TINJAUAN PUSTAKA Kebutuhan dan Produksi Sayuran di Indonesia Menurut Direktur Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka Ditjen Hortikultura konsumsi sayuran penduduk Indonesia masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) yaitu baru mencapai 73 kg/kapita/tahun, sedangkan standar kecukupan untuk sehat sebesar 91,25 kg/kapita/tahun. Sementara itu konsumsi sayuran penduduk Indonesia menurut data Departemen Pertanian (Deptan) pada tahun 2005 sebesar 35,30 kg/kapita/tahun, tahun 2006 sebesar 34,06 kg/kapita/tahun, tahun 2007 meningkat sebesar 40,90 kg/kapita/tahun dan tahun 2008 mengalami penurunan kembali menjadi 37,59 kg/kapita/tahun (Anonim 2009). Berkaitan dengan hal tersebut, Deptan telah mencanangkan program “Gema Sayuran” di tingkat propinsi di seluruh wilayah Indonesia. Program ini telah dilakukan sejak tahun 2006 di Aceh Besar, tahun 2009 di NTB dan tahun 2010 akan dilakukan di Pekanbaru, Riau. Tujuan program ini adalah untuk memasyarakatkan konsumsi sayuran guna meningkatkan gizi keluarga/masyarakat mulai dari anak-anak hingga dewasa, memperbaiki pandangan masyarakat terhadap sayuran produk petani Indonesia, membangun rasa bangga mengkonsumsi produk pertanian Indonesia, mendorong peningkatan produk sayuran Indonesia, meningkatkan hidup sehat bergizi dengan pangan, vitamin, mineral, serat dan antioksidan yang cukup, serta mendorong pengembangan keanekaragaman produk sayuran (Anonim 2009). Selain konsumsi, produksi sayuran dalam negeri juga masih rendah. Berdasarkan data produksi sayuran Ditjen Hortikultura bahwa produksi sayuran (di luar jamur) pada 2008, baru mencapai 8,72 juta ton. Jumlah tersebut menurun sebesar 1,43% dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menyebabkan produk sayuran pasar dalam negeri masih didominasi oleh produk sayuran dari luar negeri dan menyebabkan Indonesia masih harus mengimpor kekurangannya seperti pada tahun 2006, Indonesia mengimpor lebih dari 16 jenis sayuran sebanyak 550.437,6 ton dan pada tahun 2007 volumenya meningkat menjadi 782.734,8 ton (Iriana dan Suhendar 2009). 7 Contoh lain dari penurunan produksi komoditas hortikultura adalah produksi bawang merah pada tahun 2004 sebesar 757 ribu ton. Jumlah tersebut menurun sebesar 0,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya walaupun luas panen pada tahun tersebut meningkat sebesar 1,3%. Penurunan produksi ini disebabkan oleh penurunan produktivitas bawang merah pada tahun 2004 yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan yang dapat meningkatkan serangan hama dan patogen tanaman. Berlawanan dengan bawang merah, produksi bawang daun pada tahun 2003 mencapai 345,7 ribu ton atau meningkat sebesar 9,7% dibandingkan dengan produksi tahun sebelumnya. Namun, luas panen bawang daun pada tahun 2003 menurun sebesar 7,5% dibandingkan tahun sebelumnya (Deptan 2009). Produksi beberapa jenis tanaman sayuran mengalami fluktuasi. Produksi bawang merah, bawang putih, dan wortel pada 1998, masing-masing mengalami kenaikan 17%, 4%, dan 29% dibandingkan 1997. Pada jenis tanaman yang sama, yang mengalami penurunan adalah hasil kentang, tomat dan kubis, masing-masing 13%, 9%, dan 7% (Portal Indonesia 2007). Neraca perdagangan komoditas hortikultura secara total pada tahun 2003 dan 2004 sudah mencapai defisit masing-masing sebesar USD 105,4 juta dan USD 163,7 juta. Defisit neraca perdagangan hortikultura tersebut disebabkan oleh defisit pada komoditas buah-buahan dan sayuran. Pada tahun 2003 defisit neraca perdagangan buah-buahan dan sayuran masing-masing mencapai USD 63,5 juta dan USD 55,7 juta sedangkan pada tahun 2004 masing-masing meningkat mencapai USD 101,8 juta dan USD 76,7 juta (Deptan 2009). Penurunan produksi sayuran juga mengakibatkan menurunnya pasokan rata-rata sayuran di pasar. Contohnya pasokan cabai di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta pada bulan Maret minggu ke-4 menurun sekitar 10,9% dibandingkan dengan minggu ke-2. Pada minggu ke-1 bulan April pasokan mengalami sedikit