BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Skizofrenia Skizofrenia merupakan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Skizofrenia
Skizofrenia merupakan suatu sindroma klinis yang bervariasi, tetapi
sangat destruktif, psikopatologinya mencakup aspek-aspek kognisi, emosi,
persepsi dan aspek-aspek perilaku lainnya. Ekspresi dari manifestasi
gangguan ini bervariasi di antara pasien, tapi efeknya selalu berlangsung
lama dan berat. Gangguan ini biasanya dimulai sebelum usia 25 tahun,
dapat mengenai siapa saja dari kelompok sosial ekonomi manapun
(Sadock dan Sadock, 2007; Fatemi, 2008; Pesold, Roberts dan
Kirkpatrick, 2004).
2.1.1. Epidemiologi
Di Amerika Serikat prevalensi seumur hidup untuk skizofrenia
berkisar 1 %, ini berarti 1 dalam 100 orang akan mengalami skizofrenia
dalam hidupnya. Menurut studi The Epidemiological Catchment Area yang
disponsori oleh National Institute of Mental Health prevalensi seumur
hidup skizofrenia berkisar antara 0,6-1,9%. Menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder
IV Text
Revised (DSM-IV-TR)
insidens tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5-5,0 per 10.000 dengan
beberapa variasi geografis.Insidens lebih tinggi pada orang–orang yang
dilahirkan di daerah urban. Skizofrenia ditemukan ditemukan di seluruh
kelas masyarakat dan area geografis, insidens dan rasio prevalens ratarata sama di seluruh dunia (Sadock dan Sadock, 2007; Task Force on
Universitas Sumatera Utara
DSM-IV, American Psychiatric Association, 2000; Van-Os dan Allardyce,
2009).
2.1.2. Etiologi
Etiologi skizofrenia terdiri dari : faktor-faktor biologik,psikososial dan
genetik.
2.1.2.1. Faktor-faktor biologik
Faktor-faktor biologik terdiri dari :
2.1.2.1.1.
Neurokimiawi otak
Terdiri dari hipotesis dopamin, hipotesis serotonin,hipotesis GABA,
hipotesis glutamat (Sadock dan Sadock, 2007; Benes dan Tamminga,
2002).
2.1.2.1.1.1. Hipotesis dopamin
Formulasi paling sederhana dari hipotesis dopamin skizofrenia
menyatakan skizofrenia disebabkan oleh aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Teori dasar ini tidak mengelaborasi apakah hiperaktivitas
dopaminergik itu sehubungan dengan terlalu banyak pelepasan dopamin,
terlalu banyak reseptor dopamin, hipersensitivitas reseptor dopamin
terhadap dopamin atau kombinasi dari mekanisme-mekanisme ini (Stahl,
2008; Guillin, Abi-Dargham dan Laruelle, 2007; Goto dan Grace, 2007;
Bobo dan Rapoport, 2008; Abi-Dargham dan Grace, 2011).
2.1.2.1.1.2. Hipotesis serotonin
Hipotesis ini menyatakan serotonin yang berlebihan sebagai
penyebab gejala positif dan negatif pada skizofrenia (Sadock dan Sadock,
2007; Abi-Dargham, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2.1.1.3. Hipotesis gamma-aminobutiryc acid (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitory gamma-aminobutiryc acid
(GABA) dikaitkan dengan patofisiologi skizofrenia didasarkan pada
penemuan bahwa beberapa pasien skizofrenia mempunyai kehilangan
neuron-neuron GABA-ergic di hipokampus. GABA memiliki efek regulatory
pada aktivitas dopamin, dan kehilangan neuron inhibitory GABA-ergic
dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron-neuron dopaminergik (Sadock
dan Sadock, 2007; Lewis dan Hashimoto, 2007; Krystal dan Moghaddam,
2011).
2.1.2.1.1.4. Hipotesis glutamat
Glutamat dianggap terlibat karena penggunaan fensiklidin, suatu
antagonis glutamat menghasilkan suatu sindroma akut yang serupa
dengan skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.1.2.
