DI SEKTOR JASA DISTRIBUSI DAN TELEKOMUNIKASI

advertisement
Fokus
DAMPAK ELIMINASI BIAYA REGULASI
PERDAGANGAN
DI SEKTOR JASA DISTRIBUSI DAN
TELEKOMUNIKASI TERHADAP EKONOMI
MAKRO INDONESIA
Oleh:
Widyastutik, SE, MSi
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
Komisi Riset dan Kerjasama, Departemen Ilmu Ekonomi,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB
34
34
Volume 18
18 No.
No. 11 Juni
Juni 2013
2013
Volume
Agrimedia
J
Agreement on Trade and Services). Kesepakatan GATS
mengharuskan anggota WTO meliberalisasi sektor jasa
masing-masing secara progresif melalui serangkaian
negosiasi.
asa merupakan sektor yang sangat penting sebagai
penunjang sektor rill, sehingga sektor jasa tidak
dapat terpisahkan dari perekonomian. Aktivitas
jasa kontribusinya lebih dari 70% Produk Domestik
Bruto (PDB) dunia. Kontribusi jasa terhadap PDB
cenderung terus meningkat secara signifikan, 73% di
Amerika Serikat, 54% di negara penghasilan sedang
(middle income) dan 47% di negara penghasilan rendah
(low income) (Bank Dunia, 2010). Hayami dan Godo
(2005) menyatakan ekonomi yang maju akan mencapai
tingkat yang tinggi apabila bobot aktivitas ekonominya
bergeser dari industri ke sektor jasa (service) sebagai
respon pertumbuhan ekonomi (Lihat Gambar 1).
Berdasarkan GATS, perdagangan jasa internasional di
definisikan ke dalam empat model suplai: 1) Mode 1
Cross border trade yaitu pengantaran jasa dari wilayah
suatu negara ke wilayah negara yang lain; 2) Mode 2
Consumption abroad yaitu mencakup penyediaan
layanan dari suatu negara produsen ke negara
konsumen jasa; 3) Mode 3 Commercial presence yaitu
mencakup jasa yang disediakan oleh produsen suatu
negara di negara lain; 4) Mode 4 Presence of natural
persons yaitu mencakup jasa yang diberikan oleh suatu
negara produsen deangan kehadiran warga negara
tersebut di negara lain.
Sejalan dengan era globalisasi, kesepakatan untuk
melakukan liberalisasi barang dan jasa dibicarakan
di kalangan pimpinan dunia. Hal tersebut kemudian
menumbuhkan berbagai kerja sama ekonomi di tingkat
regional maupun global, antara lain: WTO, APEC, EC
(European Community), NAFTA atau AFTA. Liberalisasi
dimulai dari persetujuan pimpinan negara APEC di
Bogor yang tertuang dalam deklarasi Bogor tahun 1994
dan Osaka Action Agenda berlaku efektif tahun 1995.
Prinsip non diskriminasi dan liberalisasi perdagangan di
Asia Pasifik dengan mengurangi hambatan-hambatan
bagi negara anggota APEC maupun bukan anggota
APEC disepakati dan dilanjutkan ke forum WTO yaitu
pada putaran Uruguay tahun 1995. Salah satu hasil
dari putaran Uruguay tersebut adalah terkait dengan
jasa/services melalui kesepakatan GATS (General
Services
WTO menginginkan agar semakin banyak sektor jasa
dalam negeri yang dibuka bagi kepentingan investasi
jasa dari luar. Ini berarti Indonesia sebagai negara
yang memiliki komitmen dengan ketentuan WTO,
harus membuka semua sektor (WTO, 1991). Namun
demikian proses liberalisasi sektor jasa selayaknya
disikapi dengan benar oleh pemangku kepentingan
Indonesia. Secara sederhana dalam setiap perundingan
perdagangan, pemerintah dapat membuka dan
atau menutup sektor jasa tertentu dan sebaliknya
berusaha membuka pangsa pasar baru bagi sektor jasa
tertentu.
