Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. 1 KRITIK DAN PANDANGAN ANALISIS TERHADAP TEORI RASIONALISASI TINDAKAN KOMUNIKATIF JÜRGEN HABERMAS Trikuntari Dianpratiwi Peneliti Sosial Ekonomi pada Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) Pasuruan Abstract: The rationalization theory is one of some social theory that is important to face communication information age now. The expert that blowed this theory is Weber that suggested the conviction role and act in social change, but in contemporary social age now, Jürgen Habermas criticized this theory. The problems that make in communication and information age now is the present of cyber that lost face to face presenting. The context of communication setting of cyber world is much different to face to face world. Because of that, it is needed analysis to appropriate to rationalization theory, communication act rationalization theory especially. The irrationalization things that leads the subject past through rationalization follows in the footsteps irrationalization and reach act out of instinct. The new theory that was borned form the criticize to the communicative act of rationalization theory of Jürgen Habermas is the contextually communicative from irrationalization act rationalization theory (cyber world), where the context of communicative act cyber give much different influence to the fact. This theory is an alternatif of new theory of communicative act at post reality age now. Key Words: Theory, Rasionalizaton,Context, Cyber Teori Rasionalisasi awalnya 1 dicetuskan oleh Max Weber dengan lahirnya kapitalisme modern yaitu hasil akhir proses rasionalisasi yang berakar dalam pengaruh historis tradisi intelektual spesifik. Teori ini berdasar pada pemahaman “rasionalitas” khususnya “rasionalitas tindakan”. Menurut Weber cara berpikir dan bertindak ini adalah “masalah inti dalam sejarah universal peradaban”. Peranan pemimpin agama dalam mempromosikan berbagai macam ide dan tujuan atau orientasi pada berbagai masyarakat sangat penting dan menjadi penyebab masyarakat non-Barat mengalami “perkembangan ilmiah, kesenian, politik maupun ekonomi di luar jalur rasionalisasi yang unik di Barat”.2 Misalnya Pendeta Budha melakukan kontemplasi dan memisahkan diri dari semua kegiatan keduniaan untuk mencapai tingkatan spiritual tertinggi, atau Konfusius Mandarin menggunakan dasar pengetahuan yang sangat tradisional dan teks non-ilmiah. Di Barat muncul minat sudut pandang kultural yang mengedepankan rasionalisasi3. Weber mengemukakan peranan keyakinan dan tindakan dalam perubahan sosial. Kapitalisme adalah anak kandung cara berpikir dan bertindak bukan mode 2 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 produksi yang lahir dari kekuatan ekonomi. Weber menunjukkan bahwa munculnya bentuk societas hanyalah ilusi, yaitu khayalan untuk membangun utopia tentang kelahiran modernitas yang dijanjikan untuk para ilmuwan sosial. Akhirnya Weber mengusulkan untuk menyerahkan diri kita kepada “kandang besi birokrasi” dan “kegelapan malam yang beku di daerah kutub” yang diciptakan oleh modernitas4. Dalam perkembangannya teori Rasionalisasi mendapatkan kritik dari Jürgen Habermas,5 tokoh yang banyak mewarisi ideal-ideal modern 6 Pencerahan. Pada saat ini kritik Jürgen Habermas terhadap teori Rasionalisasi Max Weber telah mengalami berbagai hal yang harus diadaptasikan dengan kondisi societas abad ke 21, karena Habermas adalah pembela “kebaikan” dan kesinambungan pemikiran modernis yang menolak pembantaian oleh postmodernisme. Perubahan societas yang cenderung mengarah kepada informasi global, dengan kecanggihan alat komunikasi dan begitu banyaknya informasi yang merambah seluruh sudut kehidupan manusia saat ini tidak dapat didekati dengan teori Rasionalisasi Jürgen Habermas7 secara sempurna (memadai). Tulisan ini memuat kritik awal Jürgen Habermas terhadap teori Rasionalisasi Weber, dilanjutkan dengan pengajuan Teori Rasionalisasi Jürgen Habermas dengan konsep Refleksi dan Relevansi8, dan akhirnya diajukan kritik terhadap teori Rasionalisasi Jürgen Habermas khususnya tentang komunikatif tindakan. Kritik Awal Jürgen Habermas Sebelum membahas kritik Jürgen Habermas, marilah kita mengingat kembali siapa Jürgen Habermas. Jürgen Habermas adalah generasi kedua pembawa teori kritis yang tersohor karena menjejakkan teoretisasi pendahulunya di tingkat pemikiran selanjutnya.9 Teori-teori baru lahir di tangan Jürgen Habermas, diantaranya teori tindakan komunikasi yang merupakan salah satu terobosan dalam teori kritis.10 Selanjutnya, teori Rasionalitas Tindakan yang dikemukakan Max Weber dikritik