Jurnal Anestesiologi Indonesia PENELITIAN Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Comparison of The Effect of Intravenous Pethidine and Ondansetron for Prevention of Shivering After General Anesthesia Arie Z ain ul Fa ton i  *, I sngad i*, W iwi J aya* *Bagian/SMF Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya / RSU dr Saiful Anwar Malang Korespondensi / correspondence: [email protected] ABSTRACT Background : Shivering is a common complication after general anesthesia that can cause uncomfortable condition and several risks. Because of that, post anesthesia shivering must be prevented or treated immediately. The most commonly drug that used in dr.Saifu Anwar Hospitasl is pethidine but it has adverse reaction such as nausea, vomiting and respiratory depression. Ondansetron is a specific 5-HT3 antagonist that can reduce nausea-vomiting and postanesthesia shivering. Objective : To compare the effect of intravenous pethidine 0.4 mg/kgbw and ondansetron 0.1 mg/kgbw for prevention of shivering after general anesthesia Methods : This experimental study was designed as single blind true experimental design of 32 patients 18-40 years oíd who underwent 1-3 hours surgery in general anesthesia. At the end of surgery, we made patient breathed spontaneously. Twenty minutes before extubation, patients were divided into two groups : Group I received pethidine 0.4 mg/kgbw and group II received ondansetron 0.1 mg/kgbw. After adequate spontaneous breathing and laryngeal reflex recovery, extubation was done. After extubation patients were receiving oxygen 8L/minute. Vital signs, side effects and shivering were measured every 5 minutes for 30 minutes long. Statistical analysis were performed by Mann whitney, with p-value < 0.05 was considered significant. Results : Patient characteristics of the two groups were not significantly different (p>0.05). Incidence of shivering in group I were developed in 4 patients (25%) which 3 patients were 1st degree and 1 patient was 2nd degree. In group II, 3 patients (18.75%) had incidence of shivering, which 2 patients were 1st degree and 1 patient was 2nd degree. The incidence and grades of shivering between two groups were not significantly different (p>0.05). Tympanic membrane temperature of group I and group II were not significanlty different s (p>0.05). Nausea occured in group I (12.5%) on the other side group II had no side effects but the results were not significantly different (p>0.05). Conclusion : Pethidine 0.4 mg/kgbw and ondansetron 0.1 mg/kgbw have similar effect in preventing post anesthesia shivering Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Terakreditasi DIKTI2,dengan Volume VI, Nomor Tahunmasa 2014 berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019 Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014 89 Jurnal Anestesiologi Indonesia Key words : post anesthesia shivering, pethidine, ondansetron. ABSTRAK Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis 5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil. Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum. Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun yang menjalani operasi 1 – 3 jam dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/ kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05. Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%) mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum. Kata kunci : menggigil pasca anestesi umum, petidin, ondansetron. PENDAHULUAN Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi selama 90 tindakan anestesi. Kejadian menggigil ini cukup tinggi, yaitu hampir 65% Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Jurnal Anestesiologi Indonesia pasien mengalaminya setelah tindakan anestesi umum dan sekitar 57% pasien mengalaminya selama tindakan anestesi regional. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal yaitu : hipotermi akibat redistribusi panas dari pusat tubuh ke perifer, suhu kamar operasi yang dingin/rendah, lamanya luka daerah operasi yang terbuka, pelepasan sitokin akibat tindakan operasi, dan penggunaan obat – obat anestesi yang menurunkan ambang batas menggigil dan menurunkan respon vasokontriksi terhadap hipotermi.1,2,3 Menggigil merupakan suatu respon yang tidak nyaman bagi pasien dan akan menimbulkan risiko yang tidak baik bagi pasien karena berkaitan dengan aktivasi simpatis/adrenergik seperti meningkatnya proses metabolisme tubuh, meningkatnya kebutuhan konsumsi oksigen sampai 4 6 kali lipat, timbulnya peningkatan produksi karbondioksida dan akan memperberat nyeri pasca operasi. Peningkatan kadar katekolamin dalam darah juga akan meningkatkan risiko komplikasi kardiovaskular. Menggigil juga akan meningkatkan tekanan intraokuli dan tekanan intrakranial. Hal ini akan membahayakan pada pasien pasien dengan kondisi yang tidak optimal seperti pasien dengan gangguan jantung dan pasien dengan penyakit paru obstruksi menahun. Oleh sebab itu kejadian menggigil pasca anestesi umum sebaiknya dicegah dan kalau sudah timbul harus segera ditangani dengan baik.3,4 Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Secara umum, tata laksana menggigil ini dibagi menjadi dua yaitu non farmakoterapi dan farmakoterapi. Tindakan pencegahan non farmakoterapi yaitu dengan menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan operasi dan setelah tindakan anestesi dengan pemberian selimut yang mengandung udara hangat dan pemberian cairan infus yang hangat. Penggunaan teknik farmakoterapi merupakan cara yang sering digunakan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi umum. Ada beberapa obat yang dapat digunakan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi umum antara lain : petidin, fentanil, morfin, ketamin, tramadol, klonidin, magnesium sulfat dan 5,6,7 ondansetron. Petidin merupakan agonis opioid sintetik yang bekerja pada reseptor opioid µ (mu) dan κ (kappa). Petidin mempunyai efek untuk mengatasi menggigil melalui reseptor κ. Petidin merupakan obat yang paling efektif dan sering digunakan untuk mengatasi menggigil. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus dan depresi nafas.1,8 Ondansetron adalah derivat dari karbazolon yang strukturnya berkaitan dengan antagonis reseptor serotonin dan sub tipe 5-Hidroksitriptamin tipe 3 (5HT3 ) spesifik yang tidak mempunyai efek pada aktifitas reseptor dopamin, histamine, adrenergik dan kolinergik.8 91 Jurnal Anestesiologi Indonesia Ondansetron sudah sering digunakan untuk anti emetik, selain efek tersebut ondansetron juga mempunyai efek anti menggigil melalui mekanisme penghambatan pada reseptor 5-HT3 yang mengakibatkan penghambatan termoregulasi pada tingkat hipotalamus yang merupakan pusat pengaturan suhu tubuh. Oleh karena itu, ondansetron juga dapat digunakan untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum sekaligus sebagai anti emetik.9,10 Sampai saat ini, petidin merupakan obat yang paling banyak digunakan sebagi obat anti menggigil di RSU dr.Saiful Anwar Malang. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual, muntah, pruritus dan depresi nafas.4,7,8 Berbeda dengan petidin, ondansteron yang juga sudah terbukti mempunyai efek anti menggigil mempunyai efek anti mual dan muntah serta tidak memiliki efek samping sebesar petidin.4 Oleh sebab itu, peneliti tertarik melakukan penelitian perbandingan efek ondansetron 0.1 mg/kgbb dan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah kejadian menggigil pasca anestesi umum. 92 METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian single blind true experimental design. Kelompok penelitian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgBB menjelang akhir anestesi dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/ kgBB menjelang akhir anestesi. Tempat penelitian adalah Rumah Sakit Umum