PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERTENSI

advertisement
PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERTENSI
I.
PENDAHULUAN
Hipertensi mempengaruhi sekitar 50 juta individu di Amerika Serikat, dan kira-kira 1
milyar orang di dunia. Sesuai dengan populasi umur, penderita hipertensi akan meningkat,
kecuali dilakukan pencegahan yang efektif lebih lanjut. Data terbaru kelompok study
tentang jantung dari Framingharm, berpendapat bahwa seorang yang mempunyai tensi
normal, pada usia 55 tahun mempunyai resiko 90% untuk mendapatkan hipertensi.(1)
Dari populasi Hipertensi (HT), ditaksir 70% menderita HT ringan, 20% HT sedang
dan 10% HT berat. Pada setiap jenis HT ini dapat timbul krisis hipertensi dimana tekanan
darah (TD) diastolik sangat meningkat sampai 120 – 130 mmHg yang merupakan suatu
kegawatan medik dan memerlukan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan
jiwa penderita.(2)
Berbagai gambaran klinis dapat menunjukkan keadaan krisis HT dan secara garis
besar, The Fifth Report of the Joint National Comitte on Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure (JNCV) membagi krisis HT ini menjadi 2 golongan yaitu : hipertensi
emergensi (darurat) dan hipertensi urgensi (mendesak).
Membedakan kedua golongan krisis HT ini bukanlah dari tingginya TD, tapi dari
kerusakan organ sasaran. Kenaikan TD yang sangat pada seorang penderita dipikirkan
suatu keadaan emergensi bila terjadi kerusakan secara cepat dan progresif dari sistem
syaraf sentral, miokardinal, dan ginjal. HT emergensi dan urgensi perlu dibedakan karena
cara penaggulangan keduanya berbeda.
Gambaran kilnis krisis HT berupa TD yang sangat tinggi Tekanan darah sistolik naik
menjadi 250 mmHg atau lebih, tekanan diastolic 140 mmHg atau lebih(3) (umumnya TD
diastolik > 120 mmHg)(2,4) dan menetap pada nilai-nilai yang tinggi dan terjadi dalam waktu
yang singkat dan menimbulkan keadaan klinis yang gawat. Seberapa besar TD yang dapat
menyebabkan krisis HT tidak dapat dipastikan, sebab hal ini juga bisa terjadi pada penderita
yang sebelumnya nomortensi atau HT ringan/sedang. Walaupun telah banyak kemajuan
dalam pengobatan HT, namun para kilinisi harus tetap waspada akan kejadian krisis HT,
sebab penderita yang jatuh dalam keadaan ini dapat membahayakan jiwa/kematian bila
tidak ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Pengobatan yang cepat dan tepat serta intensif
lebih diutamakan daripada prosesur diagnostik karena sebagian besar komplikasi krisis HT
bersifat reversibel. Dalam menanggulangi krisis HT dengan obat anti hipertensi, diperlukan
pemahaman mengenai autoregulasi TD dan aliran darah, pengobatan yang selektif dan
terarah terhadap masalah medis, yang menyertai, pengetahuan mengenai obat parenteral
dan oral anti hipertensi, variasi regimen pengobatan untuk mendapatkan hasil pengobatan
yang memadai dan efek samping yang minimal. Dalam makalah ini akan dibahas klasifikasi,
aspek klinik, prosedur diagnostik dan pengobatan krisis hipertensi.(2)
II.
DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Krisis hipertensi disebut juga kegawatan hipertensi. Krisis hipertensi merupakan suatu
sindrom klinis dengan tanda khas berupa kenaikan tekanan darah sistolik dan diastolik
secara tiba-tiba dan progresif.(3)
Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan perioritas pengobatan,
sebagai berikut :
1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD
harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu
dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).
2.
Hipertensi
urgensi
(mendesak),
TD
diastolik
>
120
mmHg
dan
dengan
tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (2,5,6,7)
Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :
a. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD > 200/110 mmHg,
walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple drug) pada penderita dan
kepatuhan pasien.
b. Hipertensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai dengan kelainan
funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke fase maligna.
c. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik > 120 – 130 mmHg
dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema, peniggian tekanan intrakranial
kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak
mendapat pengobatan. Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat
hipertensi essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang sebelumnya
mempunyai TD normal.
d. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan keluhan sakit kepala
yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini dapat menjadi reversible bila TD
diturunkan.(2)
III.
INSIDEN & EPIDEMIOLOGI
Survei kesehatan nasional dalam berbagai negara sudah menunjukkan prevalensi
yang tinggi dari control hipertensi yang lemah. Studi ini sudah melaporkan prevalensi
hipertensi itu adalah di Canada 22%, dimana 16% terkendali; 26,3% di Mesir, dimana 8%
terkendali; dan 13,6% dinegeri China, dimana 3% terkendali. Hipertensi adalah sesuatu
yang mewabah di seluruh dunia; pada banyak dnegara-negara , 50% dari populasi berusia
