~Mencari Makna~ Judul Buku Mencari Makna ~belum titik~ Penulis Muhammad Yudhy Herlambang Editor Khonsa_ws Setting, Layout & Design Cover Muhammad Yusuf Ibrahim Penerbit Edisi Pertama Januari 2010 ________________________________________________ Edisi e-book ini gratis untuk dipergunakan bagi kepentingan non komersial, dengan syarat tetap menyebutkan penulis dan penerbit aslinya. Hak cipta hanya milik Allah, bukan berarti tidak harus menghargai daya pikir dan usaha orang lain. Moga memberati timbangan amal kebaikan kita di akhirat. ___________________________________________________________ ~1~ ~Mencari Makna~ Daftar Isi Daftar Isi 2 Pembuka Kata 4 Semburat Merah Jambu Ada cinta 10 Ghadul bashar 24 Bagaimana Ikhwan dan Akhwat saling mencinta 38 Renungan bujang lapuk 47 Cantik dan tampan itu perlu 58 Istri saya itu 64 Dia dan cemburunya 68 Merahnya Jalan Dakwah Surga dan Neraka 72 Dari para nabi hingga kita kini 77 ~2~ ~Mencari Makna~ Kepada para perindu Surga 83 Sudahkah kita pantas? 88 Kita da’i, bukan hakim 92 Jika Noura tetanggamu, apakah kau akan menjadi Fahri untuknya? 98 Bukan siapa yang bicara 103 Qurban untuk cinta 109 Rintik Biru Muhasabah Tenggelam dalam keringat 116 Aneh, sungguh aneh 124 Cerita Lama 126 Hamparan Kehidupan 132 Mari Berdoa 135 Aamul Huzni 139 Menutup Pintu Kekerasan 145 Namanya Bairuha’ 153 Pena telah terangkat dan lembaran tulisan telah kering 160 Sudahkah kita berilmu? 167 Maya dalam Nyata 175 Tentang penulis 178 ~3~ ~Mencari Makna~ z Senyummu, Gelakmu, Bahagiamu, adalah penyembuh dukaku pq Pembuka Kata Bismillaahirrahmaanirrahim.... Buku ini, adalah hadiah baginya. Istri saya yang pencemburu itu. Ia yang tak pernah jenuh menentramkan gemuruh hati saya dengan peluknya. Ia yang selalu percaya segalanya akan menjadi lebih baik di masa datang. Yang selalu menguatkan, saat kaki ini terasa terlalu lunglai untuk melangkah, terlebih berlari. ~4~ ~Mencari Makna~ Karena dirinya, melompat pun serasa ringan tak berbeban. Meninggi dan terus meninggi menjangkau rangkaian cita yang tak bosan kami impikan tiap hari. Jikapun akhirnya, ada diantara cita itu yang tak mampu tersentuh juga oleh jemari lemah ini. Saya tak akan menyesal. Karena ia masih di sini. Memandang dengan senyum terkembang dan mata yang bercahaya. Setiap hari. Terimakasih istriku, engkaulah tulang rusuk yang ditakdirkan menguatkan dadaku... Love u, Pi ~5~ ~Mencari Makna~ z sejatinya, hidup adalah rangkaian aktivitas mencari makna pq Ahlan wa sahlan... Selamat datang saya ucapkan pada antum sekalian, pengunjung belantara pencarian makna ini. Mengapa Mencari Makna? Karena sejatinya hidup adalah rangkaian aktivitas mencari makna. Makna di balik peristiwa, di balik kata, ucapan atau perbuatan. Makna di balik ayat-ayat yang ditebarkan-Nya di seantero jagad ini maupun yang terkompilasi dalam Al Qur’an yang mulia. ~6~ ~Mencari Makna~ Seperti apa yang pertama disampaikan Jibril pada Sang Nabi, ” Iqra’...!” bacalah, padahal Sang Nabi buta huruf, karena yang dimaksud adalah membaca fenomena kehidupan dan sosial masa itu. Membaca. Mencari Makna! Sebagaimana Ulil Albab yang berdiri, duduk dan berbaringnya tak putus dari memikirkan ayat-ayat Allah yang tersebar di seluruh penjuru semesta. Menjadi Para Pencari Makna, sementara yang lain sibuk sekedar menjadi Pencari Makan belaka. Maka ijinkan saya membagi pencarian makna yang saya lalui pada antum semua. Agar jika keliru, akan ada saudara yang mengingatkan penuh hikmah. Dan bila benar, menambah ketakjuban kita pada-Nya. Dan dari takjub itulah semoga, kita mampu memuji dan memuja-Nya dengan sepantasnya. Muhammad Yudhy herlambang ~7~ ~Mencari Makna~ Semburat Merah Jambu ~8~ ~Mencari Makna~ z Dari Salman Al-Farisiy, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat. Lalu dengan satu rahmat darinya, para makhluq saling kasih sayang diantara mereka. Sedangkan sembilan puluh sembilan rahmat yang lain untuk nanti hari qiyamat”. (HR.Muslim) pq ~9~ ~Mencari Makna~ Ada Cinta Kok cinta lagi?!! Sama seperti antum, saya juga tidak begitu mengerti mengapa tema-tema seperti ini – cinta dan yang semusemu merah jambu – selalu tidak habis dibicarakan di kalangan aktivis dakwah. Padahal tulisan, seminar dan diskusi mengenai tema ini sudah terlampau banyak hingga tidak mungkin dihitung dengan jari kelabang sekalipun. Tidak sedikit aktivis yang mencemooh tematema seperti ini karena menganggapnya cemen, tidak produktif dan hanya memanjangkan angan-angan. Tapi kenyataan di lapangan, novel dan buku dengan tema ~ 10 ~ ~Mencari Makna~ beginilah yang paling laris diborong. Artinya, sebagian besar aktivis – baik yang senior maupun junior – gemar dengan tema semacam ini. Maka untuk membuka tulisan ini, saya ingin menyampaikan kepada para penggemar tema ini: ”Selamat menikmati!”. Sedangkan bagi para pencemoohnya, saya ucapkan: ”Diam itu emas!” He..he..he.. Cinta dan kita Bagaimana seorang aktivitasnya? muslim Mereka mengawali senantiasa setiap mengucap, ”Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Dari 99 nama yang Allah miliki, Ar Rahman dan Ar Rahiim menjadi dua nama yang paling sering disebut seorang muslim dalam kehidupannya selain nama ”Allah” itu sendiri. Menarik bukan? Karena dua nama itu berarti : Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Lihatlah betapa kasih dan sayang senantiasa meliputi dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan seorang muslim. Tidakkah antum merasakannya? Jika Allah tidak bersifat rahman dan rahiim, tentu Ia tidak akan memberikan kita rizqi, tidak akan mengampuni dosa dan tidak akan memberi kita petunjuk. Tanpa kasih dan sayang-Nya, bisa dipastikan kita tidak ~ 11 ~ ~Mencari Makna~ akan mampu untuk hidup walau sekejap saja. Cinta-Nya adalah alasan mengapa kita bisa hidup! Ketika antum ditanya, ”Apa yang antum cari dalam hidup ini?” Tentu dengan mantap antum akan menjawab, ”Ridho Allah swt!”. Tahukah antum bahwa ridho adalah satu dari tanda-tanda cinta? Kata ’cinta’ juga bisa antum temukan dalam definisi para ulama tentang ibadah. Mereka mendefinisikan ibadah sebagai sebuah kata yang mencakup segala hal yang dicintai dan diridhoi Allah, berupa ucapan dan perbuatan lahir maupun batin. Padahal bukankah tujuan penciptaan manusia hanyalah untuk beribadah?! Maka sesungguhnya akhi wa ukhti fillah, kehidupan kita ini hanyalah untuk mencari cinta! Cinta Allah saja. Dari sini saya membuat kesimpulan bahwa cinta adalah sebab sekaligus tujuan kita hidup. Dengan catatan, cinta yang sedang saya bicarakan ini adalah cinta Allah, bukan cinta yang lain. Saya harap antum setuju dengan ini. Tak akan ada cinta yang lain... Antum sering membaca terjemah Al Qur’an? Pernah ketemu ayat berikut ini? ~ 12 ~ ~Mencari Makna~ Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (Q.S. Al Baqoroh: 125) Atau yang ini, Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudarasaudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (Q.S. At Taubah: 24) Dua ayat di atas menunjukkan betapa cinta itu hanya pantas diperuntukkan bagi Allah swt. Perhatikan ayat yang pertama, Allah tidak menyifati orang-orang musyrik itu sebagai orang yang sama sekali tidak mencintai-Nya, tetapi termasuk musyrik adalah ketika mereka mencintai Allah dan mencintai yang lain dengan kadar cinta yang sama. Lha kalau ’sama’ saja nggak boleh, apalagi kalau lebih besar cintanya pada yang lain ketimbang cintanya ~ 13 ~ ~Mencari Makna~ pada Allah, seperti di ayat kedua. Orang macam begini diancam Allah dengan siksa. Ada kata-kata hikmah yang cocok dengan masalah ini, bunyinya kurang lebih: ” Hati hanya memiliki satu rongga. Ketika ia telah terisi penuh dengan sesuatu maka ia tidak akan bisa diisi dengan yang lainnya.” Para wali Allah mengisi hati mereka dengan kecintaan yang besar kepada-Nya sehingga tak ada tempat lagi di hati mereka bagi dunia dan perhiasannya. Antum bagaimana? Kalau yang sekarang rutin antum isikan adalah kecintaan pada segala yang fana, berhati-hatilah, Allah bisa marah! Karena Allah pencemburu Benar, Allah itu pencemburu, dan bukan sembarang pencemburu. Simak riwayat berikut, Hadis riwayat Mughirah bin Syu’bah ra, ia berkata: Sa’ad bin Ubadah berkata: Seandainya aku mendapati seorang lelaki bersama istriku, maka aku akan menikam orang itu dengan pedang tanpa ampun. Sampailah ucapan Sa’ad tersebut ke telinga Rasulullah saw, lalu beliau bersabda: Apakah kalian kagum dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, aku lebih cemburu daripadanya dan Allah lebih cemburu lagi daripadaku. ~ 14 ~ ~Mencari Makna~ Demi kecemburuan itulah, maka Allah mengharamkan segala kejahatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Tidak ada yang lebih cemburu daripada Allah, dan tidak ada seorang pun yang lebih menyukai pengampunan daripada Allah. …” Nah, antum masih mau coba-coba bikin Allah cemburu? Beberapa tahun yang lalu saya membaca resensi sebuah film barat di suatu media cetak (saya lupa judulnya). Ceritanya tentang seorang cowok yang memutuskan pacarnya trus pacaran dengan cewek lain. Hebohnya, cewek yang diputus tadi ternyata seorang superhero. Maka untuk membalaskan sakit hatinya, cewek superhero ini menggunakan kekuatan supernya untuk mengganggu kehidupan sang mantan dan merusak hubungan asmaranya dengan pacar barunya. Dari film fiksi yang bergenre komedi ini kita juga bisa ngambil hikmah lho. Sederhana saja, kalau seorang cewek berkekuatan super yang lagi cemburu saja bisa bikin ruwet hidup seseorang sampe putus dari pacar, gimana kalo yang cemburu ke kita itu Allah! Apa nggak mampus loe? ~ 15 ~ ~Mencari Makna~ Kalau mampus pun, nampaknya penderitaan belum akan berakhir. Karena dengan otoritas-Nya sebagai Tuhan, Allah akan tetap bisa menyiksa kita walau kita sudah mati – dan justru siksa ini yang lebih berat, karena sifatnya abadi! Whoaaaa ...!!! Tapi antum juga tahu kan, kalo justru cemburu itu tanda cinta?! Ya, Allah sangat mencintai kita, makanya cemburunya juga luar biasa saat kita menduakan-Nya. Mengapa Allah mencintai kita? Ada analogi yang ditawarkan Amir Khalid dalam bukunya – meski tidak bisa persis menggambarkan – untuk menunjukkan alasan Allah mencintai kita. Seniman yang menghasilkan karya masterpiece dengan tangannya sendiri atau menulis sebuah cerita dan menerbitkannya pasti akan sangat mencintai hasil karyanya. Sedangkan Allah menciptakan Adam as – manusia pertama – dengan kedua tangan-Nya sendiri (Q.S. Shad: 75), maka tentu Allah sangat mencintai kita (dengan tingkatan yang berbeda-beda, tergantung amal kita). Anehnya, kita justru sering lari dari cinta Allah, menolak cinta-Nya dan justru mengejar cinta semu dunia. Astaghfirullah... ~ 16 ~ ~Mencari Makna~ Bukti cinta Allah ke kita Apa buktinya kalo Allah mencintai kita? Banyak. Diantaranya, Tidak menyegerakan azab Allah tidak menyegerakan azab bagi hamba-Nya yang berbuat dosa karena mungkin saja hamba itu akan bertaubat. Allah tahu kalau kita suatu saat akan tergoda juga berbuat dosa, tapi Allah menunda siksanya untuk memberi kita kesempatan. Mau bertobat sekarang? Menerima taubat Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih Allah mau menerima taubat kita? Kan Allah tidak diuntungkan sama sekali dengan taubat kita itu?! Bahkan digambarkan dalam sebuah hadits bahwa Allah itu sangat gembira ketika hamba-Nya bertobat, lebih dari gembiranya seorang musafir yang bertemu kembali dengan hewan tunggangannya yang hilang. Ini karena Allah mencintai kita! Melipat gandakan pahala kebaikan Jujur deh, kalau dihitung secara matematis, kirakira banyak mana antara kebaikan yang kita ~ 17 ~ ~Mencari Makna~ lakukan dengan dosa yang kita kerjakan? Bisa jadi banyak dosanya. Probabilitas masuk neraka jadi sangat besar bukan?! Tapi Allah telah menetapkan bahwa sebuah kebaikan bisa berlipat pahalanya dari 10 sampai 700 kali. Lha wong berniat baik saja sudah dapat 1 pahala! Sedangkan niat buruk tidak dicatat kecuali setelah dilakukan, itupun dihitung sebagai satu keburukan saja. Kalau seseorang mengurungkan niat buruknya, itu malah dicatat sebagai satu kebaikan. Begitulah sabda Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat Bukhari. Masih ragu akan cinta Allah? Dan masih banyak lagi bukti-bukti cinta Allah pada kita, lengkapnya ada delapan di bukunya Amir Khalid. Kapankapan baca sendiri ya! Judulnya, Hati Sebening Mata Air (Islahul Qulub). Btw, semua bukti cinta Allah pada kita tadi seharusnya membuat kita malu sekaligus sadar, kalau menolak cinta-Nya adalah sebuah tindakan yang paling bodoh dan paling kurang ajar untuk dilakukan! Supaya Allah tambah sayang ke kita Ada orang-orang yang disebut wali Allah. Yaitu orangorang yang dicintai Allah lebih dari orang pada umumnya. Ternyata mereka ini tidak selalu bersorban ~ 18 ~ ~Mencari Makna~ dan bergamis panjang lho, bisa jadi di antaranya adalah kita, kalau kita memenuhi kualifikasi wali Allah itu. Apa saja kualifikasi itu bisa antum simak di hadits qudsi berikut ini: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, ” Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka aku serukan perang padanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekat pada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang Aku fardhukan baginya. Dan hambaku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sampai Aku mencintainya. Kalau aku sudah mencintainya, Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar; penglihatan yang ia gunakan untuk melihat; tangan yang ia gunakan untuk memukul; dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Kalau ia meminta kepada-Ku, pasti aku kabulkan. Kalau ia meminta perlindungan kepada-Ku, pasti aku lindungi.” Hadits yang luar biasa indah bukan?! Maukah antum menjadi salah seorang wali-Nya? Jangan cuma nganggukngangguk, segera penuhi syarat-syaratnya! ~ 19 ~ ~Mencari Makna~ Ujian cinta Tapi untuk menjadi wali Allah, harus siap pula mendapat ujian cinta; dan tidak ada ujian cinta yang lebih berat daripada yang dirasakan para Nabi. Yang akan saya ceritakan di sini cuma beberapa saja. Nabi Ibrahim as misalnya, ketika anak yang ditunggutunggu akhirnya lahir, lalu tumbuh menjadi bocah yang lucu dan menggemaskan, Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Inilah ujian cinta. Ibrahim as harus membuktikan bahwa cintanya pada Ismail tidak lebih besar dari cintanya pada Allah swt. Dan ia berhasil lolos dari ujian itu, antum sudah hapal kelanjutan kisahnya. Nabi Yusuf memilih dipenjara ketimbang memenuhi keinginan seorang wanita. Wanita yang tidak cuma cantik, tapi juga berkuasa, yang telah mengurungnya dalam sebuah kamar tertutup, berdua saja, dan memasrahkan dirinya untuk dizinai. Bayangkan! Eh, jangan ding ntar antum ngeres lagi! Maksud saya, buat antum yang laki-laki tulen pasti bisa membayangkan beraaattnya menolak godaan macam begitu. Tapi Yusuf lolos dari ujian ini karena cintanya pada Allah swt. Ketika Allah telah cukup melihat bukti cintanya, akhirnya sang ~ 20 ~ ~Mencari Makna~ wanita jadi miliknya juga kan?! Makanya, nggak rugi deh milih cinta Allah. Rasulullah saw pun demikian. Ketika beliau mulai agak tergantung pada Khadijah ra dan pamannya – Abu Thalib – Allah memanggil keduanya, hingga tiada lagi tempat bersandar kecuali pada Allah saja. Tahun itu menjadi tahun kesedihan bagi Rasulullah (aamul huzni), namun Allah segera mendatangkan pelipur lara yang dahsyat. Rihlah luar biasa: Isra’ dan Mi’raj. Dimana beliau bertemu langsung dengan kekasihnya, Allah swt. Maka sirna sudah semua derita itu. Remehnya ujian cinta kita Dibanding ujian cinta para pendahulu kita di atas, barangkali ujian cinta yang kita hadapi saat ini – virus merah jambu, merah saga dan sejenisnya – terlalu remeh. Nyatanya, ujian yang remeh-remeh itu berhasil juga mengeluarkan banyak aktivis dari jalan dakwah yang telah lama ia tempuh. Jadi waspadalah! Karena maksiat bisa terjadi tidak cuma karena ada niat, tapi juga kesempatan! Sadar gitu lho, kalau kualitas kita itu jauh banget dibandingkan para nabi, shahabat, tabi’in ataupun tabi’ut tabi’in! Makanya jangan cari perkara! ~ 21 ~ Nyerempet- ~Mencari Makna~ nyerempet, main api, main mata. Karena nyerempet bisa lecet, main api kebakar, dan main mata bikin buta! Rasanya tidak perlu saya ceritakan kisah-kisah kelam para mantan aktivis yang undur diri dari dakwah karena masalah cinta semu. Soalnya saya khawatir, bukannya membuat antum sadar, malah justru jadi inspirasi tersendiri untuk melakukan penyelewengan jenis baru. Cukuplah bagi kita untuk berhati-hati dengan diri sendiri. Kenali apa yang paling mudah menyelewengkan antum dari dakwah ini, lalu tinggalkan! Tidak ada jalan lain. Maka mari saling mendoakan – saya dan antum – agar kita diberikan keistiqomahan. Sebuah kata yang selalu mudah diucapkan, namun sulit diamalkan. Sebuah kata yang berhasil menumbuhkan uban di kepala Rasulullah saw yang mulia. Sebuah kata yang teramat penting, hingga disyari’atkan untuk diwasiatkan kepada kaum muslimin setidaknya sekali setiap seminggu dalam