BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Semiotika Menurut John Fiske menyebut ada dua mazhab utama yang tercermin dalam model komunikasi. Pertama mazhab proses yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini mereka tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini cenderung membahas kegagalan komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut terjadi. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran berinteraksi makna.Hal dengan ini berkenaan orang-orang dengan dalam bagaimana pesan menghasilkan makna1.Pendekatan ini berkaitan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni, yang berkenaan dengan bagaimana peran teks dalam kebudayaan kita. Mazhab semiotik banyak menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification), dan tidak memandang kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi – hal ini mungkin akibat dari perbedaan budaya antara pengirim dan penerima.Mazhab 1 Fiske John, Cultural and Comunication Studies, Yogyakarta : Jalasutra 2004 13 14 semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan dan subjek seni, dan cenderung memusatkan dirinya pada karya komunikasi.Bagi mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.Metode studinya yang utama adalah semiotika (ilmu tentang tanda dan makna). Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna.Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya.Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan.Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan.Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotic2. Definisi semiotic yang umum adalah studi mengenai tandatanda.Studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda terbentuk.Bentukbentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, images, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak bisa memisahkan tanda yang satu dengan tanda-tanda yang lain yang membentuk sebuah system, dan kemudian disebut system tanda. Lebih sederhananya semiotic mempelajari bagaimanasistem tanda membentuk sebuah makna.Menurut 2 Ibid 9 15 John Fiske dan John Hartley, konsentrasi semiotic adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makna yang dikandungnya.Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode3. Dalam kajiannya yang cukup komprehensif tersebut, Storey menempatkan Roland Barthes dalam subtopik “Strukturalisme dan Pascastrukturalisme”.Barthes tidak hanya sering disalahpahami konsepkonsepnya, tetapi juga seringkali dikategorikan sebagai seorang tokoh strukturalisme atau poststrukturalisme dan ahli semiotika.Buku-buku yang membicarakan Barthes terutama dalam bahasa Indonesia, seringkali terbatas dalam kategori-kategori tersebut. Tidak hanya itu, buku-buku berbahasa Indonesia yang khusus berbicara tentang pemikir Prancis yang lahir pada 1915 di Cherbourg, Prancis ini, tidak lebih dari hitungan jari. Sebut saja misalnya: Semiologi Roland Barthes oleh Kurniawan (2001), Barthes, Seri Pengantar Singkat edisi terjemahan tulisan Jonathan Culler (2003), dan Semiotika Negativa karya St. Sunardi (2004). Adapun karyakarya Barthes tentang analisis sejumlah fenomena budaya pop antara lain Mythologies, The Fashion System, dan Camera Lucida. Di Indonesia, Roland Barthes seringkali dikutip pendapatnya tentang semiotika (semiologi) terutama tentang konsep pemaknaan konotatif atau yang lebih dikenal istilah second order semiotic system. Semiotika berasal dari bahasa Yunani: semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah model penelitian yang memperhatikan tanda- 3 Chandler,2002: www.aber.ac.uk 16 tanda.Tanda tersebut mewakili sesuatu objek representatif.Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan istilah semiologi.Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya.Istilah semiotik lebih mengarah pada tradisi Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto Eco, sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes.Baik semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tandatanda. 2.2 Tanda dan Makna dalam Iklan Ilmu yang mengkaji tanda dinamakan semiotikaPeirce menggambarkan bahwa tanda terjadi karena suatu proses yang disebut seiosis. Proses ini dimulai dengan masuknya unsur tanda yang berada dibagian “luar” ke dalam indra manusia, yaitu representamen atau ground, yang mungkin dapat dibandingkan dengan penandanya Seussure4. Barthes dalam karyanya menggunakan pengembangan teori tanda de Saussure (penanda dan petanda) sebagai upaya menjelasakan bagaimana kita dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh konotasi.Konotasi adalah pengembangan segi petanda (makna atau isi suatu tanda) oleh pemakai tanda sesuai dengan sudut pandangnya.Barthes 4 Peirce. Lihat Noth. 1995 : 39-47 17 mencoba menguraikan betapa kejadian keseharian dalam kebudayaan kita