kenaikan dibandingkan minggu ke-4 Maret, namun pada minggu ke-2 pasokan cabai mulai mengalami penurunan sekitar 9,4% dibandingkan minggu ke-1 bulan April. Sementara untuk komoditas bawang merah, pasokan bulan Maret minggu ke-4 mengalami penurunan sekitar 24% dibandingkan minggu ke-2. Pada minggu ke-1 April pasokan bawang mengalami sedikit kenaikan dibandingkan minggu ke- 8 4 Maret. Pada Bulan April minggu ke-2 mengalami penurunan sekitar 19% dibandingkan minggu ke-1 April (Dirjen Horti 2008). Berdasarkan informasi di atas, kebutuhan terhadap sayuran diperkirakan akan semakin meningkat sehingga upaya peningkatan produktivitas sayuran harus terus ditingkatkan. Namun, upaya peningkatan produktivitas sering dihadapkan pada berbagai kendala sehingga dapat menghambat upaya peningkatan bahkan terjadi penurunan produksi dan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Berbagai kendala tersebut diantaranya adalah penyempitan lahan pertanian dan peningkatan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dipicu oleh perubahan iklim. Kerugian sering diderita petani pada saat musim hujan. Para petani sayuran mengeluhkan anjloknya harga beragam jenis sayuran yang disebabkan banyak komoditas sayuran yang cepat busuk akibat tergenang air hujan dan memicu munculnya hama dan patogen penyebab penyakit yang menyerang tanaman (Rukmorini 2009). Hal serupa juga di alami oleh petani sayuran di Kawasan Lereng Gunung Merbabu dan Andong wilayah Kabupaten Magelang. Produksi sayuran menyusut sekitar 25-35% akibat meningkatnya curah hujan yang dapat meningkatkan serangan hama dan patogen sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara maksimal. Hal ini menyababkan petani menderita kerugian yang sangat besar. Contohnya adalah produksi tomat hanya sebesar 7,5 kuintal. Padahal pada kondisi normal produksinya dapat mencapai satu ton. Beberapa komoditas sayuran yang mengalami penurunan produksi adalah tomat yang sekitar 25%, kubis dan lombok sekitar 30% dan sawi putih sekitar 35% (Wawasan Digital 2009). Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae) Spodoptera litura termasuk dalam famili Noctuidae dan ordo Lepidoptera. Spesies ini telah lama diduga sebagai spesies kosmopolitan. S. litura memiliki dua karakteristik khas yaitu bulan sabit hitam pada ruas abdomen ke-4 dan ke-10, dan dikelilingi oleh garis-garis kuning pada bagian lateral dan dorsalnya. S. litura terdapat di Asia, Pasifik dan Australia. Di Indonesia, S. litura diketahui sebagai hama tembakau tetapi bersifat polifag mencakup banyak tanaman. Jenis ini 9 merupakan hama yang biasa ditemukan pada tembakau baik di pembibitan maupun di lapang. Jika tindakan pengendalian tidak dilakukan selama satu musim dapat menyebabkan kerusakan yang serius. Di Jawa, larva biasa ditemukan pada lahan kedelai yang masak dan menyebabkan kehilangan hasil berupa defoliasi total. Mereka juga diketahui sebagai hama kacang-kacangan, kentang, lombok dan bawang-bawangan, dan sedikit pada golongan Ricinus dan kubis. Hama ini kadang ditemukan pada beberapa tanaman serat, sayuran, dan tanaman hias. Mereka lebih menyukai tempat yang lembab dan sering bersembunyi di dalam tanah selama siang hari dan menyerang tanaman muda pada malam hari (Kalshoven 1981). Hama ini termasuk ke dalam jenis serangga yang mengalami metamorfosis sempurna yang terdiri dari 4 fase hidup, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Fase larva terdiri atas lima instar. Instar yang sangat berbahaya bagi tanaman adalah instar III dan IV. Telur diletakkan dalam kelompok dan ditutupi oleh sutera. Ulat menetas setelah 3-5 hari dan pada awalnya hidup secara gregarious. Beberapa hari kemudian, tergantung ketersediaan makanan mereka menyebar menggunakan benang dibantu oleh angin dan agens pembawa lain. Mereka mencapai instar akhir dalam waktu dua minggu dengan panjang mencapai 50 mm. Larva instar akhir sangat rakus. Pupa terjadi di tanah dalam kepompong yang terbuat dari tanah. Ngengat memiliki rentang hidup yang pendek dan dapat