Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal Dataran Tinggi dan

advertisement
Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang
Merah Asal Dataran Tinggi ...
J. Hort. 19(3):281-286, 2009
Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang Merah Asal
Dataran Tinggi dan Medium pada
Ekosistem Dataran Rendah Brebes
Kusmana, R.S. Basuki, dan H. Kurniawan
Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jl. Tangkuban Parahu 517, Lembang, Bandung 40391
Naskah diterima tanggal 19 September 2007 dan disetujui untuk diterbitkan tanggal 6 Juli 2009
ABSTRAK. Bawang merah umumnya ditanam di dataran rendah pada musim kemarau, karena pada musim hujan
lahan dataran rendah yang biasa ditanami bawang dipergunakan untuk pertanaman padi. Penanaman serempak
bawang merah dilakukan di musim kemarau. Penanaman secara bersamaan pada musim kemarau sering menyebabkan
kekurangan bibit, sehingga diperlukan pasokan bibit dari daerah dan sentra produksi di daerah dataran medium dan
dataran tinggi. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan varietas bawang merah asal dataran tinggi dan medium yang
cocok ditanam pada agroekosistem dataran rendah Brebes. Lima varietas dataran tinggi dan medium ditambah 3
varietas pembanding yang banyak dibudidayakan di Brebes, yaitu varietas Tanduyung, Ilokos, dan Bima Curut, diuji
dalam suatu percobaan yang ditata sesuai dengan rancangan acak kelompok dengan 3 ulangan. Populasi tanaman per
plot sebanyak 500 tanaman. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kelima varietas yang diuji dapat beradaptasi di
Brebes. Varietas yang berdaya hasil tinggi adalah Batu Ciwidey (27,3 t/ha berat basah), dengan potensi hasil yang
setara dengan varietas Tanduyung (26,8 t/ha berat basah), dan Bima Curut (24,9 t/ha berat basah). Varietas Batu
Ciwidey menghasilkan umbi ukuran besar yang nyata lebih besar dari varietas Bima Curut dan Tanduyung.
Katakunci: Allium ascalonicum; Adaptasi; Dataran tinggi dan medium.
ABSTRACT. Kusmana, R.S. Basuki, and H. Kurniawan. 2009. Adaptation Trial of Five Shallots Varieties
Originated from High and Mid Altitudes in Lowland Ecosystem Brebes. Shallots are mostly grown in lowland
elevation at dry season. At the rainy season the land are not fit because it was used for planting paddy. Growing
shallots at the same time in the dry season causes insufficient of planting materials. Therefore, seed supply was
needed from other mid and high elevation production areas. The objective of the research was to select mid and high
elevation shallots varieties which were suitable in Brebes. Five mid and high elevation shallot varieties (Menteng
Kupa, Maja, Bali Karet Maja, Batu Ciwidey, and Bali Karet Batu), and 3 local varieties from Brebes (Tanduyung,
Ilokos, and Bima Curut) were planted in the field using cultivation technique applied by farmers. The experiment
was arranged in a randomized complete block design with 3 replications. The population was 500 hills per plot. The
results indicated that the highest yield was obtained by variety Batu Ciwidey (27.3 t/ha) and did not significantly
different with Tanduyung (26.8 t/ha), and Bima Curut (24.9 t/ha). In addition, Batu Ciwidey variety had bigger tuber
size compared to those of Bima Curut and Tanduyung varieties.
Keywords: Allium ascalonicum; Adaptation; High and mid elevation.
Sentra tanaman bawang merah terdapat di
dataran rendah karena umur panen di dataran
rendah lebih cepat, hanya 50 hari dibandingkan di
dataran tinggi yang mencapai 90 hari, sehingga
ongkos produksinya lebih murah (Suherman
dan Basuki 1990, Sumarni dan Sutiarso 1998).
