I.PENDAHULUAN 1.I Latar Belakang Arah pembangunan pertanian pada PJP II mengalami reorientasi dari pendekatan produksi ke pendekatan yang lebih mengarah pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Penekanan pada satu jenis komoditas dalam pencapaian tujuan pembangunan pertanian tersebut akan mengalami stagnasi produksi, sedangkan komoditas non-padi belum digarap secara intensif. OIeh karena itu upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan selayaknya dilakukan dalam sistem usahatani yang berorientasi agribisnis disamping penigkatan kuantitas juga peningkatan kualitas produksi. Salah satu jenis komoditas non-padi yang dapat dikembangkan untuk orientasi agribisnis adalah komoditas sayur-sayuran. Menurut Sunaryono (1999), sayuran mempunyai peranan penting yaitu : sebagai sumber penghasil zat gizi yang penting berupa protein, vitamin dan mineral. Selain itu sayuran memberikan sumbangan 10 % dari pendapatan nasional neto setiap tahun atau sekitar 22 - 29 % dari nilai produksi bahan makanan di Indonesia. Komoditas sayuran merupakan komoditas masa depan yang diharapkan rnemberikan sumbangan besar terhadap pertumbuhan ekonomi di indonesia. Hal ini disebabkan komoditas sayuran mernpunyai nilai ekonomi yang tinggi. Proyeksi permintaan terhadap sayuran secara keseluruhan meningkat 4,1 % per tahun, yaitu dari 8,2 juta ton menjadi 12,3 juta ton per tahun (Asandhi, 2000). Pertumbuhan perrnintaan yang relatif cepat menimbulkan tekanan terhadap kemarnpuan daerah sentra produksi untuk menyediakan pasokan sayuran secara kontinyu. Produsen rnerespon tekanan ini dengan upaya peningkatan produksi yang cenderung ditempuh rnelalui peningkatan intensitas penggunaan masukan (input) produksi (terutama pupuk buatan dan pestisida kimia) yang dapat menjadikan usahataninya tidak efisien. Tuntutan pasar akan mutu dan persyaratan kesehatan semakin tinggi. Tuntutan pasar akan produk pertanian termasuk sayuran bukan saja bebas pestisida, tetapi telah berkernbang tuntutan produk pertanian yang bebas bahan kimia. Disarnping itu peningkatan efisiensi dan keunggulan komparatif salah satunya ditentukan pula oleh tingkat perkembangan teknologi dan pemanfaatannya. Oleh karena itu tantangan di masa datang adalah menciptakan teknologi yang mampu meningkatkan produksi pertanian dari segi kuantitas, keragsman dan kualitas, serta mampu menciptakan nilai tambah melalui teknik proses pengolahan, peningkatan sumberdaya yang efisien dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan (Baharsyah, 1993). Sumber daya alam Indonesia yang potensial bagi pengembangan sayuran, tentunya dapat rnernberikan jalan keluarnya melalui terobosan pola pengembangan usahatani yang berwawasan agnbisnis. Suatu pola pengernbangan usahatani tanarnan sernusim yang efesien dan berwawasan lingkungan dapat menjadi terobosan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani serta rnasyarakat pada umumnya. Selain itu, dukungan infrastruktur yang memadai saat ini khususnya di kawasan barat lndonesia, diharapkan komoditas sayuran dapat menemukan kembali ciri-ciri spesifiknya baik untuk komoditas sayuran dataran tinggi maupun di dataran rendah (Buurma, 1989). Keberhasilan pembangunan pertanian selama ini didukung oleh keberhasilan program intensifikasi seperti penggunaan pupuk buatan dan pengendalian hama dan penyakit secara kimia. Sistem produksi sayuran telah berubah secara dramatis antara lain produksi sayuran yang sangat tinggi per unit luasan, tanaman sejenis (mono cropping) menggantikan tumpangsari (multiple cropping), penggunaaan pupuk anorganik yang sangat tinggi, varietas sayuran yang sangat tanggap terhadap masukan (input) pupuk yang tinggi dan penggunaan pestisida kimia yang berlebihan (Sharifuddin, 1995). Sistem pertanian modern tersebut sebenarnya telah berhasil melengkapi kebutuhan sayuran di Indonesia, namun ha1 tersebut juga telah menimbulkan pengatuh samping antara lain terjadinya "levelling off' produksi dan harga pupuk kimia yang tetus meningkat, sehingga tidak terjangkau oleh petani serta mengakibatkan tingginya subsidi pemerintah (Baharsyah, 1992). Penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebihan dan tanpa memperhatikan kaidahkaidah konse~asidapat mengakibatkan tingkat kesuburan tanah menurun, merusak lahan pertanian serta lingkungan hidup. Produk sayuran seperti bawang merah, cabai merah, kentang, buncis, krrbis dan tornat yang dimakan patut dicurigai karena mengandung bahan kimia berbahaya. Pestisida yang berlebihan telah dituding sebagai penyebab kematian beberapa binatang dan manusia, saluran air dan air tanah terkontaminasi oleh pestisida. Dengan dernikian penggunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia dalam takaran