meletakkan telur dalam 2-6 hari dan menghasilkan beberapa kelompok telur. Total telur yang dihasilkan ± 2000-3000. Mereka kawin beberapa kali (Kalshoven 1981). Larva yang masih muda merusak daun dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas (transparan) dan tulang daun. Larva instar lanjut merusak tulang daun dan kadang-kadang menyerang polong. Biasanya larva berada di permukaan bawah daun dan menyerang secara serentak dan berkelompok. Serangan berat menyebabkan tanaman gundul karena daun dan buah habis dimakan ulat. Serangan berat pada umumnya terjadi pada musim kemarau, dan menyebabkan defoliasi daun yang sangat berat (Marwoto dan Suharsono 2008). Hama ini merupakan salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. Mereka menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif dan 10 generatif. Pada fase vegetatif, mereka menyerang daun tanaman muda sehingga hanya tersisa tulang daun saja sedangkan pada fase generatif mereka menyerang dengan memangkas polong-polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 1985). Serangan S. litura menyebabkan kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hari setelah tanam (HST) (Adisarwanto & Widianto 1999). Helicoverpa armigera Hubner (Lepidotera: Noctuidae) Larva yang baru menetas berwarna terang dengan bintik-bintik gelap kecil dan kepalanya berwarna gelap. Setelah larva berkembang, warnanya akan semakin gelap dan bintik-bintik gelap akan semakin jelas terlihat. Larva berukuran sedang mempunyai garis dengan warna beragam di sepanjang tubuh, pigmen gelap berbentuk pelana di segmen keempat dan bagian belakang kepala, dan kaki berwarna gelap. Larva yang berukuran besar mempunyai rambut-rambut putih di sekeliling kepalanya. Imagonya berupa ngengat berwarna coklat kusam mengkilat dengan tanda gelap dan panjangnya 35 mm. Pada bagian tanda gelap terdapat bagian berwarna terang atau pucat di bagian sayap belakang. Telur berdiameter 0,5 mm dan menetas dalam 2-5 hari. Hama ini menyerang semua jenis tanaman pertanian tetapi hanya sedikit yang menyerang gandum dan barley. Serangannya yang sangat luas pada berbagai jenis tanaman inilah yang menyebabkannya menjadi hama dalam sistem pertanian yang luas tidak hanya pada tanaman yang spesifik saja. Larva memakan daun tetapi biasanya menyebabkan kerusakan yang lebih parah ketika larva memakan bagian pucuk, ruas batang, bunga, biji dan atau buah. Kerusakan ini termasuk kehilangan hasil secara langsung dan menurunkan kualitas (DEEDI 2007). Ulat (larva H. armigera) dicirikan dengan warna hijau pucat, kadangkadang titik-titik hitam, dan pola garis-garis gelap tipis di sepanjang tubuh, garisgaris semakin gelap pada segmen kedua dan ketiga. Pada instar akhir, garis-garis gelap menjadi tidak terlalu mencolok dan titik-titik hitam di kelilingi area berwarna merah. Spesies ini mempunyai variasi warna yang beragam, seperti lebih terang atau lebih gelap pada larva dan imagonya. Karakteristik dari spesies 11 ini adalah bentuk tubuhnya akan berubah jika diganggu. Dia akan pergi dan menjatuhkan diri dan menggulung tubuhnya menjadi spiral. Ketika larva telah berkembang penuh yaitu berukuran 4 cm, larva akan berpupa dalam kokon di bawah permukaan tanah. Imagonya yang berupa ngengat akan keluar setelah ± 3 minggu. Sayap depan berwarna coklat dengan tanda gelap mengkilat di masingmasing sayap. Sayap belakang berwarna kuning mengkilat dikelilingi bagian gelap dan terang. Ngengat dewasanya sangat mirip dengan H. punctigera, tetapi untuk H. armigera dicirikan dengan larvanya mempunyai rambut-rambut putih pada protoraks, larva tidak mempunyai segi tiga gelap pada abdomen ruas pertama dan ngengatnya mempunyai tanda pucat yang dikelilingi bagian hitam di sayap belakang (Evans dan Crossley 2009). H. armigera merupakan salah satu hama utama yang menyerang jagung disetiap daerah sentra maupun pengembangan. Hama ini dikenal pula dengan ulat penggerek tongkol (Baco dan Tandiabang 1988 dalam Sarwono et al. 2003). Ambang kendali H. armigera pada