oleh Jürgen Habermas.11 Kita dapat dikatakan memahami sebuah keberhubungan antar perilaku yang teramati jika kita mampu mencari paralelismenya dengan sesuatu yang kita ketahui melalui introspeksi atau observasi diri.12 Sebagai ciri tindakan, rasionalitas mengacu pada perhitungan masuk akal (berrasio) untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan-pilihan yang rasional dengan menggunakan sarana yang efisien serta mengacu pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang mengarahkan tindakan dan orientasiorientasi terencana secara konsisten dari pencapaian nilai-nilai tersebut 13 (Rasionalitas Tujuan). Ciri yang dimilikinya adalah (1) formal, sebab orang yang bekerja dengan rasionalitas ini hanya mementingkan cara-cara mencapai tujuan, dan tidak mengindahkan nilai yang dihayati sebagai isi dari kesadaran terhadap nilai etis, estetis dan religius (Rasionalitas Nilai), (2) substantif, sebab orang yang bertindak dengan rasionalitas ini mementingkan komitmen rasionalnya Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. terhadap nilai yang dihayati secara pribadi. Weber membedakan tindakan berdasarkan rasionalitas nilai dari tindakan tradisional yang didorong oleh emosi dan afeksi. Tindakan berdasarkan rasionalitas nilai merupakan deduksi kaidah praktis dari prinsip universal. Konsep rasionalitas tersebut menurut Weber tidak hanya dimiliki oleh manusia bangsa Barat, melainkan ciri yang melekat pada modernitas. Artinya dalam masyarakat tradisional konsep itu belum berkembang sehingga tidak meresapi tingkah laku sosial. Perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern menyebabkan konsep rasionalitas mengarahkan tingkah laku sosial. Hal ini terjadi di Barat dan non Barat, atau dalam semua societas yang memodernisasi. Konsep Weber tentang “rasionalisasi” adalah proses perubahan yang dihasilkan oleh semakin luasnya rasionalitas tersebut. Jürgen Habermas mempelajari kembali teori Rasionalisasi dengan tujuan menyusun teori Rasionalisasi baru yang lebih memadai. Ada dua esai yang disampaikan Habermas tentang teori Rasionalisasi. Pertama, Technology and Science as “Ideology” (TSI). Kedua, Max Weber’s Theory of Rationalization (MTR) bagian dari The Theory of Communicative Action. Dalam esai pertama Habermas menjelaskan rasionalisasi menurut Weber sebagai “perluasan wilayah masyarakat yang ditempatkan di bawah aturan-aturan keputusan rasional”. Artinya, kegiatan semua kegiatan societas modern diatur dengan keputusan dan tindakan rasional sebagaimana tampak dalam birokrasi dan 3 administrasi, itulah pengertian umum “rasionalisasi”. Analisis-analisis Weber atas rasionalisasi societas telah digunakan oleh Mazhab Frankfurt untuk mengkritik bentuk rasionalitas yang menindas dalam masyarakat dewasa ini, yaitu “rasionalitas teknologis” (Marcuse), “rasio instrumental” (Hoekheimer), atau “mitos” (Ardono dan Horkheimer).14 Mereka mengganggap dalam proses itu tidak berlaku rasionalitas yang dicita-citakan manusia yang memberi kebahagiaan dan otonomi, sebaliknya sebuah kekuasaan politis sedang menindas masyarakat saat ini melalui proses rasionalisasi tersebut. Di satu pihak rasionalitas merupakan kritik atas proses produksi tradisional yang menindas dan ketinggalan zaman, di pihak lain rasionalitas merupakan apologi untuk membenarkan proses produksi baru yang dengan cara lain juga menindas atau menurut Freud untuk menyembunyikan kekuasaan yang menindas. Marcuse mengusulkan pemecahan yang menurut Habermas tidak realistis, yaitu memandang alam sebagai saudara atau subyek lain. Ini menandakan bahwa teori kritis menjadi moralistis dan kurang kuat berdasar epistemologis. Habermas berpendapat bahwa bukan hanya Marcuse tetapi Weber sendiri tak dapat memberi penjelasan yang memuaskan tentang bagaimana rasionalitas dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, melalui proses rasionalisasi telah berkembang menjadi “totalitas historis” atau disebut Habermas sebagai sebuah “bentuk kehidupan” yang dialami masyarakat dewasa ini. Untuk itu Habermas menyarankan sebuah 4 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 skema interpretatif untuk memahami teori rasionalisasi dalam proses perkembangan sejarah. Habermas memusatkan diri pada “tindakan sosial”, suatu obyek yang memiliki ciri-ciri mendasar sekaligus dapat diobservasi secara empiris bertolak dari distingsi dalam praksis. Praksis adalah tindakan dasar manusia dalam dunia di luar dirinya, dalam alam atau societas. Habermas membedakan dua dimensi dalam praksis hidup manusia, yang saling berkaitan. Kedua dimensi itu adalah “kerja” dan “interaksi” atau “komunikasi”. Dalam