Yudhy Herlambang – Mencari makna

advertisement
~Mencari Makna~
Judul Buku
Mencari Makna
~belum titik~
Penulis
Muhammad Yudhy Herlambang
Editor
Khonsa_ws
Setting, Layout & Design Cover
Muhammad Yusuf Ibrahim
Penerbit
Edisi Pertama
Januari 2010
________________________________________________
Edisi e-book ini gratis untuk dipergunakan bagi kepentingan non komersial,
dengan syarat tetap menyebutkan penulis dan penerbit aslinya. Hak cipta
hanya milik Allah, bukan berarti tidak harus menghargai daya pikir dan
usaha orang lain. Moga memberati timbangan amal kebaikan kita di akhirat.
___________________________________________________________
~1~
~Mencari Makna~
Daftar Isi
Daftar Isi 2
Pembuka Kata 4
Semburat Merah Jambu
Ada cinta 10
Ghadul bashar 24
Bagaimana Ikhwan dan Akhwat saling mencinta 38
Renungan bujang lapuk 47
Cantik dan tampan itu perlu 58
Istri saya itu 64
Dia dan cemburunya 68
Merahnya Jalan Dakwah
Surga dan Neraka 72
Dari para nabi hingga kita kini 77
~2~
~Mencari Makna~
Kepada para perindu Surga 83
Sudahkah kita pantas? 88
Kita da’i, bukan hakim 92
Jika Noura tetanggamu, apakah kau akan menjadi Fahri
untuknya? 98
Bukan siapa yang bicara 103
Qurban untuk cinta 109
Rintik Biru Muhasabah
Tenggelam dalam keringat 116
Aneh, sungguh aneh 124
Cerita Lama 126
Hamparan Kehidupan 132
Mari Berdoa 135
Aamul Huzni 139
Menutup Pintu Kekerasan 145
Namanya Bairuha’ 153
Pena telah terangkat dan lembaran tulisan telah kering
160
Sudahkah kita berilmu? 167
Maya dalam Nyata 175
Tentang penulis 178
~3~
~Mencari Makna~
z
Senyummu,
Gelakmu,
Bahagiamu,
adalah penyembuh dukaku
pq
Pembuka Kata
Bismillaahirrahmaanirrahim....
Buku ini, adalah hadiah baginya. Istri saya yang
pencemburu itu.
Ia yang tak pernah jenuh menentramkan gemuruh hati
saya dengan peluknya.
Ia yang selalu percaya segalanya akan menjadi lebih baik
di masa datang. Yang selalu menguatkan, saat kaki ini
terasa terlalu lunglai untuk melangkah, terlebih berlari.
~4~
~Mencari Makna~
Karena dirinya, melompat pun serasa ringan tak
berbeban. Meninggi dan terus meninggi menjangkau
rangkaian cita yang tak bosan kami impikan tiap hari.
Jikapun akhirnya, ada diantara cita itu yang tak mampu
tersentuh juga oleh jemari lemah ini. Saya tak akan
menyesal.
Karena ia masih di sini. Memandang dengan senyum
terkembang dan mata yang bercahaya. Setiap hari.
Terimakasih istriku, engkaulah tulang rusuk yang
ditakdirkan menguatkan dadaku...
Love u,
Pi
~5~
~Mencari Makna~
z
sejatinya,
hidup adalah rangkaian aktivitas mencari makna
pq
Ahlan wa sahlan...
Selamat datang saya ucapkan pada antum sekalian,
pengunjung belantara pencarian makna ini.
Mengapa Mencari Makna?
Karena sejatinya hidup adalah rangkaian aktivitas
mencari makna.
Makna di balik peristiwa, di balik kata, ucapan atau
perbuatan.
Makna di balik ayat-ayat yang ditebarkan-Nya di seantero
jagad ini maupun yang terkompilasi dalam Al Qur’an
yang mulia.
~6~
~Mencari Makna~
Seperti apa yang pertama disampaikan Jibril pada Sang
Nabi, ” Iqra’...!” bacalah, padahal Sang Nabi buta huruf,
karena yang dimaksud adalah membaca fenomena
kehidupan dan sosial masa itu.
Membaca. Mencari Makna!
Sebagaimana Ulil Albab yang berdiri, duduk dan
berbaringnya tak putus dari memikirkan ayat-ayat Allah
yang tersebar di seluruh penjuru semesta.
Menjadi Para Pencari Makna, sementara yang lain sibuk
sekedar menjadi Pencari Makan belaka.
Maka ijinkan saya membagi pencarian makna yang saya
lalui pada antum semua. Agar jika keliru, akan ada
saudara yang mengingatkan penuh hikmah. Dan bila
benar, menambah ketakjuban kita pada-Nya.
Dan dari takjub itulah semoga, kita mampu memuji dan
memuja-Nya dengan sepantasnya.
Muhammad
Yudhy herlambang
~7~
~Mencari Makna~
Semburat
Merah Jambu
~8~
~Mencari Makna~
z
Dari Salman Al-Farisiy, ia berkata :
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki seratus rahmat.
Lalu dengan satu rahmat darinya,
para makhluq saling kasih sayang diantara mereka.
Sedangkan sembilan puluh sembilan rahmat yang lain
untuk nanti hari qiyamat”.
(HR.Muslim)
pq
~9~
~Mencari Makna~
Ada Cinta
Kok cinta lagi?!!
Sama seperti antum, saya juga tidak begitu mengerti
mengapa tema-tema seperti ini – cinta dan yang semusemu merah jambu – selalu tidak habis dibicarakan di
kalangan aktivis dakwah. Padahal tulisan, seminar dan
diskusi mengenai tema ini sudah terlampau banyak
hingga tidak mungkin dihitung dengan jari kelabang
sekalipun. Tidak sedikit aktivis yang mencemooh tematema seperti ini karena menganggapnya cemen, tidak
produktif dan hanya memanjangkan angan-angan. Tapi
kenyataan di lapangan, novel dan buku dengan tema
~ 10 ~
~Mencari Makna~
beginilah yang paling laris diborong. Artinya, sebagian
besar aktivis – baik yang senior maupun junior – gemar
dengan tema semacam ini. Maka untuk membuka tulisan
ini, saya ingin menyampaikan kepada para penggemar
tema ini: ”Selamat menikmati!”. Sedangkan bagi para
pencemoohnya, saya ucapkan: ”Diam itu emas!”
He..he..he..
Cinta dan kita
Bagaimana
seorang
aktivitasnya?
muslim
Mereka
mengawali
senantiasa
setiap
mengucap,
”Bismillaahirrahmaanirrahiim”. Dari 99 nama yang Allah
miliki, Ar Rahman dan Ar Rahiim menjadi dua nama
yang paling sering disebut seorang muslim dalam
kehidupannya selain nama ”Allah” itu sendiri. Menarik
bukan? Karena dua nama itu berarti : Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Lihatlah betapa kasih dan sayang
senantiasa meliputi dan tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan
seorang
muslim.
Tidakkah
antum
merasakannya?
Jika Allah tidak bersifat rahman dan rahiim, tentu Ia
tidak
akan
memberikan
kita
rizqi,
tidak
akan
mengampuni dosa dan tidak akan memberi kita petunjuk.
Tanpa kasih dan sayang-Nya, bisa dipastikan kita tidak
~ 11 ~
~Mencari Makna~
akan mampu untuk hidup walau sekejap saja. Cinta-Nya
adalah alasan mengapa kita bisa hidup!
Ketika antum ditanya, ”Apa yang antum cari dalam
hidup ini?” Tentu dengan mantap antum akan menjawab,
”Ridho Allah swt!”. Tahukah antum bahwa ridho adalah
satu dari tanda-tanda cinta?
Kata ’cinta’ juga bisa antum temukan dalam definisi para
ulama tentang ibadah. Mereka mendefinisikan ibadah
sebagai sebuah kata yang mencakup segala hal yang
dicintai dan diridhoi Allah, berupa ucapan dan perbuatan
lahir maupun batin. Padahal bukankah tujuan penciptaan
manusia hanyalah untuk beribadah?! Maka sesungguhnya
akhi wa ukhti fillah, kehidupan kita ini hanyalah untuk
mencari cinta! Cinta Allah saja.
Dari sini saya membuat kesimpulan bahwa cinta adalah
sebab sekaligus tujuan kita hidup. Dengan catatan, cinta
yang sedang saya bicarakan ini adalah cinta Allah, bukan
cinta yang lain. Saya harap antum setuju dengan ini.
Tak akan ada cinta yang lain...
Antum sering membaca terjemah Al Qur’an? Pernah
ketemu ayat berikut ini?
~ 12 ~
~Mencari Makna~
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah.
(Q.S. Al Baqoroh: 125)
Atau yang ini,
Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudarasaudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan
yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah
lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari
berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan
keputusan-Nya".
Dan
Allah
tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
(Q.S. At Taubah: 24)
Dua ayat di atas menunjukkan betapa cinta itu hanya
pantas diperuntukkan bagi Allah swt. Perhatikan ayat
yang pertama, Allah tidak menyifati orang-orang musyrik
itu sebagai orang yang sama sekali tidak mencintai-Nya,
tetapi termasuk musyrik adalah ketika mereka mencintai
Allah dan mencintai yang lain dengan kadar cinta yang
sama. Lha kalau ’sama’ saja nggak boleh, apalagi kalau
lebih besar cintanya pada yang lain ketimbang cintanya
~ 13 ~
~Mencari Makna~
pada Allah, seperti di ayat kedua. Orang macam begini
diancam Allah dengan siksa.
Ada kata-kata hikmah yang cocok dengan masalah ini,
bunyinya kurang lebih: ” Hati hanya memiliki satu
rongga. Ketika ia telah terisi penuh dengan sesuatu maka
ia tidak akan bisa diisi dengan yang lainnya.” Para wali
Allah mengisi hati mereka dengan kecintaan yang besar
kepada-Nya sehingga tak ada tempat lagi di hati mereka
bagi dunia dan perhiasannya. Antum bagaimana? Kalau
yang sekarang rutin antum isikan adalah kecintaan pada
segala yang fana, berhati-hatilah, Allah bisa marah!
Karena Allah pencemburu
Benar, Allah itu pencemburu, dan bukan sembarang
pencemburu. Simak riwayat berikut,
Hadis riwayat Mughirah bin Syu’bah ra, ia berkata:
Sa’ad bin Ubadah berkata: Seandainya aku mendapati
seorang lelaki bersama istriku, maka aku akan menikam
orang itu dengan pedang tanpa ampun. Sampailah
ucapan Sa’ad tersebut ke telinga Rasulullah saw, lalu
beliau
bersabda:
Apakah
kalian
kagum
dengan
kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, aku lebih cemburu
daripadanya dan Allah lebih cemburu lagi daripadaku.
~ 14 ~
~Mencari Makna~
Demi kecemburuan itulah, maka Allah mengharamkan
segala kejahatan baik yang tampak maupun yang
tersembunyi. Tidak ada yang lebih cemburu daripada
Allah, dan tidak ada seorang pun yang lebih menyukai
pengampunan daripada Allah. …”
Nah, antum masih mau coba-coba bikin Allah cemburu?
Beberapa tahun yang lalu saya membaca resensi sebuah
film barat di suatu media cetak (saya lupa judulnya).
Ceritanya tentang seorang cowok yang memutuskan
pacarnya trus pacaran dengan cewek lain. Hebohnya,
cewek yang diputus tadi ternyata seorang superhero.
Maka untuk membalaskan sakit hatinya, cewek superhero
ini menggunakan kekuatan supernya untuk mengganggu
kehidupan
sang mantan
dan
merusak hubungan
asmaranya dengan pacar barunya.
Dari film fiksi yang bergenre komedi ini kita juga bisa
ngambil hikmah lho. Sederhana saja, kalau seorang cewek
berkekuatan super yang lagi cemburu saja bisa bikin
ruwet hidup seseorang sampe putus dari pacar, gimana
kalo yang cemburu ke kita itu Allah! Apa nggak mampus
loe?
~ 15 ~
~Mencari Makna~
Kalau mampus pun, nampaknya penderitaan belum akan
berakhir. Karena dengan otoritas-Nya sebagai Tuhan,
Allah akan tetap bisa menyiksa kita walau kita sudah mati
– dan justru siksa ini yang lebih berat, karena sifatnya
abadi! Whoaaaa ...!!!
Tapi antum juga tahu kan, kalo justru cemburu itu tanda
cinta?! Ya, Allah sangat mencintai kita, makanya
cemburunya juga luar biasa saat kita menduakan-Nya.
Mengapa Allah mencintai kita?
Ada analogi yang ditawarkan Amir Khalid dalam
bukunya – meski tidak bisa persis menggambarkan –
untuk menunjukkan alasan Allah mencintai kita. Seniman
yang menghasilkan karya masterpiece dengan tangannya
sendiri atau menulis sebuah cerita dan menerbitkannya
pasti akan sangat mencintai hasil karyanya. Sedangkan
Allah menciptakan Adam as – manusia pertama –
dengan kedua tangan-Nya sendiri (Q.S. Shad: 75), maka
tentu Allah sangat mencintai kita (dengan tingkatan yang
berbeda-beda, tergantung amal kita).
Anehnya, kita justru sering lari dari cinta Allah, menolak
cinta-Nya dan justru mengejar cinta semu dunia.
Astaghfirullah...
~ 16 ~
~Mencari Makna~
Bukti cinta Allah ke kita
Apa buktinya kalo Allah mencintai kita? Banyak.
Diantaranya,

Tidak menyegerakan azab
Allah tidak menyegerakan azab bagi hamba-Nya
yang berbuat dosa karena mungkin saja hamba
itu akan bertaubat. Allah tahu kalau kita suatu
saat akan tergoda juga berbuat dosa, tapi Allah
menunda
siksanya
untuk
memberi
kita
kesempatan. Mau bertobat sekarang?

Menerima taubat
Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa sih Allah mau
menerima
taubat
kita?
Kan
Allah
tidak
diuntungkan sama sekali dengan taubat kita itu?!
Bahkan digambarkan dalam sebuah hadits bahwa
Allah itu sangat gembira ketika hamba-Nya
bertobat, lebih dari gembiranya seorang musafir
yang
bertemu
kembali
dengan
hewan
tunggangannya yang hilang. Ini karena Allah
mencintai kita!

Melipat gandakan pahala kebaikan
Jujur deh, kalau dihitung secara matematis, kirakira banyak mana antara kebaikan yang kita
~ 17 ~
~Mencari Makna~
lakukan dengan dosa yang kita kerjakan? Bisa jadi
banyak dosanya. Probabilitas masuk neraka jadi
sangat
besar
bukan?!
Tapi
Allah
telah
menetapkan bahwa sebuah kebaikan bisa berlipat
pahalanya dari 10 sampai 700 kali. Lha wong
berniat baik saja sudah dapat 1 pahala! Sedangkan
niat buruk tidak dicatat kecuali setelah dilakukan,
itupun dihitung sebagai satu keburukan saja.
Kalau seseorang mengurungkan niat buruknya,
itu malah dicatat sebagai satu kebaikan. Begitulah
sabda Rasulullah dalam sebuah hadits riwayat
Bukhari. Masih ragu akan cinta Allah?
Dan masih banyak lagi bukti-bukti cinta Allah pada kita,
lengkapnya ada delapan di bukunya Amir Khalid. Kapankapan baca sendiri ya! Judulnya, Hati Sebening Mata Air
(Islahul Qulub). Btw, semua bukti cinta Allah pada kita
tadi seharusnya membuat kita malu sekaligus sadar, kalau
menolak cinta-Nya adalah sebuah tindakan yang paling
bodoh dan paling kurang ajar untuk dilakukan!
Supaya Allah tambah sayang ke kita
Ada orang-orang yang disebut wali Allah. Yaitu orangorang yang dicintai Allah lebih dari orang pada
umumnya. Ternyata mereka ini tidak selalu bersorban
~ 18 ~
~Mencari Makna~
dan bergamis panjang lho, bisa jadi di antaranya adalah
kita, kalau kita memenuhi kualifikasi wali Allah itu. Apa
saja kualifikasi itu bisa antum simak di hadits qudsi
berikut ini:
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, Allah
swt berfirman, ” Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka
aku serukan perang padanya. Dan tidaklah hamba-Ku
mendekat pada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik dari
apa yang Aku fardhukan baginya.
Dan hambaku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan
amalan-amalan sunnah, sampai Aku mencintainya. Kalau
aku sudah mencintainya, Aku adalah pendengaran yang ia
gunakan untuk mendengar; penglihatan yang ia gunakan
untuk melihat; tangan yang ia gunakan untuk memukul;
dan kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Kalau ia
meminta kepada-Ku, pasti aku kabulkan. Kalau ia
meminta perlindungan kepada-Ku, pasti aku lindungi.”
Hadits yang luar biasa indah bukan?! Maukah antum
menjadi salah seorang wali-Nya? Jangan cuma nganggukngangguk, segera penuhi syarat-syaratnya!
~ 19 ~
~Mencari Makna~
Ujian cinta
Tapi untuk menjadi wali Allah, harus siap pula mendapat
ujian cinta; dan tidak ada ujian cinta yang lebih berat
daripada yang dirasakan para Nabi. Yang akan saya
ceritakan di sini cuma beberapa saja.
Nabi Ibrahim as misalnya, ketika anak yang ditunggutunggu akhirnya lahir, lalu tumbuh menjadi bocah yang
lucu dan menggemaskan, Allah memerintahkan untuk
menyembelihnya. Inilah ujian cinta. Ibrahim as harus
membuktikan bahwa cintanya pada Ismail tidak lebih
besar dari cintanya pada Allah swt. Dan ia berhasil lolos
dari ujian itu, antum sudah hapal kelanjutan kisahnya.
Nabi Yusuf memilih dipenjara ketimbang memenuhi
keinginan seorang wanita. Wanita yang tidak cuma
cantik, tapi juga berkuasa, yang telah mengurungnya
dalam sebuah kamar tertutup, berdua saja, dan
memasrahkan dirinya untuk dizinai. Bayangkan! Eh,
jangan ding ntar antum ngeres lagi! Maksud saya, buat
antum yang laki-laki tulen pasti bisa membayangkan
beraaattnya menolak godaan macam begitu. Tapi Yusuf
lolos dari ujian ini karena cintanya pada Allah swt. Ketika
Allah telah cukup melihat bukti cintanya, akhirnya sang
~ 20 ~
~Mencari Makna~
wanita jadi miliknya juga kan?! Makanya, nggak rugi deh
milih cinta Allah.
Rasulullah saw pun demikian. Ketika beliau mulai agak
tergantung pada Khadijah ra dan pamannya – Abu
Thalib – Allah memanggil keduanya, hingga tiada lagi
tempat bersandar kecuali pada Allah saja. Tahun itu
menjadi tahun kesedihan bagi Rasulullah (aamul huzni),
namun Allah segera mendatangkan pelipur lara yang
dahsyat. Rihlah luar biasa: Isra’ dan Mi’raj. Dimana beliau
bertemu langsung dengan kekasihnya, Allah swt. Maka
sirna sudah semua derita itu.
Remehnya ujian cinta kita
Dibanding ujian cinta para pendahulu kita di atas,
barangkali ujian cinta yang kita hadapi saat ini – virus
merah jambu, merah saga dan sejenisnya – terlalu remeh.
Nyatanya, ujian yang remeh-remeh itu berhasil juga
mengeluarkan banyak aktivis dari jalan dakwah yang telah
lama ia tempuh. Jadi waspadalah! Karena maksiat bisa
terjadi tidak cuma karena ada niat, tapi juga kesempatan!
Sadar gitu lho, kalau kualitas kita itu jauh banget
dibandingkan para nabi, shahabat, tabi’in ataupun tabi’ut
tabi’in! Makanya jangan cari perkara!
~ 21 ~
Nyerempet-
~Mencari Makna~
nyerempet, main api, main mata. Karena nyerempet bisa
lecet, main api kebakar, dan main mata bikin buta!
Rasanya tidak perlu saya ceritakan kisah-kisah kelam para
mantan aktivis yang undur diri dari dakwah karena
masalah cinta semu. Soalnya saya khawatir, bukannya
membuat antum sadar, malah justru jadi inspirasi
tersendiri untuk melakukan penyelewengan jenis baru.
Cukuplah bagi kita untuk berhati-hati dengan diri sendiri.
Kenali apa yang paling mudah menyelewengkan antum
dari dakwah ini, lalu tinggalkan! Tidak ada jalan lain.
Maka mari saling mendoakan – saya dan antum – agar
kita diberikan keistiqomahan. Sebuah kata yang selalu
mudah diucapkan, namun sulit diamalkan. Sebuah kata
yang berhasil menumbuhkan uban di kepala Rasulullah
saw yang mulia. Sebuah kata yang teramat penting,
hingga disyari’atkan untuk diwasiatkan kepada kaum
muslimin setidaknya sekali setiap seminggu dalam
khutbah jum’at. Wahai saudaraku, amantu billah
tsummastaqim!
