BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

advertisement
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung adalah suatu penyakit
inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus paranasal, dapat mengenai
satu atau lebih mukosa sinus paranasal dan disertai dengan timbulnya masa lunak
bertangkai, berwarna putih keabu-abuan, jernih, mengandung cairan yang dapat
tumbuh secara tunggal maupun bergerombol pada mukosa hidung dan sinus
paranasal. Penyakit ini merupakan salah satu masalah kesehatan di bidang Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok oleh karena mengalami peningkatan
dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat serta dapat
mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat.
Rinosinusitis dibagi menjadi kelompok akut dan kronik. Istilah rinosinusitis
kronis digunakan untuk sinusitis yang menetap lebih dari 3 bulan sebagai akibat
dari sinusitis akut yang tidak terkontrol dengan baik atau pengobatan yang tidak
tepat (Piheiro et al. 2001). Rinosinusitis kronik dikelompokkan lagi menjadi
rinosinusitis kronik dengan polip hidung dan tanpa polip hidung.
Definisi
tersebut di atas menekankan bahwa sinusitis pada umumnya disertai terjadinya
inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal secara bersamaan. Oleh karena itu
menurut European of Allergology and Clinical Immunology Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps, penggunaan kata rinosinusitis lebih disarankan
daripada sinusitis (Fokkens et al, 2007).
Etiologi rinosinusitis kronis bersifat multifaktorial meliputi faktor penjamu
(host) baik sistemik maupun lokal, faktor mikrobial dan faktor lingkungan
1
(Fokkens, 2012 ; Singh & Tiwari, 2014). Rinosinusitis umumnya dimulai karena
adanya inflamasi pada mukosa hidung terutama daerah kompleks osteomeatal
atau inflamasi pada mukosa sinus sehingga menyebabkan tertutupnya ostium
sinus paranasal. Tertutupnya ostium sinus paranasal mengakibatkan terganggunya
ventilasi udara dan aliran selimut mukus sehingga terjadi absorbsi oksigen pada
ruang sinus yang menyebabkan tekanan negatif dan hipoksia pada ruang sinus,
akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan angiogenesis
yang mengakibatkan transudasi, berkurangnya kekentalan selimut mukus
sehingga kecepatan aliran mukus menurun dan berhenti sama sekali, dan menjadi
media pertumbuhan kuman yang cukup baik (Kennedy, 2004).
European Position Paper on Rinosinusitis and Nasal Polyps 2012
selanjutnya di sebut dengan EPOS 2012 mendefinisikan rinosinusitis kronik
sebagai sumbatan pada hidung disertai meler, ada atau tidak ada rasa sakit atau
penekanan pada wajah, berkurangnya atau hilangnya penciuman yang lebih dari
12 minggu dan dengan pemeriksaan endoskopi dapat disertai atau tanpa adanya
polip hidung dan atau discharge mukopurulen, udem / obstruksi mukosa meatus
medius, pemeriksan CT Scan menunjukkan perubahan pada sinus dan atau daerah
kompleks osteomeatal.
Rinosinusitis dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang serius,
gangguan kualitas hidup yang berat, yang menyebabkan beban keuangan yang
cukup luas pada masyarakat umum, di mana terjadi peningkatan prevalensi
hampir disemua negara dan merupakan penyakit yang paling sering dijumpai.
Sekitar 5-15 % masyarakat kota di Eropa dan USA, menderita rinosinusitis kronik
2
(Alobid et al. 2008). Pada populasi umum, prevalensi penderita rinosinusitis
kronis disertai dengan tumbuhnya polip hidung diperkirakan sekitar 4,3%
(Hedman et al. 1999). Selain itu, pada studi kadaver, prevalensinya di laporkan
sebesar 40% (Laren et al. 1994). Kebanyakan ditemukan pada orang dewasa yang
berusia lebih dari 20 tahun dan jarang ditemukan pada anak-anak berusia dibawah
10 tahun. Perbandingan antara penderita pria dan wanita adalah 2 : 1, biasanya
disertai dengan penyakit asma (7%) (Settipane, 1996).
Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung
dan sinus lainnya berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama
atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit . Dari laporan penelitian
yang ada, angka kejadian rinosinusitis kronik di Indonesia cukup bervariasi.
Penelitian di RS Ciptomangunkusumo Jakarta selama 3 bulan oleh Sucipto
melaporkan angka kejadian sinusitis sebesar 2,8% dari seluruh kunjungan
poliklinik pada tahun 1995, sedangkan periode bulan Januari – Agustus 2005
insidens kasus baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang datang berobat ke
divisi Rinologi Departemen THT RS Ciptomangunkusumo adalah 6,9%.
