayat (2) huruf q
dan Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004,
berkedudukan dibawah sekretaris
daerah;
b) kepala satuan kerja perangkat
daerah selaku pengguna barang,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
fungsinya mengacu pada Pasal 10
ayat (3) huruf f Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 serta Pasal
6 ayat (2) huruf f dan Pasal 43
ayat (3) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004.
c. Perencanaan Kebutuhan, Penganggaran,
dan Pengadaan Barang Milik Negara/
Daerah
Perencanaan kebutuhan barang
milik negara/daerah harus mampu
menghubungkan antara ketersediaan
barang sebagai hasil dari pengadaan
yang telah lalu dengan keadaan yang
sedang berjalan sebagai dasar tindakan
yang akan datang dalam rangka
pencapaian efisiensi dan efektivitas
pengelolaan barang milik negara/daerah.
Hasil perencanaan kebutuhan tersebut
merupakan salah satu dasar dalam
penyusunan perencanaan anggaran
pada kementerian/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah. Perencanaan
anggaran yang mencerminkan
kebutuhan riil barang milik negara/daerah
pada kementerian/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah selanjutnya
menentukan pencapaian tujuan
pengadaan barang yang diperlukan
dalam rangka penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi pemerintah.
d. Penggunaan Barang Milik Negara/
Daerah
Pada dasarnya barang milik negara/
daerah digunakan untuk penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga/ satuan kerja perangkat
daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004. Oleh karena itu, sesuai
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2004 barang milik negara/daerah
yang diperlukan bagi penyelenggaraan
tugas pemerintahan negara/daerah tidak
dapat dipindahtangankan. Dalam rangka
menjamin tertib penggunaan, pengguna
barang harus melaporkan kepada
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
pengelola barang atas semua barang
milik negara/daerah yang diperoleh
kementerian/lembaga/satuan kerja
perangkat daerah untuk ditetapkan status
penggunaannya.
e. Penatausahaan Barang Milik Negara/
Daerah
P e n a t a u s a h a a n b a r a n g m i l i k
negara/daerah meliputi pembukuan,
inventarisasi, dan pelaporan. Barang
milik negara/daerah yang berada di
bawah penguasaan pengguna barang/
kuasa pengguna barang harus dibukukan
melalui proses pencatatan dalam Daftar
Barang Kuasa Pengguna oleh kuasa
pengguna barang. Daftar Barang
Pengguna oleh pengguna barang dan
Daftar Barang Milik Negara/Daerah oleh
pengelola barang. Proses inventarisasi,
baik berupa pendataan, pencatatan,
dan pelaporan hasil pendataan barang
milik negara/daerah merupakan bagian
dari penatausahaan. Hasil dari proses
pembukuan dan inventarisasi diperlukan
dalam melaksanakan proses pelaporan
barang milik negara/daerah yang
dilakukan oleh kuasa pengguna barang,
pengguna barang, dan pengelola barang.
Hasil penatausahaan barang milik
negara/daerah digunakan dalam rangka:
- penyusunan neraca pemerintah
pusat/daerah setiap tahun;
- perencanaan kebutuhan pengadaan
dan pemeliharaan barang milik negara/
daerah setiap tahun untuk digunakan
sebagai bahan penyusunan rencana
anggaran;
- pengamanan administratif terhadap
barang milik negara/daerah.
f. Pengamanan dan Pemeliharaan Barang
Milik Negara/Daerah
Pengamanan administrasi yang
ditunjang oleh pengamanan fisik dan
pengamanan hukum atas barang milik
negara/daerah merupakan bagian
penting dari pengelolaan barang milik
negara/daerah. Kuasa pengguna barang,
pengguna barang dan pengelola barang
79
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
memiliki wewenang dan tangung jawab
dalam menjamin keamanan barang milik
negara/daerah yang berada di bawah
penguasaannya dalam rangka menjamin
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
pemerintah.
