1 PENDAHULUAN Latar Belakang Streptococcus suis adalah bakteri yang memiliki arti penting di seluruh dunia karena bakteri ini mempunyai potensi zoonotik dan mampu menimbulkan outbreak serius baik pada babi maupun manusia. Selain gejala utama meningitis dan gejala syaraf lainnya seperti ketulian, keradangan pada mata hingga kebutaan, bakteri ini bertanggung jawab pada sejumlah gangguan lain seperti arthritis, endocarditis, pneumonia, dan septisemia pada babi. Kejadian poliserositis pada babi juga pernah dilaporkan pada kasus infeksi S. suis serotipe 3 dan 4 di Korea (Kim et al., 2010). John et al. (1982) melaporkan adanya berbagai macam lesi pada babi akibat infeksi S. suis serotipe 2 termasuk poliserositis, nefritis, dan hepatitis. Streptococcus suis serotipe 2 juga dilaporkan menginfeksi anak babi melalui vertikal maupun horizontal saat masa penyusuan. Anak babi yang mampu bertahan akan mengalami lesi permanen seumur hidupnya dan dapat mengganggu pertumbuhannya. Penelitian Vecht et al. (1992), membuktikan bahwa infeksi S. suis pada anak babi mengakibatkan pleuritis fibrinosa berat, peritonitis, pericarditis serofibrinosa, dan arthritis fibrinopurulent. Streptococcus suis tidak hanya ditemukan pada babi namun juga ditemukan pada beberapa mamalia lainnya termasuk manusia, anjing, kucing, kuda, serta unggas sebagai bakteri komensal (Staats et al., 1997; Salasia, 1994). Bahkan wabah S. suis pada manusia telah menyebar di beberapa wilayah di seluruh dunia. 1 2 Penelitian mengenai patogenesitas S. suis dewasa ini meningkat seiring banyaknya laporan kasus zoonosis S. suis yang terjadi di berbagai negara. Kasus infeksi S. suis dijumpai pertama kali pada manusia saat wabah streptokokosis di Denmark pada tahun 1968 (Staats et al., 1997), diikuti negara-negara Eropa lain seperti Belanda, Inggris, Perancis dan negara-negara Asia seperti China, dengan 204 kasus dan 38 kematian (Yu et al., 2006) dan Hongkong. Di kawasan Asia Tenggara kasus infeksi S. suis pada manusia dijumpai di Thailand (Kerdsin et al., 2009), Vietnam (Wertheim et al., 2009) bahkan di Indonesia yang melibatkan kematian babi di Bali dan Papua juga diduga disebabkan oleh S.suis (Salasia, 1997; Salasia et al., 2011; Salasia et al., 2012). Salasia et al. (2011) melaporkan S. suis serotipe 2 juga ditemukan pada cairan persendian babi saat terjadinya wabah di daerah Jila, Kabupaten Puncak Jaya, Papua yang mengakibatkan ratusan babi mati. Kejadian ini semakin menguatkan bahwa keberadaan S. suis di Indonesia perlu diwaspadai. Namun S. suis belum menjadi salah satu perhatian masyarakat sebagai agen penyebab meningitis dan septisemia karena bakteri ini cenderung underdiagnosed atau tidak terdiagnosa pada kasus meningitis di Indonesia. Tingginya tingkat konsumsi babi di Indonesia bagian timur seperti Papua, Bali, Nusa Tenggara, dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia yang lain memperbesar risiko terjadinya streptokokosis oleh S. suis. Masyarakat tradisional Papua yang tinggal satu honai atau satu rumah dengan babi merupakan salah satu penyebab penularan S. suis ke manusia. Telah banyak disebutkan bahwa kejadian infeksi S. suis pada manusia terkait dengan frekuensi kontak dengan babi seperti 3 peternak babi, tukang daging babi, pekerja rumah potong hewan, bahkan dokter hewan (Salasia et al., 2011). Kasus meningitis dan penyakit lain akibat Streptococcus suis telah banyak dilaporkan namun sampai saat ini belum banyak informasi yang didapatkan tentang patogenesis dan virulensi bakteri ini. Faktor virulensi dan patogenesis S. suis yang menyebabkan berbagai gejala syaraf, pernafasan, sepsis, dan lainnya masih diperdebatkan terkait banyak faktor yang mempengaruhinya (Fittipaldi et al., 2012). Bahkan mekanisme terjadinya inflamasi meninges dan berbagai lesi di otak masih belum dipahami secara utuh (Domínguez-Punaro et al., 2007). Minimnya informasi tentang S. suis mengakibatkan sulitnya deteksi bakteri, diagnosa penyakit dan metode pencegahannya, sehingga pencegahan dan penanganannya cenderung tidak tepat sasaran. Studi potensi virulen, patogenesitas, dan faktor virulensi S. suis perlu diperdalam seiring dengan fakta bahwa dari beberapa kasus streptokokosis di lapangan menunjukkan strain S. suis dari berbagai area geografis memiliki karakter dan potensi virulensi berbeda (Fittipaldi et al., 2012; Winterhoff et al., 2002). Streptococcus suis memiliki faktor virulensi dan perbedaan potensi-potensi virulensi antar serotipe bahkan dalam satu serotipe itu sendiri (Fittipaldi et al., 2012). Hal ini menunjukkan pentingnya studi mengenai patogenesitas dan virulensi S. suis guna mencegah korban yang lebih banyak dan mengurangi kerugian akibat infeksi. Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi patogen S. suis isolat Papua dan patogenesitasnya. 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi patogen S. suis isolat di Papua melalui pengamatan gejala klinis dan histopatologi otak Mus musculus yang diinfeksi S. suis isolat asal babi dan manusia . Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi ilmiah mengenai infeksi S. suis asal Papua, Indonesia, juga dapat diterapkan dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan penanganan kasus streptokokosis. Penelitian ini juga sebagai langkah antisipasi infeksi S. suis pada manusia untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan pada kesehatan hewan maupun masyarakat, terlebih pada bahaya produk makanan asal babi yang terkontaminasi. Perlu kesadaran masyarakat terutama pada orang yang banyak berinteraksi dengan babi serta kewaspadaan pada bahan pangan asal hewan, khususnya babi, seiring diberlakukannya Asia Free Trade Area di Indonesia (Salasia, 2013).