diatas 60 tahun mempunyai hipertensi. Keseluruhan kira-kira 20% orang dewasa di dunia
diperkirakan sudah mengalami hipertensi. Dari 20 % prevalensi adalah untuk hipertensi
dengan tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Prevalensi secara dramatis meningkat pada
pasien berusia diatas 60 tahun.(9,10)
Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara
maju berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan
pengobatan yang tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi
dalam 10 tahun belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HT.(2) Krisis hipertensi
mempengaruhi lebih dari 500.000 orang Amerika setiap tahunnya. Walaupun insiden krisis
hipertensi rendah, mengenai kurang dari 1% pada orang dewasa yang menderita hipertensi,
lebih dari 5 juta orang Amerika menderita penyakit hipertensi. (7) Di Indonesia belum ada
laporan tentang angka kejadian ini.(2)
IV. ETIOLOGI
Krisis hipertensi dapat terjadi pada penderita dengan hipertensi esensial maupun hipertensi
yang terakselerasi. Juga dapat terjadi pada penderita dengan tekanan darah normal
(normotensif). Krisis hipertensi pada penderita yang dulunya normotensif kemungkinan
karena glomerulonefritis akut, reaksi terhadap obatmonoamin oksidase inhibitor (MAO),
feokromositoma atau toksemia gravidarum. Sedangkan pada penderita yang telah
mengidap hipertensi kronis, krisis hipertensi terjadi karena glomerulonefritis, pielonefritis,
atau penyakit vaskular kolagen, lebih sering pada hipertensi renovaskuler dengan kadar
renin tinggi.(3)
Krisis hipertensi dapat mengenai usia manapun, dapat mengenai neonatus dengan
hipoplasi arteri ginjal kongenital, anak-anak dengan glomerulonefritis akut, wanita hamil
dengan eklampsia, atau orang yang lebih tua dengan arterisklerotis stenosis pembuluh
darah ginjal.(4)
Etiologi terjadinya krisis hipertensi dapat dilihat pada tabel dibawah ini(5) :
Hipertensi Emergensi
o Pengobatan
yang
tidak
terhadap hipertensi primer
Hipertensi Urgensi
adekuat Peningkatan
drastis
dari
tahanan
pembuluh darah sistemik
o Hipertensi renovaskular
Peningkatan vasokontriksi sistemik
o Penyakit parenkim ginjal
Hormon (angiotensin II, vasopressin
o Pheokromositoma
o Hiperaldosterone primer
dan norepinerin)
Berikut ini beberapa penyakit yang dapat menyertai terjadinya krisis hipertensi :
Hipertensi Emergensi
Hipertensi Urgensi
o Perdarahan intrakranial
Hipertensi maligna
o Stroke
Gagal Jantung Kiri
o Miokard Infark Akut
Angina tak stabil
o Krisis adrenergik
Hipertensi perioperatif
o Aorta dissecting
Preeklampsia
o Aneurisma
o Eklampsia
V.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang tepat mengenai terjadinya krisis hipertensi tidaklah diketahui. Akselerasi
dari hipertensi maligna mungkin salah satu reaksi non spesifik terhadap kenaikan tekanan
darah yang sangat tinggi. Faktor-faktor humoral (terutama sekali pusat rennin-angiotensin)
dan produk lokal yang diproduksi oleh darah (misalnya prostaglandin, radikal bebas) terlibat
juga dalam menaikkan tekanan darah ke level yang kritis.(4)
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensephalofati, yaitu :
1. Teori “ Over Autoregulation”
Dengan kenaikan tekanan darah menyebabkan spasme yang berat pada arteriole
mengurangi aliran darah ke otak dan iskemi, Meningginya permeabilitas kapiler akan
menyebabkan pecahnya dinding kapiler, edema di otak, petekhie, perdarahan dan mikro
infark.
2.
Oedema Otak
Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila tekanan darah mencapai ambang penerima
isyarat tertentu dapat mengakibatkan transudasi, mikroinfark dan edema otak, ptekhie,
hemorage, fibrinoid dari arteriole.
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean
Arterial Pressure (MAP) 120 mmHg – 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru
dengan MAP 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit
dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan sedikit saja dari TD menyebabkan
asidosis otak akan mempercepat timbulnya edema otak. (2)
VI. GEJALA KLINIS
Derajat kenaikan tekanan darah pada kegawatan dan ada tidaknya penyakit pada end organ
sebelumnya sangat menentukan tanda dan keluhan yang ada pada krisis hipertensi. Bila
terdapat keluhan, manifestasinya biasa berupa ensefalopati hipertensi dengan keluhan sakit
kepala, perubahan mental dan gangguan neurologist, mual, muntah, gangguan kesadaran,
atau disertai dengan gejala kerusakan end organ seperti (nyeri dada, pemendekan nafas,
kecemasan, gangguan penglihatan, dll).(3,4,6)
Pada tingkat permulaan, manifestasi klinis krisis hipertensi dapat hilang seluruhnya tanpa
meninggalkan komplikasi yang menetap. Oleh karena itu diagnosa harus secepatnya
ditegakkan, agar tindakan pengobatan dilakukan dengan cepat dan tepat.(3)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil terapi tergantung
kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan yang
menyeluruh walaupun dengan data-data yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu
krisis hipertensi.
1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat. Hal yang penting
ditanyakan :

