13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Semiotika Menurut

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Komunikasi Semiotika
Menurut John Fiske menyebut ada dua mazhab utama yang
tercermin dalam model komunikasi. Pertama mazhab proses yang
melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini mereka
tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan
(encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana
transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini
cenderung membahas kegagalan komunikasi dan melihat ke tahap-tahap
dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut
terjadi. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran
berinteraksi
makna.Hal
dengan
ini
berkenaan
orang-orang
dengan
dalam
bagaimana
pesan
menghasilkan
makna1.Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks
berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna;
yakni, yang berkenaan dengan bagaimana peran teks dalam kebudayaan
kita.
Mazhab semiotik banyak menggunakan istilah-istilah seperti
pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman
sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi – hal ini mungkin
akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima.Mazhab
1
Fiske John, Cultural and Comunication Studies, Yogyakarta : Jalasutra 2004
13
14
semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan dan subjek seni, dan
cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.Bagi mazhab ini,
studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.Metode
studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna).
Perspektif produksi dan pertukaran makna
memfokuskan
bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi
dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah
makna.Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam
budaya.Perspektif
ini
seringkali
menimbulkan
kegagalan
dalam
berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan
dan penerima pesan.Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah
signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan.Untuk
itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya
ini dinamakan pendekatan semiotic2.
Definisi semiotic yang umum adalah studi mengenai tandatanda.Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan
sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda terbentuk.Bentukbentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture,
dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang
satu dengan tanda-tanda yang lain yang membentuk sebuah system, dan
kemudian
disebut
system
tanda.
Lebih
sederhananya
semiotic
mempelajari bagaimanasistem tanda membentuk sebuah makna.Menurut
2
Ibid 9
15
John Fiske dan John Hartley, konsentrasi semiotic adalah pada hubungan
yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya.Juga
bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode3.
Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey
menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan
Pascastrukturalisme”.Barthes tidak hanya sering disalahpahami konsepkonsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh
strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika.Buku-buku
yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali
terbatas dalam kategori-kategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku
berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang
lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari.
Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001),
Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler
(2003), dan Semiotika Negativa karya St. Sunardi (2004). Adapun karyakarya Barthes tentang analisis sejumlah fenomena budaya pop antara lain
Mythologies, The Fashion System, dan Camera Lucida.
Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya
tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan
konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic system.
Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti tanda.
Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda-
3
Chandler,2002: www.aber.ac.uk
16
tanda.Tanda tersebut mewakili sesuatu objek representatif.Istilah
semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi.Istilah
pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk
pada ilmu tentangnya.Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi
Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto Eco,
sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes.Baik
semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau
sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tandatanda.
2.2
Tanda dan Makna dalam Iklan
Ilmu
yang
mengkaji
tanda
dinamakan
semiotikaPeirce
menggambarkan bahwa tanda terjadi karena suatu proses yang disebut
seiosis. Proses ini dimulai dengan masuknya unsur tanda yang berada
dibagian “luar” ke dalam indra manusia, yaitu representamen atau
ground, yang mungkin dapat dibandingkan dengan penandanya
Seussure4.
Barthes dalam karyanya menggunakan pengembangan teori tanda
de Saussure (penanda dan petanda) sebagai upaya menjelasakan
bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh
konotasi.Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi
suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya.Barthes
4
Peirce. Lihat Noth. 1995 : 39-47
17
mencoba menguraikan betapa kejadian keseharian dalam kebudayaan
kita menjadi seperti wajar, padahal itu adalah mitos belaka yang
disebabkan konotasi yang menjadi terlihat nyata di masyarakat 5.
Tanda di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang
sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di
dalam diri makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat
menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang,
pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan
makanan, cara berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara
berkendaraan, bentuk permainan dan objek-objek produksi, semuanya
dianggap sebagai tanda dan produk bahasa. Tanda dan makna memiliki
konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas
memiliki kemiripan.Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur
yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna.Ketiga unsur itu
adalah tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda6.
Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah
pemaknaan, karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya
yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca.
Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure)
tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak
memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah
5
Roland Barthes 1957
Bignell, Jonathan. Media Semiotics: An Introduction. Manchester University Press:Manchester and New
York. 1997.
6
18
pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada
saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi
makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas
untuk
memaksa
makna-makna
yang
mereka
kehendaki.
Peran
pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca 7.
„Tanda‟ dan „hubungan‟ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam
analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara
mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan
bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan
aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut
sebagai konteks.Teks dan konteks menjadi dua konsep yang tak
terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna.Konteks menjadi
penting dalam interpretasi, yang keberadaannya dapat dipilah menjadi
dua,
yakni
intratekstualitas
dan
intertekstualitas.Intratekstualitas
menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produksi makna
bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks.
Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks
yang satu dengan ”teks” yang lain. Makna seringkali tidak dapat
dipahami kecuali dengan menjalin pemahaman antarteks, antara teks
tertulis dengan jenis teks lain yang tidak mesti tertulis (konteks)8.
7
Hodge, Robert dan Gunther Kress.Social Semiotics. Pres. London ; 1988
van Zoest, Aart. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya,
Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993.
8
19
Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam
iklan, yangterdiri atas 2 (dua) lambang yakni lambang verbal (bahasa)
dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam
iklan).Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata
dan bahasa. Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara : Tanda
yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui
pengalamannya misalnya jika langit mendung menandakan akan turun
hujan; Tanda yang ditimbulkan oleh binatang misalnya jika ada anjing
mengonggong itu menandakan ada orang yang memasuki halaman
rumah; Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan
nonverbal9.
Yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai
alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat
non verbal dapat berupa tanda yang menggunakan anggota badan lalu
diikuti dengan lambang berupa kata misalnya menempelkan telunjuk jari
ke bibir sambil membunyikan ssstt... dst. Jadi secara harafiah komunikasi
nonverbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata,
maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata
atau dengan kata lain tanda nonverbal dapat diartikan semua tanda yang
bukan kata-kata10.
9
Alex Sobur, Ibid, 122
Ibid 124
10
20
Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang
penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal
yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan
melalui indera manusia.Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika
pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna
yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal11.
Tampilan iklan di televisi senantiasa melibatkan tanda dan kode.
Setiap bagian iklan pun menjadi ”tanda” atau signs, yang secara
mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Tanda berfungsi
mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian
konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan
seorang
penonton
untuk
men-decode
atau
menginterpretasikan
maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk
sesuatu, kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan
menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Dalam
iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa
narasi atau unsur tekstual, audio, dan audiovisual.Ketiganya masih dapat
dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle12.
11
Ibid
Thwaites et al., 2002: 9
12
21
Iklan secara kasat mata sering dinikmati sebagai hiburan dan
ajang promosi bagi perusahaan-perusahaan yang beriklan namun dibalik
itu semua ternyata iklan secara perlahan juga dapat membentuk tanda dan
makna dalam persepsi khalayak. Sebagai medium ideologis, sangat
menarik mengamati dan membongkar isi pesan sebuah iklan. Terutama
karena ia tidak semata-mata membentuk makna yang ideologis, namun
juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan
akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang diciptakan iklan
dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya.Sebaliknya,
perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya
makna-makna ideologis yang baru 13.
Dalam relasi antara pengiklan dan penonton alias pembaca iklan,
mula-mula harus dimaklumi bahwa kreator iklan adalah subyek yang
mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama
dengan pembacanya. Adanya pemahaman subyektif dari bahasa iklan
tidak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya
adanya bias kepentingan dari penciptanya. Lebih lanjut, disadari atau
tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis
dari pelaku representasi alias media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat
subyektif, artinya proses pembacaan terhadap iklan sama artinya dengan
negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental
representation “pembaca” iklan. Dengan demikian diskusi mengenai
13
Purwanti, 1998:42
22
bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya
merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung
dalam produsen iklan dan bahkan media itu sendiri.
Barhtes dalam menganalisa iklan terlebih dahulu membongkar
tanda-tanda yang merepresentasikan makna dengan menggunakan
semiotik sebagai kerangka analisa.Pemikiran peran media dalam
mereproduksi pesan-pesan ideologis.Iklan membentuk suatu hyper
realitas (realitas yang melebih-lebihkan).Iklan juga dilihat sebagai tanda
yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan.
Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat sealami mungkin proses
signifikasi (pembuat tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai
myth (mitos seperti apa, contoh: maskulis seperti apa, putih seperti apa).
2.2.1
Elemen-elemen Tanda dalam Iklan Televisi
Iklan (advertisement), sebagai sebuah objek semiotika,
mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga
dimensi, Khususnya desain produk. Iklan, seperti media
komunikasi
„komunikasi
massa
pada
langsung‟
umumnya,
(direct
mempunyai
communication
fungsi
function),
sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi
yang tidak langsung (indirect communication function). Oleh
sebab itu di dalam iklan, aspek-aspek komunikasi seperti „pesan‟
(message) merupakan unsure utama iklan, yang di dalam sebuah
desain produk hanya merupakan salah satu aspek dari berbagai
23
utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). Metode analisis
semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh berbagai
ahlinya, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard dan
Judith Williamson.14
Dari pendangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut di
atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada
sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotic dari objekobjek lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsureunsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks berupa
lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna
pada objek, serta tulisan yang memperkuat makna, meskipun
yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. 15 Berikut
adalah table untuk dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan :
Obyek
Konteks
Teks
Entitas
Visual / tulisan
Visual / tulisan
Tulisan
Fungsi
Elemen
tanda
yang
Elemen
tanda
linguistic
atau
yang
berfungsi
memberikan
atau
diberikan konteks dan
produk
yang
makna pada obyek yang
diiklankan
Yasraf Amir Piliang. Semiotika Teks : Sebuah Pendekatan Analisis Teks
Ibid
15
Tanda
merepresentasikan obyek
diiklankan
14
yang
memperjelas makna
24
Elemen
Signifier / signified
Signifier / signified
Signified
Tanda
Semiotic sign
Semiotic sign
Linguistic sign
Beragam elemen biasanya terpadu
untuk menciptakan
dampak visual dari iklan-iklan di televisi. Namun elemen seperti
audiovisual tidak bisa berdiri sendiri, elemen audiovisual
harusdidampingi elemen-elemen lain agar dapat menciptakan
iklan televisi yang spektakuler dan efektif.Berikut ini
adalah
elemen-elemen yang harus ada dalam iklan televisi :16
1. Video, yakni yang menyangkut segala visualisasi yang
muncul pada iklan televise.
2. Audio, merupakan keseluruhan unsur audio yang ditampilkan
pada iklan televise yang biasanya berupa musik, suara, efek
suara, ataupun yang berupa voice overdari talent yang tampil
di iklan ataupun narator yang tidak kelihatan.
3. Talent, merupakan pemeran ataupun tokoh-tokok yang
muncul pada sebuah iklandi televisi.
4. Promps, merupakan produk yang diiklankan pada iklan
televisi.
5. Setting, merupakan lokasi pembuatan iklan suatu iklan pada
televisi baik.
16
Wells, 1992
25
6. Lighting, merupakan efek pencahayaan yang ditampilkan di
iklan televisi yangdigunakan sebagai pelengkap iklan atau
mempertegas suatu adegan yang munculdalam iklan televisi.
7. Graphics, merupakan keseluruhan efek grafis yang ada pada
sebuah iklan televise yang dapat berupa tulisan (seperti
ilustrasi, desain ataupun ilustrasi foto.
8. Pacing, merupakan kecepatan dari setiap
frame ataupun
adegan yangditampilkan dalam sebuah iklan ditelevisi.
2.3
Semiotika Sebagai Studi Mengenai Tanda dan Makna
Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion
yang berarti “tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”.Semiotika
berakar dari studi klasik dan skolastik atas senilogika, retorika, dan
poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang
menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api.
Tanda terdapat dimana-mana : „kata‟ adalah tanda, demikian pula gerak
isyarat,lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra,
struktur film, bangunan(arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap
sebagai tanda.Segala sesuatu dapatmenjadi tanda.Charles Sanders Peirce
menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana
tanda.Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi17.
