1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Salah satu yang menjadi bagian dari kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial tentunya sangat berkaitan dengan komunikasi dalam kehidupannya. Komunikasi merupakan suatu hal yang esensial bagi kehidupan manusia. Komunikasi ini dibutuhkan untuk mengekspresikan keinginan, dan tujuan yang ada dalam pikirannya. Hal tersebut kemudian akan disampaikan kepada orang lain yang ia rasa terkait dengan keingin maupun tujuan yang ia pikirkan. Komunikasi adalah alat di mana hubungan kemanusiaan berlangsung. Ia adalah arus yang telah mengalir sepanjang sejarah manusia, memperluas wawasan seseorang dengan jalur-jalur informasinya. yang selalu Informasi- informasi ini merupakan sebuah hasil proses komunikasi yang dilakukan oleh para manusia itu sendiri. Perilaku komunikasi merupakan sebuah ‗paket‘ yang di dalamnya melibatkan pesan-pesan verbal, gerak tubuh (gestures), atau kombinasi dari keduanya (verbal 2 dan nonverbal). Biasanya, perilaku verbal dan nonverbal menguatkan atau mendukung satu sama lain. Salah satu hal yang mempengaruhi dan termasuk dalam ‗paket‘ perilaku komunikasi ini adalah kebudayaan. Budaya merupakan sebuah pesan nonverbal yang terdapat dalam sebuah komunikasi yang berpengaruh dalam proses komunikasi itu sendiri. Budaya sendiri berasal dari bahasa sansakerta, yang berarti akal budi, atau budi daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Dalam bahasa inggris, budaya disebut dengan culture yang berakar dari bahasa latin colere yang berarti mengolah, mengerjakan. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi dari budaya mereka. Kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia karena setiap orang akan menampilkan kebudayaannya dalam segala tindakan yang ia lakukan. Kebudayaan menjadi sebuah karakteristik dalam suatu kelompok dan dalam diri anggota-anggota kelompok tersebut. Dalam banyak hal, hubungan antar budaya dan komunikasi bersifat timbal balik. Keduanya saling mempengaruhi. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi, begitupun sebaliknya, komunikasi pun takkan hidup tanpa budaya. Masing- masing takkan berubah tanpa menyebabkan perubahan pada yang lainnya. 3 Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Budaya merupakan landasan komunikasi, di mana bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki orang-orang yang berbeda budaya akan berbeda pula, hal ini dapat menimbulkan berbagai macam kesulitan. Dewasa ini, peradaban manusia telah berkembang demikian kompleksnya. Perkembangan dunia saat ini semakin menuju pada sesuatu yang global, di mana sudah tidak ada batasan bagi manusia dalam berinteraksi. Manusia selain sebagai makhluk sosial yang hidup berkelompok dan berkomunikasi dengan sesamanya, juga sebagai individu-individu dengan latar belakang budaya yang berlainan. Mereka saling bertemu dan berinteraksi, baik secara tatap muka maupun melalui media komunikasi sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan komunikasi antarbudaya. Dengan perkembangan dunia pada masa kini yang sudah bergerak menjadi sesuatu yang global, hal ini menimbulkan anggapan bahwa sekarang ini komunikasi antarbudaya semakin penting dan semakin vital ketimbang di masamasa sebelum ini. Dalam komunikasi antar budaya, kesalahan dalam persepsi sosial menjadi masalah utama yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan budaya yang 4 mempengaruhi proses persepsi. Pemberian makna kepada pesan dalam banyak hal dipengaruhi oleh budaya penyandi balik pesan. Akibatnya kesalahan-kesalahan dalam makna mungkin saja terjadi tanpa dimaksudkan oleh pelaku-pelaku komunikasi. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar belakang berbeda dan tidak dapat memahami satu sama lainnya dengan akurat. Kegagalan dalam proses komunikasi antar budaya ini yang seringkali menjadi penyebab utama dalam gagalnya membangun hubungan antar budaya. Orang seringkali menjadi memiliki perasangka terhadap kebudayaan lain. Hingga pada akhirnya, hubungan antar budaya ini menjadi sulit untuk dibangun. Dalam teorinya, komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang dan perspektif yang berbeda (heterophily) memang akan jauh sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan latar belakang dan perspektif yang sama (homophily). Hal ini diakibatkan oleh adanya komunikasi, hambatan-hambatan yang menghalangi terjadinya kelancaran seperti misalnya hambatan sosiokultural yaitu keragaman etnik, perbedaan norma sosial, dan kekurangmampuan dalam berbahasa. Akan tetapi, ternyata pada praktiknya komunikasi yang dilakukan oleh orangorang dengan latar belakang yang berbeda (heterophily) bisa saja berjalan dengan efektif. Salah satu contoh tempat di mana komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh orang-orang yang berbeda negara dan budaya berlangsung adalah dalam sebuah organisasi kepemudaan internasional yang bernama Association 5 Internationale des Estudiants en Science Economiques et Commerciales (selanjutnya disebut dengan AIESEC). AIESEC merupakan organisasi internasional non-pemerintah dan nirlaba yang memberikan pengalaman dan kesempatan bagi orang-orang muda dalam pengembangan kepemimpinan, program magang dan pertukaran relawan lintas budaya global di seluruh dunia, dengan fokus untuk memberdayakan orang-orang muda sehingga mereka dapat membuat dampak positif pada masyarakat . Saat ini organisasi ini terus tumbuh dan berkembang hingga mencakup ke hampir seluruh wilayah di dunia. Hingga pada tahun 2015, AIESEC telah