khutbah jum’at. Wahai saudaraku, amantu billah tsummastaqim! ~ 22 ~ ~Mencari Makna~ z Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, Allah swt berfirman, ” … Dan hambaku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sampai Aku mencintainya. Kalau aku sudah mencintainya, Aku adalah pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar; penglihatan yang ia gunakan untuk melihat…” (HR. Bukhari) pq ~ 23 ~ ~Mencari Makna~ Ghadul Bashar Ada beberapa kisah legendaris yang tak pernah usang dan senantiasa jadi bahan pembicaraan turun- temurun antar aktivis dakwah kampus berkaitan dengan gadhul bashar. Salah satunya adalah cerita dari murabbi saya berikut ini: Suatu hari ketika seorang akhwat sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba dari arah berlawanan muncul seorang ikhwan lengkap dengan atribut-atribut tanda keikhwanan ~ 24 ~ ~Mencari Makna~ masa itu: jenggot, celana cingkrang dan sandal jepit. Menyadari hal ini, sang akhwat langsung menundukkan pandangan, mengarahkan tatapannya pada detil permukaan jalan yang ia lalui sambil terus berjalan seolah tak menyadari kehadiran sang ikhwan. Hal yang sama dilakukan pula oleh sang ikhwan sehingga keduanya berpapasan tanpa saling menyapa (karena emang nggak saling kenal), berlalu begitu saja. Namun tiba-tiba sang ikhwan dikagetkan oleh sebuah suara jeritan pendek diiikuti bunyi gaduh gedebukan nggak karuan. Refleks sang ikhwan menoleh ke arah berlawanan yang diduga asal suara misterius tersebut, lalu celingak-selinguk mencari sumber suara. Anehnya tidak ada apa-apa. Lebih anehnya lagi, akhwat yang baru saja berpapasan dengannya juga tidak kelihatan sama sekali. Heran bercampur bingung, sang ikhwan pelan-pelan menyusuri jalan ke arah yang diyakininya menuju sumber suara misterius barusan. “ Siang hari bolong begini masak ada setan?!” begitu barangkali pikirnya. Baru beberapa langkah, terdengar suara lain dari arah yang lain pula, masih di sekitar tempat itu. Yang ini pelan, lebih mirip rintihan tertahan, asalnya juga bukan ~ 25 ~ ~Mencari Makna~ dari jalan tapi dari selokan di samping jalan yang memang cukup lebar dan dalam. Antum sudah bisa menebak bukan? Ketika sang ikhwan melongokkan kepalanya ke dalam selokan, dilihatnya sang akhwat yang barusan berpapasan dengannya sedang bersusah payah bangkit dari kondisi terjerembab yang amat memilukan dan di saat yang sama memalukan dengan adanya sang ikhwan sebagai saksi mata. Akhir cerita, sang ikhwan kemudian membantu sang akhwat keluar dari lubang selokan. Jangan tanya teknisnya, karena emang saya nggak tahu dan memang tidak dijelaskan dalam cerita. Juga tidak ada keterangan yang menyebutkan setelah itu mereka menikah dan hidup bahagia selamanya, emangnya ni dongeng Cinderella?! He..he..he.. Cerita senada juga pernah terjadi di FISIP UNS entah tahun berapa. Masih dari sumber yang sama –murabi kampus saya – diceritakan bahwa di fakultas tersebut ada sebuah lorong sempit yang biasa dilalui para mahasiswa untuk menuju ruang kelas. Dalam cerita ini nasib naas menimpa seorang ikhwan dan akhwat yang terpaksa harus melalui lorong itu bersamaan dari arah berlawanan. ~ 26 ~ ~Mencari Makna~ Karena kabur jelas tidak sopan dan memalukan, maka keduanya hanya menundukkan pandangan saja sambil terus menyusuri lorong dengan merapatkan diri ke dinding yang berlawanan agar tidak tabrakan. Dasar nasib, memang tidak terjadi tabrakan antara ikhwan dan akhwat ini, tapi yang terjadi sang akhwat justru berhasil menghantamkan kepalanya dengan sukses ke kotak surat yang menempel pada dinding sebelahnya. Tidak cuma sang akhwat yang shock berat, si ikhwan juga kaget bukan kepalang. Yang berbeda dari cerita sebelumnya, dalam cerita ini tidak terjadi drama penyelamatan apapun dari sang ikhwan. Soalnya nggak mungkin juga kan kalo tiba-tiba sang ikhwan nyamperin akhwat tersebut lalu mengelus dan meniup-niup benjolnya?! Huehehe… Peringatan! Kalimat terakhir sebelum ini hanyalah imajinasi liar tidak bertanggung jawab dan bukan dimaksudkan untuk dipraktekkan. Huehehehe…. Entah kenapa, dalam cerita-cerita yang berkaitan dengan gadhul bashar ini selalu akhwat yang jadi korban. Apakah memang demikian adanya atau telah terjadi manipulasi berita dari sumber cerita yang kebetulan ikhwan, saya ~ 27 ~ ~Mencari Makna~ tidak tahu. Yang jelas saya sendiri pernah mengalami hal serupa, masih dengan seorang akhwat sebagai korban. Saya harus mengawali cerita ini dengan mendeskripsikan lokasi tempat saya kuliah, Universitas Sebelas Maret (UNS). Kampus Negri satu-satunya di kota Surakarta ini seluruh areanya dikelilingi oleh pagar tembok setinggi tiga meter dengan tebal kurang lebih tiga puluh sentimeter. Mirip benteng pertahanan perang memang. Hanya ada tiga gerbang utama untuk bisa keluar masuk area ini. Gerbang depan yang ke arah gedung Rektorat, gerbang belakang yang ke arah Masjid Kampus dan gerbang samping yang menuju Fakultas Hukum. Tetapi ada dua pintu kecil seukuran manusia yang ditempatkan di dinding pembatas Fakultas Teknik, khusus bagi para pejalan kaki. Peristiwa yang akan saya ceritakan berlangsung di muka salah satu pintu kecil itu. Pulang kuliah – ketika hendak kembali ke kos bersama beberapa ikhwan melalui salah satu pintu kecil itu – muncul beberapa akhwat jurusan lain dari pintu yang sama, baru berangkat kuliah. Karena pintu itu hanya muat untuk satu orang maka kami – para ikhwan – harus menunggu akhwat-akhwat tersebut masuk terlebih ~ 28 ~ ~Mencari Makna~ dahulu untuk bisa keluar, sambil menundukkan padangan tentunya. Masalah terjadi saat para akhwat menuruni undakan di depan pintu. Kebetulan pintu yang ini letaknya memang lebih tinggi dari muka tanah, makanya disediakan undakan untuk bisa keluar masuk darinya. Karena berusaha menundukkan pandangan, pijakan salah seorang akhwat meleset sehingga jatuh terduduk, pasrah, dengan wajah memelas – barangkali memohon dalam hati agar kita-kita yang menjadi saksi mata tidak ketawa ngakak atau sejenisnya – waktu pun seakan berhenti untuk beberapa saat karena akhwat bersangkutan tidak juga segera berdiri. Memulihkan harga diri yang sedikit terdegradasi (semoga saja beliaunya tidak melihat cengiran kegelian saya yang muncul lebih karena refleks ketimbang kesengajaan untuk melecehkan, he..he..he.. afwan Ukh). Dari ketiga cerita di atas, kira-kira kita belajar apa kali ini? Bahwa ghadul bashar tidak perlu dan hanya membawa celaka, baik fisik maupun psikis? He..he..he.., jelas bukan dong! Bukan ke arah sana maksud tulisan saya ini. Sampai kapanpun yang namanya ghadul bashar tetap ~ 29 ~ ~Mencari Makna~ sangat penting untuk diamalkan, mengingat ia adalah bagian dari syari’at Islam yang diturunkan Allah swt untuk menuntun kita menuju hidup yang lebih bahagia di dunia, juga di akhirat. Cerita-cerita di atas sesungguhnya adalah upaya saya untuk menunjukkan betapa para pendahulu kita sedemikian teguhnya menjunjung ajaran Islam yang satu ini, hingga rela berkorban lahir ataupun batin demi menjalankannya. Meski memang nuansa komedi, sudut pandang yang tetapi ceritanya lain bisa menganggapnya heroik. Setidaknya saya memandangnya seperti itu, antum gimana? Ngomong-ngomong, sebenernya dari mana sih kita tahu ghadul bashar adalah perintah syari’at? Jangan-jangan saya ngarang doang? Ya nggak dong, bisa dilihat di Al Qur’an kok. Begini bunyi terjemahan ayatnya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (Q.S. An Nuur: 30) ~ 30 ~ ~Mencari Makna~ Kemudian lanjutannya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An Nuur: 31) Tuh bener kan ada perintahnya untuk menahan pandangan. Di sini Allah memerintahkan kepada orangorang beriman yang laki-laki dalam satu ayat, baru ~ 31 ~ ~Mencari Makna~ kemudian memerintahkan orang-orang beriman yang perempuan di ayat berikutnya secara khusus. Cukup istimewa, karena dalam perintah puasa, sholat dan zakat misalnya, tidak terjadi pengkhususan seperti itu. Biasanya Allah cukup menyebut bentuk jamak laki-lakinya saja yang dalam kaidah bahasa arab memang sudah mencakup kaum perempuan. Kalau kita perhatikan lagi, kedua ayat di atas juga sangat kontras. Pertama memang masalah panjangnya. Ayat pertama – untuk laki-laki – pendek saja, tapi lihatlah ayat untuk perempuan. Panjang bener! Kontennya juga beda. Memang sama-sama memerintahkan ghadul bashar, tapi penekanannya terasa beda. Ayat kedua nampak lebih menekankan pada larangan terhadap para perempuan untuk menampakkan aurat di depan laki-laki ketimbang perintah menundukkan pandangan itu sendiri. Atau kalau tidak boleh saya katakan begitu, maka yang lebih tepat adalah; ayat kedua mengandung tambahan khusus agar kaum perempuan menjaga baik-baik auratnya dari pandangan laki-laki bukan muhrim – hal mana tidak terdapat pada ayat pertama. Seperti menegaskan bahwa keinginan laki-laki untuk melihat ketelanjangan aurat wanita jauh lebih besar ~ 32 ~ ~Mencari Makna~ daripada sebaliknya. Dan bahwa madharat dari terbukanya aurat wanita jauh lebih besar daripada sebaliknya. Tetapi ini bukan alasan bagi kaum wanita untuk mengumbar pandangan, bukan pula hujjah bagi laki-laki untuk memamerkan aurat, karena sesungguhnya perintah menundukkan pandangan dan menutup aurat berlaku sama bagi keduanya. Meski tidak bisa dipungkiri, pandangan jelalatan laki-laki dan terumbarnya aurat wanita secara bersama-sama akan mewujudkan bencana dan musibah yang lebih besar ketimbang kalo yang jelalatan itu wanita dan yang pamer aurat laki-laki. Gampangnya, jarang kan antum denger kasus perkosaan seorang wanita terhadap seorang laki-laki? Pasti jarang banget! Loh, ngomongin pandangan kok ujug-ujug nyangkut perkosaan Mas? Jangan-jangan cuma dihubung- hubungkan? Ya nggak dong, kan ada haditsnya kalo pandangan tuh sebagian dari panah setan. Kebanyakan dosa juga dimulai dari pandangan, terutama yang berkaitan sama syahwat. Lalu bukankah dalam ayat di atas menjaga pandangan juga langsung dikaitkan dengan menjaga kemaluan?! Gampangnya lagi, pernah dengar ~ 33 ~ ~Mencari Makna~ kasus perkosaan yang dilakukan seorang tuna netra? Nggak kan? Tuna netra yang menikah dan berketurunan memang banyak, tapi nggak ada kan yang memperkosa?! Lha iya, lha wong dia nggak bisa ngeliat, setan jadi susah menggodanya. Ribet juga kali ya teknisnya, he..he.. gak usah dibayangin tapinya. Lalu di mana saja, kapan saja, dan ke siapa saja kita musti bergadhul bashar? Jawabnya persis seperti pertanyaannya: di mana saja! kapan saja! ke siapa saja! Karena setan menggoda kita tidak cuma di tempat tertentu, waktu tertentu atau lewat orang tertentu. Maka waspadalah..!! Waspadalah!! Gadhul bashar sesungguhnya tidak harus dipahami dengan selalu memejamkan mata tiap ada perempuan lewat, atau terus-terusan menunduk ketika berjalan di tengah banyak orang. Meskipun dalam kondisi-kondisi tertentu hal-hal tersebut barangkali memang yang paling tepat untuk dilakukan. Tapi kalo lagi nyetir mobil atau motor terus merem (baca yang bener! ‘Merem’ lawan ~ 34 ~ ~Mencari Makna~ ‘melek’, bukan ‘mengerem’) kan bahaya. Atau misalnya diajak ngobrol Bu Guru malah nunduk terus, kan jadi nggak sopan. Dalam kedua ayat di atas jelas-jelas ada kata “sebagian”, bahasa arabnya “min”. Maka sesungguhnya sebagian pandangan itu harus ditahan dan sebagian lagi tidak. Pandangan yang berbahaya bagi iman jelas harus ditahan, sedangkan yang darurat atau kebutuhan yang tidak mengada-ada tidak mengapa, dengan tidak berlebihan pula tentunya. Pokoknya segala yang berlebihan pasti nggak baik. Berlebihan makan, berlebihan minum, berlebihan tidur, berlebihan puasa juga dilarang. Demikian pula berlebihan memandang juga gak baik, walau ke hal-hal yang mubah. Nggak percaya? Memandang wajah anak kecil mubah kan?! Coba antum ambil seorang anak lalu pandangi wajahnya selama satu jam terus menerus. Apa yang terjadi? Dijamin pasti si anak nangis manggil bapaknya karena takut antum pelototin, he..he..he.. Itu contoh kecil yang konyol, yang lebih serius buat antum yang mahasiswa misalnya diskusi sama Bu Dosen. ~ 35 ~ ~Mencari Makna~ Sesekali memandang wajah Bu Dosen untuk melihat ekspresinya saat berbicara sebagai tanda memperhatikan apa yang beliau bicarakan mungkin tak mengapa, tapi kalau antum nggak berenti-berenti memandang, bisa digampar juga antum sama ibu dosen karena dikira mo macem-macem. He..he..he.. ~ 36 ~ ~Mencari Makna~ z Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pula, katanya: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman pada hari kiamat: "Manakah orang-orang yang saling cinta-mencintai kerana keagunganKu? Pada hari ini mereka itu akan saya beri naungan pada hari tiada naungan melainkan naunganKu sendiri." (HR. Muslim) pq ~ 37 ~ ~Mencari Makna~ Bagaimana ikhwan dan akhwat saling mencinta Hanya ada dua macam cinta. Yang pertama, cinta yang syar’i, yaitu cinta yang disebabkan karena Allah. Yang kedua, cinta yang ghairu syar’i, yaitu cinta yang disebabkan oleh selain Allah. Cinta yang syar’i ini diperintahkan dalam Islam, bahkan ia menjadi syarat ~ 38 ~ ~Mencari Makna~ kesempurnaan iman. Tengok Hadits Arbain ke-13 berikut ini, Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu, pembantu Rasulullah saw. Dari Rasulullah saw, beliau bersabda: “ Tidak beriman salah seorang diantara kamu hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (H.R. Bukhori dan Muslim) Sedangkan cinta jenis yang kedua itu batil dan tidak memberi manfaat, bahkan ia adalah sifat orang-orang musyrik. Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. (Q.S. Al Baqoroh 125) Lihat, dalam ayat itu Allah tidak menyebut orang-orang musyrik sebagai orang yang sama sekali tidak mencintaiNya, tetapi mereka itu mencintai yang lain sebagaimana mereka mencintai Allah! Kalo mencintai sesuatu dengan kadar cinta yang sama kepada Allah saja nggak boleh, ~ 39 ~ ~Mencari Makna~ apalagi mencintai sesuatu lebih dari cinta kita kepada Allah?! Antum bisa lihat Q.S. At Taubah: 24 untuk mendapat jawabannya. Dari sini kita mendapat satu kaidah bahwa dalam saling mencinta, orang-orang mukmin tidak boleh keluar dari koridor ’cinta karena Allah’. Maksudnya, kita mencintai sesuatu atau seseorang karena hal-hal berikut ini: - Allah memerintahkan kita untuk mencintainya - Allah mencintainya - Mendekatkan kita pada Allah - Dalam batasan yang Allah tetapkan - Agar kita dicintai Allah - dan alasan lain setipe dengan lima hal di atas Akibatnya, aplikasi dari kata ’mencintai’ ini menjadi berbeda-beda tergantung dari obyek cinta yang dimaksud. Kalau obyek cinta ini adalah saudara seiman yang sesama jenis (maksudnya ikhwan dengan ikhwan; akhwat dengan akhwat) maka pengekspresiannya bisa lebih bebas. Seorang sahabat pernah cerita ke Rasulullah kalo dia mencintai saudaranya seiman karena ketaatannya pada ~ 40 ~ ~Mencari Makna~ Allah, maka Rasulullah menyuruhnya menyampaikan perasaan itu agar cinta di antara mereka semakin bertambah. Nah, untuk cinta jenis ini maka sering-sering SMS tausiyah, missed call tahajud, kirim hadiah, nonton bareng, ngaji bareng, nginep ke rumah dan berbagai kegiatan mubah dalam rangka mengukuhkan ikatan itu sangat dianjurkan. Dalam cinta jenis ini tentu syahwat sama sekali tidak ikut campur, lha kan sesama jenis. Kalo keduanya homoseks itu lain soal, he..he.. Hukumnya tentu haram dan tidak masuk kategori cinta yang saya maksudkan di atas. Lain lagi kalo obyek cinta ini adalah suami atau istri kita yang telah sah. Maka pengekspresian cinta lebih bebas lagi. Syahwat, dalam cinta ini tidak dilarang. Bahkan ini adalah saat dimana syahwat bisa dimanfaatkan sebagai ladang pahala. Bagaimana tidak? Lha wong memberi nafkah batin pada istri itu bernilai sedekah! Pun demikian, bukan berarti tanpa batas. Islam masih mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh sepasang suami istri. Misalnya, berhubungan di tempat umum, menyetubuhi istri dari belakang, menceritakan ke ~ 41 ~ ~Mencari Makna~ orang ketiga tentang hubungan yang dijalani dengan istrinya, dll. Saya harap antum nggak berpikiran ’ngeres’ dan segera kembali konsentrasi karena kita akan segera membahas jenis cinta yang lebih dekat dengan keseharian kita sebagai jomblo-jomblo bahagia. Antum sudah tahu apa yang akan saya sampaikan bukan? Benar, ini adalah cinta antara ikhwan dan akhwat yang belum terikat oleh pernikahan. Dengan kata lain, keduanya masih jomblo. Bagaimana aplikasinya? Kalo cinta antara dua insan ini benar-benar karena Allah, tentunya cinta ini berjalan dengan batasan yang Allah tetapkan. Dan batasannya ternyata memang sangat banyak saudara-saudara! Sama aja dengan batasan interaksi antar ikhwan dan akhwat yang selama ini telah kita pelajari, di antaranya: - Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dan tidak di tempat yang sepi - Menjaga pandangan - Suaranya tidak dilemah lembutkan (untuk akhwat) - Tidak berlebihan dalam kualitas dan kuantitas - Tidak berkomunikasi lebih dari keperluan ~ 42 ~ ~Mencari Makna~ - Tidak mengundang fitnah - Tidak didorong syahwat - dll Lho kok susah