TSI, kedua dimensi tersebut dijelaskan sebagai tindakan sosial. Habermas membedakan dua macam tindakan, yaitu “tindakan rasional-bertujuan (termasuk dimensi kerja) dan “tindakan-komunikatif” (termasuk dimensi komunikasi). Istilah “tindakan rasionalbertujuan” mengacu pada konsep rasionalitas tujuan menurut Weber. Tindakan ini bersifat instrumental, memenuhi aturan teknis, berdasarkan pengetahuan empiris untuk meramalkan hasilnya, dan memilih sarana yang tepat untuk mewujudkan tujuannya. Habermas berpendapat bahwa tindakan instrumental hanya bisa dilakukan terhadap kenyataan non-sosial (alam), sedangkan tindakan strategis dilakukan dalam kenyataan sosial. Istilah tindakan-komunikatif mengacu pada tindakan yang diarahkan oleh norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik di antara subyek-subyek yang berinteraksi. Simbol yang dipahami timbal balik, khususnya bahasa sehari-hari, sangat penting sebagai medium bagi tindakan ini. Tindakan rasional-bertujuan dan tindakan-komunikatif adalah tindakan sosial, yaitu tindakan yang dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat. Habermas membedakan secara analitis dua segi sistem sosial, (1) ”kerangka kerja institusional” yang tersusun dari tindakan-komunikatif atau dunia kehidupan sosial budaya, (2) “subsistem tindakan rasional bertujuan” yang tersusun dari tindakan sosial bertujuan yang “tertanam” di dalam dunia kehidupan sosial budaya, misalnya dalam bentuk sistem ekonomi dan birokrasi negara. Habermas berusaha menunjukkan bahwa yang disebut “rasionalisasi” berjalan dengan distorsi, sebab prosesnya sangat mementingkan salah satu sisi sistem sosial, yaitu tindakan rasionalbertujuan. Habermas membedakan sejarah modernisasi dari masyarakat tradisional ke masyarakat dewasa ini dalam tiga tahap: (1) masyarakat tradisional, (2) masyarakat kapitalis liberal, dan (3) masyarakat kapitalisme lanjut. Proses perkembangan dari tahap ke tahap itu berlangsung melalui perubahan konstelasi kerangka kerja institusional dan subsistem tindakan rasional bertujuan. Masyarakat tradisional memiliki kerangka kerja institusional yang dominan dengan dukungan legitimasi tradisional dalam bentuk mitos, agama dan metafisika yang mencakup seluruh realitas sosial dan kosmos. Dalam tahap ini, subsistem-subsistem tindakan rasional -bertujuan belum dominan, Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. melainkan justru berjalan dalam batasbatas tradisi, dan oleh karena itu tindakan instrumental dan strategis belum mengarahkan tingkah laku sosial. Perubahan konstelasi mulai terjadi saat masyarakat memasuki ambang modernitas yang diawali dengan tahap kapitalis liberal. Pada tahap ini terjadi perluasan subsistem tindakan rasional bertujuan hingga memasuki atau bahkan melampaui wilayah kerangka kerja institusional. Habermas berpendapat bahwa yang disebut rasionalisasi oleh Weber, adalah proses penyesuaian kerangka kerja institusional dengan subsistem-subsistem tindakan rasionalbertujuan. Ada dua macam rasionalisasi, yaitu Rasionalisasi “dari bawah” (interaksi sosial), artinya interaksi sosial semakin diatur oleh norma-norma tindakan rasionalbertujuan, dan Rasionalisasi “dari atas” berarti terjadi krisis legitimasi tradisional atau sekularisasi, karena mitos, agama, dan metafisika kehilangan daya ikatnya pada tingkah laku sosial, dan sebagai gantinya muncullah ideologi borjuis yang menyuarakan kebebasan. Pada tahap ini ekonomi mendominasi politik, sehingga Marx merumuskannya dalam skema basis ekonomi menentukan superstruktur politik. Depolitisasi kerangka kerja institusional dalam masyarakat kapitalisliberal ini diakhiri ketika societas memasuki tahap kapitalisme lanjut pada akhir abad lalu dan memasuki repolitisasi massa. Pada tahap ini negara berperan bukan untuk mewujudkan tujuan praksis (moral), melainkan memecahkan masalah 5 teknis. Maka pada tahap ini negara membutuhkan ilmu dan teknologi sebagai pemecah masalah. Proses rasionalisasi “dari atas”, menurut Habermas, mencapai “kesadaran teknokratis”. Habermas berpendapat bahwa pada tahap inilah ilmu dan teknologi berfungsi sebagai ideologi (legitimasi teknokratis). Hanya dalam arti rasionalisasi “dari atas” inilah penjelasan Adorno dan Horkheimer tentang dialektika pencerahan serta penjelasan Marcuse tentang ilmu dan teknologi sebagai ideologi dapat dimengerti, sebab rasionalisasi “dari atas” ini tak lain dari pergantian ideologi demi ideologi. Sedangkan rasionalisasi “dari bawah” semakin memperkuat dan memperluas keberlakuan norma tindakan rasionalbertujuan dalam bentuk tingkah laku birokratis dan administrasi. Berdasarkan skema interpretatif, Habermas