tanaman kedelai adalah apabila terdapat 2 ekor per rumpun pada umur 45 hari setelah tanam atau intensitas serangan mencapai lebih dari 2% (Marwoto et al. 2001). Maruca testulalis Geyer (Lepidoptera: Pyralidae) Maruca testulalis adalah jenis hama pada tanaman kacang-kacangan seperti kacang tunggak, kacang panjang, kacang hijau dan kedelai. Nama umumnya penggerek polong, penggerek polong buncis, penggerek polong kedelai, ngengat kacang dan penggerek polong kacang-kacangan. Ia memakan pucuk bunga, bunga dan polong muda. Dalam beberapa kasus instar-instar muda memakan mahkota bunga dan batang muda (Wikipedia 2009). Maruca testulalis merupakan hama utama pada tanaman kacang hijau. Hama ini menyerang bunga, kecambah, dan polong dari beberapa leguminosa budidaya maupun liar. Serangga ini menyebar di seluruh daerah tropis. Di jawa dan Sumatera, kedelai dan kacang-kacangan, Canavallia, Crotalaria, Tephrosia, Pueraria, Cajanus, Derris, Sesbania, Caesalpinia dll dilaporkan sebagai tanaman inang. Larva muda memiliki preferensi terhadap opening flower (bunga yang mekar). Mereka juga memakan kuncup bunga dan polong muda dan makan daun 12 dan tunas. Bagian yang terserang terjalin menjadi satu oleh benang sutera. Larva berwarna hijau muda dengan kepala berwarna coklat atau gelap, cervic berbentuk perisai dan rambut papilla, dan mampu tumbuh mencapai 16 mm. Pupa ditemukan di tanah pada kokon yang terbuat dari benang sutera. Bunga dan kecambah terserang layu namun tetap menggantung karena jaring sutera. Secara umum kerusakan yang diakibatkan merupakan kerusakan minor (Kalshoven 1981). Kehilangan hasil di daerah tropik dan sub tropik mencapai lebih dari 60% akibat serangan hama ini (Macfoy et al. 1983). Hama penggerek polong Maruca tetulalis merupakan hama utama tanaman kacang hijau. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini mencapai antara 13–59% pada musim kemarau (Balitkabi 2008). Crocidolomia pavonana Zeller (Lepidoptera: Pyralidae) Crocidolomia binotalis, ulat krop kubis besar umum terdapat pada tanaman crucifera yang dibudidayakan maupun yang liar, dapat ditemukan di Afrika Selatan, Asia Tenggara, Australia dan pulau-pulau di Pasifik. Di jawa, ditemukan di dataran rendah sampai daerah perbukitan atau sedang. Hama menyerang berbagai jenis tanaman brassicae/kubis-kubisan termasuk sawi, vetsai, lobak, radish dan nasturtium liar. Larva muda hidup secara gregarious dan memakan bagian bawah daun kubis. Mereka menghindari cahaya. Kemungkinan daun yang terserang akan habis secara keseluruhan, terutama daun muda; titik tumbuh juga diserang. Pewarnaan larva sangat beragam, tapi umumnya berwarna hijau dengan warna bagian dorsal pucat dan pita hitam di bagian lateral, lempengan kitin mengandung rambut. Warna lateral dan ventral adalah kekuningan. Mereka tumbuh sampai ukuran sekitar 18 mm, dan berpupa di tanah yang dangkal dibungkus dengan lapisan tipis yang dilindungi partikel tanah. Ngengat bersifat nokturnal dan tidak tertarik cahaya. Telur diletakkan di kumpulan yang tumpang tindih berukuran 3x5 mm di bagian bawah daun. Betina hidup selama 16-24 hari dan memproduksi 11-18 kumpulan yang terdiri dari 3080 telur. Di Bogor, perkembangan penuh selesai dalam 22-30 hari. Spesies ini merupakan hama tanaman kubis yang paling umum dan paling merusak di Jawa. Akibat dari serangan ini menyebabkan kerusakan yang serius pada pertanaman, 13 tapi biasanya kubis bisa melakukan pertumbuhan tambahan, tapi kemudian tidak membentuk krop. Larva biasanya dikembangbiakkan di laboratorium karena mereka cocok untuk pengujian insektisida (Kalshoven 1981). Pestisida Sintetik, Manfaat dan Dampaknya Pestisida adalah substansi kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang digunakan untuk mengendalikan berbagai hama dan patogen penyeebab penyakit tanaman yang mencakup serangga, tungau, gulma, cendawan, bakteri, virus, nematoda, siput, tikus, burung dan organisme lain yang dianggap merugikan dan menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal (Biotis 