Pada tahun 2004 – 2007 tercatat antara 4,2 – 5,6 % dari jumlah kunjungan
pasien di bagian THT RSUP Dr. Sardjito terdiagnosis sebagai penderita
rinosinusitis kronis dan menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun
2004 dari 13.366 kunjungan pasien poliklinik THT, 565 orang terdiagnosis
sebagai penderita rinosinusitis kronik. Pada tahun 2005 dari 13.507 kunjungan
pasien di poliklinik THT, 578 pasien terdiagnosis sebagai penderita rinosinusitis
kronis, dan pada tahun 2006 dari 13.508 jumlah kunjungan tercatat 607 penderita
3
rinosinusitis kronis. Tahun 2007 meningkat cukup signifikan dari 13.533 pasien,
didiagnosis sebagai penderita rinosinusitis kronis sebanyak 756 orang. Sepanjang
tahun 2010 - 2014 tercatat mengalami penurunan yaitu sebanyak 386 penderita
terdiagnosis sebagai rinosinusitis kronis dan 209 orang diantaranya adalah
penderita rinosinusitis kronis dengan polip hidung. Penurunan jumlah kasus
rinosinusitis ini
disebabkan oleh adanya perubahan sistim rujukan oleh
pemerintah mengenai jaminan kesehatan, sehingga penderita yang datang ke
RSUP
Dr.
Sardjito
adalah
penderita
rinosinusitis
yang
membutuhkan
penatalaksaan bedah yang lebih kompleks.
Polip hidung adalah suatu lesi jinak pada mukosa hidung dan sinus
paranasal berupa masa lunak yang bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong,
berwarna putih keabuan dengan permukaan licin dan agak bening. Dapat tumbuh
tunggal atau multipel, unilateral maupun bilateral. Polip disebabkan oleh
inflamasi kronik mukosa hidung yang menyebabkan hiperplasia reaktif membran
mukosa intranasal, sehingga terbentuk polip. Penyebabnya masih belum diketahui
secara pasti, dahulu diduga bahwa faktor predisposisi timbulnya polip hidung
ialah adanya riwayat alergi atau penyakit atopi, tetapi para ahli sampai saat ini
menyatakan bahwa mekanisme pembentukan polip hidung yang sebenarnya
belum diketahui secara pasti (Vento, 2001 & Kalish, 2012). Menurut Mygind
(1997) terjadinya polip hidung tidak hanya disebabkan oleh satu faktor etiologi,
tetapi multifaktorial. Penatalaksanaan secara medikamentosa maupun bedah
sering memberikan hasil yang tidak memuaskan. Oleh karena itu sampai sekarang
rinosinusitis kronis disertai dengan polip hidung masih merupakan masalah
4
kesehatan, karena angka kekambuhan yang tinggi, walaupun telah diusahakan
berbagai macam cara pengobatan.
Meskipun prevalensi dan morbiditas rinosinusitis kronis disertai dengan
polip masih sangat tinggi, tetapi masih sedikit diketahui tentang mekanisme yang
mendasari patogenesisnya. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa tingkat EBVinduced protein 2 juga meningkat pada penderita polip hidung (p < 0,5) dan
berkorelasi positif terhadap sel B, terjadi peningkatan kadar sel B dan sel plasma
pada jaringan nasal polip dibandingkan pada jaringan orang normal, di duga sel B
memainkan peranan penting dalam patogenesis polip hidung (Hulse et al. 2013).
Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan virus herpes yang umum
menginfeksi manusia. Penyebaran virus Epstein-Barr antar manusia diperantarai
oleh saliva, dan sekitar 90% populasi dunia terinfeksi oleh virus tersebut. Virus
Epstein-Barr sendiri akan terus bertahan dalam tubuh inang (laten) (Almqvist,
2005). Induksi bahan kimia dan paparan sinar UV akan memicu fase laten EBV
menjadi litik (Jawetz et al. 2007). Salah satu produk virus Epstein-Barr adalah
Epstein-Barr Nuclear Antigen-1 (EBNA-1) dan Latent Membrane Protein-1
(LMP-1). EBNA-1 diketahui selalu diekspresikan oleh virus Epstein-Barr disetiap
tipe infeksi latennya. LMP-1 adalah salah satu protein produk EBV yang diduga
menyebabkan kenaikan regulasi reseptor Epidermal Growth Factor (EGF),
sekresi Interleukin -8 (IL-8) (Hu et al. 1993 cit Hariwiyanto, 2009). Li et al.
(2003) melakukan penelitian tentang peran IL-8 dan didapatkan hasil bahwa IL-8
menyebabkan peningkatan jumlah sel endothelial, proliferasi sel, produksi Matrix
5
Metallo Proteinase (MMP), terutama aktifitas matrix metalloproteinase-9 (MMP9) dan matrix metalloproteinase-2 (MMP-2).
