Perluasan Hama Sasaran Formulasi Insektisida

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan dan Produksi Sayuran di Indonesia
Menurut Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka Ditjen
Hortikultura konsumsi sayuran penduduk Indonesia masih di bawah standar yang
ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO)
yaitu baru mencapai 73 kg/kapita/tahun, sedangkan standar kecukupan untuk
sehat sebesar 91,25 kg/kapita/tahun. Sementara itu konsumsi sayuran penduduk
Indonesia menurut data Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun 2005 sebesar
35,30 kg/kapita/tahun, tahun 2006 sebesar 34,06 kg/kapita/tahun, tahun 2007
meningkat sebesar 40,90 kg/kapita/tahun dan tahun 2008 mengalami penurunan
kembali menjadi 37,59 kg/kapita/tahun (Anonim 2009).
Berkaitan dengan hal tersebut, Deptan telah mencanangkan program
“Gema Sayuran” di tingkat propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Program ini
telah dilakukan sejak tahun 2006 di Aceh Besar, tahun 2009 di NTB dan tahun
2010 akan dilakukan di Pekanbaru, Riau. Tujuan program ini adalah untuk
memasyarakatkan konsumsi sayuran guna meningkatkan gizi keluarga/masyarakat
mulai dari anak-anak hingga dewasa, memperbaiki pandangan masyarakat
terhadap
sayuran
produk
petani
Indonesia,
membangun
rasa
bangga
mengkonsumsi produk pertanian Indonesia, mendorong peningkatan produk
sayuran Indonesia, meningkatkan hidup sehat bergizi dengan pangan, vitamin,
mineral, serat dan antioksidan yang cukup, serta mendorong pengembangan
keanekaragaman produk sayuran (Anonim 2009).
Selain konsumsi, produksi sayuran dalam negeri juga masih rendah.
Berdasarkan data produksi sayuran Ditjen Hortikultura bahwa produksi sayuran
(di luar jamur) pada 2008, baru mencapai 8,72 juta ton. Jumlah tersebut menurun
sebesar 1,43% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan produk
sayuran pasar dalam negeri masih didominasi oleh produk sayuran dari luar negeri
dan menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor kekurangannya seperti pada
tahun 2006, Indonesia mengimpor lebih dari 16 jenis sayuran sebanyak 550.437,6
ton dan pada tahun 2007 volumenya meningkat menjadi 782.734,8 ton (Iriana dan
Suhendar 2009).
7
Contoh lain dari penurunan produksi komoditas hortikultura adalah
produksi bawang merah pada tahun 2004 sebesar 757 ribu ton. Jumlah tersebut
menurun sebesar 0,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya
walaupun luas panen pada tahun tersebut meningkat sebesar 1,3%. Penurunan
produksi ini disebabkan oleh penurunan produktivitas bawang merah pada tahun
2004 yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan yang dapat meningkatkan
serangan hama dan patogen tanaman. Berlawanan dengan bawang merah,
produksi bawang daun pada tahun 2003 mencapai 345,7 ribu ton atau meningkat
sebesar 9,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya. Namun, luas
panen bawang daun pada tahun 2003 menurun sebesar 7,5% dibandingkan tahun
sebelumnya (Deptan 2009).
Produksi beberapa jenis tanaman sayuran mengalami fluktuasi. Produksi
bawang merah, bawang putih, dan wortel pada 1998, masing-masing mengalami
kenaikan 17%, 4%, dan 29% dibandingkan 1997. Pada jenis tanaman yang sama,
yang mengalami penurunan adalah hasil kentang, tomat dan kubis, masing-masing
13%, 9%, dan 7% (Portal Indonesia 2007).
Neraca perdagangan komoditas hortikultura secara total pada tahun 2003
dan 2004 sudah mencapai defisit masing-masing sebesar USD 105,4 juta dan
USD 163,7 juta. Defisit neraca perdagangan hortikultura tersebut disebabkan oleh
defisit pada komoditas buah-buahan dan sayuran. Pada tahun 2003 defisit neraca
perdagangan buah-buahan dan sayuran masing-masing mencapai USD 63,5 juta
dan USD 55,7 juta sedangkan pada tahun 2004 masing-masing meningkat
mencapai USD 101,8 juta dan USD 76,7 juta (Deptan 2009).