2009). Menurut Tarumingkeng (1977), pestisida mencakup bahan-bahan racun yang digunakan untuk membunuh jasad hidup yang mengganggu tumbuhan, ternak dan sebagainya yang diusahakan manusia untuk kesejahteraan hidupnya. Pestisida berasal dari kata Pest yang berarti hama dan cide yang berarti membunuh. Aplikasi pestisida di lapangan digunakan bersama-sama dengan bahan lain misalnya minyak untuk melarutkan, air untuk mengencerkan, tepung untuk mempermudah dalam pengenceran atau penyebaran dan penyemprotan, bubuk yang dicampur sebagai pengencer (dalam formulasi dust), atraktan (misalnya bahan feromon) untuk pengumpan, bahan yang bersifat sinergis untuk penambah daya racun, dsb. Penggolongan pestisida didasarkan pada sasaran, asal dan sifat kimia. Berdasarkan sasaran pestisida digolongkan menjadi insektisida (racun serangga), fungisida (racun cendawan), herbisida (racun gulma), akarisida (racun tungau), rodentisida (racun tikus), nematisida (racun nematoda), dst. Sedangkan berdasarkan asal dan sifat kimianya digolongkan menjadi pestisida sintetik anorganik dan organik, serta pestisida hasil alam seperti nikotin, piretrin dan rotenon, sedangkan untuk jenis racunnya dibedakan atas racun sistemik dan racun kontak. Penggunaan pestisida dalam pengendalian akan memberikan hasil yang lebih cepat terutama untuk pengendalian-pengendalian yang bersifat kuratif (penyembuhan). Penggunaan pestisida juga bersifat fleksibel, mudah beradaptasi dalam segala hal dan situasi karena tersedia dalam berbagai bentuk formulasi dan 14 mudah didapatkan di kios-kios pestisida atau toko-toko pertanian, penggunaannya lebih praktis, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan pengendalian lain. Hal inilah yang menyebabkan petani lebih memilih pestisida sintetik dibandingkan dengan jenis pengendalian lainnya. Penggunaan pestisida terbanyak adalah dalam bidang pertanian, bahkan hampir 85% pestisida yang beredar di dunia ini digunakan untuk bidang pertanian (Dadang 2007). Menurut Girsang (2006) pestisida adalah bahan beracun yang termasuk pencemar bagi lingkungan dan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Cara aplikasinya yang tidak bijaksana dapat menyebabkan degradasi lingkungan berupa kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh sifatnya yang beracun dan persistensinya yang cukup lama bahkan untuk beberapa jenis pestisida dapat mencapai puluhan tahun. Pencemaran pestisida dapat terjadi melalui angin, aliran air dan terbawa melalui tubuh organisme yang dikenainya. Sebagai contoh pestisida yang diaplikasikan di sawah beririgasi atau kebun akan ikut terbawa aliran air ke sungai dan akhirnya ke laut jika terjadi hujan. Sedangkan sisa pestisida yang tidak terbawa akan mengendap di tanah dan sebagian terdapat pada tanaman yang diaplikasi pestisida sebagai residu dan akan membahayakan bagi organisme yang memakannya. Makhluk hidup pada ekosistem perairan yang ada di sawah, sungai dan laut seperti ikan dan makhluk hidup aquatik lainnya dapat teracuni oleh pestisida yang terbawa aliran air dan akhirnya dapat meracuni organisme yang memakannya dengan kadar racun yang terus terakumulasi sehingga kadar racun pada organisme yang terdapat pada aras tropi yang lebih tinggi pada rantai makanan akan semakin meningkat. Beberapa hasil monitoring menunjukkan bahwa hampir di setiap tempat di lingkungan sekitar kita seperti dii dalam tanah, air minum, air sungai, air sumur, dan udara ditemukan residu pestisida. Kondisi seperti ini secara tidak langsung dapat membahayakan organisme bukan sasaran dan dapat menurunkan kualitas lingkungan. Menurut Coutney et al. (1973) dalam Saenong (2008), pencemaran perairan oleh pestisida bersumber dari aliran air di daerah pertanian terutama selama musim hujan. Kadar pestisida yang tinggi dapat membunuh makhluk hidup yang ada di dalam air. Namun, ada pula pestisida-pestisida yang 15 persistensinya tinggi seperti golongan organoklorin meskipun dengan kosentrasi rendah dapat masuk dalam rantai makanan dan mengalami proses