Produksi bawang merah nasional mencapai
732,610 t, di antaranya 118.795 t berasal dari
Jawa Barat (Kab. Cirebon), 202.692 t berasal dari
Jawa Tengah, (Kab. Brebes), dan 233.098 t berasal
dari Kab. Nganjuk, Jawa Timur (Biro Pusat Statistik
2005). Sebagian produksi bawang merah berada
pada ekosistem dataran medium (Majalengka dan
Paseh-Majalaya) dan dataran tinggi (Ciwidey dan
Batu-Malang). Pada ekosistem dataran tinggi,
pertumbuhan bawang merah kurang optimal
karena dalam proses pematangan umbi bawang
menghendaki masa kering yang cukup lama
(Subhan 1990). Selain itu, di dataran tinggi,
bawang merah kalah bersaing dengan komoditas
sayuran lainnya yang memiliki nilai ekonomi lebih
tinggi, seperti kentang, tomat, kubis-kubisan, dan
cabai merah. Namun ekosistem dataran tinggi
dan medium dapat dijadikan sebagai daerah
penangkaran benih bawang merah untuk memasok
kebutuhan benih di dataran rendah.
Budidaya tanaman bawang merah di dataran
rendah terkendala oleh ketersediaan benih.
Untuk mencukupi kebutuhan benih, petani sering
menggunakan benih bawang konsumsi asal impor
(Basuki 2005). Hal tersebut selain disebabkan
karena ketersediaan benih lokal yang terbatas,
281
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
juga karena varietas lokal memiliki karakter
ukuran umbi yang relatif kecil dibandingkan
varietas impor Ilokos dan hasil umbi lebih
rendah dibandingkan varietas impor Tanduyung
(Kusmana et al. 2007). Sementara itu, beberapa
varietas lokal dataran tinggi dan medium, seperti
Bali Ijo dan Maja, memiliki umbi berukuran
besar (Alliudin et al. 1990). Kelangkaan benih
pada musim tanam utama (musim kemarau) di
sentra produksi dataran rendah disebabkan karena
pada musim penghujan lahan yang biasanya
digunakan pertanaman bawang merah, digunakan
untuk pertanaman padi. Selain itu, pertanaman
bawang merah pada musim hujan sering gagal
panen sebagai akibat tingginya insidensi serangan
penyakit antraknos (Basuki 2005, Suhardi 1996).
Pada kondisi seperti itu, penangkar benih maupun
petani produsen tidak dapat menyediakan bibit
yang cukup untuk pertanaman musim kemarau.
Varietas lokal yang diusahakan petani di sentra
produksi Kabupaten Cirebon dan Brebes, sangat
beragam tetapi varietas tersebut sangat disukai
konsumen, harga jual tinggi, serta pasarnya cukup
luas (Basuki 2005). Varietas lokal merupakan
varietas yang sudah lama dibudidayakan pada
agroekosistem setempat, seperti Kuning dan
Bima (Dibyantoro 1990). Tersedianya varietas
lokal yang beragam memberikan banyak pilihan
kepada petani, di samping dapat mengurangi
penggunaan benih impor. Penggunaan benih
bawang merah impor untuk konsumsi oleh
petani, sangat berpotensi menularkan patogen
yang terbawa benih ke wilayah Indonesia,
karena bawang tersebut tidak dihasilkan lewat
proses sertifikasi benih. Sementara itu, di dalam
negeri tersedia cukup banyak varietas lokal asal
dataran medium dan tinggi dengan karakter
berumbi besar dan hasil tinggi (Alliudin et al.
1990). Untuk itu, perlu dilakukan pengujian daya
adaptasi varietas-varietas unggul lokal dataran
medium dan tinggi di sentra produksi bawang
merah dataran rendah, seperti Brebes, agar dapat
diidentifikasi keunggulan produktivitasnya di
dataran tersebut.
