bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Salah satu yang menjadi bagian dari kebutuhan manusia sebagai makhluk
sosial tentunya
sangat
berkaitan
dengan
komunikasi dalam kehidupannya.
Komunikasi merupakan suatu hal yang esensial bagi kehidupan manusia.
Komunikasi ini dibutuhkan untuk mengekspresikan keinginan, dan tujuan yang
ada dalam pikirannya. Hal tersebut kemudian akan disampaikan kepada orang lain
yang ia rasa terkait dengan keingin maupun tujuan yang ia pikirkan.
Komunikasi adalah alat di mana hubungan kemanusiaan berlangsung. Ia
adalah arus yang telah mengalir sepanjang sejarah manusia,
memperluas
wawasan
seseorang
dengan jalur-jalur informasinya.
yang selalu
Informasi-
informasi ini merupakan sebuah hasil proses komunikasi yang dilakukan oleh para
manusia itu sendiri.
Perilaku komunikasi merupakan sebuah ‗paket‘ yang di dalamnya melibatkan
pesan-pesan verbal, gerak tubuh (gestures), atau kombinasi dari keduanya (verbal
2
dan nonverbal). Biasanya, perilaku verbal dan nonverbal menguatkan atau
mendukung satu sama lain. Salah satu hal yang mempengaruhi dan termasuk
dalam ‗paket‘ perilaku komunikasi ini adalah kebudayaan. Budaya merupakan
sebuah
pesan
nonverbal
yang
terdapat
dalam sebuah
komunikasi yang
berpengaruh dalam proses komunikasi itu sendiri.
Budaya sendiri berasal dari bahasa sansakerta, yang berarti akal budi, atau
budi daya yang berarti cipta, karsa, dan rasa. Dalam bahasa inggris, budaya
disebut dengan culture yang berakar dari bahasa latin colere yang berarti
mengolah, mengerjakan.
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,
merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Apa
yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana mereka
hidup dan berkomunikasi, merupakan respons-respons terhadap dan fungsi-fungsi
dari budaya mereka.
Kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia karena setiap orang akan
menampilkan
kebudayaannya
dalam
segala
tindakan
yang
ia
lakukan.
Kebudayaan menjadi sebuah karakteristik dalam suatu kelompok dan dalam diri
anggota-anggota kelompok tersebut.
Dalam banyak hal, hubungan antar budaya dan komunikasi bersifat timbal
balik. Keduanya saling mempengaruhi. Budaya takkan hidup tanpa komunikasi,
begitupun sebaliknya,
komunikasi pun takkan hidup tanpa budaya. Masing-
masing takkan berubah tanpa menyebabkan perubahan pada yang lainnya.
3
Komunikasi dan kebudayaan merupakan dua konsep yang tidak dapat
dipisahkan. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan oleh karena budaya
tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana
orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan, dan menafsirkan pesan.
Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya
tempat kita dibesarkan. Budaya merupakan landasan komunikasi, di mana bila
budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.
Konsekuensinya, perbendaharaan-perbendaharaan yang dimiliki orang-orang yang
berbeda budaya akan berbeda pula, hal ini dapat menimbulkan berbagai macam
kesulitan.
Dewasa ini, peradaban manusia telah berkembang demikian kompleksnya.
Perkembangan dunia saat ini semakin menuju pada sesuatu yang global, di mana
sudah tidak ada batasan bagi manusia dalam berinteraksi. Manusia selain sebagai
makhluk sosial yang hidup berkelompok dan berkomunikasi dengan sesamanya,
juga sebagai individu-individu dengan latar belakang budaya yang berlainan.
Mereka saling bertemu dan berinteraksi, baik secara tatap muka maupun melalui
media komunikasi sehingga menimbulkan apa yang disebut dengan komunikasi
antarbudaya. Dengan perkembangan dunia pada masa kini yang sudah bergerak
menjadi sesuatu yang global, hal ini menimbulkan anggapan bahwa sekarang ini
komunikasi antarbudaya semakin penting dan semakin vital ketimbang di masamasa sebelum ini.
Dalam komunikasi antar budaya, kesalahan dalam persepsi sosial menjadi
masalah
utama
yang
disebabkan
oleh
perbedaan-perbedaan budaya yang
4
mempengaruhi proses persepsi. Pemberian makna kepada pesan dalam banyak hal
dipengaruhi oleh budaya penyandi balik pesan. Akibatnya kesalahan-kesalahan
dalam makna mungkin saja terjadi tanpa dimaksudkan oleh pelaku-pelaku
komunikasi. Kesalahan-kesalahan ini diakibatkan oleh orang-orang yang berlatar
belakang berbeda dan tidak dapat memahami satu sama lainnya dengan akurat.
Kegagalan dalam proses komunikasi antar budaya ini yang seringkali menjadi
penyebab utama dalam gagalnya membangun hubungan antar budaya. Orang
seringkali menjadi memiliki perasangka terhadap kebudayaan lain. Hingga pada
akhirnya, hubungan antar budaya ini menjadi sulit untuk dibangun.
Dalam teorinya, komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang dengan latar
belakang dan perspektif yang berbeda (heterophily) memang akan jauh sulit untuk
dilakukan dibandingkan dengan komunikasi yang dilakukan oleh orang-orang
dengan latar belakang dan perspektif yang sama (homophily). Hal ini diakibatkan
oleh
adanya
komunikasi,
hambatan-hambatan
yang
menghalangi
terjadinya
kelancaran
seperti misalnya hambatan sosiokultural yaitu keragaman etnik,
perbedaan norma sosial, dan kekurangmampuan dalam berbahasa.
Akan tetapi, ternyata pada praktiknya komunikasi yang dilakukan oleh orangorang dengan latar belakang yang berbeda (heterophily) bisa saja berjalan dengan
efektif.
Salah satu contoh tempat di mana komunikasi antarbudaya yang dilakukan
oleh orang-orang yang berbeda negara dan budaya berlangsung adalah dalam
sebuah
organisasi
kepemudaan
internasional
yang
bernama
Association
5
Internationale des Estudiants en Science Economiques et Commerciales
(selanjutnya disebut dengan AIESEC).
AIESEC
merupakan organisasi internasional non-pemerintah dan nirlaba
yang memberikan pengalaman dan kesempatan bagi orang-orang muda dalam
pengembangan kepemimpinan, program magang dan pertukaran relawan lintas
budaya global di seluruh dunia, dengan fokus untuk memberdayakan orang-orang
muda sehingga mereka dapat membuat dampak positif pada masyarakat .