Agriculture
Industry
100%
80%
60%
40%
20%
ia
er
N
hi
C
ig
na
a
si
a
do
ne
In
di
In
d.
Fe
l
n
zi
an
ra
R
us
si
B
pa
7
Ja
EU
-2
SA
U
e
in
co
Lo
m
w
e
in
co
m
e
co
m
dl
e
id
M
H
ig
h
in
W
or
ld
0%
Sumber: Worldbank, 2007
Gambar 1. Peranan Sektor Jasa dalam Perekonomian
Agrimedia
Volume
1 Juni
2013 35 35
Volume
18 18
No.No.
1 Juni
2013
Fokus
Namun demikian liberalisasi sektor jasa distribusi dan
telekomunikasi merupakan proses yang sulit dan suatu
tantangan. Sheperd dan Marrel (200) menyatakan
sangat sulit mengkuantitatifkan dampak kebijakan
terhadap perdagangan jasa. Hal ini disebabkan ukuran
ad valorem yang transparan seperti tarif dalam barang
sangat jarang ditemukan di sektor jasa. Sheperd dan
Marrel (2009) menggunakan pendekatan “trade cost”
untuk menghitung indeks restriksi sektor jasa. Secara
teori eliminasi berbagai regulasi yang menghambat
perdagangan di sektor jasa akan meningkatkan
volume perdagangan baik jasa itu sendiri maupun
perdagangan barang sehingga akan meningkatkan
welfare masyarakat.
Peranan Sektor Jasa Distribusi Dan Komunikasi Pada
Perekonomian
Peranan sektor jasa di Indonesia ±40% terhadap
perekonomian pada tahun 2007 (Gambar 2). Peranan
ini akan lebih meningkat apabila disertai strategi atau
langkah ofensif yang optimal untuk mencari pasar.
Dalam perundingan WTO, negosiator WTO akan
diminta pertanggungjawaban dalam memperjuangkan
kepentingan (1) Pengusaha, produsen dan penyedia
jasa yang mencari peluang pasar, (2) Konsumen yang
menghendaki jasa dan produk kompetitif, (3) Program
peningkatan daya saing perekonomian nasional.
Berdasarkan GTAP database (versi 7), 5 kekuatan sektor
jasa nasional yang memasok jasa ke Negara target
terbesar adalah sektor jasa transport nec, air tansport,
communication, trade dan construction (Gambar
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2011
36
36
Volume 18 No. 1 Juni 2013
2). Internasionalisasi produksi hanya dapat terjadi
apabila sektor transportasi menyediakan jasa yang
reliable dan cost-effective service. Seperti halnya sektor
transportasi, sektor komunikasi sangat penting sebagai
”a set backbone” dari sektor jasa (Findlay, 2011). Tanpa
high quality dan cost-effective di sektor komunikasi,
akan menyebabkan kesulitan bagi penyedia sektor jasa
lain dan manufaktur untuk akses ke pasar luar negeri.
Sektor jasa merupakan input yang penting dalam
proses produksi di semua tempat dalam suatu
perekonomian. Negara dengan kinerja logistik yang
kuat akan cenderung lebih terbuka dalam perdagangan
dan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat
(Sheperd and Marel, 2010). Telekomunikasi mempunyai
spillovereffect yang penting bagi industri manufaktur.
Penelitian Freund dan Weinhold (2004) dalam
Sheperd and Marel (2010) menunjukkan peningkatan
10% dalam pertumbuhan web hosts di suatu negara
diasosiasikan dengan peningkatan 0,2% pertumbuhan
ekspor.
Pembangunan tidak akan terjadi tanpa ada regulasi
yang mendukung penyediaan jasa telekomunikasi yang
efisien. Reformasi regulasi yang mengurangi biaya
perdagangan (trade cost) tidak hanya memperbaiki
alokasi sumberdaya melalui spesialisasi dengan
keunggulan komparatif tetapi juga signifikan sebagai
“knock on effect” dalam perekonomian. Blyde dan
Sinyavskaya (2010) menemukan “gains” yang tinggi
untuk ekspor manufaktur berasal dari efisiensi sektor
jasa transportasi dan komunikasi.