17
van Zoest, Aart. Semiotika: Ibid
26
Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Little
John: 1996:64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat
melakukan komunikasi dengan sesamanya.Kajian semiotika sampai
sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika
komunikasi dan semiotika signifikasi.Yang pertama menekankan pada
teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan
adanya enam faktor dalam komuniasi, yaitu pengirim, penerima kode
(sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang
dibicarakan) (Jakobson, 1963, dalam Hoed 2001:140).Yang kedua
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu
konteks tertentu18.
Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tandatanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas
kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang
entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang
bermakna19.Sehingga semiotika dapat di artikan suatu ilmu atau metode
analisis untuk mengkaji tanda.Tanda sendiri adalah perangkat yang kita
pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia dan dan bersama-sama manusia.Semiotika, atau dalam istilah
Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana
kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to
sinify)
18
19
dalam
hal
ini
tidak
dapat
mencampuradukkan dengan
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung ; 2004
Budiman Kris, Semiotika Visual, Jalasutra Ctakan. Yogyakarta ; 2011
27
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda.
Dalam teori semiotika ada tiga hal yang dikenal dengan
semantika yaitu tentang hubungan langsung antara lambang dan
obyeknya.Kamus yang merupakan buku acuan semantika.Sintaktika yaitu
tentang
hubungan
antar-lambang.Lambang
tidak
berdiri
sendiri,melainkan bersama lambang-lambang lain, dalam suatu sistem
lambang yang lebih besar yang disebut kode.Di sini, lambang dapat
verbal atau non-verbal.Pragmatika yaitu tentang kegunaan praktis
lambang pada manusia di tengah budaya tertentu.Dari perspektif
semiotika, untuk sukses komunikasi kita tidak cukup memahami
lambang-lambang secara terpisah, tetapi juga tata bahasa (sintaks) yang
mengatur pola hubungan antar-lambang, serta budaya masyarakat yang
menggunakannya 20.
Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan
makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu
tanda.Konsep dasar ini mengikat seperangkat teori yang amat luas
berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk verbal dan
non verbal, teori yang menjelaskan bagaimana tanda disusun secara
umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.Apa yang
dikerjakan oleh semiotika
20
adalah
mengajarkan kita
bagaimana
van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya,
28
mennguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah
kesadaran21.
Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa,
seluruh kebudayaan sebagai tanda.Pada dasarnya semiotika analisisnya
bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk
dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks.Maka orang sering
mengatakan semiotika adalah upaya menemukan “makna di balik berita”.
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi
tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor
dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda,
pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan.Sementara
semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi.
Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman
suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih
diperhatikan ketimbang prosesnya. Dengan semiotika, kita lantas
berurusan dengan tanda.Semiotika seperti kata Lechte (2001:191), adalah
teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah
suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi
dengan sarana sign „tanda-tanda‟ dan berdasarka pada sign system (kode)
„sistem tanda‟ (Segers, 2000:4) mendefinisikan tanda sebagai “suatu
21
Berger, 2000a: 14
29
keterhubungan antara wacana ekspresi (expression plan) dan wahana isi
(content plan)”.
2.3.1 Semiologi Roland Barthes
Dalam mengkaji tanda di dunia media dan budaya,
perspektif semiotika struktural tidak akan pernah menampik
gagasan-gagasan yang dikeluarkan oleh pemikir strukturalis
Perancis, Roland Barthes. Bisa dikatakan, Barthes merupakan
orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure.
Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang
hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui
Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna
ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos.
Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika
konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang
bahasa. Semiotika a la Barthes memungkinkan kajian semiotika
mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan
media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer, Barthes
30
adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area
kehidupan sosial (Ritzer, 2003: 53).22
Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang sangat giat mempraktekkan model linguistik dan
semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah
sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu
masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.23
Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik
(kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik,
kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik atau kode
kultural
yang
membangkitkan
suatu
badan
pengetahuan
tertentu24.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam
studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader).
Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan
keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang
lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem
22
Alex Sobur, Ibid 67
Alex Sobur, Ibid. hal 63
24
Lechte, 2001: 196; lihat pula Indriani, 2000: 145-149
23
31
pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang
telah ada sebelumnya.
