Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal Dataran Tinggi ... J. Hort. 19(3):281-286, 2009 Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal Dataran Tinggi dan Medium pada Ekosistem Dataran Rendah Brebes Kusmana, R.S. Basuki, dan H. Kurniawan Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung 40391 Naskah diterima tanggal 19 September 2007 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 6 Juli 2009 ABSTRAK. Bawang merah umumnya ditanam di dataran rendah pada musim kemarau, karena pada musim hujan lahan dataran rendah yang biasa ditanami bawang dipergunakan untuk pertanaman padi. Penanaman serempak bawang merah dilakukan di musim kemarau. Penanaman secara bersamaan pada musim kemarau sering menyebabkan kekurangan bibit, sehingga diperlukan pasokan bibit dari daerah dan sentra produksi di daerah dataran medium dan dataran tinggi. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan varietas bawang merah asal dataran tinggi dan medium yang cocok ditanam pada agroekosistem dataran rendah Brebes. Lima varietas dataran tinggi dan medium ditambah 3 varietas pembanding yang banyak dibudidayakan di Brebes, yaitu varietas Tanduyung, Ilokos, dan Bima Curut, diuji dalam suatu percobaan yang ditata sesuai dengan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Populasi tanaman per plot sebanyak 500 tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelima varietas yang diuji dapat beradaptasi di Brebes. Varietas yang berdaya hasil tinggi adalah Batu Ciwidey (27,3 t/ha berat basah), dengan potensi hasil yang setara dengan varietas Tanduyung (26,8 t/ha berat basah), dan Bima Curut (24,9 t/ha berat basah). Varietas Batu Ciwidey menghasilkan umbi ukuran besar yang nyata lebih besar dari varietas Bima Curut dan Tanduyung. Katakunci: Allium ascalonicum; Adaptasi; Dataran tinggi dan medium. ABSTRACT. Kusmana, R.S. Basuki, and H. Kurniawan. 2009. Adaptation Trial of Five Shallots Varieties Originated from High and Mid Altitudes in Lowland Ecosystem Brebes. Shallots are mostly grown in lowland elevation at dry season. At the rainy season the land are not fit because it was used for planting paddy. Growing shallots at the same time in the dry season causes insufficient of planting materials. Therefore, seed supply was needed from other mid and high elevation production areas. The objective of the research was to select mid and high elevation shallots varieties which were suitable in Brebes. Five mid and high elevation shallot varieties (Menteng Kupa, Maja, Bali Karet Maja, Batu Ciwidey, and Bali Karet Batu), and 3 local varieties from Brebes (Tanduyung, Ilokos, and Bima Curut) were planted in the field using cultivation technique applied by farmers. The experiment was arranged in a randomized complete block design with 3 replications. The population was 500 hills per plot. The results indicated that the highest yield was obtained by variety Batu Ciwidey (27.3 t/ha) and did not significantly different with Tanduyung (26.8 t/ha), and Bima Curut (24.9 t/ha). In addition, Batu Ciwidey variety had bigger tuber size compared to those of Bima Curut and Tanduyung varieties. Keywords: Allium ascalonicum; Adaptation; High and mid elevation. Sentra tanaman bawang merah terdapat di dataran rendah karena umur panen di dataran rendah lebih cepat, hanya 50 hari dibandingkan di dataran tinggi yang mencapai 90 hari, sehingga ongkos produksinya lebih murah (Suherman dan Basuki 1990, Sumarni dan Sutiarso 1998). Produksi bawang merah nasional mencapai 732,610 t, di antaranya 118.795 t berasal dari Jawa Barat (Kab. Cirebon), 202.692 t berasal dari Jawa Tengah, (Kab. Brebes), dan 233.098 t berasal dari Kab. Nganjuk, Jawa Timur (Biro Pusat Statistik 2005). Sebagian produksi bawang merah berada pada ekosistem dataran medium (Majalengka dan Paseh-Majalaya) dan dataran tinggi (Ciwidey dan Batu-Malang). Pada ekosistem dataran tinggi, pertumbuhan bawang merah kurang optimal karena dalam proses pematangan umbi bawang menghendaki masa kering yang cukup lama (Subhan 1990). Selain itu, di dataran tinggi, bawang merah kalah bersaing dengan komoditas sayuran lainnya yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi, seperti kentang, tomat, kubis-kubisan, dan cabai merah. Namun ekosistem dataran tinggi dan medium dapat dijadikan sebagai daerah penangkaran benih bawang merah untuk memasok kebutuhan benih di dataran rendah. Budidaya tanaman bawang merah di dataran rendah terkendala oleh ketersediaan benih. Untuk mencukupi kebutuhan benih, petani sering menggunakan benih bawang konsumsi asal impor (Basuki 2005). Hal tersebut selain disebabkan karena ketersediaan benih lokal yang terbatas, 281 J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 juga karena varietas lokal memiliki karakter ukuran umbi yang relatif kecil dibandingkan varietas impor Ilokos dan hasil umbi lebih rendah dibandingkan varietas impor Tanduyung (Kusmana et al. 2007). Sementara itu, beberapa varietas lokal dataran tinggi dan medium, seperti Bali Ijo dan Maja, memiliki umbi berukuran besar (Alliudin et al. 1990). Kelangkaan benih pada musim tanam utama (musim kemarau) di sentra produksi dataran rendah disebabkan karena pada musim penghujan lahan yang biasanya digunakan pertanaman bawang merah, digunakan untuk pertanaman padi. Selain itu, pertanaman bawang merah pada musim hujan sering gagal panen sebagai akibat tingginya insidensi serangan penyakit antraknos (Basuki 2005, Suhardi 1996). Pada kondisi seperti itu, penangkar benih maupun petani produsen tidak dapat menyediakan bibit yang cukup untuk pertanaman musim kemarau. Varietas lokal yang diusahakan petani di sentra produksi Kabupaten Cirebon dan Brebes, sangat beragam tetapi varietas tersebut sangat disukai konsumen, harga jual tinggi, serta pasarnya cukup luas (Basuki 2005). Varietas lokal merupakan varietas yang sudah lama dibudidayakan pada agroekosistem setempat, seperti Kuning dan Bima (Dibyantoro 1990). Tersedianya varietas lokal yang beragam memberikan banyak pilihan kepada petani, di samping dapat mengurangi penggunaan benih impor. Penggunaan benih bawang merah impor untuk konsumsi oleh petani, sangat berpotensi menularkan patogen yang terbawa benih ke wilayah Indonesia, karena bawang tersebut tidak dihasilkan lewat proses sertifikasi benih. Sementara itu, di dalam negeri tersedia cukup banyak varietas lokal asal dataran medium dan tinggi dengan karakter berumbi besar dan hasil tinggi (Alliudin et al. 1990). Untuk itu, perlu dilakukan pengujian daya adaptasi varietas-varietas unggul lokal dataran medium dan tinggi di sentra produksi bawang merah dataran rendah, seperti Brebes, agar dapat diidentifikasi keunggulan produktivitasnya di dataran tersebut. Tujuan pengujian ialah mengetahui kemampuan adaptasi beberapa varietas bawang merah dataran medium dan tinggi pada ekosistem dataran rendah Brebes. Diharapkan minimal 1 varietas bawang merah asal dataran tinggi atau medium memiliki daya adaptasi dan produktivitas tinggi pada ekosistem dataran rendah Brebes. 