~ 22 ~
~Mencari Makna~
z
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
Allah swt berfirman,
” … Dan hambaku senantiasa mendekat kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunnah, sampai Aku
mencintainya. Kalau aku sudah mencintainya, Aku adalah
pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar;
penglihatan yang ia gunakan untuk melihat…”
(HR. Bukhari)
pq
~ 23 ~
~Mencari Makna~
Ghadul Bashar
Ada beberapa kisah legendaris yang tak pernah usang dan
senantiasa jadi bahan pembicaraan turun- temurun antar
aktivis dakwah kampus berkaitan dengan gadhul bashar.
Salah satunya adalah cerita dari murabbi saya berikut ini:
Suatu hari ketika seorang akhwat sedang berjalan seorang
diri, tiba-tiba dari arah berlawanan muncul seorang
ikhwan lengkap dengan atribut-atribut tanda keikhwanan
~ 24 ~
~Mencari Makna~
masa itu: jenggot, celana cingkrang dan sandal jepit.
Menyadari hal ini, sang akhwat langsung menundukkan
pandangan,
mengarahkan
tatapannya
pada
detil
permukaan jalan yang ia lalui sambil terus berjalan seolah
tak menyadari kehadiran sang ikhwan. Hal yang sama
dilakukan pula oleh sang ikhwan sehingga keduanya
berpapasan tanpa saling menyapa (karena emang nggak
saling kenal), berlalu begitu saja.
Namun tiba-tiba sang ikhwan dikagetkan oleh sebuah
suara jeritan pendek diiikuti bunyi gaduh gedebukan
nggak karuan. Refleks sang ikhwan menoleh ke arah
berlawanan yang diduga asal suara misterius tersebut, lalu
celingak-selinguk mencari sumber suara. Anehnya tidak
ada apa-apa. Lebih anehnya lagi, akhwat yang baru saja
berpapasan dengannya juga tidak kelihatan sama sekali.
Heran bercampur bingung, sang ikhwan pelan-pelan
menyusuri jalan ke arah yang diyakininya menuju sumber
suara misterius barusan. “ Siang hari bolong begini masak
ada setan?!” begitu barangkali pikirnya.
Baru beberapa langkah, terdengar suara lain dari arah
yang lain pula, masih di sekitar tempat itu. Yang ini
pelan, lebih mirip rintihan tertahan, asalnya juga bukan
~ 25 ~
~Mencari Makna~
dari jalan tapi dari selokan di samping jalan yang memang
cukup lebar dan dalam.
Antum sudah bisa menebak bukan? Ketika sang ikhwan
melongokkan kepalanya ke dalam selokan, dilihatnya
sang akhwat yang barusan berpapasan dengannya sedang
bersusah payah bangkit dari kondisi terjerembab yang
amat memilukan dan di saat yang sama memalukan
dengan adanya sang ikhwan sebagai saksi mata.
Akhir cerita, sang ikhwan kemudian membantu sang
akhwat keluar dari lubang selokan. Jangan tanya
teknisnya, karena emang saya nggak tahu dan memang
tidak dijelaskan dalam cerita. Juga tidak ada keterangan
yang menyebutkan setelah itu mereka menikah dan hidup
bahagia selamanya, emangnya ni dongeng Cinderella?!
He..he..he..
Cerita senada juga pernah terjadi di FISIP UNS entah
tahun berapa. Masih dari sumber yang sama –murabi
kampus saya – diceritakan bahwa di fakultas tersebut ada
sebuah lorong sempit yang biasa dilalui para mahasiswa
untuk menuju ruang kelas. Dalam cerita ini nasib naas
menimpa seorang ikhwan dan akhwat yang terpaksa
harus melalui lorong itu bersamaan dari arah berlawanan.
~ 26 ~
~Mencari Makna~
Karena kabur jelas tidak sopan dan memalukan, maka
keduanya hanya menundukkan pandangan saja sambil
terus menyusuri lorong dengan merapatkan diri ke
dinding yang berlawanan agar tidak tabrakan.
Dasar nasib, memang tidak terjadi tabrakan antara
ikhwan dan akhwat ini, tapi yang terjadi sang akhwat
justru berhasil menghantamkan kepalanya dengan sukses
ke kotak surat yang menempel pada dinding sebelahnya.
Tidak cuma sang akhwat yang shock berat, si ikhwan
juga kaget bukan kepalang. Yang berbeda dari cerita
sebelumnya, dalam cerita ini tidak terjadi drama
penyelamatan apapun dari sang ikhwan. Soalnya nggak
mungkin juga kan kalo tiba-tiba sang ikhwan nyamperin
akhwat
tersebut lalu mengelus dan
meniup-niup
benjolnya?! Huehehe… Peringatan! Kalimat terakhir
sebelum ini hanyalah imajinasi liar tidak bertanggung
jawab dan bukan dimaksudkan untuk dipraktekkan.
Huehehehe….
Entah kenapa, dalam cerita-cerita yang berkaitan dengan
gadhul bashar ini selalu akhwat yang jadi korban. Apakah
memang demikian adanya atau telah terjadi manipulasi
berita dari sumber cerita yang kebetulan ikhwan, saya
~ 27 ~
~Mencari Makna~
tidak tahu. Yang jelas saya sendiri pernah mengalami hal
serupa, masih dengan seorang akhwat sebagai korban.
Saya harus mengawali cerita ini dengan mendeskripsikan
lokasi tempat saya kuliah, Universitas Sebelas Maret
(UNS). Kampus Negri satu-satunya di kota Surakarta ini
seluruh areanya dikelilingi oleh pagar tembok setinggi
tiga meter dengan tebal kurang lebih tiga puluh
sentimeter. Mirip benteng pertahanan perang memang.
Hanya ada tiga gerbang utama untuk bisa keluar masuk
area ini. Gerbang depan yang ke arah gedung Rektorat,
gerbang belakang yang ke arah Masjid Kampus dan
gerbang samping yang menuju Fakultas Hukum. Tetapi
ada dua pintu kecil seukuran manusia yang ditempatkan
di dinding pembatas Fakultas Teknik, khusus bagi para
pejalan kaki. Peristiwa yang akan saya ceritakan
berlangsung di muka salah satu pintu kecil itu.
Pulang kuliah – ketika hendak kembali ke kos bersama
beberapa ikhwan melalui salah satu pintu kecil itu –
muncul beberapa akhwat jurusan lain dari pintu yang
sama, baru berangkat kuliah. Karena pintu itu hanya
muat untuk satu orang maka kami – para ikhwan – harus
menunggu akhwat-akhwat tersebut masuk terlebih
~ 28 ~
~Mencari Makna~
dahulu untuk bisa keluar, sambil menundukkan padangan
tentunya.
Masalah terjadi saat para akhwat menuruni undakan di
depan pintu. Kebetulan pintu yang ini letaknya memang
lebih tinggi dari muka tanah, makanya disediakan
undakan untuk bisa keluar masuk darinya.
Karena berusaha menundukkan pandangan, pijakan salah
seorang akhwat meleset sehingga jatuh terduduk, pasrah,
dengan wajah memelas – barangkali memohon dalam
hati agar kita-kita yang menjadi saksi mata tidak ketawa
ngakak atau sejenisnya – waktu pun seakan berhenti
untuk beberapa saat karena akhwat bersangkutan tidak
juga segera berdiri. Memulihkan harga diri yang sedikit
terdegradasi (semoga saja beliaunya tidak melihat
cengiran kegelian saya yang muncul lebih karena refleks
ketimbang kesengajaan untuk melecehkan, he..he..he..
afwan Ukh).
Dari ketiga cerita di atas, kira-kira kita belajar apa kali ini?
Bahwa ghadul bashar tidak perlu dan hanya membawa
celaka, baik fisik maupun psikis? He..he..he.., jelas bukan
dong! Bukan ke arah sana maksud tulisan saya ini.
Sampai kapanpun yang namanya ghadul bashar tetap
~ 29 ~
~Mencari Makna~
sangat penting untuk diamalkan, mengingat ia adalah
bagian dari syari’at Islam yang diturunkan Allah swt
untuk menuntun kita menuju hidup yang lebih bahagia di
dunia, juga di akhirat.
Cerita-cerita di atas sesungguhnya adalah upaya saya
untuk menunjukkan
betapa para pendahulu kita
sedemikian teguhnya menjunjung ajaran Islam yang satu
ini, hingga rela berkorban lahir ataupun batin demi
menjalankannya.
Meski
memang
nuansa
komedi,
sudut
pandang
yang
tetapi
ceritanya
lain
bisa
menganggapnya heroik. Setidaknya saya memandangnya
seperti itu, antum gimana?
Ngomong-ngomong, sebenernya dari mana sih kita tahu
ghadul bashar adalah perintah syari’at? Jangan-jangan
saya ngarang doang? Ya nggak dong, bisa dilihat di Al
Qur’an kok. Begini bunyi terjemahan ayatnya:
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan sebagian pandangannya,
dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah
lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang mereka perbuat".
(Q.S. An Nuur: 30)
~ 30 ~
~Mencari Makna~
Kemudian lanjutannya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah
mereka
menahan
sebagian
pandangannya,
dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.
Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lakilaki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka
miliki,
atau
pelayan-pelayan
laki-laki
yang
tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak
yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung.
(Q.S. An Nuur: 31)
Tuh bener kan ada perintahnya untuk menahan
pandangan. Di sini Allah memerintahkan kepada orangorang beriman yang laki-laki dalam satu ayat, baru
~ 31 ~
~Mencari Makna~
kemudian memerintahkan orang-orang beriman yang
perempuan di ayat berikutnya secara khusus. Cukup
istimewa, karena dalam perintah puasa, sholat dan zakat
misalnya, tidak terjadi pengkhususan seperti itu. Biasanya
Allah cukup menyebut bentuk jamak laki-lakinya saja
yang dalam kaidah bahasa arab memang sudah mencakup
kaum perempuan.
Kalau kita perhatikan lagi, kedua ayat di atas juga sangat
kontras. Pertama memang masalah panjangnya. Ayat
pertama – untuk laki-laki – pendek saja, tapi lihatlah ayat
untuk perempuan. Panjang bener! Kontennya juga beda.
Memang sama-sama memerintahkan ghadul bashar, tapi
penekanannya terasa beda.
Ayat kedua nampak lebih menekankan pada larangan
terhadap para perempuan untuk menampakkan aurat di
depan
laki-laki
ketimbang
perintah
menundukkan
pandangan itu sendiri. Atau kalau tidak boleh saya
katakan begitu, maka yang lebih tepat adalah; ayat kedua
mengandung tambahan khusus agar kaum perempuan
menjaga baik-baik auratnya dari pandangan laki-laki
bukan muhrim – hal mana tidak terdapat pada ayat
pertama. Seperti menegaskan bahwa keinginan laki-laki
untuk melihat ketelanjangan aurat wanita jauh lebih besar
~ 32 ~
~Mencari Makna~
daripada
sebaliknya.
Dan
bahwa
madharat
dari
terbukanya aurat wanita jauh lebih besar daripada
sebaliknya.
Tetapi ini bukan alasan bagi kaum wanita untuk
mengumbar pandangan, bukan pula hujjah bagi laki-laki
untuk memamerkan aurat, karena sesungguhnya perintah
menundukkan pandangan dan menutup aurat berlaku
sama bagi keduanya. Meski tidak bisa dipungkiri,
pandangan jelalatan laki-laki dan terumbarnya aurat
wanita secara bersama-sama akan mewujudkan bencana
dan musibah yang lebih besar ketimbang kalo yang
jelalatan itu wanita dan yang pamer aurat laki-laki.
Gampangnya, jarang kan antum denger kasus perkosaan
seorang wanita terhadap seorang laki-laki? Pasti jarang
banget!
Loh, ngomongin pandangan kok ujug-ujug nyangkut
perkosaan
Mas?
Jangan-jangan
cuma
dihubung-
hubungkan? Ya nggak dong, kan ada haditsnya kalo
pandangan tuh sebagian dari panah setan. Kebanyakan
dosa juga dimulai dari pandangan, terutama yang
berkaitan sama syahwat. Lalu bukankah dalam ayat di
atas menjaga pandangan juga langsung dikaitkan dengan
menjaga kemaluan?! Gampangnya lagi, pernah dengar
~ 33 ~
~Mencari Makna~
kasus perkosaan yang dilakukan seorang tuna netra?
Nggak kan? Tuna netra yang menikah dan berketurunan
memang banyak, tapi nggak ada kan yang memperkosa?!
Lha iya, lha wong dia nggak bisa ngeliat, setan jadi susah
menggodanya. Ribet juga kali ya teknisnya, he..he.. gak
usah dibayangin tapinya.
Lalu di mana saja, kapan saja, dan ke siapa saja kita musti
bergadhul bashar? Jawabnya persis seperti pertanyaannya:
di mana saja!
kapan saja!
ke siapa saja!
Karena setan menggoda kita tidak cuma di tempat
tertentu, waktu tertentu atau lewat orang tertentu. Maka
waspadalah..!! Waspadalah!!
Gadhul bashar sesungguhnya tidak harus dipahami
dengan selalu memejamkan mata tiap ada perempuan
lewat, atau terus-terusan menunduk ketika berjalan di
tengah banyak orang. Meskipun dalam kondisi-kondisi
tertentu hal-hal tersebut barangkali memang yang paling
tepat untuk dilakukan. Tapi kalo lagi nyetir mobil atau
motor terus merem (baca yang bener! ‘Merem’ lawan
~ 34 ~
~Mencari Makna~
‘melek’, bukan ‘mengerem’) kan bahaya. Atau misalnya
diajak ngobrol Bu Guru malah nunduk terus, kan jadi
nggak sopan.
Dalam kedua ayat di atas jelas-jelas ada kata “sebagian”,
bahasa arabnya “min”. Maka sesungguhnya sebagian
pandangan itu harus ditahan dan sebagian lagi tidak.
Pandangan yang berbahaya bagi iman jelas harus ditahan,
sedangkan yang darurat atau kebutuhan yang tidak
mengada-ada tidak mengapa, dengan tidak berlebihan
pula tentunya.
Pokoknya segala yang berlebihan pasti nggak baik.
Berlebihan makan, berlebihan minum, berlebihan tidur,
berlebihan puasa juga dilarang. Demikian pula berlebihan
memandang juga gak baik, walau ke hal-hal yang mubah.
Nggak percaya? Memandang wajah anak kecil mubah
kan?! Coba antum ambil seorang anak lalu pandangi
wajahnya selama satu jam terus menerus. Apa yang
terjadi? Dijamin pasti si anak nangis manggil bapaknya
karena takut antum pelototin, he..he..he..
Itu contoh kecil yang konyol, yang lebih serius buat
antum yang mahasiswa misalnya diskusi sama Bu Dosen.
~ 35 ~
~Mencari Makna~
Sesekali memandang wajah Bu Dosen untuk melihat
ekspresinya saat berbicara sebagai tanda memperhatikan
apa yang beliau bicarakan mungkin tak mengapa, tapi
kalau antum nggak berenti-berenti memandang, bisa
digampar juga antum sama ibu dosen karena dikira mo
macem-macem. He..he..he..
~ 36 ~
~Mencari Makna~
z
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu pula, katanya:
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman pada hari kiamat:
"Manakah orang-orang yang saling cinta-mencintai
kerana keagunganKu? Pada hari ini mereka itu akan saya
beri naungan pada hari tiada naungan melainkan
naunganKu sendiri."
(HR. Muslim)
pq
~ 37 ~
~Mencari Makna~
Bagaimana ikhwan dan akhwat
saling mencinta
Hanya ada dua macam cinta. Yang pertama, cinta yang
syar’i, yaitu cinta yang disebabkan karena Allah. Yang
kedua, cinta yang ghairu syar’i, yaitu cinta yang
disebabkan oleh selain Allah. Cinta yang syar’i ini
diperintahkan dalam Islam, bahkan ia menjadi syarat
~ 38 ~
~Mencari Makna~
kesempurnaan iman. Tengok Hadits Arbain ke-13
berikut ini,
Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik radiallahuanhu,
pembantu Rasulullah saw. Dari Rasulullah saw, beliau
bersabda: “ Tidak beriman salah seorang diantara kamu
hingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia
mencintai dirinya sendiri.”
(H.R. Bukhori dan Muslim)
Sedangkan cinta jenis yang kedua itu batil dan tidak
memberi manfaat, bahkan ia adalah sifat orang-orang
musyrik.
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya
sebagaimana mereka mencintai Allah.
(Q.S. Al Baqoroh 125)
Lihat, dalam ayat itu Allah tidak menyebut orang-orang
musyrik sebagai orang yang sama sekali tidak mencintaiNya, tetapi mereka itu mencintai yang lain sebagaimana
mereka mencintai Allah! Kalo mencintai sesuatu dengan
kadar cinta yang sama kepada Allah saja nggak boleh,
~ 39 ~
~Mencari Makna~
apalagi mencintai sesuatu lebih dari cinta kita kepada
Allah?! Antum bisa lihat Q.S. At Taubah: 24 untuk
mendapat jawabannya.
Dari sini kita mendapat satu kaidah bahwa dalam saling
mencinta, orang-orang mukmin tidak boleh keluar dari
koridor ’cinta karena Allah’. Maksudnya, kita mencintai
sesuatu atau seseorang karena hal-hal berikut ini:
-
Allah memerintahkan kita untuk mencintainya
-
Allah mencintainya
-
Mendekatkan kita pada Allah
-
Dalam batasan yang Allah tetapkan
-
Agar kita dicintai Allah
-
dan alasan lain setipe dengan lima hal di atas
Akibatnya, aplikasi dari kata ’mencintai’ ini menjadi
berbeda-beda
tergantung
dari
obyek
cinta
yang
dimaksud.
Kalau obyek cinta ini adalah saudara seiman yang sesama
jenis (maksudnya ikhwan dengan ikhwan; akhwat dengan
akhwat) maka pengekspresiannya bisa lebih bebas.
Seorang sahabat pernah cerita ke Rasulullah kalo dia
mencintai saudaranya seiman karena ketaatannya pada
~ 40 ~
~Mencari Makna~
Allah, maka Rasulullah menyuruhnya menyampaikan
perasaan itu agar cinta di antara mereka semakin
bertambah.
Nah, untuk cinta jenis ini maka sering-sering SMS
tausiyah, missed call tahajud, kirim hadiah, nonton
bareng, ngaji bareng, nginep ke rumah dan berbagai
kegiatan mubah dalam rangka mengukuhkan ikatan itu
sangat dianjurkan. Dalam cinta jenis ini tentu syahwat
sama sekali tidak ikut campur, lha kan sesama jenis. Kalo
keduanya homoseks itu lain soal, he..he.. Hukumnya
tentu haram dan tidak masuk kategori cinta yang saya
maksudkan di atas.
Lain lagi kalo obyek cinta ini adalah suami atau istri kita
yang telah sah. Maka pengekspresian cinta lebih bebas
lagi. Syahwat, dalam cinta ini tidak dilarang. Bahkan ini
adalah saat dimana syahwat bisa dimanfaatkan sebagai
ladang pahala. Bagaimana tidak? Lha wong memberi
nafkah batin pada istri itu bernilai sedekah!
Pun demikian, bukan berarti tanpa batas. Islam masih
mengatur hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh
sepasang suami istri. Misalnya, berhubungan di tempat
umum, menyetubuhi istri dari belakang, menceritakan ke
~ 41 ~
~Mencari Makna~
orang ketiga tentang hubungan yang dijalani dengan
istrinya, dll. Saya harap antum nggak berpikiran ’ngeres’
dan segera kembali konsentrasi karena kita akan segera
membahas jenis cinta yang lebih dekat dengan keseharian
kita sebagai jomblo-jomblo bahagia.
Antum sudah tahu apa yang akan saya sampaikan bukan?
Benar, ini adalah cinta antara ikhwan dan akhwat yang
belum terikat oleh pernikahan. Dengan kata lain,
keduanya masih jomblo. Bagaimana aplikasinya?
Kalo cinta antara dua insan ini benar-benar karena Allah,
tentunya cinta ini berjalan dengan batasan yang Allah
tetapkan. Dan batasannya ternyata memang sangat
banyak saudara-saudara! Sama aja dengan batasan
interaksi antar ikhwan dan akhwat yang selama ini telah
kita pelajari, di antaranya:
-
Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dan tidak di
tempat yang sepi
-
Menjaga pandangan
-
Suaranya
tidak
dilemah
lembutkan
(untuk
akhwat)
-
Tidak berlebihan dalam kualitas dan kuantitas
-
Tidak berkomunikasi lebih dari keperluan
~ 42 ~
~Mencari Makna~
-
Tidak mengundang fitnah
-
Tidak didorong syahwat
-
dll
Lho kok susah banget?! Lha emang iya! Apa antum
belum pernah denger kalo dunia ini penjara buat orang
mukmin dan surga buat orang kafir?! Meski begitu, kalo
mau sedikit berpikir dengan logika, antum akan sadar
bahwa semua batasan tadi sebenarnya tidak merugikan
kita dalam hal apapun! Justru lebih menjaga kehormatan
kita. Kalau ada perasaan berat, itu bukan karena ini
merugikan,
tapi
karena
ini
bertentangan
dengan
keinginan hawa nafsu kita. Bener kan?