peningkatan kadar (biological magnification) sampai pada derajat yang mematikan. Perlakuan paraquat pada dosis 1,0 ppm selama 4 jam dapat menurunkan produktivitas fitoplankton sebesar 53%, perlakuan diquat dengan dosis yang sama dalam selang waktu 48 jam menurunkan produktivitas 45%, sedangkan perlakuan diuran dengan dosis 1,0 ppm dalam selang waktu 4 jam menurunkan produktivitas sampai 87% (Pimentel 1974 dalam Saenong 2008). Pestisida Nabati Pestisida nabati dikenal juga dengan pestisida alami. Pestisida nabati berbahan aktif senyawa metabolit sekunder tumbuhan baik tunggal maupun majemuk yang bisa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Selain itu, pestisida nabati juga bisa berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul) dan pembunuh. Secara umum, pestisida nabati diartikan sebagai suatu pestisida yang bahan dasarnya dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan kemampuan dan pengetahuan terbatas (Anonim 2008). Insektisida nabati atau insektisida botani (botanical insecticide) adalah insektisida yang berbahan aktif senyawa dari tumbuhan atau tanaman (Dadang 2007). Penggunaan insektisida atau pestisida nabati lebih menguntungkan karena terbuat dari bahan alami atau nabati yang bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak mencemari lingkungan dan diniliai relatif aman bagi manusia dan ternak peliharaan, karena residu mudah hilang. Selain itu, pestisida nabati juga memiliki tingkat selektivitas yang tinggi sehingga dapat mengurangi resiko bahaya pada organisme bukan sasaran (Anonim 2008). Di Indonesia terdapat banyak jenis tumbuhan sebagai bahan pestisida nabati. Bahan dasar pestisida alami ini bisa didapatkan pada beberapa jenis tanaman. Zat yang terkandung di masing-masing tanaman memiliki fungsi berbeda ketika berperan sebagai pestisida (Anonim 2008). Pestisida nabati bersifat “hit and run” (pukul dan lari), yaitu apabila diaplikasikan akan membunuh hama pada waktu itu dan setelah hamanya terbunuh maka residunya akan cepat hilang 16 di alam. Lebih dari 2.400 jenis tumbuhan yang termasuk ke dalam 235 famili dilaporkan mengandung bahan pestisida (Kardinan 2002). Cabe Jawa (Piper retrofractum Vahl., Piperaceae) Cabe jawa merupakan tumbuhan asli Indonesia. Cabe jawa biasa ditanam di pekarangan, ladang atau tumbuh liar di tempat-tempat yang tanahnya tidak lembab dan berpasir seperti di dekat pantai atau di hutan hingga ketinggian 600 m dpl. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 10 m. Cabe jawa termasuk tanaman tahunan, mempunyai batang percabangan liar yang dimulai dari pangkalnya yang keras dan menyerupai kayu, tumbuh memanjat, melilit, atau melata dengan akar lekatnya. Daun tunggal, bertangkai, bentuknya bulat telur sampai lonjong, pangkal membulat, ujung runcing, tepi rata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, permukaan bawah berbintik-bintik, panjang 8,5-30 cm, lebar 3-13 cm dan berwarna hijau. Bunga berkelamin tunggal, tersusun dalam bulir yang tumbuh tegak atau sedikit merunduk, bulir jantan lebih panjang dari bulir betina. Buah majemuk berupa bulir, bentuk bulat panjang sampai silindris, bagian ujung agak mengecil, permukaan tidak rata, bertonjolan teratur, panjang 2-7 cm, garis tengah 4-8 mm dan bertangkai panjang. Buah muda berwarna hijau, keras dan pedas kemudian warna berturut-turut berubah menjadi kuning gading dan akhirnya menjadi merah, lunak dan manis ketika buah sudah masak. Biji bulat pipih, keras dan berwarna cokelat kehitaman. Cara perbanyakan tanaman ini adalah dengan biji atau stek batang (Anonim 2008). Cabe jawa, cabe jamu, lada panjang, atau cabe saja (P. retrofractum syn. P. longum) adalah kerabat lada dan termasuk dalam suku sirih-sirihan atau famili Piperaceae (Wikipedia 2008). Cabe jawa tersebar di seluruh nusantara dan tumbuh pada ketinggian di bawah 600 m dpl atau pada tanah miskin hara dan sangat kering misalnya di pantai. Namun, cabe jawa juga dapat tumbuh di hutan yang daunnya gugur secara berkala. Tumbuhan ini tidak