dr. Saiful Anwar (RSSA) Malang. Kriterian inklusi adalah pasien berusia 18 – 40 tahun, status fisik berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA) I-II, lama anestesi 1-3 jam, tidak mempunyai kelainan psikiatris, kelainan neuromuskular dan kelainan jantung. Sedangkan kriteria eksklusi adalah pasien yang memerlukan obat vasokonstriktor selama tindakan anestesi, pasien yang mengalami komplikasi selama tindakan anestesi seperti infark miokard akut, syok, henti jantung dan pasien yang memerlukan perawatan di ruang intensif pasca pembedahan. Pemilihan sampel dilakukan dengan purposive sampling dengan jumlah sampel yang diperlukan adalah 32 sampel, yang dibagi menjadi dua kelompok, dimana masing – masing kelompok berjumlah 16 sampel. Setelah mendapat persetujuan komisi etik RSSA Malang, pasien yang Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Jurnal Anestesiologi Indonesia memenuhi kriteria inklusi diberikan penjelasan dan informed consent. Pasien yang setuju mengisi informed consent dipuasakan 6 jam sebelum operasi dan selama puasa kebutuhan cairan dipenuhi dengan cairan RL (ringer laktat). Saat di kamar operasi, dilakukan pengukuran tekanan darah (TD), frekuensi nadi (FN), suhu membran timpani dan saturasi oksigen (SaO2) sebelum dilakukan induksi anestesi. Induksi anestesi dilakukan dengan proprofol 1 - 2 mg/kgbb dan analgetik fentanil 2 mcg/kgBB. Setelah refleks bulu mata hilang, diberikan atrakurium 0.5 mg/kgbb, kemudian dilakukan intubasi endotrakea. Pemeliharaan anestesi dengan isofluran dengan kombinasi N2 0 : O2 = 2:1. Analgetik selama operasi diberikan fentanil intermiten 1 – 2 mcg/kgbb setiap jam. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Analgetik pasca operasi menggunakan ketorolak 30 mg. Dua puluh menit sebelum anestesi dihentikan dilakukan randomisasi dengan dibagi menjadi kelompok I dan II. Setelah operasi selesai, ventilasi adekuat, pasien bangun dan refleks laring telah kembali, baru dilakukan ekstubasi. Dicatat TD, FN, suhu membran timpani, SaO2 dan derajat menggigil tiap 10 menit sampai 30 pasca ekstubasi. Di ruang pulih sadar, pasien diberikan selimut dan oksigen masker 8 L/menit. Menggigil adalah suatu fasikulasi atau tremor yang terdeteksi pada otot rangka di wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung lebih dari 15 detik.11 Derajat menggigil dinilai Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 dengan skala menggigil Crossley dan Mahajan, yaitu : 0 : tidak ada menggigil, 1 : tidak tampak aktifitas muskuler/tremor, tetapi hanya tampak piloereksi atau vasokontriksi perifer atau keduanya, 2 : aktifitas muskuler pada hanya satu kelompok otot, 3 : aktifitas muskuler sedang pada lebih dari satu kelompok otot, tetapi tidak terlihat menggigil seluruh tubuh, 4 : aktifitas otot-otot seluruh tubuh sangat kuat dan terus menerus.12 Pasien yang masih menggigil diterapi dengan cairan infus RL hangat untuk mengembalikan kondisi normotermia dan diberikan petidin 20 mg serta tramadol 2 mg/ kgbb. Apabila terjadi efek samping obat, maka dicatat dan diberikan penatalaksanaan yang sesuai. Data diolah dengan komputer menggunakan program SPSS (Statistical Package for Social Sciences) Windows dan dinyatakan dalam bentuk tabel dan grafik. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan uji Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p < 0,05. HASIL Telah dilakukan penelitian perbandingan efek pemberian ondansetron dan petidin intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum pada 32 pasien yang menjalani tindakan anestesi umum 93 Jurnal Anestesiologi Indonesia dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu serta bersedia untuk mengikuti penelitian ini. Dari tabel 1 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna (p>0.05) untuk variabel usia, jenis kelamin, BB, TB, BMI, durasi anestesi, suhu membran timpani sebelum induksi, suhu kamar operasi, jenis