Pada penelitian pendahuluan yang telah kami lakukan untuk melihat
ekspresi protein EBNA-1 pada kasus rinosinusitis kronis, didapatkan hasil bahwa
ekspresi protein EBNA-1 tersebut ditemukan positif pada 6 dari 10 kasus polip
yang kami teliti, dengan hasil biopsi pada jaringan polip menunjukkan gambaran
sebukan sel radang, terutama sel neutrofil. Melihat hasil serologi dan penemuan
klinis yang kemudian dibuktikan juga dengan pemeriksaan patologi anatomi,
diduga bahwa virus Epstein-Barr mempunyai peranan yang penting didalam
timbulnya polip pada rinosinusitis kronis (Indrawati, 2009)
Kesimpulan tersebut dirasa masih terlalu awal untuk
diutarakan,
mengingat selama ini pertumbuhan polip hidung masih menjadi perdebatan
dikalangan para ahli. Untuk membuktikan dugaan ini, kami melakukan
pemeriksaan imunohistokimiawi untuk melihat ekspresi protein EBNA-1, dan
keseimbangan MMP-9 dan TIMP-1 pada lebih banyak kasus rinosinusitis kronis
dengan polip hidung.
B. Perumusan Masalah
Rinosinusitis kronis khususnya yang disertai dengan timbulnya polip hidung
merupakan penyakit yang cukup tinggi angka kejadiannya dan mengganggu
kualitas hidup penderita serta memerlukan biaya pengobatan yang sangat besar.
Insidensi polip hidung meningkat seiring dengan bertambahnya umur, lebih
6
banyak dialami oleh kaum laki-laki dibanding perempuan (Hamadi, 2004)
Sampai saat ini polip hidung masih merupakan masalah kesehatan oleh karena
angka kekambuhan yang tinggi, walaupun telah diusahakan berbagai macam
pengobatan.
Etiologi polip hidung masih menjadi perdebatan diantara para ahli.
Beberapa faktor predisposisi telah dikemukakan seperti adanya riwayat alergi (15% populasi) tetapi pada pemeriksaan skin prick test ternyata hanya menunjukkan
1% - 2% saja yang positif (Settipane et al. 1977), kondisi medis yang umum
menyertai polip hidung seperti asma (7% populasi), cystic fibrosis , faktor genetik
dan lingkungan (Fokkens et al. 2007 ; Lund, 1995).
Peradangan kronik dan berulang pada mukosa hidung dan sinus paranasal
disebut juga sebagai salah satu etiologi terjadinya polip hidung. Salah satu jenis
mikroorganisme yang dikenal kerap menginfeksi mukosa hidung dan sinus
paranasal dan bersifat menetap adalah virus Epstein-Barr (Tao, 1996). Mengingat
sifat dari virus Epstein-Barr tersebut, maka besar kemungkinan bahwa virus
tersebut menjadi salah satu penyebab timbulnya polip hidung pada penderita
rinosinusitis kronis melalui aktivasi terhadap protein matrix metalloproteinase-9.
Matrix metalloproteinase-9 (MMP-9) diketahui berfungsi mendegradasi
komponen matriks ekstraseluler dan membran basalis. Kenaikan dari kadar matrix
metalloproneinase-9 akan memberikan dampak kerusakan kolagen pada membran
basalis, menyebabkan peningkatan permeabilitas dan udem pada stroma.
Aktifitas ekstraseluler dari matrix metalloproteinase-9 ini diregulasi oleh
tissue inhibitors of matrix metalloproteinase-1 (TIMP-1). Ketidak seimbangan
7
dari dua komponen tersebut dicurigai memiliki peran yang penting pada
pembentukan polip hidung.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Apakan protein EBNA-1 dan LMP-1 terekspresi pada polip hidung ?
2. Apakah terdapat hubungan antara ekspresi protein EBNA-1 dan LMP-1
dengan polip hidung ?
3. Apakah terdapat perbedaan keseimbangan ratio ekspresi protein MMP-9 /
TIMP-1 pada penderita rinosinusits kronis dengan polip hidung di
bandingkan pada rinosinusitis kronis tanpa polip hidung ?
4. Apakah ada perbedaan tipe histopatologik polip hidung berdasarkan
klasifikasi Hellquist pada polip hidung penderita Rinosinisitis kronik di
RSUP dr. Sardjito Yogyakarta.
5. Apakah terdapat perbedaan keluhan antara penderita rinosinusitis kronis
dengan polip hidung dan penderita rinosinusits kronis tanpa polip hidung?
D. Keaslian Penelitian
1. Sampai saat ini penelitian terhadap Virus Epstein-Barr banyak dilakukan pada
penderita karsioma nasofaring atau keganasan di daerah kepala dan leher.