Gambar 3. Mode Perdagangan Jasa
Agrimedia
Hambatan Perdagangan Di Sektor Jasa Distribusi dan
Telekomunikasi
Untuk meningkatkan kemampuan Indonesia dalam
bersaing di pasar internasional dan memasok
kebutuhan pasar domestik secara efisien maka
reformasi regulasi sangat penting dilakukan. Sebagai
contoh terjadinya ketidakefisienan adalah tingginya
biaya yang dibutuhkan untuk mengangkut sebuah
peti kemas 40 kaki dari Cikarang (kawasan industri)
ke pelabuhan Tanjung Priok yang mencapai US$ 750,
dimana pengangkutan barang dalam volume dan jarak
yang sama di Malaysia hanya membutuhkan biaya
separuhnya. Indonesia sendiri menempati urutan ke43 dalam peringkat Global Indeks Kinerja Logistik. Biaya
distribusi Indonesia sekitar 20% dari nilai penjualan
produk. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan AS
(9,9%), Eropa (10%), Jepang (11,3%), Korea (16%) dan
Thailand (16%)(World Bank, 2008).
Kalirajan (2000) menggunakan model ekonometrik
untuk
mengestimasi
”cost impact”
restriksi
perdagangan sektor jasa transportasi setiap negara
sampel. Berdasarkan Tabel 1, tidak ada hambatan
pendirian untuk perusahaan baru yang masuk ke
Indonesia jika berasal dari domestik, namun untuk
perusahaan asing hambatannya sebesar 3,7%,
menduduki posisi ke-3 setelah Malaysia dan Perancis.
Sumber: GTAP Versi 7
Gambar 2. Kekuatan Sektor Jasa Indonesia Memasok
Sektor Jasa ke Negara Target
Agrimedia
Tabel 1.
Cost-Raising Effect
dari Hambatan
Perdagangan di Sektor Jasa Distribusi,
2000 (dalam %)
Hambatan Saat
Pendirian bagi
Pendatang
Domestik
Hambatan Saat
Pendirian bagi
Pendatang Luar
Negeri
Malaysia
4,0
8,2
Chile
1,9
1,3
Indonesia
0,0
3,7
Singapura
0,0
0,0
Australia
0,0
0,6
Perancis
7,1
5,2
Jepang
6,8
2,3
US
0,0
2,3
Negara
Sumber: Kalirajan, 2000
Dee (2003) membagi dampak sektor telekomunikasi
untuk fix lines dan cellular phones dan ”tax equivalent”
market accsess dan national treatment restriction.
Indonesia, market access di fix lines menduduki posisi
ke-2 setelah China dan national treatment menduduki
posisi ke-1. Sedangkan market access dan national
treatment di cellular phones sama-sama menduduki
posisi ke-2 setelah China.
Sumber: GTAP Versi 7
Gambar 3. Kinerja Sektor Jasa Indonesia
Volume 18 No. 1 Juni 2013
37
Fokus
Tabel 2. Tax Equivalent dari Akses Pasar dan National Treatment Restrictions pada Investasi di Sektor
Telekomunikasi, 2003 (dalam %)
Negara
Fixed Line
Cellular Phone
MA/FDI
NT/FDI
Total
MA/FDI
NT/FDI
Total
Malaysia
1,4
8,6
10,0
3,4
10,1
13,5
Chile
0,5
0,0
0,5
1,2
0,0
1,2
China
>1000
>1000
>1000
>1000
>1000
>1000
Indonesia
32,0
192,3
224,4
54,3
325,5
379,8
Korea
2,7
5,2
7,8
4,6
6,7
11,2
Philipina
0,0
66,3
66,3
0,0
33,2
33,2
Singapura
1,5
1,3
2,8
1,3
1,3
2,6
Thailand
30,8
78,6
109,4
25,6
66,8
92,3
Turki
18,7
26,2
44,9
37,3
53,3
90,6
Australia
0,3
0,0
0,3
0,8
0,0
0,8
Perancis
0,3
2,7
3,0
0,8
3,0
3,8
Jepang
0,2
0,0
0,2
0,5
0,0
0,5
Swedia
0,8
0,0
0,8
1,0
0,0
1,0
US
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
Sumber: Dee, 2003
Berdasarkan penelitian Kalirajan (2000) dan Dee (2003)
dapat disimpulkan restriksi lebih tinggi pada sektor
telekomunikasi dibandingkan sektor transportasi.