Saat ini organisasi ini terus tumbuh dan berkembang hingga mencakup ke
hampir seluruh wilayah di dunia. Hingga pada tahun 2015, AIESEC telah sejak
diperluas ke 133 negara dan teritori di seluruh dunia. AIESEC setiap tahunnya
menawarkan lebih dari 27.500 posisi kepemimpinan dan memberikan lebih dari
500 konferensi kepemimpinan untuk keanggotaannya yang terdisi lebih dari
100.000 mahasiswa, dan hadir di lebih dari 2.400 perguruan tinggi di negaranegara anggota 125 dan wilayah di seluruh dunia dan program pertukaran
internasional yang memungkinkan lebih 27.500 mahasiswa dan lulusan baru
kesempatan untuk bekerja atau menjadi relawan di negara lain.
Salah satu program utama AIESEC adalah Global Citizen. Program Global
Citizen ini adalah program pertukaran anggota antar negara anggota AIESEC
untuk bekerja secara sukarela atau menjadi relawan dalam rangka membantu
pengembangan komunitas global di seluruh dunia.
Para peserta program ini biasanya akan bekerja dalam waktu tertentu dan
terlibat dalam proyek-proyek yang terkait dengan pengembangan komunitas yang
6
memberi dampak positif bagi masyarakat sekitar, seperti misalnya pengajaran,
mempromosikan kesadaran HIV / AIDS, bekerja di bidang hak asasi manusia,
kelestarian lingkungan, pengembangan kepemimpinan, promosi pariwisata dan
banyak lagi.
Pada program ini, seorang anggota AIESEC dari suatu negara akan bekerja
atau menjadi sukarelawan ke negara lain, dengan durasi waktu minimal selama 6
minggu. Dengan banyaknya jumlah orang yang tergabung dengan program ini,
maka hal itu memungkinkan ia untuk bertemu dan bekerja sama secara tim
dengan orang dari negara lain, dan tentunya berbaur dengan warga lokal sebagai
tuan rumah dari tempat-tempat yang mereka kunjungi.
Seperti misalnya, contohnya, seorang mahasiswa anggota AIESEC dari UNS,
Indonesia, bergabung dengan program Global Citizen ini sebagai peserta, dan
kemudian pergi ke negara Mesir untuk bekerja secara sukarela. Di Mesir, ia
kemudian ternyata dipertemukan dengan peserta-peserta lain yang berasal dari
beberapa negara lain di dunia, seperti misalnya, dari India, Cina, dan Rusia.
Kemudian tim mereka bertemu dengan tim lainnya, yang juga terdiri dari orangorang dari beberapa negara. Selain dari bekerja sama dalam sebuah tim dengan
orang-orang dari negara lain, tentunya ia juga harus berbaur dengan warga lokal
untuk
memenuhi kebutuhannya.
Hal tersebut tentunya sangat membutuhkan
komunikasi antar budaya, karena mereka pasti perlu untuk berkomunikasi untuk
maksud dan tujuan apapun.
7
Dalam kasus program Global Citizen AIESEC ini, komunikasi antarbudaya
mutlak terjadi, namun akan sangat mungkin untuk sulit dilakukan, karena
seseorang dengan satu latar belakang budaya tidak hanya harus bertemu dan
berinteraksi dengan seseorang dengan latar belakang budaya yang berbeda
dengannya, akan tetapi harus berinteraksi dengan banyak orang dengan banyak
latar belakang budaya, dan harus menetap dan beradaptasi serta berinteraksi
dengan orang-orang lokal di tempatnya tinggal selama menjadi peserta program
tersebut.
Akan tetapi yang terjadi pada para peserta program Global Citizen AIESEC
ini adalah mereka mampu untuk membangun sebuah komunikasi yang efektif. Hal
ini dibuktikan dengan mampunya para peserta program ini untuk membangun
hubungan antar para peserta dengan baik, bahkan hingga mereka berpisah dan
kembali ke negara asal mereka masing-masing.
Sebuah hubungan interpersonal yang baik bisa jadi merupakan sebuah tolak
ukur akan sebuah komunikasi yang efektif. Menurut Deddy Mulyana (2014: 117),
komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan
para
pesertanya
(orang-orang
yang
sedang berkomunikasi).
Harapan dari
hubungan komunikasi antarbudaya yang dijalin oleh para peserta program Global
Citizen AIESEC ini adalah berkembangnya kemampuan mereka dalam kecepatan
adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan dan budaya baru di tempat mereka
melakukan program tersebut, serta pemaknaan dan kesadaran tentang kebutuhan
untuk berinteraksi, belajar, dan bertahan hidup di lingkungan yang baru dan
dengan orang-orang yang baru pula yang berbeda dengannya.
8
Hubungan interpersonal atau antar pribadi yang baik tentunya didasari oleh
komunikasi yang baik pula. Proses komunikasi merupakan hal yang sangat
penting untuk dijalani oleh para peserta program Global Citizen AIESEC selama
mereka melaksanakan program tersebut. Dalam kajian komunikasi antarbudaya,
proses
komunikasi
salah
satunya
bertujuan
untuk
mengurangi
tingkat
ketidakpastian.
Pengurangan ketidakpastian yang terjadi di antara para mahasiswa asing
terjadi ketika mereka mulai melakukan komunikasi interpersonal dengan cara
membuka diri untuk berkenalan dengan orang lain, baik sesama peserta program
Global Citizen AIESEC, para panitia tuan rumah pelaksana program, maupun
dengan masyarakat lokal di tempat mereka melakukan kegiatan program tersebut.
Proses komunikasi serta interaksi ini yang akan membuka informasi dan
memungkinkan terjadinya perkembangan hubungan di antara mereka.
Perkembangan
hubungan
ini biasanya
ditentukan
oleh
setiap
tahapan
komunikasi atau interaksi yang dilakukan oleh para peserta komunikasi antar
budaya.
Interaksi awal yang terjadi dan berlaku di seluruh dunia adalah sapaan
dan kalimat pertanyaan yang diajukan untuk memulai sebuah percakapan yang
lebih jauh. Interaksi awal ini menentukan tahapan interaksi berikutnya, dan begitu
juga tahapan selanjutnya sehingga memunculkan hubungan yang lebih jauh dan
lebih dalam di antara para peserta komunikasi antarbudaya.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, hubungan interpersonal yang baik
tentunya ditentukan oleh efektivitas komunikasi yang dilakukan oleh para pelaku
9
komunikasi. Maka, hubungan baik yang terbentuk pada para peserta program
Global Citizen AIESEC ini juga dipengaruhi oleh komunikasi yang efektif yang
dilakukan oleh para pesertanya.
