BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemutusan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) selalu mejadi hal yang sulit baik bagi
pengusaha maupun pekerja/buruh. Fakta menunjukkan bahwa PHK seringkali
menimbulkan ketidakpuasan bagi salah satu pihak dikarenakan masing-masing pihak
memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menyikapi terjadinya PHK. Pengusaha
menganggap terjadinya PHK merupakan hal yang wajar di dalam kegiatan
perusahaan. Bagi pekerja/buruh, terjadinya PHK berdampak sangat luas bagi
kehidupanya tidak hanya bagi dirinya pribadi namun juga keluarganya. PHK jelas
akan menyebabkan seorang pekerja/buruh kehilangan mata pencahariannya. Dalam
lingkup yang lebih luas, keluarga yang bergantung pada si pekerja/buruh sebagai
tulang punggung keluarga akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
termasuk membiayai sekolah anak-anak mereka.
PHK merupakan bagian dari suatu hubungan kerja yang awalnya merupakan
hubungan hukum dalam lingkup hukum privat karena hanya menyangkut hubungan
hukum
perorangan
antara
pekerja/buruh
dengan
pengusaha.
Dalam
perkembangannya, PHK ternyata membutuhkan campur tangan pemerintah karena
menyangkut kepentingan khalayak banyak. Pengaturan mengenai PHK membutuhkan
campur tangan pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki fungsi untuk
menetapkan kebijakan, melakukan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap
pelanggaran peraturan perundang-undangan, dalam hal ini terutama ketentuan PHK.
Kehadiran Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
merupakan salah satu bentuk upaya pemerintah memberikan kepastian hukum kepada
para penggusaha dan pekerja/buruh. Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian Pemutusan Hubungan Kerja
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan
berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. PHK diatur
dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 172 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, termasuk alas an-alasan melakukan PHK. Banyak pihak
yang salah dalam menafsirkan alasan-alasan melakukan PHK terutama ketentuan
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
bahwa
pengusaha
dapat
melakukan
pemutusan
hubungan
kerja
terhadap
pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua)
tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa
kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
seringkali menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Dalam prakteknya, pihak
perusahaan menggunakan Pasal ini untuk melakukan PHK sekalipun perusahaan
dalam keadaan baik.
Farianto dan Darmanto dalam Himpunan Putusan Mahkamah Agung Dalam
Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum
berpendapat: 1
Pada saat ini, PHK karena alasan efisiensi menjadi polemik karena terdapat
dua penafsiran berbeda yang disebabkan karena ketentuan Pasal 164 ayat (3)
Undang-Undang No. 13/2003, yang menyatakan, “Pengusaha dapat melakukan
PHK terhadap pekerja karena perusahaan tutup bukan karena...” anak kalimat
“...perusahaan tutup...”, dalam praktik peradilan ketentuan Pasal yang mengatur
mengenai efisiensi, masih menimbulkan polemik. Oleh karena ada yang
menafsirkan bahwa untuk melakukan efisiensi maka perusahaan dalam kondisi
tutup. Namun, sebagian yuris ada yang menafsirkan bahwa perusahaan tidak perlu
tutup untuk melakukan efisiensi apabila tindakan perusahaan tersebut justru dapat
menyelamatkan perusahaan dan sebagian pekerja lainnya.
Pendapat kedua banyak yang lebih setuju oleh karena tujuan perusahaan
melakukan PHK dengan alasan efisiensi dilatarbelakangi oleh tujuan untung
mengurangi beban perusahaan supaya dapat tetap beroperasi. Sehingga seperti
dalam kondisi krisis global yang mengharuskan pengurangan pekerja, pengusaha
tidak perlu khawatir melakukan PHK karena efisiensi sebab ada alasan hukum
Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13/2003
Pada bulan November 2009, PT Citragraha Nugratama selaku pemilik dan
pengelola Hotel Papandayan Bandung berbintang 4 (empat) akan melakukan renovasi
secara menyeluruh. Direksi mengeluarkan Surat Keputusan Direksi No. :
1
Farianto & Darmanto, 2009, Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 263.
01/HPB/SK-DIR/IX/2009 tertanggal 18 November 2009
perihal Penutupan
Operasional Hotel Papandayan terhitung tanggal 30 November 2009 Pkl. 00.00 WIB
dan No. : 02/HPB/SK-DIR/XII/2009 tertanggal 7 Desember 2009 tentang Melakukan
PHK dan Menetapkan Uang Pisah. Berdasarkan kedua surat Keputusan Direksi
tersebut, PT Citragraha Nugratama melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
terhadap 193 orang karyawannya dengan alasan efisiensi dan penutupan operasional
hotel. Sebanyak 58 orang karyawan menolak PHK yang dilakukan oleh PT
Citragraha Nugratama. Selanjutnya PT Citragraha Nugratama mengajukan gugatan
kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung.
Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial telah disebutkan bahwa PHK merupakan atau dapat
menjadi salah satu penyebab Perselisihan Hubungan Industrial. Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial salah satunya adalah dengan melalui Pengadilan
Hubungan Industrial yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada
lingkungan pengadilan umum yang berfungsi dan berwenang untuk memeriksa dan
memutus:
1) Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak;
2) Di tingkat pertama perselisihan pemutusan hubungan kerja;
3) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan;
4) Di tingkat pertama dan terakhir perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh
dalam satu perusahaan.
Konflik pada umumnya timbul karena sikap yang berbeda antara pengusaha dan
pekerja/buruh. Pengusaha memiliki modal, mempunyai kekuasaan yang lebih besar
sehingga pihak yang mempunyai kekuasaan lebih (pengusaha) yang mendominasi
pihak yang lain (pekerja/buruh)
Pasal 151 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan
hubungan kerja. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan
kerja tidak dapat dihindari, maka perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja dengan terlebih dahulu merundingkannya dengan serikat pekerja/serikat buruh
atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
Berlatar belakang hal-hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk karya ilmiah berupa tesis dengan
judul Pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja Karena Renovasi Hotel (Studi Kasus
PHK Hotel Papandayan Bandung).
B. Rumusan Masalah
1.
Dasar hukum apakah yang digunakan oleh manajemen Hotel Papandayan
dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena renovasi pada para
pekerjanya?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan perlindungan hukum bagi pihak pekerja dalam
hal terjadi pemutusan hubungan kerja?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada permasalahan seperti telah diuraikan diatas, tujuan penelitian ini
adalah :
1.
Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan oleh manajemen Hotel
Papandayan dalam melakukan Pemutusan Hubungan Kerja karena renovasi
pada para pekerjanya
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi pihak pekerja
Hotel Papandayan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja
D. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran pada berbagai buku, jurnal, hasil penelitian, makalah
dan literatur yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja, penulis tidak
menemukan penelitian yang membahas dan menganalisis secara khusus mengenai
pelaksanaan pemutusan hubungan kerja karena renovasi hotel terlebih khusus studi
kasus PHK Hotel Papandayan Bandung.
E. Manfaat Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini ada dua manfaat yang dapat diharapkan
berguna baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis.
1.
Manfaat Teoritis
a.
Sebagai
bahan
masukan
dan
sumbangan
pemikiran
dalam
pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum
ketenagakerjaan mengenai pemutusan hubungan kerja pada khususnya.
b.
Sebagai bahan rujukan untuk penelitian dan pengembangan lebih lanjut
bagi peneliti selanjutnya tentang hukum ketenagakerjaan
2.
Manfaat Praktis
a.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum pada
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
b.
Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan penelitian dan
pembuatan karya ilmiah.
Download