g. Penilaian Barang Milik Negara/Daerah
Penilaian barang milik negara/daerah
diperlukan dalam rangka mendapatkan
nilai wajar sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Nilai wajar atas barang
milik negara/daerah yang diperoleh
dari penilaian ini merupakan unsur
penting dalam rangka penyusunan
neraca pemerintah, pemanfaatan dan
pemindahtanganan barang milik negara/
daerah.
h. Pemanfaatan dan Pemindahtanganan
Barang milik negara/daerah dapat
dimanfaatkan atau dipindahtangankan
apabila tidak digunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan negara/
daerah. Dalam konteks pemanfaatan tidak
terjadi adanya peralihan kepemilikan dari
pemerintah kepada pihak lain. Sedangkan
dalam konteks pemindahtanganan akan
terjadi peralihan kepemilikan atas barang
milik negara/daerah dari pemerintah
kepada pihak lain.
Tanah dan/atau bangunan yang tidak
dipergunakan sesuai tugas pokok dan
fungsi instansi pengguna barang harus
diserahkan kepada Menteri Keuangan
selaku pengelola barang untuk barang
milik negara, atau gubernur/bupati/
walikota selaku pemegang kekuasaan
pengelolaan barang milik daerah untuk
barang milik daerah. Penyerahan kembali
barang milik negara/daerah tersebut
dilakukan dengan memperhatikan kondisi
status tanah dan/atau bangunan, apakah
telah bersertifikat (baik dalam kondisi
bermasalah maupun tidak bermasalah)
atau tidak bersertifikat (baik dalam
kondisi bermasalah maupun tidak
bermasalah). Barang milik negara/daerah
berupa tanah dan/atau bangunan yang
telah diserahkan tersebut selanjutnya
80
didayagunakan untuk penyelenggaraan
pemerintahan negara, yang meliputi
fungsi-fungsi berikut:
1) Fungsi pelayanan
Fungsi ini direalisasikan melalui
pengalihan status penggunaan, di
mana barang milik negara/daerah
dialihkan penggunaannya kepada
instansi pemerintah lainnya untuk
digunakan dalam rangka memenuhi
kebutuhan organisasi sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya.
2) Fungsi budgeter
Fungsi ini direalisasikan melalui
pemanfaatan dan pemindahtanganan.
Pemanfaatan dimaksud dilakukan
dalam bentuk sewa, kerjasama
pemanfaatan, pinjam pakai, bangun
guna serah dan bangun serah guna.
Sedangkan pemindahtanganan
dilakukan dalam bentuk penjualan,
tukar menukar, hibah, dan penyertaan
modal negara/daerah.
K e w e n a n g a n p e l a k s a n a a n
pemanfaatan atau pemindahtanganan
tanah dan/atau bangunan pada barang
milik negara prinsipnya dilakukan oleh
pengelola barang, dan untuk barang milik
daerah dilakukan oleh gubernur/bupati/
walikota, kecuali hal-hal sebagai berikut:
1) P e m a n f a a t a n t a n a h d a n / a t a u
bangunan untuk memperoleh fasilitas
yang diperlukan dalam rangka
menunjang tugas pokok dan fungsi
instansi pengguna dan berada di
dalam lingkungan instansi pengguna,
contohnya: kantin, bank dan koperasi.
2) Pemindahtanganan dalam bentuk
tukar-menukar berupa tanah dan/atau
bangunan yang masih digunakan
untuk tugas pokok dan fungsi namun
tidak sesuai dengan tata ruang
wilayah atau penataan kota.
3) Pemindahtanganan dalam bentuk
penyertaan modal pemerintah
pusat/daerah berupa tanah dan/
atau bangunan yang sejak awal
pengadaannya sesuai dokumen
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penganggaran diperuntukkan bagi
badan usaha milik negara/daerah
atau badan hukum lainnya yang
dimiliki negara.
Pengecualian tersebut, untuk barang
milik negara dilakukan oleh pengguna
barang dengan persetujuan pengelola
barang, sedangkan untuk barang milik
daerah dilakukan oleh pengelola barang
dengan persetujuan gubernur/bupati/
walikota.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam pengertian ini
meliputi: kontrak karya, kontrak
bagi hasil, kontrak kerja sama
pemanfaatan.