Penurunan produksi sayuran juga mengakibatkan menurunnya pasokan
rata-rata sayuran di pasar. Contohnya pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati
Jakarta pada bulan Maret minggu ke-4 menurun sekitar 10,9% dibandingkan
dengan minggu ke-2. Pada minggu ke-1 bulan April pasokan mengalami sedikit
kenaikan dibandingkan minggu ke-4 Maret, namun pada minggu ke-2 pasokan
cabai mulai mengalami penurunan sekitar 9,4% dibandingkan minggu ke-1 bulan
April. Sementara untuk komoditas bawang merah, pasokan bulan Maret minggu
ke-4 mengalami penurunan sekitar 24% dibandingkan minggu ke-2. Pada minggu
ke-1 April pasokan bawang mengalami sedikit kenaikan dibandingkan minggu ke-
8
4 Maret. Pada Bulan April minggu ke-2 mengalami penurunan sekitar 19%
dibandingkan minggu ke-1 April (Dirjen Horti 2008).
Berdasarkan informasi di atas, kebutuhan terhadap sayuran diperkirakan
akan semakin meningkat sehingga upaya peningkatan produktivitas sayuran harus
terus ditingkatkan. Namun, upaya peningkatan produktivitas sering dihadapkan
pada berbagai kendala sehingga dapat menghambat upaya peningkatan bahkan
terjadi penurunan produksi dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit.
Berbagai kendala tersebut diantaranya adalah penyempitan lahan pertanian dan
peningkatan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dipicu
oleh perubahan iklim.
Kerugian sering diderita petani pada saat musim hujan. Para petani
sayuran mengeluhkan anjloknya harga beragam jenis sayuran yang disebabkan
banyak komoditas sayuran yang cepat busuk akibat tergenang air hujan dan
memicu munculnya hama dan patogen penyebab penyakit yang menyerang
tanaman (Rukmorini 2009).
Hal serupa juga di alami oleh petani sayuran di Kawasan Lereng Gunung
Merbabu dan Andong wilayah Kabupaten Magelang. Produksi sayuran menyusut
sekitar 25-35% akibat meningkatnya curah hujan yang dapat meningkatkan
serangan hama dan patogen sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara
maksimal. Hal ini menyababkan petani menderita kerugian yang sangat besar.
Contohnya adalah produksi tomat hanya sebesar 7,5 kuintal. Padahal pada kondisi
normal produksinya dapat mencapai satu ton. Beberapa komoditas sayuran yang
mengalami penurunan produksi adalah tomat yang sekitar 25%, kubis dan lombok
sekitar 30% dan sawi putih sekitar 35% (Wawasan Digital 2009).
Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae)
Spodoptera litura termasuk dalam famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera.
Spesies ini telah lama diduga sebagai spesies kosmopolitan. S. litura memiliki dua
karakteristik khas yaitu bulan sabit hitam pada ruas abdomen ke-4 dan ke-10, dan
dikelilingi oleh garis-garis kuning pada bagian lateral dan dorsalnya. S. litura
terdapat di Asia, Pasifik dan Australia. Di Indonesia, S. litura diketahui sebagai
hama tembakau tetapi bersifat polifag mencakup banyak tanaman. Jenis ini
9
merupakan hama yang biasa ditemukan pada tembakau baik di pembibitan
maupun di lapang. Jika tindakan pengendalian tidak dilakukan selama satu musim
dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Di Jawa, larva biasa ditemukan pada
lahan kedelai yang masak dan menyebabkan kehilangan hasil berupa defoliasi
total. Mereka juga diketahui sebagai hama kacang-kacangan, kentang, lombok dan
bawang-bawangan, dan sedikit pada golongan Ricinus dan kubis. Hama ini
kadang ditemukan pada beberapa tanaman serat, sayuran, dan tanaman hias.
Mereka lebih menyukai tempat yang lembab dan sering bersembunyi di dalam
tanah selama siang hari dan menyerang tanaman muda pada malam hari
(Kalshoven 1981).
Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis
sempurna yang terdiri dari 4 fase hidup, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Fase
larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah
instar III dan IV. Telur diletakkan dalam kelompok dan ditutupi oleh sutera. Ulat
menetas setelah 3-5 hari dan pada awalnya hidup secara gregarious. Beberapa
hari kemudian, tergantung ketersediaan makanan mereka menyebar menggunakan
benang dibantu oleh angin dan agens pembawa lain. Mereka mencapai instar akhir
dalam waktu dua minggu dengan panjang mencapai 50 mm. Larva instar akhir
sangat rakus. Pupa terjadi di tanah dalam kepompong yang terbuat dari tanah.