282 BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2005 di Kecamatan Kersana, Brebes, Jawa Tengah, dengan jenis tanah Aluvial. Rancangan percobaan yang digunakan ialah acak kelompok dengan 3 ulangan dan 8 perlakuan. Setiap petak percobaan terdiri dari 500 tanaman, jarak tanam 20x15 cm, dan ukuran petak percobaan 1,5x10 m2. Pertanaman diberi pupuk kompos 10 t/ha, dan pupuk N, P, dan K setara dengan masing-masing 100 kg N/ha, 92 kg P2O5/ha, dan 120 kg K2O/ha. Pupuk buatan diberikan 2 kali (Putrasamedja 2000). Pupuk dasar diberikan dengan cara disebarkan di atas bedengan pada 3-7 hari sebelum tanam, kemudian tanah diratakan sambil diaduk. Bibit bawang ditanam dengan cara membenamkan seluruh bagian umbi ke dalam tanah. Pada minggu pertama dilakukan penyiraman 2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari, setelah itu penyiraman dilakukan sekali sehari. Pupuk susulan terdiri atas Urea, ZA, dan KCl, setengah dosis, diberikan pada umur 15 hari setelah tanam (HST). Pengendalian hama dilakukan secara rutin 2 kali seminggu menggunakan insektisida dengan bahan aktif profenofos dan spinosad serta untuk penyakit yang digunakan difenokonazol klorotalonil (Moekasan et al. 2005). Bibit bawang yang digunakan berasal dari petani dan penangkar bibit di Brebes (Jawa Tengah), Kabupaten Malang (Jawa Timur), Kabupaten Majalengka, Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Ciwidey (Jawa Barat). Kondisi benih saat dibeli di penangkar secara fisik bermutu baik dan seragam, dengan ciri-ciri umbi kompak, padat, kulit umbi tidak terkelupas, serta warna umbi berkilau. Perlakuan terdiri atas 5 varietas bawang lokal dataran medium dan tinggi, yaitu Batu Ciwidey, Menteng Kupa, Maja, Bali Karet Maja, dan Bali Karet Batu dengan 3 varietas pembanding, yaitu 2 varietas asal impor, Ilokos, dan Tanduyung, serta varietas lokal dataran rendah, Bima Curut. Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai dengan bagian yang tertinggi, jumlah anakan, diameter pangkal batang (gambes), jumlah daun, semuanya diamati pada umur 40 HST, bobot umbi/plot, bobot umbi/tanaman, diameter umbi, persentase umbi besar, dan hasil basah t/ha diamati pada saat Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal Dataran Tinggi ... panen. Data dianalisis dengan analisis varians menggunakan program komputer MSTATC yang dilanjutkan uji beda rerata perlakuan menggunakan uji jarak berganda Duncan pada taraf beda nyata 5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Tanaman Tinggi tanaman dari 8 varietas yang diuji berkisar antara 43,3-48,9 cm. Dari 5 varietas yang diuji, varietas Bali Karet Maja menampilkan tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan ketiga varietas pembanding. Hasil pengamatan tinggi tanaman memberikan indikasi bahwa varietas asal dataran medium dan tinggi dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem dataran rendah. Sebaliknya, varietas Bima Curut yang habitat aslinya dataran rendah, ternyata pada ekosistem dataran medium Majalengka menampilkan tinggi tanaman rerata 47,7 cm (Sumarni dan Thomas 1989) yang setara dengan tinggi tanaman pada penelitian ini (48,2 cm). Tinggi tanaman varietas Bima Curut hanya mencapai 26,9 cm walaupun ditanam pada ekosistem habitatnya, yaitu di dataran rendah (Alliudin et al. 1990). Hal tersebut memberikan indikasi bahwa variasi daya adaptasi varietas bawang merah cukup luas. Jumlah anakan yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 4,3-13,1 anakan. Jumlah anakan terbanyak didapat pada varietas Tanduyung yang diikuti oleh kedua varietas pembanding lainnya, yaitu Bima Curut dan Ilokos, yang semuanya menampilkan jumlah anakan yang nyata lebih banyak dibandingkan varietas asal