banget?! Lha emang iya! Apa antum belum pernah denger kalo dunia ini penjara buat orang mukmin dan surga buat orang kafir?! Meski begitu, kalo mau sedikit berpikir dengan logika, antum akan sadar bahwa semua batasan tadi sebenarnya tidak merugikan kita dalam hal apapun! Justru lebih menjaga kehormatan kita. Kalau ada perasaan berat, itu bukan karena ini merugikan, tapi karena ini bertentangan dengan keinginan hawa nafsu kita. Bener kan? Lalu bolehkan kita berharap lawan jenis kita mendapat kebahagiaan? Khawatir akan keistiqomahannya? Keamanannya? Jawabnya, ya jelas boleh, bahkan harus! Tapi dengan batasan-batasan di atas. Bohong kalo kita bilang kita mencintai Ukhti ”A” karena Allah tapi kita justru berusaha melakukan hal-hal yang dilarang Allah bersamanya. Menjauhkan dia dari jalan Allah dan jutru terjerumus bersamanya dalam dosa. Di sinilah perlunya kehati-hatian. ~ 43 ~ ~Mencari Makna~ Contoh-contoh kegiatan yang saya sebut ketika membahas cinta antara ikhwan dengan ikhwan di atas tentu tidak relevan untuk dilakukan dengan saudara kita yang lawan jenis, karena jelas akan mengundang fitnah. Maka cara yang paling aman adalah mendoakannya. Membantu ketika dibutuhkan tentu tidak mengapa, asal memang tidak untuk cari kesempatan dan masih dalam batasan-batasan di atas. Kalau kita ingin mencari di luar itu, kayaknya perlu kita lihat kembali niat kita. Benar karena Allah atau karena yang lainnya? Indikasi keikhlasan itu kadang amat sederhana kok. Kalo antum bisa rela bahkan bahagia si Ukhti ”A” yang antum cintai karena Allah itu dinikahi orang lain – yang memang pantas untuknya- berarti antum bener-bener ikhlas. Tapi kalo antum kecewa dan ngotot ingin memilikinya dengan mengungkit-ungkit semua kebaikan yang telah antum berikan padanya, maka pada saat itu saya tidak ragu untuk mengatakan bahwa antum telah tertipu. Antum baru saja menukar akherat antum dengan dunia yang belum tentu antum dapat (soalnya bisa aja si Ukhti tetep menolak, karena antum bukan tipenya, he..he..). ~ 44 ~ ~Mencari Makna~ Jadi ikhwah fillah, cintailah seluruh saudara-saudarimu karena Allah. Berikan yang terbaik yang bisa antum berikan pada mereka, tanpa mengharap balasan dari mereka sedikitpun. Sedikitpun tidak! Bahkan tidak walau sekedar ucapan terima kasih atau senyuman. Berharaplah bahwa Allah lah yang akan membalas semua kebaikan itu dengan sempurna. Berharaplah pada senyuman Allah saja. Hauslah akan cinta-Nya saja. Seperti Wahsyi yang rela pergi dari hadapan Rasulullah yang amat ia cintai, karena ia tahu, kehadirannya di dekat Rasulullah hanya akan menambah perih luka hati Rasulullah atas pembunuhan Hamzah. ~ 45 ~ ~Mencari Makna~ z "Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya , dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang .Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (QS. Ar Rum: 21) pq ~ 46 ~ ~Mencari Makna~ Renungan Bujang Lapuk Sebagian ikhwan yang saya kenal rupanya menyimpan sedikit perasaan enggan dengan metode menikah by biodata. Sebagian yang lain bahkan dengan terangterangan maupun sembunyi-sembunyi telah menempuh jalan alternatif untuk memperoleh pendamping hidupnya: merebut secara heroik sang pujaan hati dari tangan sang wali secara mandiri! Tulisan ini bukan untuk mencela mereka, karena sesungguhnya bagi saya metode itu kadang nggak jelek~ 47 ~ ~Mencari Makna~ jelek amat. Syari’at bahkan tidak melarang. Sebagian ekstrimis Islam bahkan justru menuduh menikah lewat biodatalah yang bermasalah. Menurut mereka itu adalah bid’ah yang harus diperangi, nah kalo ini sih kelewatan! Menikah lewat biodata tentu bukan bid’ah karena setiap pelakunya sadar betul ini bukan termasuk ritual ibadah. Demikian juga ia tidak dapat dipaksakan ke setiap orang karena akan mencederai HAM (Hak Asasi Menikah, he..he..he..). Tulisan ini hanya ingin bercerita mengapa ditengah jaman keterbukaan ini masih saja ada ikhwan yang taat, pasrah bahkan berambisi menikah dengan cara kuno itu: menikah by biodata. Supaya tidak terkesan men-generalisir dan sok tahu, kita nisbatkan saja semua perenungan ini pada diri saya sendiri – sang bujang lapuk abad 21. Dengan begitu tidak ada yang berhak tersinggung ataupun merasa dilecehkan. Saya toh berhak punya pendapat pribadi asal tidak saya paksakan ke orang lain… Dulu, duluuu… sekali, saya termasuk yang tidak setuju dengan metode nikah gaya kuno itu. Kesannya seperti membeli kucing dalam karung. Mohon maaf, saya tidak bermaksud menyamakan akhwat dengan kucing, juga ~ 48 ~ ~Mencari Makna~ tidak berusaha menganalogikan pernikahan dengan jual beli, dan yang pasti saya tidak menuduh para akhwat jalan-jalan berkerubut karung, tapi dengan kepicikan dan kurangnya perbendaharaan kata mutiara yang saya miliki, hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan pada waktu dulu banget itu. Semuanya menjadi berbeda sekarang. Saat saya menyadari beberapa hal penting dalam diri saya. Hal-hal yang melekat spesifik pada saya bahkan sejak pertama kali saya mengenal kata ‘cinta’. Ringkasnya, saya tidak pernah sukses dalam cinta! Tentu bukan karena wajah saya tidak tampan. Beberapa orang terdekat – terutama ibu saya – selalu mengeluelukan ketampanan saya. Hei, antum tidak perlu muntah berlebihan begitu, semua ini jujur adanya. Soalnya bagi ibu saya, menjelekkan wajah saya tentu sama saja dengan menjelekkan diri sendiri yang telah mewariskan wajah itu ke saya! Harap maklum. Di sisi lain, saya juga bukan cowok yang bodoh, terutama jika antum berkonsentrasi pada track record akademik saya di SMP dan SMA. Ranking paling jelek yang pernah saya dapat adalah ranking dua! Tidak terlalu bodoh kan?! ~ 49 ~ ~Mencari Makna~ Lulus kuliahpun tepat lima tahun dengan IPK yang dengan susah payah tembus juga di atas angka tiga, cukup bagus untuk standar para aktivis pergerakan Teknik UNS. Jadi sungguh, bukan karena dua hal itu saya gagal dalam cinta. Semuanya lebih banyak disebabkan oleh faktor psikologis. Sebuah penyakit. Saya menyebutnya gejala: INCIDIOT! Tentu saja nama ini karangan saya sendiri. Kependekan dari Incidentally Idiotism. Atau dengan bahasa yang lebih lugas bisa antum sebut dengan keguoblokan insidental! Sudah bisa menerka apa yang saya maksud? Tepat sekali, saya akan berubah menjadi seorang idiot murni di depan orang-orang yang saya taksir. Ya, saya memang telah naksir banyak akhwat maupun cewek biasa sejak saya mengenal cinta dan tak satupun yang membuahkan kisah romantis yang indah berkat gejala incidiot yang saya miliki. Efek fisiologis gejala ini memang bervariasi, mulai dari kegagapan berkelanjutan, keringat dingin yang membanjir, atau kecelakan-kecelakan tragis akibat terlampau hiperaktif dalam mencari perhatian. Waktu SD contohnya, saya pernah jatuh berkalang tanah, babak bundhas, berdarah-darah! Gara-gara pamer kecepatan lari di depan cinta monyet pertama saya dan ~ 50 ~ ~Mencari Makna~ secara naas tersandung batu dalam kecepatan yang sangat tinggi. Sakitnya lebih karena nahan nangis menjaga harga diri. Di kesempatan yang lain – masih di SD yang sama, dengan cinta monyet yang sama – saya berhasil menggagalkan hasil ulangan saya gara-gara satu-satunya pensil yang saya punya justru saya pinjamkan ke si cinta monyet yang menerimanya dengan senang hati sambil tersenyum aneh di waktu yang sama (mungkin dikiranya saya sudah tidak waras, tapi toh ia tak peduli selama ia bisa menyelesaikan ulangannya. Dengan pensil saya tentunya!). Selanjutnya di SMP masih dengan cinta monyet yang sama, saya berhasil mempermalukan diri saya sendiri sekaligus si cinta monyet dalam sebuah drama ‘penembakan’ yang berakhir tragis di kelasnya waktu jam istirahat. Di depan seluruh warga sekolah saya telah ditolak dengan tegas! Bahkan setelah saya bergaya seperti Romeo yang berlutut memohon di depan Julietnya. Bodohnya saya yang telah terlalu percaya pada bukubuku fiktif pemanjang angan-angan di masa itu. ~ 51 ~ ~Mencari Makna~ Tapi itu bukan akhir penderitaan cinta saya. Di SMP yang sama, entah berkat aksi sok romantis waktu itu, track record akademik yang gemilang atau wajah yang tampan atau mungkin juga gabungan ketiganya (antum muntah lagi ya?!) saya telah ditaksir oleh tiga orang cewek dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Bukti-bukti akurat berupa kerlingan nakal, semburat merah di pipi, salam yang dititipkan dan gosip yang tersebar seantero sekolah cukup menegaskan fakta tersebut. Tapi itulah, INCIDIOT telah menghancurkan bungabunga cinta itu bahkan sebelum ia berkembang. Karena penyakit itu, saya justru menjadi acuh pada mereka di saat hati telah menaruh simpati. Saat ingin membalas senyum, justru membuang muka yang terjadi. Maka merekapun lelah dan mengalihkan panah cinta monyet mereka ke lain hati hanya dalam beberapa minggu saja. Dan seperti kata pepatah: cinta monyet akan hilang hingga tinggal monyetnya saja, itulah saya. INCIDIOT telah mencapai stadium yang sangat ganas hingga berhasil menghapus semua semburat merah jambu yang hendak tertoreh dalam hidup saya sampai SMA, bahkan hingga kini. Ditambah lagi muncul penyakit kedua. IMPASSION! Tidak, ini tidak ada ~ 52 ~ ~Mencari Makna~ hubungannya dengan impotensi! Saya adalah laki-laki sekaligus ikhwan yang sehat secara biologis. Impassion juga nama karangan saya sendiri, secara filisofis ia adalah gabungan dari dua kata: ‘im’ yang artinya ‘tidak’ dan passion yang artinya ‘nafsu’? Eh, yah, saya memang tidak begitu yakin istilah ini akan bisa menjelaskan maksud saya. Mungkin frase ‘mati rasa’ lebih mudah dicerna oleh antum. Kepada siapakah saya mati rasa atau impassion itu tadi? Kepada semua sahabat perempuan saya, itu jawabnya. Ya, bersekolah di SMA umum dimana murid putra dan putri bebas berinteraksi tentu menyebabkan saya memiliki beberapa teman perempuan, diantaranya bahkan sangat dekat. Sebagian besar dari mereka justru jauh lebih cantik, lebih bersinar dan lebih solihah dari cinta monyet manapun yang pernah saya taksir. Tapi karena impassion itu tadi maka saya nggak mungkin naksir mereka, begitu juga sebaliknya. Tentu kami saling memperhatikan, kadang belajar bareng, bahkan liqo’ bareng (karena itulah murabbi pertama saya adalah murabbiyah, ini agak kompleks untuk diceritakan), tapi membayangkan untuk merajut cinta seperti kebanyakan muda-mudi puber waktu itu, nggak lah yauw!!! Di waktu ~ 53 ~ ~Mencari Makna~ dewasa nanti saya menyadari hubungan seperti itu cukup berbahaya juga, tapi alhamdulillah kami mampu melewatinya dengan selamat. Beberapa dari teman perempuan dekat itu kini telah menikah dan mengundang saya dalam walimah mereka. Diantaranya bahkan ada yang meminta saya sebagai salah satu panitia. Dan saya bahagia dalam setiap pernikahan itu. Bukti bahwa saya tidak mencintai mereka sebagai lelaki, tetapi tulus sebagai seorang sahabat. Maka lengkap sudah seluruh syarat dan faktor penyebab kegagalan cinta dalam pribadi saya: INCIDIOT menghalangi para bidadari mencintai saya, sedang IMPASSION menghalangi saya mencintai mereka. Hancur minah! Di bangku kuliah, kepahaman yang mulai lengkap tentang batasan pergaulan ikhwan-akhwat bersama kedua penyakit tadi membentuk kepribadian yang aneh pada diri saya. Kepribadian yang menyeramkan bagi para akhwat. Dingin dan beku, demikianlah secara umum saya bersikap pada para akhwat yang berinteraksi dengan saya secara pribadi. ~ 54 ~ ~Mencari Makna~ Ini menjadikan saya tokoh yang tidak menarik untuk diajak ngobrol ngalur ngidul atau SMS lucu-lucu. Buktinya, saya adalah satu-satunya personil dalam dua tim nasyid terbaik UNS waktu itu yang tidak pernah menerima SMS menggoda dari para akhwat. Padahal personil paling berjenggot dan paling sangar dalam grup ini minimal sudah ditaksir 3 akhwat berkat performancenya di tim nasyid kami. Alhamdulillah beliau-beliau ini beriman dahsyat hingga tak pernah terjebak dalam kasus merah jambu. Kalau hampir, mungkin pernah. Memang ada, beberapa akhwat khusus yang kemudian mampu memecah kebekuan ini dan nekat beramah tamah meski saya sembur dengan hawa dingin. Tapi ini sangat sedikit dan pada akhirnya mereka akan menjadi sahabat. Sedangkan saya tidak bisa mencintai sahabat, tidak sebagai laki-laki. Saat-saat itu – di kampus – hal-hal ini tidak menjadi masalah buat saya, toh saya mendapat semua cinta yang saya butuhkan dari liqo’ dahsyat saya, gank ikhwan teknik 2002, tim nasyid kebanggaan UNS dan seluruh ikhwah teknik yang tulus itu. ~ 55 ~ ~Mencari Makna~ Tapi kini, saat saya mulai sadar bahwa saya telah menjadi seorang bujang lapuk. Saat saya jauh dari semua yang mencintai saya. Saat malam-malam begitu dingin dan bernyamuk, saya sadar saya tak bisa sendiri lagi. Juga sadar bahwa saya tak akan mampu seheroik ikhwanikhwan di awal tulisan saya ini. Maka menikah by biodata barangkali adalah sebuah berkah luar biasa yang saya syukuri dari kehidupan berjama’ah ini. Karena melalui metode itu, calon istri saya akan mampu melihat saya dengan lebih obyektif lewat track record tertulis dalam CV – itu tanpa incidiot saya. Menyimak penjelasan tentang diri saya yang tertutur tenang dari mulut saya di balik hijab kala ta’aruf. Dan puncaknya, terpana saat menatap malu wajah tampan nan teduh saya di kala nadhar (saya lihat antum muntah lagi…he..he..he..). Saya juga tak perlu impassion, karena besar kemungkinan saya belum pernah mengenalnya sebelumnya. Kini, saya telah berubah dari pasrah dan taat, menjadi berambisi untuk menikah by biodata. ~ 56 ~ ~Mencari Makna~ z Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan, kesombongan adalah menolak kebenaran dan membenci manusia" (HR. Muslim) pq ~ 57 ~ ~Mencari Makna~ Cantik dan Tampan itu perlu Ketika memutuskan akan menikah, jangan pernah mengabaikan faktor ketertarikan fisik kepada si calon. Benar, kita menikah hanya karena Allah, tapi itu bukan berarti kita tidak boleh berharap memiliki istri cantik atau suami tampan. ~ 58 ~ ~Mencari Makna~ Mau sedikit cek dalil? Perhatikan hadits berikut: “Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk menikah, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Bukhari-Muslim) Antum perhatikan yang saya garis bawahi di atas. Sekarang ini di dunia kita, aurat terpampang di manamana. Mode pakaian semakin ke sini semakin irit bahan. Barangkali akibat pemanasan global, manusia merasa perlu menggunakan pakaian yang melancarkan aliran udara biar nggak kepanasan, padahal jelas tidak sopan! Lha kalo istri kita tidak menarik/cantik di mata kita, bagaimana ia akan menjadikan kita mampu menundukkan pandangan? Lha wong yang sliwar-sliwer di jalan itu berdandan habis-habisan plus permak make up dari setan pula. Maka dari merealisasikan itu, cantik/tampan salah satu ~ 59 ~ itu tujuan perlu untuk pernikahan: ~Mencari Makna~ menundukkan pandangan. Menjaga bentuk tubuh biar tak gemuk juga perlu, agar pasangan suami istri mampu menjaga kemaluan, tak tergoda untuk berzina. Karena telah merasa cukup dengan pasangan yang ia miliki secara halal. Hadits berikut juga mendukung opini saya di atas, “Jika salah seorang kalian melihat wanita lalu tertarik kepadanya, maka hendaklah dia mendatangi isterinya, karena yang demikian itu boleh menolak apa yang bergejolak di dalam dirinya” (HR. Imam Muslim) Untuk bisa menahan gejolak godaan dari luar, istri harus terlihat cantik di mata suami dong! Bagaimanapun juga aktivis dakwah adalah manusia, maka mereka perlu memenuhi kebutuhan manusiawi mereka. Sahabat Rasulullah sekalipun juga demikian. Antum hafal kisah Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah bukan? Zainab yang cantik dan berasal dari keluarga terpandang menerima pinangan Zaid semata-mata karena itu adalah saran dari Rasulullah (Zaid adalah anak angkat ~ 60 ~ ~Mencari Makna~ Rasulullah), sementara dalam hatinya sesungguhnya ia tidak merasa sreg menikah dengan mantan budak yang hitam dan keriting seperti Zaid. Ujung-ujungnya Zainab tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai istri yang baik kepada Zaid hingga akhirnya Zaid yang tersiksa batin memilih menceraikannya. Masalah kesalehan, Zaid memang tidak diragukan, tapi fitrah manusiawi juga tak bisa diabaikan begitu saja. Pada akhirnya, Zainab menikah dengan Rasulullah saw yang lebih sepadan secara fisik dan status sosial kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu istri nabi yang paling dermawan dan paling dulu menyusul kepergian Rasulullah saw menjumpai Allah swt. Selepas bercerai, Zaid pun menikah dengan istri yang lebih sekufu, kemudian melahirkan Usamah bin Zaid, sang panglima perang termuda dalam sejarah islam. 