Tingginya restriksi akan menyebabkan biaya yang
tinggi sehingga mempengaruhi performance sektor
transportasi dan telekomunikasi dan sektor lain, yang
selanjutnya akan mengurangi welfare household.
Dampak Eliminasi Hambatan Regulasi Di Sektor
Distribusi Dan Komunikasi Ekuivalen Dengan
Peningkatan ”Productivity Equivalent” Terhadap
Ekonomi Makro Indonesia
Dalam makalah ini dengan menggunakan model GTAP
versi 7 yang terdiri dari 113 region (negara) dan 57
sektor (yang diagregasikan menjadi 15 negara dan 9
sektor) dilakukan simulasi dampak eliminasi hambatan
38
Volume 18 No. 1 Juni 2013
regulasi (yang di proxy dengan”productivity equivalent”)
di sektor distribusi dan komunikasi terhadap ekonomi
makro Indonesia (welfare, GDP riil, konsumsi swasta,
pengeluaran pemerintah, investasi, dan rasio trade
balance terhadap GDP). Analisis dampak terhadap
sektoral ekonomi seperti output, harga, eksporimpor, dan tenaga kerja sektoral tidak dilakukan
dalam makalah ini. Indeks restriksi perdagangan yang
digunakan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan
hambatan regulasi yang diterapkan di Indonesia
berdasarkan penelitian Kalirajan (2000) dan Dee
(2004). Besaran restriksi digunakan sebagai shock
yang ekuivalen dengan peningkatan produktivitas,
yang artinya penurunan hambatan akan meningkatkan
efisiensi sehingga diasosiasikan sebagai “productivity
equivalent”.
Agrimedia
Sumber: ITU (International Telecommunications Union), 2009
Gambar 3. Teledensity, broadband penetration, dan GDP per capita pada tahun 2008
Simulasi peningkatan produktivitas yaitu simulasi
1 sektor distribusi (SIM 1), simulasi 2 untuk sektor
komunikasi (SIM 2), dan gabungan kedua sektor (SIM
3). Dampak peningkatan “productivity equivalent”
terhadap kesejahteraan Indonesia lebih tinggi ketika Sim
3 (gabungan). Implikasinya eliminasi regulasi melalui
peningkatan productivity equivalent menghasilkan
“triangle gains” dalam surplus produsen dan konsumen
yang diasosiasikan dengan alokasi yang efisien serta
efek redistribusi yang diasosiasikan dengan eliminasi
“economic rent”.
Gambar 4 menunjukkan dampak peningkatan
productivity equivalent terhadap ekonomi makro
Indonesia (welfare, GDP riil, konsumsi swasta,
pengeluaran pemerintah, investasi, dan rasio trade
balance terhadap GDP). Peningkatan productivity
equivalent berdampak positif terhadap GDP riil,
namun pada Sim 3 dampaknya relative kecil karena
teledensity Indonesia yang relatif rendah. Salah satu
alasan mengapa peningkatan produktivitas yang tinggi
Agrimedia
pada sektor komunikasi namun dampaknya relatif kecil
terhadap GDP riil adalah terkait dengan (1) Elastisitas
pertumbuhan GDP akan tinggi ketika teledensity
juga tinggi (replikasi temuan Roller dan Waverman
(1996) dalam Findlay (2011), dan (2) Dampak pada
pertumbuhan ekonomi tertinggi berdasarkan level
of teledensity daripada dibandingkan dengan tingkat
investasi atau peningkatan produktivitas pada “fixed
line” di negara berkembang. Berdasarkan Gambar 3
teledensity Indonesia masih sangat rendah. Untuk fixed
line Indonesia juga sudah mulai bergeser ke cellular
phone namun spill-over effect bagi sektor lainnya
dalam perekonomian belum terjadi. Implikasinya
kebijakan
dan regulasi harus di-design untuk
mendorong peningkatan produktivitas atau investasi
dan memperbesar penggunan “mobile network”
(mendorong penyebaran jasa seperti “mobile banking,
mobile payment, mobile search, location-based service”
dll) sehingga akan mempengaruhi sektor lainnya dalam
perekonomian.