Huruf c
Misalnya: Undang-Undang
Kepabeanan, termasuk pengertian
ini meliputi barang milik negara yang
diperoleh dari aset asing/cina dan
sebagainya.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas .
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan mengatur
pelaksanaan adalah menindaklanjuti
persetujuan gubernur/bupati/ walikota
secara administratif.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Penyerahan dimaksud meliputi
bukan hanya terhadap tanah dan
bangunan yang berlebih tetapi juga
termasuk tanah dan bangunan yang
karena alasan tertentu tidak dapat
lagi digunakan untuk kepentingan
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi instansi yang bersangkutan.
Huruf k
Cukup jelas.
81
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kepala Kantor
adalah pejabat yang mempunyai
anggaran/Daftar Isian Pelaksanaan
Anggaran (DIPA) seperti sekretaris
jenderal, inspektur jenderal, direktur
jenderal, kepala kantor wilayah, dan
kepala kantor satuan kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ketersediaan
barang milik negara/daerah yang ada
adalah barang milik negara/daerah baik
yang ada di pengelola barang maupun
pengguna barang.
Ayat (2)
Perencanaan kebutuhan dimaksud
meliputi perencanaan kebutuhan
pengadaan dan perencanaan kebutuhan
pemeliharaan barang milik negara/
daerah.
Ayat (3)
Yang dimaksud standar kebutuhan
adalah standar sarana dan prasarana.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
- Rencana Kebutuhan Barang Milik
Negara/Daerah tersebut digunakan
sebagai acuan dalam penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga/
Satuan Kerja Perangkat Daerah.
- Termasuk data barang pada pengguna
barang dan/atau pengelola barang
adalah Laporan Pengguna Barang
82
Semesteran, Laporan Pengguna
Barang Tahunan, Laporan Pengelola
Barang Semesteran, Laporan
Pengelola Tahunan, dan sensus
barang serta Laporan Barang Milik
Negara/Daerah Semesteran dan
Tahunan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Usul penggunaan meliputi barang
milik negara yang digunakan
oleh pengguna barang untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi, termasuk barang milik negara
yang ada pada pengguna barang
yang direncanakan untuk dihibahkan
kepada pihak ketiga atau yang akan
dijadikan penyertaan modal negara.
Huruf b
Penetapan status penggunaan
barang milik negara oleh pengelola
barang disertai dengan ketentuan:
1) pengguna barang mencatat barang
milik negara tersebut dalam Daftar
Barang Pengguna apabila barang
milik negara itu akan digunakan
sendiri oleh pengguna barang
untuk menyelenggarakan tugas
pokok dan fungsinya;
2) pengguna barang menyampaikan
Berita Acara Serah Terima
Pengelolaan Sementara Barang
Milik Negara kepada pengelola
barang apabila barang milik
negara itu akan dihibahkan atau
dijadikan penyertaan modal
negara.
Ayat (2)
Huruf a
Usul penggunaan meliputi barang
milik daerah yang digunakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
oleh pengguna barang untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi, termasuk barang milik daerah
yang ada pada pengguna barang
yang direncanakan untuk dihibahkan
kepada pihak ketiga atau yang akan
dijadikan penyertaan modal daerah.
Huruf b
Penetapan status penggunaan
barang milik daerah oleh pengelola
barang disertai dengan ketentuan:
1) pengguna barang mencatat barang
milik daerah tersebut dalam Daftar
Barang Pengguna apabila barang
milik daerah itu akan digunakan
sendiri oleh pengguna barang
untuk menyelenggarakan tupoksinya;
2) pengguna barang menyampaikan
Berita Acara Serah Terima
Pengelolaan Sementara Barang
Milik Daerah kepada pengelola
barang apabila barang milik
daerah itu akan dihibahkan atau
dijadikan penyertaan modal
daerah.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud tindak lanjut pengelolaan
dalam ayat ini, bahwa diupayakan
te r l e b i h d a h u l u m e m p r i o r i ta s k a n
penetapan status penggunaannya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan
fungsi instansi pemerintah lainnya.