Riwayat hipertensi : lama dan beratnya

Obat antihipertensi yang digunakan dan kepatuhannya

Riwayat pemakaian obat-obatan yang dapat menaikkan tekanan darah seperti kokain,
phencyclidine (PCP), Lysergic Acid Diethylamide (LSD), amphetamin, atau obat-obat
simpatomimetic lainnya

Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun

Gejala sistem saraf (sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas)

Gejala sistem ginjal (gross hematuri, jumlah urin berkurang)

Gejala sistem kardiovaskuler (adanya payah jantung, kongestif dan oedema paru, nyeri
dada).

Riwayat penyakit : Glomerulonefritis, pyelonefritis

Riwayat kehamilan : tanda eklampsia(2,3,4,6)
2. Pemeriksaan Fisik :
Pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah setelah beristirahat pada posisi
(baring dan berdiri) pada kedua tangan, mencari kerusakan organ sasaran (retinopati,
gangguan neurologi, payah jantung kongestif) perlu dibedakan komplikasi krisis hipertensi
dengan kegawatan neurologi atau payah jantung, kongestif dan edema paru. Perlu dicari
penyakit penyerta lainnya.(2)
Dilakukan funduskopi untuk melihat : edema retina, perdarahan retina, eksudat pada retina
atau papil edema. Pemeriksaan kardiovaskuler dinilai apakah ada peningkatan tekanan
vena jugularis, bunyi jantung 3, diseksi aorta, defisit nadi. Pemeriksaan neurologi untuk
menilai tanda perubahan neurologis yang segera terjadi atau berkelanjutan. Tanda
hipertensi encephalopaty seperti disorientasi, penekanan gangguan kesadaran, defisit
neurologis fokal dan kejang fokal.(4,7)
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara, yaitu :
a. Pemeriksaan segera seperti :
 Darah : Rutin, BUN, creatinine, elektrolit, KGD
 Urine : Urinalisa & Kultur Urin
 EKG : 12 lead, melihat tanda iskemi
 Foto dada : apakah ada edema paru
b. Pemeriksaan lanjutan (tergantung keadaan klinis dan hasil pemeriksaan pertama)
 Dugaan kelainan ginjal : IVP, renal angiografi, biopsi renal
 Menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : CT scan
 Bila disangsikan feokromositoma : urine 24 jam untuk khatekolamin, metamefrin,
Venumandelic Acid (VMA)
 Echocardiografi dua dimensi : membedakan gangguan fungsi diastolik dari gangguan fungsi
sistolik ketika tanda gagal jantung didapatkan.(2,4,5,6,7,8)
4. Faktor presipitasi pada krisis hipertensi
Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dapat dibedakan hipertensi
emergenci urgensi dari faktor-faktor yang mempresipitasi krisis hipertensi. Keadaan klinis
yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi antara lain :

Kenaikan TD tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis esensial (tersering)

Hipertensi renovaskuler

Glomerulonefritis akut

Sindroma withdrawal anti hipertensi

Cedera kepala dan rudapaksa susunan syaraf pusat

Renin – secretin tumors

Pemakaian prekurosors katekholamin pada pasien yang mendapat MAO Inhibitor

Penyakit parenkim ginjal

Pengaruh obat : Kontrasepsi oral, antidepresant trisiklik, MAO inhibitor, simpatomimetik (Pil
diet, sejenis amphetamin), kortikosteroid, NSAID.