dibudidayakan karena dapat tumbuh liar dan dapat diperbanyak dengan stek. Pertumbuhannya dibantu dengan penyangga supaya dapat tumbuh tegak. Jika dipangkas tingginya dapat mencapai 5 kaki dan jika tidak dipangkas tanaman akan tumbuh tinggi dan tidak berbunga. Tanaman 17 dewasa berbunga dan berbuah sepanjang tahun dan tiap beberapa hari menghasilkan 30-40 buah (Heyne 1987). Srikaya (Annona squamosa Linn., Piperaceae) Tumbuhan ini merupakan perdu tegak, tinggi 2-3 m, banyak ditanam di kebun-kebun terutama di Jawa Timur dan Madura karena buahnya harum dan rasanya enak. Akar tumbuhan ini beracun. Daunnya yang dimemarkan sangat berpotensi sebagai bahan untuk mempercepat pecahnya bagian yang membengkak. Buah hanya dihasilkan pada musim hujan. Biji memiliki kulit yang keras dan mengandung 45% minyak yang tidak mengering dan berwarna kuning. Di India dan Indonesia, biji tumbuhan ini digiling menjadi tepung untuk membunuh kutu kepala (Heyne 1987). Potensi P. retrofractum dan A. squamosa sebagai Insektisida Nabati Buah cabe jawa sangat berpotensi untuk dijadikan bahan insektisida nabati. Salah satu kandungan buah cabe jawa adalah piperine yang mempunyai daya antiperetik, analgesik, antiinflamasi dan menekan susunan syaraf pusat. Selain terdapat pada buah, piperine juga terdapat pada bagian akar (Sentra Informasi Iptek 2009). Cabe jawa mengandung piperine yang mempunyai rasa pedas. Piperine yang dimurnikan sangat berpotensi menekan kemunculan imago Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae) dengan ED50 sebesar 50 ppm (Trakoontivakorn et al. 2005). Srikaya (A. squamosa) merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai peluang untuk digunakan sebagai bahan insektisida nabati. Biji srikaya mengandung 42-45% lemak, resin dan senyawa kimia annonain yang terdiri atas squamosin dan asimisin yang bekerja sebagai racun perut dan racun kontak terhadap serangga serta bersifat sebagai insektisida, repelent dan antifeedant (Kardinan 2002). Akar dan kulit kayu tanaman srikaya mengandung flavonoid, borneol, kamphor, terpene, dan alkaloid anonain. Di samping itu, akarnya juga mengandung saponin, tanin, dan polifenol. Biji srikaya mengandung minyak, resin, dan bahan beracun yang bersifat iritan. Buahnya mengandung asam amino, gula buah, dan mucilago. Sedangkan buah yang masih muda mengandung 18 tanin. Kandungan biji srikaya berkhasiat memacu enzim pencernaan, abortivum, anthelmintik dan pembunuh serangga (insektisida). Kulit kayu berkhasiat sebagai astringen dan tonikum. Buah muda dan biji juga berkhasiat sebagai antiparasit (Anonim 2009). Menurut Ekawati (2008), ekstrak tanaman P. retrofractum memberikan efek dalam menghambat aktivitas peneluran Sitophilus zeamais (Coleoptera: Curculionidae) yang baik pada perlakuan ekstrak metanol pada semua konsentrasi untuk metode tanpa pilihan dan pada konsentrasi 5% untuk metode pilihan, serta pada konsentrasi 0,5%, 1%, dan 5% pada perlakuan ekstrak heksana dengan metode tanpa pilihan dan pilihan. Serbuk tanaman P. retrofractum dapat menghambat aktivitas peneluran S. zeamais pada semua perbandingan dengan nilai rata-rata aktivitas penghambatan peneluran sebesar 100% dengan metode tanpa pilihan dan metode pilihan. Tiga ekstrak, P. retrofractum, A. squamosa dan A. odorata memberikan tingkat efektifitas yang tinggi baik terhadap C. pavonana maupun P. xylostella dengan memberikan nilai LC95 lebih rendah pada konsentrasi ekstrak 0,1% dengan menggunakan metode residu pada daun. Sementara itu dengan metode perlakuan setempat hanya ekstrak A. squamosa yang memberikan efektivitas tinggi. Untuk pengujian kompatibilitas dua estrak dari tiga ekstrak yaitu P. retrofractum, A. squamosa dan A. odorata, menunjukkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dengan A. squamosa dan A. odorata dengan A. squamosa menunjukkan efek sinergis untuk semua perbandingan, sedang campuran A. odorata dengan P. retrofractum menunjukkan pengaruh sinergis hanya pada perbandingan 1:1 terhadap C. pavonana. Pengujian terhadap