Maka berdasarkan hal tersebutlah penelitian ini diselenggarakan. Peneliti
ingin melihat bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi diantara para peserta
program Global Citizen AIESEC, yang notabene berasal dari negara dan latar
belakang budaya yang berbeda-beda (heterophily), dan bagaimana mereka
membentuk sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif.
Peneliti membatasi bahasan tentang bagaimana komunikasi antarbudaya
terjadi diantara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana
menciptakan sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif di antara mereka,
dengan memperhatikan dengan cermat mengenai teknik pengumpulan data,
penentuan populasi dan sampel, serta teknik penelitian agar diperoleh data yang
valid dan akurat, serta menuju sempurna.
Peneliti juga memberi batasan terhadap informan yang akan diteliti, yakni
pengambilan populasi dan sampel para returnee atau orang yang sudah pernah
melakukan program Global Citizen AIESEC dalam kurun waktu dua tahun,
karena dalam kurun waktu ini ternyata hubungan baik antar para peserta masih
terjalin dengan baik walaupun mereka sudah tidak berkumpul dalam suatu area
yang sama dan terpisah oleh jarak dan waktu, serta interaksi yang dilakukan pun
hanya berupa viral.
10
B. Rumusan Masalah
Fenomena komunikasi antarbudaya yang terjadi pada sekumpulan orang-orang yang
berbeda negara dan dengan latar belakang budaya yang berbeda-beda memang menarik
untuk diteliti. Akan tetapi diperl ukan adanya titik berat penelitian yang berupa
rumusan masalah yang berguna untuk memfokuskan kegiatan penelitian, sehingga
akan didapatkan data valid yang sesuai dengan topik penelitian ini, yaitu upayaupaya yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC untuk
menciptakan
sebuah komunikasi antarbudaya yang efektif di antara para
pesertanya. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka
Peneliti mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana komunikasi antarbudaya yang terjadi di antara para peserta program
Global Citizen AIESEC yang datang dari negara dan latar belakang budaya
yang berbeda?
2.
Bagaimana komunikasi antarbudaya di antara para peserta program Global
Citizen AIESEC yang datang dari negara dan latar belakang budaya yang
berbeda tersebut bisa berlangsung dengan efektif?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana
komunikasi antarbudaya terjadi di antara para peserta program Global Citizen
AIESEC, yang hadir dari berbagai negara dan dengan berbagai macam latar
belakang
budaya
yang
berbeda,
dan
bagaimana
mereka
mampu
untuk
menciptakan komunikasi antarbudaya yang efektif ketika berhubungan dan
11
berinteraksi dengan orang-orang dari negara lain dan dengan latar belakang
budaya yang berbeda dengan dirinya.
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi kajian tentang hubungan
interpersonal dalam sebuah komunikasi antar budaya yang terjadi pada
organisasi kepemudaan internasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat berguna untuk pengembangan ilmu komunikasi dalam sudut pandang
mengenai hubungan interpersonal yang terjadi dalam komunitas antar budaya.
2.
Manfaat Praktis
a) Untuk Akademik
Untuk memberikan wacana pemikiran bagi pembaca yang tertarik
mengetahui lebih lanjut tentang analisa komunikasi antar budaya efektif
yang terjadi pada sebuah organisasi kepemudaan global internasional.
Selain itu juga bisa memberi kontribusi dan perbandingan bagi penelitian
selanjutnya yang membahas masalah yang sama.
b) Untuk Peserta Program Global Citizen AIESEC
Penelitian
ini
berguna
untuk
menjadi
gambaran
bagaimana
komunikasi antarbudaya diantara para peserta program tersebut terjadi,
sehingga bisa digunakan sebagai pedoman akan hal apa yang harus
mereka lakukan dan yang harus mereka hindari selama melakukan
komunikasi antarbudaya.
12
E. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah kumpulan-kumpulan teori yang ditulis oleh peneliti
untuk menjelaskan hubungan antara gejala yang menjadi perhatian (Silalahi,
2012: 84). Kerangka teori digunakan untuk merumuskan hipotesis untuk melihat
kebenaran atau ketidakbenaran, serta juga dapat melihat dan menjelaskan
hubungan antar fenomena atau kejadian. Kerangka teori sendiri terdiri dari
kumpulan teori yang berarti satu set atau seperangkat konstruk (variabel) yang
saling berhubungan definisi, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan
sistematis tentang fenomena dengan memerinci hubungan-hubungan di antara
variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala itu.
Penjelasan mengenai sebuah fenomena komunikasi dapat diperoleh dari
asumsi dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli komunikasi. Dalam
melakukan sebuah penelitian untuk membuktikan sebuah hipotesis, teori-teori
yang relevan sangat diperlukan dalam tahap analisisnya.
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui
dan
memahami bagaimana
komunikasi antarbudaya yang terjadi di antara para peserta program Global
Citizen AIESEC yang berbeda budaya, dan bagaimana mereka bisa melakukan
komunikasi antarbudaya yang efektif sehingga mampu menumbuhkan hubungan
yang baik di antara para pesertanya yang berasal dari negara dan latar belakang
budaya yang berbeda.
Teori-teori yang relevan digunakan untuk mengetahui dan memahami pola
interaksi komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh para peserta program
Global Citizen AIESEC dan bagaimana mereka bisa melakukan komunikasi
13
antarbudaya
dengan
efektif meliputi Komunikasi Antarbudaya,
Tahap-tahap
Kejutan Budaya, Teori Pengelolaan Kecemasan/Ketidakpastian, dan Peningkatan
Kompetensi Komunikasi Antarbudaya.
1.
Komunikasi Antar Budaya
Kata komunikasi atau communication dalam Bahasa Inggris berasal dari kata
Latin
communis
yang berarti ―sama‖,
communico,
communication,
atau
communicare yang berarti membuat sama (to make common). Komunikasi
menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan dianut secara
sama.
Menurut Laswell, cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah
dengan kalimat who says what in which channel to whom with what effect? (Siapa
mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?)
(Wiryanto, 2008: 6-7)
Komunikasi menurut Shannon dan Weaver adalah bentuk interaksi manusia
yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja, dan tidak
terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka,
lukisan, seni dan teknologi (Wiryanto, 2008: 6).
Menurut Deddy Mulyana (2014: 117), komunikasi yang efektif adalah
komunikasi yang hasilnya sesuai dengan harapan para pesertanya (orang-orang
yang sedang berkomunikasi).