Tujuan pengujian ialah mengetahui
kemampuan adaptasi beberapa varietas bawang
merah dataran medium dan tinggi pada ekosistem
dataran rendah Brebes. Diharapkan minimal 1
varietas bawang merah asal dataran tinggi atau
medium memiliki daya adaptasi dan produktivitas
tinggi pada ekosistem dataran rendah Brebes.
282
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli
sampai September 2005 di Kecamatan Kersana,
Brebes, Jawa Tengah, dengan jenis tanah
Aluvial. Rancangan percobaan yang digunakan
ialah acak kelompok dengan 3 ulangan dan 8
perlakuan. Setiap petak percobaan terdiri dari
500 tanaman, jarak tanam 20x15 cm, dan ukuran
petak percobaan 1,5x10 m2. Pertanaman diberi
pupuk kompos 10 t/ha, dan pupuk N, P, dan K
setara dengan masing-masing 100 kg N/ha, 92
kg P2O5/ha, dan 120 kg K2O/ha. Pupuk buatan
diberikan 2 kali (Putrasamedja 2000). Pupuk
dasar diberikan dengan cara disebarkan di atas
bedengan pada 3-7 hari sebelum tanam, kemudian
tanah diratakan sambil diaduk. Bibit bawang
ditanam dengan cara membenamkan seluruh
bagian umbi ke dalam tanah.
Pada minggu pertama dilakukan penyiraman
2 kali sehari, yaitu pagi dan sore hari, setelah
itu penyiraman dilakukan sekali sehari. Pupuk
susulan terdiri atas Urea, ZA, dan KCl, setengah
dosis, diberikan pada umur 15 hari setelah tanam
(HST). Pengendalian hama dilakukan secara
rutin 2 kali seminggu menggunakan insektisida
dengan bahan aktif profenofos dan spinosad serta
untuk penyakit yang digunakan difenokonazol
klorotalonil (Moekasan et al. 2005). Bibit bawang
yang digunakan berasal dari petani dan penangkar
bibit di Brebes (Jawa Tengah), Kabupaten
Malang (Jawa Timur), Kabupaten Majalengka,
Kecamatan Majalaya, dan Kecamatan Ciwidey
(Jawa Barat). Kondisi benih saat dibeli di
penangkar secara fisik bermutu baik dan seragam,
dengan ciri-ciri umbi kompak, padat, kulit umbi
tidak terkelupas, serta warna umbi berkilau.
Perlakuan terdiri atas 5 varietas bawang lokal
dataran medium dan tinggi, yaitu Batu Ciwidey,
Menteng Kupa, Maja, Bali Karet Maja, dan Bali
Karet Batu dengan 3 varietas pembanding, yaitu 2
varietas asal impor, Ilokos, dan Tanduyung, serta
varietas lokal dataran rendah, Bima Curut.
Peubah yang diamati meliputi tinggi tanaman,
diukur dari permukaan tanah sampai dengan
bagian yang tertinggi, jumlah anakan, diameter
pangkal batang (gambes), jumlah daun, semuanya
diamati pada umur 40 HST, bobot umbi/plot,
bobot umbi/tanaman, diameter umbi, persentase
umbi besar, dan hasil basah t/ha diamati pada saat
Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang
Merah Asal Dataran Tinggi ...
panen. Data dianalisis dengan analisis varians
menggunakan program komputer MSTATC yang dilanjutkan uji beda rerata perlakuan
menggunakan uji jarak berganda Duncan pada
taraf beda nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Tanaman
Tinggi tanaman dari 8 varietas yang diuji
berkisar antara 43,3-48,9 cm. Dari 5 varietas yang
diuji, varietas Bali Karet Maja menampilkan tinggi
tanaman yang lebih rendah dibandingkan ketiga
varietas pembanding. Hasil pengamatan tinggi
tanaman memberikan indikasi bahwa varietas
asal dataran medium dan tinggi dapat beradaptasi
dengan baik pada ekosistem dataran rendah.