menjelaskan distorsi proses rasionalisasi sebagai penekanan yang terlalu besar yang diberikan kepada tindakan rasional-bertujuan, sehingga mengesampingkan proses rasionalisasi pada dimensi komunikasi (penindasan dimensi praktis oleh dimensi teknis). Kemudian Habermas mengajukan tesis bahwa proses rasionalisasi yang berjalan seimbang akan terjadi dalam dua “jalur” dan tidak saling menggantikan. Pada taraf subsistem tindakan rasionalbertujuan, rasionalisasi meliputi perkembangan kekuatan produksi, kemajuan dan perluasan kontrol teknis atas alam dan proses obyektif. Pada taraf kerangka kerja institusional atau duniakehidupan sosial-budaya, rasionalisasi diwujudkan dalam medium komunikasi melalui medium bahasa, dengan jalan 6 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 menyingkirkan pembatas komunikasi. Menurut Habermas, kita bisa melihat tanda adanya rasionalisasi pada taraf ini kalau dalam masyarakat terdapat diskusi umum yang bebas dari dominasi, pengurangan tingkat represi pada norma sosial, pengurangan kekakuan atau kekerasan, dan penerapan norma secara luwes serta yang masih memungkinkan refleksi. Habermas mengkritik rasionalisasi Weber serta konstruksi teori tersebut dalam bentuk Teori Kritis sebagaimana digagas Marcuse dan kawan-kawan dengan mengatakan bahwa pemahaman “rasionalitas” dengan rasionalisasi-tujuan mereka adalah sempit. Model rasionalitas tersebut menurut Habermas hanya tepat diberlakukan terhadap alam atau proses obyektif, dan tidak untuk kenyataan sosial yang bersifat intersubyektif. Dimensi komunikasi inilah hal baru yang dikemukakan Habermas yang mengandaikan model rasionalitas lain yang terwujud dalam tindakan komunikatif, tepatnya “rasionalitas komunikasi”. Teori Rasionalisasi Jurgen Habermas Teori Rasionalisasi Jurgen Habermas atau tepatnya adalah teori Rasionalitas Komunikatif, muncul dari pertanyaan “apakah modernisasi yang didasarkan atas kapitalisme merupakan satu-satunya model rasionalisasi?” Habermas berpendapat bahwa modernisasi yang dijelaskan oleh Weber hanyalah sebagian realisasi dari struktur kesadaran modern dan pengembangan sebuah model selektif rasionalisasi kapitalis yang mengandaikan rasionalitas sebagai rasionalitas tujuan. Terbatasnya pendekatan Weber, pertama, penyamaan antara masyarakat rasional dengan kapitalisme, kedua, ketidakberhasilan melepaskan diri dari pengaruh filsafat kesadaran yang mempertentangkan subyek dan obyek (menyamakan rasionalitas tujuan dengan rasionalitas sebagai keseluruhan). Habermas mengajukan sebuah model nonselektif untuk rasionalisasi masyarakat yang bersifat non selektif karena melukiskan seluruh perkembangan yang mungkin untuk realisasi struktur kesadaran modern. Habermas mulai dengan menjelaskan “hubungan pragmatis-formal” manusia, yaitu dengan kenyataan obyektif (misalnya alam), dengan kenyataan sosial, dan dengan kenyataan subyektif (diri manusia sendiri). Terhadap ketiga kenyataan itu, manusia dapat mengambil tiga sikap, yaitu mengobyektifkan, konformatif-norma (sikap kritis), dan ekspresif (Bagan 1). Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. 7 Dunia 2. Sosial 3. Subyektif Sikap dasar 1. Obyektif 1. Mengobyektifkan Hubungan kognitifinstrumental Hubungan kognitif strategis Hubungan obyektivistis dengan diri 2. konformatifNorma Hubungan estetismoral dengan lingkungan yang tidak diobyektifkan Hubungan kewajiban Hubungan sensordiri Pernyataan diri Hubungan spontan inderawi dengan diri 3. Ekspresif Bagan 1. Relasi Format-Logis, (Teori Tindakan Komunikatif, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat Jurgen Habermas, Jilid 1, Kreasi wacana, Yogyakarta, 2009, hlm. 293) Hubungan kognitif-instrumental (1.1) tampak dalam penegasan, tindakan instrumental, observasi, dan sebagainya. Hubungan kognitif-strategis (1.2) tampak dalam tindakan sosial yang bersifat rasional-bertujuan. Hubungan kewajiban (2.2) tampak dalam tindakan yang diarahkan norma. Pernyataan diri (3.2) tampak dalam dramaturgi dan ekspresi diri. Hubungan obyektivis dengan diri (1.3) tampak dalam beberapa teori, misalnya psikologi empiris atau etika utilitarian. Hubungan sensor diri (2.3) dapat dilukiskan dengan gejala superego, seperti rasa salah dan mekanisme pertahanan diri. Hubungan spontaninderawi dengan diri (3.3) dapat ditemukan dalam ungkapan-ungkapan afektif, hasrat, penampilan kreatif, dan sebagainya. Hubungan estetis dengan lingkungan yang tidak diobyektifkan tampil dalam karya seni dan gaya. 8 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 Dunia ektif bjektif sial Sika 3 Ekspresif 1 Objektivitasi 2 Selaras Norma 3 Ekspresif 1 Obyeif Seni Rasionalitas