Komunikasi juga dapat berarti adanya kesamaan makna antara komunikator
dan komunikan dengan tujuan mengubah sikap, opini atau pandangan/perilaku
orang lain tentang pesan yang disampaikan. Walaupun demikian tidak semua
14
pesan yang disampaikan itu sesuai dengan apa yang diharapkan dan bahkan ada
kesalahan
dalam penerimaan
pesan
tersebut,
untuk
itu
diperlukan
suatu
komunikasi yang efektif.
Komunikasi menjadi efektif ketika komunikan menginterpretasikan pesan
yang sama atau relatif sama dengan pesan yang dikirimkan oleh komunikator.
Menurut Effendy (1992: 14) komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang
menimbulkan efek tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh si
penyampai. Efek yang ditimbulkan oleh komunikasi dapat diklarifikasikan pada :
a)
Efek Kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui,
dipahami, diperpsepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan
pikiran dan nalar/ratio. Dengan kata lain, pesan yang disampaikan
ditujukan kepada pikiran komunikasi.
b) Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang
berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator
bukan saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.
c)
Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola–pola tindakan,
kegiatan kebiasaan atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik
untuk berprilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau
kegiatan yang bersifat fisik (jasmaniah).
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal
budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan,
pengalaman, kepercayaan,
nilai, sikap, makna, hirarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam
15
semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang
dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok
Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan, sebagaimana yang disebutkan
Edward T. Hall (1959) bahwa kebudayaan adalah komunikasi dan komunikasi
adalah kebudayaan (Liliweri, 2009: 90) oleh karena budaya tidak hanya
menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa, dan bagaimana orang
menyandi pesan, makna apa yang ia miliki untuk pesan, dan kondisi-kondisinya
untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan.
Komunikasi antarbudaya sendiri dapat dipahami sebagai pernyataan diri antar
pribadi yang paling efektif antara dua orang yang saling berbeda latar belakang
budaya (Liliweri,
2004: 9).
Komunikasi antarbudaya adalah suatu proses
komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, dan kontekstual yang dilakukan
oleh sejumlah orang—yang karena memiliki perbedaan derajat kepentingan
tertentu—memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang
disampaikan dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan
(Lustig & Koester, dalam Liliweri, 2007: 11).
Dalam hal kaitannya dengan komunikasi antarbudaya, semakin besar derajat
perbedaan antarbudaya, maka akan semakin besar pula kemungkinan kehilangan
peluang untuk merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang
efektif. Hal ini disebabkan karena ketika berkomunikasi dengan seseorang dari
kebudayaan yang berbeda, maka dipastikan akan memiliki perbedaan pula dalam
sejumlah hal. Selain itu, dalam melakukan komunikasi antarbudaya, seringkali
ketidakpastian menjadi hal utama yang menghambat efektifitas komunikasi. Maka
16
dari itu komunikasi antarbudaya yang efektif adalah komunikasi yang mampu
diartikan atau diinterpretasikan dengan sama atau relatif sama dengan pesan yang
disampaikan oleh si pengirim pesan (komunikator).
a) Fungsi-fungsi Komunikasi Antarbudaya
Dalam Liliweri (2009: 34-44), disebutkan bahwa komunikasi antarbudaya
memiliki dua fungsi utama, yakni fungsi pribadi dan fungsi sosial. Fungsi pribadi
adalah fungsi-fungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi
yang bersumber dari seorang individu. Fungsi ini diperinci lagi ke dalam fungsifungsi yang terdiri dari:
1) Fungsi menyatakan identitas sosial, di mana melalui fungsi ini seseorang
dapat diketahui identitas diri maupun sosialnya, misalnya dapat diketahui
asal-usul suku bangsa, agama, maupun tingkat pendidikan.
2) Fungsi menyatakan integrasi sosial, di mana fungsi ini bertujuan untuk
memberikan makna yang sama atas pesan yang dibagi antara komunikator
dan komunikan,
dengan prinsip utamanya yakni saling menghormati
budaya satu sama lain, dan tidak memaksakan kehendaknya. Dengan
demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial
atas relasi mereka.
3) Fungsi
Menambah
Pengetahuan,
di
mana
seringkali
komunikasi
antarpribadi maupun antarbudaya menambah pengetahuan bersama, saling
mempelajari
komunikator.
kebudayaan
masing-masing
antara
komunikan
dan
17
4) Melepaskan Diri atau Jalan Keluar,
di mana kadang-kadang kita
berkomunikasi dengan orang lain untuk melepaskan diri atau mencari jalan
keluar atas masalah yang sedang kita hadapi. Pilihan komunikasi seperti
itu kita namakan komunikasi yang berfungsi menciptakan hubungan yang
komplementer dan hubungan yang simetris, yang saling mempengaruhi
satu sama lain.
Fungsi sosial dalam komunikasi antarbudaya meliputi:
1) Fungsi pengawasan, di mana dalam praktik komunikasi antarbudaya di
antara komunikator dan komunikan yang berbada kebudayaan berfungsi
saling mengawasi. Dalam setiap proses komunikasi antarbudaya fungsi ini
bermanfaat untuk menginformasikan ―perkembangan‖ tentang lingkungan
luar.
2) Fungsi menjembatani, di mana dalam proses komunikasi antarbudaya,
maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda
budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi
menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka
pertukarkan,
keduanya
saling
menjelaskan
perbedaan
tafsir
atau
pemahaman atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.
3) Fungsi sosialisasi nilai, di mana ini merupakan fungsi untuk mengajarkan
dan
memperkenalkan
masyarakat lain.
4) Fungsi menghibur.
nilai
nilai
kebudayaan
suatu
masyarakat
ke
18
b) Prinsip-prinsip Komunikasi Antarbudaya
Menurut DeVito dalam bukunya Komunikasi Antar Manusia (2003: 479488), prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya adalah:
1) Relativitas Bahasa
Karena
bahasa-bahasa
di dunia
sangat
berbeda-beda dalam hal
karakteristik semantik dan strukturnya, maka orang yang menggunakan
bahasa yang berbeda kemungkinan juga akan berbeda dalam cara mereka
memandang dan berpikir tentang dunia.
2) Bahasa Sebagai Cermin Budaya
Semakin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik
dalam
bahasa
perbedaan
maupun
antara
dalam isyarat-isyarat
budaya
(dan,
karenanya,
nonverbal.
makin
Makin
besar
besar
perbedaan
komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.
3) Mengurangi Ketidak-pastian
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam
ambiguitas
dalam komunikasi.
Banyak
dari komunikasi kita berusaha
mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan,
memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain.
4) Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya
Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri
(mindfulness)
para
partisipan
selama
komunikasi.