Lalu bolehkan kita berharap lawan jenis kita mendapat
kebahagiaan?
Khawatir
akan
keistiqomahannya?
Keamanannya? Jawabnya, ya jelas boleh, bahkan harus!
Tapi dengan batasan-batasan di atas.
Bohong kalo kita bilang kita mencintai Ukhti ”A” karena
Allah tapi kita justru berusaha melakukan hal-hal yang
dilarang Allah bersamanya. Menjauhkan dia dari jalan
Allah dan jutru terjerumus bersamanya dalam dosa. Di
sinilah perlunya kehati-hatian.
~ 43 ~
~Mencari Makna~
Contoh-contoh
kegiatan
yang
saya
sebut
ketika
membahas cinta antara ikhwan dengan ikhwan di atas
tentu tidak relevan untuk dilakukan dengan saudara kita
yang lawan jenis, karena jelas akan mengundang fitnah.
Maka cara yang paling aman adalah mendoakannya.
Membantu ketika dibutuhkan tentu tidak mengapa, asal
memang tidak untuk cari kesempatan dan masih dalam
batasan-batasan di atas. Kalau kita ingin mencari di luar
itu, kayaknya perlu kita lihat kembali niat kita. Benar
karena Allah atau karena yang lainnya?
Indikasi keikhlasan itu kadang amat sederhana kok. Kalo
antum bisa rela bahkan bahagia si Ukhti ”A” yang antum
cintai karena Allah itu dinikahi orang lain – yang memang
pantas untuknya- berarti antum bener-bener ikhlas.
Tapi kalo antum kecewa dan ngotot ingin memilikinya
dengan mengungkit-ungkit semua kebaikan yang telah
antum berikan padanya, maka pada saat itu saya tidak
ragu untuk mengatakan bahwa antum telah tertipu.
Antum baru saja menukar akherat antum dengan dunia
yang belum tentu antum dapat (soalnya bisa aja si Ukhti
tetep menolak, karena antum bukan tipenya, he..he..).
~ 44 ~
~Mencari Makna~
Jadi ikhwah fillah, cintailah seluruh saudara-saudarimu
karena Allah. Berikan yang terbaik yang bisa antum
berikan pada mereka, tanpa mengharap balasan dari
mereka sedikitpun. Sedikitpun tidak! Bahkan tidak walau
sekedar ucapan terima kasih atau senyuman. Berharaplah
bahwa Allah lah yang akan membalas semua kebaikan itu
dengan sempurna. Berharaplah pada senyuman Allah
saja. Hauslah akan cinta-Nya saja.
Seperti Wahsyi yang rela pergi dari hadapan Rasulullah
yang amat ia cintai, karena ia tahu, kehadirannya di dekat
Rasulullah hanya akan menambah perih luka hati
Rasulullah atas pembunuhan Hamzah.
~ 45 ~
~Mencari Makna~
z
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya ,
dan dijadikan-Nya diantara kamu rasa kasih sayang
.Sesungguhnya pada yang demikian itu benar- benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
(QS. Ar Rum: 21)
pq
~ 46 ~
~Mencari Makna~
Renungan
Bujang Lapuk
Sebagian ikhwan yang saya kenal rupanya menyimpan
sedikit perasaan enggan dengan metode menikah by
biodata. Sebagian yang lain bahkan dengan terangterangan maupun sembunyi-sembunyi telah menempuh
jalan alternatif untuk memperoleh pendamping hidupnya:
merebut secara heroik sang pujaan hati dari tangan sang
wali secara mandiri!
Tulisan ini bukan untuk mencela mereka, karena
sesungguhnya bagi saya metode itu kadang nggak jelek~ 47 ~
~Mencari Makna~
jelek amat. Syari’at bahkan tidak melarang. Sebagian
ekstrimis Islam bahkan justru menuduh menikah lewat
biodatalah yang bermasalah. Menurut mereka itu adalah
bid’ah yang harus diperangi, nah kalo ini sih kelewatan!
Menikah lewat biodata tentu bukan bid’ah karena setiap
pelakunya sadar betul ini bukan termasuk ritual ibadah.
Demikian juga ia tidak dapat dipaksakan ke setiap orang
karena akan mencederai HAM (Hak Asasi Menikah,
he..he..he..). Tulisan ini hanya ingin bercerita mengapa
ditengah jaman keterbukaan ini masih saja ada ikhwan
yang taat, pasrah bahkan berambisi menikah dengan
cara kuno itu: menikah by biodata.
Supaya tidak terkesan men-generalisir dan sok tahu, kita
nisbatkan saja semua perenungan ini pada diri saya
sendiri – sang bujang lapuk abad 21. Dengan begitu
tidak ada yang berhak tersinggung ataupun merasa
dilecehkan. Saya toh berhak punya pendapat pribadi asal
tidak saya paksakan ke orang lain…
Dulu, duluuu… sekali, saya termasuk yang tidak setuju
dengan metode nikah gaya kuno itu. Kesannya seperti
membeli kucing dalam karung. Mohon maaf, saya tidak
bermaksud menyamakan akhwat dengan kucing, juga
~ 48 ~
~Mencari Makna~
tidak berusaha menganalogikan pernikahan dengan jual
beli, dan yang pasti saya tidak menuduh para akhwat
jalan-jalan berkerubut karung, tapi dengan kepicikan dan
kurangnya perbendaharaan kata mutiara yang saya miliki,
hanya kalimat itu yang bisa terpikirkan pada waktu dulu
banget itu.
Semuanya
menjadi
berbeda
sekarang.
Saat
saya
menyadari beberapa hal penting dalam diri saya. Hal-hal
yang melekat spesifik pada saya bahkan sejak pertama
kali saya mengenal kata ‘cinta’. Ringkasnya, saya tidak
pernah sukses dalam cinta!
Tentu bukan karena wajah saya tidak tampan. Beberapa
orang terdekat – terutama ibu saya – selalu mengeluelukan ketampanan saya. Hei, antum tidak perlu muntah
berlebihan begitu, semua ini jujur adanya. Soalnya bagi
ibu saya, menjelekkan wajah saya tentu sama saja dengan
menjelekkan diri sendiri yang telah mewariskan wajah itu
ke saya! Harap maklum.
Di sisi lain, saya juga bukan cowok yang bodoh, terutama
jika antum berkonsentrasi pada track record akademik
saya di SMP dan SMA. Ranking paling jelek yang pernah
saya dapat adalah ranking dua! Tidak terlalu bodoh kan?!
~ 49 ~
~Mencari Makna~
Lulus kuliahpun tepat lima tahun dengan IPK yang
dengan susah payah tembus juga di atas angka tiga,
cukup bagus untuk standar para aktivis pergerakan
Teknik UNS. Jadi sungguh, bukan karena dua hal itu saya
gagal dalam cinta. Semuanya lebih banyak disebabkan
oleh
faktor
psikologis.
Sebuah
penyakit.
Saya
menyebutnya gejala: INCIDIOT! Tentu saja nama ini
karangan saya sendiri. Kependekan dari Incidentally
Idiotism. Atau dengan bahasa yang lebih lugas bisa
antum sebut dengan keguoblokan insidental!
Sudah bisa menerka apa yang saya maksud? Tepat sekali,
saya akan berubah menjadi seorang idiot murni di depan
orang-orang yang saya taksir. Ya, saya memang telah
naksir banyak akhwat maupun cewek biasa sejak saya
mengenal cinta dan tak satupun yang membuahkan kisah
romantis yang indah berkat gejala incidiot yang saya
miliki. Efek fisiologis gejala ini memang bervariasi, mulai
dari kegagapan berkelanjutan, keringat dingin yang
membanjir,
atau
kecelakan-kecelakan
tragis
akibat
terlampau hiperaktif dalam mencari perhatian.
Waktu SD contohnya, saya pernah jatuh berkalang tanah,
babak bundhas,
berdarah-darah!
Gara-gara pamer
kecepatan lari di depan cinta monyet pertama saya dan
~ 50 ~
~Mencari Makna~
secara naas tersandung batu dalam kecepatan yang sangat
tinggi. Sakitnya lebih karena nahan nangis menjaga harga
diri.
Di kesempatan yang lain – masih di SD yang sama,
dengan cinta monyet yang sama – saya berhasil
menggagalkan hasil ulangan saya gara-gara satu-satunya
pensil yang saya punya justru saya pinjamkan ke si cinta
monyet yang menerimanya dengan senang hati sambil
tersenyum aneh di waktu yang sama (mungkin dikiranya
saya sudah tidak waras, tapi toh ia tak peduli selama ia
bisa menyelesaikan ulangannya. Dengan pensil saya
tentunya!).
Selanjutnya di SMP masih dengan cinta monyet yang
sama, saya berhasil mempermalukan diri saya sendiri
sekaligus si cinta monyet
dalam
sebuah
drama
‘penembakan’ yang berakhir tragis di kelasnya waktu jam
istirahat. Di depan seluruh warga sekolah saya telah
ditolak dengan tegas! Bahkan setelah saya bergaya seperti
Romeo yang berlutut memohon di depan Julietnya.
Bodohnya saya yang telah terlalu percaya pada bukubuku fiktif pemanjang angan-angan di masa itu.
~ 51 ~
~Mencari Makna~
Tapi itu bukan akhir penderitaan cinta saya. Di SMP yang
sama, entah berkat aksi sok romantis waktu itu, track
record akademik yang gemilang atau wajah yang tampan
atau mungkin juga gabungan ketiganya (antum muntah
lagi ya?!) saya telah ditaksir oleh tiga orang cewek dalam
rentang waktu yang hampir bersamaan. Bukti-bukti
akurat berupa kerlingan nakal, semburat merah di pipi,
salam yang dititipkan dan gosip yang tersebar seantero
sekolah cukup menegaskan fakta tersebut.
Tapi itulah, INCIDIOT telah menghancurkan bungabunga cinta itu bahkan sebelum ia berkembang. Karena
penyakit itu, saya justru menjadi acuh pada mereka di
saat hati telah menaruh simpati. Saat ingin membalas
senyum, justru membuang muka yang terjadi. Maka
merekapun lelah dan mengalihkan panah cinta monyet
mereka ke lain hati hanya dalam beberapa minggu saja.
Dan seperti kata pepatah: cinta monyet akan hilang
hingga tinggal monyetnya saja, itulah saya.
INCIDIOT telah mencapai stadium yang sangat ganas
hingga berhasil menghapus semua semburat merah
jambu yang hendak tertoreh dalam hidup saya sampai
SMA, bahkan hingga kini. Ditambah lagi muncul
penyakit kedua. IMPASSION! Tidak, ini tidak ada
~ 52 ~
~Mencari Makna~
hubungannya dengan impotensi! Saya adalah laki-laki
sekaligus ikhwan yang sehat secara biologis. Impassion
juga nama karangan saya sendiri, secara filisofis ia adalah
gabungan dari dua kata: ‘im’ yang artinya ‘tidak’ dan
passion yang artinya ‘nafsu’? Eh, yah, saya memang tidak
begitu yakin istilah ini akan bisa menjelaskan maksud
saya. Mungkin frase ‘mati rasa’ lebih mudah dicerna oleh
antum. Kepada siapakah saya mati rasa atau impassion
itu tadi? Kepada semua sahabat perempuan saya, itu
jawabnya.
Ya, bersekolah di SMA umum dimana murid putra dan
putri bebas berinteraksi tentu menyebabkan saya
memiliki beberapa teman
perempuan,
diantaranya
bahkan sangat dekat. Sebagian besar dari mereka justru
jauh lebih cantik, lebih bersinar dan lebih solihah dari
cinta monyet manapun yang pernah saya taksir.
Tapi karena impassion itu tadi maka saya nggak mungkin
naksir mereka, begitu juga sebaliknya. Tentu kami saling
memperhatikan, kadang belajar bareng, bahkan liqo’
bareng (karena itulah murabbi pertama saya adalah
murabbiyah, ini agak kompleks untuk diceritakan), tapi
membayangkan untuk merajut cinta seperti kebanyakan
muda-mudi puber waktu itu, nggak lah yauw!!! Di waktu
~ 53 ~
~Mencari Makna~
dewasa nanti saya menyadari hubungan seperti itu cukup
berbahaya
juga,
tapi
alhamdulillah
kami
mampu
melewatinya dengan selamat. Beberapa dari teman
perempuan
dekat
itu
kini
telah
menikah
dan
mengundang saya dalam walimah mereka. Diantaranya
bahkan ada yang meminta saya sebagai salah satu panitia.
Dan saya bahagia dalam setiap pernikahan itu. Bukti
bahwa saya tidak mencintai mereka sebagai lelaki, tetapi
tulus sebagai seorang sahabat.
Maka lengkap sudah seluruh syarat dan faktor penyebab
kegagalan
cinta
dalam
pribadi
saya:
INCIDIOT
menghalangi para bidadari mencintai saya, sedang
IMPASSION menghalangi saya mencintai mereka.
Hancur minah!
Di bangku kuliah, kepahaman yang mulai lengkap
tentang batasan pergaulan ikhwan-akhwat bersama kedua
penyakit tadi membentuk kepribadian yang aneh pada
diri saya. Kepribadian yang menyeramkan bagi para
akhwat. Dingin dan beku, demikianlah secara umum saya
bersikap pada para akhwat yang berinteraksi dengan saya
secara pribadi.
~ 54 ~
~Mencari Makna~
Ini menjadikan saya tokoh yang tidak menarik untuk
diajak ngobrol ngalur ngidul atau SMS lucu-lucu.
Buktinya, saya adalah satu-satunya personil dalam dua
tim nasyid terbaik UNS waktu itu yang tidak pernah
menerima SMS menggoda dari para akhwat. Padahal
personil paling berjenggot dan paling sangar dalam grup
ini
minimal
sudah
ditaksir
3
akhwat
berkat
performancenya di tim nasyid kami. Alhamdulillah
beliau-beliau ini beriman dahsyat hingga tak pernah
terjebak dalam kasus merah jambu. Kalau hampir,
mungkin pernah.
Memang ada, beberapa akhwat khusus yang kemudian
mampu memecah kebekuan ini dan nekat beramah
tamah meski saya sembur dengan hawa dingin. Tapi ini
sangat sedikit dan pada akhirnya mereka akan menjadi
sahabat. Sedangkan saya tidak bisa mencintai sahabat,
tidak sebagai laki-laki.
Saat-saat itu – di kampus – hal-hal ini tidak menjadi
masalah buat saya, toh saya mendapat semua cinta yang
saya butuhkan dari liqo’ dahsyat saya, gank ikhwan teknik
2002, tim nasyid kebanggaan UNS dan seluruh ikhwah
teknik yang tulus itu.
~ 55 ~
~Mencari Makna~
Tapi kini, saat saya mulai sadar bahwa saya telah menjadi
seorang bujang lapuk. Saat saya jauh dari semua yang
mencintai saya. Saat malam-malam begitu dingin dan
bernyamuk, saya sadar saya tak bisa sendiri lagi. Juga
sadar bahwa saya tak akan mampu seheroik ikhwanikhwan di awal tulisan saya ini.
Maka menikah by biodata barangkali adalah sebuah
berkah luar biasa yang saya syukuri dari kehidupan
berjama’ah ini. Karena melalui metode itu, calon istri
saya akan mampu melihat saya dengan lebih obyektif
lewat track record tertulis dalam CV – itu tanpa incidiot
saya.
Menyimak penjelasan tentang diri saya yang tertutur
tenang dari mulut saya di balik hijab kala ta’aruf. Dan
puncaknya, terpana saat menatap malu wajah tampan nan
teduh saya di kala nadhar (saya lihat antum muntah
lagi…he..he..he..).
Saya juga tak perlu impassion, karena besar kemungkinan
saya belum pernah mengenalnya sebelumnya.
Kini, saya telah berubah dari pasrah dan taat, menjadi
berambisi untuk menikah by biodata.
~ 56 ~
~Mencari Makna~
z
Nabi SAW bersabda,
"Sesungguhnya Allah itu indah, mencintai keindahan,
kesombongan adalah menolak kebenaran dan membenci
manusia"
(HR. Muslim)
pq
~ 57 ~
~Mencari Makna~
Cantik dan Tampan
itu perlu
Ketika memutuskan akan menikah, jangan pernah
mengabaikan faktor ketertarikan fisik kepada si calon.
Benar, kita menikah hanya karena Allah, tapi itu bukan
berarti kita tidak boleh berharap memiliki istri cantik atau
suami tampan.
~ 58 ~
~Mencari Makna~
Mau sedikit cek dalil? Perhatikan hadits berikut:
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah
mampu untuk menikah, maka hendaklah dia menikah.
Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang
siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa,
karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai
baginya”
(HR. Bukhari-Muslim)
Antum perhatikan yang saya garis bawahi di atas.
Sekarang ini di dunia kita, aurat terpampang di manamana. Mode pakaian semakin ke sini semakin irit bahan.
Barangkali akibat pemanasan global, manusia merasa
perlu menggunakan pakaian yang melancarkan aliran
udara biar nggak kepanasan, padahal jelas tidak sopan!
Lha kalo istri kita tidak menarik/cantik di mata kita,
bagaimana
ia
akan
menjadikan
kita
mampu
menundukkan pandangan? Lha wong yang sliwar-sliwer
di jalan itu berdandan habis-habisan plus permak make
up dari setan pula.
Maka
dari
merealisasikan
itu,
cantik/tampan
salah
satu
~ 59 ~
itu
tujuan
perlu
untuk
pernikahan:
~Mencari Makna~
menundukkan pandangan. Menjaga bentuk tubuh biar
tak gemuk juga perlu, agar pasangan suami istri mampu
menjaga kemaluan, tak tergoda untuk berzina. Karena
telah merasa cukup dengan pasangan yang ia miliki secara
halal.
Hadits berikut juga mendukung opini saya di atas,
“Jika salah seorang kalian melihat wanita lalu tertarik
kepadanya, maka hendaklah dia mendatangi isterinya,
karena yang demikian itu boleh menolak apa yang
bergejolak di dalam dirinya”
(HR. Imam Muslim)
Untuk bisa menahan gejolak godaan dari luar, istri harus
terlihat cantik di mata suami dong!
Bagaimanapun juga aktivis dakwah adalah manusia, maka
mereka perlu memenuhi kebutuhan manusiawi mereka.
Sahabat Rasulullah sekalipun juga demikian. Antum hafal
kisah Zainab binti Jahsy dengan Zaid bin Haritsah
bukan?
Zainab yang cantik dan berasal dari keluarga terpandang
menerima pinangan Zaid semata-mata karena itu adalah
saran dari Rasulullah (Zaid adalah anak angkat
~ 60 ~
~Mencari Makna~
Rasulullah), sementara dalam hatinya sesungguhnya ia
tidak merasa sreg menikah dengan mantan budak yang
hitam dan keriting seperti Zaid.
Ujung-ujungnya Zainab tidak mampu menjalankan
kewajibannya sebagai istri yang baik kepada Zaid hingga
akhirnya
Zaid
yang
tersiksa
batin
memilih
menceraikannya. Masalah kesalehan, Zaid memang tidak
diragukan, tapi fitrah manusiawi juga tak bisa diabaikan
begitu saja.
Pada akhirnya, Zainab menikah dengan Rasulullah saw
yang lebih sepadan secara fisik dan status sosial
kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu istri nabi
yang paling dermawan dan paling dulu menyusul
kepergian Rasulullah saw menjumpai Allah swt. Selepas
bercerai, Zaid pun menikah dengan istri yang lebih
sekufu, kemudian melahirkan Usamah bin Zaid, sang
panglima perang termuda dalam sejarah islam.
'Ala kulli hall, cantik itu relatif bagi tiap orang. Kalo nyari
yang paling cantik sedunia, kemungkinan ditolaknya
besar lha wong antum wajahnya biasa-biasa aja. Tapi
carilah yang sekufu, yang penting cantik aja dalam
standar antum dan kayaknya sepadan bersanding sama
antum.
~ 61 ~
~Mencari Makna~
Nggak pengin juga kan nanti pas jalan bareng istri dikira
supir atau tukang kebunnya. Atau malah yang lebih
parah, dikira bapaknya?!
~ 62 ~
~Mencari Makna~
z
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan
sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan-perhiasan
dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah
wanita solihah.”
(HR. Muslim)
pq
~ 63 ~
~Mencari Makna~
Istri saya itu
Hari ini ia pasti sedang sibuk.
Sebagaimana hari ini, hari-harinya yang kemarin juga
selalu penuh dengan kesibukan.
Kebanyakannya karena saya. Karena
baju saya yang
lecek, celana saya yang kotor, bekal makanan saya yang
belum matang, lantai yang saya tumpahi dengan air teh,
~ 64 ~
~Mencari Makna~
Qur'an
saya
yang
ketinggalan,
susahnya
saya
dibangunkan untuk mandi, dsb.
Hampir segala kesibukannya itu diakibatkan oleh
hadirnya saya dalam hidupnya.