Ngengat memiliki rentang hidup yang pendek dan dapat meletakkan telur dalam
2-6 hari dan menghasilkan beberapa kelompok telur. Total telur yang dihasilkan ±
2000-3000. Mereka kawin beberapa kali (Kalshoven 1981).
Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa
epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak
tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di
permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok.
Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis
dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan
menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono 2008).
Hama ini merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai
kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang,
dan lain-lain. Mereka menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan
10
generatif. Pada fase vegetatif, mereka menyerang daun tanaman muda sehingga
hanya tersisa tulang daun saja sedangkan pada fase generatif mereka menyerang
dengan memangkas polong-polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman
Pangan 1985). Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih
dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam (HST)
(Adisarwanto & Widianto 1999).
Helicoverpa armigera Hubner (Lepidotera: Noctuidae)
Larva yang baru menetas berwarna terang dengan bintik-bintik gelap kecil
dan kepalanya berwarna gelap. Setelah larva berkembang, warnanya akan
semakin gelap dan bintik-bintik gelap akan semakin jelas terlihat. Larva
berukuran sedang mempunyai garis dengan warna beragam di sepanjang tubuh,
pigmen gelap berbentuk pelana di segmen keempat dan bagian belakang kepala,
dan kaki berwarna gelap. Larva yang berukuran besar mempunyai rambut-rambut
putih di sekeliling kepalanya. Imagonya berupa ngengat berwarna coklat kusam
mengkilat dengan tanda gelap dan panjangnya 35 mm. Pada bagian tanda gelap
terdapat bagian berwarna terang atau pucat di bagian sayap belakang. Telur
berdiameter 0,5 mm dan menetas dalam 2-5 hari. Hama ini menyerang semua
jenis tanaman pertanian tetapi hanya sedikit yang menyerang gandum dan barley.
Serangannya yang sangat luas pada berbagai jenis tanaman inilah yang
menyebabkannya menjadi hama dalam sistem pertanian yang luas tidak hanya
pada tanaman yang spesifik saja. Larva memakan daun tetapi biasanya
menyebabkan kerusakan yang lebih parah ketika larva memakan bagian pucuk,
ruas batang, bunga, biji dan atau buah. Kerusakan ini termasuk kehilangan hasil
secara langsung dan menurunkan kualitas (DEEDI 2007).
Ulat (larva H. armigera) dicirikan dengan warna hijau pucat, kadangkadang titik-titik hitam, dan pola garis-garis gelap tipis di sepanjang tubuh, garisgaris semakin gelap pada segmen kedua dan ketiga. Pada instar akhir, garis-garis
gelap menjadi tidak terlalu mencolok dan titik-titik hitam di kelilingi area
berwarna merah. Spesies ini mempunyai variasi warna yang beragam, seperti
lebih terang atau lebih gelap pada larva dan imagonya. Karakteristik dari spesies
11
ini adalah bentuk tubuhnya akan berubah jika diganggu. Dia akan pergi dan
menjatuhkan diri dan menggulung tubuhnya menjadi spiral. Ketika larva telah
berkembang penuh yaitu berukuran 4 cm, larva akan berpupa dalam kokon di
bawah permukaan tanah. Imagonya yang berupa ngengat akan keluar setelah ± 3
minggu. Sayap depan berwarna coklat dengan tanda gelap mengkilat di masingmasing sayap. Sayap belakang berwarna kuning mengkilat dikelilingi bagian
gelap dan terang. Ngengat dewasanya sangat mirip dengan H. punctigera, tetapi
untuk H. armigera dicirikan dengan larvanya mempunyai rambut-rambut putih
pada protoraks, larva tidak mempunyai segi tiga gelap pada abdomen ruas
pertama dan ngengatnya mempunyai tanda pucat yang dikelilingi bagian hitam di
sayap belakang (Evans dan Crossley 2009).
H. armigera merupakan salah satu hama utama yang menyerang jagung
disetiap daerah sentra maupun pengembangan. Hama ini dikenal pula dengan ulat
penggerek tongkol (Baco dan Tandiabang 1988 dalam Sarwono et al. 2003).
Ambang kendali H. armigera pada tanaman kedelai adalah apabila terdapat 2 ekor
per rumpun pada umur 45 hari setelah tanam atau intensitas serangan mencapai
lebih dari 2% (Marwoto et al. 2001).
Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae)
Maruca testulalis adalah jenis hama pada tanaman kacang-kacangan
seperti kacang tunggak, kacang panjang, kacang hijau dan kedelai. Nama
umumnya penggerek polong, penggerek polong buncis, penggerek polong kedelai,
ngengat kacang dan penggerek polong kacang-kacangan. Ia memakan pucuk
bunga, bunga dan polong muda. Dalam beberapa kasus instar-instar muda
memakan mahkota bunga dan batang muda (Wikipedia 2009).
Maruca testulalis merupakan hama utama pada tanaman kacang hijau.
Hama ini menyerang bunga, kecambah, dan polong dari beberapa leguminosa
budidaya maupun liar. Serangga ini menyebar di seluruh daerah tropis. Di jawa
dan Sumatera, kedelai dan kacang-kacangan, Canavallia, Crotalaria, Tephrosia,
Pueraria, Cajanus, Derris, Sesbania, Caesalpinia dll dilaporkan sebagai tanaman
inang. Larva muda memiliki preferensi terhadap opening flower (bunga yang
mekar). Mereka juga memakan kuncup bunga dan polong muda dan makan daun
12
dan tunas. Bagian yang terserang terjalin menjadi satu oleh benang sutera. Larva
berwarna hijau muda dengan kepala berwarna coklat atau gelap, cervic berbentuk
perisai dan rambut papilla, dan mampu tumbuh mencapai 16 mm. Pupa ditemukan
di tanah pada kokon yang terbuat dari benang sutera. Bunga dan kecambah
terserang layu namun tetap menggantung karena jaring sutera. Secara umum
kerusakan yang diakibatkan merupakan kerusakan minor (Kalshoven 1981).
Kehilangan hasil di daerah tropik dan sub tropik mencapai lebih dari 60% akibat
serangan hama ini (Macfoy et al. 1983). Hama penggerek polong Maruca tetulalis
merupakan hama utama tanaman kacang hijau. Kehilangan hasil akibat serangan
hama ini mencapai antara 13–59% pada musim kemarau (Balitkabi 2008).
Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae)
Crocidolomia binotalis, ulat krop kubis besar umum terdapat pada
tanaman crucifera yang dibudidayakan maupun yang liar, dapat ditemukan di
Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan pulau-pulau di Pasifik. Di jawa,
ditemukan di dataran rendah sampai daerah perbukitan atau sedang. Hama
menyerang berbagai jenis tanaman brassicae/kubis-kubisan termasuk sawi, vetsai,
lobak, radish dan nasturtium liar. Larva muda hidup secara gregarious dan
memakan bagian bawah daun kubis. Mereka menghindari cahaya. Kemungkinan
daun yang terserang akan habis secara keseluruhan, terutama daun muda; titik
tumbuh juga diserang. Pewarnaan larva sangat beragam, tapi umumnya berwarna
hijau dengan warna bagian dorsal pucat dan pita hitam di bagian lateral,
lempengan kitin mengandung rambut. Warna lateral dan ventral adalah
kekuningan. Mereka tumbuh sampai ukuran sekitar 18 mm, dan berpupa di tanah
yang dangkal dibungkus dengan lapisan tipis yang dilindungi partikel tanah.
Ngengat bersifat nokturnal dan tidak tertarik cahaya. Telur diletakkan di
kumpulan yang tumpang tindih berukuran 3x5 mm di bagian bawah daun. Betina
hidup selama 16-24 hari dan memproduksi 11-18 kumpulan yang terdiri dari 3080 telur. Di Bogor, perkembangan penuh selesai dalam 22-30 hari. Spesies ini
merupakan hama tanaman kubis yang paling umum dan paling merusak di Jawa.
Akibat dari serangan ini menyebabkan kerusakan yang serius pada pertanaman,
13
tapi biasanya kubis bisa melakukan pertumbuhan tambahan, tapi kemudian tidak
membentuk krop. Larva biasanya dikembangbiakkan di laboratorium karena
mereka cocok untuk pengujian insektisida (Kalshoven 1981).
Pestisida Sintetik, Manfaat dan Dampaknya
Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama dan patogen penyeebab
penyakit tanaman yang mencakup serangga, tungau, gulma, cendawan, bakteri,
virus, nematoda, siput, tikus, burung dan organisme lain yang dianggap
merugikan dan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal (Biotis
2009).
Menurut Tarumingkeng (1977), pestisida mencakup bahan-bahan racun
yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan,
ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya.