Ini
mempunyai
konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali
membuat kita lebih waspada, terutama dalam berbicara atau bersikap.
19
Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang
percaya diri.
5) Interaksi Awal dan Perbedaan Antarbudaya
Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara
berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih
akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan
salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi
komunikasi antarbudaya.
6) Memaksimalkan Hasil Interaksi
Dalam komunikasi antarbudaya – seperti dalam semua komunikasi – kita
berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh
Sunnafrank
mengisyaratkan
implikasi
yang
penting
bagi
komunikasi
antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang
mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi
antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian,
misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak
kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda.
Kedua, bila kita mendapatkan hasil yang positif, kita terus melibatkan
diri dan meningkatkan komunikasi kita. Bila kita memperoleh hasil negatif,
kita mulai menarik diri dan mengurangi komunikasi.
Ketiga, kita mebuat prediksi tentang mana perilaku kita yang akan
menghasilkan hasil positif. dalam komunikasi, anda mencoba memprediksi
hasil dari, misalnya, pilihan topik, posisisi yang anda ambil, perilaku
20
nonverbal yang anda tunjukkan, dan sebagainya. Anda kemudian melakukan
apa yang menurut anda akan memberikan hasil positif dan berusaha tidak
melakkan apa yang menurut anda akan memberikan hasil negatif.
2.
Anxiety/Uncertainty Management Theory (Teori Pengelolaan Kecemasan/
Ketidakpastian)
Teori yang dipublikasikan William Gudykunst dalam Littlejohn & Foss
(2009: 144-145) ini memfokuskan pada perbedaan budaya pada kelompok dan
orang asing. Ia berniat bahwa teorinya dapat digunakan pada segala situasi di
mana terdapat perbedaan di antara keraguan dan ketakutan.
Ia
menggunakan
istilah
meminimalisir ketidakmengertian.
komunikasi
efektif
kepada
proses-proses
Penulis lain menggunakan istilah accuracy,
fidelity, understanding untuk hal yang sama.
Seperti yang disadur dari Morrisan (2013: 203-210), disebutkan bahwa teori
ini berusaha untuk menjelaskan bagaimana seseorang yang asing dengan budaya
di sekitarnya dapat berkomunikasi secara efektif melalui manajemen mindful.
Komunikasi yang efektif ini mampu dicapai seseorang jika ia mampu mengatur
tingkat kecemasan dan ketidakpastiannya.
Gudykunst dalam bukunya mengutip Langer (1989)
yang menyebutkan
bahwa jika seseorang ingin menjadi mindful, maka ia harus menyadari bahwa
terdapat lebih dari satu pandangan yang dapat digunakan untuk memahami atau
menjelaskan bentuk interaksi dengan orang asing. Bahkan menurut Chang (2013),
mindful
adalah
antarbudaya.
Bisa
perhatian
utama
dikatakan
jika
untuk
mencapai kompetensi komunikasi
mindfulness
ini adalah faktor penentu
21
keberhasilan
atau
suksesnya
komunikasi antarbudaya yang dilakukan oleh
seseorang.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41396/4/Chapter%20II.pdf:
31,
diakses pada 20 April 2016 11:58)
Gudykunst meyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar
penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok. Hal ini menjadi
penting sebab ketidakpastian bersifat kognitif dan kecemasan bersifat afeksisuatu emosi, yang berpengaruh pada jalannya komunikasi.
a) Pengertian Anxiety dan Uncertainty (Kecemasan dan Ketidakpastian)
1) (Anxiety) Kecemasan
Kecemasan adalah afeksi (emosional) yang setara dengan ketidakpastian.
Wiseman
(1995)
mengatakan,
kecemasan
adalah
salah
satu
masalah
fundamental yang harus bisa diatasi oleh semua orang
Kita memiliki ambang batas maksimal dan minimal untuk kecemasan
(Gudykunst dalam Wiseman, 1995). Ambang batas maksimal adalah ketika
kita
merasa
nyaman
dengan
orang
asing,
sedangkan
ambang
batas
minimalnya adalah ketika kita peduli terhadap interaksi dengan orang asing.
Ketika level kecemasan berada di atas ambang batas maksimal, kita akan
memproses informasi dalam cara yang sederhana, seperti misalnya kita hanya
menggunakan stereotip pribadi untuk menilai atau memprediksi perilaku
orang lain. Sedangkan jika level kecemasan berada di bawah ambang batas
minimal, maka tidak aka nada adrenalin dalam system kita yang bisa
mendorong kita untuk berkomunikasi dengan orang asing.
22
Mengelola kecemasan seringkali diasosiasikan seperti mengembangkan
kepercayaan. Kepercayaan adalah ―confidence that will find what is desired
form another rather than what is feared” (Deutsch dalam Wiseman 1995).
Ketika kita percaya pada orang lain, kita mengharapkan hasil yang positif dari
interaksi kita dengan mereka. Akan tetapi jika kita memiliki kecemasan
tentang berinteraksi dengan orang lain, kita menjadi khawatir akan hasil yang
negatif dari interaksi kita dengan mereka. Maka, kecemasan adalah sebuah
proses dialektik yang menyertakan kekhawatiran dan kepercayaan.
2) Uncertainty (Ketidakpastian)
Ketidakpastian adalah sebuah fenomena kognitif yang berdampak pada
cara kita berpikir tentang orang asing. Terdapat dua tipe ketidakpastian, yaitu
ketidakpastian prediktif yang merupakan ketidakpastian yang kita miliki
dalam
memprediksi,
dan
ketidakpastian
keterangan
yang
merupakan
ketidakpastian yang kita miliki dalam menjelaskan keyakinan, sikap, dan
perasaan orang asing.
Ketidakpastian
juga
dibedakan
antara
ketidakpastian
kognitif dan
ketidakpastian perilaku. Ketidakpastian kognitif terkait dengan pengetahuan
yang kita punya tentang orang asing, sementara ketidakpastian perilaku
terkait dengan tingkat di mana secara relatif kita yakin tentang bagaimana
orang asing tersebut akan bersikap atau dapat memprediksi hal tersebut.
Komunikasi yang efektif menuntut ketidakpastian kita berada di antara
ambang batas minimal dan maksimal. Ketika tingkat ketidakpastian kita
berada di antara ambang batas minimal dan maksimal, kita memiliki
23
keyakinan yang cukup pada kemampuan kita untuk memprediksi pemikiran,
perasaan, dan perilaku orang lain di mana kita bisa merasa nyaman tetapi juga
tidak menjadi overconfident.
b) Konsep-konsep dasar Anxiety/Uncertainty Management Theory:
1) Konsep diri dan diri.