operasi jumlah perdarahan dan jumlah cairan sampel antara kelompok petidin dan kelompok ondansentron. Pada gambar 1 didapatkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada temperatur membran timpani saat akhir anestesi umum, menit ke 10, ke 20 dan menit ke 30 pasca ekstubasi antara dua kelompok tersebut. Perbandingan kejadian dan derajat menggigil antara kelompok petidin dan ondansetron menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna (p>0.05)(tabel 2). Pada gambar 2 dapat kita lihat dari 16 pasien, terdapat 4 (25%) pasien dari kelompok ondansteron mengalami kejadian menggigil pasca anestesi umum. Tiga pasien mengalami menggigil derajat 1, dan satu pasien mengalami menggigil derajat dua. Pada kelompok petidin, terdapat 3 (18.75%) pasien mengalami menggigil pasca anestesi umum. Dua pasien mengalami menggigil derajat 1, dan satu pasien mengalami menggigil derajat dua. Pada penelitian ini didapatkan efek samping obat yang ditimbulkan 94 dari pemberian petidin berupa mual. Dari 16 pasien yang mendapat petidin 0.4 mg/kgbb, didapatkan 2 (12.5%) pasien mengalami efek samping mual (gambar 3). Sedangkan pada kelompok ondansetron tidak didapatkan kejadian mual. Akan tetapi secara statistik (tabel 2) menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0.05) pada kejadian mual diantara kedua kelompok perlakuan tersebut. PEMBAHASAN Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi selama tindakan anestesi. Kejadian menggigil ini sekitar 40 – 60% pada pasien pasien yang dilakukan tindakan anestesi umum dan 56,7% pada pasien pasien yang dilakukan tindakan anestesi regional. Menggigil merupakan suatu respon yang tidak nyaman bagi pasien dan akan menimbulkan risiko yang tidak baik bagi pasien karena berkaitan dengan aktivasi simpatis/adrenergik seperti meningkatnya proses metabolisme tubuh, meningkatnya kebutuhan konsumsi oksigen sampai 4 - 6 kali lipat, timbulnya peningkatan produksi karbondioksida dan akan memperberat nyeri pasca operasi.1,2,12 Obat anti menggigil yang sudah terbukti efektif dan paling sering digunakan ialah petidin. Petidin merupakan opioid yang bekerja pada reseptor µ dan κ. Petidin dapat menurunkan ambang menggigil dua kali lipat lebih besar dibandingkan ambang vasokontriksi sehingga dapat mencegah Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Jurnal Anestesiologi Indonesia timbulnya menggigil. Kemampuan petidin dalam mencegah menggigil ini dikarenakan efek petidin pada reseptor κ yang akan menurunkan ambang rangsang menggigil dan vasokontriksi. Akan tetapi petidin mempunyai beberapa efek samping yang tidak menguntungkan seperti mual dan muntah.8,13 Ondansetron merupakan antagonis spesifik reseptor 5-HT3 yang sering digunakan sebagai anti emetik. Selain anti emetik, ondansetron juga mempunyai efek anti menggigil dengan menghambat termoregulasi di 14 hipotalamus. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan efek ondansetron dan petidin dalam mencegah kejadian menggigil pasca anestesi umum. Dari total 32 sampel yang didapat, terdapat 25% sampel dari kelompok petidin mengalami kejadian menggigil. Dengan18.75% pasien (3 sampel) mengalami menggigil derajat 1 dan 6.25% (1 sampel) mengalami menggigil derajat 2 serta sisanya tidak mengalami kejadian menggigil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Entezari et al (2012) bahwa petidin 0.4 mg/kgbb dapat menurunkan kejadian menggigil pasca anestesi umum sampai sekitar 20% dari total pasien yang menjalani tindakan 15 anestesi umum. Mekanisme petidin dalam mencegah menggigil disebabkan oleh kemampuannya dalam mempengaruhi beberapa reseptor yaitu sebagai agonis reseptor κ, stimulasi reseptor adrenoreseptor subtipe α2 B, Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 menghambat reuptake monoamin dan sebagai antagonis reseptor NMDA (Nmethyl-D-aspartate).12,13,16,17 Di dalam hipotalamus terdapat keseimbangan monoamin yang mengatur