kognitif Instrumental X Rasionalitas Teknologi moral-praktis Sosial Teknologi X Ilmu Hukum X Moralitas Rasionalitas estetis praktis Erotisme Seni Bagan 2. Kompleksitas Rasionalisasi (Teori Tindakan Komunikatif, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat Jurgen Habermas, Jilid 1, Kreasi wacana, Yogyakarta, 2009, hlm. 295) Berdasarkan hubungan pragmatis tersebut, Habermas menyusun teori rasionalisasi Weber dalam skematis yang luas yang memperlihatkan kompleksitas rasionalisasi (Bagan 2). Habermas berpendapat bahwa hanya ada enam pola hubungan manusia dan dunianya yang bisa dirasionalisasikan, tetapi bukan rasionalitas-tujuan. Habermas memahami bahwa rasionalitas berhubungan dengan tiga macam rasionalitas yang otonom, yaitu rasionalitas kognitif-instrumental (sesuai dengan rasionalitas-tujuan dalam pengertian Weber), rasionalitas praktismoral, dan rasionalitas praktis-estetis. Jika kompleksitas hidup dirasionalisasikan, akan menghasilkan pengetahuan yang memiliki klaim kesahihan (validity claim) tertentu sehingga dalam kompleksitas ini subyek yang berkomunikasi dapat mencapai konsensus. Kompleksitas pertama dan kedua yang bisa dirasionalisasikan adalah sikap mengobyektifkan alam dan masyarakat yang menghasilkan rasionalitas kognitifinstrumental. Pengetahuan yang dihasilkan dapat berwujud ilmu pengetahuan dan teknologi (1.1) termasuk teknologi sosial (1.2). Kompleksitas ketiga dan keempat adalah sikap konformatif-norma terhadap masyarakat dan dunia batin yang menghasilkan kompleksitas rasionalitas praktis-moral. Pengetahuan yang dihasilkan lewat rasionalitas kompleks ini adalah hukum (2.2) dan moralitas (2.3). kompleksitas kelima dan keenam yang dapat dirasionalisasikan adalah sikap ekspresif terhadap dunia batin dan alam yang menghasilkan kompleksitas rasionalitas praktis-estetis. Pengetahuan yang dihasilkan dapat berwujud erotisme (3.3) dan seni (3.1). Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. Habermas berpendapat bahwa ada tiga kompleksitas yang tidak bisa dirasionalisasikan (tanda X), sehingga sulit mendapatkan pengetahuan yang sahih untuk mencapai konsensus. Menurut Habermas, sikap mengobyektifkan dunia batin, sejauh sebagai subyektivitas, tidak bisa menghasilkan pengetahuan yang bisa dipelajari (1.3). Sikap konformatif-norma terhadap alam, berhubungan dengan alam sebagai saudara, sulit mendapat bentuk rasionalnya (2.1). Bidang ini memang merupakan kompetensi ilmu-ilmu alam, dan filsafat alam yang memandang alam secara antropomorfis sulit bersaing dengan ilmu-ilmu alam. Sikap ekspresif terhadap interaksi sosial (3.2), dalam bentuk kontra kebudayaan, tidak membentuk struktur yang dapat dirasionalisasikan. Keenam kompleksitas yang dapat dirasionalisasikan sesuai dengan tiga bidang nilai kultural otonom yang dihasilkan oleh kesadaran modern, yaitu bidang kognitif-instrumental, normatif-etis, dan ekspresif-estetis. Habermas memberikan evaluasi atas proses modernisasi secara tidak seimbang. Pola rasionalisasi ini disebut “selektif” karena memilih-milih bidang garapan. Modernitas kapitalis diatur oleh tatanan kehidupan dimana rasionalitas kognitif-instrumental dan rasionalitas praktis-estetis mencapai dominasi, sehingga dimanapun kita melihat masyarakat ilmiah sekaligus konsumeris, manusia spesialis sekaligus manusia yang mengejar kenikmatan. Fenomena hilangnya makna dan kebebasan menunjukkan penindasan atas rasionalitas praktis-moral dalam kehidupan modern ini. Habermas juga 9 mengajukan tesis tentang pola rasionalisasi yang utuh, pola “nonselektif”. Sebuah modernisasi masyarakat akan berjalan utuh dan seimbang jika ketiga bidang nilai kultural (kognitif, evaluatif, dan ekspresif) dihubungkan dengan sistem tindakan sehingga hasil dan penerusan pengetahuan yang terspesialisasi menurut klaim kesahihannya terjamin. Modernisasi macam itu meneruskan potensi kognitif yang dikembangkan oleh kebudayaan yang cerdas dan berpengalaman ke praksis komunikatif sehari-hari sehingga menghasilkan sistem-sistem tindakan. Keseimbangan akan dicapai bila bidang nilai kultural diinstitusionalisasikan secara seimbang sehingga mencegah dominasi salah satu bidang. Refleksi dan Relevansi Dalam kerangka teori rasionalisasi, proses pembentukan diri masyarakat berarti proses menuju “rasionalisasi”, atau proses menuju otonomi dan kedewasaan. Sebagai usaha mengatasi kemacetan Teori Kritis Mazhab Frankfurt, Habermas telah membuka dimensi yang lebih luas untuk proyek rasionalisasi masyarakat. Modernisasi kapitalis berjalan timpang karena mengutamakan rasionalisasi dalam bidang subsistem tindakan rasional bertujuan dan mengesamping-kan