Meningkatnya harga diri ketika berinteraksi dengan orang asing akan
menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola kecemasan.
2) Motivasi untuk berinteraksi dengan orang asing.
Meningkatnya kebutuhan diri untuk masuk di dalam kelompok ketika
kita
berinteraksi
dengan
orang
asing
akan
menghasilkan
sebuah
peningkatan kecemasan.
3) Reaksi terhadap orang asing.
Sebuah peningkatan dalam kemampuan kita untuk memproses informasi
yang
kompleks
tentang
orang
asing
akan
menghasilkan
sebuah
peningkatan kemampuan kita untuk memprediksi secara tepat perilaku
mereka.
Peningkatan kemampuan kita untuk mentoleransi ketika berinteraksi
dengan
orang
asing,
akan
meningkatkan
kemampuan
kita dalam
mengelola kecemasan dan dalam memprediksi perilaku orang asing
secara akurat.
4) Kategori sosial dari orang asing.
Sebuah peningkatan kesamaan personal yang kita persepsi antara diri kita
dan orang asing akan menghasilkan peningkatan kemampuan mengelola
24
kecemasan kita dan kemampuan memprediksi perilaku mereka secara
akurat. Pembatas kondisi: pemahaman perbedaan-perbedaan kelompok
kritis hanya ketika orang orang asing mengidentifikasikan secara kuat
dengan kelompok.
Sebuah peningkatan kesadaran terhadap pelanggaran orang asing dari
harapan positif kita dan atau harapan negatif akan menghasilkan
peningkatan kecemasan kita dan akan menghasilkan penurunan di dalam
rasa percaya diri dalam memperkrakan perilaku mereka.
Maka, jika apa yang kita persepsikan mengenai orang asing tersebut
ternyata sama dengan apa yang sebenarnya tampak, hal tersebut akan
meningkatkan
kemampuan
kita
dalam
mengelola
kecemasan
dan
membuat kita semakin percaya diri dalam menghadapi orang asing.
5) Proses situasional.
Sebuah peningkatan di dalam situasi informal di mana kita sedang
berkomunikasi dengan orang asing akan menghasilkan sebuah penurunan
kecemasan kita dan sebuah peningkatan rasa percaya diri kita terhadap
perilaku mereka.
6) Koneksi dengan orang asing.
Sebuah peningkatan di dalam rasa ketertarikan kita pada orang asing
akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan peningkatan rasa
percaya diri dalam memperkirakan perilaku mereka.
Sebuah peningkatan dalam jaringan kerja yang kita berbagi dengan orang
asing akan menghasilkan penurunan kecemasan kita dan menghasilkan
25
peningkatan rasa percaya diri kita untuk memprediksi perilaku orang
lain.
Gudykunstt
dan
Kim
(1984)
dalam Liliweri (2007: 19-20)
menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak kenal selalu berusaha
mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang tepat atas
relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi ketidakpastian itu dapat
dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yaitu:
a) Pra-kontak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal
maupun non verbal.
Dalam artian sebuah pertanyaan apakah
komunikan suka berkomunikasi atau malah sebaliknya menghindari
komunikasi,
b) Initial contact and impression, yakni sebuah tanggapan lanjutan atas
kesan yang ditimbulkan atau muncul dari kontak pertama tersebut.
c) Closure, mulai membuka diri yang semula tertutup, melalui atribusi
dan pengembangan kepribadian. Teori atribusi sendiri menganjurkan
agar kita lebih mengerti dan memahami perilaku orang lain dengan
menyelidiki motivasi atas suatu perilaku atau tindakan dari dia
(lawan bicara). Jika seseorang menampilkan tindakan yang positif,
maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada
orang tersebut, karena alasan dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya,
jika seorang itu menampilkan tindakan yang negatif, maka kita akan
memberikan atribusi motivasi yang negatif pula.
26
3.
Kejutan Budaya
Kejutan budaya seperti yang dikutip dari Samovar, dkk (2010: 475),
merupakan keadaan mental yang datang dari transisi yang terjadi ketika Anda
pergi dari lingkungan yang Anda kenal ke lingkungan yang tidak Anda kenal dan
menemukan bahwa pola perilaku Anda yang dulu tidak efektif.
Kejutan budaya biasanya dilalui seseorang melalui empat tahap. Keempat
tahapan tersebut dapat dilihat dalam kurva-U yang dikemukakan oleh Sveree
Lysgaard.
Gambar 1.1 Kurva-U Lysgaard
Tahapan-tahapan kejutan budaya tersebut adalah:
a.
Fase kegembiraan atau fase honeymoon, dimana dalam fase ini penuh
dengan rasa gembira, gairah, harapan dan euforia seperti yang telah
diantisipasi seseorang ketika berhadapam dengan budaya baru.
b.
Fase kekecewaan atau fase culture shock, dimana pada fase ini seseorang
mulai menyadari kenyataan yang berbeda dari lingkungannya sekarang
dengan lingkungannya sebelumnya.
Beberapa masalah mulai terjadi
27
disini,
seperti
misalnya
kesulitan
beradaptasi
dan
juga
masalah
komunikasi.
c.
Fase penyembuhan, dimana pada fase ini seseorang mulai paham akan
beberapa hal yang ia dapat dari budaya yang baru. Disini ia mampu
memprediksi apa yang akan terjadi dan tingkat stress-nya mulai
menurun.
d.
Fase penyesuaian, dimana pada fase terakhir ini seseorang mulai
mengerti elemen kunci akan budayanya yang baru. Ryan dan Twibell
dalam bukunya Samovar dkk (2014: 477-478) mengatakan, pada tahap
ini orang kemudian merasa nyaman dalam budayanya yang baru dan
mampu bekerja dengan baik.
4.
Peningkatan Kompetensi Komunikasi Antarbudaya
Pembahasan tentang komunikasi antarbudaya juga berhubungan dengan
kemampuan atau kompetensi para peserta komunikasi antarbudaya. Seseorang
harus
siap
dalam menghadapi tantangan
akan perbedaan-perbedaan yang
dimilikinya dengan lawan komunikasinya. Memahami budaya lain memang tidak
mudah dan pastilah membutuhkan kompetensi komunikasi dalam prosesnya.
Kompetensi komunikasi ini diperlukan seseorang untuk menjadi komunikator
antarbudaya yang berkualitas.
