Pengelolaan Sagu (Metroxylon spp.) Di PT

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Sagu
Sagu (Metroxylon sp) merupakan tanaman monokotil dari keluarga
palmae. Genus Metroxylon secara garis besar digolongkan menjadi dua yaitu
tanaman yang berbunga atau berbuah dua kali (Pleonanthic) dengan kandungan
pati rendah dan tanaman sagu yang berbunga atau berbuah sekali (Hepaxanthic)
yang memiliki nilai ekonomis penting, karena kandungan patinya lebih banyak
(Bintoro et al. 2010).
Batang merupakan bagian paling penting pada tanaman sagu, sebagai
tempat menyimpan cadangan makanan berupa karbohidrat. Batang sagu berbentuk
silinder dengan kulit luar keras dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat dan pati. Lapisan terluar kulit berupa lapisan sisa-sisa pelepah
daun sagu yang terlepas, sehingga yang terlihat adalah kulit tipis pembungkus
kulit dalam yang keras. Serat dan empulur pada sagu muda mengandung banyak
air, sedangkan sagu dewasa sampai umur panen empulur dan serat mulai kering
dan keras.
Sagu memiliki anak daun dengan panjang rata-rata 1.5 m bertangkai dan
berpelepah. Panjang daun tanaman sagu dewasa dapat mencapai 7 m. Daun sangat
penting karena berperan sebagai pembentuk pati melalui proses fotosintesis
(Bintoro et al, 2010). Daun sagu dimanfaatkan sebagai pembuatan rumah, atap
rumah, pembungkus kue dan aneka kerajinan tangan (Papilaya, 2009).
Tanaman sagu akan berbunga setelah mencapai usia dewasa antara 10-15
tahun tergantung dari jenis dan kondisi pertumbuhannya. Munculnya bunga pada
tanaman sagu menunjukkan bahwa sagu sudah mendekati siklus akhir pertumbuhannya. Bunga sagu merupakan bunga majemuk, sedangkan buahnya
berbentuk bulat dan berbiji menyerupai buah salak.
Ekologi dan Penyebaran
Tanaman sagu (Metroxylon spp.) merupakan tanaman asli Indonesia. Sagu
tersebar luas di dataran rendah Asia Tenggara dan Malanesia. Di Indonesia sagu
4
banyak ditemukan di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Timur, Sumatera Barat,
Riau, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Sulawesi Utara, dan terutama banyak
terdapat di Maluku dan Papua (Bintoro, 2008). Menurut para pakar sagu, dalam
Papilaya (2008) luas lahan sagu terbesar di dunia terdapat di Indonesia yaitu
sekitar 2.201.000 ha.
Lingkungan yang baik bagi pertumbuhan sagu adalah daerah yang
berlumpur, akar napas tak terendam, kaya mineral, kaya bahan organik, air tanah
berwarna coklat dan bereaksi agak masam (Bintoro, 2010). Tanaman sagu dapat
tumbuh dengan baik pada Lintang 100 LU-100 LS dengan ketinggian sampai 400
m dpl, lebih dari 400 dpl pertumbuhan lambat dan kadar pati rendah (Bintoro,
2008).
Budidaya Sagu
Penyiapan bahan tanam merupakan salah satu kegiatan budidaya yang
penting untuk mencapai keberhasilan budidaya tanaman sagu. Kegiatan penyiapan
bahan tanam terdapat kegiatan pengadaan bahan tanam, seleksi bibit dan
penyemaian (Andany, 2009). Sagu di Indonesia umumnya tumbuh dan
berkembang biak secara alamiah, belum dibudidayakan secara intensif seperti
tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu berkembang biak melalui biji
(generatif) dan dari anakan (vegetatif) yang tumbuh dalam bentuk tunas-tunas
pada pangkal batang sagu. Perbanyakan sagu dengan cara generatif belum banyak
dilakukan, tapi usaha telah dilakukan (Haryanto, 1994).
Pembibitan salah satu kegiatan penting dalam pengusahaan sagu. Pembibitan bertujuan mengadaptasikan abut agar siap ditanam di lapang maupun
sebagai tanaman sulam dengan kualitas yang baik sehingga dapat mengurangi
tingkat kematian bibit setelah penanaman. Pembibitan dilakukan dengan sistem
kanal, yaitu meletakkan susunan bibit pada rakit diatas kanal. Sistem tersebut
dapat menaikkan persentase anakan yang hidup karena dapat meminimalkan
serangan hama serta menjaga ketersediaan air bagi bibit (Andany, 2009).
Pemeliharaan tanaman sagu terutama pada tanaman yang muda, yaitu
dengan penyiangan saja. Penjarangan, pemupukan dan pengendalian hama dan
penyakit sagu belum dilakukan. Penyiangan dua kali setahun hingga tanaman
5
berumur empat tahun. Sesudah umur tersebut tidak dilakukan penyiangan hingga
tanaman siap panen (Haryanto, 1994).
Pengendalian gulma yaitu dengan penebasan lorong merupakan awal kegiatan pemeliharaan yang dapat berfungsi sebagai sanitasi tanaman dengan menebas semua semak (gulma) dan kayu-kayu yang ada di sekitar pertanaman atau
di lorong (Junaidi, 2005).
Pemupukan merupakan pemberian zat yang diberikan ke dalam tanah baik
organik maupun anorganik untuk mengganti kehilangan unsur hara dari tanah dan
bertujuan untuk meningkatkan produksi tanaman. Areal lahan gambut yang merupakan tempat pertanaman sagu di PT National Sago Prima bersifat masam
dengan pH rendah dan kandungan Ca, Mg, P, K dan mineral rendah sehingga
perlu penambahan nutrisi melalui pemupukan (Bintoro, 2008). Kurang lengkapnya unsur hara makro dan mikro dapat menghambat pertumbuhan, perkembangan maupun produktivitas tanaman sagu.
Penjarangan anakan dilakukan untuk memaksimalkan produksi sagu dan
pembuangan anakan sagu yang tidak diperlukan (Bintoro, 2008). Alasan dilakukannya penjarangan anakan yaitu untuk menjaga kesehatan dan vigor
pertumbuhan bagi tanaman baru, memelihara ukuran tanaman, membentuk tanaman dan mengoptimalkan hasil metabolisme bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Bintoro, 2010). Penjarangan dilakukan selama setahun
sekali (Papilaya, 2009).
Bibit
Menurut Bintoro (2008) anakan sagu yang akan digunakan sebagai bibit
diambil dari induk yang produksi patinya tinggi, bibit segar, dan dengan pelepah
yang masih hijau. Bibit yang tua dicirikan dengan bonggol (banir) yang sudah
keras, pelepah dan pucuk yang masih hidup, memiliki perakaran cukup, panjang
pelepah minimal 30 cm dan tidak terserang hama dan penyakit serta banir berbentuk L dengan rata-rata bobot bibit 3-4 kg. Bibit yang memenuhi kriteria
dengan ukuran yang besar dihitung satu bibit. Bibit yang memenuhi kriteria
namun ukurannya kecil dihitung setengah, dan bibit yang tidak memenuhi kriteria
kemudian diafkir. Umur bibit selama dalam persemaian hingga siap ditanam di
lapang yaitu 3 bulan. Menurut Maulana (2011) bibit dengan bobot 3.5-4.5 kg
6
memiliki peersentase bibit hidup terbanyak. Namun tidak berbeda nyata dengan
bobot bibit 2-3 kg, sehingga penggunaan bobot bibit 2-3 kg lebih efisien.
Download