sejak diperluas ke 133 negara dan teritori di seluruh dunia. AIESEC setiap tahunnya menawarkan lebih dari 27.500 posisi kepemimpinan dan memberikan lebih dari 500 konferensi kepemimpinan untuk keanggotaannya yang terdisi lebih dari 100.000 mahasiswa, dan hadir di lebih dari 2.400 perguruan tinggi di negaranegara anggota 125 dan wilayah di seluruh dunia dan program pertukaran internasional yang memungkinkan lebih 27.500 mahasiswa dan lulusan baru kesempatan untuk bekerja atau menjadi relawan di negara lain. Salah satu program utama AIESEC adalah Global Citizen. Program Global Citizen ini adalah program pertukaran anggota antar negara anggota AIESEC untuk bekerja secara sukarela atau menjadi relawan dalam rangka membantu pengembangan komunitas global di seluruh dunia. Para peserta program ini biasanya akan bekerja dalam waktu tertentu dan terlibat dalam proyek-proyek yang terkait dengan pengembangan komunitas yang 6 memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar, seperti misalnya pengajaran, mempromosikan kesadaran HIV / AIDS, bekerja di bidang hak asasi manusia, kelestarian lingkungan, pengembangan kepemimpinan, promosi pariwisata dan banyak lagi. Pada program ini, seorang anggota AIESEC dari suatu negara akan bekerja atau menjadi sukarelawan ke negara lain, dengan durasi waktu minimal selama 6 minggu. Dengan banyaknya jumlah orang yang tergabung dengan program ini, maka hal itu memungkinkan ia untuk bertemu dan bekerja sama secara tim dengan orang dari negara lain, dan tentunya berbaur dengan warga lokal sebagai tuan rumah dari tempat-tempat yang mereka kunjungi. Seperti misalnya, contohnya, seorang mahasiswa anggota AIESEC dari UNS, Indonesia, bergabung dengan program Global Citizen ini sebagai peserta, dan kemudian pergi ke negara Mesir untuk bekerja secara sukarela. Di Mesir, ia kemudian ternyata dipertemukan dengan peserta-peserta lain yang berasal dari beberapa negara lain di dunia, seperti misalnya, dari India, Cina, dan Rusia. Kemudian tim mereka bertemu dengan tim lainnya, yang juga terdiri dari orangorang dari beberapa negara. Selain dari bekerja sama dalam sebuah tim dengan orang-orang dari negara lain, tentunya ia juga harus berbaur dengan warga lokal untuk memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut tentunya sangat membutuhkan komunikasi antar budaya, karena mereka pasti perlu untuk berkomunikasi untuk maksud dan tujuan apapun. 7 Dalam kasus program Global Citizen AIESEC ini, komunikasi antarbudaya mutlak terjadi, namun akan sangat mungkin untuk sulit dilakukan, karena seseorang dengan satu latar belakang budaya tidak hanya harus bertemu dan berinteraksi dengan seseorang dengan latar belakang budaya yang berbeda dengannya, akan tetapi harus berinteraksi dengan banyak orang dengan banyak latar belakang budaya, dan harus menetap dan beradaptasi serta berinteraksi dengan orang-orang lokal di tempatnya tinggal selama menjadi peserta program tersebut. Akan tetapi yang terjadi pada para peserta program Global Citizen AIESEC ini adalah mereka mampu untuk membangun sebuah komunikasi yang efektif. Hal ini dibuktikan dengan mampunya para peserta program ini untuk membangun hubungan antar para peserta dengan baik, bahkan hingga mereka berpisah dan kembali ke negara asal mereka masing-masing. Sebuah hubungan interpersonal yang baik bisa jadi merupakan sebuah tolak ukur akan sebuah komunikasi yang efektif. Menurut Deddy Mulyana (2014: 117), komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi). Harapan dari hubungan komunikasi antarbudaya yang dijalin oleh para peserta program Global Citizen AIESEC ini adalah berkembangnya kemampuan mereka dalam kecepatan adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan dan budaya baru di tempat mereka melakukan program tersebut, serta pemaknaan dan kesadaran tentang kebutuhan untuk berinteraksi, belajar, dan bertahan hidup di lingkungan yang baru dan dengan orang-orang yang baru pula yang berbeda dengannya. 8 Hubungan interpersonal atau antar pribadi yang baik tentunya didasari oleh komunikasi yang baik pula. Proses komunikasi merupakan hal yang sangat penting untuk dijalani oleh para peserta program Global Citizen AIESEC selama mereka melaksanakan program tersebut. Dalam kajian komunikasi antarbudaya, proses komunikasi salah satunya bertujuan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian. Pengurangan ketidakpastian yang terjadi di antara para mahasiswa asing terjadi ketika mereka mulai melakukan komunikasi interpersonal dengan cara membuka diri untuk berkenalan dengan orang lain, baik sesama peserta program Global Citizen AIESEC, para panitia tuan rumah pelaksana program, maupun dengan masyarakat lokal di tempat mereka melakukan kegiatan program tersebut. Proses komunikasi serta interaksi ini yang akan membuka informasi dan memungkinkan terjadinya perkembangan hubungan di antara mereka. Perkembangan hubungan ini biasanya ditentukan oleh setiap tahapan komunikasi atau interaksi yang dilakukan oleh para peserta komunikasi antar budaya. Interaksi awal yang terjadi dan berlaku di seluruh dunia adalah sapaan dan kalimat pertanyaan yang diajukan untuk memulai sebuah percakapan yang lebih jauh. Interaksi awal ini menentukan tahapan interaksi berikutnya, dan begitu juga tahapan selanjutnya sehingga memunculkan hubungan yang lebih jauh dan lebih dalam di antara para peserta komunikasi antarbudaya. Seperti yang disebutkan sebelumnya, hubungan interpersonal yang baik tentunya ditentukan oleh efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh para pelaku 9 komunikasi. Maka, hubungan baik yang terbentuk pada para peserta program Global Citizen AIESEC ini juga dipengaruhi oleh komunikasi yang efektif yang dilakukan oleh para pesertanya. Maka berdasarkan hal tersebutlah penelitian ini diselenggarakan. Peneliti ingin melihat bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi diantara para peserta program Global Citizen AIESEC, yang notabene berasal dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda-beda (heterophily), dan bagaimana mereka membentuk sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif. Peneliti membatasi bahasan tentang bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi diantara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana menciptakan sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif di antara mereka, dengan memperhatikan dengan cermat mengenai teknik pengumpulan data, penentuan populasi dan sampel, serta teknik penelitian agar diperoleh data yang valid dan akurat, serta menuju sempurna. Peneliti juga memberi batasan terhadap informan yang akan diteliti, yakni pengambilan populasi dan sampel para returnee atau orang yang sudah pernah melakukan program Global Citizen AIESEC dalam kurun waktu dua tahun, karena dalam kurun waktu ini ternyata hubungan baik antar para peserta masih terjalin dengan baik walaupun mereka sudah tidak berkumpul dalam suatu area yang sama dan terpisah oleh jarak dan waktu, serta interaksi yang dilakukan pun hanya berupa viral. 10 B. Rumusan Masalah Fenomena komunikasi antarbudaya yang terjadi pada sekumpulan orang-orang yang berbeda negara dan dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda memang menarik untuk diteliti. Akan tetapi diperl ukan adanya titik berat penelitian yang berupa rumusan masalah yang berguna untuk memfokuskan kegiatan penelitian, sehingga akan didapatkan data valid yang sesuai dengan topik penelitian ini, yaitu upayaupaya yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC untuk menciptakan sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif di antara para pesertanya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka Peneliti mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana komunikasi antarbudaya yang terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC yang datang dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda? 2. Bagaimana komunikasi antarbudaya di antara para peserta program Global Citizen AIESEC yang datang dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda tersebut bisa berlangsung dengan efektif? C. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC, yang hadir dari berbagai negara dan dengan berbagai macam latar belakang budaya yang berbeda, dan bagaimana mereka mampu untuk menciptakan komunikasi antarbudaya yang efektif ketika berhubungan dan 11 berinteraksi dengan orang-orang dari negara lain dan dengan latar belakang budaya yang berbeda dengan dirinya. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kajian tentang hubungan interpersonal dalam sebuah komunikasi antar budaya yang terjadi pada organisasi kepemudaan internasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan ilmu komunikasi dalam sudut pandang mengenai hubungan interpersonal yang terjadi dalam komunitas antar budaya. 2. Manfaat Praktis a) Untuk Akademik Untuk memberikan wacana pemikiran bagi pembaca yang tertarik mengetahui lebih lanjut tentang analisa komunikasi antar budaya efektif yang terjadi pada sebuah organisasi kepemudaan global internasional. Selain itu juga bisa memberi kontribusi dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang membahas masalah yang sama. b) Untuk Peserta Program Global Citizen AIESEC Penelitian ini berguna untuk menjadi gambaran bagaimana komunikasi antarbudaya diantara para peserta program tersebut terjadi, sehingga bisa digunakan sebagai pedoman akan hal apa yang harus mereka lakukan dan yang harus mereka hindari selama melakukan komunikasi antarbudaya. 12 E. Kerangka Teori Kerangka teori adalah kumpulan-kumpulan teori yang ditulis oleh peneliti untuk menjelaskan hubungan antara gejala yang menjadi perhatian (Silalahi, 2012: 84). Kerangka teori digunakan untuk merumuskan hipotesis untuk melihat kebenaran atau ketidakbenaran, serta juga dapat melihat dan menjelaskan hubungan antar fenomena atau kejadian. Kerangka teori sendiri terdiri dari kumpulan teori yang berarti satu set atau seperangkat konstruk (variabel) yang saling berhubungan definisi, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan di antara variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu. Penjelasan mengenai sebuah fenomena komunikasi dapat diperoleh dari asumsi dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli komunikasi. Dalam melakukan sebuah penelitian untuk membuktikan sebuah hipotesis, teori-teori yang relevan sangat diperlukan dalam tahap analisisnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami bagaimana komunikasi antarbudaya yang terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC yang berbeda budaya, dan bagaimana mereka bisa melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif sehingga mampu menumbuhkan hubungan yang baik di antara para pesertanya yang berasal dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda. Teori-teori yang relevan digunakan untuk mengetahui dan memahami pola interaksi komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC dan bagaimana mereka bisa melakukan komunikasi 13 antarbudaya dengan efektif meliputi Komunikasi