Sejak kapan? Sejak kami menikah.
Iya, tepat sejak dua bulan lalu. Sejak untuk pertama
kalinya saya mengucap kalimat "qabul" sebagai penghalal
hubungan kami berdua. Yang mengukuhkan diri saya
sebagai suami untuknya.
***
Menjadi suami seharusnya menjadikan saya pelindung
yang kuat baginya. Penghapus air matanya. Pemenuh
kebutuhannya. Penghibur laranya...
Tapi alangkah sabarnya ia menghadapi diri saya yang
masih jauh dari itu semua. Begitu pemaafnya ia atas
harapan dan cita yang belum sanggup saya wujudkan
dengan sepenuh tenaga. Begitu pengertiannya ia akan
kelemahan-kelemahan suaminya yang maunya menang
sendiri itu.
~ 65 ~
~Mencari Makna~
Maka ia tak pernah lelah tersenyum, tak pernah berhenti
untuk sibuk, menekuni pengabdiannya pada Allah
dengan melayani sang suami sepenuh jiwa dan raga.
Tak peduli jika suaminya akan membuatnya menangis
lagi. Tak peduli begitu lemahnya ingatan sang suami
untuk mencatat kebaikan-kebaikan yang telah ia lakukan.
Dia tetap sibuk.
Seperti juga hari ini dan hari-hari sebelum ini.
***
Istriku, engkaulah tulang rusuk yang ditakdirkan
menguatkan dadaku
~ 66 ~
~Mencari Makna~
z
Dari Ibnu Jabir dari bapaknya (Jabir bin Abdullah), dia
berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
”Sesungguhnya (satu sisi) dari “ghairoh” (sifat cemburu)
ada yang dicintai oleh Allah ‘Azza Wa Jalla, dan ada (sisi
lain) darinya yang dibenci oleh Allah ‘Azza Wa Jalla…
Adapun (sisi) “ghairoh” yang dicintai oleh Allah adalah
ghairoh dalam keraguan…”
(H.R. Imam an-Nasai)
pq
~ 67 ~
~Mencari Makna~
Dia
dan cemburunya
Ia percaya pada saya.
Bahwa saya tidak akan berbuat yang aneh-aneh di
belakangnya. Bahwa saya tidak berniat untuk beristri dua.
Bahwa saya hanya berteman saja dengan wanita-wanita
lain yang ada di dunia. Dan bahwa ialah satu-satunya
wanita yang saya cinta.
Ia percayai itu semua dengan segenap hatinya. Sungguh.
~ 68 ~
~Mencari Makna~
Tapi itu tak pernah menghalanginya untuk mencemburu
meski pada hal-hal yang paling tak rasional sekalipun.
Ia mencemburu pada teman, adik kelas, tetangga, bahkan
orang lewat. Ia bahkan berniat mencemburu terhadap
anak-anak kami kelak, jika saya mencintai mereka lebih
dari cinta saya padanya. ^_^
Kadang ia pun cemburu pada dakwah, jika saya harus
meninggalkan dirinya untuk itu. Namun buru-buru
dihilangkannya cemburu itu demi menyadari bahwa
dakwah adalah tanda cinta saya pada Allah swt.
Hanya dengan Allah dan Rasul-Nya saja istri saya yang
pencemburu itu tak berani bersaing berebut cinta.
Dari istri saya itu, saya belajar,
Bahwa cemburu adalah bentuk lain dari cinta. Lebih
gelap, tak semerah cinta, tapi tetap hangat.
***
Saya menikmati cemburunya seperti saya menghayati
cintanya.
Istriku, terimakasih untuk selalu mencemburu.
~ 69 ~
~Mencari Makna~
Merahnya
Jalan Dakwah
~ 70 ~
~Mencari Makna~
z
Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya
mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,
dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada
kaum yang kafir
(QS An Nahl: 107)
pq
~ 71 ~
~Mencari Makna~
Surga dan Neraka
Ada sebuah hadist yang sangat menarik riwayat Imam
Bukhari, terjemahnya:
" Nabi saw. bersabda, “Surga ditutupi (dihijab) dengan
hal-hal yang dibenci, dan neraka ditutupi dengan
syahwat-syahwat.”
Saya mendengar hadist ini pertama kali saat kajian Ustadz
Mu'inudinillah Bashri, MA di Masjid Nurul Huda UNS
~ 72 ~
~Mencari Makna~
bertahun-tahun yang lalu, kira-kira waktu awal-awal
beliau kembali ke Indonesia.
Dalam kajiannya beliau menyampaikan bahwa setelah
surga dan neraka diciptakan Allah memanggil para
malaikat untuk melihat kedua ciptaan Allah tersebut.
Kemudian
mereka
ditanya
pendapatnya
tentang
keduanya.
Sontak para malaikat menjawab, " Sungguh Ya Allah,
tidaklah hamba-Mu mendengar disebut nama surga
kecuali mereka akan berharap dimasukkan ke dalamnya,
dan tidaklah hambamu mendengar disebut nama neraka
kecuali mereka akan berlindung darinya."
Kemudian Allah menutupi surga dengan hal-hal yang
dibenci manusia dan menutupi neraka dengan syahwat
yang disukai manusia. Maka setelah itu para malaikat
menjadi khawatir neraka akan lebih dipilih oleh manusia
ketimbang surga.
Jadi Akhi wa Ukhti fillah, kalau berjuang dalam dakwah
terus kok rasanya justru dapet banyak kesulitan, nilai
pada turun, duit semakin berkurang, maka bersyukurlah
karena itu tandanya antum/antunna berada di jalan yang
benar, insyaAllah.
~ 73 ~
~Mencari Makna~
Kebalikannya, jika antum pacaran misalnya (walaupun
dengan label islami atau dalil hasil cari-cari di referensi
orang-orang JIL) terus kok nilai malah naik, hidup terasa
lebih berwarna, rejeki lancar, maka hati-hatilah bisa jadi
antum telah mendapat istidraj dariAllah swt, artinya Allah
menyesatkan antum karena kesesatan yang terus-terusan
antum lakukan dan tidak lagi peduli untuk memberi
petunjuk kepada antum.
Seperti Fir'aun itu lho, dia itu kan ngerasa jadi Tuhan
karena dikaruniai kesehatan yang luar biasa oleh Allah
swt, kata Ustadz bahkan pilek aja Fir'aun itu nggak
pernah.
Ingatlah bahwa surga itu nikmat yang luar biasa, maka
perjuangan mencapainya tentu harus sepadan pula.
Sedang untuk masuk neraka gampang saja, ikuti saja
semua syahwat kita, insyaAllah langsung diterima gak
pake syarat macem-macem.
Bukankah kita pernah mendengar riwayat tentang betapa
laparnya neraka akan orang-orang yang doyan maksiat?
Terus pengin nambah dan nambah sampe-sampe Allah
sendiri harus menginjak neraka itu agar diem gak rewel
minta tambahan mangsa.
~ 74 ~
~Mencari Makna~
Jadi tetaplah bermandikan keringat kebaikan, bersimbah
darah perjuangan, berlumuran tinta pena kebenaran,
karena tetes peluh, aliran darah dan goresan pena kita
itulah yang akan menjadi saksi sekaligus modal kita
meraih ridha dan Jannah-Nya kelak insyaAllah.
~ 75 ~
~Mencari Makna~
z
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan
mengampuni dosa-dosamu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS Ali Imron 31).
pq
~ 76 ~
~Mencari Makna~
Dari para nabi
hingga kita kini
Ketika Rasululah hijrah dari Mekah, beliau meminta Ali
ra untuk tinggal menggantikan beliau di tempat tidur.
Bukan sebagai tumbal, tetapi untuk mengembalikan
barang-barang titipan kaum kafir Quraisy yang selama ini
dititipkan di rumah Rasulullah.
Lihatlah betapa pribadi menarik Rasulullah menjadikan
musuhnya sekalipun menaruh kepercayaan yang luar
biasa pada beliau.
~ 77 ~
~Mencari Makna~
Sebagai seorang pribadi, beliau diterima di seluruh
kalangan.
Terbukti,
kaum
kafir
Quraisy
pernah
menawarkan jabatan, harta dan wanita terbaik mereka
untuk beliau dengan syarat beliau berhenti berdakwah.
Artinya
seandainya
meninggalkan
Rasulullah
dakwah,
niscaya
saw
bersedia
mereka
tidak
berkeberatan jika beliau menjadi salah satu pemimpin
mereka.
Kalau kemudian mereka meludahi beliau, menyiksa
sahabat-sahabatnya,
memboikot
dari
perdagangan,
menumpahi dengan isi perut onta, bahkan berkonspirasi
untuk membunuhnya, tentu bukan karena pribadinya.
Bukan karena akhlaqnya.
Bagaimana dengan Nabi Musa? Apa yang tidak beliau
lakukan untuk kaumnya? Kaumnya minta minum,
dipukulnya batu besar yang kemudian memancar darinya
dua belas mata air untuk dua belas suku yang ada.
Kaumnya meminta makan, berdoalah beliau hingga Allah
menurunkan ‘manna’ dan ‘salwa’ sebagai pengenyang
perut mereka. Lalu saat kaumnya menggigil ketakutan,
terancam binasa oleh pasukan Fir’aun, beliau selamatkan
mereka dengan izin Allah. Terbelahnya laut mati dan
binasanya Fir’aun adalah jawaban doa beliau.
~ 78 ~
~Mencari Makna~
Tapi apa yang kaumnya lakukan saat beliau pergi
menemui
Allah
barang
40
hari
saja?
Mereka
mengkhianati ajaran beliau dengan mencipta sapi palsu
untuk disembah. Jelaslah, bukan karena kurangnya
pelayanan
Nabi
Musa
kepada
kaumnya
yang
menyebabkan mereka berkhianat.
Segala permusuhan yang timbul antara para Nabi dengan
kaumnya tidak pernah terjadi karena kurangnya akhlak
atau amal dari sang Nabi, tetapi karena mereka – para
Nabi – mengajak kepada kebaikan, mencegah dari yang
mungkar dan meng-Esakan Allah. Karena itu saja.
Maka sessngguhnya tidak pernah ada jaminan bahwa
setiap kebaikan yang kita lakukan pada mad’u kita akan
menghantarkan mereka ke jalan Allah. Tidak bagi Nabi,
apalagi buat kita.
Hidayah adalah hak prerogratif yang tidak dimiliki oleh
selain-Nya.
Jadi kalau saat ini antum sedang berbaik-baik pada
binaan antum, atau teman sekelas antum, atau tetangga
antum agar mereka berhutang budi kemudian berbalik
dari jalan yang salah ke jalan lurus, saya katakan
berhentilah. Bukan begitu seharusnya niatnya.
~ 79 ~
~Mencari Makna~
Karena niat seperti itu bisa menghantarkan pada satu
bentuk tindakan keliru di masa datang. Sebagai misal,
untuk
mendekati
seorang
mad’u
antum
sering
meminjami catatan kuliah, menraktir makan dan
terkadang membantunya mengerjakan tugas.
Tapi dari waktu ke waktu mad’u ini tidak juga berubah
bahkan semakin jarang berangkat ngaji dan akhirnya
tidak pernah berangkat lagi. Maka ketika suatu ketika ia
ingin meminjam catatan dari antum lagi, antum tidak
berikan. Bagaimanapun tindakan seperti ini tidak bisa
dibenarkan. Apakah kita berbuat baik pada seseorang
agar mendapatkan sesuatu darinya (entah kesetiaan,
ketaatan, atau yang lainnya) atau ridha Allah semata?
Coba kita renungkan.
Contoh lain, sebuah Partai Dakwah telah berusaha matimatian mencari dana kesana kemari untuk memberikan
santunan ala kadarnya kepada beberapa ibu rumah tangga
bertaraf ekonomi rendah. Tapi ketika PEMILU tiba, ibuibu itu dengan sukarela menyerahkan suaranya kepada
Partai kapitalis sarang koruptor karena uang beras yang
jauh lebih besar. Apakah dibenarkan jika kemudian Partai
Dakwah itu tidak menyalurkan santunannya pada ibu-ibu
malang itu lagi? Tentu tidak.
~ 80 ~
~Mencari Makna~
Maka semua aktivitas dakwah kita harus dijaga dalam niat
yang benar. Jangan sampai hanya untuk menghapus
kesan eksklusif saja, atau menambah anggota saja.
Karena jika terbatas pada itu, sesungguhnya yang itupun
belum tentu kita dapatkan. Tetapi jika ridha Allah yang
kita harapkan, dengan niat tulus dan konsistensi
perjuangan, Insya Allah Allah akan berikan.
Dengan begitu tidak ada kata berhenti dari aktvitas
dakwah dan amal meski hasil konkrit tidak kunjung
tercapai. Tidak ada kecewa karena sikap manusia, dan
yang lebih penting tidak ada putus asa karena penolakan
manusia.
Seperti yang Allah firmankan:
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk
oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah:
"Aku
tidak
meminta
upah
kepadamu
dalam
menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain
hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.”
(QS. Al An’am: 90.)
~ 81 ~
~Mencari Makna~
z
”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi
yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS Ali Imran:133)
pq
~ 82 ~
~Mencari Makna~
Kepada
para perindu Surga
Sepertinya kita semua sepakat bahwa satu-satunya hal
yang menjadi alasan seluruh pengorbanan kita di jalan
dakwah ini adalah surga. Karena surga adalah simbol
ridha Allah pada kita, tanda cinta-Nya, imbalan yang tak
terkira indahnya.
Jika demikian, antum harus tahu cara efektif dan
bergaransi untuk mencapainya.
~ 83 ~
~Mencari Makna~
Mengingat, saingan antum untuk meraihnya adalah
seluruh umat manusia dari mula hingga akhir zaman,
godaannya dahsyat, sementara waktu yang tersedia sangat
terbatas dan tak diketahui kapan berakhirnya.
Maka perhatikanlah jaminan Allah berikut ini. Sebuah
surat wasiat bagi para ahli waris surga. Garansi bagi
mereka yang bergelar mu’minuun. Demikian surat itu
berbunyi:
“
Sesungguhnya
beruntunglah
orang-orang
yang
beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri
dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan
orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri
mereka
atau
budak
yang
mereka
miliki;
maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah
orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang
yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya)
dan
janjinya
dan
orang-orang
yang
memelihara
sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan
mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus.
Mereka kekal di dalamnya.”
(Q.S. Al Mu’minuun: 1-11)
~ 84 ~
~Mencari Makna~
Saya ingin antum yang membaca tulisan ini mencermati
kata-kata yang sengaja saya pertebal. Ya, ternyata amanah
yang kini antum sedang – atau akan – pikul bisa jadi
adalah kunci antum memasuki kekalnya nikmat Firdaus.
Sayangnya itu tidak akan terjadi jika antum masih saja
menunda-nunda tertunainya hak amanah itu. Sungguh
tak akan terjadi jika antum menelantarkannya, dan tidak
akan mungkin pernah terjadi, jika masih penuh dada itu
dengan sesak keluh kesah saat menjalaninya.
Justru azab pedih membara, menghanguskan dan
meremukkan
yang
mengkhianatinya.
menanti
Karena
saat
antum
pengkhianat
berani
adalah
munafiquun, penghuni dasar neraka! Golongan manusia
yang bahkan lebih hina dari orang kafir sekalipun.
Satu kunci – amanah – bisa berarti bencana atau bahagia,
tergantung antum yang memegangnya. Ingat, bukan
tingginya jabatan yang memuliakan antum di hadapanNya, tetapi tingkat pemenuhan hak amanah itulah yang
ditimbang kadarnya. Seremeh apapun!
Terkesan hiperbolis ya? Terserah saja sih percaya atau
tidak, toh ini demi nasib masing-masing kita. Saat
~ 85 ~
~Mencari Makna~
keputusan dijatuhkan atas perbuatan masing-masing diri,
status kejama’ahan tidak akan berguna.
Tak peduli antum adalah bagian dari sebuah jama’ah
besar yang didirikan dan dipimpin orang-orang besar,
selama kecil saja yang antum kerjakan, tanpa keikhlasan
pula, habis sudah! Naudzubillahimin dzalika.
Semoga Allah mengkaruniakan kesabaran, mengokohkan
pendirian dan menolong kita dari orang-orang kafir,
sebagaimana
permintaan
orang-orang
terabadikan dalam Al Qur’an.
Wallahul musta’an.
~ 86 ~
salih
yang
~Mencari Makna~
z
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana
halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka
ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan)…
(Q.S. Al Baqarah :214)
pq
~ 87 ~
~Mencari Makna~
Sudahkah
kita pantas?
Pada suatu malam Rasulullah bangkit dari istirahat
malamnya kemudian seperti biasa mengambil air wudhu
untuk menghadap Tuhannya dalam sepenuh kepasrahan.
Betapa terkejutnya Aisyah yang terbangun kala itu ketika
mendapati kekasihnya masih saja khusyuk bertaqarrub
ilallah meski kakinya bengkak karena lama berdiri dalam
sholat malam.
~ 88 ~
~Mencari Makna~
Maka begitu Rasulullah selesai bermunajat, Aisyahpun
segera menghampiri pujaan hatinya itu dan dengan nada
cemas bercampur heran ia bertanya,” Ya Rasulullah,
bukankah engkau ini seorang yang ma’shum, seluruh
dosa yang lalu dan yang akan datang telah Allah ampuni
dan sungguh engkau telah dijamin masuk surga. Lalu
mengapa engkau harus beribadah sekeras ini?” Sambil
tersenyum Rasulullah menjawab dengan tenang,” Tidak
bolehkah aku bersyukur pada Tuhanku?”
Jauh sebelum itu, ketika Khadijah masih di sisi
Rasulullah, ketika turun wahyu yang memerintahkan
Rasulullah menyeru manusia pada jalan Allah, rasulullah
berkata,
“sungguh
telah
habis
waktu
untuk
beristirahat…” dan sungguh sejak saat itu rasulullah tidak
pernah berhenti dan beristirahat dari memikirkan umat
dan menyerukan dakwah ilallah.
Saudaraku, demikianlah teladan yang telah diberikan
Rasulullah pada kita tentang bagaimana seharusnya kita
beramal untuk meraih ridho Allah SWT. Begitupun para
sahabat. Masih ingat bukan bagaimana Abu Bakar Ash
Shidiq menginfaqkan seluruh hartanya untuk membiayai
sebuah
peperangan
di
jalan
Allah
dan
hanya
meninggalkan Allah dan Rasul-Nya bagi keluarganya?
~ 89 ~
~Mencari Makna~
Atau sudahkah kita lupa dengan kisah Mush’ab bin
Umair, pemuda terganteng Mekah waktu itu, yang
pakaiannya paling bagus, yang digandrungi gadis-gadis
mekah
namun
rela
mengorbankan
segala
yang
dimilikinya bahkan meninggalkan ibu yang sangat
dicintainya demi dakwah ilallah. Hingga ketika syahid
menjemputnya bahkan kain kafan yang dimilikinya tidak
mampu menutup seluruh tubuhnya.
Mungkin kita memang sudah lupa, atau setidaknya purapura lupa dengan semua fakta sejarah yang menunjukkan
bahwa untuk menggapai surga tidak bisa melalui jalan
yang bertabur bunga dan senang. Yang nyaman, sejuk
dan datar. Tidak! Bahkan sejarah menunjukkan bahwa
kemuliaan syahid hanya didapat oleh mereka yang
berjuang keras, menerjang badai, mendaki gunung
kesulitan, menetapkan langkah pada jalan yang berpijar
panas dan membakar.
Maka heranlah saya atas ungkapan ini : “...kita tidak usah
terlalu ngoyo dalam berdakwah, akhi!” Saya justru
bertanya, “ Memangnya sudah sengoyo apakah kita
dalam jalan ini? Sudah seberapa yang kita beri untuk
dakwah ini? Sudah pantaskah kita mengharap surga atas
semua ini? “ Sungguh saya tidak berani mendengar
jawabnya karena saya akan terlalu malu karenanya…
~ 90 ~
~Mencari Makna~
z
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka…
(Q.S.Ali Imran :159)
pq
~ 91 ~
~Mencari Makna~
Kita Da’i,
bukan hakim
Ini perkara berat.
Coba jawab pertanyaan saya yang satu ini. Dalam seluruh
periode kehidupan yang sudah antum jalani, pernahkah
antum berbuat dosa? Kalau antum jawab belum, maka
kemungkinannya hanya tiga.
Kemungkinan pertama: antum manusia yang belum
dewasa/baligh/mukallaf.
~ 92 ~
~Mencari Makna~
Bagi antum tentu seluruh hukum syari’at belum berlaku,
jadi mana mungkin antum punya dosa.
Kemungkinan kedua: antum bukan manusia, tapi
malaikat. Karena malaikat selalu patuh pada perintahNya dan tak dikaruniai hawa nafsu.
Tetapi jika antum sudah baligh, kemudian membaca
tulisan ini dari browsing di internet atau dari buletin yang
hasil mungut di jalan, dan jawaban antum tetap “belum!”
maka kemungkinan ketiga adalah: antum bohong!