Volume 18 No. 1 Juni 2013
39
Fokus
Sumber: (diolah dari GTAP Versi 7.1)
Gambar 4. Dampak Peningkatan “Productivity Equivalent” di Sektor Jasa Distribusi dan Telekomunikasi
terhadap Ekonomi Makro Indonesia
40
Dampak peningkatan productivity equivalent pada
sektor distribusi dan komunikasi tidak mampu
meningkatkan trade balance
Indonesia karena
kontribusi sektor distribusi dan komunikasi terhadap
output masih relatif kecil. Peningkatan produktivitas
di kedua sektor tersebut tidak memberikan insentif
dan strategi jangka panjang bagi industri lainnya
yang memiliki linkage dengan sektor distribusi dan
komunikasi. Peningkatan produktivitas di kedua
sektor seharusnya dapat dimanfaatkan oleh sektor
lain yang menggunakan input kedua sektor tersebut.
Hal ini menunjukkan adanya fenomena bahwa
kinerja ekspor Indonesia terdapat kendala dari sisi
penawaran (Oktaviani et al. 2010). Misalnya ketika
sektor komunikasi dan distribusi digunakan sebagai
input oleh sektor pertanian dimana sektor pertanian
masih terdapat kendala dari sisi penawaran
(tergantung pada curah hujan, musim
dan iklim, kekurangan tenaga kerja,
teknologi rendah, standar, dan
mutu rendah) maka peningkatan
produktivitas sektor komunikasi
dan distribusi belum
mampu mendorong
kinerja
sektor
pertanian.
deflator. Dampak simulasi pada sektor komunikasi
yang lebih ”capital intensive” menyebabkan penurunan
harga relatif lebih kecil karena: 1) sewa kapital (rent)
relatif lebih mahal dibandingkan biaya tenaga kerja
(wage), dan 2) sektor komunikasi mengimpor kapital
terkait dengan IT. Term of Trade (TOT) turun sebagai
dampak peningkatan productivity equivalent.
Terjadi
penurunan
harga yang tercermin
dalam penurunan GDP
Indonesia belum siap melakukan liberalisasi
perdagangan di sektor jasa karena dampak terhadap
makro ekonomi masih relative kecil. Disamping
Volume 18 No. 1 Juni 2013
Efek dari eliminasi hambatan regulasi akan menurunkan
biaya sehingga menjadi daya tarik bagi investor
tercermin pada peningkatan investasi. Daya tarik
bagi investasi menjadi semakin tinggi dengan adanya
reformasi regulasi, minimisasi resiko ketidakpastian
berusaha, dan perbaikan iklim investasi. Dengan kata
lain hambatan berupa institutional factor, transaction
cost, information cost, tax burden, dan larangan
investor asing berinvestasi di suatu negara diharapkan
dieliminasi dalam rangka peningkatan productivity
equivalent. Peningkatan productivity equivalent akan
meningkatkan produksi sehingga cadangan devisa akan
berlebih. Peningkatan cadangan berdampak pada
peningkatan daya beli sehingga terjadi peningkatan
konsumsi swasta dan pengeluaran pemerintah.
Penutup
Agrimedia
itu liberalisasi belum mampu memperbaiki kinerja
perdagangan Indonesia. Negosiasi WTO untuk mode 4
dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat besar
bagi Indonesia. Ketidaksiapan tersebut disebabkan
produktivitas rendah karena masalah perizinan dan
hambatan regulasi. Untuk meningkatkan kinerja
perdagangan, permasalahan terkait dengan perijinan
dan hambatan regulasi harus pecahkan.