menjadi seperti wajar, padahal itu adalah mitos belaka yang disebabkan konotasi yang menjadi terlihat nyata di masyarakat 5. Tanda di dalam fenomena kebudayaan mempunyai cakupan yang sangat luas, di mana selama unsur-unsur kebudayaan mengandung di dalam diri makna tertentu, maka ia adalah sebuah tanda, dan dapat menjadi objek kajian semiotik. Apakah itu pola tingkah laku seseorang, pola pergaulan, penggunaan tubuh, pengorganisasian ruang, pengaturan makanan, cara berpakaian, pola berbelanja, hasil ekspresi seni, cara berkendaraan, bentuk permainan dan objek-objek produksi, semuanya dianggap sebagai tanda dan produk bahasa. Tanda dan makna memiliki konsep dasar dari semua model makna dan di mana secara lugas memiliki kemiripan.Di mana masing-masing memerhatikan tiga unsur yang selalu ada dalam setiap kajian tentang makna.Ketiga unsur itu adalah tanda, acuan tanda, dan pengguna tanda6. Tradisi semiotika tidak pernah mengandaikan terjadinya salah pemaknaan, karena setiap „pembaca‟ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca. Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah 5 Roland Barthes 1957 Bignell, Jonathan. Media Semiotics: An Introduction. Manchester University Press:Manchester and New York. 1997. 6 18 pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Pada saat iklan telah tersaji ke ruang publik, maka iklan akan memproduksi makna, dan pencipta tanda-tanda dalam iklan tidak lagi memiliki otoritas untuk memaksa makna-makna yang mereka kehendaki. Peran pemaknaan pun berpindah ke tangan pembaca 7. „Tanda‟ dan „hubungan‟ kemudian menjadi kata-kata kunci dalam analisis semiotika. Bahasa dilucuti strukturnya dan dianalisis dengan cara mempertalikan penggunaannya beserta latar belakang penggunaaan bahasa itu. Usaha-usaha menggali makna teks harus dihubungkan dengan aspek-aspek lain di luar bahasa itu sendiri atau sering juga disebut sebagai konteks.Teks dan konteks menjadi dua konsep yang tak terpisahkan, keduanya berkelindan membentuk makna.Konteks menjadi penting dalam interpretasi, yang keberadaannya dapat dipilah menjadi dua, yakni intratekstualitas dan intertekstualitas.Intratekstualitas menunjuk pada tanda-tanda lain dalam teks, sehingga produksi makna bergantung pada bagaimana hubungan antartanda dalam sebuah teks. Sementara intertekstualitas menunjuk pada hubungan antarteks alias teks yang satu dengan ”teks” yang lain. Makna seringkali tidak dapat dipahami kecuali dengan menjalin pemahaman antarteks, antara teks tertulis dengan jenis teks lain yang tidak mesti tertulis (konteks)8. 7 Hodge, Robert dan Gunther Kress.Social Semiotics. Pres. London ; 1988 van Zoest, Aart. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993. 8 19 Dalam perspektif semiotika iklan dikaji lewat sistem tanda dalam iklan, yangterdiri atas 2 (dua) lambang yakni lambang verbal (bahasa) dan lambang non verbal (bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan).Komunikasi nonverbal adalah semua tanda yang bukan kata – kata dan bahasa. Tanda – tanda digolongkan dalam berbagai cara : Tanda yang ditimbulkan oleh alam yang kemudian diketahui manusia melalui pengalamannya misalnya jika langit mendung menandakan akan turun hujan; Tanda yang ditimbulkan oleh binatang misalnya jika ada anjing mengonggong itu menandakan ada orang yang memasuki halaman rumah; Tanda yang ditimbulkan oleh manusia, bersifat verbal dan nonverbal9. Yang bersifat verbal adalah tanda-tanda yang digunakan sebagai alat komunikasi yang dihasilkan oleh alat bicara, sedangkan yang bersifat non verbal dapat berupa tanda yang menggunakan anggota badan lalu diikuti dengan lambang berupa kata misalnya menempelkan telunjuk jari ke bibir sambil membunyikan ssstt... dst. Jadi secara harafiah komunikasi nonverbal adalah komunikasi tanpa bahasa atau komunikasi tanpa kata, maka tanda nonverbal berarti tanda minus bahasa atau tanda minus kata atau dengan kata lain tanda nonverbal dapat diartikan semua tanda yang bukan kata-kata10. 9 Alex Sobur, Ibid, 122 Ibid 124 10 20 Dalam hal pengaplikasian semiotika pada tanda nonverbal, yang penting untuk diperhatikan adalah pemahaman tentang bidang nonverbal yang berkaitan dengan benda konkret, nyata, dan dapat dibuktikan melalui indera manusia.Pada dasarnya, aplikasi atau penerapan semiotika pada tanda nonverbal bertujuan untuk mencari dan menemukan makna yang terdapat pada benda – benda atau sesuatu yang bersifat nonverbal11. Tampilan iklan di televisi senantiasa melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan pun menjadi ”tanda” atau signs, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seorang penonton untuk men-decode atau menginterpretasikan maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk sesuatu, kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda dihubungkan dengan yang lain. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio, dan audiovisual.Ketiganya masih dapat dipecah lagi ke dalam anasir-anasir yang lebih kecil dan lebih subtle12. 11 Ibid Thwaites et al., 2002: 9 12 21 Iklan secara kasat mata sering dinikmati sebagai hiburan dan ajang promosi bagi perusahaan-perusahaan yang beriklan namun dibalik itu semua ternyata iklan secara perlahan juga dapat membentuk tanda dan makna dalam persepsi khalayak. Sebagai medium ideologis, sangat menarik mengamati dan membongkar isi pesan sebuah iklan. Terutama karena ia tidak semata-mata membentuk makna yang ideologis, namun juga karena makna yang ideologis itu dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Ini berarti, makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk kelangsungan hidupnya.Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru 13. Dalam relasi antara pengiklan dan penonton alias pembaca iklan, mula-mula harus dimaklumi bahwa kreator iklan adalah subyek yang mempunyai mental representation tersendiri yang tidak selalu sama dengan pembacanya. Adanya pemahaman subyektif dari bahasa iklan tidak urung menyajikan kerumitan tersendiri seperti seperti halnya adanya bias kepentingan dari penciptanya. Lebih lanjut, disadari atau tidak persoalan kepentingan ini seringkali mewakili gambaran ideologis dari pelaku representasi alias media. Lagi-lagi gambaran ini bersifat subyektif, artinya proses pembacaan terhadap iklan sama artinya dengan negosiasi antara mental representation pelaku representasi dan mental representation “pembaca” iklan. Dengan demikian diskusi mengenai 13 Purwanti, 1998:42 22 bagaimana makna dari representasi atau teks media pada dasarnya merupakan pelacakan terhadap mental representation yang terkandung dalam produsen iklan dan bahkan media itu sendiri. Barhtes dalam menganalisa iklan terlebih dahulu membongkar tanda-tanda yang merepresentasikan makna dengan menggunakan semiotik sebagai kerangka analisa.Pemikiran peran media dalam mereproduksi pesan-pesan ideologis.Iklan membentuk suatu hyper realitas (realitas yang melebih-lebihkan).Iklan juga dilihat sebagai tanda yang mengatur makna yang ingin disampaikan oleh pembuat iklan. Makna ideologis yang dimiliki iklan dibuat sealami mungkin proses signifikasi (pembuat tanda/sign) yang kemudian disebut Barthes sebagai myth (mitos seperti apa, contoh: maskulis seperti apa, putih seperti apa). 2.2.1 Elemen-elemen Tanda dalam Iklan Televisi Iklan (advertisement), sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga dimensi, Khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi „komunikasi massa pada langsung‟ umumnya, (direct mempunyai communication fungsi function), sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung (indirect communication function). Oleh sebab itu di dalam iklan, aspek-aspek komunikasi seperti „pesan‟ (message) merupakan unsure utama iklan, yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek dari berbagai 23 utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh berbagai ahlinya, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard dan Judith Williamson.14 Dari pendangan ahli-ahli semiotika periklanan tersebut di atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotic dari objekobjek lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsureunsur tanda berupa objek yang diiklankan, konteks berupa lingkungan, orang atau makhluk lainnya yang memberikan makna pada objek, serta tulisan yang memperkuat makna, meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. 15 Berikut adalah table untuk dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan : Obyek Konteks Teks Entitas Visual / tulisan Visual / tulisan Tulisan Fungsi Elemen tanda yang Elemen tanda linguistic atau yang berfungsi memberikan atau diberikan konteks dan produk yang makna pada obyek yang diiklankan Yasraf Amir Piliang. Semiotika Teks : Sebuah Pendekatan Analisis Teks Ibid 15 Tanda merepresentasikan obyek diiklankan 14 yang memperjelas makna 24 Elemen Signifier / signified Signifier / signified Signified Tanda Semiotic sign Semiotic sign Linguistic sign Beragam elemen biasanya terpadu untuk menciptakan dampak visual dari iklan-iklan di televisi. Namun elemen seperti audiovisual tidak bisa berdiri sendiri, elemen audiovisual harusdidampingi elemen-elemen lain agar dapat menciptakan iklan televisi yang spektakuler dan efektif.Berikut ini adalah elemen-elemen yang harus ada dalam iklan televisi :16 1. Video, yakni yang menyangkut segala visualisasi yang muncul pada iklan televise. 2. Audio, merupakan keseluruhan unsur audio yang ditampilkan pada iklan televise yang biasanya berupa musik, suara, efek suara, ataupun yang berupa voice overdari talent yang tampil di iklan ataupun narator yang tidak kelihatan. 