Hipotesis
degeneratif
saraf
(neurodegenerative
hypothesis)
Sejumlah proses degeneratif saraf dihipotesiskan, berkisar
dari
apoptosis abnormal yang diprogram secara genetik, degenerasi dari
neuron-neuron yang kritis, pemaparan prenatal terhadap anoksia, toksintoksin, infeksi atau malnutrisi, proses kehilangan neuronal yang dikenal
sebagai excitotoxicity akibat aksi berlebihan dari neurotransmiter glutamat.
Jika neuron- neuron tereksitasi ketika memperantarai gejala-gejala positif,
kemudian mati akibat proses toksik yang disebabkan neurotransmisi
excitatory yang berlebihan, ini membawa ke stadium residual burn out dan
Universitas Sumatera Utara
gejal-gejala negatif (Stahl, 2008; Stan, Lesselyong dan Ghose, 2009;
Konrad dan Winterer, 2008; Balu dan Coyle, 2011).
2.1.2.1.3.
Hipotesis
perkembangan
saraf
(neurodevelopmental
hypothesis)
Banyak teori-teori tentang skizofrenia menyatakan gangguan ini
berasal
dari
abnormalitas
dalam
perkembangan
otak.
Sebagian
menyatakan bahwa problem didapatkan dari lingkungan otak janin.
Skizofrenia dapat berawal dengan proses degeneratif yang didapat yang
berpengaruh dengan perkembangan saraf. Sebagai contoh skizofrenia
meningkat pada orang-orang dengan riwayat semasa janin mengalami
komplikasi obstetrik saat dalam kehamilan ibu, berkisar dari infeksi virus,
kelaparan,
proses
autoimun
dan
masalah-masalah
lain
yang
menyebabkan gangguan pada otak di awal perkembangan janin, dapat
berkontribusi terhadap penyebab skizofrenia. Faktor-faktor ini juga
akhirnya
dapat
mengurangi
faktor-faktor
pertumbuhan
saraf
dan
merangsang proses-proses tetentu yang membunuh neuron-neuron yang
kritis, seperti sitokin, infeksi virus, hipoksia, trauma, kelaparan atau stres
(Stahl, 2008; Busatto et al., 2010; Jaaro-Peled et al., 2009; Kato et al.,
2011; Waddington dan Morgan, 2001; Harrison, Lewis dan Kleinman,
2011; Weinberger dan Levitt, 2011).
2.1.2.1.4.
Elektrofisiologi
Studi-studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa banyak pasien
skizofrenia mempunyai rekaman elektrofisiologik abnormal, peningkatan
sensitivitas terhadap prosedur aktivasi (aktivitas spike yang sering setelah
Universitas Sumatera Utara
kurangnya tidur, penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas theta dan
delta) (Sadock dan Sadock, 2007; Salisbury, Krljes dan McCarley, 2003;
Winterer dan McCarley, 2011).
2.1.2.1.5.
Sejumlah
Psikoneuroimunologi
abnormalitas
berkaitan
dengan
skizofrenia,
mencakup
penurunan produksi T-cell interleukin-2, pengurangan jumlah dan respons
limfosit perifer, reaktivitas humoral dan seluler abnormal terhadap neuron,
adanya antibodi brain-directed (antibrain) (Stahl, 2008).
2.1.2.1.6.
Psikoneuroendokrinologi
Banyak laporan menggambarkan perbedaan neuroendokrin pada
pasien skizofrenia dan kelompok kontrol. Contohnya: abnormalitas
dexamethason suppression test, penurunan luteinizing hormone dan
follicle-stimulating hormone (Stahl, 2008).
2.1.2.2. Faktor psikososial
2.1.2.2.1.
Teori psikoanalitik
Sigmund Freud menyatakan skizofrenia berasal dari perkembangan
yang terfiksasi. Fiksasi ini mengakibatkan defek pada perkembangan ego
dan defek-defek ini memberikan kontribusi terhadap gejala-gejala
skizofrenia (Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.2.2.
Dinamika keluarga
Sejumlah pasien skizofrenia berasal dari keluarga-keluarga yang
disfungsi. Perilaku keluarga patologis dapat meningkatkan stres emosional
yang merupakan hal yang rentan pada pasien skizofrenia untuk
mengatasinya.