Yang selanjutnya apabila ternyata tidak
diperlukan/ dibutuhkan instansi pengguna
lain dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsi, maka pemanfaatan terhadap
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
barang tersebut diupayakan dalam
rangka optimalisasi pemanfaatan barang
milik negara/daerah. Pemindahtanganan
merupakan upaya terakhir apabila
barang tersebut memang benar-benar
sudah tidak dapat digunakan atau
dimanfaatkan.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Pemanfaatan barang milik negara
untuk kepentingan penyelenggaraan
tugas pemerintahan negara dilakukan
oleh pengelola barang dalam rangka
peningkatan penerimaan negara sebagai
sumber pendapatan negara yang
merupakan bagian dari pelaksanaan
fungsi bendahara umum negara.
Ayat (2)
Pemanfaatan barang milik daerah
untuk kepentingan penyelenggaraan
tugas pemerintahan daerah dilakukan
oleh pengelola barang dalam rangka
peningkatan penerimaan daerah sebagai
sumber pendapatan daerah yang
merupakan bagian dari pelaksanaan
fungsi bendahara umum daerah.
Ayat (3)
Ya n g d i m a k s u d d e n g a n m e n u n j a n g
kepentingan penyelenggaraan tugas
pokok dan fungsi adalah untuk
kepentingan kegiatan di lingkungan
perkantoran, seperti kantin, bank,
koperasi, ruang serbaguna/aula.
Ayat (4)
Barang milik negara/daerah selain
tanah dan/atau bangunan yang menjadi
lingkup pemanfaatan ini adalah barang
milik negara/daerah yang sudah tidak
digunakan oleh pengguna barang untuk
menyelenggarakan atau menunjang
tupoksi instansi bersangkutan.
Ayat (5)
Pertimbangan teknis sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini antara lain
kondisi/keadaan barang milik negara/
daerah dan rencana penggunaan/
83
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
peruntukan.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Pemanfaatan barang milik daerah, selain
penyewaan dapat dipungut retribusi yang
ditetapkan dalam Peraturan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Uang sewa dibayar dimuka sesuai
dengan jangka waktu penyewaan.
Pasal 23
Ayat (1)
Tidak termasuk dalam pengertian pinjam
pakai dalam ayat ini adalah pengalihan
penggunaan barang antar pengguna
barang milik negara atau antar pengguna
barang milik daerah yang merupakan
bentuk perubahan status penggunaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk barang milik negara/
daerah yang bersifat khusus antara
lain barang yang mempunyai
spesifikasi tertentu sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
84
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Huruf a
Spesifikasi bangunan dan fasilitas
pada pelaksanaan bangun guna serah
dan bangun serah guna disesuaikan
dengan kebutuhan penyelenggaraan
tugas pokok dan fungsi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Keikutsertaan pengguna barang dan/
atau kuasa pengguna barang dalam
pelaksanaan bangun guna serah dan
bangun serah guna dimulai dari tahap
persiapan pembangunan, pelaksanaan
pembangunan sampai dengan
penyerahan hasil bangun serah guna
dan bangun guna serah.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan hasil adalah
bangunan beserta fasilitas yang telah
diserahkan oleh mitra setelah berakhirnya
jangka waktu yang diperjanjikan untuk
bangun guna serah dan setelah selesainya
pembangunan untuk bangun serah guna.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud objek bangun guna
serah dan bangun serah guna dalam
ketentuan ini adalah tanah beserta
bangunan dan atau sarana berikut
fasilitasnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
- P e n g a m a n a n a d m i n i s t r a s i
meliputi kegiatan pembukuan,
penginventarisasian, dan pelaporan
barang milik negara/daerah serta
penyimpanan dokumen kepemilikan
secara tertib.
- Pengamanan fisik antara lain
ditujukan untuk mencegah terjadinya
penurunan fungsi barang, penurunan
jumlah barang dan hilangnya barang.