(soalnya sepengetahuan saya, malaikat nggak browsing
lewat internet:)). Ironisnya, bohong itu sendiri juga dosa.
Mengapa saya begitu yakin dengan pernyataan saya di
atas? Itu sudah jelas, dalilnya gamblang,
“Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa),
dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang
bertaubat.”
(HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hanya para Nabi dan rasul yang ma’shum (dijaga oleh
Allah dari dosa) sehingga langsung diingatkan begitu
melakukan dosa/kesalahan, selain mereka tidak.
~ 93 ~
~Mencari Makna~
Termasuk kita. Meski sudah bergelar da’i, aktivis atau
ustadz, bukan berarti kita lepas dari godaan setan dan
hawa nafsu. Iman ada naik dan ada turun.
Setiap kita lengah dan jauh dari-Nya maka saat itulah
setan dan hawa nafsu memegang kendali menggiring kita
pada kemaksiatan. Setan punya cara-cara khusus untuk
menggoda orang-orang yang pemahaman agamanya lebih
tinggi. Cukuplah itu kita pahami dan tidak saya panjang
lebarkan di sini. Saya punya penekanan lain untuk artikel
ini.
Di sisi lain, setiap dosa (baik besar maupun kecil) dapat
terhapus dengan taubat.
“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari
sebelah barat, maka Allah menerima taubatnya.”
(HR. Muslim)
“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah
akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka
yang telah lalu.”
(Q.S. Al-Anfâl:38 )
~ 94 ~
~Mencari Makna~
Di sinilah pentingnya sebuah kesadaran. Kesadaran
bahwa semua orang bisa dan mungkin berbuat dosa,
sekaligus bisa pula diampuni dosanya dengan bertaubat.
Kesadaran ini akan membawa kita pada penilaian yang
lebih adil kepada obyek dakwah. Tidak memandang
mereka sebagai pendosa mutlak, atau ahli neraka, sedang
kita sebaliknya adalah ahli surga.
Ini juga akan mencegah kita dari sikap menghakimi,
kemudian
beralih
pada
sikap
membimbing
dan
mengayomi.
Setiap orang berhak atas kesempatan kedua/second
chance untuk kembali ke jalan-Nya sebelum nyawa
sampai di tenggorokan.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan menerima
taubat
seseorang,
sebelum
nyawanya
sampai
di
tenggorokan (sebelum ia sekarat).”
(HR. Tirmidzi).
Jangan sampai kita yang bukan siapa-siapa ini menutup
kesempatan itu karena pandangan picik hitam dan putih
belaka.
~ 95 ~
~Mencari Makna~
Tugas da’i bukan tuding sana, tuding sini dengan
tuduhan kafir, sesat, ahli neraka, ahli bid’ah dan
sebagainya. Tidak!
Jangan merasa kewajiban dakwah antum telah selesai
dengan memvonis manusia begini dan begitu.
Tugas dan kewajiban da’i adalah menyeru agar merekamereka yang telah jauh melenceng dapat kembali lagi ke
jalan yang lurus. Melalui hikmah, perkataan yang baik dan
dialog yang nyaman.
Ingatlah bahwa seorang da’i sejatinya bersemboyan, ”
nahnu minhum, nahnu lahum, nahnu ma’ahum” yang
artinya, ” kami berasal dari kalian, kami ada untuk kalian
dan kami bersama kalian”.
Menjauh dari obyek dakwah dengan alasan untuk
mensucikan diri, atau mengecap obyek dakwah sebagai
orang kafir, sesat dan ahli neraka, lalu sibuk dengan diri
sendiri jelas bertentangan dengan semboyan ini.
Semoga kita semua diberikan keistiqomahan untuk selalu
menyerukan kebenaran, dengan cara-cara yang benar
pula.
~ 96 ~
~Mencari Makna~
z
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik
maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak mencintai orang-orang yang zalim.
(QS. Asy Syuura: 40)
pq
~ 97 ~
~Mencari Makna~
Jika Noura tetanggamu apakah
kau akan menjadi Fahri
untuknya?
Tokoh bernama Noura muncul dalam Novel Best Seller
karya Habiburrahman El Shirazy. Dalam novel itu Noura
dikisahkan sebagai seorang gadis mesir cantik yang kerap
disiksa keluarganya. Fahri - tokoh utama dalam novel ini
- menolongnya lewat bantuan seorang gadis mesir lain
beragama kristen koptik bernama Maria. Selanjutnya
lewat Nurul, salah seorang mahasisiwi Indonesia, Noura
~ 98 ~
~Mencari Makna~
dititipkan kepada seorang ustadz dan diberikan advokasi.
Menariknya, baik Noura, Maria, maupun Nurul ternyata
sama-sama memendam cinta kepada Fahri. Hmm...
Tapi ini bukan resensi novel, jadi saya tidak akan
meneruskan
cuplikan
kisahnya.
Kita hanya
akan
mengambil pelajaran dari sini.
Bukan masalah romantismenya yang akan kita bahas, tapi
tentang
kepedulian
Fahri.
Keberaniannya
untuk
bertindak. Itu yang langka saat ini. Saya sendiri bahkan
tidak yakin saya punya keberanian itu. Antum?
Coba saja, berandai-andai, jika tetangga depan rumahmu,
sebelah rumahmu atau dekat kos-kosanmu, adalah
seorang akhwat muslimah yang berusaha menjaga
kehormatan dirinya, lalu ia dianiaya sebagaimana Noura.
Oleh ayahnya sendiri, atau kakak laki-lakinya atau
pamannya, mampukah antum menjadi Fahri baginya?
Saya tidak yakin. Bahkan saya tidak yakin kalo antum bisa
tahu ada kejadian itu karena terlalu disibukkannya diri
antum dengan masalah-masalah dakwah. Masalahmasalah ummat kata antum. Seakan apa yang terjadi di
sebelah rumah antum itu bukan masalah ummat!
~ 99 ~
~Mencari Makna~
Oh..., saya sebenarnya sedang memaki diri saya sendiri.
Menghujat kekerdilan diri saya sendiri. Kelemahan iman
saya, yang hanya mampu menolak dengan hati, tidak
lebih. Bahkan ketika mengandaikannyapun saya merasa
tidak mampu, apalagi jika benar terjadi, atau bahkan
memang terjadi?!
Lalu antum? Saya berharap antum jauh lebih baik dari
pada saya. Karena Noura dalam novel itu lahir bukan
dari sekedar imajinasi, ia adalah potret nyata wajah dunia
Islam saat ini. Bisa jadi Noura yang sebenarnya ada di
sekitar kita, menunggu seorang Fahri yang akan berbuat
sesuatu untuknya. Adakah itu adalah antum? Kita?!
Pun dengan antunna, para akhwat muslimah. Da’iyah!
Akankah
antunna
mampu
menjadi
Maria
yang
melindungi Noura di rumahnya, yang mengusap air
matanya, hal yang tidak bisa dilakukan Fahri untuknya.
Padahal antunna jelas jauh lebih mulia dari Maria,
antunna muslimah, Maria kristen! Tapi sanggupkah
antunna berbuat sebagaimana yang ia lakukan?
Cukupkah bagi kita menasehatkan kesabaran pada
Noura-noura itu? Meminta mereka untuk terus bertahan
terhadap siksaan yang terus mengancam. Adakah
~ 100 ~
~Mencari Makna~
memang saat ini kita selemah itu?! Adakah kita sesedikit
itu?! Sesedikit jumlah kaum muslimin pada masa ta’sis di
mekah yang diminta Rasulullah terus bersabar? Atau kita
sebenarnya jauh lebih besar dari itu, tapi membuih, tidak
berdaya.
Jikapun kita memang sesedikit itu, selemah itu, tidakkah
ada di antara kita seorang Umar yang akan berkata, ”
Bukankah kita dalam kebenaran ya Rasulullah? Bukankah
engkau
utusan
Allah
ya
Rasulullah?”
kemudian
menampakkan kebenaran di hadapan musuh-musuh
Islam dengan gagah. Adakah?
Bisa jadi apa yang terjadi pada Noura telah terdengar
oleh telinga kita sejak lama. Telah mengusik jiwa kita
sejak
lama.
Mungkin
pula
kita
telah
menolak
kemungkaran itu dengan hati kita sejak lama. Tapi
cukupkah itu? Cukupkah untuk membuktikan kecintaan
kita pada-Nya?
Saya takut Allah akan menghukum kita karena ini,
menjadikan dosa atas diam kita ini. Karena bisa jadi
sebenarnya kita mampu berbuat lebih, tapi urung kita
lakukan. Karena kita takut. Akuilah. Karena kita takut.
~ 101 ~
~Mencari Makna~
Padahal baru saja kemaren kita bilang kita hanya takut
pada-Nya.
Mungkin saatnya kini untuk bertindak. Berbuat sesuatu
untuk Noura. Tidak cuma dengan hati. Mungkin, ada
cara setelah do’a untuk membebaskan Noura! Semoga
Allah bukakan jalan itu pada kita. Bagi kita yang peduli.
~ 102 ~
~Mencari Makna~
z
Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong
lagi membanggakan diri,
(QS. Al-Hadiid : 23)
pq
Bukan siapa yang bicara
Di antara manusia – bisa jadi kita – ada golongan yang
susah untuk dinasehati. Ketika seseorang datang padanya
untuk menyampaikan tausiyah, alih-alih mendengar dan
menyimak dengan seksama golongan ini justru sibuk
mencari-cari kelemahan si penyampai nasehat.
Dalam benak oknum ini – yang sekali lagi bisa jadi di
antaranya adalah kita – muncul kata-kata seperti ini,
~ 103 ~
~Mencari Makna~
“ Siapa sih loh? Udah ngerasa suci? Lebih suci dari gue
gitu? Sok ngasih tahu segala!” atau barangkali seperti ini,
“ Lha kamu sendiri kan lebih parah lagi, kamu kan suka
begini, suka begitu, kamu tuh gak pantes ngasih nasehat,
urusin aja dirimu sendiri dulu, ngapain aku ikutin kata
orang munafik macam kamu.”
Atau yang lebih parah lagi mungkin seperti ini, “ Udah
ngaji berapa lama sih? Aku tuh levelnya lebih tinggi dari
kamu, baru juga ngerti agama udah belagu, emangnya apa
sih amalmu selama ini? Amalku kan lebih banyak, karir
dakwahku kan lebih lama, udah deh gak usah rese!”
Ya, bisa jadi kata-kata ekstrim di atas tidak benar-benar
terucap dari bibir mereka tetapi sesak memenuhi benak
dan
hati
mereka
lalu
menyumbat
telinga
dan
mengaburkan pandangan dari fakta kebenaran yang
sedang terpapar di hadapan.
Sedihnya, ‘mereka’ yang saya sebut-sebut di atas kadangkadang juga adalah ‘kita’ atau minimal saya deh supaya
kesannya nggak nuduh.
Jika ini sering terjadi pada kita, maka kita perlu
mengingat kembali sebuah kisah yang tercantum dalam
~ 104 ~
~Mencari Makna~
Kitab Shahih Bukhari tentang pertemuan Abu Hurairah
dengan setan berikut ini.
Abu Hurairah pernah ditugaskan Rasulullah saw untuk
menjaga gudang zakat kaum muslimin dan memergoki
seorang pencuri. Dua kali pencuri ini tertangkap oleh
beliau tapi selalu mengiba minta dilepaskan karena alasan
miskin dan punya banyak tanggungan keluarga. Tapi
Rasulullah memberi tahu Abu Hurairah bahwa alasan itu
hanyalah dusta, sehingga pada malam ke-tiga Abu
Hurairah berniat untuk benar-benar menangkap pencuri
tersebut dan menyerahkannya pada Rasulullah saw untuk
dihukum.
Namun ketika malam ke-tiga tiba dan pencuri itu kembali
tertangkap, ia minta dibebaskan kembali dan sebagai
gantinya ia akan mengajarkan beberapa kalimat yang
menurut pengakuannya akan menjadikan Abu Hurairah
mendapat keuntungan dari Allah swt. Pencuri ini berkata,
“ Bacalah ayat kursyi sebelum tidur maka Allah akan
menunjuk penjaga yang akan menjaga kamu hingga esok
hari dan tidak akan ada setan yang bisa mendekatimu
selama itu.”
~ 105 ~
~Mencari Makna~
Ketka apa yang dikatakan pencuri tadi dilaporkan kepada
Rasulullah saw keesokan harinya, Rasulullah bersabda, “
Dia sungguh telah mengatakan kebenaran meskipun dia
adalah pembohong besar. Tahukah kamu kepada siapa
kamu berbicara dalam tiga malam ini?” Abu Hurairah
menjawab, “ Tidak.” Rasulullah melanjutkan, “ Ia adalah
setan.”
Nah saudara-saudara, bahkan setan pun bisa berkata
benar lho. Atau dengan kata lain, kata-kata yang benar
akan tetap benar meskipun yang menyampaikannya
seorang pendusta.
Jadi sebenarnya nggak penting apakah penyampai pesan
itu seorang munafik, kafir, pendosa, bodoh atau gila,
kalau yang ia sampaikan sesuai dengan kebenaran Al
Qur’an dan Sunnah maka apapun yang ia sampaikan
harus kita terima dan laksanakan. Dengan begitu kita
tidak lagi punya alasan untuk menolak kebenaran karena
ke-tidak sempurna-an penyampainya. Lagian siapa sih
yang sempurna?
Benar bahwa Allah murka kepada orang-orang yang
menyampaikan kebenaran tapi mereka sendiri tidak
mengerjakannya, tapi itu urusan si penyampai dengan
~ 106 ~
~Mencari Makna~
Allah swt, bukan urusan kita yang sedang dinasehati.
Soalnya dimurkainya si penyampai nasehat yang munafik
misalnya, tidak akan menghapus kesalahan yang nyatanyata kita lakukan. Justru penolakan kita akan nasehat itu
bisa menambah murka Allah ke kita.
Sekarang mari kita lihat kondisi hari ini. Sekarang ini di
mana-mana
bermunculan
ustadz-ustadz
dadakan.
Pengisi-pengisi kultum amatiran. Yang entah benar-benar
tahu agama atau tidak, yang entah benar-benar
mengamalkan apa yang mereka katakan atau tidak, tapi
sesungguhnya itu tidak begitu penting.
Karena jika apa yang mereka sampaikan memang
bersesuaian dengan apa yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya, maka wajib bagi kita untuk mengamalkannya
tanpa kecuali.
Semoga Allah menjadikan kita hamba yang mampu
mentaati perintah-Nya dalam segala kondisi.
~ 107 ~
~Mencari Makna~
z
"Katakanlah ( Muhammad) : jika ayah-ayahmu, anakanakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, keluargamu,
harta kekayaanmu yang kamu perolehnya, perniagaan
yang kamu kuatirkan merugi serta rumah-rumah tempat
tinggalmu yang kamu senangi, itu lebih kamu cintai
daripada cintamu kepada Allah dan Rasul serta berjuang
di jalan Allah, maka nantikanlah sehingga Allah akan
mendatangi keputusan-Nya.
( Q.S. At Taubah: 24)
pq
~ 108 ~
~Mencari Makna~
Qurban
untuk Cinta
Hakikat pengorbanan adalah merelakan sesuatu yang kita
cintai untuk sesuatu yang jauh lebih kita cintai.
Ini memang bukan pernyataan para ulama, alias karangan
saya sendiri, tapi saya tidak yakin antum punya alasan
untuk membantahnya. Dasar saya sangat jelas. Mari kita
tengok beberapa fakta sejarah untuk membuktikannya.
~ 109 ~
~Mencari Makna~
Kisah Habil dan Qabil
Saat mereka berebut calon istri, sang Ayah memberi
solusi dalam bentuk pengorbanan. Siapa yang mampu
mempersembahkan kurban yang diterima Allah swt akan
mendapatkan sang gadis pujaan. Lalu Qabil marah dan
membunuh Habil karena kurban busuknya ditolak Allah
swt. Allah lebih menyukai unta gemuk yang dikorbankan
Habil. Berikut bagaimana Al Qur'an menggambarkan
kisah tersebut:
Ceriterakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam
(Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika
keduanya mempersembahkan kurban, maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak
diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): "Aku
pasti membunuhmu!" Berkata Habil: "Sesungguhnya
Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang
bertakwa
(Q.S. Al Maidah: 27)
Sebenarnya bukan unta gemuk atau gandum busuk yang
jadi masalah dalam persitiwa pengorbanan kedua anak
Nabi Adam tersebut, tapi keikhlasan untuk memberikan
~ 110 ~
~Mencari Makna~
yang terbaik dan kepatuhan pada perintah Allah-lah yang
jadi ukuran. Buktinya ayat Al Qur'an yang lain berbunyi,
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak
dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya
(Q.S. Al Hajj: 37)
Kontes yang digelar Nabi Adam as waktu itu
sesungguhnya
bukan
kontes
antar
"barang
persembahan", gandum atau unta, bukan itu. Tapi ia
adalah kontes ketaqwaan antara kedua manusia. Siapa
kiranya yang lebih mencintai Allah saja.
Akan halnya Habil, ia merelakan hewan ternak
terbaiknya, salah satu harta yang ia cintai, untuk
dikurbankan pada Allah, dzat yang jauh lebih ia cintai.
Sedang Qabil hanya berkonsentrasi untuk dengan mudah
mendapatkan si cantik yang telah lama diidamkan. Sejak
awal, Qabil tidak memahami makna pengorbanan yang ia
lakukan.
Bilal dan batu besar
Herankah antum pada kegigihan Bilal untuk bersikukuh
pada pendiriannya menolak penyembahan berhala saat
~ 111 ~
~Mencari Makna~
seluruh tubuhnya melepuh diatas pasir yang menyengat?
Saat sebuah batu besar ditindihkan pada jasadnya yang
semakin hangus menghitam?
Tidak, jika kita memahami makna berkurban.
Dengarlah apa yang Bilal bisikkan kala itu, " ahad.. ahad..
ahad.."
Satu-satunya
kata
yang
ia
ketahui
merepresentasikan Tuhannya Yang Maha Esa kala itu.
Cintanya pada Tuhannya jauh melampui kecintaannya
pada tubuh dan jiwanya sendiri. Bilal telah berkurban
dengan satu-satunya hal yang ia miliki secara defacto
(karena secara deyure seorang budak bahkan dianggap
tidak memilki tubuh dan jiwanya sendiri).
Abu Bakar dan seluruh hartanya
Sekali lagi Umar kalah bersaing dari Abu Bakar dalam
mencintai-Nya. Separuh harta yang ia serahkan sebagai
biaya jihad pada Rasululah tiba-tiba seakan tak berarti
kala Abu Bakar berkata mantap, " Kuserahkan seluruh
hartaku dalam jihad ini ya Rasulullah."
Harta yang sedemikian sulit ia cari dengan membanting
tulang memeras keringat, harta yang menjadi sandaran
hidup istri dan anaknya, tidak lagi bernilai bagi Abu
~ 112 ~
~Mencari Makna~
Bakar dibanding apa yang sedang ia kejar saat itu. Cinta
Allah swt.
Ribuan Kisah lainnya
Sumayyah berkorban dengan jiwa raganya, rela dibantai
dengan keji, karena mencintai Allah di atas segalanya.
Seorang pemuda dalam kisah Ashabul Uhdud (ingat,
"uhdud" bukan "udud"), rela dieksekusi di depan umum
untuk menegakkan kalimat Allah. Nyawa ditukar dakwah.
Karena memang dakwahlah yang lebih berarti baginya.
Nabi Ayyub yang tak pernah mengeluh saat virus
penyakit kulit menggerogoti tubuhnya, Nabi Yusuf yang
lebih memilih dipenjara, Rasulullah saw yang menolak
tawaran menggiurkan Quraisy dan justru memilih diusir
dan disiksa demi terus berdakwah. Semuanya adalah
bentuk-bentuk pengorbanan agung. Melepas apa yang
dicintai untuk sesuatu yang lebih mereka cintai.
Demikian pula ketika Nabi Ibrahim harus menyembelih
putra kebanggaannya. Kalau Allah tidak lebih beliau
cintai, tak akan sanggup beliau menempelkan pisau itu di
leher sang anak yang lama ia idamkan.
~ 113 ~
~Mencari Makna~
Bagaimana dengan kita?
Sudahkan kita mencintai surga di atas semua perhiasan
dunia? Sudahkah kita menempatkan cinta Allah dan cinta
Rasul
di
atas
memprioritaskan
cinta
dakwah
lainnya.
Sudahkah
di
setiap
atas
kita
aktivitas
kehidupan? Semua pertanyaan di atas perlu dijawab
dengan bukti amal perbuatan, bukan retorika.
Maka dengarkanlah firman Allah berikut ini,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang
mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka”.
(QS. At-Taubat : 111)
Maha Suci Alah yang menguasai segala kerajaan dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menciptakan mati
dan hidup, untuk menguji kamu, siapa diantara kamu
yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha
Pengampun”.
(QS. Al-Mulk : 1-2)
Maka manakah yang lebih kau cintai wahai manusia?