larva P. xylostella menghasilkan satu ekstrak yang bersifat sinergis untuk semua tingkat LC (lethal concentrations) yaitu campuran ekstrak A. odorata dengan A. squamosa pada perbandingan 1:1, namun demikian terdapat dua ekstrak campuran yaitu campuran ekstrak P. retrofractum dengan A. squamosa pada perbandingan 1:1 dan 2:1 yang memberikan nilai LC rendah (Dadang et al. 2007). Ekstrak biji srikaya berpengaruh nyata pada pembentukan pupa dan imago hama krop kubis. Peningkatan konsentrasi ekstrak menyebabkan berkurangnya pembentukan pupa dan imago. Perlakuan terhadap larva menyebabkan larva yang 19 hidup menjadi lemah pada instar akhir dan fase prapupa sehingga menyebabkan larva gagal mengalami pupasi, demikian juga dengan imagonya (Herminanto et al. 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak biji srikaya memperlihatkan perbedaan mortalitas larva Aedes aegypti pada semua dosis setelah 12 jam pengamatan, dosis terendah 400 ppm dengan mortalitas 34% dan dosis tertinggi 800 ppm dengan mortalitas 89% (Adam et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji lada dan srikaya efektif mengendalikan Callosobruchus spp. pada semua aras dosis yang diujikan. Bubuk biji lada pada dosis 0,5%, 1%, dan 2% serta biji srikaya pada dosis 0,5% dan 2% mampu mempertahankan viabilitas benih kedelai tetap baik setelah disimpan selama 70 hari, sedangkan bubuk biji srikaya dosis 1% tidak sebaik dosis lainnya (Dinarto dan Astriani 2006). Campuran ekstrak tanaman P. retrofractum dan A. squamosa pada konsentrasi (PA 3:7 0,05%, PA 3:7 0,1%, PA 1:1 0,05%, PA 1:1 0,1%) menunjukkan kematian larva C. pavonana <50% pada 1 hari setelah perlakuan (HSP). Pada 3 HSP terjadi peningkatan kematian larva yang mencapai 100% kecuali pada perlakuan ekstrak PA 1:1 0,05% yang menunjukkan kematian larva sebesar 89,74%. Selama 10 hari pemaparan baik penyemprotan maupun pengolesan pada tanaman brokoli pada semua konsentrasi tidak menunjukkan adanya gejala fitotoksik. Hal ini menunjukkan bahwa campuran ekstrak P. retrofractum dan A. squamosa hingga konsentrasi 0,1% aman untuk diaplikasikan (Isnaeni 2006). Produk Pertanian, Petani dan Konsumen Permintaan pasar akan produk pertanian yang sehat terus meningkat. Sebagian masyarakat mulai menyadari pentingnya arti kesehatan terutama bagi mereka yang ekonominya tergolong cukup dan mapan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan permintaan produk-produk pertanian organik yang diyakini lebih sehat karena bebas bahan kimia berbahaya. Salah satu contohnya adalah permintaan terhadap beras organik. Permintaan pasar terhadap beras organik tetap tinggi walaupun harganya relatif mahal (Rp 8.000 – Rp 13.000 per kg) dibandingkan beras biasa (Rp 4.500 & Rp 6.000 per kg). Beras organik adalah 20 beras yang berasal dari padi yang dibudidayakan tanpa menggunakan bahan kimia sintetik, seperti pupuk kimia dan pestisida (Natural Nusantara 2009). Masalah serangga hama tanaman akan selalu menyertai dalam proses produksi pertanian sehingga teknologi pengendalian hama tanaman di lapangan memang sangat diperlukan. Sementara itu tuntutan konsumen sekarang ini yang memberikan perhatian lebih pada kesehatan tubuh dan lingkungan yang menuntut lebih banyak akan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi dan aman juga pada saat diproduksi di lapangan sehingga tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Untuk itu diperlukan pendekatan yang komprehensif sehingga dapat mempertemukan kedua kepentingan tersebut, yaitu antara produsen (pelaku agribisnis) dalam pengendalian serangga hama tanaman dan konsumen dalam hal mendapatkan produk pertanian yang aman untuk dikonsumsi. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan penggunaan insektisida nabati yang mempunyai sifat relatif aman bagi manusia dan lingkungan. Untuk mendapatkan insektisida yang efektif, efisien dan aman maka perlu studi yang komprehensif dan terarah sehingga akan dihasilkan formulasi yang siap pakai oleh pelaku agribisnis (Dadang dan Prijono 2008).