Untuk sektor komunikasi implikasi kebijakan dan
regulasi harus di-design untuk mendorong peningkatan
produktivitas atau investasi dan memperbesar
penggunan “mobile network” diantaranya dengan
mendorong penyebaran jasa seperti “mobile banking,
mobile payment, mobile search, location - based
service”. Langkah riil untuk penguatan daya saing
domestik pada sektor distribusi adalah eliminasi
hambatan
regulasi (screening investasi oleh
pemerintah diikuti dengan kemudahan birokrasi dalam
investasi langsung dan syarat lokasi untuk kegiatan
memulai usaha dan lisensi impor untuk kegiatan yang
telah berlangsung) dan (masalah perizinan dan tenaga
kerja) sehingga memberikan iklim berusaha yang
kondusif. Eliminasi secara bertahap terhadap regulasi
yang menghambat, dalam jangka panjang diharapkan
akan meningkatkan produktivitas sehingga akan
memberikan spill-over effect bagi sektor lainnya dalam
perekonomian.
Referensi
Findlay. 2011. The Impact and Benefit Structural Reforms
in The Transport, Energy, and Telecommunications
Sectors in APEC Economies. Adelaid.:Asia-Pacific
Economic Cooperation Policy Support Unit.
Australian Government Productivity Commission.
2009. Modelling the Supporting the Productivity
Commission
Annual
Report
2008-2009.
Canberra : Media and Publications Productivity
Commission.
Dee P. 2004. Services Trade Liberalisation in Southeast
Europe an Countries. OECD.
Dee P. 2005. A Compendium of Barriers to Service Trade.
Canberra : Asia-Pacific School of Economics and
Government.
Hayami Y, Yoshihisa G. 2005. Development Economics.
From the Poverty to The Wealth of Nations. Third
Edition. New York: Oxford University Press.
Agrimedia
Hertel. 1997. Global Trade Analysis, Modeling and
Applications. New York : Cambridge University
Press.
Hertel, Tsigas. 1997. Structure of GTAP. Global Trade
Analysis, Modeling and Applications. New York :
Cambridge University Press.
ITU (International Telecommunications Union). 2009.
ITU 2009 Telecommunications Regulatory
Survey (Extract: Internet Telephony and
Callback Service).WWW.itu.int/osg/spu/ni/iptel/
countries/bdt99-9.html.
Johnson, Martin, Tendai G, Geraldine G, Paul B. 2005.
Modeling the Benefits of Increasing Competition
in International Air Services. New York :
Impediments to Trade in Services.
Kalirajan K. 2000. Restrictions on Trade in Distribution
Services. Productivity Comissions Staff Research
Paper, Ausinfo, Canberra.
Oktaviani R, Novianti T, Widyastutik. Pola Perdagangan,
Prospek, dan Dampak FTA terhadap Ekonomi
Makro, Sektoral, dan Regional Indonesia (Studi
Kasus FTA Indonesia-Timur Tengah dan IndonesiaMeksiko, Hibah Kompetensi,Tahun ke-3. Jakarta:
Diknas.
Widyastutik, Amzul R, Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian
dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan,
2012. Kajian Posisi Runding Perdagangan Jasa
Indonesia pada Forum-Forum Internasional.
Jakarta:Kementerian Perdagangan.
Staff Working Paper ERSD.2004. The Impact of Mode 4
on Trade in Goods and Services. WTO.
Sheperd B, E, V, D, Marel. 2010. Trade in Services in The
APEC Region: Pattern, Determinants, and Policy
Implications. APEC Policy Support
World Bank. 2002. Global Economics Prospects and
Developing Economies. Washington D.C : World
Bank.
Worz J. 2008. Austria’s Competitiveness in Trade in
Services. Wiener Institut fur Internationale
Wirtschaftsvergleiche.
WTO. 1991. Services Sectoral Classification List.
Switzerland: Secretariat WTO.
WTO. 2010. Measuring trade in services, a training
module for the World Bank. Switzerland: WTO.
Volume 18 No. 1 Juni 2013
41
Download