Sebaliknya, varietas Bima Curut yang habitat
aslinya dataran rendah, ternyata pada ekosistem
dataran medium Majalengka menampilkan tinggi
tanaman rerata 47,7 cm (Sumarni dan Thomas
1989) yang setara dengan tinggi tanaman pada
penelitian ini (48,2 cm). Tinggi tanaman varietas
Bima Curut hanya mencapai 26,9 cm walaupun
ditanam pada ekosistem habitatnya, yaitu di
dataran rendah (Alliudin et al. 1990). Hal tersebut
memberikan indikasi bahwa variasi daya adaptasi
varietas bawang merah cukup luas.
Jumlah anakan yang dihasilkan pada penelitian
ini berkisar antara 4,3-13,1 anakan. Jumlah anakan
terbanyak didapat pada varietas Tanduyung yang
diikuti oleh kedua varietas pembanding lainnya,
yaitu Bima Curut dan Ilokos, yang semuanya
menampilkan jumlah anakan yang nyata lebih
banyak dibandingkan varietas asal dataran
medium dan tinggi (Tabel 1). Jumlah anakan
ada hubungannya dengan karakter ukuran umbi,
di mana umbi yang berukuran besar memiliki
jumlah anakan yang lebih sedikit (Basuki 2005).
Varietas-varietas yang memiliki karakter berumbi
besar, di antaranya merupakan tanaman hasil
persilangan yang salah satu tetuanya, bawang
Bombay, seperti pada varietas Bali Ijo. Bawang
Bombay memiliki karakter berumbi besar dengan
jumlah anakan yang sedikit. Untuk mendapatkan
jumlah anakan maksimum pada varietas-varietas
yang jumlah anakannya sedikit, mungkin dapat
dilakukan pengaturan jarak tanam. Perlakuan
jarak tanam rapat akan menghasilkan jumlah
anakan yang lebih banyak persatuan luas,
sehingga diharapkan akan meningkatkan hasil
per satuan luas.
Jumlah daun diduga berkorelasi dengan
jumlah anakan. Semakin banyak anakan, maka
jumlah daun yang dihasilkan juga semakin
banyak (Putrasamedja 1990), seperti pada
varietas Tanduyung yang memiliki 13 anakan,
sehingga menghasilkan jumlah daun 70,4 lembar.
Walaupun demikian, pada varietas Bali Karet
Batu dengan 6,9 anakan menghasilkan 47,0
lembar, sementara varietas pembanding Ilokos
dengan jumlah anakan 7,5, hanya menghasilkan
jumlah daun sebanyak 33,9 lembar.
Peningkatan jumlah daun dapat diinduksi
dengan cara memperbaiki kondisi fisik tanah
melalui pemberian pupuk organik (Limbongan
dan Monde 1999). Cara lain dapat ditempuh
untuk meningkatkan jumlah daun adalah dengan
pemberian larutan mepiquat klorida (Sumiati
1996). Peningkatan jumlah daun yang maksimum
diperlukan oleh tanaman karena semakin banyak
Tabel 1. Tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah daun, dan diameter pangkal batang 8
varietas bawang merah umur 40 HST (Plant height, number of sprouts, number of
leaf, stem diameter of 8 varieties of shallot at 40 DAP) Brebes, 2005
Varietas
(Varieties)
Menteng Kupa
Maja
Batu Ciwidey
Bali Karet Maja
Bali Karet Batu
Bima Curut
Tanduyung
Ilokos
Tinggi tanaman
(Plant height)
cm
47,8 a
47,3 a
48,2 a
43,3 b
48,7 a
48,2 a
48,9 a
43,0 b
Jumlah anakan
(No. of sprouts)
4,5 d
4,3 d
5,2 cd
4,9 d
6,9 c
8,1 b
13,1 a
7,5 b
Jumlah daun
(No.of leafes)
Lembar (Peaces)
32,6 c
30,5 c
34,1 c
30,8 c
47,0 b
35,3 c
70,4 a
33,9 c
Diameter pangkal
batang
(Stem diameter)
mm
10,1 ab
11,7 a
10,5 ab
8,7 bc
9,6 b
9,0 b
7,1 c
9,4 b
283
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
daun, semakin tinggi kandungan fotosintat untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.