yang tinggi tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan (International Nature Farming Center, 1993 ; Benbrook,l991 ; Hatwood , 1984 ; dan National Research Council, 1989). Tuntutan pada revolusi hijau untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani yang tidak mampu mengadopsi teknologi baru yang mahal, apabila pemerintah harus menghapus semua jenis subsidi dan kredit untuk sektor pertanian, merupakan kebutuhan yang mendesak. Revolusi hijau ini mencakup antara lain : penemuan teknologi produksi seperti perbaikan teknik bercocok tanam dan perlindungan tanarnan, penemuan varietas atau bibit ilnggul baru yang secara biologik lebih efisien dan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi tanah dan air yang miskin unsur hara dan iklim yang tidak menentu, membutuhkan sedikit energi, pupuk dan pestisida. Menurut Triharso (1995), revolusi hijau yang dimaksud hendaknya berusaha menerapkan low external input sustainable agriculture (LEISA). Untuk kondisi seperti Indonesia dan negara berkembang lainnya, dua tujuan yang hams tetap sejalan dan seimbang yaitu peningkatan produktivitas dan produksi di satu pihak dan pencapaian keberlanjutan sistem produksi, peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan di lain pihak yang memerlukan langkah terobosan di bidang penelitian. Penggunaan pupuk buatan dan pestisida kimia untuk pertanaman cabai merah, kubis dan buncis di tingkat petani cukup tinggi, terutama penggunaan pestisida kimia di daerah dataran tinggi sangat tinggi. Hal ini dilakukan karena petani tidak mau mengambil resiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit. Dan hasil penelitian Balitsa (1999) ditemukan bahwa kadar residu pestisida yang terkandung pada tanaman cabai merah di Kabupaten Brebes adalah 1,457 - 7,524 ppm dengan jenis insektisida monocrotophos. Sedangkan tingkat kadar residu yang diperbolehkan berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Pertanian No. 8811Menkes/SKBNIIll996 dan 71lIKPTSlTP.270/6/1996, tentang batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian adalah 0,l ppm. Sehubungan dengan ha1 tersebut, maka dilakukan penelitian tentang "Kajian Penygunaan Input Produksi Ramah Lingkungan Untuk Menghasilkan Produk Bersih Sayuran". 1.2 Perurnusan Masalah Kesadaran dan perhatian masyarakat (konsumen) terhadap produk sayuran bersih (clean product) semakin besar. Secara umum meskipun produk bersih hanya dapat dicapai dengan sistem pertanian organik (organic - farming), akan tetapi alternatif lain dari usahatani yang dapat menghasilkan produk bersih tersebut dengan penggunaan masukan (input) luar rendah yang ramah lingkungan (menggunakan acuan Technical Advisory Committee of the CGIAR, 1988) dan tidak menggunakan masukan (input) luar (kimia) sintetis. Sharma (1985) dan Tandon (1990) mengungkapkan pengaruh kurang baik pemupukan (NPK) secara terus- rnenerus menyebabkan pengurangan unsur mikro, penurunan produktivitas dan masalah hama penyakit tanaman. Jutaan petani sayuran di daerah tropis melakukan kegiatan usahataninya pada lahan-lahan yang bervariasi dari segi ekosistem dan bahkan rentan terhadap resiko serangan hama dan penyakit. Sampai saat ini, penelitian konvensional secara ilmiah maupun penyuluhan pertanian masih sangat terfokus pada pertanian modern dengan penggunaan masukan (input) luar yang tinggi, seperti penggunaan bahan agrokimia (pupuk dan pestisida sintetis) dan benih hibrida, penggunaan sistem mekanisasi dengan memanfaatkan bahan bakar minyak, irigasi dan juga pertanaman tanaman sejenis. lmplikasi dari penerapan sistem teknologi tersebut, akhir-akhir ini mulai dirasakan pengaruhnya, seperti petani mulai tampak ketergantungannya terhadap bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) dalam produksi tanaman di satu pihak dan tidak terkendalinya harga produksi tanaman (fluktuasi harga) yang sering merugikan produsen (petani) yang tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas produk. Menurut penelitian penggunaan pestisida sudah mencapai 15.5 ribu ton per tahun, dan selalu meningkat sekitar 7 % per tahun. Di lain pihak, eksploitasi sumberdaya alam tersebut juga telah mengakibatkan masalah lingkungan seperti erosi, degradasi lahan dan penurunan dari produksi pertanian, serta masalah pencemaran lingkungan. Berdasarkan ha1 tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahen sebagai berikut : "Sampai sejauh mana tingkat kandungan residu pestisida pada produk dan lingkungan (biotik dan abiotik) akibat penggunaan input produksi". 