Dunia atau Pencipta dunia?
~ 114 ~
~Mencari Makna~
Rintik Biru
Muhasabah
~ 115 ~
~Mencari Makna~
z
Allah tidak mencintai ucapan buruk, (yang diucapkan)
dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.
Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS An Nisaa’: 148)
pq
Tenggelam
dalam keringat
Satu hal yang harus kita pahami bersama. Bukan hanya
bahwa tiada seorangpun di dunia ini yang sempurna,
tetapi juga bahwa setiap orang niscaya akan atau pernah
berbuat kesalahan dan dosa.
Karena mereka yang ma’shum (dijaga dari berbuat dosa)
itu hanyalah para Nabi dan Rasul.
~ 116 ~
~Mencari Makna~
Ini bisa dibuktikan dengan menukil keterangan dari
Rasulullah saw tentang nasib manusia di Padang Mahsyar
kelak. Dalam sebuah hadits, Rasulullah menggambarkan
bahwa setiap manusia kelak akan merasa malu dengan
seluruh amal buruknya hingga masing-masing tenggelam
dalam keringat saking malunya. Ada yang selutut, seperut
bahkan sampai mulut sesuai kadar perbuatan buruknya.
Hilanglah harga diri dan kepercayaan diri. Hilang sudah
ketokohan dan figuritas. Yang tersisa hanya diri yang
hina berlumur dosa.
Dari al-Miqdad r.a., katanya: "Saya mendengar Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Didekatkanlah matahari pada hari kiamat itu dari para
makhluk hingga jarak matahari tadi adalah bagaikan
kadar semil saja."
Sulaim bin 'Amir yang meriwayatkan Hadis ini dari alMiqdad berkata: "Demi Allah, saya sendiri tidak mengerti
apa yang dimaksudkan dengan kata mil itu, apakah
ertinya itu jarak semil bumi ataukah mil yang ertinya alat
untuk mengambil celak - dari tempatnya - guna celak
mata."
~ 117 ~
~Mencari Makna~
Rasulullah s.a.w. bersabda seterusnya: "Maka keadaan
manusia-manusia pada hari itu adalah menurut kadar
masing-masing amalannya dalam banyak sedikitnya
keringat – yang keluar dari badannya.
Di antara mereka ada yang berkeringat sampai di kedua
tumitnya dan di antaranya ada yang sampai di kedua
lututnya dan di antaranya ada pula yang sampai di tempat
pengikat sarungnya yang ada di kedua lambungnya,
bahkan di antaranya ada yang dikendalikan oleh keringat
itu dengan sebenar-benarnya dikendalikan - yakni seperti
kendali kuda yaitu keringat tadi sampai masuk ke mulut
dan
kedua
telinganya."
Ketika
menyabdakan
ini
Rasulullah s.a.w. menunjuk dengan tangannya ke arah
mulutnya."
(H.R. Muslim)
Dari sini kita akan menyadari bahwa salah satu nikmat
terbesar yang diberikan Allah swt pada kita di dunia
adalah tertutupnya aib diri dari pandangan manusia.
Bayangkan jika Allah membuka seluruh aib kita. Masih
beranikah kita menghadapi manusia, menghadapi mad’umad’u kita, menghadapi adik-adik kelas kita, menghadapi
~ 118 ~
~Mencari Makna~
calon istri kita, calon mertua kita, dan seterusnya. Besar
kemungkinan kita semua akan menjawab, “ Tidak!”
Bayangkan jika Allah membuka aib para ustadz, para
aktivis dakwah, para penyeru kebenaran, maka sudah
tentu manusia akan berhenti mendengar seruan para
penghasung dakwah itu karena merasa mereka sama
kotornya dengan diri sendiri hingga tak pantas didengar
lagi. Akibatnya rusaklah tatanan hidup manusia. Masingmasing berbuat tanpa tuntunan, tanpa kendali, dan makin
terseret menuju kebinasaan.
Kesimpulannya, tertutupnya aib adalah sangat urgen bagi
keberlangsungan hidup manusia. Ada hadits menarik lain
yang berkenaan dengan hal ini. Dalam hadits ini
diterangkan bahwa barang siapa menutupi aib saudaranya
di dunia maka Allah akan menutup aibnya di akhirat.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Tiada
seseorang hambapun yang menutupi cela seseorang
hamba yang lainnya di dunia, melainkan ia akan ditutupi
celanya oleh Allah pada hari kiamat."
(H.R. Muslim)
Indah bukan?! Allah tahu bahwa manusia sangat egois,
bahwa bisa jadi manusia akan berpikir untuk menutupi
~ 119 ~
~Mencari Makna~
aib sendiri tapi di saat yang sama membeberkan aib
orang
lain
untuk
menunjukkan
kemuliaan
dan
kelebihannya dibanding orang lain. Karenanya Allah
membuat penawaran yang sangat elegan, “Jika ingin
aibmu tertutupi, tutupilah aib saudaramu.” Kira-kira
begitu
kalau
berempati
disingkat.
pada
manusia
Allah
lain
memaksa
dengan
manusia
menyadari
kelemahan diri.
Sayangnya dalam praktek kehidupan sehari-hari kita
kadang lupa dengan apa yang baru kita diskusikan di atas.
Kecenderungan untuk membuka aib orang lain itu
kadang begitu besar.
Contoh kasus, saat melihat seorang ustadz dengan
menggebu-gebu menyampaikan materi “Pernikahan
Sakinah” seorang hadirin nyeletuk, “ Yee…, lha wong
pernikahannya ustadz itu aja berantakan kok, tuh
sekarang istrinya dua, istri mudanya selisih 20 tahun lho,
sekarang aja udah jarang pulang ke rumah istri tua, anakanaknya gak keurus, masih mending keluarga saya
…bla..bla..bla…” (ni hadirin tiba-tiba jadi pembicara
kedua dalam kajian itu).
Contoh
lain,
saat
seorang
murabbi
kampus
menyampaikan urgensi dakwah kepada para binaannya,
~ 120 ~
~Mencari Makna~
salah seorang binaan berbisik pada sebelahnya, “ Lha
mas itu kan udah tujuh tahun ini ada di kampus, gak
lulus-lulus, kebanyakan kegiatan partai tertentu kayaknya,
pembimbing skripsinya nyari-nyariin dia mulu tapi dia
nggak pernah
ngadep,
emangnya partai penting,
bukannya haram?! Kalo gue sih ...bleh..bleh..bleh…”
(ilernya kemana-mana karena terus ngomong sambil
bisik-bisik).
Atau contoh yang ini, setelah seorang murabbiyah
kampus menyampaikan materi “Sabar” beberapa oknum
binaannya bergosip, “ Eh, denger-denger si Mbak
kemarin proses nikah gagal lagi, kalo kuitung-itung udah
tiga kali ini nih, yang terakhir malah sama ikhwan
sekelasku, lebih muda tiga tahun, terang aja ditolak,
kayaknya si Mbak emang butuh lebih banyak sabar,
blup..blup..blup…” (semakin lama ngomong mulutnya
makin berbusa).
Ketiga contoh di atas tentu saja fiktif dan telah saya
dramatisir sebagaimana biasa, tapi inspirasinya dari
kejadian-kejadian nyata yang pernah saya temui, dan
bukan tidak mungkin pernah anda alami dalam versi yang
lain.
~ 121 ~
~Mencari Makna~
Kira-kira apa sih yang didapat dari menyampaikan aib
orang lain seperti contoh-contoh di atas? Walaupun
misalnya aib dalam informasi-informasi itu benar, rasarasanya tidak mungkin kalo menyebarkannya menjadikan
kita kelihatan lebih hebat atau lebih mulia.
Jadi untuk apa membicarakannya? Apakah untuk
melindungi para pendengar kajian? Dari apa? Dari
kesalahan atau kemaksiatan sang tokoh? Omong kosong.
Tidak ada orang yang mendapat dosa dari kesalahan
orang lain kecuali orang itu yang nyuruh. Dosa sang
tokoh ya tokoh itu sendiri yang nanggung. Apa yang
musti dikhwatirkan? Siapa yang perlu dilindungi? Apa
relevansinya antara aib si tokoh dengan kebenaran yang
nyata-nyata sedang disampaikan si tokoh? Tidak ada.
Sungguh tidak ada alasan apapun yang membenarkan kita
membuka aib saudara kita dalam konteks-konteks di atas.
Yang ada kita justru memperbesar peluang terbukanya
aib kita di akhirat nanti.
Kalau ternyata kesimpulan ini tidak juga menghentikan
kita dari membuka aib orang lain, barangkali kita
memang sudah siap untuk tenggelam bahkan mungkin
berenang dalam keringat sendiri. Naudzubillahi min
dzalika…
~ 122 ~
~Mencari Makna~
z
Dan mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan
kepadanya (Muhammad) suatu keterangan (mukjizat) dari
Tuhannya?" Maka katakanlah: "Sesungguhnya yang ghaib
itu kepunyaan Allah, sebab itu tunggu (sajalah) olehmu,
sesungguhnya aku bersama kamu termasuk orang-orang
yang menunggu
(Q.S. Yunus :20)
pq
~ 123 ~
~Mencari Makna~
Aneh, sungguh aneh…
Kalau ada yang pasti dalam kehidupan ini tentulah
ketidak-pastian
itu
sendiri.
Ya,
siapa
yang
bisa
memastikan apa yang akan terjadi setahun, sebulan,
sehari, sejam, bahkan satu menit yang akan datang?
Apakah kita yakin besok kita masih bernafas? Atau
sebelum itu, apakah kita yakin masih ada esok?
Sebenarnya tidak kan?! Anehnya kita sering bertingkah
seolah kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
~ 124 ~
~Mencari Makna~
Saat mendapatkan tugas, kita tunda pengerjannya karena
yakin bisa diteruskan di lain hari. Saat digoda maksiat,
kita tidak menolak karena yakin masih ada waktu untuk
bertobat.
Padahal
sungguh,
kita
tidak
memiliki
pengetahuan akan apa yang akan terjadi.
Jangankan kita, Rasulullah saw pun tidak memiliki
pengetahuan akan masa depan kecuali atas apa yang
diwahyukan padanya.
Tercatat dengan akurat dalam Al Qur’an saat beliau saw
ditanya oleh orang-orang Bani Israil tentang tiga perkara:
Zulkarnain, Ruh dan Hari Kiamat. Kelalaian Rasulullah
saw
untuk
mengucap
“InsyaAllah”
menjadikan
tertundanya wahyu yang menjawab ketiga pertanyaan
tersebut.
Itu Rasulullah, orang yang paling dicintai-Nya, lalu apa
jadinya dengan kita? Kita manusia biasa dari kumpulan
manusia biasa-biasa saja, tapi begitu tenang saat
mengobral janji tanpa mengucap “InsyaAllah”. Begitu
santai untuk menunda tobat dan beternak maksiat. Aneh,
sungguh aneh…
Mungkin tak ada esok untuk merubah keanehan ini,
maka rubahlah saat ini!
~ 125 ~
~Mencari Makna~
z
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu
kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa
yang pada diri mereka”
(Q.S. Ar Ra’du: 11)
pq
Cerita Lama
Ada sebuah lelucon lama. Tentang seorang yang
kehilangan sesuatu di sebuah ruangan yang gelap. Setelah
mencari beberapa lama tapi tidak ketemu juga, akhirnya
teman
orang yang
kehilangan
tadi
berniat
ikut
membantu, tetapi ia langsung merasa keheranan karena
ternyata selama itu orang yang kehilangan tersebut justru
mencari di ruangan yang berbeda. Ketika ditanyakan
padanya, dengan enteng orang yang kehilangan ini
~ 126 ~
~Mencari Makna~
menjawab, “ Kalo nyarinya di ruangan yang tadi susah
ketemunya, soalnya gelap. Nah kalo di sini kan lebih
mudah karena lebih terang!”
Begitu ceritanya.
Saya tidak tahu apakah antum tertawa, cuma tersenyum
atau malah bingung setelah membaca cerita di atas, tapi
sejak awal saya memang tidak berniat melucu dengan
cerita tadi.
Kadang-kadang, atau bisa jadi sering dalam hidup ini kita
berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang kita
hadapi dengan tindakan yang tidak rasional. Seolah kita
berfikiran ‘yang penting usaha’. Tidak peduli apakah
usaha itu akan membuahkan hasil, atau justru menjadikan
kita capek dalam kesia-siaan. Tidak peduli apakah usaha
itu semakin mendekatkan kita pada tujuan, atau semakin
membawa kita jauh melenceng dari jalan kesuksesan.
Mereka-mereka yang rajin ke dukun untuk minta
pesugihan atau jodoh adalah salah satu contoh ekstrim
dari apa yang saya maksud dalam paragraf sebelum ini.
Hanya salah satu, dan itupun yang paling ekstrim
menurut saya. Sesungguhnya ada sebuah contoh lain
~ 127 ~
~Mencari Makna~
yang lebih dekat dengan keseharian kita, atau setidaknya
saya.
Dulu waktu masih kuliah saya merasa sangat tidak
nyaman dengan jurusan yang saya ambil. Semakin lama
bukan semakin tertarik tapi justru semakin muak.
Karenanya, semangat belajar saya semakin menurun tiap
harinya.
Tentu hal ini berimbas kepada nilai yang saya dapatkan.
Dengan semangat selembek itu wajar jika kemudian nilai
saya tidak kunjung meningkat bahkan cenderung
menurun di tiap semester (kecuali semester pendek).
Sesungguhnya saya menyadari betul apa yang sebenarnya
terjadi waktu itu. Tetapi alih-alih mencari jalan untuk
meningkatkan ketertarikan saya pada jurusan saya itu,
saya justru mencari kesibukan lain.
Kesibukan yang saya pilih memang tidak buruk. Waktu
itu saya menenggelamkan diri dalam aktivitas dakwah
kampus dan berbagai organisasi kemahasiswaan. Saya
berpikiran aktivitas ini jauh lebih bermanfaat daripada
kuliah yang tidak saya senangi itu, malah manfaatnya
nggak cuma di dunia tapi insya Allah di akhirat juga. Saya
tidak bangga untuk mengakui bahwa waktu itu sebagian
~ 128 ~
~Mencari Makna~
dari diri saya tengah melarikan diri dari masalah yang tak
mampu saya hadapi.
Saya tidak pernah menyalahkan dakwah dan tidak pula
mengingkari banyaknya manfaat yang saya dapatkan dari
aktivitas itu. Tetapi dalam hal permasalahan kuliah yang
saya alami saat itu, menjadikan dakwah dan organisasi
sebagai ajang pelarian tentu tidak bisa disebut sebagai
prestasi.
Memang betul, Allah akan menolong hamba-Nya yang
menolong agama-Nya, tapi itupun harus disertai ikhtiar
dan kemauan keras si hamba untuk keluar dari masalah.
Masalah yang terkadang ia ciptakan sendiri.
***
Nah, saya tidak menuduh, tapi bisa jadi di antara antum
ada yang mengalami apa yang pernah saya alami. Jika iya,
maka saya sarankan untuk segera kembali ke ruangan
gelap itu dan carilah lilin untuk dinyalakan di sana,
ketimbang menikmati terangnya cahaya di ruangan lain
yang tidak akan membawa solusi bagi masalah antum.
Untuk kasus saya, Allah memang pada akhirnya
menurunkan pertolongan-Nya, berupa kesadaran bahwa
~ 129 ~
~Mencari Makna~
segalanya tidak akan pernah baik-baik saja selama saya
tidak pernah benar-benar berusaha memperbaikinya.
Ketika saya mulai sadar dan serius kembali dalam
perkuliahan (menyeimbangkan akademis dan dakwah),
Allah kemudian mencurahkan berbagai kemudahan yang
menghantarkan saya pada keadaan saya saat ini (mulai
dari kemudahan judul skripsi, pembimbing yang
motivatif, dan yang paling ajaib: perubahan kurikulum
yang menguntungkan, he..he..).
‘Ala kulli hal, semua yang terjadi dalam hidup kita
memang tidak perlu disesali tapi harus dievaluasi, untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik di masa datang.
Setuju?
~ 130 ~
~Mencari Makna~
z
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya…
(Q.S. Al Baqarah :286)
pq
~ 131 ~
~Mencari Makna~
Hamparan Kehidupan
Seringkali saat berada dalam situasi sulit kita merasa
seolah menjadi satu-satunya makhluk yang menderita di
muka bumi. Tak jarang, kita merasa tidak akan pernah
bisa keluar dari masalah itu. Gelisah, cemas dan
mengeluh. Tapi waktu telah membuktikan bahwa semua
dugaan kita itu selalu salah.
Seperti saat kita belajar berjalan. Awalnya sulit dan
hampir-hampir kita menyerah berusaha, tapi pada
~ 132 ~
~Mencari Makna~
akhirnya bahkan kita mampu berlari dengan kencang.
Seperti saat hari-hari awal OSPEK yang kita alami, selalu
terasa berat dan memuakkan. Namun dikenang indah
dan penuh warna setelah setahun berlalu.
Manusia memang ditakdirkan bermasalah, lalu mengapa
harus
lari
darinya?
Hadapi
dengan
gagah.
Toh
penciptamu tak pernah menuntutmu selalu berhasil
menaklukkan masalah. Ia hanya memintamu berusaha
segenap yang kau bisa. Itu saja.
Memang, inna ma’al ‘usri…yusra, bersama kesulitan ada
kemudahan. Tapi itu sebenarnya juga berarti: bersama
kemudahan akan selalu ada kesulitan!
Hamparan kehidupan yang Allah bentangkan bagi kita
sungguh teramat jarang datar dan mudah. Lebih sering ia
mendaki, berkarang dan terjal.
Jadi bermimpilah terus wahai pendamba kesenangan
tanpa
perjuangan.
Bermimpilah,
hingga
ajal
menjemputmu dalam kesia-siaan.
Dan bagimu, para pahlawan peradaban, teruslah
berjuang! Tiap tetes darah keringatmu akan bercucuran
di timbangan amal, meninggikan derajadmu di sisi
Pemutus Perkara yang paling adil.
~ 133 ~
~Mencari Makna~
z
Berdo’alah kamu kepada-Ku niscaya
akan Ku-perkenankan bagimu.
Sesungguhnya, orang-orang yang enggan
untuk beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka
dalam keadaan hina-dina”.
(Q.S. Al Mu’min : 60)
pq
~ 134 ~
~Mencari Makna~
Mari Berdo’a
Biasanya kalo pas kita dimintai bantuan seorang teman
tapi lagi nggak niat pengen mbantu yang kita bilang
adalah, "Afwan akhi kali ini saya cuma bisa mbantu
dengan doa." Biasanya juga, setelah mendengar kalimat
ini pihak yang meminta bantuan langsung manyun trus
menggerutu, " Yee..sama juga bohong..!!"
Ternyata kita sering meremehkan arti penting do'a.
Padahal kita tahu persis semua dalil yang ada selalu
menempatkan do'a pada posisi yang sangat penting.
~ 135 ~
~Mencari Makna~
Yang paling mahsyur tentu hadits ini, “ Do'a adalah inti
ibadah (addua' mukhul 'ibadah)”. Hadits riwayat Anas
bin Malik ini sanadnya memang tidak sahih. Tapi ada
hadits bersanad sahih yang isinya senada dengan hadits
tersebut yaitu, “ Do’a adalah ibadah (addua’ huwal
ibaadah)” yang diriwayatkan Nu’man bin Basyir.
Sekarang coba kita renungkan. Kita tahu persis bahwa
satu-satunya alasan diciptakannya kita dan jin adalah
untuk beribadah kepada-Nya, nah kalau do'a adalah inti
dari satu-satunya alasan itu kok bisa-bisanya ya dalam
praktek kehidupan kita sering kita meremehkan do'a ini.
Mungkin salah satu alasannya karena kita kurang yakin
bahwa setiap doa kita pasti dikabulkan. Soalnya kita
merasa jauh dengan pengabul doa itu, yaitu Allah swt.
Padahal Allah sudah berfirman,
" Wa idza saalaka 'ibadii 'annii fainnii qariib. Ujiibu
da'watid da'i idza da'an." yang artinya kurang lebih, " Dan
jika hambaku bertanya tentang Aku maka (katakanlah)
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permintaan hamba-Ku jika ia meminta."
(Q.S. Al Baqoroh: 186)
~ 136 ~
~Mencari Makna~
Amru Khalid sering menulis dalam bukunya kalau ayat
ini menunjukkan bahwa syarat dikabulkannya doa itu
sesungguhnya intinya satu: jika kita meminta, itu saja.
Kalau kita meminta sungguh-sungguh dan yakin akan
dikabulkannya doa itu, maka pasti akan dikabulkan.
Jangankan kita, lha wong makhluk paling bejat yang
pernah ada saja, yang terang-terangan menentang Allah
swt saja, dikabulkan kok doanya.
Ingat kisah iblis kan? Setelah menolak perintah sujud
kepada Nabi Adam as, dia dihukum dikeluarkan dari
surga dan hendak dimasukkan ke neraka. Waktu itu ia
meminta tangguh kepada Allah hingga hari kiamat untuk
menggoda manusia dan langsung dikabulkan bukan?