Luka bakar

Progresif sistemik sklerosis, SLE(2)
VIII. DIAGNOSA BANDING
Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis hipertensi
seperti :
- Hipertensi berat
- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.
- Ansietas dengan hipertensi labil.
- Oedema paru dengan payah jantung kiri.(2)
IX. PENATALAKSANAAN
IX.1. Dasar-dasar penanggulangan krisis hipertensi
Tujuan
pengobatan
hipertensi
tidak
hanya
menurunkan
tekanan
darah,
tetapi
mencegah/memperbaiki kelainan fungsional dan structural yang terjadi akibat hipertensinya
(komplikasi organ sasaran), yaitu :
1. Menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin, tetapi tidak mengganggu perfusi organ
sasaran.
2. Mencegah komplikasi vaskuler/arteriosklerotik dan kerusakan organ sasaran, mengontrol
faktor resiko lain.
3. Bila sudah ada komplikasi diusahakan retardasif/kalau mungkin regresi komplikasi
vaskuler/arteriosklerosis dan kerusakan target organ (LVH, nefropati, dsb)
4. Memantau dan mengontrol efek samping obat yang lain (hipokalemia dan sebagainya) yang
dapat menambah morbiditas dan mortalitas.(11)
Tekanan darah yang sedemikan tinggi pada krisis hipertensi haruslah segera diturunkan
karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun
lambat. Tetapi dipihak lain penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan
berkurangnya perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung dan ginjal.
(2)
oleh karena itu penurunan tekanan darah terutama pada hipertensi kronik, harus bertahap
dan memerlukan pendekatan individual.(11)
Sampai sejauh mana tekanan darah harus diturunkan, perlu diperhatikan berbagai factor
antara lain; keadaan hipertensi sendiri (TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan
problem yang menyertai krisis hipertensi, perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan
darah pada organ vital serta pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi
dan monitoring efek samping obat.(2)
Selain itu keadaan klinis pasien juga harus diperhitungkan. Pada penderita dengan
aneurisma aorta desenden akut atau feokromasitoma dengan hipertensi akut, atau setelah
mendapat MAO inhibitor dan pernah mengalami krisis hipertensi, tekanan sistolik dapat
diturunkan menjadi 100-120 mmHg. Demikian juga bila fungsi ginjal normal dan tidak ada
riwayat CVD atau CAD, tekanan darah dapat diturunkan sampai normal. Namun demikian
pada penderita dengan penyakit pembuluh darah otak, penderita penyakit jantung koroner,
atau penderita yang telah mengalami trombosis serebri terutama 6 minggu terakhir, akan
berbahaya menurunkan tekanan darah ketingkat normal karena akan memperberat
gangguan koroner atau akan terjadi gangguan serebrovaskuler. Pada beberapa penderita
tingkat penurunan tekanan darah yang aman adalah sampai 160-180 mmHg sistolik dan
100-110 mmHg diastolik. Kecepatan penurun tekanan darah tergantung pada keadaan klinis
penderita.(3)
AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan
dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah
dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak dimaksudkan
untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi.
Autoregulasi otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan.
Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure ( MAP ) 60
– 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan mengeluarkan
oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila
mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual,
menguap, pingsan dan sinkope.
Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang disebabkan
oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh Kontos dkk.
Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak.
(2)
IX.II. Penatalaksanaan Hipertensi Emergensi
Bila diagnosa hipertens emergensi telah ditegakkan, maka Tekanan Darah (TD) perlu
diturunkan secara bertahap. Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
o Rawat ICU, pasang femoral intra arterial line dan pulmonary arterial kateter(bila ada indikasi).
Untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status volume intravaskuler.
Anamnesa singkat dan pemeriksaan fisik
 Tentukan penyebab krisis hipertensi
 Singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi
 Tentukan adanya kerusakan organ sasaran
o Tentukan TD yang diinginkan dari lamanya TD sebelumnya, cepatnya kenaikan dan
keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan usia pasien.
o Tujuan penurunan TD bukanlah untuk mendapatkan TD normal, tetapi lebih untuk
mendapatkan penurunan tekanan darah yang terkendali. Penurunan tekanan darah diastolik
tidak kurang dari 100 mmHg. Tekanan sistolik tidak kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP
tidak kurang dari 120 mmHg selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu
(misal : disecting aortiic aneurisma)
Penurunan TD tidak lebih dari 20 % dari MAP ataupun TD yang didapat.
o Kemudian dilakukan observasi terhadap pasien, jika penurunan tekanan darah awal dapat
diterima oleh pasien dimana keadaan klinisnya stabil, maka 24 jam kemudian tekanan darah
dapat diturunkan secara bertahap menuju angka normal.
o Penurunan TD secara cepat ke TD normal/sub normal pada awal pengobatan dapat
menyebabkan berkurangnya perfusi ke otak, jantung dan ginjal, dan hal in harus dihindari
pada beberapa hari permulaan. Kecuali pada keadaan tertentu.
o TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua minggu.(2,4,5,6,7)
IX.3. Pemakaian Obat-Obat Untuk Krisis Hipertensi(2,3,5,7)
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi tergantung
dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika hipertensi emergensi
dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita dirawat diruangan intensive
care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodilator direk kuat baik arterial maupun venous.
Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis 1 – 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila dengan dosis tinggi
sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5 menit, duration of action 3 – 5
menit. Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus i. V. Efek samping : sakit kepala, mual,
muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i. V bolus. Onset
of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 – 12 jam. Dosis
permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5 menit sampai TD yang
diinginkan. Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri. Onset of action : oral 0,5 – 1 jam, i.v : 10 –
20 menit duration of action : 6 – 12 jam. Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume intravaskular.
Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out put,
eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action 15 – 60 menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers. Terutama untuk
mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin. Dosis 5 – 20 mg secara i.v bolus atau
i.m. Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi sistem
simpatis dan parasimpatis. Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v. Onset of action : 1 – 5
menit. Duration of action : 10 menit. Efek samping : obstipasi, ileus, retensia urine,
respiratori arrest, glaukoma, hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent. Dosis : 20 – 80 mg secara i.v.
bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus i.v. Onset of action 5 – 10 menit Efek
samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala, bradikardi, dll. Juga
tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of action 10 jam dan efek
samping hipotensi, respons unpredictable dan komplikasi lebih sering dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem syaraf
simpatis. Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam. Onset of action : 30 – 60 menit,
duration of action kira-kira 12 jam. Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan
gastrointestino, with drawal sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan
kasiatnya tidak konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral. Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam
10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam 100 cc dekstrose dengan titrasi dosis. Onset of
action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau beberapa jam. Efek
samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada parotis. Bila
dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
11. Nicardipine merupakan salah satu IV dari dihidropiridine kalsium antagonist dan efektif pada
hipertensi emergensi dengan persentase yang tinggi. Terutama sekali pada infuse dengan
kecepatan tinggi. Kecepatan infuse dapat ditingkatkan 2,5 mg/jam dengan interval 15-20
menit sampai dosis maksimal yang direkomendasikan yaitu 15mg/jam atau sampai
pengurangan tekanan darah yang diinginkan dicapai. Dosis nicardipeine tidak tergantung
dengan berat badan. Nicardipine telah menunjukkan dapat mengurangi iskemia cerebral
dan serangan jantung, walaupun sakit kepala, mual dan muntah ada kalanya harus diamati.
12. Esmolol, merupakan penghambat beta adrenergic dengan waktu kerja singkat dan diberikan
secara intra vena. Onset efeknya dapat dilihat dalam 1 sampai 5 menit, dengan kecepatan
kehilangan efeknya dalam 15 sampai 30 menit setelah obat tidak dilanjutkan. Esmolol dapat
diberikan 500 g/kg secara injeksi bolus. Yang bisa diulangi setelah 5 menit. Sebagai
