BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi sangat destruktif, psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi, persepsi dan aspek-aspek perilaku lainnya. Ekspresi dari manifestasi gangguan ini bervariasi di antara pasien, tapi efeknya selalu berlangsung lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun, dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun (Sadock dan Sadock, 2007; Fatemi, 2008; Pesold, Roberts dan Kirkpatrick, 2004). 2.1.1. Epidemiologi Di Amerika Serikat prevalensi seumur hidup untuk skizofrenia berkisar 1 %, ini berarti 1 dalam 100 orang akan mengalami skizofrenia dalam hidupnya. Menurut studi The Epidemiological Catchment Area yang disponsori oleh National Institute of Mental Health prevalensi seumur hidup skizofrenia berkisar antara 0,6-1,9%. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV Text Revised (DSM-IV-TR) insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang dilahirkan di daerah urban. Skizofrenia ditemukan ditemukan di seluruh kelas masyarakat dan area geografis, insidens dan rasio prevalens ratarata sama di seluruh dunia (Sadock dan Sadock, 2007; Task Force on Universitas Sumatera Utara DSM-IV, American Psychiatric Association, 2000; Van-Os dan Allardyce, 2009). 2.1.2. Etiologi Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik,psikososial dan genetik. 2.1.2.1. Faktor-faktor biologik Faktor-faktor biologik terdiri dari : 2.1.2.1.1. Neurokimiawi otak Terdiri dari hipotesis dopamin, hipotesis serotonin,hipotesis GABA, hipotesis glutamat (Sadock dan Sadock, 2007; Benes dan Tamminga, 2002). 2.1.2.1.1.1. Hipotesis dopamin Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme ini (Stahl, 2008; Guillin, Abi-Dargham dan Laruelle, 2007; Goto dan Grace, 2007; Bobo dan Rapoport, 2008; Abi-Dargham dan Grace, 2011). 2.1.2.1.1.2. Hipotesis serotonin Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007; Abi-Dargham, 2007). Universitas Sumatera Utara 2.1.2.1.1.3. Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA) Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid (GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory pada aktivitas dopamin, dan kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik (Sadock dan Sadock, 2007; Lewis dan Hashimoto, 2007; Krystal dan Moghaddam, 2011). 2.1.2.1.1.4. Hipotesis glutamat Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa dengan skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007). 2.1.2.1.2. Hipotesis degeneratif saraf (neurodegenerative hypothesis) Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar dari apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia, toksintoksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang dikenal sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari neurotransmiter glutamat. Jika neuron- neuron tereksitasi ketika memperantarai gejala-gejala positif, kemudian mati akibat proses toksik yang disebabkan neurotransmisi excitatory yang berlebihan, ini membawa ke stadium residual burn out dan Universitas Sumatera Utara gejal-gejala negatif (Stahl, 2008; Stan, Lesselyong dan Ghose, 2009; Konrad dan Winterer, 2008; Balu dan Coyle, 2011). 2.1.2.1.3. Hipotesis perkembangan saraf (neurodevelopmental hypothesis) Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini berasal dari abnormalitas dalam perkembangan otak. Sebagian menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin. Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat yang berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh skizofrenia meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin mengalami komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar dari infeksi virus, kelaparan, proses autoimun dan masalah-masalah lain yang menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan janin, dapat berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-faktor ini juga akhirnya dapat mengurangi faktor-faktor pertumbuhan saraf dan merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-neuron yang kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan atau stres (Stahl, 2008; Busatto et al., 2010; Jaaro-Peled et al., 2009; Kato et al., 2011; Waddington dan Morgan, 2001; Harrison, Lewis dan Kleinman, 2011; Weinberger dan Levitt, 2011). 