dataran medium dan tinggi (Tabel 1). Jumlah anakan ada hubungannya dengan karakter ukuran umbi, di mana umbi yang berukuran besar memiliki jumlah anakan yang lebih sedikit (Basuki 2005). Varietas-varietas yang memiliki karakter berumbi besar, di antaranya merupakan tanaman hasil persilangan yang salah satu tetuanya, bawang Bombay, seperti pada varietas Bali Ijo. Bawang Bombay memiliki karakter berumbi besar dengan jumlah anakan yang sedikit. Untuk mendapatkan jumlah anakan maksimum pada varietas-varietas yang jumlah anakannya sedikit, mungkin dapat dilakukan pengaturan jarak tanam. Perlakuan jarak tanam rapat akan menghasilkan jumlah anakan yang lebih banyak persatuan luas, sehingga diharapkan akan meningkatkan hasil per satuan luas. Jumlah daun diduga berkorelasi dengan jumlah anakan. Semakin banyak anakan, maka jumlah daun yang dihasilkan juga semakin banyak (Putrasamedja 1990), seperti pada varietas Tanduyung yang memiliki 13 anakan, sehingga menghasilkan jumlah daun 70,4 lembar. Walaupun demikian, pada varietas Bali Karet Batu dengan 6,9 anakan menghasilkan 47,0 lembar, sementara varietas pembanding Ilokos dengan jumlah anakan 7,5, hanya menghasilkan jumlah daun sebanyak 33,9 lembar. Peningkatan jumlah daun dapat diinduksi dengan cara memperbaiki kondisi fisik tanah melalui pemberian pupuk organik (Limbongan dan Monde 1999). Cara lain dapat ditempuh untuk meningkatkan jumlah daun adalah dengan pemberian larutan mepiquat klorida (Sumiati 1996). Peningkatan jumlah daun yang maksimum diperlukan oleh tanaman karena semakin banyak Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, dan diameter pangkal batang 8 varietas bawang merah umur 40 HST (Plant height, number of sprouts, number of leaf, stem diameter of 8 varieties of shallot at 40 DAP) Brebes, 2005 Varietas (Varieties) Menteng Kupa Maja Batu Ciwidey Bali Karet Maja Bali Karet Batu Bima Curut Tanduyung Ilokos Tinggi tanaman (Plant height) cm 47,8 a 47,3 a 48,2 a 43,3 b 48,7 a 48,2 a 48,9 a 43,0 b Jumlah anakan (No. of sprouts) 4,5 d 4,3 d 5,2 cd 4,9 d 6,9 c 8,1 b 13,1 a 7,5 b Jumlah daun (No.of leafes) Lembar (Peaces) 32,6 c 30,5 c 34,1 c 30,8 c 47,0 b 35,3 c 70,4 a 33,9 c Diameter pangkal batang (Stem diameter) mm 10,1 ab 11,7 a 10,5 ab 8,7 bc 9,6 b 9,0 b 7,1 c 9,4 b 283 J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 daun, semakin tinggi kandungan fotosintat untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil pengamatan terhadap diameter pangkal batang, terbesar dihasilkan oleh varietas Menteng Kupa (10,1 mm), diikuti oleh varietas Maja (11,7 mm), kemudian Batu Ciwidey (10,5 mm) yang nyata lebih besar dari varietas pembanding Tanduyung (7,1 mm). Diameter pangkal batang, oleh petani bawang merah dijadikan sebagai penduga untuk mengetahui penampilan hasil umbi. Batang yang besar diyakini dapat menghasilkan umbi yang berukuran besar, sebaliknya batang kecil akan menghasilkan umbi yang berukuran kecil. Data hasil penelitian ini ternyata tidak mendukung hipotesis petani tersebut (Tabel 2). Komponen Hasil Komponen hasil yang diamati meliputi jumlah umbi/tanaman, diameter umbi (masing-masing diambil dari 10 tanaman contoh), bobot umbi/ plot, bobot umbi basah t/ha, dan perkiraan hasil bobot kering. Rerata jumlah umbi terbanyak dihasilkan oleh varietas Tanduyung (14,7 buah) diikuti varietas Bima Curut (9,1 buah), Ilokos (7,6 buah), dan Bali Karet Batu (7,2 buah). Pada kasus tertentu, jumlah umbi yang dihasilkan oleh suatu varietas berkaitan erat dengan jumlah daun karena dengan jumlah daun banyak akan menghasilkan fotosintat yang lebih