alternative dapat diberikan dalam infuse 50-100 g/kg/menit dan bisa ditingkatkan
300 g/kg/menit jika diperlukan. Efek yang tidak disukai adalah dapat meningkatkan
hambatan pada jantung, gagal jantung kongestif dan spasme bronchus.(2,3,5,7)
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral yang cara
pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih aman. Dengan
Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat diturunkan baik secara
perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara mengatur tetesan infus. Bila terjadi
penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten intravena
dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah dicapai, injeksi dapat
di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat parenteral yang long acting
ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit untuk dinaikkan kembali.
Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan yang
tepat bagi pasien di ICU.
Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara
komersil di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna clonidone
untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika bentuk injeksi
clonidine tidak tersedia.
Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi pasien
yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 – 1,05 mg dalam 500
ml Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan efek samping yang
minimal.
Penelitian lain di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau 300 mg
dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan efek
samping maksimum dalam 30-60 menit.
Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine pada
krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul ) dalam
1000ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12 tetes/menit. Setiap 15
menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4 tetes setiap kalinya sampai TD
yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai diawasi selama 4 jam dan selanjutnya
dengan obat per oral. Dengan tetesan berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang
diingini dan penderita tidak mengalami penurunan TD yang berlebihan. Hasil yang diperoleh
yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam dan respons yang baik pada
90,5% kasus. Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut kering,
mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral ataupun stroke, obat
ini akan memperberat gejala. (2)
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun yang
dihindari adalah sebagai berikut(2, 4, 6) :
Jenis penyakit penyerta
Obat Pilihan
Obat yang dihindarkan
Hipertensi ensephalopati
Sodium
Nitroprusside,
Labetalol,
B-antagonist,
methyldopa, clonidine,
diazoxide
Infark serebral/stroke
Sodium
Nitroprusside,
labetalol, Nimodipine
B-antagonist,
methyldopa, clonidine
Perdarahan intracerebral,
perdarahan subarakhnoid
Sodium
Nitroprusside,
Labetalol,
B-antagonist,
methyldopa, clonidine
Miokard iskhemi, miokard
infark dan Coronari Heart
Disease
Nitrogliserin,
labetalol, Ca
antagonist, sodium
nitroprussade,
Esmolol dan
loopdiuretik.
Hyralazine, diazoxide,
minoxidil
Edema paru akut
Sodium
Nitroprussade
dan Loop diuretic
Hydralazine,
Diazoxide, Bantagonist, Labetalol
Aorta Diseksi
Sodium nitroprussade
Hidralazine, diazoxide,
& B – antagonist,
Nitroprusside dan
beta bloker
(propanolol atau
esmolol) labetalol dan
verapamil.
minoxidil
Eklampsi
Hydralazine,
diazoxide, labetalol,
Ca antagonist &
sodium nitroprussade
Trimethapan, Diuretik,
B-antagonist
Renal insufisiensi akut
Sodium
nitroprussade,
labetalol, Ca
antagonist
B-antagonist,
trimethapan
Katekolamin ekses
Nitroprusside,
phentolamin, labetalol
Diuretiks
Dari berbagai sediaan obat anti hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium nitroprusside
merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena pemakaian obat
ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan monitoring ketat, penderita
harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi berat.
Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang dapat memberikan
bolus intravena. Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine diindikasikanpada kondisi tertentu.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diberikan secara
intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil) dan
tampaknya memberikan harapan yang baik.(2)
Obat oral untuk hipertensi emergensi :
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat oral
seperti Nifedipine ( Ca antagonist ) Captopril dalam penanganan hipertensi emergensi.
Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan dengan
pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik adalah bahwa