Tabel 2.1 Peta Tanda Roland Barthes25
1. Signifier
2. Signified
(penanda)
(petanda)
3. Denotatif Sign (tanda
denotatif)
4. CONNOTATIVE
5. CONNOTATIVE
SIGNIFIER (PE
SIGNIFIED
(PETANDA
NANDA KONOTATIF)
KONOTATIF)
6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF)
Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif,
terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat
bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi,
dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki
makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya. Tanda konotatif tidak
hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua
25
Paul Cobley & Litza Jansz, Introducing semiotics. NY: Totem Books, 1999, hal 51
32
bagian
tanda
denotatif
yang
melandasi
keberadaannya.
Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga
atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya
berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran
denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif
ini, „pembaca‟ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa
kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada
level denotatif26.
Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem
tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena
sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai „tanda‟ alias layak
dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.27
2.4
Nilai-nilai Budaya dalam Iklan
Budaya berasal dari kata sansekerta yaitu, buddhaya bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Menurut Wikipedia buday
adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah
26
Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255
Alex Sobur, Ibid 69
27
33
kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. 28 Budaya
terbentuk dari unsur-unsur yang rumit, termasuk di dalamnya agama,
politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya
seni.29
Pengertian budaya yang dikutip dari Wikipedia adalah suatu cara
hidup yang yang berkembang dan dimiliki bersama yang dimiliki oleh
sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut
Tylor, kebudayaan adalah
keseluruhan aktivitas manusia, termasuk
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan
kebiasaankebiasaan lain. 30
Menurut Raymond Williams, budaya memiliki tiga definisi yakni
pertama, budaya adalah suatu proses umum perkembangan intelektual,
spiritual dan estetis. Kedua, budaya adalah pandangan hidup tertentu dari
masyarakat, periode dan kelompok tertentu dan yang ketiga, budaya
adalah karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas
artistik.31
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun
temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut
sebagai
superorganic.
Menurut
Andreas
Eppink,
kebudayaan
mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain28
Supatono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, Galia Indonesia, Jakarta, Hal 30
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru Jakarta, 1974, hal 181
30
Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2005
31
Storey, 1993: 2-3
29
34
lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor,
kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang
sebagai anggota masyarakat. Budaya menurut McIver adalah ekspresi
jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup,
seni kesusasteraan, agama, rekreasi, dan hiburan, dan yang memenuhi
kebutuhan hidup manusia.32
Kehidupan
manusia
tidak
dapat
dilepaskan
dari
kebudayaan.Manusia adalah penghasil kebudayaan sekaligus pengusung
kebudayaan.Segala aktivitas manusia tidak dapat dilepaskan dari unsur
rasa, gagasan yang memotivasi seseorang untuk melakukan aktivitas
tertentu.Aktivitas untuk bertahan dan meningkatkan kesejahteraan
hidupnya akan senantiasa melibatkan berbagai unsur dalam dirinya yang
bersifat internal dan eksternal. Semua ruang lingkup kehidupan manusia
tersebut
bagi
kalangan
antropologi
disebut
sebagai
kebudayaan.Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan
bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar.33
32
Soekanto, 2002:304
Koentjaraningrat, 2005:73
33
35
Williams
berpendapat
bahwa
perubahan-perubahan
historis
tersebut bisa direfleksikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah budaya,
yaitu :
1.
Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan
estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat;
2.
Yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan
artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, bendabenda seni, dan teater). Dalam penggunaan ini budaya kerap
diidentikkan dengan istilah “kesenian” (the arts);
3.
Yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan,
keyakinan-keyakinan,
dan
adat
kebiasaan
sejumlah
orang,
kelompok, atau masyarakat 34.
Kebudayaan dilahirkan melalui proses yang paling kecil yaitu
sistem gagasan yang sifatnya idiologis dan mendasar yang kemudian
diungkapkan melalui sistem gagasan yang pada akhirnya mewujudkan
sebuah perilaku dan produk budaya berupa artefak dan benda-benda
kebudayaan.