banyak (Limbongan dan Monde 1999). Selain jumlah daun, jumlah umbi juga dipengaruhi oleh jumlah anakan. Hal ini sesuai dengan uraian di atas bahwa varietas Tanduyung dengan jumlah anakan terbanyak juga menghasilkan umbi paling banyak. Ukuran umbi, warna umbi, bentuk umbi, dan hasil dapat dijadikan kriteria mutu yang terkait dengan preferensi petani dalam memilih mutu bawang merah. Semua karakter tersebut, terkecuali warna umbi, dijumpai pada varietas Bima (Basuki 2005). Kendati varietas Bima Curut dipilih petani karena berukuran cukup besar, tetapi belakangan ini dengan masuknya varietas impor Ilokos, yang berumbi lebih besar dari Bima Curut, secara perlahan mulai ditinggalkan oleh sebagian petani di Brebes. Umbi berukuran besar diduga dapat menembus supermarket dan mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi. Semua varietas yang diuji menampilkan ukuran umbi yang sebanding dengan varietas Ilokos serta nyata lebih besar dari varietas pembanding Bima Curut dan Tanduyung. Karakter ukuran umbi pada varietas dataran medium dan tinggi tersebut diturunkan dari hasil persilangan dengan varietas bawang Bombay. Bobot umbi per plot dengan populasi awal 500 tanaman, tertinggi, dihasilkan oleh varietas pembanding Ilokos (65,5 kg/plot atau 30,6 t/ha) diikuti oleh varietas Batu Ciwidey (58,5 kg/plot atau 27,3 t/ha), Tanduyung (57,3 kg/plot atau 26,8 t/ha), dan Bima Curut (53,3 kg/plot atau 24,9 t/ha). Bobot umbi yang dihasilkan oleh ketiga galur tadi lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, yaitu Tanduyung hanya 24, 6 t/ha, Ilokos 23,6 t/ha, dan Bima Curut 19,6 t/ ha (Kusmana et al. 2007). Varietas Batu Ciwidey merupakan satu-satunya varietas yang mampu menghasilkan umbi setara dengan varietas pembanding, Bima Curut dan Tanduyung, namun masih lebih rendah dari varietas impor Ilokos. Untuk memprediksi hasil bobot kering atau bobot kering jual maka perlu diperhitungkan nilai susut bobot, yaitu 30-40%. Berdasarkan Tabel 2. Jumlah umbi/tanaman, diameter, dan panjang umbi 8 varietas bawang merah (Tuber numbers, diameter tubers, and length of tubers of 8 varieties of shallots) Brebes, 2005 284 Varietas (Varieties) Jumlah umbi/tanaman (Tuber numbers/plant) Menteng Kupa Maja Batu Ciwidey Bali Karet Maja Bali Karet Batu Bima Curut Tanduyung Ilokos 5,0 d 5,0 d 5,6 cd 5,4 cd 7,2 bc 9,1 b 14,7 a 7,6 b Diameter umbi (Diameter of tubers) cm 2,9 a 3,5 a 3,4 a 3,2 a 3,3 a 2,5 c 2,2 d 3,5 a Panjang umbi (Tuber length) cm 3,9 a 3,9 a 3,6 a 3,5 a 3,9 c 3,5 a 2,7 b 3,6 a Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal Dataran Tinggi ... Tabel 3. Bobot umbi/plot, bobot umbi basah, dan estimasi bobot kering 8 varietas bawang merah (Tuber weight/plot, tuber wet weight, tuber yield estimation of dry yield of 8 shallots varieties) Brebes, 2005 Varietas (Varieties) Menteng Kupa Maja Batu Ciwidey Bali Karet Maja Bali Karet Batu Bima Curut Tanduyung Ilokos kg/plot 51,2 c 48,0 c 58,5 b 47,7 c 48,0 c 53,3 bc 57,3 b 65,5 a Bobot umbi (Tuber weight) Umbi kering dengan estimasi susut Bobot basah umbi 30-40% (Tuber wet weight) (Estimation of dry yield) t/ha with 30-40% loss weight) t/ha 14,3-16,7 23,9 c 22,4 c 13,4-15,7 27,3 b 16,4-19,1 22,2 c 13,3-15,5 13,4-15,7 22,4 c 14,9-17,4 24,9 bc 26,8 b 16,1-18,8 30,6 a 18,4-21,4 hasil penelitian terdahulu di Brebes, susut bobot antara varietas sangat beragam mulai dari 28-32% (Basuki 2004). Untuk varietas Bima Curut, susut bobot selama penyimpanan 7 hari dapat mencapai 40,5% (Sumiati 1996). Susut bobot untuk varietas Sumenep berkisar antara 37,1-42,7% (Gunadi dan Suwandi 