4 dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat, sedang dengan clonidine
yang diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap bermakna secara statistik.
Di Medan dibagian penyakit dalam FK USU pada 1991, telah diteliti efek akut obat oral anti
hipertensi terhadap hipertensi sedang dan berat pada 60 penderita. Efek akut nifedipine
dalam waktu 5-15 menit. Demikian juga dengan clonidine dalam waktu 5-35 menit. Dari hasil
ini diharapkan kemungkinan penggunaan obat oral anti hipertensi untuk krisis hipertensi.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan captopril pada
penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan setelah menit ke 20.
Captopril dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna dalam Menurunkan TD.
Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual kepada
pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga dicatat tandatanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila penurunan TD
diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila TD diastolik mencapai
<120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan simptom dan sign dari gangguan
organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons
bila setelah 60 menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih
>120mmHg atau MAP masih >150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan
sign dari organ sasaran.(2)
Namun pada saat sekarang ini, penggunaan calcium chanel blokers seperti durasi pendek
dari nifedipine (baik oral maupun sublingual) tidak lagi direkomendasikan untuk pengobatan
hipertensi urgensi, sebab dapat menyebabkan hipotensi yang berakhir dengan terjadinya
cerebral iskemia.(6)
Penanggulangan Hipertensi Urgensi :
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan
hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :
1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 –10
menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 – 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Clonidine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12
jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping :
sedasi, mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rddegree, heart block,
brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit
sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada
penderita bilateral renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu. Efek
samping : first dosyncope, hipotensi orthostatik, palpitasi, takhikardi dan sakit kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP
sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. (2,4)
Perlu
diingat
bahwa
pemberian
obat
anti
hipertensi
oral/sublingual
dapat
menyebabkan penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi
(walaupun hal ini jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.(2,6)
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat
penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan
volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh
penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek
terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila gejala penderita yang diobati tidak
berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.(2)
X.
KOMPLIKASI
Komplikasi dari krisis hipertensi adalah :
1. CAD (Coronary Arteri Disease)
2. CRF (Chronic Renal Failure)
3. CHF (Congestif Heart Failure)
4. CVA (Cerebral Vascular Accident)(5)
XI. PROGNOSIS
Sebelum ditemukannya obat anti hipertensi yang efektif survival penderita hanyalah 20%
dalam 1 tahun.Kematian sebabkan oleh uremia (19%), payah jantung kongestif (13%),
cerebro vascular accident (20%),payah jantung kongestif disertai uremia (48%), infrak Mio
Card (1%), diseksi aorta (1%).
Prognose menjadi lebih baik berkat ditemukannya pengobatan modern dan penaggulangan
penderita gagal ginjal dengan analysis dan transplanta ginjal.
Pada tahun 1939, survival dalam 1 tahun berkisar 21 % dan survival 5 tahun kurang dari
1%. Whitworth melaporkan dari penelitiannya sejak tahun 1980, survival dalam 1 tahun
berkisar 94% dan survival 5 tahun sebesar 75%.Tidak dijumpai hasil perbedaan diantara
retionopati KWIII dan IV.Serum creatine merupakan prognostik marker yang paling baik dan
dalam studinya didapatkan bahwa 85% dari penderita dengan creatinite <300 umol/l
memberikan hasil yang baik dibandingkan dengan penderita yang mempunyai fungsi ginjal
yang jelek yaitu 9 %.
Pada tahun 1995 survival dalam 1 tahun sebesar 95 % dan survival 5 tahun 74 %. Dan
kematian terbesar disebabkan oleh keadaan kronik, gagal ginjal terminal (40%), stroke
(24%), Infark Miokard (11%) dan gagal jantung (10%). (2,11)
XII. KESIMPULAN