3. Talent, merupakan pemeran ataupun tokoh-tokok yang muncul pada sebuah iklandi televisi. 4. Promps, merupakan produk yang diiklankan pada iklan televisi. 5. Setting, merupakan lokasi pembuatan iklan suatu iklan pada televisi baik. 16 Wells, 1992 25 6. Lighting, merupakan efek pencahayaan yang ditampilkan di iklan televisi yangdigunakan sebagai pelengkap iklan atau mempertegas suatu adegan yang munculdalam iklan televisi. 7. Graphics, merupakan keseluruhan efek grafis yang ada pada sebuah iklan televise yang dapat berupa tulisan (seperti ilustrasi, desain ataupun ilustrasi foto. 8. Pacing, merupakan kecepatan dari setiap frame ataupun adegan yangditampilkan dalam sebuah iklan ditelevisi. 2.3 Semiotika Sebagai Studi Mengenai Tanda dan Makna Kata “semiotika” itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme yang berarti “penafsir tanda”.Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas senilogika, retorika, dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya, asap menandai adanya api. Tanda terdapat dimana-mana : „kata‟ adalah tanda, demikian pula gerak isyarat,lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan(arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.Segala sesuatu dapatmenjadi tanda.Charles Sanders Peirce menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda.Tanpa tanda manusia tidak dapat berkomunikasi17. 17 van Zoest, Aart. Semiotika: Ibid 26 Tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi (Little John: 1996:64). Manusia dengan perantaraan tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya.Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika komunikasi dan semiotika signifikasi.Yang pertama menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komuniasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) (Jakobson, 1963, dalam Hoed 2001:140).Yang kedua memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu18. Semiotika, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tandatanda (the study of signs), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna19.Sehingga semiotika dapat di artikan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.Tanda sendiri adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan dan bersama-sama manusia.Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) 18 19 dalam hal ini tidak dapat mencampuradukkan dengan Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. Remaja Rosdakarya, Bandung ; 2004 Budiman Kris, Semiotika Visual, Jalasutra Ctakan. Yogyakarta ; 2011 27 mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objekobjek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Dalam teori semiotika ada tiga hal yang dikenal dengan semantika yaitu tentang hubungan langsung antara lambang dan obyeknya.Kamus yang merupakan buku acuan semantika.Sintaktika yaitu tentang hubungan antar-lambang.Lambang tidak berdiri sendiri,melainkan bersama lambang-lambang lain, dalam suatu sistem lambang yang lebih besar yang disebut kode.Di sini, lambang dapat verbal atau non-verbal.Pragmatika yaitu tentang kegunaan praktis lambang pada manusia di tengah budaya tertentu.Dari perspektif semiotika, untuk sukses komunikasi kita tidak cukup memahami lambang-lambang secara terpisah, tetapi juga tata bahasa (sintaks) yang mengatur pola hubungan antar-lambang, serta budaya masyarakat yang menggunakannya 20. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau ide dan suatu tanda.Konsep dasar ini mengikat seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk verbal dan non verbal, teori yang menjelaskan bagaimana tanda disusun secara umum, studi tentang tanda merujuk kepada semiotika.Apa yang dikerjakan oleh semiotika 20 adalah mengajarkan kita bagaimana van Zoest, Aart. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya, 28 mennguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran21. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.Pada dasarnya semiotika analisisnya bersifat paradigmatic dalam arti berupaya menemukan makna termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks.Maka orang sering mengatakan semiotika adalah upaya menemukan “makna di balik berita”. Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode atau sistem tanda, pesan, saluran komunikasi dan acuan yang dibicarakan.Sementara semiotika signifikasi tidak mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Pada jenis yang kedua, yang lebih diutamakan adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih diperhatikan ketimbang prosesnya. Dengan semiotika, kita lantas berurusan dengan tanda.Semiotika seperti kata Lechte (2001:191), adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana sign „tanda-tanda‟ dan berdasarka pada sign system (kode) „sistem tanda‟ (Segers, 2000:4) mendefinisikan tanda sebagai “suatu 21 Berger, 2000a: 14 29 keterhubungan antara wacana ekspresi (expression plan) dan wahana isi (content plan)”. 