1989). Untuk semua varietas yang diuji, hasilnya cukup menggembirakan karena berada di atas rerata hasil yang dicapai petani bawang Jawa Tengah saat ini, yaitu 8,6 t/ha kering. Angka hasil tersebut masih lebih tinggi dari rerata hasil produksi bawang merah di Jawa Timur, sebesar 10,5 t/ha kering (BPS 2005). Hasil yang ditampilkan oleh varietas Maja pada penelitian ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian Putrasamedja (1990) yang hanya 5,1 t/ha kering. KESIMPULAN 1. Semua varietas bawang merah yang diuji dapat beradaptasi pada ekosistem dataran rendah Brebes, ditandai dengan pertumbuhan dan hasil yang cukup baik. 2. Varietas Batu Ciwidey berpotensi hasil tinggi (27,3 t/ha), sedikit melebihi daya hasil varietas Tanduyung (26,8 t/ha) dan Bima Curut (24,9 t/ha). Selain itu varietas Batu Ciwidey menghasilkan ukuran umbi nyata lebih besar dibandingkan varietas Tanduyung dan Bima Curut, sehingga varietas tersebut berpeluang untuk ditanam di dataran rendah dan umbinya jadi sumber pasokan supermarket. PUSTAKA 1. Alliudin, A.A. Asdandhi, dan Budi Jaya. 1990. Pengujian Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) di Dataran Rendah Pulau Jawa. Bul. Penel. Hort. XIX(3): 44-47. 2. Basuki, S.R. 2005. Penelitian Daya Hasil dan Preferensi Petani terhadap Varietas Bawang Merah Lokal dari Berbagai Daerah. Laporan Hasil Penelitian APBN 2005ROPP D1. 8 Hlm. 3. Biro Pusat Statistik. 2005. Luas Panen, Hasil per ha dan Produksi Sayuran. Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Hortikultura. Hlm. 188-191. 4. Dibyantoro. L.H. 1990. Control Droplet Applicator Birky: Suatu Upaya Pengurangan Insektisida untuk Mengendalikan Spodoptera exigua Hbn. Pada Tanaman Bawang Merah (Allium ascalonicum L). Bul. Penel. Hort. XVIII(2):113-122. 5. Gunadi, N dan Suwandi. 1989. Pengaruh Dosis dan Waktu Pemupukan Fosfat pada Tanaman Bawang Merah Kultivar Sumenep terhadap Pertumbuhan dan Hasil. Bul. Penel. Hort. XVIII.(2):98-105. 6. Kusmana, E. Sofiari, dan R.S. Basuki. 2007. Seleksi Daya Hasil Tinggi Kultivar Lokal Bawang Merah (Allium ascalonicum L) di Slatri, Brebes. (tidak dipublikasikan). 6 Hlm. 7. Limbongan, J dan A. Monde. 1999. Pengaruh Penggunaan Pupuk Organik dan Anorganik terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah Kultivar Palu. J. Hort.9 (3):212-219. 8. Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, dan M.L. Ratnawati, 2005. Penerapan PHT pada sistem tanaman tumpanggilir bawang merah dan cabai. Monograph No.19. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. 44 Hlm. 9. Putrasamedja, S. 2000. Tanggap Beberapa Kultivar Bawang Merah terhadap Vernalisasi Untuk Dataran Medium. J. Hort.10(3):177-182. 285 J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009 10. _____________. 1990. Evaluasi Beberapa Kultivar Bawang Merah untuk Musim Penghujan di Brebes. Bul. Penel. Hort. XVIII(1):85-90. 11. Suhardi, 1996. Pengaruh Waktu Tanam dan Pemberian Fungisida terhadap Intensitas Serangan Antraknos pada Bawang Merah. J. Hort.6(2):172-179. 12. Suherman R, dan R.S. Basuki.1990. Strategi Pengembangan Luas Areal Usaha Tani Bawang (Allium ascalonicum L) di Jawa Barat. Tinjauan dari Segi Biaya Usahatani Terendah. Bul. Penel. Hort. XVIII.(1):11-18. 286 13. Sumarni, N dan T.A. Sutiarso.1998. Pengaruh Waktu Tanam dan Ukuran Umbi Bibit terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Biaya Produksi Biji Bawang Merah. J. Hort.8(2):1085-1094. 14. Sumiati. E. 1996. Konsentrasi Optimum Mepiquat Klorida untuk Peningkatan Hasil Umbi Bawang Merah Kultivar Bima Brebes di Majalengka. J. Hort.6(2):132138.