Lihat, Iblis pun berdoa (meminta) kepada Allah dan
dikabulkan. Jadi apa dong yang menjadikan kita kurang
PD dengan doa kita?
Benar bahwa itu semuapun memang sesuai rencana
dalam takdir Allah, tapi bukankah seluruh kehidupan kita
ini juga telah terencana dalam takdir Allah?
Tapi kalau kita belum ngerasa PD juga untuk berdoa ya
minta didoakan aja oleh orang-orang yang keliatannya
lebih
besar
kemungkinan
~ 137 ~
dikabulkannya
doanya.
~Mencari Makna~
Makanya ada baiknya menyimpan sebanyak-banyaknya
nomor Ustadz di HP kita untuk kita mintai doa.
Selamat berdoa.
~ 138 ~
~Mencari Makna~
z
“ Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar “
(Q.S. Ali Imran : 146)
pq
Aamul Huzni
Rasulullah saw tentu sangat menyadari bahwa setiap
orang pasti akan meninggal, bahwa tidak ada yang kekal
di muka bumi ini.
Beliau tentu menyadari, bahwa takdir yang Allah
tentukan bagi makhluk-Nya adalah yang terbaik bagi
makhluk itu.
~ 139 ~
~Mencari Makna~
Beliau tentu juga sangat yakin, bahwa tiada cobaan yang
diberikan Allah melainkan sesuai dengan kapasitas
keimanan hamba-Nya.
Rasulullah saw adalah manusia yang paling bertaqwa dan
paling bertawakal kepada Allah di seantero jagad ini,
sungguhpun demikian sejarah telah mencatat bahwa
manusia yang paling mulia ini pernah mengalami masa
yang paling menyedihkan hatinya.
Aamul huzni adalah saat-saat dimana Rasulullah begitu
terguncang jiwanya karena kehilangan dua orang yang
paling beliau cintai. Abu Thalib dan Khadijah. Dua
tokoh yang amat istimewa letaknya di hati Rasulullah
saw.
Abu Thalib memang seorang kafir hingga akhir hayatnya.
Rasulullah saw tidak pernah menyangkal fakta bahwa
Abu Thalib akan menjalani akhiratnya di neraka, meski
begitu jasa Abu Thalib bagi perjuangan Rasulullah
mendakwahkan Islam sesungguhnya memang tidak
sedikit. Dengan tegar ia berdiri gagah membela
keponakannya dari pembesar-pembesar kaumnya di kala
tiada yang berani membela.
~ 140 ~
~Mencari Makna~
Sedang Khadijah, ia adalah wanita yang dijanjikan surga
atasnya. Ialah yang pertama kali beriman dengan apa
yang dibawa Rasulullah. Menentramkannya di kala
gelisah,
menggelontorkan
seluruh
hartanya
bagi
perjuangan Rasulullah tanpa sedikitpun pernah mengeluh
akan cercaan dan pandangan sinis kaumnya terhadap
suaminya. Ia adalah ibu dari seluruh kaum muslimin.
Maka ketika keduanya tiada untuk selamanya, manusia
yang paling bertaqwa ini limbung juga. Terguncang
jiwanya.
Sedih, teramat sedih.
Lihatlah betapa panjang masa kesedihan Rasulullah ini.
Aamul huzni berarti tahun kesedihan. Jikalau masa ini
hanya sebentar mungkin ahli sejarah akan menyebutnya
sebagai yaumul huzni (hari kesedihan) atau syahrul huzni
(bulan kesedihan) misalnya. Tetapi tidak, mereka
menyebutnya sebagi aamul huzni karena begitu lama dan
dahsyatnya kesedihan yang meliputi Rasulullah saw saat
itu. Padahal ia – Rasulullah saw – sekali lagi adalah
manusia paling bertaqwa, paling bertawakal kepada Allah
swt.
~ 141 ~
~Mencari Makna~
Lalu apa kiranya pelipur lara yang mampu menepis
kesedihan yang dahsyat ini?
Rihlah, barangkali itulah jawabannya. Tapi bukan
sembarang rihlah. Ia haruslah rihlah yang amat istimewa,
yang sangat ajaib, menakjubkan dan penuh hikmah.
Rihlah ini kini kita sering sebut dengan Isra’- Mi’raj.
Sebuah perjalanan ajaib dengan kendaraan ajaib (buraq)
bersama pendamping terbaik (Jibril as). Sebuah perjalan
yang
mempertemukan
Rasulullah
dengan
para
pendahulu-pendahulunya yang juga pernah mengalami
penderitaan serupa dalam mendakwahkan Islam. Sebuah
perjalanan yang membawa Rasulullah terbang jauh,
tinggi,
meninggalkan
segala
permasalahan
yang
meresahkan hatinya. Tinggi sekali hingga ia bertemu
dengan Zat yang paling ia cintai, Allah swt.
Sebuah rihlah yang luar biasa, pelipur lara yang sempurna
untuk kesedihan yang teramat dahsyat.
***
Jadi wajar bagi kita untuk bersedih. Saat kita merasa
begitu banyak cobaan yang mendera, begitu sulit dan
rumit masalah yang harus diselesaikan.
~ 142 ~
~Mencari Makna~
Wajar kalau kadang kita ingin berlari, terbang jauh dari
semua masalah itu.
Wajar saja, asal jangan keliru menyikapinya.
Allah
telah
menurunkan
rihlah
untuk
kita
saat
memperjalankan Rasululah dalam rihlah yang ajaib itu.
Rihlah itu bernama sholat. Sebuah momen dimana kita
bisa terbang, jauh tinggi, mengadu pada-Nya. Hanya
pada-Nya.
“Arihna bissholat..” Demikianlah yang sering Rasulullah
ucapkan kepada Bilal saat memintanya untuk adzan.
Kalimat itu bermakna, “ Istirahatkan kami dengan
sholat…”
~ 143 ~
~Mencari Makna~
z
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu…”
(Q.S. Ali Imran :159
pq
~ 144 ~
~Mencari Makna~
Menutup
Pintu Kekerasan
Dialah Qabil...
Entah apa yang ada dalam pikiran Qabil saat ia
memutuskan
untuk
membunuh
Habil,
saudara
kandungnya. Semuanya gara-gara satu masalah sepele,
ayahnya hendak menikahkan Habil dengan gadis yang
lebih cantik dari yang akan dinikahkan dengannya.
Seorang gadis yang telah lama ia idamkan untuk menjadi
istrinya.
~ 145 ~
~Mencari Makna~
Dengki menjadikannya lupa diri, ia bunuh Habil. Tidak
peduli, bahwa ini akan mencoreng nama ayahnya – Nabi
Adam as - yang begitu mulia. Tidak peduli, bahwa ini
berarti pembangkangan terhadap keputusan Allah yang
lebih
memilih
persembahan
Habil
ketimbang
persembahan busuknya. Qabil telah gelap mata! Maka ia
terabadikan dalam Al Qur’an sebagai pioner pelaku
kejahatan terhadap manusia (QS Al Ma’idah: 27-31).
Ialah pencetus pembunuhan terhadap manusia untuk
pertama kali.
Mereka yang mencontoh Qabil
Kini kita melihat penerus Qabil ada di mana-mana. Di
koran yang kita baca, dalam tayangan televisi yang kita
tonton, radio yang kita dengar, hampir tidak pernah sepi
dari
berita
tentang
kekerasan.
Pembunuhan,
penganiayaan, dan penyiksaan mewabah di masyarakat.
Tayangan model SERGAP, BUSER, dan PATROLI
seakan tidak pernah kekurangan berita. Selalu ada
tersangka yang bisa dieksploitasi tiap harinya. Itu yang
tertangkap, yang disiarkan media. Kenyataannya, kejadian
semacam ini yang tidak terliput media jauh lebih banyak
lagi, dengan modus operandi yang lebih rapi, lebih hatihati, sehingga sulit diajukan ke meja hijau.
~ 146 ~
~Mencari Makna~
Beberapa waktu yang lalu kasus IPDN sempat booming.
Setelah bertahun-tahun dianggap aman dari kekerasan
(sejak kasus sebelumnya), tiba-tiba seorang Praja
ditemukan tewas di tangan kakak kelasnya. Dihajar ramerame. Maka semua pihak seolah tidak mau ketinggalan
mengecam kejadian itu, dengan berbagai motif. Ada yang
benar-benar peduli, ada yang hanya ingin cari selamat
agar tidak dianggap terlibat. Sayangnya, kecaman itu
harus
menunggu
sampai
jatuh
korban.
Padahal
penyiksaan telah berjalan bertahun-tahun, tapi semua
diam. Ketakutan. Baru ketika media memblow up isu ini,
semua membebek berkomentar.
Tidak lama berselang, dunia geger. Terjadi pembantaian
massal di kampus Virginia Tech oleh seorang keturunan
Korea berkewarganegaraan Amerika. Kejadiannya mirip
film-film action di televisi. Sang pembunuh, mengenakan
rompi layaknya tokoh-tokoh film action menembaki
setiap orang yang ditemuinya dengan dua pistol yang
digenggamnya. 22 orang tewas dalam sekejap, si
pembunuh sendiri ikut mati, bunuh diri. Tampaknya
orang ini benar-benar gila, karena di hari yang sama
dengan waktu menjalankan aksinya, ia terlebih dahulu
mengirim pose-pose dirinya memegang berbagai jenis
~ 147 ~
~Mencari Makna~
senjata ke sebuah kantor pemberitaan. Lengkap dengan
pidato sumpah serapah yang lebih didominasi makian,
kata-kata kasar dan cabul. Narsis!
Jauh sebelum dua berita terheboh di atas direlease,
seluruh media informasi di tanah air telah dipenuhi aksiaksi kekerasan yang justru dilakukan oleh para polisi,
profil
manusia
ketertiban
dan
yang
seharusnya
kemanan
di
menjadi
simbol
masyarakat.
Cukup
memalukan memang, karena motif-motifnya tidak jauh
beda dengan motif orang kebanyakan. Rebutan cewek,
dendam pada selingkuhan istri, dan sejenisnya. Polisi juga
manusia? Benar juga sih...
Jangan salahkan Setan (saja)!
Apa yang telah mendorong mereka melakukan semua
perbuatan bodoh itu? Qabil pasti tidak melakukan
pembunuhan
itu
untuk
mendapat
gelar
sebagai
pembunuh pertama di dunia! Oknum Praja yang
menghabisi adik kelasnya itu juga tidak bangga dengan
apa yang telah mereka lakukan, terbukti mereka selalu
menutupi wajahnya ketika diliput media. Bahkan Cho
Seung-Hui, pelaku penembakan di Virginia Tech yang
~ 148 ~
~Mencari Makna~
narsis itu juga tidak begitu bangga dengan apa yang telah
ia lakukan. Kalau bangga, ia tidak perlu bunuh diri dong?!
Setankah yang menyuruh mereka? Mungkin, tapi Al
Qur’an tidak menyebut setan sebagai biang keladi
peristiwa pembunuhan Habil. Lihat ayat 30 Surat Al
Ma’idah, di situ disebutkan yang mendorong Qabil
membunuh saudaranya sendiri adalah hawa nafsunya!
Hawa nafsu yang ada dalam dirinya sendiri! Ini bukan
berarti setan tidak punya andil sama sekali dalam
peristiwa ini. Bisa jadi setan juga yang pertama kali
membisiki Qabil untuk berbuat jahat, tapi bukan setan
yang menjadikannya tega membunuh, melainkan hawa
nafsunya sendiri. Hal serupa itulah yang juga terjadi pada
pengikut jejak Qabil di atas.
Biar antum paham, akan saya jelaskan cara kerja setan
dalam menggoda manusia. Ini bukan pendapat saya
sendiri lho, tapi kata ulama’. Setan tidak ingin manusia
tergoda dengan satu macam maksiat, makanya setan
menggoda manusia dengan berbagai jenis maksiat, tapi
tidak terus-terusan. Cukup satu-dua bisikan. Selanjutnya
hawa nafsunya yang bekerja, mendorong-dorong untuk
mengerjakan
bisikan
itu.
Kalau
jiwanya sanggup
melawan, ia tidak akan melakukan dosa itu. Tapi kalau
~ 149 ~
~Mencari Makna~
jiwanya kalah, ia akan terjerumus pada dosa itu dan terus
mengulanginya. Lagi, dan lagi! Sehingga setan tinggal
santai-santai melihat sang korban mengerjakan dosa itu
secara mandiri.
Hikmahnya, jangan buru-buru menimpakan semua
kesalahan pada setan untuk semua kemaksiatan yang kita
lakukan, seolah kita tidak punya andil sama sekali dalam
kesalahan itu. Instropeksi! Bisa jadi itu adalah keinginan
hawa nafsu kita sendiri yang terlalu kita umbar, yang
kebetulan dideteksi oleh setan dan dibesar-besarkan
(bahasa jawanya: diobor-obori). Kitalah yang punya
kontribusi terbesar untuk semua kemaksiatan yang kita
lakukan,
bukan
setan!
Jadi,
banyak-banyaklah
bertaawudz, tapi juga jangan lupakan pengendalian nafsu
sendiri.
Kalau
bertaawudz
tapi
pikirannya
selalu
membayangkan yang tidak-tidak, selalu nyerempetnyerempet yang dilarang agama, ya nggak bakalan ngefek
taawudznya!
Ingat kata Malaikat
Berbicara tentang kasus-kasus kekerasan yang telah
dilakukan manusia, saya jadi teringat protes malaikat
kepada Allah saat manusia pertama kali diciptakan. Kata
~ 150 ~
~Mencari Makna~
mereka,
” Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah ...” Tuh,
bahkan malaikat aja nggak percaya ama kita! Bahkan
malaikat pun menuduh kita sebagai biangnya kekerasan,
jagonya menumpahkan darah?! (lihat QS. Al Baqarah:30).
Tuduhan yang tidak sepenuhnya salah memang, wong
kita sudah lihat buktinya. Tapi apakah memang cuma itu
potensi kita sebagai manusia? Tidak, manusia bukan
semata-mata sebagaimana yang dituduhkan para malaikat
itu. Allah berfirman di ayat yang sama, ” Sesungguhnya
Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Allah mengilhamkan dua kecenderungan dalam diri
manusia: fujur dan taqwa, sebagai kelebihan bagi manusia
dibanding makhluq lainnya. Agar mereka memilih
dengan hatinya mana yang lebih selamat buat mereka dan
menjadikannya
mulia
di
mata
Rabbnya.
Allah
memberikan dua kecenderungan itu untuk menilai
perjuangan manusia dalam melawan hawa nafsunya.
Untuk berjihad mengendalikan dirinya, sehingga mereka
menemui-Nya sebagai syuhada’. Ya, ulama telah sepakat
bahwa melawan hawa nafsu termasuk sebagian dari jihad,
~ 151 ~
~Mencari Makna~
meski jihad yang paling utama tetaplah jihad dengan
senjata melawan musuh-musuh Islam.
Ambillah kuncinya!
Maka inilah kunci untuk menutup pintu kekerasan di
masyarakat kita: pengendalian hawa nafsu!
Kalau kita sudah mampu mengendalikan nafsu dengan
baik, setan bisa apa?! Gak bakalan mempan godaannya!
Maka benarlah kata Hasan Al Banna, perbaikan negara
dan penegakan khilafah Islamiyah tidak akan bisa
tercapai tanpa perbaikan diri/ individu (islahun nafs)
terlebih dahulu. Walau peraturan dibuat seketat mungkin,
kalau masyarakatnya bermoral bobrok, tetap saja akan
selalu terjadi kekerasan di masyarakat.
Sebaliknya,
jika
setiap
individu
telah
mampu
mengendalikan nafsunya dengan baik, maka aturan tidak
begitu dibutuhkan. Seperti umat Islam di bawah
pemerintahan Abu Bakar As Shidiq, damai saja, sehingga
Umar memilih mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Qadhi (hakim negara) karena idak ada satupun
kasus yang diajukan padanya. Wallahu a’lam.
~ 152 ~
~Mencari Makna~
z
” Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebaikan,
sebelum kalian menafkahkan dari sesuatu yang kalian
cintai “
(Q.S. Ali Imran: 92)
pq
Namanya Bairuha’
Ya, namanya Bairuha’.
Begitu indah dan memikat hati. Sejuk, rimbun, luas,
menghadap ke masjid Nabawi di Madinah. Dan yang
menjadikannya lebih istimewa lagi adalah karena
Rasulullah
saw yang mulia pernah
kemudian meminum airnya yang sejuk.
~ 153 ~
memasukinya
~Mencari Makna~
Bairuha’ adalah nama sebuah kebun kurma yang sangat
dicintai Abu Thalhah, pemiliknya.
Tapi tiba-tiba kebun yang begitu prestisius, berlokasi
strategis dan bernilai sejarah tinggi itu menjadi tak
bernilai sama sekali di mata Abu Thalhah ketika turun
ayat berikut:
” Kalian sekali-kali tidak akan mencapai kebaikan,
sebelum kalian menafkahkan dari sesuatu yang kalian
cintai “
(Q.S. Ali Imran: 92)
Demi mendengar ayat di atas, Abu Thalhah segera
bergegas menuju Rasulullah kemudian dengan serta
merta menyerahkan Bairuha’ beserta segala isinya kepada
Rasulullah untuk dipergunakan sebagaimana apa yang
diperintahkan Allah kepadanya.
Rasulullah yang bijak memuji tindakan Abu Thalhah ini
tetapi menyarankan agar Bairuha’ dibagi saja kepada
kerabat Abu Thalhah yang lebih membutuhkan.
Maka dibagikanlah kebun itu kepada kerabat dan sepupusepupu Abu Thalhah yang berjumlah sekitar 70 orang.
Masing-masing mendapatkan 200 pohon kurma!
~ 154 ~
~Mencari Makna~
Kisah ini diriwayatkan oleh sahabat Anas ra dan
dicantumkan oleh Imam Nawawi dalam Bab ke-37
Riyadhus Shalihin yang ditulisnya.
***
Mari belajar dari kisah di atas.
Mungkin kita telah sering berinfaq selama ini. Tapi
sudahkah ia infaq yang berkualitas? Atau sekedar infaq
“seikhlasnya” yang tidak begitu ikhlas?!
Mari ingat kembali apa yang biasa kita masukkan di
kotak-kotak infaq masjid kala jum’atan tiba itu.
Adakah ia lembaran uang terbesar dalam dompet kita,
atau sebaliknya? Yang paling baru cetakannya, atau yang
paling kucel dan hampir robekkah ia?
Atau mungkin kita terlalu sayang dengan yang lembaranlembaran itu hingga rela bersusah payah merogoh
kantong celana yang paling dalam untuk menemukan
kepingan uang logam terkecil bekas kerokan untuk
diinfaqkan.
Tak bosan-bosan kita ulang semboyan ini dalam kepala
kita, ” tak apa kecil, yang penting kan ikhlas…”
~ 155 ~
~Mencari Makna~
Ikhlas itu harus. Semboyannya juga tidak salah. Yang
salah adalah jika mengidentikkan ikhlas dengan yang
kecil. Menyamakan ikhlas dengan iseng. Menganggap
ikhlas itu tidak harus dengan perjuangan.
Ikhlas adalah perjuangan untuk menjadi murni. Dalam
bertindak, dalam berbuat, dalam berkata, dalam beramal,
dalam berinfaq.
Ikhlas itu sangat dekat dengan pengorbanan. Dan bukan
pengorbanan namanya jika tidak perih dirasa.
Mari kita lihat perbandingan berikut,
Pada suatu sholat jum’at seorang pengusaha dengan aset
milyaran
dan
penghasilan
bulanan
ratusan
juta
memasukkan lembaran seribuan ke dalam kotak infaq.
Ikhlas lillaahi ta’ala.
Di belakangnya, seorang pedagang es cingcau dengan
omzet duapuluh ribu perhari, dengan 3 anak dan satu
istri, memasukkan selembar uang seribuan ke dalam
kotak infaq. Ikhlas lillaahi ta’ala.
Sama-sama ikhlas.
~ 156 ~
~Mencari Makna~
Tapi apakah antum yakin nilai amal mereka juga sama di
hadapan Allah yang Maha Kaya?! Tentu tidak sama!
Jika sama saja, tentu Umar tidak perlu menyesal karena
tidak sanggup menyaingi Abu Bakar yang berinfaq
dengan seluruh hartanya, sedangkan ia hanya mampu
berinfaq dengan separuh harta.
Jika
sahabat
rasulullah
yang
tidak
diragukan
keikhlasannya seperti Abu Thalhah, Umar, Abu Bakar
berlomba kuantitas dalam berinfaq, tidakkah kita yang
belum jelas kualitas ikhlasnya ini lebih berhajat untuk
berinfaq sebanyak-banyaknya demi meraih ridha-Nya?
Mari kita tengok ayat berikut ini,
Bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai kemampuanmu.
(Q.S. At Taghabun: 16)
Mastatho’tum dalam ayat di atas, atau yang dalam bahasa
indonesianya artinya ’semampunya’ sering dimaknai salah
menjadi ’semaunya’ atau ’seenaknya’.