Antarbudaya, Tahap-tahap Kejutan Budaya, Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian, dan Peningkatan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya. 1. Komunikasi Antar Budaya Kata komunikasi atau communication dalam Bahasa Inggris berasal dari kata Latin communis yang berarti ―sama‖, communico, communication, atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). Komunikasi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Menurut Laswell, cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan kalimat who says what in which channel to whom with what effect? (Siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?) (Wiryanto, 2008: 6-7) Komunikasi menurut Shannon dan Weaver adalah bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja, dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, lukisan, seni dan teknologi (Wiryanto, 2008: 6). Menurut Deddy Mulyana (2014: 117), komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang yang sedang berkomunikasi). Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini atau pandangan/perilaku orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua 14 pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada kesalahan dalam penerimaan pesan tersebut, untuk itu diperlukan suatu komunikasi yang efektif. Komunikasi menjadi efektif ketika komunikan menginterpretasikan pesan yang sama atau relatif sama dengan pesan yang dikirimkan oleh komunikator. Menurut Effendy (1992: 14) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh si penyampai. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklarifikasikan pada : a) Efek Kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami, diperpsepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/ratio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran komunikasi. b) Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya. c) Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola–pola tindakan, kegiatan kebiasaan atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk berprilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah). Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam 15 semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan, sebagaimana yang disebutkan Edward T. Hall (1959) bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi adalah kebudayaan (Liliweri, 2009: 90) oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang menyandi pesan, makna apa yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang budaya (Liliweri, 2004: 9). Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan oleh sejumlah orang—yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan tertentu—memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan (Lustig & Koester, dalam Liliweri, 2007: 11). Dalam hal kaitannya dengan komunikasi antarbudaya, semakin besar derajat perbedaan antarbudaya, maka akan semakin besar pula kemungkinan kehilangan peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Hal ini disebabkan karena ketika berkomunikasi dengan seseorang dari kebudayaan yang berbeda, maka dipastikan akan memiliki perbedaan pula dalam sejumlah hal. Selain itu, dalam melakukan komunikasi antarbudaya, seringkali ketidakpastian menjadi hal utama yang menghambat efektifitas komunikasi. Maka 16 dari itu komunikasi antarbudaya yang efektif adalah komunikasi yang mampu diartikan atau diinterpretasikan dengan sama atau relatif sama dengan pesan yang disampaikan oleh si pengirim pesan (komunikator). a) Fungsi-fungsi Komunikasi Antarbudaya Dalam Liliweri (2009: 34-44), disebutkan bahwa komunikasi antarbudaya memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi pribadi adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu. Fungsi ini diperinci lagi ke dalam fungsifungsi yang terdiri dari: 1) Fungsi menyatakan identitas sosial, di mana melalui fungsi ini seseorang dapat diketahui identitas diri maupun sosialnya, misalnya dapat diketahui asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan. 2) Fungsi menyatakan integrasi sosial, di mana fungsi ini bertujuan untuk memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator dan komunikan, dengan prinsip utamanya yakni saling menghormati budaya satu sama lain, dan tidak memaksakan kehendaknya. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka. 3) Fungsi Menambah Pengetahuan, di mana seringkali komunikasi antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling mempelajari komunikator. kebudayaan masing-masing antara komunikan dan 17 4) Melepaskan Diri atau Jalan Keluar, di mana kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti itu kita namakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang komplementer dan hubungan yang simetris, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Fungsi sosial dalam komunikasi antarbudaya meliputi: 1) Fungsi pengawasan, di mana dalam praktik komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan ―perkembangan‖ tentang lingkungan luar. 2) Fungsi menjembatani, di mana dalam proses komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atau pemahaman atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama. 3) Fungsi sosialisasi nilai, di mana ini merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan masyarakat lain. 4) Fungsi menghibur. nilai nilai kebudayaan suatu masyarakat ke 18 b) Prinsip-prinsip Komunikasi Antarbudaya Menurut DeVito dalam bukunya Komunikasi Antar Manusia (2003: 479488), prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya adalah: 1) Relativitas Bahasa Karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, maka orang yang menggunakan bahasa yang berbeda kemungkinan juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia. 2) Bahasa Sebagai Cermin Budaya Semakin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa perbedaan maupun antara dalam isyarat-isyarat budaya (dan, karenanya, nonverbal. makin Makin besar besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan. 3) Mengurangi Ketidak-pastian Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. 4) Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada, terutama dalam berbicara atau bersikap. 19 Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri. 5) Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya. 6) Memaksimalkan Hasil Interaksi Dalam komunikasi antarbudaya – seperti dalam semua komunikasi – kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda. Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan diri dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif, kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi. Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan menghasilkan hasil positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku 20 nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif. 2. Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/ Ketidakpastian) Teori yang dipublikasikan William Gudykunst dalam Littlejohn & Foss (2009: 144-145) ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi di mana terdapat perbedaan di antara keraguan dan ketakutan. Ia menggunakan istilah meminimalisir ketidakmengertian. komunikasi efektif kepada proses-proses Penulis lain menggunakan istilah accuracy, fidelity, understanding untuk hal yang sama. Seperti yang disadur dari Morrisan (2013: 203-210), disebutkan bahwa teori ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana seseorang yang asing dengan budaya di sekitarnya dapat berkomunikasi secara efektif melalui manajemen mindful. Komunikasi yang efektif ini mampu dicapai seseorang jika ia mampu mengatur tingkat kecemasan dan ketidakpastiannya. Gudykunst dalam bukunya mengutip Langer (1989) yang menyebutkan bahwa jika seseorang ingin menjadi mindful, maka ia harus menyadari bahwa terdapat lebih dari satu pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau menjelaskan bentuk interaksi dengan orang asing. Bahkan menurut Chang (2013), mindful adalah antarbudaya. Bisa perhatian utama dikatakan jika untuk mencapai kompetensi komunikasi mindfulness ini adalah faktor penentu 21 keberhasilan atau suksesnya komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh seseorang. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41396/4/Chapter%20II.pdf: 31, diakses pada 20 April 2016 11:58) Gudykunst meyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Hal ini menjadi penting sebab ketidakpastian bersifat kognitif dan kecemasan bersifat afeksisuatu emosi, yang berpengaruh pada jalannya komunikasi. a) Pengertian Anxiety dan Uncertainty (Kecemasan dan Ketidakpastian) 1) (Anxiety) Kecemasan Kecemasan adalah afeksi (emosional) yang setara dengan ketidakpastian. Wiseman (1995) mengatakan, kecemasan adalah salah satu masalah fundamental yang harus bisa diatasi oleh semua orang Kita memiliki ambang batas maksimal dan minimal untuk kecemasan (Gudykunst dalam Wiseman, 1995). Ambang batas maksimal adalah ketika kita merasa nyaman dengan orang asing, sedangkan ambang batas minimalnya adalah ketika kita peduli terhadap interaksi dengan orang asing. Ketika level kecemasan berada di atas ambang batas maksimal, kita akan memproses informasi dalam cara yang sederhana, seperti misalnya kita hanya menggunakan stereotip pribadi untuk menilai atau memprediksi perilaku orang lain. Sedangkan jika level kecemasan berada di bawah ambang batas minimal, maka tidak aka nada adrenalin dalam system kita yang bisa mendorong kita untuk berkomunikasi dengan orang asing. 22 Mengelola kecemasan seringkali diasosiasikan seperti mengembangkan kepercayaan. Kepercayaan adalah ―confidence that will find what is desired form another rather than what is feared” (Deutsch dalam Wiseman 1995). Ketika kita percaya pada orang lain, kita mengharapkan hasil yang positif dari interaksi kita dengan mereka. Akan tetapi jika kita memiliki kecemasan tentang berinteraksi dengan orang lain, kita menjadi khawatir akan hasil yang negatif dari interaksi kita dengan mereka. Maka, kecemasan adalah sebuah proses dialektik yang menyertakan kekhawatiran dan kepercayaan. 2) Uncertainty (Ketidakpastian) Ketidakpastian adalah sebuah fenomena kognitif yang berdampak pada cara kita berpikir tentang orang asing. Terdapat dua tipe ketidakpastian, yaitu ketidakpastian prediktif yang merupakan ketidakpastian yang kita miliki dalam memprediksi, dan ketidakpastian keterangan yang merupakan ketidakpastian yang kita miliki dalam menjelaskan keyakinan, sikap, dan perasaan orang asing. Ketidakpastian juga dibedakan antara ketidakpastian kognitif dan ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif terkait dengan pengetahuan yang kita punya tentang orang asing, sementara ketidakpastian perilaku terkait dengan tingkat di mana secara relatif kita yakin tentang bagaimana orang asing tersebut akan bersikap atau dapat memprediksi hal tersebut. Komunikasi yang efektif menuntut ketidakpastian kita berada di antara ambang batas minimal dan maksimal. Ketika tingkat ketidakpastian kita berada di antara ambang batas minimal dan maksimal, kita memiliki 23 keyakinan yang cukup pada kemampuan kita untuk memprediksi pemikiran, perasaan, dan perilaku orang lain di mana kita bisa merasa nyaman tetapi juga tidak menjadi overconfident. b) Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory: 1) Konsep diri dan diri. Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan. 2) Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing. Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika kita berinteraksi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kecemasan. 3) Reaksi terhadap orang asing. Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi yang kompleks tentang orang asing akan menghasilkan sebuah peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku mereka. Peningkatan kemampuan kita untuk mentoleransi ketika berinteraksi dengan orang asing, akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola kecemasan dan dalam memprediksi perilaku orang asing secara akurat. 4) Kategori sosial dari orang asing. Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola 24 kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat dengan kelompok. Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka. Maka, jika apa yang kita persepsikan mengenai orang asing tersebut ternyata sama dengan apa yang sebenarnya tampak, hal tersebut akan meningkatkan kemampuan kita dalam mengelola kecemasan dan membuat kita semakin percaya diri dalam menghadapi orang asing. 5) Proses situasional. Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap perilaku mereka. 6) Koneksi dengan orang asing. Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka. Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan 25 peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang lain. Gudykunstt dan Kim (1984) dalam Liliweri (2007: 19-20) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yaitu: a) Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun non verbal. Dalam artian sebuah pertanyaan apakah komunikan suka berkomunikasi atau malah sebaliknya menghindari komunikasi, b) Initial contact and impression, yakni sebuah tanggapan lanjutan atas kesan yang ditimbulkan atau muncul dari kontak pertama tersebut. c) Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup, melalui atribusi dan pengembangan kepribadian. Teori atribusi sendiri menganjurkan agar kita lebih mengerti dan memahami perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dari dia (lawan bicara). Jika seseorang menampilkan tindakan yang positif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya, jika seorang itu menampilkan tindakan yang negatif, maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula. 26 3. Kejutan Budaya Kejutan budaya seperti yang dikutip dari Samovar, dkk (2010: 475), merupakan keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika Anda pergi dari lingkungan yang Anda kenal ke lingkungan yang tidak Anda kenal dan menemukan bahwa pola perilaku Anda yang dulu tidak efektif. Kejutan budaya biasanya dilalui seseorang melalui empat tahap. Keempat tahapan tersebut dapat dilihat dalam kurva-U yang dikemukakan oleh Sveree Lysgaard. Gambar 1.1 Kurva-U Lysgaard Tahapan-tahapan kejutan budaya tersebut adalah: a. Fase kegembiraan atau fase honeymoon, dimana dalam fase ini penuh dengan rasa gembira, gairah, harapan dan euforia seperti yang telah diantisipasi seseorang ketika berhadapam dengan budaya baru. b. Fase kekecewaan atau fase culture shock, dimana pada fase ini seseorang mulai menyadari kenyataan yang berbeda dari lingkungannya sekarang dengan lingkungannya sebelumnya. Beberapa masalah mulai terjadi 27 disini, seperti misalnya kesulitan beradaptasi dan juga masalah komunikasi. c. Fase penyembuhan, dimana pada fase ini seseorang mulai paham akan beberapa hal yang ia dapat dari budaya yang baru. Disini ia mampu memprediksi apa yang akan terjadi dan tingkat stress-nya mulai menurun. d. Fase penyesuaian, dimana pada fase terakhir ini seseorang mulai mengerti elemen kunci akan budayanya yang baru. Ryan dan Twibell dalam bukunya Samovar dkk (2014: 477-478) mengatakan, pada tahap ini orang kemudian merasa nyaman dalam budayanya yang baru dan mampu bekerja dengan baik. 4. Peningkatan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Pembahasan tentang komunikasi antarbudaya juga berhubungan dengan kemampuan atau kompetensi para peserta komunikasi antarbudaya. Seseorang harus siap dalam menghadapi tantangan akan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya dengan lawan komunikasinya. Memahami budaya lain memang tidak mudah dan pastilah membutuhkan kompetensi komunikasi dalam prosesnya. Kompetensi komunikasi ini diperlukan seseorang untuk menjadi komunikator antarbudaya yang berkualitas. Peneliti mendefinisikan konsep kompetensi antarbudaya ini dengan berbedabeda. Beberapa konsep termasuk dengan penyesuaian perbedaan budaya, adaptasi perbedaan budaya, pemahaman antarbudaya, penyesuaian pribadi, keefektifan 28 antarbudaya, kepuasan dengan pengalaman di luar negeri, dan kompetensi interaksi yang melibatkan pengetahuan. Kompetensi komunikasi antarbudaya adalah kemampuan seseorang untuk secara pantas dan efektif mengeksekusi perilaku komunikasi yang dapat menegosiasikan identitas kebudayaan masing-masing atau identitas dalam sebuah lingkungan yang berbeda budaya (Lin, 2012: 20). Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah ―perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu.‖ Sedangkan Kim memberikan definisi yang lebih detail ketika ia menuliskan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya merupakan ―kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari komunikasi antarbudaya: yakni perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur inter-group, dan pengalaman stress‖ (Samovar, dkk, 2014: 460). a) Komponen dalam kompetensi komunikasi antarbudaya Menurut Samovar, dkk (2014:460), terdapat lima komponen kompetensi komunikasi antarbudaya yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain. Kelima komponen tersebut adalah: 1) Motivasi untuk berkomunikasi, di mana komunikator memiliki keinginan pribadi untuk menunjukkan meningkatkan ketertarikannya kemampuan untuk komunikasinya berhubungan dengan orang-orang yang berbeda budaya. dan dan ia berinteraksi 29 2) Pengetahuan, di mana komunikator menyadari dan memahami peraturan, norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan dengannya. 3) Kemampuan, di mana dalam komunikasi antarbudaya seorang komunikator harus memiliki kemampuan untuk mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan komunikasi dari orang yang berbeda budaya dengannya. 4) Sensitivitas, di mana komunikator dan komunikan harus memiliki interaksi yang sensitif satu sama lain dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam interaksi tersebut. Sensitivitas ini meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain, sehingga menimbulkan sikap toleransi terhadap yang lainnya. 5) Karakter, di mana karakter seseorang akan menentukan bagaimana orang lain akan menilai dan memperlakukannya. Karakter juga terkait dengan sifat, di mana sifat-sifat terutama yang baik dari seorang komunikator diperlukan dalam membentuk sebuah komunikasi yang baik, terutama dengan komunikan yang berbeda budaya dengannya. b) Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Antarbudaya Teori yang dikemukakan oleh Samovar, dkk (2010, 463-465) ini menyatakan, dalam meningkatkan kompetensi komunikasi antarbudaya, seseorang tidak hanya harus memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi juga juga harus memperhatikan orang lain yang menjadi lawan komunikasinya. 30 1) Diri sendiri Mengenal diri sendiri dan prasangka yang dimiliki oleh diri sendiri merupakan elemen yang penting dalam menjadi komunikator komunikasi yang kompeten. darimana Supaya dapat merefleksikan diri dan mengetahui asalnya, seorang komunikator harus belajar untuk, (1) mengetahui budayanya, karena dari situlah sebenarnya karakter, sifat, pengetahuan, dan wawasannya berasal, (2) mengamati perilaku pribadinya, yang mana perilaku pribadi, stereotip, dan juga prasangka yang dimilikinya akan memengaruhi responnya terhadap hal lain yang mungkin berbeda dengan budayanya,(3) memahami gaya komunikasinya, karena gaya komunikasi ini akan menentukan bagaimana cara orang lain akan berinteraksi dengannya, (4) memonitor dirinya sendiri, sehingga ia bisa menemukan perilaku yang pantas di setiap situasi, menciptakan kesan yang baik dan memodifikasi perilakunya kita berpindah dari satu situasi ke situasi lainnya. 2) Orang lain Memperhatikan orang lain atau lawan komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi seorang komunikator, karena ia tidak bisa memaksakan orang lain untuk bertindak sesuai dengan keinginannya, maka ia harus mengerti orang lain dengan cara (1) berempati, karena empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi komunikasi antarbudaya dan merupakan karakter utama dari komunikasi antar budaya, di mana empati merupakan cara untuk mencoba untuk 31 memposisikan diri menjadi posisi orang lain yang menjadi lawan komunikasi, (2) mendengarkan dengan efektif, karena dengan begitu orang yang menjadi lawan bicara kita akan merasa lebih dihargai dan juga kita dapat pengetahuan yang lebih sehingga bisa lebih mengerti lagi tentang orang-orang yang menjadi lawan interaksi kita tersebut, (3) melakukan komunikasi non-verbal, di mana hal ini bisa menjadi pendukung ketika kita mendengarkan dengan efektif, dan komunikasi non-verbal ini seringkali bisa membantu proses komunikasi kita dengan orang yang berbeda budaya dengan kita, (4) berikan umpan balik, karena umpan balik ini menjadikan komunikasi kita lebih interaktif. Umpan balik mampu menjadi indikator untuk melihat bagaimana komunikasi itu terjadi, dan juga bisa menjadi acuan untuk menyesuaikan komunikasi selanjutnya, dan yang terakhir adalah (5) mengembangkan fleksibilitas komunikasi, di mana seseorang harus mampu memilih strategi yang sesuai untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan mengenai orang lain supaya dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berbeda budaya dengannya. Komponen yang jelas dari fleksibilitas adalah bertoleransi terhadap ambiguitas, di mana hal ini dapa dilakukan dengan cara tidak bersifat menilai, sabar, mengharapkan yang tidak diharapkan, dan adaptif. 32 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Penelitian kualitatif juga sering dinamakan dengan metode penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan secara alamiah. Metode kualitatif digunakan untuk meneliti kondisi objek yang alamiah, di mana peneliti merupakan instrumen kunci dan teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data kualitatif bersifat induktif dan hasil penelitian lebih kepada penekanan makna (Afifudin & Saebani, 2012: 57). Menurut Deddy Mulyana (2013: 201), penelitian studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti dengan berbagai metode. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seseorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, peneliti bertujuan untuk memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk menguraikan serta memberikan ilustrasi tentang bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana para 33 peserta tersebut mampu berkomunikasi dengan baik walaupun komunikasi tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berbeda budaya. 2. Objek Penelitian dan Unit Analisis Dalam penelitian ini objek yang menjadi penelitian adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC UNS dalam menciptakan komunikasi antarbudaya yang efektif. Hal tersebut menjadi menarik kualitatif yang untuk akan diteliti dengan menggunakan desain deskriptif meneliti bagaimana atau apa upaya-upaya yang dilakukan untuk bisa menciptakan sebuah komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif di antara para peserta program Global Citizen AIESEC yang datang dari berbagai negara dengan latar belakang budaya yang berbedabeda. 3. Sumber Data a. Data Primer Sumber data primer diperoleh secara langsung melalui observasi dan wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah 11 peserta program Global Citizen AIESEC sebagai subjek yang diteliti. Peserta program Global Citizen secara pribadi dipilih karena mewakili keenam wilayah yang menjadi bagian dari growth networks AIESEC International, dan karena hubungan yang terjadi dalam program ini bersifat pribadi. Sehingga membutuhkan wawancara dan pengamatan secara personal untuk melihat secara langsung realitas yang terjadi dan berkembang pada saat ini 34 baik pada saat berlangsungnya program Global Citizen tersebut maupun kelanjutan hubungan yang terjadi setelah program berakhir. b. Data Sekunder Sumber data sekunder diperoleh dari buku referensi, surat kabar, blog, data-data dari jurnal atau penelitian sebelumnya juga dokumen-dokumen yang terkait dengan komunikasi antarbudaya maupun AIESEC dan program Global Citizen itu sendiri. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan hal yang penting dalam sebuah penelitian karena menyangkut bagaimana cara yang digunakan untuk memperoleh data tersebut. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah: a. Studi Dokumen Studi dokumen digunakan untuk memperoleh sebanyak mungkin dasar- dasar teori yang dapat mendukung informasi yang diperlukan sehingga pengolahan data yang dikumpulkan dapat menjelaskan gejala-gejala yang terjadi. Studi dokumen bertujuan untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang bersifat tertulis. b. Wawancara Menurut Silalahi (2012: 312), wawancara merupakan suatu metode pengumpulan data atau keterangan lisan melalui seseorang yang disebut dengan responden melalui suatu percakapan. 35 Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara (interview guide) yang dibuat berkaitan dengan apa yang dijadikan kajian dalam penelitian. Selain itu dilakukan pendokumentasian baik berupa catatan, rekaman, maupun audiovisual dari percakapan, pertemuan yang dianggap unik dan penting. Dalam penelitian ini, sumber yang akan diwawancarai adalah para peserta program Global Citizen AIESEC yang mengikuti program ini di LC AUC Kairo, Mesir, pada tahun 2014. Dalam wawancara yang dilakukan, peneliti berusaha untuk mengetahui dan memahami bagaimana informan berhubungan dengan peserta program Global Citizen AIESEC yang memiliki latar belakang budaya berbeda dengannya. 5. Analisis Data Analisis data merupakan salah satu proses untuk mengatur data yang sudah didapat. mengorganisasi, Analisis data adalah mengkategori dan proses satuan uraian mengatur urutan data, dasar. Analisis data merupakan aktivitas pengorganisasian data (Afifudin & Saebani, 2012: 145). Pengorganisasian dan pengumpulan data tersebut bertujuan untuk menemukan tema dan konsepsi kerja yang akan diangkat menjadi teori subtantif. Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data yang sudah didapat agar mudah dimengerti dan diinterpretasikan. Analisis data kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Proses 36 ini disebut proses siklus dan interaktif pada saat, sebelum, dan sesudah pengumpulan data (Silalahi, 2012: 339-340). Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui wawancara yang dilakukan dengan para informan yang merupakan para peserta program Global Citizen AIESEC. Kemudian, data yang telah diperoleh dari para informan tersebut diproses dengan cara mereduksi data, yaitu dengan memilih dan menyederhanakan, serta mentransformasi data yang diperoleh ke dalam suatu bentuk tulisan. Kemudian, data tersebut disajikan dengan cara menyusun data yang sudah diubah menjadi tulisan sesuai dengan kategori yang sudah dibuat sebelumnya sehingga membentuk sebuah alur. Yang terakhir, dilakukan tahap penarikan kesimpulan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang dilakukan, yaitu tentang bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana komunikasi di antara mereka bisa berjalan dengan baik. H. Kerangka Berpikir Latar belakang budaya seseorang tentunya sangat mempengaruhi bagaimana cara orang tersebut berinteraksi. Dalam sebuah komunikasi antarbudaya, tentunya masing-masing partisipan membawa kebudayaannya masing-masing ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengannya. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah mengenai komunikasi yang terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC dan bagaimana komunikasi tersebut bisa berlangsung dengan baik dan efektif. Dengan budaya- 37 budaya yang berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing peserta, mereka ternyata tetap bisa melakukan komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif. Gambar 1.2 Kerangka Berpikir