2.3.1 Semiologi Roland Barthes Dalam mengkaji tanda di dunia media dan budaya, perspektif semiotika struktural tidak akan pernah menampik gagasan-gagasan yang dikeluarkan oleh pemikir strukturalis Perancis, Roland Barthes. Bisa dikatakan, Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi jenis lain yang ia sebut sebagai mitos. Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika a la Barthes memungkinkan kajian semiotika mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer, Barthes 30 adalah pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Ritzer, 2003: 53).22 Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang sangat giat mempraktekkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu.23 Lima kode yang ditinjau Barthes adalah kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik atau kode kultural yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu24. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem 22 Alex Sobur, Ibid 67 Alex Sobur, Ibid. hal 63 24 Lechte, 2001: 196; lihat pula Indriani, 2000: 145-149 23 31 pemaknaan tataran ke-dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Tabel 2.1 Peta Tanda Roland Barthes25 1. Signifier 2. Signified (penanda) (petanda) 3. Denotatif Sign (tanda denotatif) 4. CONNOTATIVE 5. CONNOTATIVE SIGNIFIER (PE SIGNIFIED (PETANDA NANDA KONOTATIF) KONOTATIF) 6. CONNOTATIVE SIGN (TANDA KONOTATIF) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif, terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua 25 Paul Cobley & Litza Jansz, Introducing semiotics. NY: Totem Books, 1999, hal 51 32 bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Tambahan ini merupakan sumbangan Barthes yang amat berharga atas penyempurnaannya terhadap semiologi Sausure, yang hanya berhenti pada penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata. Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, „pembaca‟ teks dapat memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin dapat dilakukan pada level denotatif26. Bagi Barthes, semiotika bertujuan untuk memahami sistem tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai „tanda‟ alias layak dianggap sebagai sebuah lingkaran linguistik.27 2.4 Nilai-nilai Budaya dalam Iklan Budaya berasal dari kata sansekerta yaitu, buddhaya bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Menurut Wikipedia buday adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah 26 Manneke Budiman, dalam Christomy dan Yuwono, 2004: 255 Alex Sobur, Ibid 69 27 33 kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. 28 Budaya terbentuk dari unsur-unsur yang rumit, termasuk di dalamnya agama, politik, adat-istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.29 Pengertian budaya yang dikutip dari Wikipedia adalah suatu cara hidup yang yang berkembang dan dimiliki bersama yang dimiliki oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Menurut Tylor, kebudayaan adalah keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kebiasaankebiasaan lain. 30 Menurut Raymond Williams, budaya memiliki tiga definisi yakni pertama, budaya adalah suatu proses umum perkembangan intelektual, spiritual dan estetis. Kedua, budaya adalah pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode dan kelompok tertentu dan yang ketiga, budaya adalah karya dan praktik-praktik intelektual khususnya aktivitas artistik.31 Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain28 Supatono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, Galia Indonesia, Jakarta, Hal 30 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Aksara Baru Jakarta, 1974, hal 181 30 Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005 31 Storey, 1993: 2-3 29 34 lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Budaya menurut McIver adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusasteraan, agama, rekreasi, dan hiburan, dan yang memenuhi kebutuhan hidup manusia.32 Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.Manusia adalah penghasil kebudayaan sekaligus pengusung kebudayaan.Segala aktivitas manusia tidak dapat dilepaskan dari unsur rasa, gagasan yang memotivasi seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu.Aktivitas untuk bertahan dan meningkatkan kesejahteraan hidupnya akan senantiasa melibatkan berbagai unsur dalam dirinya yang bersifat internal dan eksternal. Semua ruang lingkup kehidupan manusia tersebut bagi kalangan antropologi disebut sebagai kebudayaan.Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar.33 32 Soekanto, 2002:304 Koentjaraningrat, 2005:73 33 35 Williams berpendapat bahwa perubahan-perubahan historis tersebut bisa direfleksikan ke dalam tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu : 1. Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok, atau masyarakat; 2. Yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, bendabenda seni, dan teater). Dalam penggunaan ini budaya kerap diidentikkan dengan istilah “kesenian” (the arts); 3. Yang menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat 34. Kebudayaan dilahirkan melalui proses yang paling kecil yaitu sistem gagasan yang sifatnya idiologis dan mendasar yang kemudian diungkapkan melalui sistem gagasan yang pada akhirnya mewujudkan sebuah perilaku dan produk budaya berupa artefak dan benda-benda kebudayaan. Iklan adalah sebuah produk budaya modern untuk mempromosikan sebuah produk, barang atau jasa maupun perusahaan.Periklanan adalah komunikasi non-personal melalui beragam media yang dibayar oleh perusahaan, organisasi non-profit dan individu-individu, dengan menggunakan pesan iklan yang diharapkan dapat menginformasikan atau 34 Sutrisno,Mudji, dkk, 2005:8 36 membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut.Beda dengan pengumuman biasa, iklan lebih membujuk orang untuk membeli.Idealnya sebuah pesan iklan selain membujuk orang untuk membeli juga dapat memiliki nilai edukatif melalui sajian nuansa budaya tertentu yang mencerminkan nilai-nilai budaya luhur dan positif yang dapat memotivasi masyarakat untuk hidup dalam suasana harmoni.Nilai-nilai ini kemudian dapat mencerminkan karakter budaya masyarakat yang positif yang lahir dari kompleksitas kehidupan masyarakat yang utuh sejak berabad-abad lalu. Budaya memiliki nilai kompleksitas dalam kehidupan manusia, keberadaannya diusung oleh sekelompok masyarakat dan dimiliki melalui proses belajar. Iklan sebagai produk budaya lazimnya merupakan ide original sekelompok masyarakat yang implementasinya bercirikan kelompok masyarakat itu sendiri.Parsons mengembangkan sebuah model masyarakat yang terdiri dari tiga sistem.Sistem yang pertama adalah sistem sosial yang terbentuk dari interaksi manusia, Sistem kedua adalah sistem kepribadian yang tersusun atas sejumlah disposisi kebutuhan.Merupakan preferensi, hasrat, dan keinginan. Sistem ketiga adalah sistem budaya (cultural system), sistem ini membuat orang bisa saling berkomunikasi dan mengoordinasikan tindakan-tindakan mereka, sebagian dengan cara mempertahankan ekspektasi peran35. 35 Sutrisno & Putranto,2005:57 37 2.5 Budaya Politik Setiap warga Negara dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Proses pelaksanaanya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung. Secara tidak langsung, berarti sebatas mendengar informasi atau berita – berita tentang pereistiwa politik yang terjadi. Secara langsung , berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga Negara dengan pemerintah institusi – institusi di luar pemerintah (non – formal) telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik – praktik perilaku politik dalam semua system politik.36 Budaya politik merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri – ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses gejolak masyrakat terhadap kekuasaan yang memerintah.Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber daya masyarakat.37 Chilcote berpendapat bahwa istilah budaya politik memiliki makna yang beragam.Secara umum istilah itu merujuk pada keyakinan, symbol, dan nilai-nilai. 38 36 http://farrasnia-budayapolitikindonesia.blogspot.com/ Ibid 38 Budiardjo, Op Cit, hlm 33 37 38 Sehingga budaya politik dapat diartikan sebagai aspek politik dari system nilai-nilai yang meliputi ide-ide, pengetahuan, adat istiadat, mitos, dan lain-lain yang dikenaldan diakui oleh sebagian besar warga masyarakat. Hal-hal itulah yang memberi rasionalisasi, apakah menolak atau menerima norma-norma lain. 39 Studi mengenai budaya politik membawa para peneliti memandang dari dua aspek penting yaitu, (1) Aspek dokrinnya yang menekankan penelitiannya pada isi atau materi budaya politik : misalnya sosialisme, demokrasi, nasionalisme, dan lain-lain. (2) Aspek generiknya yang menganalisis mengenai bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik. Analisis aspek ini meliputi analisis mengenai hakikat atau ciri-ciri poko budaya politik yang berhubungan dengan nilai-nilai yang merupakan prinsip dasar yang melandasi doktrin atau pandangan hidup, bentuk ciri budaya politik yang berhubungan dengan sikap dan norma yang berbentuk sikap normatif dan penekanan pada sikap mental serta peranan budaya politik yang dilihat dari pola kepemimpinan, sikap terhadap mobilitas, dan prioritas kebijakan. 40 Menurut Almond dan Verba, budaya politik memiliki tipe-tipe tersendiri. Melalui hasil penelitian mereka di 5 (lima) negara, keduanya menyimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) budaya politik yang dominan terdapat di tengah individu. Tipe budaya politik sendiri berarti jenis 39 40 Albert Widjaya, Op Cit, Hal 250 Ibid, hlm 2-3 39 kecenderungan individu di dalam sistem politik. Tipe-tipe budaya politik yang ada adalah: 1. Budaya Politik Parokial Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif.Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus.Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik.Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan.Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka. Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden.Misalnya ini terjadi di kafilahkafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya.Contoh tersebut dalam pengertian fisik.Namun, dapat pula kita kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas.Misalnya, dapat kita sebut bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia. 40 2. Budaya Politik Subyek Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap mengikuti beritaberita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat (stronggovernment) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian.Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru).Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya. Gejala seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba, atau sebagian negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun Malaysia, yang sistem politiknya belum sepenuhnya demokrasi. 41 3. Budaya Politik Partisipan Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek.Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak. Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik.Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara.Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah.Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak.Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati. Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negaranegara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi.Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi.Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal. 42 Namun dewasa ini hampir seluruh negara di dunia mangklaim menjadi penganut setia paham demokrasi. Namun demikian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J. Peaslee bahwa dalam kenyataannya demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara berbedabeda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang menerapkan definisi demokrasi menurut kriteria masing-masing, bahkan negara komunis seperti RRC, Kuba, Vietnam juga menyatakan sebagai negara demokrasi. Berdasarkan kenyataan tersebut di atas maka perlu diambil suatu pengertian esensial tentang demokrasi yang diterapkan di dalam suatu negara termasuk di negara Indonesia.Dalam suatu negara yang menganut sistem demokrasi harus berdasarkan pada suatu kedaulatan rakyat. Dengan kata lain kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara adalah di tangan rakyat. Kakuasaan dalam Negara itu dikelola oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.41 Indonesia sendiri mulai menganut sistem demokrasi ini sejak awal kemerdekaannya yang dicetuskan di dalam Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Demokrasi dianggap merupakan sistem yang cocok di Indonesia karena kemajemukan masyarakat di Indonesia. Oleh karena itu Demokrasi yang dilakukan dengan musyawarah mufakat berusaha untuk mencapai obyektifitas dalam berbagai bidang yang secara khusus 41 Asshiddiqie, 2005: 141 43 adalah politik.Kondisi obyektif tersebut berperan untuk menciptakan iklim pemerintahan yang kondusif di Indonesia. Kebudayaan politik Indonesia pada dasarnya bersumber pada pola sikap dan tingkah laku politik yang majemuk.Namun dari sinilah masalah-masalah biasanya bersumber.Dikarenakan adanya golongan elite yang mempunyai rasa idealisme yang tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang mantap tentang realita hidup masyarakat. Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam realita ini terbentur oleh tembok kenyataan hidup yang berbeda dengan idealisme yang diterapkan oleh golongan elit tersebut. Contohnya, seorang kepala pemerintahan yang mencanangkan program wajib belajar 9 tahun demi meningkatkan mutu pendidikan, namun pada aplikasinya banyak anak-anak yang pada jenjang pendidikan dasar putus sekolah dengan berbagai alasan, seperti tidak memiliki biaya. Hal ini berarti idealisme itu tidak diimplikasikan secara riil dan materiil ke dalam masyarakat yang terlibat dibawah politiknya. 