Peran Epstein-Barr pada penderita rinosinustis dengan polip hidung belum
banyak dikakukan. Tao et al. (1996) melaporkan bahwa Epstein-Barr terdeteksi
pada kasus polip hidung dengan teknik PCR (69%) dan teknik EBERs (85%).
8
2. Hulse K.E. (2013) melakukan penelitian terhadap jaringan sinus penderita
rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan pada orang normal sebagai
kontrol, didapatkan hasil pada penderita rinosinusits dengan polip hidung
terjadi peningkatan ekspresi sel B dan sel plasma dan menariknya bahwa
terjadi juga meningkatnya level EBV-2 induced protein 2 di mana berkolerasi
dengan sel B dan sel plasma. Dapat di simpulkan bahwa virus Epstein-Barr
berperan pada reaksi inflamasi kronis pada penderita rinosinusitis.
3. EBNA- 1 merupakan suatu rangkaian spesifik DNA yang berikatan dengan
fosfoprotein yang dibutuhkan untuk replikasi dan mempertahankan genom
virus Epstein-Barr . Berperan utama dalam mempertahankan infeksi laten virus
Epstein-Barr (Thompson et al. 2004 ).
4. Lie et al. (2003) melakukan penelitian tentang peran IL-8 di mana didapatkan
hasil bahwa IL-8 menyebabkan peningkatan jumlah sel endotel, proliferasi, sel
produksi matrix metallo proteinase (MMP), terutama aktifitas matrix
metalloproteinase-9 dan matrix metalloproteinase-2.
5. Kahveci (2008) melaporkan bahwa tingkat kadar MMP-9 meningkat secara
signifikan dan tingkat kadar TIMP-1 menurun secara signifikan ( p = 0,001)
dalam jaringan polip dibandingkan dengan kontrol tanpa adanya
korelasi
antara kadar MMP-9 dan populasi sel-sel inflamasi.
6. Wang (2010) menjelaskan bahwa polimorfisme gen matrix metalloproteinase9 mempengaruhi perkembangan rinosinusitis kronis dengan polip hidung
namun tidak menaikkan risiko untuk kejadian berulangnya. Selanjutnya Chen
(2007) mengemukakan keterkaitan antara matrix metalloproteinase-9, matrix
9
metalloproteinase-2, tissue inhibitor metalloproteinase-1, IL-5 dan IL-8 pada
timbulnya polip hidung. Hasilnya adalah IL-5 dan matrix metalloproteinase-9
berperan penting dalam timbulnya polip hidung yaitu terdapat perbedaan
proses regulasi matrix metalloproteinase-9 pada kejadian polip hidung dengan
regulasi matrix metalloproteinase-9 pada proses perbaikan epitel sel sinus.
7. Yeo N et al (2013)., melaporkan bahwa ekspresi MMP-9 pada recurrent nasal
polip lebih tinggi secara signifikan dibanding pada kelompok nonrecurrent
terutama pada
stroma dan diduga berperan pada kekambuhan dari polip
hidung .
E. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalis peran virus Epstein-Barr terhadap
timbulnya polip hidung pada penderita rinosinusitis kronis.
2. Tujuan Khusus :
a. Menganalis ekspresi protein EBNA-1, LMP-1, MMP-9, dan TIMP-1 pada
polip hidung.
10
b. Menganalis adanya perbedaan keseimbangan ratio ekspresi protein MMP-9
/ TIMP-1 pada penderita polip hidung.
c. Mengkaji keluhan penderita rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan
tanpa polip hidung menurut kriteria Task Force (2007).
d. Menentukan tipe histopatologik polip hidung berdasarkan klasifikasi
Hellquist pada polip hidung penderita Rinosinisitis kronik di RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat pada pengembangan ilmu
kedokteran khususnya di bidang rinologi yaitu, didapatkan bukti adanya
hubungan antara infeksi kronis virus Epstein-barr dengan terbentuknya polip
hidung pada penderita rinosinusitis kronis dan mengetahui peran virus EpsteinBarr melalui ekspresi protein EBNA-1. Pengaruh EBV sebagai salah satu faktor
risiko timbulnya polip hidung melalui peran matrix metalloproteinase-9 (MMP-9)
dan tissue inhibitor metallopreoteinase-1 (TIMP-1) .
Deteksi dini virus Epstein-Barr pada rinosinusitis kronis diharapkan dapat
digunakan sebagai proses skrining rutin pada semua penderita rinosinusitis kronis
untuk memprediksi kemungkinan timbulnya polip hidung dapat, sebagai salah
satu kemajuan terapi dan menentukan prognosis kesembuhan pasien.
11
Download