Pestisida berasal dari kata Pest yang berarti hama dan cide yang berarti
membunuh. Aplikasi pestisida di lapangan digunakan bersama-sama dengan
bahan lain misalnya minyak untuk melarutkan, air untuk mengencerkan, tepung
untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotan,
bubuk yang dicampur sebagai pengencer (dalam formulasi dust), atraktan
(misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, bahan yang bersifat sinergis untuk
penambah daya racun, dsb. Penggolongan pestisida didasarkan pada sasaran, asal
dan sifat kimia. Berdasarkan sasaran pestisida digolongkan menjadi insektisida
(racun serangga), fungisida (racun cendawan), herbisida (racun gulma), akarisida
(racun tungau), rodentisida (racun tikus), nematisida (racun nematoda), dst.
Sedangkan berdasarkan asal dan sifat kimianya digolongkan menjadi pestisida
sintetik anorganik dan organik, serta pestisida hasil alam seperti nikotin, piretrin
dan rotenon, sedangkan untuk jenis racunnya dibedakan atas racun sistemik dan
racun kontak.
Penggunaan pestisida dalam pengendalian akan memberikan hasil yang
lebih cepat terutama untuk pengendalian-pengendalian yang bersifat kuratif
(penyembuhan). Penggunaan pestisida juga bersifat fleksibel, mudah beradaptasi
dalam segala hal dan situasi karena tersedia dalam berbagai bentuk formulasi dan
14
mudah didapatkan di kios-kios pestisida atau toko-toko pertanian, penggunaannya
lebih praktis, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan pengendalian lain. Hal
inilah yang menyebabkan petani lebih memilih pestisida sintetik dibandingkan
dengan jenis pengendalian lainnya. Penggunaan pestisida terbanyak adalah dalam
bidang pertanian, bahkan hampir 85% pestisida yang beredar di dunia ini
digunakan untuk bidang pertanian (Dadang 2007).
Menurut Girsang (2006) pestisida adalah bahan beracun yang termasuk
pencemar bagi lingkungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan
lingkungan. Cara aplikasinya yang tidak bijaksana dapat menyebabkan degradasi
lingkungan berupa kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh sifatnya yang
beracun dan persistensinya yang cukup lama bahkan untuk beberapa jenis
pestisida dapat mencapai puluhan tahun. Pencemaran pestisida dapat terjadi
melalui angin, aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya.
Sebagai contoh pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi atau kebun akan
ikut terbawa aliran air ke sungai dan akhirnya ke laut jika terjadi hujan.
Sedangkan sisa pestisida yang tidak terbawa akan mengendap di tanah dan
sebagian terdapat pada tanaman yang diaplikasi pestisida sebagai residu dan akan
membahayakan bagi organisme yang memakannya. Makhluk hidup pada
ekosistem perairan yang ada di sawah, sungai dan laut seperti ikan dan makhluk
hidup aquatik lainnya dapat teracuni oleh pestisida yang terbawa aliran air dan
akhirnya dapat meracuni organisme yang memakannya dengan kadar racun yang
terus terakumulasi sehingga kadar racun pada organisme yang terdapat pada aras
tropi yang lebih tinggi pada rantai makanan akan semakin meningkat. Beberapa
hasil monitoring menunjukkan bahwa hampir di setiap tempat di lingkungan
sekitar kita seperti dii dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, dan udara
ditemukan residu pestisida. Kondisi seperti ini secara tidak langsung dapat
membahayakan organisme bukan sasaran dan dapat menurunkan kualitas
lingkungan.
Menurut Coutney et al. (1973) dalam Saenong (2008), pencemaran
perairan oleh pestisida bersumber dari aliran air di daerah pertanian terutama
selama musim hujan. Kadar pestisida yang tinggi dapat membunuh makhluk
hidup yang ada di dalam air. Namun, ada pula pestisida-pestisida yang
15
persistensinya tinggi seperti golongan organoklorin meskipun dengan kosentrasi
rendah dapat masuk dalam rantai makanan dan mengalami proses peningkatan
kadar (biological magnification) sampai pada derajat yang mematikan. Perlakuan
paraquat pada dosis 1,0 ppm selama 4 jam dapat menurunkan produktivitas
fitoplankton sebesar 53%, perlakuan diquat dengan dosis yang sama dalam selang
waktu 48 jam menurunkan produktivitas 45%, sedangkan perlakuan diuran
dengan dosis 1,0 ppm dalam selang waktu 4 jam menurunkan produktivitas
sampai 87% (Pimentel 1974 dalam Saenong 2008).