- Pengamanan fisik untuk tanah dan
bangunan antara lain dilakukan
dengan cara pemagaran dan
pemasangan tanda batas tanah,
sedangkan untuk selain tanah dan
bangunan antara lain dilakukan
dengan cara penyimpanan dan
pemeliharaan.
- Pengamanan hukum antara lain
meliputi kegiatan melengkapi bukti
status kepemilikan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan disertifikatkan
a ta s n a m a P e m e r i n ta h R e p u b l i k
Indonesia/pemerintah daerah yang
bersangkutan adalah penerbitan sertifikat
hak atas tanah milik pemerintah pusat
langsung atas nama Pemerintah Republik
Indonesia dan penerbitan sertifikat hak
atas tanah milik pemerintah daerah
langsung atas nama pemerintah propinsi/
kabupaten/kota. Selanjutnya pengelola
barang untuk tanah milik pemerintah
pusat, dan gubernur/ bupati/ walikota
untuk tanah milik pemerintah daerah,
akan menerbitkan surat penetapan
status penggunaan tanah kepada
masing-masing pengguna barang/
kuasa pengguna barang sebagai dasar
penggunaan tanah tersebut. Hak atas
tanah yang dapat diterbitkan berupa hak
yang ditetapkan berdasarkan peraturan
perundangundangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemeliharaan
adalah suatu rangkaian kegiatan untuk
menjaga kondisi dan memperbaiki semua
barang milik negara/daerah agar selalu
dalam keadaan baik dan siap untuk
digunakan secara berdaya guna dan
berhasil guna.
Ayat (2)
Daftar Kebutuhan Pemeliharaan Barang
merupakan bagian dari Daftar Kebutuhan
Barang Milik Negara/ Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
85
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud secara berkala adalah
setiap enam bulan/per semester.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tim adalah panitia
penaksir harga yang unsurnya terdiri dari
instansi terkait. Yang dimaksud dengan
penilai independen adalah penilai yang
bersertifikat dibidang penilaian aset
yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilai independen
adalah penilai yang bersertifikat dibidang
penilaian aset yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan tim adalah panitia
penaksir harga yang unsurnya terdiri dari
instansi terkait. Yang dimaksud dengan
penilai independen adalah penilai yang
bersertifikat dibidang penilaian aset
yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penilai independen
adalah penilai yang bersertifikat dibidang
penilaian aset yang dikeluarkan oleh
pejabat yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
86
Pasal 42
Ayat (1)
Barang milik negara/daerah sudah tidak
berada dalam penguasaan pengguna
barang dan/atau kuasa pengguna barang
disebabkan karena:
- penyerahan kepada pengelola
barang;
- pengalihgunaan barang milik negara/
daerah selain tanah dan/atau
bangunan kepada pengguna barang
lain;
- pemindahtanganan atas barang milik
negara/daerah selain tanah dan/atau
bangunan kepada pihak lain;
-pemusnahan;
- sebab-sebab lain antara lain karena
hilang, kecurian, terbakar, susut,
menguap, mencair.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan beralihnya
kepemilikan adalah karena atas barang
milik negara/daerah dimaksud telah
terjadi pemindahtanganan atau dalam
rangka menjalankan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan sudah tidak ada upaya
hukum lainnya. Yang dimaksud karena
sebab-sebab lain antara lain adalah
karena hilang, kecurian, terbakar, susut,
menguap, mencair.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan sesuai ketentuan
perundang-undangan antara lain seperti
Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
- Tidak sesuai dengan tata ruang
wilayah artinya pada lokasi
tanah dan/atau bangunan milik
negara/daerah dimaksud terjadi
perubahan peruntukan dan/
atau fungsi kawasan wilayah,
misalnya dari peruntukan wilayah
perkantoran menjadi wilayah
perdagangan.
- Tidak sesuai dengan penataan
kota artinya atas tanah dan/
atau bangunan milik negara/
daerah dimaksud perlu dilakukan
penyesuaian, yang berakibat
pada perubahan luas tanah dan/
atau bangunan tersebut.