Dinamika
keluarga
tersebut
berupa
double
bind
Universitas Sumatera Utara
communication,
schisms
and
skewed
family,
pseudomutual
dan
pseudohostile families, dan emosi yang diekspresikan secara tinggi
(Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.2.3. Faktor genetik
Terdapat kontribusi genetik pada sebagian atau mungkin semua
bentuk skizofrenia, dan proporsi yang tinggi dari variasi dalam
kecenderungan skizofrenia sehubungan dengan efek genetik. Risiko
menderita skizofrenia sebesar 1% pada populasi umum jika tidak ada
keluarga yang terlibat. Bila salah satu orang tua menderita skizofrenia
maka insidens untuk menderita skizofrenia sebesar 12%. Insidens
skizofrenia pada kembar dizigotik jika salah satu menderita skizofrenia
sebesar 12%, pada kembar monozigotik sebesar 47%. Jika kedua orang
tua menderita skizofrenia insidensnya sebesar 40% (Sadock dan Sadock,
2007; Owen, O'Donovan dan Harrison, 2005; Weeks dan Lange, 1988).
2.1.3.
Gambaran klinis
Tidak ada gejala dan tanda klinis yang patognomonis untuk
skizofrenia; setiap gejala atau tanda yang terlihat pada skizofrenia juga
ada di gangguan neurologik dan psikiatrik lainnya. Gejala-gejala seorang
pasien dapat berubah sejalan dengan waktu. Misalnya seorang pasien
mungkin mengalami halusinasi intermiten atau kemampuan yang
bervariasi dalam menghadapi situasi sosial secara adekuat, atau gejalagejala gangguan mood yang bermakna dapat datang dan pergi selama
perjalanan penyakit skizofrenia. Klinisi juga harus mempertimbangkan
tingkat pendidikan, kemampuan intelektual, kultural dan sub kultural.
Universitas Sumatera Utara
Sebagai contoh, kemampuan yang terganggu untuk memahami konsep
abstrak dapat mencerminkan pendidikan pasien atau intelegensianya.
Organisasi keagamaan dan kebudayaan mungkin memiliki pola-pola yang
kelihatan aneh bagi orang di luar tetapi normal bagi yang terlibat di
dalamnya (Sadock dan Sadock, 2007; Goldberg, David dan Gold, 2011;
Yeganeh et al., 2011).
2.1.4. Skizofrenia paranoid
Skizofrenia paranoid ditandai oleh preokupasi satu atau lebih
waham atau halusinasi pendengaran yang sering. Umumnya waham
besar dan waham kejaran. Biasanya mengalami episode pertama pada
usia yang lebih tua dibandingkan skizofrenia disorganized dan katatonik
(Sadock dan Sadock, 2007).
2.1.5. Diagnosis
Di Indonesia kriteria diagnostik skizofrenia ditegakkan berdasarkan
Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1993
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).
Walaupun tidak ada gejala-gejala yang patognomonik, dalam
praktek ada manfaatnya untuk membagi gejala-gejala tersebut ke dalam
kelompok-kelompok yang penting untuk diagnosis dan yang sering
terdapat secara bersama-sama, misalnya :
a) thought echo,thought insertion atau withdrawal dan thought
broadcasting.
Universitas Sumatera Utara
b) Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi
(delusion of influence) atau passivity, yang jelas merujuk pada
pergerakan
tubuh
atau
pergerakan
anggota
gerak,
atau
pikiran,perbuatan atau perasaan khusus;persepsi delusional;
c) Suara halusinasi yang berkomentar terus-menerus terhadap perilaku
pasien, atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri,
atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian
tubuh;
d) Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap
tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai
identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan
manusia
super
(misalnya
mampu
mengendalikan
cuaca,atau
berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia lain);
e) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide
berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi
setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terusmenerus;
f) Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme;
Universitas Sumatera Utara
g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap
tubuh tertentu (posturing) atau fleksibilitas serea, negativism, mutisme
dan stupor;
h) Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat masa bodoh (apatis),
pembicaraan yang terhenti dan respons emosional yang menumpul
atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari
pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial, tetapi harus jelas
bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau
medikasi neuroleptika;
i) Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi
sebagai hilangnya minat, tak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam
diri (self-absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial;
Pedoman diagnostik
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus
ada sedikitnya satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas) dari gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua
gejala dari kelompok (e) sampai (h) yang harus selalu ada secara jelas
selama kurun waktu satu bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi
persyaratan gejala tersebut tetapi yang lamanya kurang dari satu bulan
(baik diobati atau tidak) harus didiagnosis pertama kali sebagai ganggun
psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasi ulang kalau
Universitas Sumatera Utara
gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1993).