Pestisida Nabati
Pestisida nabati dikenal juga dengan pestisida alami. Pestisida nabati
berbahan aktif senyawa metabolit sekunder tumbuhan baik tunggal maupun
majemuk yang bisa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu
tumbuhan (OPT). Selain itu, pestisida nabati juga bisa berfungsi sebagai penolak,
penarik, antifertilitas (pemandul) dan pembunuh. Secara umum, pestisida nabati
diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif
mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas (Anonim 2008).
Insektisida nabati atau insektisida botani (botanical insecticide) adalah insektisida
yang berbahan aktif senyawa dari tumbuhan atau tanaman (Dadang 2007).
Penggunaan insektisida atau pestisida nabati lebih menguntungkan karena
terbuat dari bahan alami atau nabati yang bersifat mudah terurai (bio-degradable)
di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan diniliai relatif aman bagi
manusia dan ternak peliharaan, karena residu mudah hilang. Selain itu, pestisida
nabati juga memiliki tingkat selektivitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi
resiko bahaya pada organisme bukan sasaran (Anonim 2008).
Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida
nabati. Bahan dasar pestisida alami ini bisa didapatkan pada beberapa jenis
tanaman. Zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki fungsi
berbeda ketika berperan sebagai pestisida (Anonim 2008). Pestisida nabati bersifat
“hit and run” (pukul dan lari), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama
pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat hilang
16
di alam. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili
dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 2002).
Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae)
Cabe jawa merupakan tumbuhan asli Indonesia. Cabe jawa biasa ditanam
di pekarangan, ladang atau tumbuh liar di tempat-tempat yang tanahnya tidak
lembab dan berpasir seperti di dekat pantai atau di hutan hingga ketinggian 600 m
dpl. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 10 m. Cabe jawa termasuk tanaman
tahunan, mempunyai batang percabangan liar yang dimulai dari pangkalnya yang
keras dan menyerupai kayu, tumbuh memanjat, melilit, atau melata dengan akar
lekatnya. Daun tunggal, bertangkai, bentuknya bulat telur sampai lonjong, pangkal
membulat, ujung runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin,
permukaan bawah berbintik-bintik, panjang 8,5-30 cm, lebar 3-13 cm dan
berwarna hijau. Bunga berkelamin tunggal, tersusun dalam bulir yang tumbuh
tegak atau sedikit merunduk, bulir jantan lebih panjang dari bulir betina. Buah
majemuk berupa bulir, bentuk bulat panjang sampai silindris, bagian ujung agak
mengecil, permukaan tidak rata, bertonjolan teratur, panjang 2-7 cm, garis tengah
4-8 mm dan bertangkai panjang. Buah muda berwarna hijau, keras dan pedas
kemudian warna berturut-turut berubah menjadi kuning gading dan akhirnya
menjadi merah, lunak dan manis ketika buah sudah masak. Biji bulat pipih, keras
dan berwarna cokelat kehitaman. Cara perbanyakan tanaman ini adalah dengan
biji atau stek batang (Anonim 2008). Cabe jawa, cabe jamu, lada panjang, atau
cabe saja (P. retrofractum syn. P. longum) adalah kerabat lada dan termasuk
dalam suku sirih-sirihan atau famili Piperaceae (Wikipedia 2008).
Cabe jawa tersebar di seluruh nusantara dan tumbuh pada ketinggian di
bawah 600 m dpl atau pada tanah miskin hara dan sangat kering misalnya di
pantai. Namun, cabe jawa juga dapat tumbuh di hutan yang daunnya gugur secara
berkala. Tumbuhan ini tidak dibudidayakan karena dapat tumbuh liar dan dapat
diperbanyak dengan stek. Pertumbuhannya dibantu dengan penyangga supaya
dapat tumbuh tegak. Jika dipangkas tingginya dapat mencapai 5 kaki dan jika
tidak dipangkas tanaman akan tumbuh tinggi dan tidak berbunga. Tanaman
17
dewasa berbunga dan berbuah sepanjang tahun dan tiap beberapa hari
menghasilkan 30-40 buah (Heyne 1987).