Hasil pengamatan terhadap diameter pangkal
batang, terbesar dihasilkan oleh varietas Menteng
Kupa (10,1 mm), diikuti oleh varietas Maja
(11,7 mm), kemudian Batu Ciwidey (10,5 mm)
yang nyata lebih besar dari varietas pembanding
Tanduyung (7,1 mm). Diameter pangkal batang,
oleh petani bawang merah dijadikan sebagai
penduga untuk mengetahui penampilan hasil umbi.
Batang yang besar diyakini dapat menghasilkan
umbi yang berukuran besar, sebaliknya batang
kecil akan menghasilkan umbi yang berukuran
kecil. Data hasil penelitian ini ternyata tidak
mendukung hipotesis petani tersebut (Tabel 2).
Komponen Hasil
Komponen hasil yang diamati meliputi jumlah
umbi/tanaman, diameter umbi (masing-masing
diambil dari 10 tanaman contoh), bobot umbi/
plot, bobot umbi basah t/ha, dan perkiraan hasil
bobot kering. Rerata jumlah umbi terbanyak
dihasilkan oleh varietas Tanduyung (14,7 buah)
diikuti varietas Bima Curut (9,1 buah), Ilokos (7,6
buah), dan Bali Karet Batu (7,2 buah). Pada kasus
tertentu, jumlah umbi yang dihasilkan oleh suatu
varietas berkaitan erat dengan jumlah daun karena
dengan jumlah daun banyak akan menghasilkan
fotosintat yang lebih banyak (Limbongan dan
Monde 1999). Selain jumlah daun, jumlah umbi
juga dipengaruhi oleh jumlah anakan. Hal ini
sesuai dengan uraian di atas bahwa varietas
Tanduyung dengan jumlah anakan terbanyak juga
menghasilkan umbi paling banyak.
Ukuran umbi, warna umbi, bentuk umbi,
dan hasil dapat dijadikan kriteria mutu yang
terkait dengan preferensi petani dalam memilih
mutu bawang merah. Semua karakter tersebut,
terkecuali warna umbi, dijumpai pada varietas
Bima (Basuki 2005). Kendati varietas Bima Curut
dipilih petani karena berukuran cukup besar,
tetapi belakangan ini dengan masuknya varietas
impor Ilokos, yang berumbi lebih besar dari
Bima Curut, secara perlahan mulai ditinggalkan
oleh sebagian petani di Brebes. Umbi berukuran
besar diduga dapat menembus supermarket dan
mendapatkan nilai jual yang lebih tinggi. Semua
varietas yang diuji menampilkan ukuran umbi
yang sebanding dengan varietas Ilokos serta
nyata lebih besar dari varietas pembanding Bima
Curut dan Tanduyung. Karakter ukuran umbi
pada varietas dataran medium dan tinggi tersebut
diturunkan dari hasil persilangan dengan varietas
bawang Bombay.
Bobot umbi per plot dengan populasi awal
500 tanaman, tertinggi, dihasilkan oleh varietas
pembanding Ilokos (65,5 kg/plot atau 30,6 t/ha)
diikuti oleh varietas Batu Ciwidey (58,5 kg/plot
atau 27,3 t/ha), Tanduyung (57,3 kg/plot atau
26,8 t/ha), dan Bima Curut (53,3 kg/plot atau 24,9
t/ha). Bobot umbi yang dihasilkan oleh ketiga
galur tadi lebih tinggi dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya, yaitu Tanduyung hanya
24, 6 t/ha, Ilokos 23,6 t/ha, dan Bima Curut 19,6 t/
ha (Kusmana et al. 2007). Varietas Batu Ciwidey
merupakan satu-satunya varietas yang mampu
menghasilkan umbi setara dengan varietas
pembanding, Bima Curut dan Tanduyung, namun
masih lebih rendah dari varietas impor Ilokos.