Peneliti mendefinisikan konsep kompetensi antarbudaya ini dengan berbedabeda. Beberapa konsep termasuk dengan penyesuaian perbedaan budaya, adaptasi
perbedaan budaya, pemahaman antarbudaya, penyesuaian pribadi, keefektifan
28
antarbudaya, kepuasan dengan pengalaman di luar negeri, dan kompetensi
interaksi yang melibatkan pengetahuan.
Kompetensi komunikasi antarbudaya adalah kemampuan seseorang untuk
secara
pantas
dan efektif mengeksekusi perilaku komunikasi yang dapat
menegosiasikan identitas kebudayaan masing-masing atau identitas dalam sebuah
lingkungan yang berbeda budaya (Lin, 2012: 20).
Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah
―perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu.‖ Sedangkan Kim
memberikan definisi yang lebih detail ketika ia menuliskan bahwa kompetensi
komunikasi antarbudaya merupakan ―kemampuan internal suatu individu untuk
mengatur fitur utama dari komunikasi antarbudaya: yakni perbedaan budaya dan
ketidakbiasaan, postur inter-group, dan pengalaman stress‖ (Samovar, dkk, 2014:
460).
a)
Komponen dalam kompetensi komunikasi antarbudaya
Menurut Samovar, dkk (2014:460), terdapat lima komponen kompetensi
komunikasi antarbudaya yang memengaruhi kemampuan seseorang untuk
berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain. Kelima
komponen tersebut adalah:
1) Motivasi untuk berkomunikasi, di mana komunikator memiliki keinginan
pribadi
untuk
menunjukkan
meningkatkan
ketertarikannya
kemampuan
untuk
komunikasinya
berhubungan
dengan orang-orang yang berbeda budaya.
dan
dan
ia
berinteraksi
29
2) Pengetahuan, di mana komunikator menyadari dan memahami peraturan,
norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang
berhubungan dengannya.
3) Kemampuan,
di
mana
dalam
komunikasi
antarbudaya
seorang
komunikator harus memiliki kemampuan untuk mendengar, mengamati,
menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan komunikasi
dari orang yang berbeda budaya dengannya.
4) Sensitivitas,
di mana komunikator dan komunikan harus memiliki
interaksi yang sensitif satu sama lain dan terhadap budaya yang
ditampilkan
dalam interaksi tersebut.
Sensitivitas ini meliputi sifat
fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya lain, terbuka
pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain, sehingga
menimbulkan sikap toleransi terhadap yang lainnya.
5) Karakter, di mana karakter seseorang akan menentukan bagaimana orang
lain akan menilai dan memperlakukannya. Karakter juga terkait dengan
sifat, di mana sifat-sifat terutama yang baik dari seorang komunikator
diperlukan dalam membentuk sebuah komunikasi yang baik, terutama
dengan komunikan yang berbeda budaya dengannya.
b) Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Antarbudaya
Teori yang dikemukakan oleh Samovar, dkk (2010, 463-465) ini
menyatakan,
dalam
meningkatkan
kompetensi
komunikasi
antarbudaya,
seseorang tidak hanya harus memperhatikan dirinya sendiri, akan tetapi juga
juga harus memperhatikan orang lain yang menjadi lawan komunikasinya.
30
1) Diri sendiri
Mengenal diri sendiri dan prasangka yang dimiliki oleh diri sendiri
merupakan elemen yang penting dalam menjadi komunikator komunikasi
yang kompeten.
darimana
Supaya dapat merefleksikan diri dan mengetahui
asalnya,
seorang
komunikator
harus
belajar
untuk,
(1)
mengetahui budayanya, karena dari situlah sebenarnya karakter, sifat,
pengetahuan,
dan
wawasannya
berasal,
(2)
mengamati
perilaku
pribadinya, yang mana perilaku pribadi, stereotip, dan juga prasangka
yang dimilikinya akan memengaruhi responnya terhadap hal lain yang
mungkin
berbeda
dengan
budayanya,(3)
memahami
gaya
komunikasinya, karena gaya komunikasi ini akan menentukan bagaimana
cara orang lain akan berinteraksi dengannya, (4) memonitor dirinya
sendiri, sehingga ia bisa menemukan perilaku yang pantas di setiap
situasi, menciptakan kesan yang baik dan memodifikasi perilakunya kita
berpindah dari satu situasi ke situasi lainnya.
2)
Orang lain
Memperhatikan orang lain atau lawan komunikasi merupakan hal
yang sangat penting bagi seorang komunikator, karena ia tidak bisa
memaksakan orang lain untuk bertindak sesuai dengan keinginannya,
maka ia harus mengerti orang lain dengan cara (1) berempati, karena
empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi komunikasi
antarbudaya dan merupakan karakter utama dari komunikasi antar
budaya,
di mana empati merupakan cara untuk
mencoba untuk
31
memposisikan diri menjadi posisi orang lain yang menjadi lawan
komunikasi, (2) mendengarkan dengan efektif, karena dengan begitu
orang yang menjadi lawan bicara kita akan merasa lebih dihargai dan
juga kita dapat pengetahuan yang lebih sehingga bisa lebih mengerti lagi
tentang orang-orang yang menjadi lawan interaksi kita tersebut, (3)
melakukan komunikasi non-verbal,
di mana hal ini bisa menjadi
pendukung ketika kita mendengarkan dengan efektif, dan komunikasi
non-verbal ini seringkali bisa membantu proses komunikasi kita dengan
orang yang berbeda budaya dengan kita, (4) berikan umpan balik, karena
umpan balik ini menjadikan komunikasi kita lebih interaktif. Umpan
balik mampu menjadi indikator untuk melihat bagaimana komunikasi itu
terjadi, dan juga bisa menjadi acuan untuk menyesuaikan komunikasi
selanjutnya, dan yang terakhir adalah (5) mengembangkan fleksibilitas
komunikasi, di mana seseorang harus mampu memilih strategi yang
sesuai untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan mengenai orang
lain supaya dapat berkomunikasi secara efektif dengan orang yang
berbeda budaya dengannya. Komponen yang jelas dari fleksibilitas
adalah bertoleransi terhadap ambiguitas, di mana hal ini dapa dilakukan
dengan cara tidak bersifat menilai, sabar, mengharapkan yang tidak
diharapkan, dan adaptif.
32
F. Metode Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan
metode
studi kasus.
Penelitian kualitatif juga sering
dinamakan dengan metode penelitian naturalistik karena penelitian dilakukan
secara alamiah. Metode kualitatif digunakan untuk meneliti kondisi objek
yang alamiah, di mana peneliti merupakan instrumen kunci dan teknik
pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data kualitatif bersifat
induktif dan hasil penelitian lebih kepada penekanan makna (Afifudin &
Saebani, 2012: 57).