2.1.2.1.4. Elektrofisiologi Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike yang sering setelah Universitas Sumatera Utara kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan delta) (Sadock dan Sadock, 2007; Salisbury, Krljes dan McCarley, 2003; Winterer dan McCarley, 2011). 2.1.2.1.5. Sejumlah Psikoneuroimunologi abnormalitas berkaitan dengan skizofrenia, mencakup penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron, adanya antibodi brain-directed (antibrain) (Stahl, 2008). 2.1.2.1.6. Psikoneuroendokrinologi Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan follicle-stimulating hormone (Stahl, 2008). 2.1.2.2. Faktor psikososial 2.1.2.2.1. Teori psikoanalitik Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007). 2.1.2.2.2. Dinamika keluarga Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk mengatasinya. Dinamika keluarga tersebut berupa double bind Universitas Sumatera Utara communication, schisms and skewed family, pseudomutual dan pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi (Sadock dan Sadock, 2007). 2.1.2.3. Faktor genetik Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40% (Sadock dan Sadock, 2007; Owen, O'Donovan dan Harrison, 2005; Weeks dan Lange, 1988). 2.1.3. Gambaran klinis Tidak ada gejala dan tanda klinis yang patognomonis untuk skizofrenia; setiap gejala atau tanda yang terlihat pada skizofrenia juga ada di gangguan neurologik dan psikiatrik lainnya. Gejala-gejala seorang pasien dapat berubah sejalan dengan waktu. Misalnya seorang pasien mungkin mengalami halusinasi intermiten atau kemampuan yang bervariasi dalam menghadapi situasi sosial secara adekuat, atau gejalagejala gangguan mood yang bermakna dapat datang dan pergi selama perjalanan penyakit skizofrenia. Klinisi juga harus mempertimbangkan tingkat pendidikan, kemampuan intelektual, kultural dan sub kultural. Universitas Sumatera Utara Sebagai contoh, kemampuan yang terganggu untuk memahami konsep abstrak dapat mencerminkan pendidikan pasien atau intelegensianya. Organisasi keagamaan dan kebudayaan mungkin memiliki pola-pola yang kelihatan aneh bagi orang di luar tetapi normal bagi yang terlibat di dalamnya (Sadock dan Sadock, 2007; Goldberg, David dan Gold, 2011; Yeganeh et al., 2011). 2.1.4. Skizofrenia paranoid Skizofrenia paranoid ditandai oleh preokupasi satu atau lebih waham atau halusinasi pendengaran yang sering. Umumnya waham besar dan waham kejaran. Biasanya mengalami episode pertama pada usia yang lebih tua dibandingkan skizofrenia disorganized dan katatonik (Sadock dan Sadock, 2007). 2.1.5. Diagnosis Di Indonesia kriteria diagnostik skizofrenia ditegakkan berdasarkan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1993 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993). Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik, dalam praktek ada manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering terdapat secara bersama-sama, misalnya : a) thought echo,thought insertion atau withdrawal dan thought broadcasting. Universitas Sumatera Utara b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity, yang jelas merujuk pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran,perbuatan atau perasaan khusus;persepsi delusional; c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh; d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan manusia super (misalnya mampu mengendalikan cuaca,atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain); e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terusmenerus; f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme; Universitas Sumatera Utara g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme dan stupor; h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika; i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial; Pedoman diagnostik Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua gejala dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai ganggun psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasi ulang kalau Universitas Sumatera Utara gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993). 