2.2.
Genetika Skizofrenia
Minat yang besar dalam genetika dari gangguan psikiatrik berasal
dari kekuatan potensial dari pendekatan genetik untuk mengidentifikasi
penyakit gen dan menegaskan dasar molekuler psikopatologi gangguan
tersebut. Beberapa bukti mendukung peranan terhadap pewarisan
gangguan tersebut. (Volk dan Lewis, 2008; Bakker et al., 2004; Craddock
dan Owen, 1996; Gejman, Sanders dan Duan, 2010; Hauser et al., 1996;
Maier, Zobel dan Kuhn, 2006; Mowry, 2010; Harrison dan Weinberger,
2005; Riley, Asherson dan McGuffin, 2003).
Model transmisi genetik pada skizofrenia belum diketahui, tetapi
sejumlah gen tampak memiliki kontribusi pada kerentanan terhadap
skizofrenia. Studi keterkaitan dan asosiasi genetik telah mendapatkan
bukti yang kuat untuk sembilan tempat terkait : 1q,5q,6p,6q,8p,10p,13q,15
q dan 22q (Sadock dan Sadock, 2007; Riley dan Kendler, 2005; Hirvonen
et al., 2004; Badner dan Gershon, 2002; Riley dan Kendler, 2011).
Studi-studi yang membuktikan keterlibatan genetik dan pengaruh
lingkungan pada skizofrenia antara lain :
Studi Epidemiologi Populasi
Studi ini mempelajari prevalensi dan insiden dari gangguan dan
penyakit berdasarkan survey komunitas. Variasi dalam nilai rerata tertentu
dapat
memberikan
informasi
berharga
mengenai
penyakit
dan
keseimbangan pengaruh genetik dari lingkungan. Ukuran insiden pada
Universitas Sumatera Utara
populasi merupakan dasar yang kritis untuk mengestimasi kemampuan
pewarisan pada studi genetik yang melibatkan keluarga. Studi pada
populasi yang terisolasi secara geografik, kebudayaan juga memberikan
manfaat yang khusus karena selain terisolasi secara geografik biasanya
populasi ini merupakan keluarga besar (large pedigree) dan akan
memudahkan
mengambil
kesimpulan
oleh
karena
peningkatan
homogenitas baik variasi gennya maupun interaksi lingkungannya (Moldin
dan Daly, 2009; Fears dan Freimer, 2009; O'Donovan dan Owen, 2011).
Studi Keluarga
Studi-studi keluarga menunjukkan suatu gangguan atau simtom
spesifik yang diwariskan pada anggota keluarga. Meskipun demikian sulit
untuk memisahkan apakah keadaan tersebut berasal dari faktor
lingkungan atau faktor genetik, karena keluarga memang berbagi materi
genetik tetapi juga berbagi elemen lingkungan yang sama. Dalam rangka
memisahkan faktor genetik dan faktor lingkungan diadakan studi kembar
dan studi adopsi (Moldin dan Daly, 2009; Riley dan Kendler, 2005).
Studi Molekular Genetik
Studi keterpautan, studi asosiasi dan studi transgenik banyak
dilakukan untuk mengidentifikasi faktor genetik pada tingkat molekuler
(Nieratschker, Nothen dan Rietscel, 2010; Craddock dan Owen, 1996;
Craddock, O’Donovan dan Owen, 2005). Studi keterpautan memakai
sampel dari keluarga (pedigree) yang memiliki masalah/penyakit yang
akan dicari, kemudian ditelusuri kromosom atau lokus gen yang
Universitas Sumatera Utara
menggambarkan kerentanan terhadap penyakit tersebut (Fears dan
Freimer, 2009; Clerget-Darpoux, Bonaiti-Pellie dan Hochez, 1986).