Huruf b
Yang dihapuskan adalah bangunan
yang berdiri di atas tanah tersebut
untuk dirobohkan yang selanjutnya
didirikan bangunan baru di atas
tanah yang sama (rekonstruksi)
sesuai dengan alokasi anggaran yang
telah disediakan dalam dokumen
penganggaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan tanah dan/
atau bangunan diperuntukkan bagi
pegawai negeri adalah:
- tanah dan/atau bangunan, yang
merupakan kategori rumah
negara golongan III.
- t a n a h , y a n g m e r u p a k a n
tanah kavling yang menurut
perencanaan awal pengadaannya
untuk pembangunan perumahan
pegawai negeri.
Huruf d
Ya n g d i m a k s u d k a n d e n g a n
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
kepentingan umum adalah kegiatan
yang menyangkut kepentingan
bangsa dan negara, masyarakat
luas, rakyat banyak/bersama, dan/
atau kepentingan pembangunan.
Kategori bidang-bidang kegiatan
yang termasuk untuk kepentingan
umum antara lain sebagai berikut:
- jalan umum, jalan tol, rel kereta
api, saluran air minum/air bersih
dan/atau saluran pembuangan
air;
- waduk, bendungan dan bangunan
pengairan lainnya termasuk
saluran irigasi;
- rumah sakit umum dan pusatpusat kesehatan masyarakat;
- pelabuhan atau bandar udara atau
stasiun kereta api atau terminal;
-peribadatan;
- pendidikan atau sekolah;
- pasar umum;
- fasilitas pemakaman umum;
- fasilitas keselamatan umum
seperti antara lain tanggul
penanggulangan bahaya banjir,
lahar dan lain-lain bencana;
- pos dan telekomunikasi;
- sarana olahraga;
- stasiun penyiaran radio, televisi
beserta sarana pendukungnya
untuk lembaga penyiaran publik ;
- kantor pemerintah, pemerintah
daerah, perwakilan negara asing,
Perserikatan Bangsa-Bangsa,
lembaga internasional dibawah
naungan Perserikatan BangsaBangsa;
- f a s i l i t a s Te n t a r a N a s i o n a l
Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya ;
- rumah susun sederhana;
- tempat pembuangan sampah;
- cagar alam dan cagar budaya;
-pertamanan;
- panti sosial;
- pembangkit, transmisi, distribusi
87
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
tenaga listrik.
Huruf e
Barang milik negara/daerah yang
ditetapkan sebagai pelaksanaan
perundang-undangan karena adanya
keputusan pengadilan atau penyitaan,
dapat dipindahtangankan tanpa
memerlukan persetujuan DPR.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lelang adalah penjualan barang milik
negara/daerah di hadapan pejabat
lelang.
Ayat (3)
Huruf a.
Yang termasuk barang milik negara/
daerah yang bersifat khusus adalah
barang-barang yang diatur secara
khusus sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku; misalnya,
rumah negara golongan III yang dijual
kepada penghuni, dan kendaraan
dinas perorangan pejabat negara
yang dijual kepada pejabat negara.
Huruf b.
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Tukar menukar sebagaimana dimaksud
dalam ayat ini ditempuh apabila
pemerintah tidak dapat menyediakan
tanah dan/atau bangunan pengganti .
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak swasta
88
dalam ayat ini adalah pihak swasta baik
yang berbentuk badan hukum maupun
perorangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan pihak swasta
dalam ayat ini adalah pihak swasta baik
yang berbentuk badan hukum maupun
perorangan.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 48
Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 48
Peraturan Pemerintah ini.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 49
Peraturan Pemerintah ini.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 49
Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan
Pemerintah ini.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 49
Peraturan Pemerintah ini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Barang milik daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang dari awal
pengadaannya direncanakan untuk
dihibahkan, tidak memerlukan adanya
penetapan gubernur/bupati/ walikota.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini.