2.2. Genetika Skizofrenia Minat yang besar dalam genetika dari gangguan psikiatrik berasal dari kekuatan potensial dari pendekatan genetik untuk mengidentifikasi penyakit gen dan menegaskan dasar molekuler psikopatologi gangguan tersebut. Beberapa bukti mendukung peranan terhadap pewarisan gangguan tersebut. (Volk dan Lewis, 2008; Bakker et al., 2004; Craddock dan Owen, 1996; Gejman, Sanders dan Duan, 2010; Hauser et al., 1996; Maier, Zobel dan Kuhn, 2006; Mowry, 2010; Harrison dan Weinberger, 2005; Riley, Asherson dan McGuffin, 2003). Model transmisi genetik pada skizofrenia belum diketahui, tetapi sejumlah gen tampak memiliki kontribusi pada kerentanan terhadap skizofrenia. Studi keterkaitan dan asosiasi genetik telah mendapatkan bukti yang kuat untuk sembilan tempat terkait : 1q,5q,6p,6q,8p,10p,13q,15 q dan 22q (Sadock dan Sadock, 2007; Riley dan Kendler, 2005; Hirvonen et al., 2004; Badner dan Gershon, 2002; Riley dan Kendler, 2011). Studi-studi yang membuktikan keterlibatan genetik dan pengaruh lingkungan pada skizofrenia antara lain : Studi Epidemiologi Populasi Studi ini mempelajari prevalensi dan insiden dari gangguan dan penyakit berdasarkan survey komunitas. Variasi dalam nilai rerata tertentu dapat memberikan informasi berharga mengenai penyakit dan keseimbangan pengaruh genetik dari lingkungan. Ukuran insiden pada Universitas Sumatera Utara populasi merupakan dasar yang kritis untuk mengestimasi kemampuan pewarisan pada studi genetik yang melibatkan keluarga. Studi pada populasi yang terisolasi secara geografik, kebudayaan juga memberikan manfaat yang khusus karena selain terisolasi secara geografik biasanya populasi ini merupakan keluarga besar (large pedigree) dan akan memudahkan mengambil kesimpulan oleh karena peningkatan homogenitas baik variasi gennya maupun interaksi lingkungannya (Moldin dan Daly, 2009; Fears dan Freimer, 2009; O'Donovan dan Owen, 2011). Studi Keluarga Studi-studi keluarga menunjukkan suatu gangguan atau simtom spesifik yang diwariskan pada anggota keluarga. Meskipun demikian sulit untuk memisahkan apakah keadaan tersebut berasal dari faktor lingkungan atau faktor genetik, karena keluarga memang berbagi materi genetik tetapi juga berbagi elemen lingkungan yang sama. Dalam rangka memisahkan faktor genetik dan faktor lingkungan diadakan studi kembar dan studi adopsi (Moldin dan Daly, 2009; Riley dan Kendler, 2005). Studi Molekular Genetik Studi keterpautan, studi asosiasi dan studi transgenik banyak dilakukan untuk mengidentifikasi faktor genetik pada tingkat molekuler (Nieratschker, Nothen dan Rietscel, 2010; Craddock dan Owen, 1996; Craddock, O’Donovan dan Owen, 2005). Studi keterpautan memakai sampel dari keluarga (pedigree) yang memiliki masalah/penyakit yang akan dicari, kemudian ditelusuri kromosom atau lokus gen yang Universitas Sumatera Utara menggambarkan kerentanan terhadap penyakit tersebut (Fears dan Freimer, 2009; Clerget-Darpoux, Bonaiti-Pellie dan Hochez, 1986). Studi-studi yang berkaitan dengan kandidat gen, baik posisi; lokasi pada regio genom yang berhubungan dengan skizofrenia dan fungsi; keterlibatan dalam perkembangan otak, hubungan sinaptik dan neurotransmisi menghasilkan beberapa kandidat yang menjanjikan yang dianggap mempunyai kontribusi terhadap skizofrenia, seperti : dysbindin (DTNBP 1), neuregulin1(NRG1), G 72, RGS4,cathecol- O- methyl transferase (COMT), proline dehydrogenase (PRODH), metabotropic glutamate receptor 3 (GRM3), protein kinase AKT1 dan disrupted-inschizophrenia (DISC1) (Munafo et al., 2006; Kim et al., 2012). Empat gen-gen kunci yang mengatur konektivitas dan sinaptogenesis pada skizofrenia adalah: brain- derived neurotrophic factor (BDNF), dysbindin (disebut juga dystrobrevin-binding protein1) yang terlibat dalam pembentukan struktur-struktur sinaptik, neuregulin, terlibat dalam migrasi neuronal dan pembentukan sel-sel glia dan mielinisasi; dan DISC-1(disrupted in schizophrenia-1) yang membuat protein yang terlibat dalam neurogenesis, migrasi neuronal dan organisasi dendritik (Stahl, 2008; Hall et al., 2006; Dammann et al., 2008; Haraldsson et al., 2010; Buonanno, 2010). 2.3 Neuregulin 1 2.3.1 Protein neuregulin 1 Protein neuregulin 1 dan reseptor-reseptornya merupakan anggota dari sub family ErbB reseptor tirosin kinase, yang memegang peranan Universitas Sumatera Utara penting dalam perkembangan sistem saraf dan jantung. Kebanyakan isoform neuregulin 1 disintesis sebagai proprotein transmembran yang diproses secara proteolitik terhadap fragmen terminal N yang mengandung bioaktif EGF-like domain (Ozaki et al., 2004; Feng et al., 2010; Frenzel dan Falls, 2001; Keri, Kiss dan Kelemen, 2009; Newbern dan Birchmeier, 2010). NRG 1 juga dikenal sebagai faktor pertumbuhan glial, suatu protein yang dimurnikan sebagai mitogen untuk Schwann cells (SC). NRG1 dapat menginduksi diferensiasi neural crest menjadi fenotip SC. NRG1 juga meningkatkan pergerakan SC, migrasi dan menginduksi proliferasi SC (Corfas et al., 2004; Boucher et al., 2011). 