Studi-studi yang berkaitan dengan kandidat gen, baik posisi; lokasi
pada regio genom yang berhubungan dengan skizofrenia dan fungsi;
keterlibatan
dalam
perkembangan
otak,
hubungan
sinaptik
dan
neurotransmisi menghasilkan beberapa kandidat yang menjanjikan yang
dianggap mempunyai kontribusi terhadap skizofrenia, seperti : dysbindin
(DTNBP 1), neuregulin1(NRG1), G 72, RGS4,cathecol- O- methyl
transferase (COMT), proline dehydrogenase (PRODH), metabotropic
glutamate receptor 3 (GRM3), protein kinase AKT1 dan disrupted-inschizophrenia (DISC1) (Munafo et al., 2006; Kim et al., 2012).
Empat
gen-gen
kunci
yang
mengatur
konektivitas
dan
sinaptogenesis pada skizofrenia adalah: brain- derived neurotrophic factor
(BDNF), dysbindin (disebut juga dystrobrevin-binding protein1) yang
terlibat dalam pembentukan struktur-struktur sinaptik, neuregulin, terlibat
dalam migrasi neuronal dan pembentukan sel-sel glia dan mielinisasi; dan
DISC-1(disrupted in schizophrenia-1) yang membuat protein yang terlibat
dalam neurogenesis, migrasi neuronal dan organisasi dendritik (Stahl,
2008; Hall et al., 2006; Dammann et al., 2008; Haraldsson et al., 2010;
Buonanno, 2010).
2.3
Neuregulin 1
2.3.1 Protein neuregulin 1
Protein neuregulin 1 dan reseptor-reseptornya merupakan anggota
dari sub family ErbB reseptor tirosin kinase, yang memegang peranan
Universitas Sumatera Utara
penting dalam perkembangan sistem saraf dan jantung. Kebanyakan
isoform neuregulin 1 disintesis sebagai proprotein transmembran yang
diproses
secara
proteolitik
terhadap
fragmen
terminal
N
yang
mengandung bioaktif EGF-like domain (Ozaki et al., 2004; Feng et al.,
2010; Frenzel dan Falls, 2001; Keri, Kiss dan Kelemen, 2009; Newbern
dan Birchmeier, 2010). NRG 1 juga dikenal sebagai faktor pertumbuhan
glial, suatu protein yang dimurnikan sebagai mitogen untuk Schwann cells
(SC). NRG1 dapat menginduksi diferensiasi neural crest menjadi fenotip
SC. NRG1 juga meningkatkan pergerakan SC, migrasi dan menginduksi
proliferasi SC (Corfas et al., 2004; Boucher et al., 2011).
2.3.2. Gen NRG1
Neuregulin 1 (NRG1) awalnya merupakan suatu kandidat gen yang
bertanggung jawab untuk skizofrenia pada studi yang dilakukan di Iceland
(Petryshen et al., 2005; Munafo et al., 2006; Marball et al., 2012; Gardner
et al., 2006). Gen NRG1 terletak pada 8p21-p12,satu dari loki yang
berkaitan dengan skizofrenia (Li, Collier dan He, 2006; Pedrosa et al.,
2009; Tosato, Dazzan dan Collier, 2005; Kirov, O'Donovan dan Owen,
2005; Levinson, 2005) NRG1 merupakan faktor pertumbuhan pleiotropik,
penting dalam perkembangan dan fungsi sistem saraf. Gen ini terlibat
dalam modulasi migrasi neuronal, sinaptogenesis, gliogenesis, komunikasi
neuron-glia, myelinisasi dan neurotransmisi dalam otak dan jaringanjaringan lain (Li, Collier dan He, 2006; Hashimoto et al., 2004; Tosato et
al., 2012; Talmage, 2008; Mei dan Xiong, 2008; Kruglyak et al., 1996).