rasionalisasi dalam bidang kerangka kerja institusional atau komunikasi. Rasionalisasi praksis komunikasi itu adalah khas teori sosial Habermas.15 Modernisasi kapitalis yang memutlakkan rasionalitas kognitif instrumental dalam 10 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 bentuk kekuasaan politis dan kemakmuran ekonomis yang terpadu dengan hedonisme dan konsumerisme yang menyebabkan erosi makna, karena modernisasi tersebut menindas bentuk rasionalitas lain, yaitu rasionalitas praktis-moral, dikritik oleh Habermas. Habermas mengambil sikap berbeda dari rekan-rekan Mazhab Frankfurt dan tidak setuju dengan Weber. Ilmu dan teknologi yang dicurigai sebagai bentuk penindasan oleh para pendahulunya justru dilihat sebagai faktor penting yang mengemansipasikan societas dari kendala alamiah dan proses obyektif, bahkan teknologi sosial sekalipun dipandang sebagai kemungkinan pengembangan masyarakat. Ada dua hal yang bisa dimunculkan dari skema rasionalisasi, pertama tentang kompleksitas yang tak bisa dirasionalkan dan kedua tentang relevansi praktis skema tersebut. Memang diakui masih banyak hal yang patut dipertanyakan dari teori yang diajukan oleh Jürgen Habermas. Kompleksitas societas masa kini layak memasukkan faktor-faktor baru pada bagan Habermas. Habermas menyarankan agar unsur kognitif, evaluatif, dan ekspresif kebudayaan diterjemahkan secara memadai dan seimbang dalam sistem tindakan sosial dan pranata sosial. Hanya dalam societas yang mengakumulasikan proses belajarnya secara sistematis dan metodis di bidang kognitif, evaluatif dan ekspresiflah skema normatif paling mungkin diterapkan. Kritik dan Analisis Teori Rasionalisasi Jurgen Habermas – Konsep Awal sebagai Bahan Diskursus Pengaruh komunikasi global yang terjadi saat ini memberikan konstatasi baru terhadap semua teori sosial, termasuk teori rasionalisasi tindakan komunikatif yang disampaikan oleh Jurgen Habermas. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap suatu tindakan atau tindakan komunikatif suatu individu atau societas akan bertambah, bukan hanya obyektif, sosial, dan subyektif, tetapi harus memasukkan pula faktor komunikasi dunia maya atau lebih tepat disebut konteks (termasuk di dalamnya media yang digunakan dalam komunikasi). Komunikasi dunia maya yang semakin marak dan berpengaruh terhadap tindakan harus diperhitungkan dalam pengambilan keputusan rasional individu yang bertindak karena keputusan yang diambil untuk berefleksi dan berelevansi berbeda dengan polapola yang sudah disampaikan dalam teori Habermas sebelumnya. Ketidakseimbangan sistem tindakan sosial dan pranata sosial terproduksi melalui konteks komunikasi. Refleksi dan relevansi harus mengalami pergeseran dari bentuk awalnya seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Tidak hadirnya wujud yang dapat dilihat secara inderawi akan menyulitkan penemuan makna refleksi dan relevansi yang dihadirkan oleh suatu hubungan atau relasi komunikatif. Perabaan makna harus mencapai titik terdekat dalam pemberian makna yang paling tepat sehingga tercapai relevansi Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. yang memadai dengan konteks komunikatif yang sedang berlangsung. Baru saja kita dikejutkan oleh berita di media cetak tentang seorang Nova dan Abelia yang baru berusia 12-14 tahun dan gemar berkelana di dunia maya (face book), tiba-tiba meninggalkan rumah, orangtua dan saudara-saudaranya mengikuti nuraninya untuk bertemu dengan seorang teman laki-laki yang dikenal dan berkomunikasi secara intens melalui face book. Komunikasi tanpa tatap muka yang mereka lakukan (ternyata mampu melahirkan refleksi dan relevansi) serta merta menggiring sikap remaja perempuan dan laki-laki ini untuk sepakat bertemu. Moral mereka tinggalkan, budaya Timur mereka kesampingkan, apalagi rasionalitas. Mereka mengambil keputusan irrasional berdasarkan rasionalitas dunia maya.16 Komunikasi intens melalui dunia maya (yang tentunya rasional karena menuntut kemampuan mengoperasikan alat komunikasi) telah membentuk sikap iirasional yaitu keinginan bertemu dengan orang yang sama sekali belum pernah bertatap muka, tidak mengenal pribadi atau keluarganya, tetapi dipercaya penuh dapat mengisi kekosongan yang dirasakan. Berdasarkan Bagan 2 Jurgen Habermas, maka faktor “Dunia” seharusnya tidak hanya Obyektif, Sosial, Subyektif saja, tetapi perlu dimasukkan faktor konteks (dalam hal ini dunia maya) yang juga akan menambah faktor “Sikap dasar” tidak hanya mengobyektifkan, konformasi norma, ekspresif, tetapi perlu ditambahkan “keputusan irrasional”. Hasil perpaduan 11 keduanya (konteks-dunia maya dan keputusan irrasional) adalah