2.3.2. Gen NRG1 Neuregulin 1 (NRG1) awalnya merupakan suatu kandidat gen yang bertanggung jawab untuk skizofrenia pada studi yang dilakukan di Iceland (Petryshen et al., 2005; Munafo et al., 2006; Marball et al., 2012; Gardner et al., 2006). Gen NRG1 terletak pada 8p21-p12,satu dari loki yang berkaitan dengan skizofrenia (Li, Collier dan He, 2006; Pedrosa et al., 2009; Tosato, Dazzan dan Collier, 2005; Kirov, O'Donovan dan Owen, 2005; Levinson, 2005) NRG1 merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik, penting dalam perkembangan dan fungsi sistem saraf. Gen ini terlibat dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi neuron-glia, myelinisasi dan neurotransmisi dalam otak dan jaringanjaringan lain (Li, Collier dan He, 2006; Hashimoto et al., 2004; Tosato et al., 2012; Talmage, 2008; Mei dan Xiong, 2008; Kruglyak et al., 1996). Universitas Sumatera Utara NRG1 memengaruhi regulasi myelinisasi susunan saraf pusat dengan menginduksi migrasi dan diferensiasi oligodendrosit susunan saraf pusat (Wang et al., 2009; Stahl, 2008). Lebih jauh lagi bukti preklinis menunjukkan bahwa perubahan dalam menyebabkan abnormalitas pada struktur NRG1-ErbB signalling dan fungsi oligodendrosit, seperti pengurangan ketebalan myelin dan perlambatan kecepatan konduksi di akson susunan saraf pusat (Wang et al., 2009; Huang dan Chen, 2009). Stefansson dan kawan-kawan pertama kali melaporkan suatu hubungan antara NRG1 dan skizofrenia, mengikuti positional mapping pada kromosom 8p pada keluarga Icelandic (Stefansson et al., 2002; Riley dan Kendler, 2005; Stefansson et al., 2003). Inti dari haplotype yang berisiko (HAP ice ) pada 5’ ujung gen yang terdiri dari 5 SNP (SNP8NRG221132, SNP8NRG221533, SNP8NRG 241930, SNP8NRG243177, SNP8NRG433E1006) dan dua mikrosatelit (478B14848, 420M91395) ditemukan berhubungan dengan skizofrenia pada populasi Icelandic, dan populasi Scottish (Thomson et al., 2007; Li, Collier dan He, 2006; Hanninen et al., 2008; Stefansson et al., 2003; Naz, Riaz dan Saleem, 2011). Bukti yang kuat untuk hubungan dengan haplotype yang sama, dikenal dengan HAP ICE ditemukan pada sampel yang besar dari Scotland, dan didukung lebih jauh lagi dengan sampel dari United Kingdom (Owen, Craddock dan Jablensky, 2010). SNP8NRG433E1006 merupakan salah satu dari kelima SNP dari HAP ICE . Hal ini mengubah residu asam amino dari Arginin menjadi Glisin pada exon 1 dari gen NRG1 Universitas Sumatera Utara (Javitt, 2007). Secara keseluruhan terdapat bukti yang kuat dari beberapa studi bahwa variasi genetik pada NRG1 memberikan risiko terhadap skizofrenia, tetapi tidak semua studi menemukan haplotype terkait yang sama, pengaruh spesifik dan varian protektif belum ditemukan (Owen, Craddock dan Jablensky, 2010; Corvin et al., 2004).. 2.4. Suku Batak Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan dengan orang kulit putih (Kaukasoid) dan orang kulit hitam (Negroid). Suku Batak diduga berasal dari utara dan India Sampai abad XIX, suku Batak terisolasi di pegunungan Bukit Barisan selama 3000 tahun, sebanyak 100 generasi. Suku Batak termasuk Proto Malayan (subras Mongoloid) seperti juga suku Toraja, sedangkan suku Jawa, Aceh, Minangkabau, Bugis, Makasar, Sunda dan Madura termasuk subras Neo Malayan. Subras Proto Malayan seperti Suku Batak dan Suku Toraja merupakan suku yang suka hidup terisolasi di pegunungan dan menolak pengaruh luar. (Simanjuntak, 2006; Munir, 2007; Gultom Raja Marpadang, 1992). Universitas Sumatera Utara Usia Durasi Penyakit Awitan Dosis Antipsikotika Jenis Kelamin Faktor Endogen Stresor Psikososial LH FSH Imunoreaktivitas NRG 1 Serum Gambar 2. 1. Kerangka Teoritis VARIABEL DEPENDEN menderita skizofrenia paranoid VARIABEL INDEPENDEN SNP8NRG433E1006 Suku Batak Imunoreaktivitas NRG1 Serum tidak menderita gangguan jiwa Karakteristik Subjek: A. Usia B. Durasi Penyakit C. Awitan D. Dosis Antipsikotika E. Jenis Kelamin F. Faktor Endogen G. Stresor Psikososial Gambar 2. 2. Kerangka Konsep Universitas Sumatera Utara