Krisis hipertensi terjadi jika terjadi kenaikan tekanan darah secara kritis, dimana tekanan
diastole mencapai 120 sampai 130 mmHg.

Hipertensi urgensi perlu dibedakan dengan hipertensi emergensi agar dapat memilih
pengobatan yang memadai bagi penderita.

Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai
kerusakan berat dari organ sasaran yang disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi
akut. Keterlambatan pengobatan akan menyebabkan timbulnya sequele atau kematian. TD
harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu
dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU).

Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.

Dalam memberikan terapi perlu diperhatikan beberapa factor :
1. Apakah penderita dengan hipertensi urgensi atau emergensi
2. Mekanisme kerja dan efek hemodinamik obat
3. Cepatnya tekanan darah diturunkan, tekanan darah yang diinginkan, lama kerja dari obat
dan efek samping obat.
4. Autoregulasi dan perfusi dari organ vital bila tekanan darah diturunkan

Besarnya tekanan darah yang diturunkan umumnya 25 % dari MAP ataupun tidak lebih
rendah dari 170-180/100 mmHg.

Pemakaian obat parenteral untuk hipertensi emergensi lebih aman karena TD dapat diatur
sesuai keinginan, sedangkan dengan obat oral TD kurang dapat dikontrol.

Drug of Choice untuk hipertensi emergensi adalah sodium nitroprusside.

Nifedipin, clonidine merupakan oral anti hipertensi yang terpilih untuk hipertensi urgensi.
DAFTAR PUSTAKA
2. Working team, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), U . S . Department
and Human Service,
3. Abdul Majid, 2004, Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan, Bagian Fisiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Digitized by USU digital Library.
4. Idham Idris, M. Kasim. Krisis Hipertensi dalam Buku Ajar Kardiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Amy Bales, MD, 1999, Hypertensive Crisis, Volume 105, Number 5, Postgraduate Medicine
Online
6. Nursebob, Hypertensive Crisis in Critical Care, http://rnbob.tripod.com/hyperten.htm
7. Luc Lanthier, MD, FRCPC; and Danielle Pilon, MD, MSc, FRCPC, 2002 Recognizing
Hipertensive Crisis, The Canadian Journal of CME.
8. Donald Vilt, MD, 2006, Hipertensive Crisis Acute
http://www.clevelandclinicmeded.com/diseasemanagement/nephrology/crises/crises.htm
9. William T. Branch, Jr, R. Wayne Alexander, Robert C Schlant, J. Willis Hurst, 2000,
Cardiology In Primary Care, The Mc Graw – Hill Companies, Inc, Singapore
10. Riaz Kamran, Hypertensive Heart Disease, Available from : http:/www.emedicine.com. 2006
11. Sharma Sat, Hypertension. Available from: http:/www.emedicine.com. 2006
12. Budi Susetyo Pikir, 1997, Penatalaksanaan Komplikasi Kardiovaskuler pada Hipertensi
Download