1.3. Kerangka Pemikiran Sayuran merupakan salah satu komoditas hortikultura yang strategis dan dapat diandalkan diantara komoditas tanaman pertanian lainnya. Komoditas sayuran bukan hanya sebagai penyedia pangan dan gizi, tetapi juga mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sebagai pembuka lapangan kerja, berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan dapat dikembangkan ke arah produk industri. Budidaya sayuran di Indonesia seiring dengan keberhasilan pembangunan pertanian menggunakan sistem pertanian yang modern yaitu antara lain dengan menggunakan pupuk buatail, pengendalian hama dan penyakit secara kimia dan pertanaman tanaman sejenis. Namun dalam penggunaan input luar tersebut, petani kadang-kadang tidak memperhgtikan aturan yang dianjurkan, yaitu untuk mendapatkan hasil yang tinggi menggunakan input luar tersebut secara berlebihan, terutama di daerah dataran tinggi. Penggunaan pupuk buatan (urea, TSP dan KCI) yang berlebihan antara lain dapat mengakibatkan menurunnya kesuburan tanah (degradasi tanah), berubahnya struktur tanah dan terjadinya pencemaran tanah dan air (National Research Council, 1989). Salah satu pembatas biotik yang paling potensial dalam budidaya sayuran di dataran tinggi adalah serangan hama dan penyakit. Peranan hama, selain menyerang secara langsung komoditas juga ada yang mampu menjadi vektor penyakit. Sampai saat ini cara pengendalian yang paling efektif adalah rnenggunakan pestisida, bahkan petani telah menganggap pestisida sebagai asuransi keberhasilan produksi usahataninya. Berdasarkan hasil survai pada sayuran dataran tinggi, tercatat bahwa biaya yang digunakan untuk pstisida mencapai 30-50% dari total biaya produksi. Penggunaan pestisida berlebih pada tanaman sayuran tidak saja rneningkatkan biaya produksi (tidak efisien), tetapi juga dapat menimbulkan pelbagai masalah yang serius antara lain : timbulnya resistensi hama sasaran, resurgensi hama sasaran, terbunuhnya rnusuh-musuh alami hama-hama penting pada tanaman dan residu pestisida yang membahayakan konsumen. Bahkan darnpak yang secara langsung akan dirasakan oleh konsumen adalah adanya residu pestisida dan bahan beracun yang berada dalam sayuran yang biasa dikonsurnsi. Disarnping terjadinya pencernaran lingkungan sehingga rnengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup, dalam "era lingkungan" saat ini seharusnya pestisida digunakan secara selektif dan hati-hati. Untuk mengatasi ha1 tersebut perlu dilakukan langkah-langkah atau terobosan teknologi yang dapat menghemat penggunaan bahan kimia (pupuk buatan dan pestisida), mengurangi subsidi pemerintah, meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan produksi per satuan luas dan meningkatkan pendapakn petani sayuran. Melalui usaha-usaha tersebut berbagai sistem alternatif dan terminologi teknologi seperti halnya pertanian organik, pertanian alarni, pertanian alternatif, pertanian regeneratif, pertanian berkelanjutan masukan rendah (low external input sustainable agriculture = LEISA) peilu dikembangkan. Seluruh sistern altematif dan terrninologi tersebut mempunyai tujuan sama yaitu untuk rnenghasilkan produk bersih (clean product) atau rneningkatkan mutu sayuran, pengurangan input bahan-bahan kimia (atau penghilangan total) dan sistem yang dikembangkan harus ramah lingkungan dan berkelanjutan. Produk sayuran dapat dinyatakan aman dikonsumsi apabila konsentrasi residu insektisida atau logam berat lainnya dibawah batas ambang yang ditetapkan FA0 (WHO) yaitu 0 , l - I mglkg bobot sayuran. Bagan kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar I. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan rnengembangkan suatu teknologi pertanian yang ramah lingkungan yaitu dengan menggunakan biopestisida (biorasional) sebagai pengganti pestisida sintetis, penggunaan mulsa dan bercocok tanam secara tumpangsari sebagai pengganti pertanian tanarnan sejenis yang biasa dilakukan petani. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk : (1) Mengkaji keunggulan sistem usahatani sayuran yang ramah lingkungan terhadap sistem usahatani konvensional. (2) Mengurangi kandungan residu pestisida pada produk sayuran dan pada lingkungan (biotik dan abiotik) karena pengaruh perlakuan. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : (1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa paket komponen teknologi usahatani yang ramah lingkungan dapat menghasilkan produk yang bebas dari residu pestisida. (2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan memperkenalkan kepada masyarakat mengenai produk sayuran yang bebas dari pestisida. 1.6. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : (1) Penggunaan pestisida berpengaruh pada kandungan residu dalam produk sayuran. (2) Model pertanian dengan teknologi yang ramah lingkungan dalam usahatani sayuran diduga akan rnenghasilkan produk dan lingkungan yang bebas dari residu pestisida.