89
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Barang milik negara/daerah selain
tanah dan/atau bangunan yang
dimaksud pada ayat ini meliputi:
- barang milik negara/daerah
selain tanah dan/atau bangunan
yang dari awal pengadaannya
untuk disertakan sebagai modal
pemerintah;
- barang milik negara/daerah selain
tanah dan/atau bangunan yang
lebih optimal untuk disertakan
sebagai modal pemerintah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan
Pemerintah ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kegiatan pengkajian
adalah kegiatan koordinasi dengan
badan usaha milik negara/daerah,
kementerian negara/lembaga
yang bertanggungjawab di bidang
pembinaan badan usaha milik negara/
daerah.
90
Huruf b
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 dan Pasal 48 Peraturan
Pemerintah ini.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila perolehan barang milik
negara berasal dari pengeluaran
anggaran, maka usulan penyertaan
modal pemerintah disertai hasil audit
badan pemeriksa pemerintah.
Huruf b
Termasuk dalam kegiatan pengkajian
adalah kegiatan koordinasi dengan
badan usaha milik negara/daerah,
kementerian negara/lembaga
yang bertanggungjawab di bidang
pembinaan badan usaha milik negara/
daerah dan pengguna barang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 46 sampai dengan Pasal 49
Peraturan Pemerintah ini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam kegiatan pengkajian
adalah kegiatan koordinasi dengan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
badan usaha milik negara/daerah dan
pengelola barang.
Huruf c
Barang milik daerah berupa tanah
dan/atau bangunan yang dari awal
pengadaannya direncanakan untuk
dihibahkan, tidak memerlukan adanya
penetapan gubernur/ bupati/ walikota.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Apabila perolehan barang milik
negara berasal dari pengeluaran
anggaran, maka usulan penyertaan
modal pemerintah disertai hasil audit
badan pemeriksa pemerintah.
Huruf b
Termasuk dalam kegiatan pengkajian
adalah kegiatan koordinasi dengan
badan usaha milik daerah dan
pengguna barang.
Huruf c
Yang dimaksud dengan sesuai batas
kewenangan dalam pasal ini adalah
sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 50 Peraturan Pemerintah ini.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Dalam Daftar Barang Milik Negara/
Daerah termasuk barang milik negara/
daerah yang dimanfaatkan oleh pihak
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan inventarisasi
dalam waktu sekurang-kurangnya sekali
dalam lima tahun adalah sensus barang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan inventarisasi
terhadap persediaan dan konstruksi
dalam pengerjaan antara lain adalah
opname fisik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebijakan umum
dalam hal ini adalah kebijakan yang
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan
secara tertulis baik dalam bentuk
Peraturan Menteri Keuangan maupun
yang berbentuk surat Menteri Keuangan
yang memuat prinsip-prinsip pengelolaan
barang milik negara/daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Yang dimaksud investigasi adalah
91
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006
Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
penyelidikan dengan mencatat atau
merekam fakta-fakta; melakukan
peninjauan dengan tujuan memperoleh
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
(peristiwa-peristiwa) yang berkaitan
dengan penggunaan, pemanfaatan, dan
pemindahtanganan barang milik negara/
daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Pembentukan badan layanan umum
dan/atau penggunaan jasa pihak
lain dimaksudkan agar pelaksanaan
pemanfaatan dan pemindahtanganan
dapat dilaksanakan secara lebih
profesional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup Jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 4609
92
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
93
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM sedang melaksanakan Praktek Kerja Lapangan
di Kejaksanaan Negeri Jakarta Pusat
94
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM mengikuti Lomba Moot Court di UPN “Veteran” Jakarta mendapat Juara I
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
95
Berita Dalam Gambar
STHM sedang melaksanakan praktek sidang “Dewan Kehormatan Perwira”
96
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Berita Dalam Gambar
Pamasis STHM sedang melaksanakan praktek sidang di lingkungan Peradilan Militer
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
97
Berita Dalam Gambar
Jenderal TNI (Purn) Dr. A.M. Hendropriyono, S.H., M.H. dan Jenderal TNI (Purn) Wiranto, S.H.
hadir pada Acara Temu Kangen Alumni STHM “AHM-PTHM”
98
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol. 1/No. 6/Mei 2013
Download