Rasionalitas naluri praktis-irrasional yang terbagi menjadi disparitas keinginan dan imoralitas. Dalam komunikasi dengan konteks dunia maya konsensus tercapai dengan pola yang unik, yaitu ketercapaian konsensus tanpa interaksi atau intersubyektif yang nyata. Mungkin teori baru yang harus dilahirkan dari kritik terhadap teori Rasionalisasi Tindakan Komunikatif Jürgen Habermas adalah TEORI RASIONALISASI TINDAKAN IRRASIONAL KOMUNIKATIF KONSTEKSTUAL (DUNIA MAYA), dimana konteks tindakan komunikatif dunia maya memberikan pengaruh yang sangat berbeda dengan dunia nyata. Hal-hal tidak nyata yang membimbing subyek melampaui rasionalitas menjejak irrasionalisasi dan mencapai tindakan di luar naluri akal. Semoga ini dapat menjadi konsep awal yang patut diperbincangkan dan akan menjadi pandangan baru di dunia postmodern ini. Menghadapi dunia saat ini yang sangat terbuka terhadap sarana komunikasi, maka kita dihadapkan pada dua tantangan besar, pertama, tantangan dari kaum fanatik yang ingin mendominasi kehidupan bersama, secara paksa menyingkirkan nilai-nilai bahkan semua pihak yang dianggap bertentangan. Apalagi jika mereka sangat tertutup dan sama sekali tidak ingin nilai yang mereka ikuti atau terapkan diperdebatkan atau diuji dalam public sphere,17 kedua, tantangan dari kaum kapitalis yang ingin kemapanan posisinya di masyarakat terus bertahan. Sebuah 12 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 public sphere yang imanen diperlukan untuk menjangkau mereka yang takut atau antipati suasana diskursif. Ruang publik ini harus mudah didekati dan dimasuki atau diakses. Salah satu sarana memasuki public sphere adalah melalui teknologi informasi yang sudah berkembang. Perlu kecerdasan dan niat tulus untuk memanfaatkan semua sarana yang ada untuk dapat menciptakan public sphere sehingga timbul suasana diskursif yang akan sampai merambah ranah irrasional positif. Penutup Sebagai konsep awal yang akan menjadi bahan diskursus, maka tulisan ini diharapkan mendapat respon berupa masukan maupun koreksi untuk meneguhkan dan bahkan merevisinya. Mungkin masih banyak ilmuwan setelah Jurgen Habermas yang melakukan kritik terhadap teori Rasionalisasi, namun mengemukakan gagasan adalah bagian dari refleksi ilmiah yang dapat dikukuhkan menjadi pengkayaan ilmu suatu teori yang telah eksis. Bagaimanapun konsep awal ini akan menjadi bagian dari proses pengembangan dan pemanfaatan ilmu yang menjadi cikal bakal dasar pembangunan suatu disertasi tentang ranah komunikasi societas. Sumber bacaan yang lebih lengkap pasti dapat menyempurnakan konsep awal ini. Sedangkan diskusi yang intensif serta penggalian data yang aktual pasti akan memberikan warna yang lebih lengkap sehingga dapat menggambarkan keutuhan konsep yang dihasikan dari kritik teori ini. Semoga demikian adanya. Daftar Pustaka Adian, D.G. 2009. Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas. http://www.dilibrary.net/im ages/topics/habermas.pdf. Barker, C. 2009. Cultural Studies Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Beilharz, P. 2005. Teori-teori Sosial Observasi Kritis terhadap para Filosof Terkemuka. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Fisher, B. Gunawan. A. 1986. Teori-teori Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. 2009. Teori Tindakan Komunikatif Jürgen Habermas. http://www.scribd.com/doc/ 27178450/Teori-KritisJürgen-Habermas. Habermas, J. 2009. Teori Tindakan Komunikatif, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat. Penerjemah Nurhadi. Jilid 1. Kreasi wacana. Yogyakarta. Hardiman, F.B. 2009. Menuju Masyarakat Komunikatif. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Jones, P. 2009. Pengantar Teori-teori Sosial, dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. Makitan, G. K. 2009. Krisis, Kritik, dan Diskursus: Menimbang Peran Pemuda dalam Mengentas Krisis. http://www.perkantasjatim. org/index.php?g=articles&i d=68. Putra, F. 2009 Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern. http://sharingtheory.blogspo t.com/2009/04/kritik-atasrasionalitasmasyarakat.html. Ritzer, G dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Ritzer, Syam, 1 G. N. 2009. Teori Sosial Postmodern. Kreasi Wacana. Yogyakarta. W. 2009. Sosiologi Komunikasi. Humaniora. Bandung. Max Weber adalah pengusung iman ontologi sosial terhadap dominasi positivisme. Dia mendefinisikan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya memahami secara interpretatif tindak sosial guna mendapat penjelasan kausalistik tentangnya. Weber menggariskan bahwa regularitas sosial yang dipelajari sosiolog berbeda dengan regularitas fisik yang fisikawan. Dikatakannya bahwa perilaku sosial memuat makna yang ditanamkan pelaku sosial secara subyektif pada tindakannya, atau, tindak sosial adalah tindak yang bersifat intensional (Adian, Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas, 2009). 