'Ala kulli hall, cantik itu relatif bagi tiap orang. Kalo nyari yang paling cantik sedunia, kemungkinan ditolaknya besar lha wong antum wajahnya biasa-biasa aja. Tapi carilah yang sekufu, yang penting cantik aja dalam standar antum dan kayaknya sepadan bersanding sama antum. ~ 61 ~ ~Mencari Makna~ Nggak pengin juga kan nanti pas jalan bareng istri dikira supir atau tukang kebunnya. Atau malah yang lebih parah, dikira bapaknya?! ~ 62 ~ ~Mencari Makna~ z Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan-perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita solihah.” (HR. Muslim) pq ~ 63 ~ ~Mencari Makna~ Istri saya itu Hari ini ia pasti sedang sibuk. Sebagaimana hari ini, hari-harinya yang kemarin juga selalu penuh dengan kesibukan. Kebanyakannya karena saya. Karena baju saya yang lecek, celana saya yang kotor, bekal makanan saya yang belum matang, lantai yang saya tumpahi dengan air teh, ~ 64 ~ ~Mencari Makna~ Qur'an saya yang ketinggalan, susahnya saya dibangunkan untuk mandi, dsb. Hampir segala kesibukannya itu diakibatkan oleh hadirnya saya dalam hidupnya. Sejak kapan? Sejak kami menikah. Iya, tepat sejak dua bulan lalu. Sejak untuk pertama kalinya saya mengucap kalimat "qabul" sebagai penghalal hubungan kami berdua. Yang mengukuhkan diri saya sebagai suami untuknya. *** Menjadi suami seharusnya menjadikan saya pelindung yang kuat baginya. Penghapus air matanya. Pemenuh kebutuhannya. Penghibur laranya... Tapi alangkah sabarnya ia menghadapi diri saya yang masih jauh dari itu semua. Begitu pemaafnya ia atas harapan dan cita yang belum sanggup saya wujudkan dengan sepenuh tenaga. Begitu pengertiannya ia akan kelemahan-kelemahan suaminya yang maunya menang sendiri itu. ~ 65 ~ ~Mencari Makna~ Maka ia tak pernah lelah tersenyum, tak pernah berhenti untuk sibuk, menekuni pengabdiannya pada Allah dengan melayani sang suami sepenuh jiwa dan raga. Tak peduli jika suaminya akan membuatnya menangis lagi. Tak peduli begitu lemahnya ingatan sang suami untuk mencatat kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan. Dia tetap sibuk. Seperti juga hari ini dan hari-hari sebelum ini. *** Istriku, engkaulah tulang rusuk yang ditakdirkan menguatkan dadaku ~ 66 ~ ~Mencari Makna~ z Dari Ibnu Jabir dari bapaknya (Jabir bin Abdullah), dia berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda : ”Sesungguhnya (satu sisi) dari “ghairoh” (sifat cemburu) ada yang dicintai oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ada (sisi lain) darinya yang dibenci oleh Allah ‘Azza Wa Jalla… Adapun (sisi) “ghairoh” yang dicintai oleh Allah adalah ghairoh dalam keraguan…” (H.R. Imam an-Nasai) pq ~ 67 ~ ~Mencari Makna~ Dia dan cemburunya Ia percaya pada saya. Bahwa saya tidak akan berbuat yang aneh-aneh di belakangnya. Bahwa saya tidak berniat untuk beristri dua. Bahwa saya hanya berteman saja dengan wanita-wanita lain yang ada di dunia. Dan bahwa ialah satu-satunya wanita yang saya cinta. Ia percayai itu semua dengan segenap hatinya. Sungguh. ~ 68 ~ ~Mencari Makna~ Tapi itu tak pernah menghalanginya untuk mencemburu meski pada hal-hal yang paling tak rasional sekalipun. Ia mencemburu pada teman, adik kelas, tetangga, bahkan orang lewat. Ia bahkan berniat mencemburu terhadap anak-anak kami kelak, jika saya mencintai mereka lebih dari cinta saya padanya. ^_^ Kadang ia pun cemburu pada dakwah, jika saya harus meninggalkan dirinya untuk itu. Namun buru-buru dihilangkannya cemburu itu demi menyadari bahwa dakwah adalah tanda cinta saya pada Allah swt. Hanya dengan Allah dan Rasul-Nya saja istri saya yang pencemburu itu tak berani bersaing berebut cinta. Dari istri saya itu, saya belajar, Bahwa cemburu adalah bentuk lain dari cinta. Lebih gelap, tak semerah cinta, tapi tetap hangat. *** Saya menikmati cemburunya seperti saya menghayati cintanya. Istriku, terimakasih untuk selalu mencemburu. ~ 69 ~ ~Mencari Makna~ Merahnya Jalan Dakwah ~ 70 ~ ~Mencari Makna~ z Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir (QS An Nahl: 107) pq ~ 71 ~ ~Mencari Makna~ Surga dan Neraka Ada sebuah hadist yang sangat menarik riwayat Imam Bukhari, terjemahnya: " Nabi saw. bersabda, “Surga ditutupi (dihijab) dengan hal-hal yang dibenci, dan neraka ditutupi dengan syahwat-syahwat.” Saya mendengar hadist ini pertama kali saat kajian Ustadz Mu'inudinillah Bashri, MA di Masjid Nurul Huda UNS ~ 72 ~ ~Mencari Makna~ bertahun-tahun yang lalu, kira-kira waktu awal-awal beliau kembali ke Indonesia. Dalam kajiannya beliau menyampaikan bahwa setelah surga dan neraka diciptakan Allah memanggil para malaikat untuk melihat kedua ciptaan Allah tersebut. Kemudian mereka ditanya pendapatnya tentang keduanya. Sontak para malaikat menjawab, " Sungguh Ya Allah, tidaklah hamba-Mu mendengar disebut nama surga kecuali mereka akan berharap dimasukkan ke dalamnya, dan tidaklah hambamu mendengar disebut nama neraka kecuali mereka akan berlindung darinya." Kemudian Allah menutupi surga dengan hal-hal yang dibenci manusia dan menutupi neraka dengan syahwat yang disukai manusia. Maka setelah itu para malaikat menjadi khawatir neraka akan lebih dipilih oleh manusia ketimbang surga. Jadi Akhi wa Ukhti fillah, kalau berjuang dalam dakwah terus kok rasanya justru dapet banyak kesulitan, nilai pada turun, duit semakin berkurang, maka bersyukurlah karena itu tandanya antum/antunna berada di jalan yang benar, insyaAllah. ~ 73 ~ ~Mencari Makna~ Kebalikannya, jika antum pacaran misalnya (walaupun dengan label islami atau dalil hasil cari-cari di referensi orang-orang JIL) terus kok nilai malah naik, hidup terasa lebih berwarna, rejeki lancar, maka hati-hatilah bisa jadi antum telah mendapat istidraj dariAllah swt, artinya Allah menyesatkan antum karena kesesatan yang terus-terusan antum lakukan dan tidak lagi peduli untuk memberi petunjuk kepada antum. Seperti Fir'aun itu lho, dia itu kan ngerasa jadi Tuhan karena dikaruniai kesehatan yang luar biasa oleh Allah swt, kata Ustadz bahkan pilek aja Fir'aun itu nggak pernah. Ingatlah bahwa surga itu nikmat yang luar biasa, maka perjuangan mencapainya tentu harus sepadan pula. Sedang untuk masuk neraka gampang saja, ikuti saja semua syahwat kita, insyaAllah langsung diterima gak pake syarat macem-macem. Bukankah kita pernah mendengar riwayat tentang betapa laparnya neraka akan orang-orang yang doyan maksiat? Terus pengin nambah dan nambah sampe-sampe Allah sendiri harus menginjak neraka itu agar diem gak rewel minta tambahan mangsa. ~ 74 ~ ~Mencari Makna~ Jadi tetaplah bermandikan keringat kebaikan, bersimbah darah perjuangan, berlumuran tinta pena kebenaran, karena tetes peluh, aliran darah dan goresan pena kita itulah yang akan menjadi saksi sekaligus modal kita meraih ridha dan Jannah-Nya kelak insyaAllah. ~ 75 ~ ~Mencari Makna~ z “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imron 31). pq ~ 76 ~ ~Mencari Makna~ Dari para nabi hingga kita kini Ketika Rasululah hijrah dari Mekah, beliau meminta Ali ra untuk tinggal menggantikan beliau di tempat tidur. Bukan sebagai tumbal, tetapi untuk mengembalikan barang-barang titipan kaum kafir Quraisy yang selama ini dititipkan di rumah Rasulullah. Lihatlah betapa pribadi menarik Rasulullah menjadikan musuhnya sekalipun menaruh kepercayaan yang luar biasa pada beliau. ~ 77 ~ ~Mencari Makna~ Sebagai seorang pribadi, beliau diterima di seluruh kalangan. Terbukti, kaum kafir Quraisy pernah menawarkan jabatan, harta dan wanita terbaik mereka untuk beliau dengan syarat beliau berhenti berdakwah. Artinya seandainya meninggalkan Rasulullah dakwah, niscaya saw bersedia mereka tidak berkeberatan jika beliau menjadi salah satu pemimpin mereka. Kalau kemudian mereka meludahi beliau, menyiksa sahabat-sahabatnya, memboikot dari perdagangan, menumpahi dengan isi perut onta, bahkan berkonspirasi untuk membunuhnya, tentu bukan karena pribadinya. Bukan karena akhlaqnya. Bagaimana dengan Nabi Musa? Apa yang tidak beliau lakukan untuk kaumnya? Kaumnya minta minum, dipukulnya batu besar yang kemudian memancar darinya dua belas mata air untuk dua belas suku yang ada. Kaumnya meminta makan, berdoalah beliau hingga Allah menurunkan ‘manna’ dan ‘salwa’ sebagai pengenyang perut mereka. Lalu saat kaumnya menggigil ketakutan, terancam binasa oleh pasukan Fir’aun, beliau selamatkan mereka dengan izin Allah. Terbelahnya laut mati dan binasanya Fir’aun adalah jawaban doa beliau. ~ 78 ~ ~Mencari Makna~ Tapi apa yang kaumnya lakukan saat beliau pergi menemui Allah barang 40 hari saja? Mereka mengkhianati ajaran beliau dengan mencipta sapi palsu untuk disembah. Jelaslah, bukan karena kurangnya pelayanan Nabi Musa kepada kaumnya yang menyebabkan mereka berkhianat. Segala permusuhan yang timbul antara para Nabi dengan kaumnya tidak pernah terjadi karena kurangnya akhlak atau amal dari sang Nabi, tetapi karena mereka – para Nabi – mengajak kepada kebaikan, mencegah dari yang mungkar dan meng-Esakan Allah. Karena itu saja. Maka sessngguhnya tidak pernah ada jaminan bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan pada mad’u kita akan menghantarkan mereka ke jalan Allah. Tidak bagi Nabi, apalagi buat kita. Hidayah adalah hak prerogratif yang tidak dimiliki oleh selain-Nya. Jadi kalau saat ini antum sedang berbaik-baik pada binaan antum, atau teman sekelas antum, atau tetangga antum agar mereka berhutang budi kemudian berbalik dari jalan yang salah ke jalan lurus, saya katakan berhentilah. Bukan begitu seharusnya niatnya. ~ 79 ~ ~Mencari Makna~ Karena niat seperti itu bisa menghantarkan pada satu bentuk tindakan keliru di masa datang. Sebagai misal, untuk mendekati seorang mad’u antum sering meminjami catatan kuliah, menraktir makan dan terkadang membantunya mengerjakan tugas. Tapi dari waktu ke waktu mad’u ini tidak juga berubah bahkan semakin jarang berangkat ngaji dan akhirnya tidak pernah berangkat lagi. Maka ketika suatu ketika ia ingin meminjam catatan dari antum lagi, antum tidak berikan. Bagaimanapun tindakan seperti ini tidak bisa dibenarkan. Apakah kita berbuat baik pada seseorang agar mendapatkan sesuatu darinya (entah kesetiaan, ketaatan, atau yang lainnya) atau ridha Allah semata? Coba kita renungkan. Contoh lain, sebuah Partai Dakwah telah berusaha matimatian mencari dana kesana kemari untuk memberikan santunan ala kadarnya kepada beberapa ibu rumah tangga bertaraf ekonomi rendah. Tapi ketika PEMILU tiba, ibuibu itu dengan sukarela menyerahkan suaranya kepada Partai kapitalis sarang koruptor karena uang beras yang jauh lebih besar. Apakah dibenarkan jika kemudian Partai Dakwah itu tidak menyalurkan santunannya pada ibu-ibu malang itu lagi? Tentu tidak. ~ 80 ~ ~Mencari Makna~ Maka semua aktivitas dakwah kita harus dijaga dalam niat yang benar. Jangan sampai hanya untuk menghapus kesan eksklusif saja, atau menambah anggota saja. Karena jika terbatas pada itu, sesungguhnya yang itupun belum tentu kita dapatkan. Tetapi jika ridha Allah yang kita harapkan, dengan niat tulus dan konsistensi perjuangan, Insya Allah Allah akan berikan. Dengan begitu tidak ada kata berhenti dari aktvitas dakwah dan amal meski hasil konkrit tidak kunjung tercapai. Tidak ada kecewa karena sikap manusia, dan yang lebih penting tidak ada putus asa karena penolakan manusia. Seperti yang Allah firmankan: Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.” (QS. Al An’am: 90.) ~ 81 ~ ~Mencari Makna~ z ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran:133) pq ~ 82 ~ ~Mencari Makna~ Kepada para perindu Surga Sepertinya kita semua sepakat bahwa satu-satunya hal yang menjadi alasan seluruh pengorbanan kita di jalan dakwah ini adalah surga. Karena surga adalah simbol ridha Allah pada kita, tanda cinta-Nya, imbalan yang tak terkira indahnya. Jika demikian, antum harus tahu cara efektif dan bergaransi untuk mencapainya. ~ 83 ~ ~Mencari Makna~ Mengingat, saingan antum untuk meraihnya adalah seluruh umat manusia dari mula hingga akhir zaman, godaannya dahsyat, sementara waktu yang tersedia sangat terbatas dan tak diketahui kapan berakhirnya. Maka perhatikanlah jaminan Allah berikut ini. Sebuah surat wasiat bagi para ahli waris surga. Garansi bagi mereka yang bergelar mu’minuun. Demikian surat itu berbunyi: “ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. Al Mu’minuun: 1-11) ~ 84 ~ ~Mencari Makna~ Saya ingin antum yang membaca tulisan ini mencermati kata-kata yang sengaja saya pertebal. Ya, ternyata amanah yang kini antum sedang – atau akan – pikul bisa jadi adalah kunci antum memasuki kekalnya nikmat Firdaus. Sayangnya itu tidak akan terjadi jika antum masih saja menunda-nunda tertunainya hak amanah itu. Sungguh tak akan terjadi jika antum menelantarkannya, dan tidak akan mungkin pernah terjadi, jika masih penuh dada itu dengan sesak keluh kesah saat menjalaninya. Justru azab pedih membara, menghanguskan dan meremukkan yang mengkhianatinya. menanti Karena saat antum pengkhianat berani adalah munafiquun, penghuni dasar neraka! Golongan manusia yang bahkan lebih hina dari orang kafir sekalipun. Satu kunci – amanah – bisa berarti bencana atau bahagia, tergantung antum yang memegangnya. Ingat, bukan tingginya jabatan yang memuliakan antum di hadapanNya, tetapi tingkat pemenuhan hak amanah itulah yang ditimbang kadarnya. Seremeh apapun! Terkesan hiperbolis ya? Terserah saja sih percaya atau tidak, toh ini demi nasib masing-masing kita. Saat ~ 85 ~ ~Mencari Makna~ keputusan dijatuhkan atas perbuatan masing-masing diri, status kejama’ahan tidak akan berguna. Tak peduli antum adalah bagian dari sebuah jama’ah besar yang didirikan dan dipimpin orang-orang besar, selama kecil saja yang antum kerjakan, tanpa keikhlasan pula, habis sudah! Naudzubillahimin dzalika. Semoga Allah mengkaruniakan kesabaran, mengokohkan pendirian dan menolong kita dari orang-orang kafir, sebagaimana permintaan orang-orang terabadikan dalam Al Qur’an. Wallahul musta’an. ~ 86 ~ salih yang ~Mencari Makna~ z Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)… (Q.S. Al Baqarah :214) pq ~ 87 ~ ~Mencari Makna~ Sudahkah kita pantas? Pada suatu malam Rasulullah bangkit dari istirahat malamnya kemudian seperti biasa mengambil air wudhu untuk menghadap Tuhannya dalam sepenuh kepasrahan. Betapa terkejutnya Aisyah yang terbangun kala itu ketika mendapati kekasihnya masih saja khusyuk bertaqarrub ilallah meski kakinya bengkak karena lama berdiri dalam sholat malam. ~ 88 ~ ~Mencari Makna~ Maka begitu Rasulullah selesai bermunajat, Aisyahpun segera menghampiri pujaan hatinya itu dan dengan nada cemas bercampur heran ia bertanya,” Ya Rasulullah, bukankah engkau ini seorang yang ma’shum, seluruh dosa yang lalu dan yang akan datang telah Allah ampuni dan sungguh engkau telah dijamin masuk surga. Lalu mengapa engkau harus beribadah sekeras ini?” Sambil tersenyum Rasulullah menjawab dengan tenang,” Tidak bolehkah aku bersyukur pada Tuhanku?” Jauh sebelum itu, ketika Khadijah masih di sisi Rasulullah, ketika turun wahyu yang memerintahkan Rasulullah menyeru manusia pada jalan Allah, rasulullah berkata, “sungguh telah habis waktu untuk beristirahat…” dan sungguh sejak saat itu rasulullah tidak pernah berhenti dan beristirahat dari memikirkan umat dan menyerukan dakwah ilallah. Saudaraku, demikianlah teladan yang telah diberikan Rasulullah pada kita tentang bagaimana seharusnya kita beramal untuk meraih ridho Allah SWT. Begitupun para sahabat. Masih ingat bukan bagaimana Abu Bakar Ash Shidiq menginfaqkan seluruh hartanya untuk membiayai sebuah peperangan di jalan Allah dan hanya meninggalkan Allah dan Rasul-Nya bagi keluarganya? ~ 89 ~ ~Mencari Makna~ Atau sudahkah kita lupa dengan kisah Mush’ab bin Umair, pemuda terganteng Mekah waktu itu, yang pakaiannya paling bagus, yang digandrungi gadis-gadis mekah namun rela mengorbankan segala yang dimilikinya bahkan meninggalkan ibu yang sangat dicintainya demi dakwah ilallah. Hingga ketika syahid menjemputnya bahkan kain kafan yang dimilikinya tidak mampu menutup seluruh tubuhnya. Mungkin kita memang sudah lupa, atau setidaknya purapura lupa dengan semua fakta sejarah yang menunjukkan bahwa untuk menggapai surga tidak bisa melalui jalan yang bertabur bunga dan senang. Yang nyaman, sejuk dan datar. Tidak! Bahkan sejarah menunjukkan bahwa kemuliaan syahid hanya didapat oleh mereka yang berjuang keras, menerjang badai, mendaki gunung kesulitan, menetapkan langkah pada jalan yang berpijar panas dan membakar. Maka heranlah saya atas ungkapan ini : “...kita tidak usah terlalu ngoyo dalam berdakwah, akhi!” Saya justru bertanya, “ Memangnya sudah sengoyo apakah kita dalam jalan ini? Sudah seberapa yang kita beri untuk dakwah ini? Sudah pantaskah kita mengharap surga atas semua ini? “ Sungguh saya tidak berani mendengar jawabnya karena saya akan terlalu malu karenanya… ~ 90 ~ ~Mencari Makna~ z Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka… (Q.S.Ali Imran :159) pq ~ 91 ~ ~Mencari Makna~ Kita Da’i, bukan hakim Ini perkara berat. Coba jawab pertanyaan saya yang satu ini. Dalam seluruh periode kehidupan yang sudah antum jalani, pernahkah antum berbuat dosa? Kalau antum jawab belum, maka kemungkinannya hanya tiga. Kemungkinan pertama: antum manusia yang belum dewasa/baligh/mukallaf. ~ 92 ~ ~Mencari Makna~ Bagi antum tentu seluruh hukum syari’at belum berlaku, jadi mana mungkin antum punya dosa. Kemungkinan kedua: antum bukan manusia, tapi malaikat. Karena malaikat selalu patuh pada