Menurut Deddy Mulyana (2013: 201), penelitian studi kasus adalah
uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang
individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau
suatu situasi sosial.
Peneliti
studi
kasus
berupaya
menelaah
sebanyak
mungkin
data
mengenai subjek yang diteliti dengan berbagai metode. Dengan mempelajari
semaksimal
mungkin
seseorang
individu,
suatu
kelompok,
atau
suatu
kejadian, peneliti bertujuan untuk memberikan pandangan yang lengkap dan
mendalam mengenai subjek yang diteliti.
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
berusaha
untuk
menguraikan
serta
memberikan ilustrasi tentang bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi di
antara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana para
33
peserta tersebut mampu berkomunikasi dengan baik walaupun komunikasi
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang berbeda budaya.
2.
Objek Penelitian dan Unit Analisis
Dalam penelitian ini objek yang menjadi penelitian adalah upaya-upaya
yang dilakukan oleh para peserta program Global Citizen AIESEC UNS
dalam menciptakan komunikasi antarbudaya yang efektif. Hal tersebut
menjadi menarik
kualitatif yang
untuk
akan
diteliti dengan
menggunakan
desain
deskriptif
meneliti bagaimana atau apa upaya-upaya yang
dilakukan untuk bisa menciptakan sebuah komunikasi antarbudaya yang baik
dan efektif di antara para peserta program Global Citizen AIESEC yang
datang dari berbagai negara dengan latar belakang budaya yang berbedabeda.
3.
Sumber Data
a.
Data Primer
Sumber data primer diperoleh secara langsung melalui observasi dan
wawancara dengan informan. Informan dalam penelitian ini adalah 11 peserta
program Global Citizen AIESEC sebagai subjek yang diteliti. Peserta
program Global Citizen secara pribadi dipilih karena mewakili keenam
wilayah yang menjadi bagian dari growth networks AIESEC International,
dan karena hubungan yang terjadi dalam program ini bersifat pribadi.
Sehingga membutuhkan wawancara dan pengamatan secara personal untuk
melihat secara langsung realitas yang terjadi dan berkembang pada saat ini
34
baik pada saat berlangsungnya program Global Citizen tersebut maupun
kelanjutan hubungan yang terjadi setelah program berakhir.
b.
Data Sekunder
Sumber data sekunder diperoleh dari buku referensi, surat kabar, blog,
data-data dari jurnal atau penelitian sebelumnya juga dokumen-dokumen
yang terkait dengan komunikasi antarbudaya maupun AIESEC dan program
Global Citizen itu sendiri.
4.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan hal yang penting dalam sebuah
penelitian
karena
menyangkut
bagaimana
cara
yang
digunakan
untuk
memperoleh data tersebut. Adapun teknik pengumpulan data pada penelitian
ini adalah:
a.
Studi Dokumen
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh sebanyak mungkin dasar-
dasar teori yang dapat mendukung informasi yang diperlukan sehingga
pengolahan data yang dikumpulkan dapat menjelaskan gejala-gejala yang
terjadi.
Studi dokumen bertujuan untuk
mengumpulkan data-data dan
informasi yang bersifat tertulis.
b.
Wawancara
Menurut Silalahi (2012: 312), wawancara merupakan suatu metode
pengumpulan data atau keterangan lisan melalui seseorang yang disebut
dengan responden melalui suatu percakapan.
35
Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara (interview
guide) yang dibuat berkaitan dengan apa yang dijadikan kajian dalam
penelitian.
Selain itu dilakukan pendokumentasian baik berupa catatan,
rekaman, maupun audiovisual dari percakapan, pertemuan yang dianggap
unik dan penting.
Dalam penelitian ini, sumber yang akan diwawancarai adalah para
peserta program Global Citizen AIESEC yang mengikuti program ini di LC
AUC Kairo, Mesir, pada tahun 2014.
Dalam wawancara yang dilakukan, peneliti berusaha untuk mengetahui
dan memahami bagaimana informan berhubungan dengan peserta program
Global Citizen AIESEC yang memiliki latar belakang budaya berbeda
dengannya.
5.
Analisis Data
Analisis data merupakan salah satu proses untuk mengatur data yang
sudah
didapat.
mengorganisasi,
Analisis
data
adalah
mengkategori dan
proses
satuan
uraian
mengatur
urutan
data,
dasar.
Analisis
data
merupakan aktivitas pengorganisasian data (Afifudin & Saebani, 2012: 145).
Pengorganisasian
dan
pengumpulan
data
tersebut
bertujuan
untuk
menemukan tema dan konsepsi kerja yang akan diangkat menjadi teori
subtantif. Tujuan dari analisis data adalah untuk menyederhanakan data yang
sudah didapat agar mudah dimengerti dan diinterpretasikan. Analisis data
kualitatif terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan. Proses
36
ini disebut proses siklus dan interaktif pada saat, sebelum, dan sesudah
pengumpulan data (Silalahi, 2012: 339-340).
Dalam penelitian ini, data diperoleh melalui wawancara yang dilakukan
dengan para informan yang merupakan para peserta program Global Citizen
AIESEC. Kemudian, data yang telah diperoleh dari para informan tersebut
diproses
dengan
cara
mereduksi
data,
yaitu
dengan
memilih
dan
menyederhanakan, serta mentransformasi data yang diperoleh ke dalam suatu
bentuk tulisan.
Kemudian, data tersebut disajikan dengan cara menyusun data yang
sudah diubah menjadi tulisan sesuai dengan kategori yang sudah dibuat
sebelumnya sehingga membentuk sebuah alur. Yang terakhir, dilakukan tahap
penarikan kesimpulan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian
yang dilakukan, yaitu tentang bagaimana komunikasi antarbudaya terjadi di
antara para peserta program Global Citizen AIESEC, dan bagaimana
komunikasi di antara mereka bisa berjalan dengan baik.
H. Kerangka Berpikir
Latar belakang budaya seseorang tentunya sangat mempengaruhi bagaimana
cara orang tersebut berinteraksi. Dalam sebuah komunikasi antarbudaya, tentunya
masing-masing
partisipan
membawa
kebudayaannya
masing-masing
ketika
berinteraksi dengan orang yang berbeda budaya dengannya.
Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah mengenai komunikasi yang
terjadi di antara para peserta program Global Citizen AIESEC dan bagaimana
komunikasi tersebut bisa berlangsung dengan baik dan efektif. Dengan budaya-
37
budaya yang berbeda-beda yang dibawa oleh masing-masing peserta, mereka
ternyata tetap bisa melakukan komunikasi antarbudaya yang baik dan efektif.
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
Download