13 2 Orientasi, merupakan komponen utama dan penting dalam pengambilan peran dari perspektif interaksional (Fisher, B. Aubrey, Teori-teori Komunikasi, 1986: 244). 3 Jones, P. Pengantar Teori-teori sosial, dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009: 120. 4 Jones, P. Pengantar Teori-teori sosial, Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2009: 123. 5 Jürgen Habermas adalah filsuf kontemporer terkenal di Jerman yang lahir pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf Jerman. Dia adalah anak dari Ketua Kamar Dagang propinsi Rheinland – Westfalen di Jerman Barat. Ia dibesarkan di Gummersbach, kota kecil di Jerman dengan dinamika lingkungan Borjuis-Protestan (Gunawan, Teori Tindakan Komunikastif Jurgen Habermas, 2009). 6 Firdaus,P. Kritik atas Rasionalitas Masyarakat Modern, 2009. 7 Masyarakat rasional adalah masyarakat yang sistem dan dunia kehidupannya dapat dirasionalkan dengan sendirinya, mengikuti logikanya sendiri (Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, 2008: 626). 8 Hardiman, F.B. Menuju Masyarakat Komunikatif, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2009: 96-102, 114-121. 9 Karya Habermas berawal dari ide sederhana, menaruh [erhatian pada persoalan publik serta kekuasaan non-kekerasan yang terkandung dalam argumen yang lebih baik, yang disebutnya sebagai diskursus praktis rasional ( Beilharz, Peter, Teori-teori Sosial Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka, 2005: 211). 10 Di sini Habermas menggagas syarat-syarat yang memungkinkan sebuah komunikasi bebas distorsi. Berbagai syarat yang beralas pada komitmen kesalingpemahaman dan bukan semata-mata efisiensi atau efektivitas (Adian, Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas, 2009). 11 Habermas juga mengkritisi interpretif sebagai hal yang berbau atau bercorak konservatif. Sementara kaum interpretif, seperti Gadamer mengacu pada tradisi dan menyalahkan teori 14 SEJARAH DAN BUDAYA, Tahun Kedua, Nomor 2 Desember 2009 kritikal yang mencoba melepaskan sejarah (Syam, Nina W, Sosiologi Komunikasi, 2009: 179). 12 Adian, Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas, 2009. 13 Bagaimana kita bisa menarik sebuah maksim sosial dari sesuatu yang bersifat subyektif? Jawaban kaum behaviouris atas kesulitan pengukuran itu adalah mengabstraksi perilaku sosial dalam satu konsep umum yang sekarang masih disanjung kalangan tersebut yaitu konsep pilihan rasional (rational choice). Konsep tersebut mengandaikan bahwa sebagai hewan rasional, tindak-tanduk manusia selalu beralaskan rasionalitas bertujuan. Rasionalitas dalam memilih sarana-sarana yang paling efisien dalam mencapai tujuan yang akan dicapai (Adian, Hermeneutika Kritis Jürgen Habermas, 2009). 14 Di tengah dominasi positivisme, sekelompok intelektual Jerman yang dipimpin Horkheimer dan Adorno mendengungkan kembali semangat Sokratian-Marxian. Mereka merintis apa yang kelak dikenal dengan sebutan teori kritis. Sebagian sosiolog bertolak dari konsep Heidegger bahwa manusia adalah “ada-dalam-dunia”, artinya menjadi manusia tidak pernah sepenuhnya subyektif, ia tertanam dalam dunia intersubyektif dimana nilai, motif, dan makna, didefiniskan secara bersama-sama (Adian, Kritis Jürgen Habermas, 2009). Hermeneutika 15 Solusinya: menciptakan masyarakat reflektif (cerdas) yang berhasil berkomunikasi memuaskan yang kemudian mencapai konsensus bebas dominasi, melalui diskursus rasional, tercipta masyarakat komunikatif, untuk mencapai diskursus rasional dalam masyarakat komunikatif dengan mengandaikan public spere, dimana setiap elemen masyarakat dapat masuk, bebas sensor dan dominasi yang memungkinkan membentuk opini publik (Makitan, Krisis, Kritik, dan Diskursus: Menimbang Peran Pemuda dalam Mengentas Krisis, 2009). 16 Habermas memahani bahwa rasionalitas (secara lebih luas, rasionalitas formal) yang memberi karakter sistem-sistem sosial berbeda dengan rasionalitas yang memberi karakter dunia kehidupan (Ritzer, George, Teori Sosial Postmodern, 2009: 254). 17 Barker, C. Cultural Studies Teori dan Praktik, 2009: 384, menulis, bahwa bagi Habermas, ruang public adalah satu wilayah yang muncul pada ruang spesifik dalam ‘masyarakat borjuis’, yang memerantarai masyarakat sipil dengan negara, dimana publik mengorganisasi dirinya sendiri dan ‘opini publik’ dibangun. Trikuntari Dianpratiwi, Kritik dan Pandangan Analisis…. 17