Iklan adalah sebuah produk budaya modern untuk mempromosikan
sebuah produk, barang atau jasa maupun perusahaan.Periklanan adalah
komunikasi non-personal melalui beragam media yang dibayar oleh
perusahaan,
organisasi
non-profit
dan
individu-individu,
dengan
menggunakan pesan iklan yang diharapkan dapat menginformasikan atau
34
Sutrisno,Mudji, dkk, 2005:8
36
membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut.Beda dengan
pengumuman biasa, iklan lebih membujuk orang untuk membeli.Idealnya
sebuah pesan iklan selain membujuk orang untuk membeli juga dapat
memiliki nilai edukatif melalui sajian nuansa budaya tertentu yang
mencerminkan nilai-nilai budaya luhur dan positif yang dapat memotivasi
masyarakat untuk hidup dalam suasana harmoni.Nilai-nilai ini kemudian
dapat mencerminkan karakter budaya masyarakat yang positif yang lahir
dari kompleksitas kehidupan masyarakat yang utuh sejak berabad-abad
lalu.
Budaya memiliki nilai kompleksitas dalam kehidupan manusia,
keberadaannya diusung oleh sekelompok masyarakat dan dimiliki melalui
proses belajar. Iklan sebagai produk budaya lazimnya merupakan ide
original sekelompok masyarakat
yang
implementasinya bercirikan
kelompok masyarakat itu sendiri.Parsons mengembangkan sebuah model
masyarakat yang terdiri dari tiga sistem.Sistem yang pertama adalah sistem
sosial yang terbentuk dari interaksi manusia, Sistem kedua adalah sistem
kepribadian yang tersusun atas sejumlah disposisi kebutuhan.Merupakan
preferensi, hasrat, dan keinginan. Sistem ketiga adalah sistem budaya
(cultural system), sistem ini membuat orang bisa saling berkomunikasi dan
mengoordinasikan tindakan-tindakan mereka, sebagian dengan cara
mempertahankan ekspektasi peran35.
35
Sutrisno & Putranto,2005:57
37
2.5
Budaya Politik
Setiap warga Negara dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan
dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak.
Proses pelaksanaanya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung.
Secara tidak langsung, berarti sebatas mendengar informasi atau berita –
berita tentang pereistiwa politik yang terjadi. Secara langsung , berarti
orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.Kehidupan politik
yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga
Negara dengan pemerintah institusi – institusi di luar pemerintah (non –
formal) telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan
dan pengetahuan tentang praktik – praktik perilaku politik dalam semua
system politik.36
Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat
dengan ciri – ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah
legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses gejolak masyrakat terhadap
kekuasaan yang memerintah.Dengan demikian, budaya politik langsung
mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional
yang menyangkut pola pengalokasian sumber daya masyarakat.37
Chilcote berpendapat bahwa istilah budaya politik memiliki makna
yang beragam.Secara umum istilah itu merujuk pada keyakinan, symbol,
dan nilai-nilai. 38
36
http://farrasnia-budayapolitikindonesia.blogspot.com/
Ibid
38
Budiardjo, Op Cit, hlm 33
37
38
Sehingga budaya politik dapat diartikan sebagai aspek politik dari
system nilai-nilai yang meliputi ide-ide, pengetahuan, adat istiadat,
mitos, dan lain-lain yang dikenaldan diakui oleh sebagian besar warga
masyarakat. Hal-hal itulah yang memberi rasionalisasi, apakah menolak
atau menerima norma-norma lain. 39
Studi mengenai budaya politik membawa para peneliti memandang
dari dua aspek penting yaitu, (1) Aspek dokrinnya yang menekankan
penelitiannya pada isi atau materi budaya politik : misalnya sosialisme,
demokrasi, nasionalisme, dan lain-lain. (2) Aspek generiknya yang
menganalisis mengenai bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik.