Dengan dalih ayat di atas, seorang aktivis dakwah yang
sedang malas berangkat ngaji, memaklumi dirinya sendiri
~ 157 ~
~Mencari Makna~
dan memutuskan tiduran di rumah daripada ngaji.
Menurutnya, kan taqwa itu sesuai kemampuan…
Dengan dalih ayat di atas pula seorang kaya hanya
berinfaq sekedarnya karena ” takut tidak ikhlas ” kalau
berinfaq lebih. Dalam hatinya, ” Toh taqwa itu sesuai
kemampuan…”
Tentu
itu
salah.
Sesungguhnya
bertaqwa
sesuai
kemampuan berarti kita dituntut beramal sekuat tenaga
kita, sebanyak potensi yang dikaruniakan Allah kepada
kita. Bukan semau kita.
Mereka yang berkemampuan A namun hanya mau
melakukan B menanggung dosa selisih kualitas A dan B
(dengan catatan A lebih baik dari B). Demikian menurut
Ustadz Anis Matta dalam buku Model Manusia Muslim.
Maka marilah berlatih sejak saat ini untuk memberikan
amal terbaik yang kita bisa dan berinfaq dengan yang
terbaik dari yang kita cintai.
Jangan lupa, untuk memulai langkah besar perubahan itu
dari lingkup terkecil kehidupan kita. Keluarga dan
kerabat.
~ 158 ~
~Mencari Makna~
z
“…Dan jika mereka berhimpun padu untuk memberikan
sesuatu yang berbahaya kepadamu, pastilah mereka tidak
akan mampu mendatangkannya kecuali sesuatu yang
telah ditentukan oleh Allah kepadamu. Pena sudah
terangkat dan lembaran tulisan sudah kering “
(H.R. Tirmidzi)
pq
~ 159 ~
~Mencari Makna~
Pena telah terangkat
dan lembaran tulisan telah
kering
” Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib;
tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan
Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun
dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau
~ 160 ~
~Mencari Makna~
yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata
(Lauh Mahfudz) “
(Q.S. Al An’am: 59)
Dulu
waktu
masih
getol-getolnya
keranjingan
menamatkan terjemah Al Qur’an, ayat ini menjadi salah
satu ayat yang sangat memikat hati dan pikiran saya.
Begitu puitis untuk menggambarkan kekuasaan Allah
yang Maha Dahsyat.
Jangankan apa yang sedang kita kerjakan atau katakan,
sepotong daun yang tipis, ringan dan nggak penting pun
jatuh dalam pengamatan Allah swt.
Bayangkan! Setiap daun, dari jutaan bahkan milyaran
daun yang berguguran di bumi ini diawasi oleh-Nya!
Sedemikian dahsyat dan melekatnya pengawasan Allah
terhadap makhluk-Nya. Tapi kita masih saja berpikir
keras bagaimana mengkhianati-Nya tanpa ketahuan.
Weleh…weleh… memang menakjubkan makhluk yang
disebut manusia itu, kadang kegigihannya berbuat
maksiat
melebihi
semangatnya
Naudzubillah…
~ 161 ~
beribadah.
~Mencari Makna~
***
Saya masih ingin kembali ke ayat di atas, di antara bagian
kalimatnya yang sangat menarik bagi saya adalah, “… dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).”
Perhatikan betapa luar biasa detail takdir yang telah Allah
tentukan.
Jadi keringnya pakaian yang sedang antum pakai saat ini,
itu karena telah tertulis di kitab takdir. Begitupun jika ia
sekarang sedikit basah karena keringat di bagian tertentu,
itupun karena setiap serat kainnnya telah tercatat di kitab
takdir dalam kondisi basah.
Kalau basah dan keringnya pakaian saja ditetapkan oleh
takdir. Tentu hal-hal besar seperti kondisi belum lulusnya
antum saat ini, atau bekerjanya antum di sebuah
perusahaan yang tidak antum nikmati, atau penghasilan
antum yang segitu-gitu saja, atau belum ketemunya
antum dengan jodoh, adalah hal-hal yang telah tertulis
dalam takdir pula.
Berangan-angan dengan kalimat, ” Wah, seandainya aku
begini dan begitu tentu ini tidak aku alami…” dan
~ 162 ~
~Mencari Makna~
kalimat sejenis itu tentu adalah perbuatan yang tak hanya
sia-sia, namun juga berkategori syirik kecil.
Takdir adalah kuasa mutlak Allah, ia adalah sesuatu yang
telah terjadi dan tidak mungkin kita hindari dengan
ikhtiar apapun, apalagi sekedar gerutu tak bermutu.
Lalu apakah kita sebaiknya diam saja menunggu takdir
Allah yang ditetapkan untuk kita?
Siapa yang nyuruh begitu?!!
Kita samakan dulu perspektif kita bahwa yang bisa kita
sebut takdir adalah sesuatu yang telah terjadi, karena
bagaimana mungkin kita menyebut sesuatu kejadian
sebagai takdir jika kejadian itu sendiri belum ada?!
Kalau sudah sama perspektifnya, maka kita akan paham
bagaimana cara tepat menyikapi takdir, yaitu mencari
nilai postif/hikmah dari setiap kejadian yang kita alami,
merekamnya sebagai pengalaman, kemudian jika kejadian
itu berdampak buruk/tidak kita sukai maka kita harus
berikhtiar keras untuk keluar dari kondisi itu dengan titik
tolak masa sekarang, bukan masa lalu.
Karena sebagaimana pakaian tadi, jikapun saat ini
pakaian anda ditakdirkan basah, bukan berarti dia akan
~ 163 ~
~Mencari Makna~
selalu ditakdirkan basah sampai akhir zaman. Boleh jadi
dia Allah takdirkan kering satu jam kemudian. Peran kita
dalam
perubahan
takdir
ini
adalah
berikhtiar
menjemurnya di terik matahari.
Tapi kita kan tidak tahu apa yang Allah takdirkan di masa
datang? !
Justru itu! Karena kita tidak tahu, maka jangan pernah
lelah berikhtiar dan berbaik sangka pada takdir Allah.
Kalaupun takdir Allah di kemudian hari tidak merubah
kondisi kita di dunia, ikhtiar kita telah bernilai di sisi
Allah dan akan mendapatkan balasan yang adil di akhirat
kelak.
Ibnu Abbas RA berkata:
“Pada satu hari aku berada di belakang Nabi Muhammad
SAW, maka beliau bersabda: Wahai anak, sesungguhnya
aku akan mengajarimu beberapa kalimat:Jagalah baikbaik (agama dan perintah) Allah niscaya Dia akan
memeliharamu.
Jagalan baik-baik (agama dan perintah) Allah niscaya
kamu akan menemukan Dia (menuntunmu) di muka.
Apabila kamu bermohon, bermohonlah kepada Allah
~ 164 ~
~Mencari Makna~
Apabila
kami
meminta
pertolongan,
mohonlah
pertolongan itu dari Allah
Ketahuilah
bahwa
ummat
ini
sekiranya
mereka
berhimpun padu untuk memberikan sesuatu yang
bermanfaat bagimu, pastilah mereka tidak akan mampu
memberikannya kecuali sesuatu yang telah ditentukan
oleh Allah kepadamu.
Dan jika mereka berhimpun padu untuk memberikan
sesuatu yang berbahaya kepadamu, pastilah mereka tidak
akan mampu mendatangkannya kecuali sesuatu yang
telah ditentukan oleh Allah kepadamu.
Pena sudah terangkat dan lembaran tulisan sudah kering“
(H.R. Tirmidzi)
So, tidak perlu lari dari takdir – karena memang tak akan
bisa – teruslah berjuang dengan sepenuh khauf wa raja’
pada-Nya. Harapan itu masih ada.
~ 165 ~
~Mencari Makna~
z
Dari Abu Hurairah RA,
bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW, telah bersabda:
“Bila seorang hamba telah meninggal, segala amalnya
terputus, kecuali tiga hal : amal jariyah, ilmu yang
bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akannya”
(HR. Bukhari)
pq
~ 166 ~
~Mencari Makna~
Sudahkah kita berilmu?
Mari bicara tentang ilmu. Ada dua hadits tentang ini yang
menarik untuk didiskusikan. Hadits pertama bunyinya:
” Mencari ilmu (thalabul ilmi) wajib hukumnya bagi
etiap muslim.”
Hadits kedua berbicara tentang amal jariyah, yaitu amal
yang tidak terputus pahalanya walau seorang muslim
~ 167 ~
~Mencari Makna~
telah meninggal dunia, di antara tiga amal itu rasulullah
juga menyebut, ” … ilmu yang bermanfaat, …” Ini
redaksi lengkapnya:
Dari Abu Hurairah RA, bahwa sesungguhnya Rasulullah
SAW, telah bersabda: “Bila seorang hamba telah
meninggal, segala amalnya terputus, kecuali tiga hal :
amal jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang
mendo’akannya” (HR. Bukhari, dalam Adabul Mufrad).
Dalam hadits yang pertama muncul kekhasan Islam
dalam memerintahkan sesuatu, yaitu menekankan pada
proses dan bukan semata-mata hasil. Hadits itu tidak
menuntut kita jadi pinter kan? Hadits itu menuntut kita
agar berusaha untuk pinter dengan segala daya dan
upaya. Tapi kalau ternyata kenyataannya dalam ilmu
tertentu itu kita nggak bisa pinter-pinter juga, kewajiban
kita toh sudah tertunaikan.
Soalnya tidak bisa dipungkiri bahwa tiap orang punya
kelebihan dan kelemahan yang berbeda-beda dalam
memahami suatu ilmu. Jadi kalo antum, misalnya udah
kuliah di Sipil mati-matian tapi nggak mudeng-mudeng
juga karena keterbatasan yang ada pada antum, maka
tidak mengapa.
~ 168 ~
~Mencari Makna~
He..he.. ketahuan kalo saya lagi nyari legitimasi ya…
Tapi itu kalo kita cuma pengin lepas dari tuntutan
kewajiban saja, coba lihat hadits kedua! Hadits ini
menunjukkan tingkatan yang lebih tinggi dan tuntutan
yang lebih tinggi pula bagi seorang muslim. Dalam hadits
ini, kalo pengin dapet pahala yang tidak terputus sampe
kiamat ada dua syarat (yang hubungannya sama ilmu):
1. Punya ilmu
Tuh, tidak sekedar mencari, tapi harus dapet ilmunya.
Artinya menguasai ilmu itu.
2. Ilmu itu bermanfaat
Selaras dengan hadits lain yang bunyinya, ” Sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.”Nah,
coba refleksikan ke diri kita. Saat ini barangkali kita
sudah cukup bersemangat mencari ilmu. Kuliah, baca
buku, surfing internet, kajian, dsb. Bisa jadi kita udah
lepas dari tuntutan hadits pertama (bisa jadi lho, soalnya
kadang males juga kan berangkat kajian, kuliah and baca
buku?). Tapi sudahkah kita mendekati keinginan hadits
kedua? Untuk mengetahuinya kita perlu selidiki dulu dua
hal di atas.
~ 169 ~
~Mencari Makna~
Pertama, dari mana kita tahu kita telah berilmu?
Di sekolah ada metode yang sering digunakan untuk
menilai seberapa berilmunya kita. Betul, dengan ujian .
Ujian
memberi
kita
gambaran
seberapa
besar
kemampuan kita dalam bidang yang diujikan itu, kecuali
kalo kita nyontek atau curang. Sayangnya memang tidak
semua ilmu bisa dideteksi kadarnya dari metode ini,
mengingat begitu bervariasinya ilmu yang musti kita
pelajari. Maka sebenernya ada metode yang lebih mudah,
lebih murah dan lebih akurat menurut saya untuk
mendeteksi kadar ilmu kita.
Metode yang saya maksud sangat sederhana yaitu dengan
menyampaikan “ilmu” tersebut ke orang lain.
Sesederhana itu? Ya, memang sesederhana itu.
Kalo antum tidak percaya, coba saja dengan pembuktian
terbalik. Misalnya, bisakah antum menyampaikan kajian
kepada ibu-ibu majelis taklim di sekitar rumah antum
tanpa mempersiapkan materi terlebih dahulu?
Jika
sudah
mempersiapkan
materi,
lancarkah
penyampaian antum jika antum tidak memahami benar
apa yang antum sampaikan?
~ 170 ~
~Mencari Makna~
Lebih jauh lagi, dapatkah antum menjawab pertanyaan
ibu-ibu itu terkait materi yang antum sampaikan jika
antum tidak mendalami materi tersebut dengan serius
hingga hapal di luar kepala?
Saya yakin jawaban dari semua pertanyaan di atas adalah
“Tidak”.
Ini berarti ketika kita mampu menjelaskan sesuatu hal
(ilmu) dengan gamblang ke pihak lain, lebih-lebih secara
interaktif, besar kemungkinan kita telah menguasai ilmu
tersebut. So, kalau pengin mengukur kadar ilmu yang
antum miliki, banyak-banyaklah melakukan presentasi
dan diskusi.
Presentasi dan diskusi tidak selalu harus dilakukan secara
oral (lisan) lho, bisa juga dengan membuat tulisan baik
berupa makalah, artikel ringan atau diskusi di mailing list.
Nah, kalo sudah tahu apa saja ilmu yang kita kuasai maka
kita perlu beranjak ke tahap berikutnya, yaitu mencari
tahu seberapa bermanfaatnya ilmu kita tersebut bagi
orang banyak.
~ 171 ~
~Mencari Makna~
Seberapa bermanfaatkah ilmu kita ?
Bicara manfaat, berarti bicara masalah amal nyata.
Soalnya ilmu teoritis tak akan membuahkan manfaat
sebelum
terwujud
sebagai
amal.
Jadi
parameter
evaluasinya lebih gampang nih, jika antum telah berhasil
mengamalkan suatu ilmu yang antum pelajari maka insya
Allah ilmu tersebut telah bermanfaat, kalau tidak untuk
orang lain, minimal untuk diri antum sendiri dulu.
Sebenarnya ada korelasi yang erat antara menyampaikan
ilmu dan menjadikan ilmu itu manfaat. Dalam beberapa
kondisi, ada ilmu-ilmu tertentu yang sulit kita kerjakan
sendiri namun mudah bagi orang lain, sehingga manfaat
ilmu tersebut baru muncul setelah kita sampaikan ke
orang lain tersebut.
Contohnya seorang Ustadz yang secara teori hapal betul
ilmu tentang haji, tapi nggak ada biaya. Beliau sendiri
tidak mampu mengamalkan ilmu itu, tapi dengan
mengajarkannya kepada majelis taklimnya yang berlatar
belakang ekonomi lebih baik, maka ilmu itu dapat
dipraktekkan dan menjadi manfaat.
Bisa juga sebuah ilmu berlipat ganda manfaatnya karena
disampaikan ke semakin banyak orang. Misalnya ilmu
~ 172 ~
~Mencari Makna~
tentang peduli lingkungan, seperti menanam pohon,
memisahkan sampah organik dan anorganik, dll. Kalau
cuma dilakukan segelintir orang manfaatnya belum
terasa. Tapi saat seluruh dunia berpartisipasi, bumi
menjadi jauh lebih baik.
Jadi, jangan menunda diri untuk menyampaikan ilmu
yang telah antum pelajari. Terus sebarkan, terus amalkan,
sambil terus belajar. Sebagaimana firman Allah dan sabda
Rasulullah berikut:
“… Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena
kamu
selalu
mengajarkan
Al-Kitab
dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
(Q.S. Ali Imran:79)
” Sebaik-baik kalian adalah siapa yang mempelajari Al
Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari)
~ 173 ~
~Mencari Makna~
z
“ Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)
kefasikan dan ketakwaannya. sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya ”
(Q.S. Asy-Syams :8-10)
pq
~ 174 ~
~Mencari Makna~
Maya dalam Nyata
Sejak kecil hingga dewasa ini pastinya sudah ribuan kisah
fiksi yang kita simpan dalam memori kita. Mulai dari
dongengan ibu sebelum tidur, cerita bersambung di
koran, komik-komik, dan yang paling banyak tentu dari
sinetron atau film yang kita tonton.
Meski setting dan alurnya berbeda, ada satu kesamaan
umum dari semua kisah fiksi itu. Selalu ada tokoh
protagonis dan antagonis.
~ 175 ~
~Mencari Makna~
Semua kebaikan terwakili oleh protagonis, sedang
antagonis menjadi simbol kejahatan mutlak. Hampir di
semua kisah fiksi seperti itu. Ada memang yang keluar
dari pakem ini, tapi pasti akan sangat sedikit bila kita
hitung prosentasenya.
Saya cuma mengira-ngira, bisa jadi ini ada pengaruhnya
pada pembentukan karakter kita, setidaknya saya. Dalam
kehidupan nyata terkadang kita memplot diri kita beserta
orang-orang di sekeliling kita bagaikan penokohan dalam
cerita. Lalu coba tebak siapa yang kita pilih sebagi tokoh
protagonisnya? Tentu jawabnya jelas: kita sendiri!
Maka tinggal ada dua pilihan buat yang lain: antagonis
dan figuran (peran pembantu saya masukkan ke kategori
ini). Ini menyebabkan kebanyakan kita – atau setidaknya
saya – merasa menjadi tokoh paling penting di jagat raya.
Benar atau salah tergantung pada penilaian kita. Baik atau
buruk tergantung kesesuaiannya dengan selera kita.
Karena
kita
adalah
protagonis!
Mereka
yang
berseberangan tentu adalah antagonis, buruk dalam
segala halnya! Selainnya hanyalah figuran, nggak penting!
Sering seperti itu bukan?!
~ 176 ~
~Mencari Makna~
Saat terjadi sebuah peristiwa buruk dalam hidup kita
dengan mudah kita menuding para ‘antagonis’ sebagai
biang keladinya, tentu karena kita tidak mungkin berani
menyalahkan sutradara! Sering pula kita mengabaikan
para ‘figuran’ karena merasa mereka bukan siapa-siapa.
Kita lupa. Dunia nyata tidak se-maya cerita.
Nyatanya, tidak ada protagonis murni di dunia.
Sesungguhnya setiap manusia adalah protagonis sekaligus
antagonis. Demikian karena keburukan dan kebaikan
diilhamkan oleh Tuhannya bersamaan dalam dirinya.
Maka sejatinya tidak ada tokoh putih maupun tokoh
hitam, semua jiwa adalah abu-abu. Ya, setiap jiwa adalah
abu-abu! Sesungguhnya pula, bila kita menganggap yang
lain figuran dalam kisah kita, tentu kita pun adalah
figuran buat kisah mereka. Tak ada yang istimewa.
Kita – terutama saya – ternyata bukan tokoh terpenting
di jagat raya. Bukan pula seorang yang selalu benar dalam
tindaknya. Bukan kumpulan kebaikan maha sempurna.
Kita ini manusia biasa diantara lautan manusia biasa.
Maka jangan berlagak seolah sebaliknya!
~ 177 ~
~Mencari Makna~
Tentang Penulis
Muhammad Yudhy Herlambang lahir di
Semarang,
hingga
10
SMU
Kemudian
September1984.
dilalui
di
melanjutkan
SD
Boyolali.
kuliah
di
Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada tahun 2002 di Jurusan Teknik Sipil. Lulus tahun
2007.
Berkenalan dengan Tarbiyah sejak kelas dua SMU pada
waktu menjabat Ketua Umum ROHIS SMU
“KARISMA”.
Di kampus, terakhir menjabat sebagai Ketua Umum SKI
FT UNS (Sentra Kegiatan Islam Fakultas Teknik UNS)
periode 2004/2005.
Sempat pula aktif di Lembaga Dakwah Sekolah “Kriya
Mandiri” di Solo sebelum pindah ke Bekasi mulai tahun
2007 karena alasan pekerjaan.
Aktivitas sekarang berwira usaha dengan teman-teman
eks satu kampus di bidang Konsultan Struktur dan
~ 178 ~
~Mencari Makna~
merancang bisnis-bisnis retail di Griya Utama. Selain itu
menjadi Sekretaris Umum Dewan Pengurus Ranting
PKS Jatibening Baru, Pondok Gede, Bekasi Masa jabatan
2010
Telah menikah pada 9 Agustus 2009 dengan
Wahyu Sabekti (yang fotonya di samping
ini ^_^) dan kini tengah menunggu rizki
berupa
hadirnya
keturunan
yang
saleh/salehah.
Dapat dihubungi melalui email: [email protected].
Tulisan-tulisannya juga dipublikasikan di blog “Mencari
Makna”, www.mencarimakna.wordpress.com.
Jika antum merasa mendapatkan manfaat dari buku ini
kemudian ingin memberikan dukungan kepada para
penyusunnya, lantunkan doa kepada Allah yang Maha
Kuasa untuk senantiasa memberikan keistiqomahan pada
mereka.
Antum juga bisa juga menyalurkan donasi ke rekening
Bank Muamalat dengan nomor 9121665599 a.n.
Muhammad Yudhy Herlambang (“ngarep mode” on
^_^).
~ 179 ~
Download