perintahNya dan tak dikaruniai hawa nafsu. Tetapi jika antum sudah baligh, kemudian membaca tulisan ini dari browsing di internet atau dari buletin yang hasil mungut di jalan, dan jawaban antum tetap “belum!” maka kemungkinan ketiga adalah: antum bohong! (soalnya sepengetahuan saya, malaikat nggak browsing lewat internet:)). Ironisnya, bohong itu sendiri juga dosa. Mengapa saya begitu yakin dengan pernyataan saya di atas? Itu sudah jelas, dalilnya gamblang, “Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah) Hanya para Nabi dan rasul yang ma’shum (dijaga oleh Allah dari dosa) sehingga langsung diingatkan begitu melakukan dosa/kesalahan, selain mereka tidak. ~ 93 ~ ~Mencari Makna~ Termasuk kita. Meski sudah bergelar da’i, aktivis atau ustadz, bukan berarti kita lepas dari godaan setan dan hawa nafsu. Iman ada naik dan ada turun. Setiap kita lengah dan jauh dari-Nya maka saat itulah setan dan hawa nafsu memegang kendali menggiring kita pada kemaksiatan. Setan punya cara-cara khusus untuk menggoda orang-orang yang pemahaman agamanya lebih tinggi. Cukuplah itu kita pahami dan tidak saya panjang lebarkan di sini. Saya punya penekanan lain untuk artikel ini. Di sisi lain, setiap dosa (baik besar maupun kecil) dapat terhapus dengan taubat. “Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari sebelah barat, maka Allah menerima taubatnya.” (HR. Muslim) “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (Q.S. Al-Anfâl:38 ) ~ 94 ~ ~Mencari Makna~ Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran. Kesadaran bahwa semua orang bisa dan mungkin berbuat dosa, sekaligus bisa pula diampuni dosanya dengan bertaubat. Kesadaran ini akan membawa kita pada penilaian yang lebih adil kepada obyek dakwah. Tidak memandang mereka sebagai pendosa mutlak, atau ahli neraka, sedang kita sebaliknya adalah ahli surga. Ini juga akan mencegah kita dari sikap menghakimi, kemudian beralih pada sikap membimbing dan mengayomi. Setiap orang berhak atas kesempatan kedua/second chance untuk kembali ke jalan-Nya sebelum nyawa sampai di tenggorokan. “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan menerima taubat seseorang, sebelum nyawanya sampai di tenggorokan (sebelum ia sekarat).” (HR. Tirmidzi). Jangan sampai kita yang bukan siapa-siapa ini menutup kesempatan itu karena pandangan picik hitam dan putih belaka. ~ 95 ~ ~Mencari Makna~ Tugas da’i bukan tuding sana, tuding sini dengan tuduhan kafir, sesat, ahli neraka, ahli bid’ah dan sebagainya. Tidak! Jangan merasa kewajiban dakwah antum telah selesai dengan memvonis manusia begini dan begitu. Tugas dan kewajiban da’i adalah menyeru agar merekamereka yang telah jauh melenceng dapat kembali lagi ke jalan yang lurus. Melalui hikmah, perkataan yang baik dan dialog yang nyaman. Ingatlah bahwa seorang da’i sejatinya bersemboyan, ” nahnu minhum, nahnu lahum, nahnu ma’ahum” yang artinya, ” kami berasal dari kalian, kami ada untuk kalian dan kami bersama kalian”. Menjauh dari obyek dakwah dengan alasan untuk mensucikan diri, atau mengecap obyek dakwah sebagai orang kafir, sesat dan ahli neraka, lalu sibuk dengan diri sendiri jelas bertentangan dengan semboyan ini. Semoga kita semua diberikan keistiqomahan untuk selalu menyerukan kebenaran, dengan cara-cara yang benar pula. ~ 96 ~ ~Mencari Makna~ z Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang zalim. (QS. Asy Syuura: 40) pq ~ 97 ~ ~Mencari Makna~ Jika Noura tetanggamu apakah kau akan menjadi Fahri untuknya? Tokoh bernama Noura muncul dalam Novel Best Seller karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam novel itu Noura dikisahkan sebagai seorang gadis mesir cantik yang kerap disiksa keluarganya. Fahri - tokoh utama dalam novel ini - menolongnya lewat bantuan seorang gadis mesir lain beragama kristen koptik bernama Maria. Selanjutnya lewat Nurul, salah seorang mahasisiwi Indonesia, Noura ~ 98 ~ ~Mencari Makna~ dititipkan kepada seorang ustadz dan diberikan advokasi. Menariknya, baik Noura, Maria, maupun Nurul ternyata sama-sama memendam cinta kepada Fahri. Hmm... Tapi ini bukan resensi novel, jadi saya tidak akan meneruskan cuplikan kisahnya. Kita hanya akan mengambil pelajaran dari sini. Bukan masalah romantismenya yang akan kita bahas, tapi tentang kepedulian Fahri. Keberaniannya untuk bertindak. Itu yang langka saat ini. Saya sendiri bahkan tidak yakin saya punya keberanian itu. Antum? Coba saja, berandai-andai, jika tetangga depan rumahmu, sebelah rumahmu atau dekat kos-kosanmu, adalah seorang akhwat muslimah yang berusaha menjaga kehormatan dirinya, lalu ia dianiaya sebagaimana Noura. Oleh ayahnya sendiri, atau kakak laki-lakinya atau pamannya, mampukah antum menjadi Fahri baginya? Saya tidak yakin. Bahkan saya tidak yakin kalo antum bisa tahu ada kejadian itu karena terlalu disibukkannya diri antum dengan masalah-masalah dakwah. Masalahmasalah ummat kata antum. Seakan apa yang terjadi di sebelah rumah antum itu bukan masalah ummat! ~ 99 ~ ~Mencari Makna~ Oh..., saya sebenarnya sedang memaki diri saya sendiri. Menghujat kekerdilan diri saya sendiri. Kelemahan iman saya, yang hanya mampu menolak dengan hati, tidak lebih. Bahkan ketika mengandaikannyapun saya merasa tidak mampu, apalagi jika benar terjadi, atau bahkan memang terjadi?! Lalu antum? Saya berharap antum jauh lebih baik dari pada saya. Karena Noura dalam novel itu lahir bukan dari sekedar imajinasi, ia adalah potret nyata wajah dunia Islam saat ini. Bisa jadi Noura yang sebenarnya ada di sekitar kita, menunggu seorang Fahri yang akan berbuat sesuatu untuknya. Adakah itu adalah antum? Kita?! Pun dengan antunna, para akhwat muslimah. Da’iyah! Akankah antunna mampu menjadi Maria yang melindungi Noura di rumahnya, yang mengusap air matanya, hal yang tidak bisa dilakukan Fahri untuknya. Padahal antunna jelas jauh lebih mulia dari Maria, antunna muslimah, Maria kristen! Tapi sanggupkah antunna berbuat sebagaimana yang ia lakukan? Cukupkah bagi kita menasehatkan kesabaran pada Noura-noura itu? Meminta mereka untuk terus bertahan terhadap siksaan yang terus mengancam. Adakah ~ 100 ~ ~Mencari Makna~ memang saat ini kita selemah itu?! Adakah kita sesedikit itu?! Sesedikit jumlah kaum muslimin pada masa ta’sis di mekah yang diminta Rasulullah terus bersabar? Atau kita sebenarnya jauh lebih besar dari itu, tapi membuih, tidak berdaya. Jikapun kita memang sesedikit itu, selemah itu, tidakkah ada di antara kita seorang Umar yang akan berkata, ” Bukankah kita dalam kebenaran ya Rasulullah? Bukankah engkau utusan Allah ya Rasulullah?” kemudian menampakkan kebenaran di hadapan musuh-musuh Islam dengan gagah. Adakah? Bisa jadi apa yang terjadi pada Noura telah terdengar oleh telinga kita sejak lama. Telah mengusik jiwa kita sejak lama. Mungkin pula kita telah menolak kemungkaran itu dengan hati kita sejak lama. Tapi cukupkah itu? Cukupkah untuk membuktikan kecintaan kita pada-Nya? Saya takut Allah akan menghukum kita karena ini, menjadikan dosa atas diam kita ini. Karena bisa jadi sebenarnya kita mampu berbuat lebih, tapi urung kita lakukan. Karena kita takut. Akuilah. Karena kita takut. ~ 101 ~ ~Mencari Makna~ Padahal baru saja kemaren kita bilang kita hanya takut pada-Nya. Mungkin saatnya kini untuk bertindak. Berbuat sesuatu untuk Noura. Tidak cuma dengan hati. Mungkin, ada cara setelah do’a untuk membebaskan Noura! Semoga Allah bukakan jalan itu pada kita. Bagi kita yang peduli. ~ 102 ~ ~Mencari Makna~ z Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri, (QS. Al-Hadiid : 23) pq Bukan siapa yang bicara Di antara manusia – bisa jadi kita – ada golongan yang susah untuk dinasehati. Ketika seseorang datang padanya untuk menyampaikan tausiyah, alih-alih mendengar dan menyimak dengan seksama golongan ini justru sibuk mencari-cari kelemahan si penyampai nasehat. Dalam benak oknum ini – yang sekali lagi bisa jadi di antaranya adalah kita – muncul kata-kata seperti ini, ~ 103 ~ ~Mencari Makna~ “ Siapa sih loh? Udah ngerasa suci? Lebih suci dari gue gitu? Sok ngasih tahu segala!” atau barangkali seperti ini, “ Lha kamu sendiri kan lebih parah lagi, kamu kan suka begini, suka begitu, kamu tuh gak pantes ngasih nasehat, urusin aja dirimu sendiri dulu, ngapain aku ikutin kata orang munafik macam kamu.” Atau yang lebih parah lagi mungkin seperti ini, “ Udah ngaji berapa lama sih? Aku tuh levelnya lebih tinggi dari kamu, baru juga ngerti agama udah belagu, emangnya apa sih amalmu selama ini? Amalku kan lebih banyak, karir dakwahku kan lebih lama, udah deh gak usah rese!” Ya, bisa jadi kata-kata ekstrim di atas tidak benar-benar terucap dari bibir mereka tetapi sesak memenuhi benak dan hati mereka lalu menyumbat telinga dan mengaburkan pandangan dari fakta kebenaran yang sedang terpapar di hadapan. Sedihnya, ‘mereka’ yang saya sebut-sebut di atas kadangkadang juga adalah ‘kita’ atau minimal saya deh supaya kesannya nggak nuduh. Jika ini sering terjadi pada kita, maka kita perlu mengingat kembali sebuah kisah yang tercantum dalam ~ 104 ~ ~Mencari Makna~ Kitab Shahih Bukhari tentang pertemuan Abu Hurairah dengan setan berikut ini. Abu Hurairah pernah ditugaskan Rasulullah saw untuk menjaga gudang zakat kaum muslimin dan memergoki seorang pencuri. Dua kali pencuri ini tertangkap oleh beliau tapi selalu mengiba minta dilepaskan karena alasan miskin dan punya banyak tanggungan keluarga. Tapi Rasulullah memberi tahu Abu Hurairah bahwa alasan itu hanyalah dusta, sehingga pada malam ke-tiga Abu Hurairah berniat untuk benar-benar menangkap pencuri tersebut dan menyerahkannya pada Rasulullah saw untuk dihukum. Namun ketika malam ke-tiga tiba dan pencuri itu kembali tertangkap, ia minta dibebaskan kembali dan sebagai gantinya ia akan mengajarkan beberapa kalimat yang menurut pengakuannya akan menjadikan Abu Hurairah mendapat keuntungan dari Allah swt. Pencuri ini berkata, “ Bacalah ayat kursyi sebelum tidur maka Allah akan menunjuk penjaga yang akan menjaga kamu hingga esok hari dan tidak akan ada setan yang bisa mendekatimu selama itu.” ~ 105 ~ ~Mencari Makna~ Ketka apa yang dikatakan pencuri tadi dilaporkan kepada Rasulullah saw keesokan harinya, Rasulullah bersabda, “ Dia sungguh telah mengatakan kebenaran meskipun dia adalah pembohong besar. Tahukah kamu kepada siapa kamu berbicara dalam tiga malam ini?” Abu Hurairah menjawab, “ Tidak.” Rasulullah melanjutkan, “ Ia adalah setan.” Nah saudara-saudara, bahkan setan pun bisa berkata benar lho. Atau dengan kata lain, kata-kata yang benar akan tetap benar meskipun yang menyampaikannya seorang pendusta. Jadi sebenarnya nggak penting apakah penyampai pesan itu seorang munafik, kafir, pendosa, bodoh atau gila, kalau yang ia sampaikan sesuai dengan kebenaran Al Qur’an dan Sunnah maka apapun yang ia sampaikan harus kita terima dan laksanakan. Dengan begitu kita tidak lagi punya alasan untuk menolak kebenaran karena ke-tidak sempurna-an penyampainya. Lagian siapa sih yang sempurna? Benar bahwa Allah murka kepada orang-orang yang menyampaikan kebenaran tapi mereka sendiri tidak mengerjakannya, tapi itu urusan si penyampai dengan ~ 106 ~ ~Mencari Makna~ Allah swt, bukan urusan kita yang sedang dinasehati. Soalnya dimurkainya si penyampai nasehat yang munafik misalnya, tidak akan menghapus kesalahan yang nyatanyata kita lakukan. Justru penolakan kita akan nasehat itu bisa menambah murka Allah ke kita. Sekarang mari kita lihat kondisi hari ini. Sekarang ini di mana-mana bermunculan ustadz-ustadz dadakan. Pengisi-pengisi kultum amatiran. Yang entah benar-benar tahu agama atau tidak, yang entah benar-benar mengamalkan apa yang mereka katakan atau tidak, tapi sesungguhnya itu tidak begitu penting. Karena jika apa yang mereka sampaikan memang bersesuaian dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka wajib bagi kita untuk mengamalkannya tanpa kecuali. Semoga Allah menjadikan kita hamba yang mampu mentaati perintah-Nya dalam segala kondisi. ~ 107 ~ ~Mencari Makna~ z "Katakanlah ( Muhammad) : jika ayah-ayahmu, anakanakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu, harta kekayaanmu yang kamu perolehnya, perniagaan yang kamu kuatirkan merugi serta rumah-rumah tempat tinggalmu yang kamu senangi, itu lebih kamu cintai daripada cintamu kepada Allah dan Rasul serta berjuang di jalan Allah, maka nantikanlah sehingga Allah akan mendatangi keputusan-Nya. ( Q.S. At Taubah: 24) pq ~ 108 ~ ~Mencari Makna~ Qurban untuk Cinta Hakikat pengorbanan adalah merelakan sesuatu yang kita cintai untuk sesuatu yang jauh lebih kita cintai. Ini memang bukan pernyataan para ulama, alias karangan saya sendiri, tapi saya tidak yakin antum punya alasan untuk membantahnya. Dasar saya sangat jelas. Mari kita tengok beberapa fakta sejarah untuk membuktikannya. ~ 109 ~ ~Mencari Makna~ Kisah Habil dan Qabil Saat mereka berebut calon istri, sang Ayah memberi solusi dalam bentuk pengorbanan. Siapa yang mampu mempersembahkan kurban yang diterima Allah swt akan mendapatkan sang gadis pujaan. Lalu Qabil marah dan membunuh Habil karena kurban busuknya ditolak Allah swt. Allah lebih menyukai unta gemuk yang dikorbankan Habil. Berikut bagaimana Al Qur'an menggambarkan kisah tersebut: Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa (Q.S. Al Maidah: 27) Sebenarnya bukan unta gemuk atau gandum busuk yang jadi masalah dalam persitiwa pengorbanan kedua anak Nabi Adam tersebut, tapi keikhlasan untuk memberikan ~ 110 ~ ~Mencari Makna~ yang terbaik dan kepatuhan pada perintah Allah-lah yang jadi ukuran. Buktinya ayat Al Qur'an yang lain berbunyi, Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (Q.S. Al Hajj: 37) Kontes yang digelar Nabi Adam as waktu itu sesungguhnya bukan kontes antar "barang persembahan", gandum atau unta, bukan itu. Tapi ia adalah kontes ketaqwaan antara kedua manusia. Siapa kiranya yang lebih mencintai Allah saja. Akan halnya Habil, ia merelakan hewan ternak terbaiknya, salah satu harta yang ia cintai, untuk dikurbankan pada Allah, dzat yang jauh lebih ia cintai. Sedang Qabil hanya berkonsentrasi untuk dengan mudah mendapatkan si cantik yang telah lama diidamkan. Sejak awal, Qabil tidak memahami makna pengorbanan yang ia lakukan. Bilal dan batu besar Herankah antum pada kegigihan Bilal untuk bersikukuh pada pendiriannya menolak penyembahan berhala saat ~ 111 ~ ~Mencari Makna~ seluruh tubuhnya melepuh diatas pasir yang menyengat? Saat sebuah batu besar ditindihkan pada jasadnya yang semakin hangus menghitam? Tidak, jika kita memahami makna berkurban. Dengarlah apa yang Bilal bisikkan kala itu, " ahad.. ahad.. ahad.." Satu-satunya kata yang ia ketahui merepresentasikan Tuhannya Yang Maha Esa kala itu. Cintanya pada Tuhannya jauh melampui kecintaannya pada tubuh dan jiwanya sendiri. Bilal telah berkurban dengan satu-satunya hal yang ia miliki secara defacto (karena secara deyure seorang budak bahkan dianggap tidak memilki tubuh dan jiwanya sendiri). Abu Bakar dan seluruh hartanya Sekali lagi Umar kalah bersaing dari Abu Bakar dalam mencintai-Nya. Separuh harta yang ia serahkan sebagai biaya jihad pada Rasululah tiba-tiba seakan tak berarti kala Abu Bakar berkata mantap, " Kuserahkan seluruh hartaku dalam jihad ini ya Rasulullah." Harta yang sedemikian sulit ia cari dengan membanting tulang memeras keringat, harta yang menjadi sandaran hidup istri dan anaknya, tidak lagi bernilai bagi Abu ~ 112 ~ ~Mencari Makna~ Bakar dibanding apa yang sedang ia kejar saat itu. Cinta Allah swt. Ribuan Kisah lainnya Sumayyah berkorban dengan jiwa raganya, rela dibantai dengan keji, karena mencintai Allah di atas segalanya. Seorang pemuda dalam kisah Ashabul Uhdud (ingat, "uhdud" bukan "udud"), rela dieksekusi di depan umum untuk menegakkan kalimat Allah. Nyawa ditukar dakwah. Karena memang dakwahlah yang lebih berarti baginya. Nabi Ayyub yang tak pernah mengeluh saat virus penyakit kulit menggerogoti tubuhnya, Nabi Yusuf yang lebih memilih dipenjara, Rasulullah saw yang menolak tawaran menggiurkan Quraisy dan justru memilih diusir dan disiksa demi terus berdakwah. Semuanya adalah bentuk-bentuk pengorbanan agung. Melepas apa yang dicintai untuk sesuatu yang lebih mereka cintai. Demikian pula ketika Nabi Ibrahim harus menyembelih putra kebanggaannya. Kalau Allah tidak lebih beliau cintai, tak akan sanggup beliau menempelkan pisau itu di leher sang anak yang lama ia idamkan. ~ 113 ~ ~Mencari Makna~ Bagaimana dengan kita? Sudahkan kita mencintai surga di atas semua perhiasan dunia? Sudahkah kita menempatkan cinta Allah dan cinta Rasul di atas memprioritaskan cinta dakwah lainnya. Sudahkah di setiap atas kita aktivitas kehidupan? Semua pertanyaan di atas perlu dijawab dengan bukti amal perbuatan, bukan retorika. Maka dengarkanlah firman Allah berikut ini, “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (QS. At-Taubat : 111) Maha Suci Alah yang menguasai segala kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun”. (QS. Al-Mulk : 1-2) Maka manakah yang lebih kau cintai wahai