Analisis aspek ini meliputi analisis mengenai hakikat atau ciri-ciri poko
budaya politik yang berhubungan dengan nilai-nilai yang merupakan
prinsip dasar yang melandasi doktrin atau pandangan hidup, bentuk ciri
budaya politik yang berhubungan dengan sikap dan norma yang
berbentuk sikap normatif dan penekanan pada sikap mental serta peranan
budaya politik yang dilihat dari pola kepemimpinan, sikap terhadap
mobilitas, dan prioritas kebijakan. 40
Menurut Almond dan Verba, budaya politik memiliki tipe-tipe
tersendiri. Melalui hasil penelitian mereka di 5 (lima) negara, keduanya
menyimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) budaya politik yang dominan
terdapat di tengah individu. Tipe budaya politik sendiri berarti jenis
39
40
Albert Widjaya, Op Cit, Hal 250
Ibid, hlm 2-3
39
kecenderungan individu di dalam sistem politik. Tipe-tipe budaya politik
yang ada adalah:
1.
Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana
ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah
begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif.Di dalam tipe
budaya politik ini, tidak ada peran politik
yang bersifat
khusus.Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem
politik.Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa
mereka
adalah
bagian
dari
sebuah
bangsa
secara
keseluruhan.Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan
kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama
mereka, ataupun daerah mereka.
Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya
masyarakat yang masih nomaden.Misalnya ini terjadi di kafilahkafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti
Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya.Contoh tersebut
dalam pengertian fisik.Namun, dapat pula kita kembangkan
parokialisme dalam pengertian lebih luas.Misalnya, dapat kita sebut
bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari
Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh
sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara
Republik Indonesia.
40
2.
Budaya Politik Subyek
Budaya
politik
subyek
adalah
budaya
politik
yang
tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa
bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang
berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas
politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti beritaberita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara
emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat
mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada
perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang
lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi
negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa.
Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara
yang kuat (stronggovernment) tetapi bercorak otoritaritarian atau
totalitarian.Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat
pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru).Di masa tersebut,
orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara
bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya. Gejala
seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba, atau sebagian
negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun Malaysia,
yang sistem politiknya belum sepenuhnya demokrasi.
41
3.
Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih
tinggi tingkatannya ketimbang subyek.Dalam budaya politik
partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara
yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk
menyatakan
pendapat,
memperoleh
pekerjaan,
penghasilan,
pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar
pajak.
Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas
mendiskusikan masalah politik.Mereka merasa bahwa, hingga
tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan
negara.Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi
politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah.Jika
tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung
ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak.Saat
mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.
Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negaranegara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup
tinggi.Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara
yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara
ekonomi.Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya
politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti
Demokrasi Liberal.
42
Namun dewasa ini hampir seluruh negara di dunia mangklaim
menjadi penganut setia paham demokrasi. Namun demikian sebagaimana
hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee bahwa dalam
kenyataannya demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbedabeda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang
menerapkan definisi demokrasi menurut kriteria masing-masing, bahkan
negara komunis seperti RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai
negara demokrasi.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka perlu diambil suatu
pengertian esensial tentang demokrasi yang diterapkan di dalam suatu
negara termasuk di negara Indonesia.Dalam suatu negara yang menganut
sistem demokrasi harus berdasarkan pada suatu kedaulatan rakyat.
Dengan kata lain kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah di
tangan rakyat. Kakuasaan dalam Negara itu dikelola oleh rakyat, dari
rakyat dan untuk rakyat.41
Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal
kemerdekaannya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok
di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena
itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha
untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus
41
Asshiddiqie, 2005: 141
43
adalah politik.Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan
iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia.
Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola
sikap dan tingkah laku politik yang majemuk.Namun dari sinilah
masalah-masalah biasanya bersumber.Dikarenakan adanya golongan elite
yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme
yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap
tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di
dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda
dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut.
Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program
wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada
aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus
sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya.
Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan
materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya. 42
Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan
atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang
biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang
egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi
jalan penengah atas permasalahan ini. 43
42
43
http://riskynurhikmayani.blogspot.com/2012/07/budaya-politik-di-indonesia.html
Ibid
44
2.6
Representasi dalam Iklan
Representasi biasanya di pahami sebagai gambaran suatu yang
akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya sebatas to
present, to image, atau to depict. Representasi diartikan sebagai suatu cara
dimana memaknai apa yang di berikan pada objek yang digambarkan.