Srikaya (Annona squamosa Linn., Piperaceae)
Tumbuhan ini merupakan perdu tegak, tinggi 2-3 m, banyak ditanam di
kebun-kebun terutama di Jawa Timur dan Madura karena buahnya harum dan
rasanya enak. Akar tumbuhan ini beracun. Daunnya yang dimemarkan sangat
berpotensi
sebagai
bahan
untuk
mempercepat
pecahnya
bagian
yang
membengkak. Buah hanya dihasilkan pada musim hujan. Biji memiliki kulit yang
keras dan mengandung 45% minyak yang tidak mengering dan berwarna kuning.
Di India dan Indonesia, biji tumbuhan ini digiling menjadi tepung untuk
membunuh kutu kepala (Heyne 1987).
Potensi P. retrofractum dan A. squamosa sebagai Insektisida Nabati
Buah cabe jawa sangat berpotensi untuk dijadikan bahan insektisida
nabati. Salah satu kandungan buah cabe jawa adalah piperine yang mempunyai
daya antiperetik, analgesik, antiinflamasi dan menekan susunan syaraf pusat.
Selain terdapat pada buah, piperine juga terdapat pada bagian akar (Sentra
Informasi Iptek 2009). Cabe jawa mengandung piperine yang mempunyai rasa
pedas. Piperine yang dimurnikan sangat berpotensi menekan kemunculan imago
Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae) dengan ED50 sebesar 50 ppm
(Trakoontivakorn et al. 2005).
Srikaya (A. squamosa) merupakan salah satu jenis tanaman yang
mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan insektisida nabati. Biji
srikaya mengandung 42-45% lemak, resin dan senyawa kimia annonain yang
terdiri atas squamosin dan asimisin yang bekerja sebagai racun perut dan racun
kontak terhadap serangga serta bersifat sebagai insektisida, repelent dan
antifeedant (Kardinan 2002). Akar dan kulit kayu tanaman srikaya mengandung
flavonoid, borneol, kamphor, terpene, dan alkaloid anonain. Di samping itu,
akarnya juga mengandung saponin, tanin, dan polifenol. Biji srikaya mengandung
minyak, resin, dan bahan beracun yang bersifat iritan. Buahnya mengandung asam
amino, gula buah, dan mucilago. Sedangkan buah yang masih muda mengandung
18
tanin. Kandungan biji srikaya berkhasiat memacu enzim pencernaan, abortivum,
anthelmintik dan pembunuh serangga (insektisida). Kulit kayu berkhasiat sebagai
astringen dan tonikum. Buah muda dan biji juga berkhasiat sebagai antiparasit
(Anonim 2009).
Menurut Ekawati (2008), ekstrak tanaman P. retrofractum memberikan
efek dalam menghambat aktivitas peneluran Sitophilus zeamais (Coleoptera:
Curculionidae) yang baik pada perlakuan ekstrak metanol pada semua konsentrasi
untuk metode tanpa pilihan dan pada konsentrasi 5% untuk metode pilihan, serta
pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan 5% pada perlakuan ekstrak heksana dengan
metode tanpa pilihan dan pilihan. Serbuk tanaman P. retrofractum dapat
menghambat aktivitas peneluran S. zeamais pada semua perbandingan dengan
nilai rata-rata aktivitas penghambatan peneluran sebesar 100% dengan metode
tanpa pilihan dan metode pilihan.
Tiga ekstrak, P. retrofractum, A. squamosa dan A. odorata memberikan
tingkat efektifitas yang tinggi baik terhadap C. pavonana maupun P. xylostella
dengan memberikan nilai LC95 lebih rendah pada konsentrasi ekstrak 0,1%
dengan menggunakan metode residu pada daun. Sementara itu dengan metode
perlakuan setempat hanya ekstrak A. squamosa yang memberikan efektivitas
tinggi. Untuk pengujian kompatibilitas dua estrak dari tiga ekstrak yaitu P.
retrofractum, A. squamosa dan A. odorata, menunjukkan bahwa campuran ekstrak
P. retrofractum dengan A. squamosa dan A. odorata dengan A. squamosa
menunjukkan efek sinergis untuk semua perbandingan, sedang campuran A.
odorata dengan P. retrofractum menunjukkan pengaruh sinergis hanya pada
perbandingan 1:1 terhadap C. pavonana. Pengujian terhadap larva P. xylostella
menghasilkan satu ekstrak yang bersifat sinergis untuk semua tingkat LC (lethal
concentrations) yaitu campuran ekstrak A. odorata dengan A. squamosa pada
perbandingan 1:1, namun demikian terdapat dua ekstrak campuran yaitu
campuran ekstrak P. retrofractum dengan A. squamosa pada perbandingan 1:1
dan 2:1 yang memberikan nilai LC rendah (Dadang et al. 2007).