manusia? Dunia atau Pencipta dunia? ~ 114 ~ ~Mencari Makna~ Rintik Biru Muhasabah ~ 115 ~ ~Mencari Makna~ z Allah tidak mencintai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An Nisaa’: 148) pq Tenggelam dalam keringat Satu hal yang harus kita pahami bersama. Bukan hanya bahwa tiada seorangpun di dunia ini yang sempurna, tetapi juga bahwa setiap orang niscaya akan atau pernah berbuat kesalahan dan dosa. Karena mereka yang ma’shum (dijaga dari berbuat dosa) itu hanyalah para Nabi dan Rasul. ~ 116 ~ ~Mencari Makna~ Ini bisa dibuktikan dengan menukil keterangan dari Rasulullah saw tentang nasib manusia di Padang Mahsyar kelak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menggambarkan bahwa setiap manusia kelak akan merasa malu dengan seluruh amal buruknya hingga masing-masing tenggelam dalam keringat saking malunya. Ada yang selutut, seperut bahkan sampai mulut sesuai kadar perbuatan buruknya. Hilanglah harga diri dan kepercayaan diri. Hilang sudah ketokohan dan figuritas. Yang tersisa hanya diri yang hina berlumur dosa. Dari al-Miqdad r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Didekatkanlah matahari pada hari kiamat itu dari para makhluk hingga jarak matahari tadi adalah bagaikan kadar semil saja." Sulaim bin 'Amir yang meriwayatkan Hadis ini dari alMiqdad berkata: "Demi Allah, saya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata mil itu, apakah ertinya itu jarak semil bumi ataukah mil yang ertinya alat untuk mengambil celak - dari tempatnya - guna celak mata." ~ 117 ~ ~Mencari Makna~ Rasulullah s.a.w. bersabda seterusnya: "Maka keadaan manusia-manusia pada hari itu adalah menurut kadar masing-masing amalannya dalam banyak sedikitnya keringat – yang keluar dari badannya. Di antara mereka ada yang berkeringat sampai di kedua tumitnya dan di antaranya ada yang sampai di kedua lututnya dan di antaranya ada pula yang sampai di tempat pengikat sarungnya yang ada di kedua lambungnya, bahkan di antaranya ada yang dikendalikan oleh keringat itu dengan sebenar-benarnya dikendalikan - yakni seperti kendali kuda yaitu keringat tadi sampai masuk ke mulut dan kedua telinganya." Ketika menyabdakan ini Rasulullah s.a.w. menunjuk dengan tangannya ke arah mulutnya." (H.R. Muslim) Dari sini kita akan menyadari bahwa salah satu nikmat terbesar yang diberikan Allah swt pada kita di dunia adalah tertutupnya aib diri dari pandangan manusia. Bayangkan jika Allah membuka seluruh aib kita. Masih beranikah kita menghadapi manusia, menghadapi mad’umad’u kita, menghadapi adik-adik kelas kita, menghadapi ~ 118 ~ ~Mencari Makna~ calon istri kita, calon mertua kita, dan seterusnya. Besar kemungkinan kita semua akan menjawab, “ Tidak!” Bayangkan jika Allah membuka aib para ustadz, para aktivis dakwah, para penyeru kebenaran, maka sudah tentu manusia akan berhenti mendengar seruan para penghasung dakwah itu karena merasa mereka sama kotornya dengan diri sendiri hingga tak pantas didengar lagi. Akibatnya rusaklah tatanan hidup manusia. Masingmasing berbuat tanpa tuntunan, tanpa kendali, dan makin terseret menuju kebinasaan. Kesimpulannya, tertutupnya aib adalah sangat urgen bagi keberlangsungan hidup manusia. Ada hadits menarik lain yang berkenaan dengan hal ini. Dalam hadits ini diterangkan bahwa barang siapa menutupi aib saudaranya di dunia maka Allah akan menutup aibnya di akhirat. Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tiada seseorang hambapun yang menutupi cela seseorang hamba yang lainnya di dunia, melainkan ia akan ditutupi celanya oleh Allah pada hari kiamat." (H.R. Muslim) Indah bukan?! Allah tahu bahwa manusia sangat egois, bahwa bisa jadi manusia akan berpikir untuk menutupi ~ 119 ~ ~Mencari Makna~ aib sendiri tapi di saat yang sama membeberkan aib orang lain untuk menunjukkan kemuliaan dan kelebihannya dibanding orang lain. Karenanya Allah membuat penawaran yang sangat elegan, “Jika ingin aibmu tertutupi, tutupilah aib saudaramu.” Kira-kira begitu kalau berempati disingkat. pada manusia Allah lain memaksa dengan manusia menyadari kelemahan diri. Sayangnya dalam praktek kehidupan sehari-hari kita kadang lupa dengan apa yang baru kita diskusikan di atas. Kecenderungan untuk membuka aib orang lain itu kadang begitu besar. Contoh kasus, saat melihat seorang ustadz dengan menggebu-gebu menyampaikan materi “Pernikahan Sakinah” seorang hadirin nyeletuk, “ Yee…, lha wong pernikahannya ustadz itu aja berantakan kok, tuh sekarang istrinya dua, istri mudanya selisih 20 tahun lho, sekarang aja udah jarang pulang ke rumah istri tua, anakanaknya gak keurus, masih mending keluarga saya …bla..bla..bla…” (ni hadirin tiba-tiba jadi pembicara kedua dalam kajian itu). Contoh lain, saat seorang murabbi kampus menyampaikan urgensi dakwah kepada para binaannya, ~ 120 ~ ~Mencari Makna~ salah seorang binaan berbisik pada sebelahnya, “ Lha mas itu kan udah tujuh tahun ini ada di kampus, gak lulus-lulus, kebanyakan kegiatan partai tertentu kayaknya, pembimbing skripsinya nyari-nyariin dia mulu tapi dia nggak pernah ngadep, emangnya partai penting, bukannya haram?! Kalo gue sih ...bleh..bleh..bleh…” (ilernya kemana-mana karena terus ngomong sambil bisik-bisik). Atau contoh yang ini, setelah seorang murabbiyah kampus menyampaikan materi “Sabar” beberapa oknum binaannya bergosip, “ Eh, denger-denger si Mbak kemarin proses nikah gagal lagi, kalo kuitung-itung udah tiga kali ini nih, yang terakhir malah sama ikhwan sekelasku, lebih muda tiga tahun, terang aja ditolak, kayaknya si Mbak emang butuh lebih banyak sabar, blup..blup..blup…” (semakin lama ngomong mulutnya makin berbusa). Ketiga contoh di atas tentu saja fiktif dan telah saya dramatisir sebagaimana biasa, tapi inspirasinya dari kejadian-kejadian nyata yang pernah saya temui, dan bukan tidak mungkin pernah anda alami dalam versi yang lain. ~ 121 ~ ~Mencari Makna~ Kira-kira apa sih yang didapat dari menyampaikan aib orang lain seperti contoh-contoh di atas? Walaupun misalnya aib dalam informasi-informasi itu benar, rasarasanya tidak mungkin kalo menyebarkannya menjadikan kita kelihatan lebih hebat atau lebih mulia. Jadi untuk apa membicarakannya? Apakah untuk melindungi para pendengar kajian? Dari apa? Dari kesalahan atau kemaksiatan sang tokoh? Omong kosong. Tidak ada orang yang mendapat dosa dari kesalahan orang lain kecuali orang itu yang nyuruh. Dosa sang tokoh ya tokoh itu sendiri yang nanggung. Apa yang musti dikhwatirkan? Siapa yang perlu dilindungi? Apa relevansinya antara aib si tokoh dengan kebenaran yang nyata-nyata sedang disampaikan si tokoh? Tidak ada. Sungguh tidak ada alasan apapun yang membenarkan kita membuka aib saudara kita dalam konteks-konteks di atas. Yang ada kita justru memperbesar peluang terbukanya aib kita di akhirat nanti. Kalau ternyata kesimpulan ini tidak juga menghentikan kita dari membuka aib orang lain, barangkali kita memang sudah siap untuk tenggelam bahkan mungkin berenang dalam keringat sendiri. Naudzubillahi min dzalika… ~ 122 ~ ~Mencari Makna~ z Dan mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari Tuhannya?" Maka katakanlah: "Sesungguhnya yang ghaib itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu (sajalah) olehmu, sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang yang menunggu (Q.S. Yunus :20) pq ~ 123 ~ ~Mencari Makna~ Aneh, sungguh aneh… Kalau ada yang pasti dalam kehidupan ini tentulah ketidak-pastian itu sendiri. Ya, siapa yang bisa memastikan apa yang akan terjadi setahun, sebulan, sehari, sejam, bahkan satu menit yang akan datang? Apakah kita yakin besok kita masih bernafas? Atau sebelum itu, apakah kita yakin masih ada esok? Sebenarnya tidak kan?! Anehnya kita sering bertingkah seolah kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan. ~ 124 ~ ~Mencari Makna~ Saat mendapatkan tugas, kita tunda pengerjannya karena yakin bisa diteruskan di lain hari. Saat digoda maksiat, kita tidak menolak karena yakin masih ada waktu untuk bertobat. Padahal sungguh, kita tidak memiliki pengetahuan akan apa yang akan terjadi. Jangankan kita, Rasulullah saw pun tidak memiliki pengetahuan akan masa depan kecuali atas apa yang diwahyukan padanya. Tercatat dengan akurat dalam Al Qur’an saat beliau saw ditanya oleh orang-orang Bani Israil tentang tiga perkara: Zulkarnain, Ruh dan Hari Kiamat. Kelalaian Rasulullah saw untuk mengucap “InsyaAllah” menjadikan tertundanya wahyu yang menjawab ketiga pertanyaan tersebut. Itu Rasulullah, orang yang paling dicintai-Nya, lalu apa jadinya dengan kita? Kita manusia biasa dari kumpulan manusia biasa-biasa saja, tapi begitu tenang saat mengobral janji tanpa mengucap “InsyaAllah”. Begitu santai untuk menunda tobat dan beternak maksiat. Aneh, sungguh aneh… Mungkin tak ada esok untuk merubah keanehan ini, maka rubahlah saat ini! ~ 125 ~ ~Mencari Makna~ z “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka” (Q.S. Ar Ra’du: 11) pq Cerita Lama Ada sebuah lelucon lama. Tentang seorang yang kehilangan sesuatu di sebuah ruangan yang gelap. Setelah mencari beberapa lama tapi tidak ketemu juga, akhirnya teman orang yang kehilangan tadi berniat ikut membantu, tetapi ia langsung merasa keheranan karena ternyata selama itu orang yang kehilangan tersebut justru mencari di ruangan yang berbeda. Ketika ditanyakan padanya, dengan enteng orang yang kehilangan ini ~ 126 ~ ~Mencari Makna~ menjawab, “ Kalo nyarinya di ruangan yang tadi susah ketemunya, soalnya gelap. Nah kalo di sini kan lebih mudah karena lebih terang!” Begitu ceritanya. Saya tidak tahu apakah antum tertawa, cuma tersenyum atau malah bingung setelah membaca cerita di atas, tapi sejak awal saya memang tidak berniat melucu dengan cerita tadi. Kadang-kadang, atau bisa jadi sering dalam hidup ini kita berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang kita hadapi dengan tindakan yang tidak rasional. Seolah kita berfikiran ‘yang penting usaha’. Tidak peduli apakah usaha itu akan membuahkan hasil, atau justru menjadikan kita capek dalam kesia-siaan. Tidak peduli apakah usaha itu semakin mendekatkan kita pada tujuan, atau semakin membawa kita jauh melenceng dari jalan kesuksesan. Mereka-mereka yang rajin ke dukun untuk minta pesugihan atau jodoh adalah salah satu contoh ekstrim dari apa yang saya maksud dalam paragraf sebelum ini. Hanya salah satu, dan itupun yang paling ekstrim menurut saya. Sesungguhnya ada sebuah contoh lain ~ 127 ~ ~Mencari Makna~ yang lebih dekat dengan keseharian kita, atau setidaknya saya. Dulu waktu masih kuliah saya merasa sangat tidak nyaman dengan jurusan yang saya ambil. Semakin lama bukan semakin tertarik tapi justru semakin muak. Karenanya, semangat belajar saya semakin menurun tiap harinya. Tentu hal ini berimbas kepada nilai yang saya dapatkan. Dengan semangat selembek itu wajar jika kemudian nilai saya tidak kunjung meningkat bahkan cenderung menurun di tiap semester (kecuali semester pendek). Sesungguhnya saya menyadari betul apa yang sebenarnya terjadi waktu itu. Tetapi alih-alih mencari jalan untuk meningkatkan ketertarikan saya pada jurusan saya itu, saya justru mencari kesibukan lain. Kesibukan yang saya pilih memang tidak buruk. Waktu itu saya menenggelamkan diri dalam aktivitas dakwah kampus dan berbagai organisasi kemahasiswaan. Saya berpikiran aktivitas ini jauh lebih bermanfaat daripada kuliah yang tidak saya senangi itu, malah manfaatnya nggak cuma di dunia tapi insya Allah di akhirat juga. Saya tidak bangga untuk mengakui bahwa waktu itu sebagian ~ 128 ~ ~Mencari Makna~ dari diri saya tengah melarikan diri dari masalah yang tak mampu saya hadapi. Saya tidak pernah menyalahkan dakwah dan tidak pula mengingkari banyaknya manfaat yang saya dapatkan dari aktivitas itu. Tetapi dalam hal permasalahan kuliah yang saya alami saat itu, menjadikan dakwah dan organisasi sebagai ajang pelarian tentu tidak bisa disebut sebagai prestasi. Memang betul, Allah akan menolong hamba-Nya yang menolong agama-Nya, tapi itupun harus disertai ikhtiar dan kemauan keras si hamba untuk keluar dari masalah. Masalah yang terkadang ia ciptakan sendiri. *** Nah, saya tidak menuduh, tapi bisa jadi di antara antum ada yang mengalami apa yang pernah saya alami. Jika iya, maka saya sarankan untuk segera kembali ke ruangan gelap itu dan carilah lilin untuk dinyalakan di sana, ketimbang menikmati terangnya cahaya di ruangan lain yang tidak akan membawa solusi bagi masalah antum. Untuk kasus saya, Allah memang pada akhirnya menurunkan pertolongan-Nya, berupa kesadaran bahwa ~ 129 ~ ~Mencari Makna~ segalanya tidak akan pernah baik-baik saja selama saya tidak pernah benar-benar berusaha memperbaikinya. Ketika saya mulai sadar dan serius kembali dalam perkuliahan (menyeimbangkan akademis dan dakwah), Allah kemudian mencurahkan berbagai kemudahan yang menghantarkan saya pada keadaan saya saat ini (mulai dari kemudahan judul skripsi, pembimbing yang motivatif, dan yang paling ajaib: perubahan kurikulum yang menguntungkan, he..he..). ‘Ala kulli hal, semua yang terjadi dalam hidup kita memang tidak perlu disesali tapi harus dievaluasi, untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa datang. Setuju? ~ 130 ~ ~Mencari Makna~ z Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya… (Q.S. Al Baqarah :286) pq ~ 131 ~ ~Mencari Makna~ Hamparan Kehidupan Seringkali saat berada dalam situasi sulit kita merasa seolah menjadi satu-satunya makhluk yang menderita di muka bumi. Tak jarang, kita merasa tidak akan pernah bisa keluar dari masalah itu. Gelisah, cemas dan mengeluh. Tapi waktu telah membuktikan bahwa semua dugaan kita itu selalu salah. Seperti saat kita belajar berjalan. Awalnya sulit dan hampir-hampir kita menyerah berusaha, tapi pada ~ 132 ~ ~Mencari Makna~ akhirnya bahkan kita mampu berlari dengan kencang. Seperti saat hari-hari awal OSPEK yang kita alami, selalu terasa berat dan memuakkan. Namun dikenang indah dan penuh warna setelah setahun berlalu. Manusia memang ditakdirkan bermasalah, lalu mengapa harus lari darinya? Hadapi dengan gagah. Toh penciptamu tak pernah menuntutmu selalu berhasil menaklukkan masalah. Ia hanya memintamu berusaha segenap yang kau bisa. Itu saja. Memang, inna ma’al ‘usri…yusra, bersama kesulitan ada kemudahan. Tapi itu sebenarnya juga berarti: bersama kemudahan akan selalu ada kesulitan! Hamparan kehidupan yang Allah bentangkan bagi kita sungguh teramat jarang datar dan mudah. Lebih sering ia mendaki, berkarang dan terjal. Jadi bermimpilah terus wahai pendamba kesenangan tanpa perjuangan. Bermimpilah, hingga ajal menjemputmu dalam kesia-siaan. Dan bagimu, para pahlawan peradaban, teruslah berjuang! Tiap tetes darah keringatmu akan bercucuran di timbangan amal, meninggikan derajadmu di sisi Pemutus Perkara yang paling adil. ~ 133 ~ ~Mencari Makna~ z Berdo’alah kamu kepada-Ku niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya, orang-orang yang enggan untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka dalam keadaan hina-dina”. (Q.S. Al Mu’min : 60) pq ~ 134 ~ ~Mencari Makna~ Mari Berdo’a Biasanya kalo pas kita dimintai bantuan seorang teman tapi lagi nggak niat pengen mbantu yang kita bilang adalah, "Afwan akhi kali ini saya cuma bisa mbantu dengan doa." Biasanya juga, setelah mendengar kalimat ini pihak yang meminta bantuan langsung manyun trus menggerutu, " Yee..sama juga bohong..!!" Ternyata kita sering meremehkan arti penting do'a. Padahal kita tahu persis semua dalil yang ada selalu menempatkan do'a pada posisi yang sangat penting. ~ 135 ~ ~Mencari Makna~ Yang paling mahsyur tentu hadits ini, “ Do'a adalah inti ibadah (addua' mukhul 'ibadah)”. Hadits riwayat Anas bin Malik ini sanadnya memang tidak sahih. Tapi ada hadits bersanad sahih yang isinya senada dengan hadits tersebut yaitu, “ Do’a adalah ibadah (addua’ huwal ibaadah)” yang diriwayatkan Nu’man bin Basyir. Sekarang coba kita renungkan. Kita tahu persis bahwa satu-satunya alasan diciptakannya kita dan jin adalah untuk beribadah kepada-Nya, nah kalau do'a adalah inti dari satu-satunya alasan itu kok bisa-bisanya ya dalam praktek kehidupan kita sering kita meremehkan do'a ini. Mungkin salah satu alasannya karena kita kurang yakin bahwa setiap doa kita pasti dikabulkan. Soalnya kita merasa jauh dengan pengabul doa itu, yaitu Allah swt. Padahal Allah sudah berfirman, " Wa idza saalaka 'ibadii 'annii fainnii qariib. Ujiibu da'watid da'i idza da'an." yang artinya kurang lebih, " Dan jika hambaku bertanya tentang Aku maka (katakanlah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permintaan hamba-Ku jika ia meminta." (Q.S. Al Baqoroh: 186) ~ 136 ~ ~Mencari Makna~ Amru Khalid sering menulis dalam bukunya kalau ayat ini menunjukkan bahwa syarat dikabulkannya doa itu sesungguhnya intinya satu: jika kita meminta, itu saja. Kalau kita meminta sungguh-sungguh dan yakin akan dikabulkannya doa itu, maka pasti akan dikabulkan. Jangankan kita, lha wong makhluk paling bejat yang pernah ada saja, yang terang-terangan menentang Allah