Konsep awal mengenai representasi didasarkan pada premis bahwa ada
suatu gap representasi yang menjelaskan perbedaan makna yang diberikan
oleh representasi dan arti objek yang sebenarnya di gambarkan. 44
Berlawanan dengan pemahaman awal tersebut, Stuart Hall
menyatakan bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif
memaknai dunia. “So the respresentation is the way which meaning is
some how given to the things which are depicted through the image or
wherever it is, on screens or the words on a page which stands what we ‘re
talking about” Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat
mempunyai makna yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut
dapat berfungsi dan bekerja sebagaimana mereka diciptakan atau di
kreasikan.45
Hall menyatakan bahwa resprentasi dianggap sebagai suatu
konstitutif, hal ini di karenakan representasi tidak akan terbentuk sebelum
ada kajadian yang menyertainya. Representasi adalah konstitutif dari
sebuah kejadian dan representasi merupakan sebuah objek dari bagian
representasi itu sendiri.
44
45
Yohanna, 2008: 13
Ibid
45
Menurut Eriyanto, setidaknya terdapat dua hal penting berkaitan
dengan representasi; pertama, bagaimana seseorang, kelompok, atau
gagasan tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realias yang ada;
dalam arti apakah ditampilkan sesuai dengan fakta yang ada atau
cenderung diburukkan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan atau
hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam
pemberitaan. Kedua, bagaimana eksekusi penyajian objek tersebut dalam
media. Eksekusi representasi objek tersebut bisa mewujud dalam
pemilihan kata, kalimat, aksentuasi dan penguatan dengan foto atau imaji
macam apa yang akan dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok
atau suatu gagasan dalam pemberitaan.46
Sementara itu, menurut John Fiske representasi merupakan
sejumlah tindakan yang berhubungan dengan teknik kamera, pencahayaan,
proses editing, musik dan suara tertentu yang mengolah simbol-simbol dan
kode-kode konvensional ke dalam representasi dari realitas dan gagasan
yang akan dinyatakannya. 47
Dalam sebuah praktek representasi asumsi yang berlaku adalah
bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi
lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi
realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan
kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam
sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung
46
Eriyanto.Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta : LkiS, 2001:113.
Fiske, John. Television Culture. London: Rotledge, 1997:5.
47
46
mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang
diciptakan oleh suatu media. 48
Apa yang dikemukakan oleh Fiske di atas memiliki kesamaan
dengan pendapat Fairclough. Menurut Fairclough dalam sebuah analisis
representasi terhadap isi media sebenarnya kita mencoba menentukan apa
yang dicakupkan atau tidak, yang eksplisit atau pun implisit, yang menjadi
foreground atau pun back ground, dan yang menjadi tematik atau pun tidak
serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah
peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tertentu.49
Konsepsi Fairclough mengenai analisis representasi dalam isi
media ini secara implisit juga menyinggung keterkaitan antara praktek
representasi dengan realitas yang di re-presentasikan oleh media.Bedanya,
dalam pendapat Fairclough mengisyaratkan bahwa suatu media bisa jadi
memang secara sadar hendak mengedepankan suatu realitas bentukan
tertentu dan karenanya menegaskan kembali betapa representasi memang
tak sekedar menyajikan cermin relitas semata. 50
Selanjutnya, menurut Branston dan Stafford, representasi bisa
diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan
kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas.
Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara
tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya.
Di
48
dalamnya
senantiasa
akan
ditemukan
Ibid
Fairclough, Norman. Media Discourse. London : Arnold, 1995:104.
50
Ibid
49
sebuah
konstruksi
(a
47
construction), atau tak pernah ada „jendela‟ realitas yang benar-benar
transparan. 51
Branston dan Stafford berpendapat meskipun dalam praktek
representasi diandaikan senantiasa terjadi konstruksi namun konsepsi
„representasi‟ tidak lalu bisa diterjemahkan setara dengan „konstruksi‟;
„representasi‟ bahkan bergerak lebih jauh karena mendekati pertanyaan
tentang bagaimana sebuah kelompok atau berbagai kemungkinan hal-hal
yang ada di luar media telah direpresentasikan oleh produk suatu media.
51
Branston, Gill & Roy Stafford.The Media Student‟s Book.New York, N.Y.: Roudledge, 1996:78.
Download