Untuk memprediksi hasil bobot kering atau
bobot kering jual maka perlu diperhitungkan
nilai susut bobot, yaitu 30-40%. Berdasarkan
Tabel 2. Jumlah umbi/tanaman, diameter, dan panjang umbi 8 varietas bawang merah (Tuber
numbers, diameter tubers, and length of tubers of 8 varieties of shallots) Brebes, 2005
284
Varietas
(Varieties)
Jumlah umbi/tanaman
(Tuber numbers/plant)
Menteng Kupa
Maja
Batu Ciwidey
Bali Karet Maja
Bali Karet Batu
Bima Curut
Tanduyung
Ilokos
5,0 d
5,0 d
5,6 cd
5,4 cd
7,2 bc
9,1 b
14,7 a
7,6 b
Diameter umbi
(Diameter of tubers)
cm
2,9 a
3,5 a
3,4 a
3,2 a
3,3 a
2,5 c
2,2 d
3,5 a
Panjang umbi
(Tuber length)
cm
3,9 a
3,9 a
3,6 a
3,5 a
3,9 c
3,5 a
2,7 b
3,6 a
Kusmana et al.: Uji Adaptasi Lima Varietas Bawang
Merah Asal Dataran Tinggi ...
Tabel 3. Bobot umbi/plot, bobot umbi basah, dan estimasi bobot kering 8 varietas bawang
merah (Tuber weight/plot, tuber wet weight, tuber yield estimation of dry yield of 8
shallots varieties) Brebes, 2005
Varietas
(Varieties)
Menteng Kupa
Maja
Batu Ciwidey
Bali Karet Maja
Bali Karet Batu
Bima Curut
Tanduyung
Ilokos
kg/plot
51,2 c
48,0 c
58,5 b
47,7 c
48,0 c
53,3 bc
57,3 b
65,5 a
Bobot umbi (Tuber weight)
Umbi kering dengan estimasi susut
Bobot basah umbi
30-40%
(Tuber wet weight)
(Estimation of dry yield)
t/ha
with 30-40% loss weight)
t/ha
14,3-16,7
23,9 c
22,4 c
13,4-15,7
27,3 b
16,4-19,1
22,2 c
13,3-15,5
13,4-15,7
22,4 c
14,9-17,4
24,9 bc
26,8 b
16,1-18,8
30,6 a
18,4-21,4
hasil penelitian terdahulu di Brebes, susut bobot
antara varietas sangat beragam mulai dari 28-32%
(Basuki 2004). Untuk varietas Bima Curut, susut
bobot selama penyimpanan 7 hari dapat mencapai
40,5% (Sumiati 1996). Susut bobot untuk varietas
Sumenep berkisar antara 37,1-42,7% (Gunadi
dan Suwandi 1989). Untuk semua varietas yang
diuji, hasilnya cukup menggembirakan karena
berada di atas rerata hasil yang dicapai petani
bawang Jawa Tengah saat ini, yaitu 8,6 t/ha kering.
Angka hasil tersebut masih lebih tinggi dari rerata
hasil produksi bawang merah di Jawa Timur,
sebesar 10,5 t/ha kering (BPS 2005). Hasil yang
ditampilkan oleh varietas Maja pada penelitian
ini jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian
Putrasamedja (1990) yang hanya 5,1 t/ha kering.
KESIMPULAN
1. Semua varietas bawang merah yang diuji
dapat beradaptasi pada ekosistem dataran
rendah Brebes, ditandai dengan pertumbuhan
dan hasil yang cukup baik.