swt saja, dikabulkan kok doanya. Ingat kisah iblis kan? Setelah menolak perintah sujud kepada Nabi Adam as, dia dihukum dikeluarkan dari surga dan hendak dimasukkan ke neraka. Waktu itu ia meminta tangguh kepada Allah hingga hari kiamat untuk menggoda manusia dan langsung dikabulkan bukan? Lihat, Iblis pun berdoa (meminta) kepada Allah dan dikabulkan. Jadi apa dong yang menjadikan kita kurang PD dengan doa kita? Benar bahwa itu semuapun memang sesuai rencana dalam takdir Allah, tapi bukankah seluruh kehidupan kita ini juga telah terencana dalam takdir Allah? Tapi kalau kita belum ngerasa PD juga untuk berdoa ya minta didoakan aja oleh orang-orang yang keliatannya lebih besar kemungkinan ~ 137 ~ dikabulkannya doanya. ~Mencari Makna~ Makanya ada baiknya menyimpan sebanyak-banyaknya nomor Ustadz di HP kita untuk kita mintai doa. Selamat berdoa. ~ 138 ~ ~Mencari Makna~ z “ Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar “ (Q.S. Ali Imran : 146) pq Aamul Huzni Rasulullah saw tentu sangat menyadari bahwa setiap orang pasti akan meninggal, bahwa tidak ada yang kekal di muka bumi ini. Beliau tentu menyadari, bahwa takdir yang Allah tentukan bagi makhluk-Nya adalah yang terbaik bagi makhluk itu. ~ 139 ~ ~Mencari Makna~ Beliau tentu juga sangat yakin, bahwa tiada cobaan yang diberikan Allah melainkan sesuai dengan kapasitas keimanan hamba-Nya. Rasulullah saw adalah manusia yang paling bertaqwa dan paling bertawakal kepada Allah di seantero jagad ini, sungguhpun demikian sejarah telah mencatat bahwa manusia yang paling mulia ini pernah mengalami masa yang paling menyedihkan hatinya. Aamul huzni adalah saat-saat dimana Rasulullah begitu terguncang jiwanya karena kehilangan dua orang yang paling beliau cintai. Abu Thalib dan Khadijah. Dua tokoh yang amat istimewa letaknya di hati Rasulullah saw. Abu Thalib memang seorang kafir hingga akhir hayatnya. Rasulullah saw tidak pernah menyangkal fakta bahwa Abu Thalib akan menjalani akhiratnya di neraka, meski begitu jasa Abu Thalib bagi perjuangan Rasulullah mendakwahkan Islam sesungguhnya memang tidak sedikit. Dengan tegar ia berdiri gagah membela keponakannya dari pembesar-pembesar kaumnya di kala tiada yang berani membela. ~ 140 ~ ~Mencari Makna~ Sedang Khadijah, ia adalah wanita yang dijanjikan surga atasnya. Ialah yang pertama kali beriman dengan apa yang dibawa Rasulullah. Menentramkannya di kala gelisah, menggelontorkan seluruh hartanya bagi perjuangan Rasulullah tanpa sedikitpun pernah mengeluh akan cercaan dan pandangan sinis kaumnya terhadap suaminya. Ia adalah ibu dari seluruh kaum muslimin. Maka ketika keduanya tiada untuk selamanya, manusia yang paling bertaqwa ini limbung juga. Terguncang jiwanya. Sedih, teramat sedih. Lihatlah betapa panjang masa kesedihan Rasulullah ini. Aamul huzni berarti tahun kesedihan. Jikalau masa ini hanya sebentar mungkin ahli sejarah akan menyebutnya sebagai yaumul huzni (hari kesedihan) atau syahrul huzni (bulan kesedihan) misalnya. Tetapi tidak, mereka menyebutnya sebagi aamul huzni karena begitu lama dan dahsyatnya kesedihan yang meliputi Rasulullah saw saat itu. Padahal ia – Rasulullah saw – sekali lagi adalah manusia paling bertaqwa, paling bertawakal kepada Allah swt. ~ 141 ~ ~Mencari Makna~ Lalu apa kiranya pelipur lara yang mampu menepis kesedihan yang dahsyat ini? Rihlah, barangkali itulah jawabannya. Tapi bukan sembarang rihlah. Ia haruslah rihlah yang amat istimewa, yang sangat ajaib, menakjubkan dan penuh hikmah. Rihlah ini kini kita sering sebut dengan Isra’- Mi’raj. Sebuah perjalanan ajaib dengan kendaraan ajaib (buraq) bersama pendamping terbaik (Jibril as). Sebuah perjalan yang mempertemukan Rasulullah dengan para pendahulu-pendahulunya yang juga pernah mengalami penderitaan serupa dalam mendakwahkan Islam. Sebuah perjalanan yang membawa Rasulullah terbang jauh, tinggi, meninggalkan segala permasalahan yang meresahkan hatinya. Tinggi sekali hingga ia bertemu dengan Zat yang paling ia cintai, Allah swt. Sebuah rihlah yang luar biasa, pelipur lara yang sempurna untuk kesedihan yang teramat dahsyat. *** Jadi wajar bagi kita untuk bersedih. Saat kita merasa begitu banyak cobaan yang mendera, begitu sulit dan rumit masalah yang harus diselesaikan. ~ 142 ~ ~Mencari Makna~ Wajar kalau kadang kita ingin berlari, terbang jauh dari semua masalah itu. Wajar saja, asal jangan keliru menyikapinya. Allah telah menurunkan rihlah untuk kita saat memperjalankan Rasululah dalam rihlah yang ajaib itu. Rihlah itu bernama sholat. Sebuah momen dimana kita bisa terbang, jauh tinggi, mengadu pada-Nya. Hanya pada-Nya. “Arihna bissholat..” Demikianlah yang sering Rasulullah ucapkan kepada Bilal saat memintanya untuk adzan. Kalimat itu bermakna, “ Istirahatkan kami dengan sholat…” ~ 143 ~ ~Mencari Makna~ z “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…” (Q.S. Ali Imran :159 pq ~ 144 ~ ~Mencari Makna~ Menutup Pintu Kekerasan Dialah Qabil... Entah apa yang ada dalam pikiran Qabil saat ia memutuskan untuk membunuh Habil, saudara kandungnya. Semuanya gara-gara satu masalah sepele, ayahnya hendak menikahkan Habil dengan gadis yang lebih cantik dari yang akan dinikahkan dengannya. Seorang gadis yang telah lama ia idamkan untuk menjadi istrinya. ~ 145 ~ ~Mencari Makna~ Dengki menjadikannya lupa diri, ia bunuh Habil. Tidak peduli, bahwa ini akan mencoreng nama ayahnya – Nabi Adam as - yang begitu mulia. Tidak peduli, bahwa ini berarti pembangkangan terhadap keputusan Allah yang lebih memilih persembahan Habil ketimbang persembahan busuknya. Qabil telah gelap mata! Maka ia terabadikan dalam Al Qur’an sebagai pioner pelaku kejahatan terhadap manusia (QS Al Ma’idah: 27-31). Ialah pencetus pembunuhan terhadap manusia untuk pertama kali. Mereka yang mencontoh Qabil Kini kita melihat penerus Qabil ada di mana-mana. Di koran yang kita baca, dalam tayangan televisi yang kita tonton, radio yang kita dengar, hampir tidak pernah sepi dari berita tentang kekerasan. Pembunuhan, penganiayaan, dan penyiksaan mewabah di masyarakat. Tayangan model SERGAP, BUSER, dan PATROLI seakan tidak pernah kekurangan berita. Selalu ada tersangka yang bisa dieksploitasi tiap harinya. Itu yang tertangkap, yang disiarkan media. Kenyataannya, kejadian semacam ini yang tidak terliput media jauh lebih banyak lagi, dengan modus operandi yang lebih rapi, lebih hatihati, sehingga sulit diajukan ke meja hijau. ~ 146 ~ ~Mencari Makna~ Beberapa waktu yang lalu kasus IPDN sempat booming. Setelah bertahun-tahun dianggap aman dari kekerasan (sejak kasus sebelumnya), tiba-tiba seorang Praja ditemukan tewas di tangan kakak kelasnya. Dihajar ramerame. Maka semua pihak seolah tidak mau ketinggalan mengecam kejadian itu, dengan berbagai motif. Ada yang benar-benar peduli, ada yang hanya ingin cari selamat agar tidak dianggap terlibat. Sayangnya, kecaman itu harus menunggu sampai jatuh korban. Padahal penyiksaan telah berjalan bertahun-tahun, tapi semua diam. Ketakutan. Baru ketika media memblow up isu ini, semua membebek berkomentar. Tidak lama berselang, dunia geger. Terjadi pembantaian massal di kampus Virginia Tech oleh seorang keturunan Korea berkewarganegaraan Amerika. Kejadiannya mirip film-film action di televisi. Sang pembunuh, mengenakan rompi layaknya tokoh-tokoh film action menembaki setiap orang yang ditemuinya dengan dua pistol yang digenggamnya. 22 orang tewas dalam sekejap, si pembunuh sendiri ikut mati, bunuh diri. Tampaknya orang ini benar-benar gila, karena di hari yang sama dengan waktu menjalankan aksinya, ia terlebih dahulu mengirim pose-pose dirinya memegang berbagai jenis ~ 147 ~ ~Mencari Makna~ senjata ke sebuah kantor pemberitaan. Lengkap dengan pidato sumpah serapah yang lebih didominasi makian, kata-kata kasar dan cabul. Narsis! Jauh sebelum dua berita terheboh di atas direlease, seluruh media informasi di tanah air telah dipenuhi aksiaksi kekerasan yang justru dilakukan oleh para polisi, profil manusia ketertiban dan yang seharusnya kemanan di menjadi simbol masyarakat. Cukup memalukan memang, karena motif-motifnya tidak jauh beda dengan motif orang kebanyakan. Rebutan cewek, dendam pada selingkuhan istri, dan sejenisnya. Polisi juga manusia? Benar juga sih... Jangan salahkan Setan (saja)! Apa yang telah mendorong mereka melakukan semua perbuatan bodoh itu? Qabil pasti tidak melakukan pembunuhan itu untuk mendapat gelar sebagai pembunuh pertama di dunia! Oknum Praja yang menghabisi adik kelasnya itu juga tidak bangga dengan apa yang telah mereka lakukan, terbukti mereka selalu menutupi wajahnya ketika diliput media. Bahkan Cho Seung-Hui, pelaku penembakan di Virginia Tech yang ~ 148 ~ ~Mencari Makna~ narsis itu juga tidak begitu bangga dengan apa yang telah ia lakukan. Kalau bangga, ia tidak perlu bunuh diri dong?! Setankah yang menyuruh mereka? Mungkin, tapi Al Qur’an tidak menyebut setan sebagai biang keladi peristiwa pembunuhan Habil. Lihat ayat 30 Surat Al Ma’idah, di situ disebutkan yang mendorong Qabil membunuh saudaranya sendiri adalah hawa nafsunya! Hawa nafsu yang ada dalam dirinya sendiri! Ini bukan berarti setan tidak punya andil sama sekali dalam peristiwa ini. Bisa jadi setan juga yang pertama kali membisiki Qabil untuk berbuat jahat, tapi bukan setan yang menjadikannya tega membunuh, melainkan hawa nafsunya sendiri. Hal serupa itulah yang juga terjadi pada pengikut jejak Qabil di atas. Biar antum paham, akan saya jelaskan cara kerja setan dalam menggoda manusia. Ini bukan pendapat saya sendiri lho, tapi kata ulama’. Setan tidak ingin manusia tergoda dengan satu macam maksiat, makanya setan menggoda manusia dengan berbagai jenis maksiat, tapi tidak terus-terusan. Cukup satu-dua bisikan. Selanjutnya hawa nafsunya yang bekerja, mendorong-dorong untuk mengerjakan bisikan itu. Kalau jiwanya sanggup melawan, ia tidak akan melakukan dosa itu. Tapi kalau ~ 149 ~ ~Mencari Makna~ jiwanya kalah, ia akan terjerumus pada dosa itu dan terus mengulanginya. Lagi, dan lagi! Sehingga setan tinggal santai-santai melihat sang korban mengerjakan dosa itu secara mandiri. Hikmahnya, jangan buru-buru menimpakan semua kesalahan pada setan untuk semua kemaksiatan yang kita lakukan, seolah kita tidak punya andil sama sekali dalam kesalahan itu. Instropeksi! Bisa jadi itu adalah keinginan hawa nafsu kita sendiri yang terlalu kita umbar, yang kebetulan dideteksi oleh setan dan dibesar-besarkan (bahasa jawanya: diobor-obori). Kitalah yang punya kontribusi terbesar untuk semua kemaksiatan yang kita lakukan, bukan setan! Jadi, banyak-banyaklah bertaawudz, tapi juga jangan lupakan pengendalian nafsu sendiri. Kalau bertaawudz tapi pikirannya selalu membayangkan yang tidak-tidak, selalu nyerempetnyerempet yang dilarang agama, ya nggak bakalan ngefek taawudznya! Ingat kata Malaikat Berbicara tentang kasus-kasus kekerasan yang telah dilakukan manusia, saya jadi teringat protes malaikat kepada Allah saat manusia pertama kali diciptakan. Kata ~ 150 ~ ~Mencari Makna~ mereka, ” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah ...” Tuh, bahkan malaikat aja nggak percaya ama kita! Bahkan malaikat pun menuduh kita sebagai biangnya kekerasan, jagonya menumpahkan darah?! (lihat QS. Al Baqarah:30). Tuduhan yang tidak sepenuhnya salah memang, wong kita sudah lihat buktinya. Tapi apakah memang cuma itu potensi kita sebagai manusia? Tidak, manusia bukan semata-mata sebagaimana yang dituduhkan para malaikat itu. Allah berfirman di ayat yang sama, ” Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Allah mengilhamkan dua kecenderungan dalam diri manusia: fujur dan taqwa, sebagai kelebihan bagi manusia dibanding makhluq lainnya. Agar mereka memilih dengan hatinya mana yang lebih selamat buat mereka dan menjadikannya mulia di mata Rabbnya. Allah memberikan dua kecenderungan itu untuk menilai perjuangan manusia dalam melawan hawa nafsunya. Untuk berjihad mengendalikan dirinya, sehingga mereka menemui-Nya sebagai syuhada’. Ya, ulama telah sepakat bahwa melawan hawa nafsu termasuk sebagian dari jihad, ~ 151 ~ ~Mencari Makna~ meski jihad yang paling utama tetaplah jihad dengan senjata melawan musuh-musuh Islam. Ambillah kuncinya! Maka inilah kunci untuk menutup pintu kekerasan di masyarakat kita: pengendalian hawa nafsu! Kalau kita sudah mampu mengendalikan nafsu dengan baik, setan bisa apa?! Gak bakalan mempan godaannya! Maka benarlah kata Hasan Al Banna, perbaikan negara dan penegakan khilafah Islamiyah tidak akan bisa tercapai tanpa perbaikan diri/ individu (islahun nafs) terlebih dahulu. Walau peraturan dibuat seketat mungkin, kalau masyarakatnya bermoral bobrok, tetap saja akan selalu terjadi kekerasan di masyarakat. Sebaliknya, jika setiap individu telah mampu mengendalikan nafsunya dengan baik, maka aturan tidak begitu dibutuhkan. Seperti umat Islam di bawah pemerintahan Abu Bakar As Shidiq, damai saja, sehingga Umar memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Qadhi (hakim negara) karena idak ada satupun kasus yang diajukan padanya. Wallahu a’lam. ~ 152 ~ ~Mencari Makna~ z ” Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kalian menafkahkan dari sesuatu yang kalian cintai “ (Q.S. Ali Imran: 92) pq Namanya Bairuha’ Ya, namanya Bairuha’. Begitu indah dan memikat hati. Sejuk, rimbun, luas, menghadap ke masjid Nabawi di Madinah. Dan yang menjadikannya lebih istimewa lagi adalah karena Rasulullah saw yang mulia pernah kemudian meminum airnya yang sejuk. ~ 153 ~ memasukinya ~Mencari Makna~ Bairuha’ adalah nama sebuah kebun kurma yang sangat dicintai Abu Thalhah, pemiliknya. Tapi tiba-tiba kebun yang begitu prestisius, berlokasi strategis dan bernilai sejarah tinggi itu menjadi tak bernilai sama sekali di mata Abu Thalhah ketika turun ayat berikut: ” Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kalian menafkahkan dari sesuatu yang kalian cintai “ (Q.S. Ali Imran: 92) Demi mendengar ayat di atas, Abu Thalhah segera bergegas menuju Rasulullah kemudian dengan serta merta menyerahkan Bairuha’ beserta segala isinya kepada Rasulullah untuk dipergunakan sebagaimana apa yang diperintahkan Allah kepadanya. Rasulullah yang bijak memuji tindakan Abu Thalhah ini tetapi menyarankan agar Bairuha’ dibagi saja kepada kerabat Abu Thalhah yang lebih membutuhkan. Maka dibagikanlah kebun itu kepada kerabat dan sepupusepupu Abu Thalhah yang berjumlah sekitar 70 orang. Masing-masing mendapatkan 200 pohon kurma! ~ 154 ~ ~Mencari Makna~ Kisah ini diriwayatkan oleh sahabat Anas ra dan dicantumkan oleh Imam Nawawi dalam Bab ke-37 Riyadhus Shalihin yang ditulisnya. *** Mari belajar dari kisah di atas. Mungkin kita telah sering berinfaq selama ini. Tapi sudahkah ia infaq yang berkualitas? Atau sekedar infaq “seikhlasnya” yang tidak begitu ikhlas?! Mari ingat kembali apa yang biasa kita masukkan di kotak-kotak infaq masjid kala jum’atan tiba itu. Adakah ia lembaran uang terbesar dalam dompet kita, atau sebaliknya? Yang paling baru cetakannya, atau yang paling kucel dan hampir robekkah ia? Atau mungkin kita terlalu sayang dengan yang lembaranlembaran itu hingga rela bersusah payah merogoh kantong celana yang paling dalam untuk menemukan kepingan uang logam terkecil bekas kerokan untuk diinfaqkan. Tak bosan-bosan kita ulang semboyan ini dalam kepala kita, ” tak apa kecil, yang penting kan ikhlas…” ~ 155 ~ ~Mencari Makna~ Ikhlas itu harus. Semboyannya juga tidak salah. Yang salah adalah jika mengidentikkan ikhlas dengan yang kecil. Menyamakan ikhlas dengan iseng. Menganggap ikhlas itu tidak harus dengan perjuangan. Ikhlas adalah perjuangan untuk menjadi murni. Dalam bertindak, dalam berbuat, dalam berkata, dalam beramal, dalam berinfaq. Ikhlas itu sangat dekat dengan pengorbanan. Dan bukan pengorbanan namanya jika tidak perih dirasa. Mari kita lihat perbandingan berikut, Pada suatu sholat jum’at seorang pengusaha dengan aset milyaran dan penghasilan bulanan ratusan juta memasukkan lembaran seribuan ke dalam kotak infaq. Ikhlas lillaahi ta’ala. Di belakangnya, seorang pedagang es cingcau dengan omzet duapuluh ribu perhari, dengan 3 anak dan satu istri, memasukkan selembar uang seribuan ke dalam kotak infaq. Ikhlas lillaahi ta’ala. Sama-sama ikhlas. ~ 156 ~ ~Mencari Makna~ Tapi apakah antum yakin nilai amal mereka juga sama di hadapan Allah yang Maha Kaya?! Tentu tidak sama! Jika sama saja, tentu Umar tidak perlu menyesal karena tidak sanggup menyaingi Abu Bakar yang berinfaq dengan seluruh hartanya, sedangkan ia hanya mampu berinfaq dengan separuh harta. Jika sahabat rasulullah yang tidak diragukan keikhlasannya seperti Abu Thalhah, Umar, Abu Bakar berlomba kuantitas dalam berinfaq, tidakkah kita yang belum jelas kualitas ikhlasnya ini lebih berhajat untuk berinfaq sebanyak-banyaknya demi meraih ridha-Nya? Mari kita tengok ayat berikut ini, Bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu. (Q.S. At Taghabun: 16) Mastatho’tum dalam ayat di atas, atau yang dalam bahasa indonesianya artinya ’semampunya’ sering