Universitas Sumatera Utara
NRG1 memengaruhi regulasi myelinisasi susunan saraf pusat
dengan menginduksi migrasi dan diferensiasi oligodendrosit susunan
saraf pusat (Wang et al., 2009; Stahl, 2008). Lebih jauh lagi bukti preklinis
menunjukkan
bahwa
perubahan
dalam
menyebabkan abnormalitas pada struktur
NRG1-ErbB
signalling
dan fungsi oligodendrosit,
seperti pengurangan ketebalan myelin dan perlambatan kecepatan
konduksi di akson susunan saraf pusat (Wang et al., 2009; Huang dan
Chen, 2009).
Stefansson dan kawan-kawan pertama kali melaporkan suatu
hubungan antara NRG1 dan skizofrenia, mengikuti positional mapping
pada kromosom 8p pada keluarga Icelandic (Stefansson et al., 2002; Riley
dan Kendler, 2005; Stefansson et al., 2003). Inti dari haplotype yang
berisiko (HAP ice ) pada 5’ ujung gen yang terdiri dari 5 SNP
(SNP8NRG221132,
SNP8NRG221533,
SNP8NRG
241930,
SNP8NRG243177, SNP8NRG433E1006) dan dua mikrosatelit (478B14848, 420M91395) ditemukan berhubungan dengan skizofrenia pada
populasi Icelandic, dan populasi Scottish (Thomson et al., 2007; Li, Collier
dan He, 2006; Hanninen et al., 2008; Stefansson et al., 2003; Naz, Riaz
dan Saleem, 2011). Bukti yang kuat untuk hubungan dengan haplotype
yang sama, dikenal dengan HAP ICE ditemukan pada sampel yang besar
dari Scotland, dan didukung lebih jauh lagi dengan sampel dari United
Kingdom (Owen, Craddock dan Jablensky, 2010). SNP8NRG433E1006
merupakan salah satu dari kelima SNP dari HAP ICE . Hal ini mengubah
residu asam amino dari Arginin menjadi Glisin pada exon 1 dari gen NRG1
Universitas Sumatera Utara
(Javitt, 2007). Secara keseluruhan terdapat bukti yang kuat dari beberapa
studi bahwa variasi genetik pada NRG1 memberikan risiko terhadap
skizofrenia, tetapi tidak semua studi menemukan haplotype terkait yang
sama, pengaruh spesifik dan varian protektif belum ditemukan (Owen,
Craddock dan Jablensky, 2010; Corvin et al., 2004)..
2.4.
Suku Batak
Suku Batak adalah kelompok masyarakat yang dikenal sebagai
orang Indonesia, dengan penampilan fisiknya yang mudah dibedakan
dengan orang kulit putih (Kaukasoid) dan orang kulit hitam (Negroid).
Suku Batak diduga berasal dari utara dan India Sampai abad XIX, suku
Batak terisolasi di pegunungan Bukit Barisan selama 3000 tahun,
sebanyak 100 generasi. Suku Batak termasuk Proto Malayan (subras
Mongoloid) seperti juga suku Toraja, sedangkan suku Jawa, Aceh,
Minangkabau, Bugis, Makasar, Sunda dan Madura termasuk subras Neo
Malayan. Subras Proto Malayan seperti Suku Batak dan Suku Toraja
merupakan suku yang suka hidup terisolasi di pegunungan dan menolak
pengaruh luar. (Simanjuntak, 2006; Munir, 2007; Gultom Raja Marpadang,
1992).
Universitas Sumatera Utara
Usia
Durasi Penyakit
Awitan
Dosis Antipsikotika
Jenis Kelamin
Faktor Endogen
Stresor Psikososial
LH
FSH
Imunoreaktivitas NRG 1 Serum
Gambar 2. 1.
Kerangka Teoritis
VARIABEL DEPENDEN
menderita skizofrenia
paranoid
VARIABEL INDEPENDEN
SNP8NRG433E1006
Suku
Batak
Imunoreaktivitas NRG1
Serum
tidak menderita
gangguan jiwa
Karakteristik Subjek:
A. Usia
B. Durasi Penyakit
C. Awitan
D. Dosis Antipsikotika
E. Jenis Kelamin
F. Faktor Endogen
G. Stresor Psikososial
Gambar 2. 2.
Kerangka Konsep
Universitas Sumatera Utara
Download