42 Idealisme diakui memanglah penting. Tetapi bersikap berlebihan atas idealisme itu akan menciptakan suatu ideologi yang sempit yang biasanya akan menciptakan suatu sikap dan tingkahlaku politik yang egois dan mau menang sendiri. Demokrasi biasanya mampu menjadi jalan penengah atas permasalahan ini. 43 42 43 http://riskynurhikmayani.blogspot.com/2012/07/budaya-politik-di-indonesia.html Ibid 44 2.6 Representasi dalam Iklan Representasi biasanya di pahami sebagai gambaran suatu yang akurat atau realita yang terdistorsi. Representasi tidak hanya sebatas to present, to image, atau to depict. Representasi diartikan sebagai suatu cara dimana memaknai apa yang di berikan pada objek yang digambarkan. Konsep awal mengenai representasi didasarkan pada premis bahwa ada suatu gap representasi yang menjelaskan perbedaan makna yang diberikan oleh representasi dan arti objek yang sebenarnya di gambarkan. 44 Berlawanan dengan pemahaman awal tersebut, Stuart Hall menyatakan bahwa representasi harus dipahami dari peran aktif dan kreatif memaknai dunia. “So the respresentation is the way which meaning is some how given to the things which are depicted through the image or wherever it is, on screens or the words on a page which stands what we ‘re talking about” Hall menjelaskan bahwa sebuah imaji yang dibuat mempunyai makna yang berbeda dan tidak dapat di pastikan imaji tersebut dapat berfungsi dan bekerja sebagaimana mereka diciptakan atau di kreasikan.45 Hall menyatakan bahwa resprentasi dianggap sebagai suatu konstitutif, hal ini di karenakan representasi tidak akan terbentuk sebelum ada kajadian yang menyertainya. Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian dan representasi merupakan sebuah objek dari bagian representasi itu sendiri. 44 45 Yohanna, 2008: 13 Ibid 45 Menurut Eriyanto, setidaknya terdapat dua hal penting berkaitan dengan representasi; pertama, bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realias yang ada; dalam arti apakah ditampilkan sesuai dengan fakta yang ada atau cenderung diburukkan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan atau hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam pemberitaan. Kedua, bagaimana eksekusi penyajian objek tersebut dalam media. Eksekusi representasi objek tersebut bisa mewujud dalam pemilihan kata, kalimat, aksentuasi dan penguatan dengan foto atau imaji macam apa yang akan dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok atau suatu gagasan dalam pemberitaan.46 Sementara itu, menurut John Fiske representasi merupakan sejumlah tindakan yang berhubungan dengan teknik kamera, pencahayaan, proses editing, musik dan suara tertentu yang mengolah simbol-simbol dan kode-kode konvensional ke dalam representasi dari realitas dan gagasan yang akan dinyatakannya. 47 Dalam sebuah praktek representasi asumsi yang berlaku adalah bahwa isi media tidak merupakan murni realitas karena itu representasi lebih tepat dipandang sebagai cara bagaimana mereka membentuk versi realitas dengan cara-cara tertentu bergantung pada posisi sosial dan kepentingannya. Pendapat Fiske mengenai representasi ini berlaku dalam sebuah proses kerja media secara umum dan sudah mulai menyinggung 46 Eriyanto.Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media.Yogyakarta : LkiS, 2001:113. Fiske, John. Television Culture. London: Rotledge, 1997:5. 47 46 mengenai kaitan antara representasi dengan realitas bentukan yang diciptakan oleh suatu media. 48 Apa yang dikemukakan oleh Fiske di atas memiliki kesamaan dengan pendapat Fairclough. Menurut Fairclough dalam sebuah analisis representasi terhadap isi media sebenarnya kita mencoba menentukan apa yang dicakupkan atau tidak, yang eksplisit atau pun implisit, yang menjadi foreground atau pun back ground, dan yang menjadi tematik atau pun tidak serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tertentu.49 Konsepsi Fairclough mengenai analisis representasi dalam isi media ini secara implisit juga menyinggung keterkaitan antara praktek representasi dengan realitas yang di re-presentasikan oleh media.Bedanya, dalam pendapat Fairclough mengisyaratkan bahwa suatu media bisa jadi memang secara sadar hendak mengedepankan suatu realitas bentukan tertentu dan karenanya menegaskan kembali betapa representasi memang tak sekedar menyajikan cermin relitas semata. 50 Selanjutnya, menurut Branston dan Stafford, representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di 48 dalamnya senantiasa akan ditemukan Ibid Fairclough, Norman. Media Discourse. London : Arnold, 1995:104. 50 Ibid 49 sebuah konstruksi (a 47 construction), atau tak pernah ada „jendela‟ realitas yang benar-benar transparan. 51 Branston dan Stafford berpendapat meskipun dalam praktek representasi diandaikan senantiasa terjadi konstruksi namun konsepsi „representasi‟ tidak lalu bisa diterjemahkan setara dengan „konstruksi‟; „representasi‟ bahkan bergerak lebih jauh karena mendekati pertanyaan tentang bagaimana sebuah kelompok atau berbagai kemungkinan hal-hal yang ada di luar media telah direpresentasikan oleh produk suatu media. 51 Branston, Gill & Roy Stafford.The Media Student‟s Book.New York, N.Y.: Roudledge, 1996:78.