2. Varietas Batu Ciwidey berpotensi hasil tinggi
(27,3 t/ha), sedikit melebihi daya hasil varietas
Tanduyung (26,8 t/ha) dan Bima Curut (24,9
t/ha). Selain itu varietas Batu Ciwidey
menghasilkan ukuran umbi nyata lebih besar
dibandingkan varietas Tanduyung dan Bima
Curut, sehingga varietas tersebut berpeluang
untuk ditanam di dataran rendah dan umbinya
jadi sumber pasokan supermarket.
PUSTAKA
1. Alliudin, A.A. Asdandhi, dan Budi Jaya. 1990. Pengujian
Varietas Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) di
Dataran Rendah Pulau Jawa. Bul. Penel. Hort. XIX(3):
44-47.
2. Basuki, S.R. 2005. Penelitian Daya Hasil dan Preferensi
Petani terhadap Varietas Bawang Merah Lokal dari
Berbagai Daerah. Laporan Hasil Penelitian APBN 2005ROPP D1. 8 Hlm.
3. Biro Pusat Statistik. 2005. Luas Panen, Hasil per ha
dan Produksi Sayuran. Departemen Pertanian Direktorat
Jenderal Hortikultura. Hlm. 188-191.
4. Dibyantoro. L.H. 1990. Control Droplet Applicator
Birky: Suatu Upaya Pengurangan Insektisida untuk
Mengendalikan Spodoptera exigua Hbn. Pada Tanaman
Bawang Merah (Allium ascalonicum L). Bul. Penel. Hort.
XVIII(2):113-122.
5. Gunadi, N dan Suwandi. 1989. Pengaruh Dosis dan
Waktu Pemupukan Fosfat pada Tanaman Bawang Merah
Kultivar Sumenep terhadap Pertumbuhan dan Hasil. Bul.
Penel. Hort. XVIII.(2):98-105.
6. Kusmana, E. Sofiari, dan R.S. Basuki. 2007. Seleksi
Daya Hasil Tinggi Kultivar Lokal Bawang Merah (Allium
ascalonicum L) di Slatri, Brebes. (tidak dipublikasikan).
6 Hlm.
7. Limbongan, J dan A. Monde. 1999. Pengaruh Penggunaan
Pupuk Organik dan Anorganik terhadap Pertumbuhan
dan Produksi Bawang Merah Kultivar Palu. J. Hort.9
(3):212-219.
8. Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, dan M.L. Ratnawati,
2005. Penerapan PHT pada sistem tanaman tumpanggilir
bawang merah dan cabai. Monograph No.19. Balai
Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. 44 Hlm.
9. Putrasamedja, S. 2000. Tanggap Beberapa Kultivar
Bawang Merah terhadap Vernalisasi Untuk Dataran
Medium. J. Hort.10(3):177-182.
285
J. Hort. Vol. 19 No. 3, 2009
10. _____________. 1990. Evaluasi Beberapa Kultivar
Bawang Merah untuk Musim Penghujan di Brebes. Bul.
Penel. Hort. XVIII(1):85-90.
11. Suhardi, 1996. Pengaruh Waktu Tanam dan Pemberian
Fungisida terhadap Intensitas Serangan Antraknos pada
Bawang Merah. J. Hort.6(2):172-179.
12. Suherman R, dan R.S. Basuki.1990. Strategi Pengembangan
Luas Areal Usaha Tani Bawang (Allium ascalonicum L) di
Jawa Barat. Tinjauan dari Segi Biaya Usahatani Terendah.
Bul. Penel. Hort. XVIII.(1):11-18.
286
13. Sumarni, N dan T.A. Sutiarso.1998. Pengaruh Waktu
Tanam dan Ukuran Umbi Bibit terhadap Pertumbuhan,
Produksi dan Biaya Produksi Biji Bawang Merah. J.
Hort.8(2):1085-1094.
14. Sumiati. E. 1996. Konsentrasi Optimum Mepiquat
Klorida untuk Peningkatan Hasil Umbi Bawang Merah
Kultivar Bima Brebes di Majalengka. J. Hort.6(2):132138.
Download