dimaknai salah menjadi ’semaunya’ atau ’seenaknya’. Dengan dalih ayat di atas, seorang aktivis dakwah yang sedang malas berangkat ngaji, memaklumi dirinya sendiri ~ 157 ~ ~Mencari Makna~ dan memutuskan tiduran di rumah daripada ngaji. Menurutnya, kan taqwa itu sesuai kemampuan… Dengan dalih ayat di atas pula seorang kaya hanya berinfaq sekedarnya karena ” takut tidak ikhlas ” kalau berinfaq lebih. Dalam hatinya, ” Toh taqwa itu sesuai kemampuan…” Tentu itu salah. Sesungguhnya bertaqwa sesuai kemampuan berarti kita dituntut beramal sekuat tenaga kita, sebanyak potensi yang dikaruniakan Allah kepada kita. Bukan semau kita. Mereka yang berkemampuan A namun hanya mau melakukan B menanggung dosa selisih kualitas A dan B (dengan catatan A lebih baik dari B). Demikian menurut Ustadz Anis Matta dalam buku Model Manusia Muslim. Maka marilah berlatih sejak saat ini untuk memberikan amal terbaik yang kita bisa dan berinfaq dengan yang terbaik dari yang kita cintai. Jangan lupa, untuk memulai langkah besar perubahan itu dari lingkup terkecil kehidupan kita. Keluarga dan kerabat. ~ 158 ~ ~Mencari Makna~ z “…Dan jika mereka berhimpun padu untuk memberikan sesuatu yang berbahaya kepadamu, pastilah mereka tidak akan mampu mendatangkannya kecuali sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Pena sudah terangkat dan lembaran tulisan sudah kering “ (H.R. Tirmidzi) pq ~ 159 ~ ~Mencari Makna~ Pena telah terangkat dan lembaran tulisan telah kering ” Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau ~ 160 ~ ~Mencari Makna~ yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz) “ (Q.S. Al An’am: 59) Dulu waktu masih getol-getolnya keranjingan menamatkan terjemah Al Qur’an, ayat ini menjadi salah satu ayat yang sangat memikat hati dan pikiran saya. Begitu puitis untuk menggambarkan kekuasaan Allah yang Maha Dahsyat. Jangankan apa yang sedang kita kerjakan atau katakan, sepotong daun yang tipis, ringan dan nggak penting pun jatuh dalam pengamatan Allah swt. Bayangkan! Setiap daun, dari jutaan bahkan milyaran daun yang berguguran di bumi ini diawasi oleh-Nya! Sedemikian dahsyat dan melekatnya pengawasan Allah terhadap makhluk-Nya. Tapi kita masih saja berpikir keras bagaimana mengkhianati-Nya tanpa ketahuan. Weleh…weleh… memang menakjubkan makhluk yang disebut manusia itu, kadang kegigihannya berbuat maksiat melebihi semangatnya Naudzubillah… ~ 161 ~ beribadah. ~Mencari Makna~ *** Saya masih ingin kembali ke ayat di atas, di antara bagian kalimatnya yang sangat menarik bagi saya adalah, “… dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” Perhatikan betapa luar biasa detail takdir yang telah Allah tentukan. Jadi keringnya pakaian yang sedang antum pakai saat ini, itu karena telah tertulis di kitab takdir. Begitupun jika ia sekarang sedikit basah karena keringat di bagian tertentu, itupun karena setiap serat kainnnya telah tercatat di kitab takdir dalam kondisi basah. Kalau basah dan keringnya pakaian saja ditetapkan oleh takdir. Tentu hal-hal besar seperti kondisi belum lulusnya antum saat ini, atau bekerjanya antum di sebuah perusahaan yang tidak antum nikmati, atau penghasilan antum yang segitu-gitu saja, atau belum ketemunya antum dengan jodoh, adalah hal-hal yang telah tertulis dalam takdir pula. Berangan-angan dengan kalimat, ” Wah, seandainya aku begini dan begitu tentu ini tidak aku alami…” dan ~ 162 ~ ~Mencari Makna~ kalimat sejenis itu tentu adalah perbuatan yang tak hanya sia-sia, namun juga berkategori syirik kecil. Takdir adalah kuasa mutlak Allah, ia adalah sesuatu yang telah terjadi dan tidak mungkin kita hindari dengan ikhtiar apapun, apalagi sekedar gerutu tak bermutu. Lalu apakah kita sebaiknya diam saja menunggu takdir Allah yang ditetapkan untuk kita? Siapa yang nyuruh begitu?!! Kita samakan dulu perspektif kita bahwa yang bisa kita sebut takdir adalah sesuatu yang telah terjadi, karena bagaimana mungkin kita menyebut sesuatu kejadian sebagai takdir jika kejadian itu sendiri belum ada?! Kalau sudah sama perspektifnya, maka kita akan paham bagaimana cara tepat menyikapi takdir, yaitu mencari nilai postif/hikmah dari setiap kejadian yang kita alami, merekamnya sebagai pengalaman, kemudian jika kejadian itu berdampak buruk/tidak kita sukai maka kita harus berikhtiar keras untuk keluar dari kondisi itu dengan titik tolak masa sekarang, bukan masa lalu. Karena sebagaimana pakaian tadi, jikapun saat ini pakaian anda ditakdirkan basah, bukan berarti dia akan ~ 163 ~ ~Mencari Makna~ selalu ditakdirkan basah sampai akhir zaman. Boleh jadi dia Allah takdirkan kering satu jam kemudian. Peran kita dalam perubahan takdir ini adalah berikhtiar menjemurnya di terik matahari. Tapi kita kan tidak tahu apa yang Allah takdirkan di masa datang? ! Justru itu! Karena kita tidak tahu, maka jangan pernah lelah berikhtiar dan berbaik sangka pada takdir Allah. Kalaupun takdir Allah di kemudian hari tidak merubah kondisi kita di dunia, ikhtiar kita telah bernilai di sisi Allah dan akan mendapatkan balasan yang adil di akhirat kelak. Ibnu Abbas RA berkata: “Pada satu hari aku berada di belakang Nabi Muhammad SAW, maka beliau bersabda: Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat:Jagalah baikbaik (agama dan perintah) Allah niscaya Dia akan memeliharamu. Jagalan baik-baik (agama dan perintah) Allah niscaya kamu akan menemukan Dia (menuntunmu) di muka. Apabila kamu bermohon, bermohonlah kepada Allah ~ 164 ~ ~Mencari Makna~ Apabila kami meminta pertolongan, mohonlah pertolongan itu dari Allah Ketahuilah bahwa ummat ini sekiranya mereka berhimpun padu untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat bagimu, pastilah mereka tidak akan mampu memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Dan jika mereka berhimpun padu untuk memberikan sesuatu yang berbahaya kepadamu, pastilah mereka tidak akan mampu mendatangkannya kecuali sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Pena sudah terangkat dan lembaran tulisan sudah kering“ (H.R. Tirmidzi) So, tidak perlu lari dari takdir – karena memang tak akan bisa – teruslah berjuang dengan sepenuh khauf wa raja’ pada-Nya. Harapan itu masih ada. ~ 165 ~ ~Mencari Makna~ z Dari Abu Hurairah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW, telah bersabda: “Bila seorang hamba telah meninggal, segala amalnya terputus, kecuali tiga hal : amal jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya” (HR. Bukhari) pq ~ 166 ~ ~Mencari Makna~ Sudahkah kita berilmu? Mari bicara tentang ilmu. Ada dua hadits tentang ini yang menarik untuk didiskusikan. Hadits pertama bunyinya: ” Mencari ilmu (thalabul ilmi) wajib hukumnya bagi etiap muslim.” Hadits kedua berbicara tentang amal jariyah, yaitu amal yang tidak terputus pahalanya walau seorang muslim ~ 167 ~ ~Mencari Makna~ telah meninggal dunia, di antara tiga amal itu rasulullah juga menyebut, ” … ilmu yang bermanfaat, …” Ini redaksi lengkapnya: Dari Abu Hurairah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW, telah bersabda: “Bila seorang hamba telah meninggal, segala amalnya terputus, kecuali tiga hal : amal jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya” (HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad). Dalam hadits yang pertama muncul kekhasan Islam dalam memerintahkan sesuatu, yaitu menekankan pada proses dan bukan semata-mata hasil. Hadits itu tidak menuntut kita jadi pinter kan? Hadits itu menuntut kita agar berusaha untuk pinter dengan segala daya dan upaya. Tapi kalau ternyata kenyataannya dalam ilmu tertentu itu kita nggak bisa pinter-pinter juga, kewajiban kita toh sudah tertunaikan. Soalnya tidak bisa dipungkiri bahwa tiap orang punya kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda dalam memahami suatu ilmu. Jadi kalo antum, misalnya udah kuliah di Sipil mati-matian tapi nggak mudeng-mudeng juga karena keterbatasan yang ada pada antum, maka tidak mengapa. ~ 168 ~ ~Mencari Makna~ He..he.. ketahuan kalo saya lagi nyari legitimasi ya… Tapi itu kalo kita cuma pengin lepas dari tuntutan kewajiban saja, coba lihat hadits kedua! Hadits ini menunjukkan tingkatan yang lebih tinggi dan tuntutan yang lebih tinggi pula bagi seorang muslim. Dalam hadits ini, kalo pengin dapet pahala yang tidak terputus sampe kiamat ada dua syarat (yang hubungannya sama ilmu): 1. Punya ilmu Tuh, tidak sekedar mencari, tapi harus dapet ilmunya. Artinya menguasai ilmu itu. 2. Ilmu itu bermanfaat Selaras dengan hadits lain yang bunyinya, ” Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.”Nah, coba refleksikan ke diri kita. Saat ini barangkali kita sudah cukup bersemangat mencari ilmu. Kuliah, baca buku, surfing internet, kajian, dsb. Bisa jadi kita udah lepas dari tuntutan hadits pertama (bisa jadi lho, soalnya kadang males juga kan berangkat kajian, kuliah and baca buku?). Tapi sudahkah kita mendekati keinginan hadits kedua? Untuk mengetahuinya kita perlu selidiki dulu dua hal di atas. ~ 169 ~ ~Mencari Makna~ Pertama, dari mana kita tahu kita telah berilmu? Di sekolah ada metode yang sering digunakan untuk menilai seberapa berilmunya kita. Betul, dengan ujian . Ujian memberi kita gambaran seberapa besar kemampuan kita dalam bidang yang diujikan itu, kecuali kalo kita nyontek atau curang. Sayangnya memang tidak semua ilmu bisa dideteksi kadarnya dari metode ini, mengingat begitu bervariasinya ilmu yang musti kita pelajari. Maka sebenernya ada metode yang lebih mudah, lebih murah dan lebih akurat menurut saya untuk mendeteksi kadar ilmu kita. Metode yang saya maksud sangat sederhana yaitu dengan menyampaikan “ilmu” tersebut ke orang lain. Sesederhana itu? Ya, memang sesederhana itu. Kalo antum tidak percaya, coba saja dengan pembuktian terbalik. Misalnya, bisakah antum menyampaikan kajian kepada ibu-ibu majelis taklim di sekitar rumah antum tanpa mempersiapkan materi terlebih dahulu? Jika sudah mempersiapkan materi, lancarkah penyampaian antum jika antum tidak memahami benar apa yang antum sampaikan? ~ 170 ~ ~Mencari Makna~ Lebih jauh lagi, dapatkah antum menjawab pertanyaan ibu-ibu itu terkait materi yang antum sampaikan jika antum tidak mendalami materi tersebut dengan serius hingga hapal di luar kepala? Saya yakin jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah “Tidak”. Ini berarti ketika kita mampu menjelaskan sesuatu hal (ilmu) dengan gamblang ke pihak lain, lebih-lebih secara interaktif, besar kemungkinan kita telah menguasai ilmu tersebut. So, kalau pengin mengukur kadar ilmu yang antum miliki, banyak-banyaklah melakukan presentasi dan diskusi. Presentasi dan diskusi tidak selalu harus dilakukan secara oral (lisan) lho, bisa juga dengan membuat tulisan baik berupa makalah, artikel ringan atau diskusi di mailing list. Nah, kalo sudah tahu apa saja ilmu yang kita kuasai maka kita perlu beranjak ke tahap berikutnya, yaitu mencari tahu seberapa bermanfaatnya ilmu kita tersebut bagi orang banyak. ~ 171 ~ ~Mencari Makna~ Seberapa bermanfaatkah ilmu kita ? Bicara manfaat, berarti bicara masalah amal nyata. Soalnya ilmu teoritis tak akan membuahkan manfaat sebelum terwujud sebagai amal. Jadi parameter evaluasinya lebih gampang nih, jika antum telah berhasil mengamalkan suatu ilmu yang antum pelajari maka insya Allah ilmu tersebut telah bermanfaat, kalau tidak untuk orang lain, minimal untuk diri antum sendiri dulu. Sebenarnya ada korelasi yang erat antara menyampaikan ilmu dan menjadikan ilmu itu manfaat. Dalam beberapa kondisi, ada ilmu-ilmu tertentu yang sulit kita kerjakan sendiri namun mudah bagi orang lain, sehingga manfaat ilmu tersebut baru muncul setelah kita sampaikan ke orang lain tersebut. Contohnya seorang Ustadz yang secara teori hapal betul ilmu tentang haji, tapi nggak ada biaya. Beliau sendiri tidak mampu mengamalkan ilmu itu, tapi dengan mengajarkannya kepada majelis taklimnya yang berlatar belakang ekonomi lebih baik, maka ilmu itu dapat dipraktekkan dan menjadi manfaat. Bisa juga sebuah ilmu berlipat ganda manfaatnya karena disampaikan ke semakin banyak orang. Misalnya ilmu ~ 172 ~ ~Mencari Makna~ tentang peduli lingkungan, seperti menanam pohon, memisahkan sampah organik dan anorganik, dll. Kalau cuma dilakukan segelintir orang manfaatnya belum terasa. Tapi saat seluruh dunia berpartisipasi, bumi menjadi jauh lebih baik. Jadi, jangan menunda diri untuk menyampaikan ilmu yang telah antum pelajari. Terus sebarkan, terus amalkan, sambil terus belajar. Sebagaimana firman Allah dan sabda Rasulullah berikut: “… Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Q.S. Ali Imran:79) ” Sebaik-baik kalian adalah siapa yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari) ~ 173 ~ ~Mencari Makna~ z “ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ” (Q.S. Asy-Syams :8-10) pq ~ 174 ~ ~Mencari Makna~ Maya dalam Nyata Sejak kecil hingga dewasa ini pastinya sudah ribuan kisah fiksi yang kita simpan dalam memori kita. Mulai dari dongengan ibu sebelum tidur, cerita bersambung di koran, komik-komik, dan yang paling banyak tentu dari sinetron atau film yang kita tonton. Meski setting dan alurnya berbeda, ada satu kesamaan umum dari semua kisah fiksi itu. Selalu ada tokoh protagonis dan antagonis. ~ 175 ~ ~Mencari Makna~ Semua kebaikan terwakili oleh protagonis, sedang antagonis menjadi simbol kejahatan mutlak. Hampir di semua kisah fiksi seperti itu. Ada memang yang keluar dari pakem ini, tapi pasti akan sangat sedikit bila kita hitung prosentasenya. Saya cuma mengira-ngira, bisa jadi ini ada pengaruhnya pada pembentukan karakter kita, setidaknya saya. Dalam kehidupan nyata terkadang kita memplot diri kita beserta orang-orang di sekeliling kita bagaikan penokohan dalam cerita. Lalu coba tebak siapa yang kita pilih sebagi tokoh protagonisnya? Tentu jawabnya jelas: kita sendiri! Maka tinggal ada dua pilihan buat yang lain: antagonis dan figuran (peran pembantu saya masukkan ke kategori ini). Ini menyebabkan kebanyakan kita – atau setidaknya saya – merasa menjadi tokoh paling penting di jagat raya. Benar atau salah tergantung pada penilaian kita. Baik atau buruk tergantung kesesuaiannya dengan selera kita. Karena kita adalah protagonis! Mereka yang berseberangan tentu adalah antagonis, buruk dalam segala halnya! Selainnya hanyalah figuran, nggak penting! Sering seperti itu bukan?! ~ 176 ~ ~Mencari Makna~ Saat terjadi sebuah peristiwa buruk dalam hidup kita dengan mudah kita menuding para ‘antagonis’ sebagai biang keladinya, tentu karena kita tidak mungkin berani menyalahkan sutradara! Sering pula kita mengabaikan para ‘figuran’ karena merasa mereka bukan siapa-siapa. Kita lupa. Dunia nyata tidak se-maya cerita. Nyatanya, tidak ada protagonis murni di dunia. Sesungguhnya setiap manusia adalah protagonis sekaligus antagonis. Demikian karena keburukan dan kebaikan diilhamkan oleh Tuhannya bersamaan dalam dirinya. Maka sejatinya tidak ada tokoh putih maupun tokoh hitam, semua jiwa adalah abu-abu. Ya, setiap jiwa adalah abu-abu! Sesungguhnya pula, bila kita menganggap yang lain figuran dalam kisah kita, tentu kita pun adalah figuran buat kisah mereka. Tak ada yang istimewa. Kita – terutama saya – ternyata bukan tokoh terpenting di jagat raya. Bukan pula seorang yang selalu benar dalam tindaknya. Bukan kumpulan kebaikan maha sempurna. Kita ini manusia biasa diantara lautan manusia biasa. Maka jangan berlagak seolah sebaliknya! ~ 177 ~ ~Mencari Makna~ Tentang Penulis Muhammad Yudhy Herlambang lahir di Semarang, hingga 10 SMU Kemudian September1984. dilalui di melanjutkan SD Boyolali. kuliah di Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2002 di Jurusan Teknik Sipil. Lulus tahun 2007. Berkenalan dengan Tarbiyah sejak kelas dua SMU pada waktu menjabat Ketua Umum ROHIS SMU “KARISMA”. Di kampus, terakhir menjabat sebagai Ketua Umum SKI FT UNS (Sentra Kegiatan Islam Fakultas Teknik UNS) periode 2004/2005. Sempat pula aktif di Lembaga Dakwah Sekolah “Kriya Mandiri” di Solo sebelum pindah ke Bekasi mulai tahun 2007 karena alasan pekerjaan. Aktivitas sekarang berwira usaha dengan teman-teman eks satu kampus di bidang Konsultan Struktur dan ~ 178 ~ ~Mencari Makna~ merancang bisnis-bisnis retail di Griya Utama. Selain itu menjadi Sekretaris Umum Dewan Pengurus Ranting PKS Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi Masa jabatan 2010 Telah menikah pada 9 Agustus 2009 dengan Wahyu Sabekti (yang fotonya di samping ini ^_^) dan kini tengah menunggu rizki berupa hadirnya keturunan yang saleh/salehah. Dapat dihubungi melalui email: [email protected]. Tulisan-tulisannya juga dipublikasikan di blog “Mencari Makna”, www.mencarimakna.wordpress.com. Jika antum merasa mendapatkan manfaat dari buku ini kemudian ingin memberikan dukungan kepada para penyusunnya, lantunkan doa kepada Allah yang Maha Kuasa untuk senantiasa memberikan keistiqomahan pada mereka. Antum juga bisa juga menyalurkan donasi ke rekening Bank Muamalat dengan nomor 9121665599 a.n. Muhammad Yudhy Herlambang (“ngarep mode” on ^_^). ~ 179 ~