Ekstrak biji srikaya berpengaruh nyata pada pembentukan pupa dan imago
hama krop kubis. Peningkatan konsentrasi ekstrak menyebabkan berkurangnya
pembentukan pupa dan imago. Perlakuan terhadap larva menyebabkan larva yang
19
hidup menjadi lemah pada instar akhir dan fase prapupa sehingga menyebabkan
larva gagal mengalami pupasi, demikian juga dengan imagonya (Herminanto et
al.
2004).
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
ekstrak
biji
srikaya
memperlihatkan perbedaan mortalitas larva Aedes aegypti pada semua dosis
setelah 12 jam pengamatan, dosis terendah 400 ppm dengan mortalitas 34% dan
dosis tertinggi 800 ppm dengan mortalitas 89% (Adam et al. 2005). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa biji lada dan srikaya efektif mengendalikan
Callosobruchus spp. pada semua aras dosis yang diujikan. Bubuk biji lada pada
dosis 0,5%, 1%, dan 2% serta biji srikaya pada dosis 0,5% dan 2% mampu
mempertahankan viabilitas benih kedelai tetap baik setelah disimpan selama 70
hari, sedangkan bubuk biji srikaya dosis 1% tidak sebaik dosis lainnya (Dinarto
dan Astriani 2006).
Campuran ekstrak tanaman P. retrofractum dan A. squamosa pada
konsentrasi (PA 3:7 0,05%, PA 3:7 0,1%, PA 1:1 0,05%, PA 1:1 0,1%)
menunjukkan kematian larva C. pavonana <50% pada 1 hari setelah perlakuan
(HSP). Pada 3 HSP terjadi peningkatan kematian larva yang mencapai 100%
kecuali pada perlakuan ekstrak PA 1:1 0,05% yang menunjukkan kematian larva
sebesar 89,74%. Selama 10 hari pemaparan baik penyemprotan maupun
pengolesan pada tanaman brokoli pada semua konsentrasi tidak menunjukkan
adanya gejala fitotoksik. Hal ini menunjukkan bahwa campuran ekstrak P.
retrofractum dan A. squamosa hingga konsentrasi 0,1% aman untuk diaplikasikan
(Isnaeni 2006).
Produk Pertanian, Petani dan Konsumen
Permintaan pasar akan produk pertanian yang sehat terus meningkat.
Sebagian masyarakat mulai menyadari pentingnya arti kesehatan terutama bagi
mereka yang ekonominya tergolong cukup dan mapan. Hal ini dapat dilihat dari
peningkatan permintaan produk-produk pertanian organik yang diyakini lebih
sehat karena bebas bahan kimia berbahaya. Salah satu contohnya adalah
permintaan terhadap beras organik. Permintaan pasar terhadap beras organik tetap
tinggi walaupun harganya relatif mahal (Rp 8.000 – Rp 13.000 per kg)
dibandingkan beras biasa (Rp 4.500 & Rp 6.000 per kg). Beras organik adalah
20
beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan tanpa menggunakan bahan kimia
sintetik, seperti pupuk kimia dan pestisida (Natural Nusantara 2009).
Masalah serangga hama tanaman akan selalu menyertai dalam proses
produksi pertanian sehingga teknologi pengendalian hama tanaman di lapangan
memang sangat diperlukan. Sementara itu tuntutan konsumen sekarang ini yang
memberikan perhatian lebih pada kesehatan tubuh dan lingkungan yang menuntut
lebih banyak akan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi dan aman juga
pada saat diproduksi di lapangan sehingga tidak mengganggu kesehatan
lingkungan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang komprehensif sehingga dapat
mempertemukan kedua kepentingan tersebut, yaitu antara produsen (pelaku
agribisnis) dalam pengendalian serangga hama tanaman dan konsumen dalam hal
mendapatkan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi. Salah satu
pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan insektisida nabati
yang mempunyai sifat relatif aman bagi manusia dan lingkungan. Untuk
mendapatkan insektisida yang efektif, efisien dan aman maka perlu studi yang
komprehensif dan terarah sehingga akan dihasilkan formulasi yang siap pakai oleh
pelaku agribisnis (Dadang dan Prijono 2008).
Download