ambang normal suhu tubuh. Serotonin (5-HT) merupakan monoamin yang menyebabkan vasokontriksi dan menggigil sehinggan meningkatkan suhu tubuh, sedangkan epineprin-norepineprin mempunyai efek yang sebaliknya yang akan menurunkan ambang normal pengaturan suhu tubuh pada hipotalamus. Petidin merupakan penghambat reuptake dari norepineprin sehingga akan mengganggu keseimbangan monoamin dalam hipotalamus. Peningkatan kadar norepineprin pada hipotalamus akan menurunkan ambang rangsang 14,17 menggigil. Kemampuan petidin sebagai antagonis reseptor NMDA dan agonis adrenoreseptor subtipe α2 B akan memodulasi termoregulasi serta akan menghambat masuknya ion Ca2+ dari ekstraselluler ke dalam sel syaraf. Peningkatan retensi ion Ca2+ pada permukaan neuron akan menstabilkan membran sel dan akan menurunkan ambang rangsang neuron (heat gain units) yang akan mengatur peningkatan panas tubuh pada hipotalamus posterior sehingga mencegah timbulnya 17,18 menggigil. Pada kelompok ondansetron, sebanyak 18.75% pasien masih 95 Jurnal Anestesiologi Indonesia Tabel 1 Karakteristik Sampel Kedua Kelompok Perlakuan Petidin Mean/ Total 33.6 Karakteristik Sampel Usia (tahun) (2) Jenis kelamin(2) Laki-laki 7 Perempuan 9 Berat Badan/BB (kg) (1) 53.6 Tinggi Badan/TB (cm) (1) 157.2 2 (2) BMI (kg/m ) 21.5 Durasi Anestesi (menit) (2) 125 Suhu membran timpani sebelum induksi (Celcius)(2) 36.7 Suhu Kamar Operasi (Celcius) (1) 21.0 Jenis Operasi(2) Ortopedi 3 Onkologi 3 Plastik 2 Digestif 1 Neurosurgeri 2 Mata 3 THT 2 Jumlah Perdarahan (ml) (2) 129.3 Jumlah Cairan (ml) (2) 850.0 ±Std. dev. ±8.30 Ondansentron Mean/ ±Std. Total dev. 30.0 6.91 43% 57% ±7.76 ±5.84 ±1.99 9 7 51.8 156.5 20.9 57% 43% ±9.45 ±11.14 ±1.91 0.486 ±47.69 109 ±44.35 0.322 ±0.25 36.6 ±0.19 0.382 ±0.88 21.0 ±0.48 0.934 0.924 18.8% 18.8% 12.5% 6.20% 12.5% 18.8% 12.5% 94.9 380.78 3 4 1 1 2 1 4 88.1 734.3 18.8% 25% 6.20% 6.20% 12.5% 6.20% 25% 99.4 368.20 Uji Statistik (p) 0.137 0.558 0.828 0.363 0.069 0.301 Keterangan: (1) Uji t independen (2) Uji Mann whitney Tabel 2. Perbandingan Kejadian dan Derajat Menggigil antara kedua kelompok Derajat menggigil pasca anestesi umum (1) Petidin Jumlah Prosentase Uji Stat (p) Ondansetron Jumlah Prosentase Menggigil derajat 0 / tidak menggigil 12 Menggigil derajat 1 3 18.75% 2 12.5% Menggigil derajat 2 1 6.25% 1 6.25% Menggigil derajat 3 0 0% 0 0% Menggigil derajat 4 0 0% 0 0% Kejadian menggigil(2) 4 25% 3 18.75% 0.674 2 12.5% 0 0 0.151 Efek samping mual(2) 96 75% 13 81.25% 0.695 Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Jurnal Anestesiologi Indonesia Gambar 1. Suhu membran timpani pada kedua kelompok Gambar 2. Derajat menggigil pada kedua kelompok Gambar 3. Efek samping mual pada kedua kelompok Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 97 Jurnal Anestesiologi Indonesia mengalami kejadian menggigil pasca anestesi umum. Dengan12.5% pasien (2 sampel) mengalami menggigil derajat 1 dan 6.25% (1 sampel) mengalami menggigil derajat 2 serta sisanya tidak mengalami kejadian menggigil. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Arifin dan Sanjaya (2012) bahwa ondansetron 0.1 mg/kgbb dapat menurunkan kejadian menggigil pasca anestesi umum sampai sekitar 16.7% dari total pasien yang menjalani tindakan anestesi umum.4 Hasil dari penelitian ini sedikit berbeda dengan yang didapatkan oleh Powell and Buggy (2000), bahwa 33% dari 27 pasien yang mendapatkan ondasetron 4 mg masih mengalami kejadian menggigil pasca anestesi umum.9 Hasil dari penelitian ini juga sedikit berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kelsaka et al (2006). Kelsaka et al (2006) menyebutkan bahwa ondansetron 8 mg dapat menurunkan kejadian menggigil sampai hanya sekitar 8% dari total pasien yang menjalani tindakan anestesi spinal. Hasil yang berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan dosis ondansetron dan teknik anestesi yang digunakan dalam penelitian tersebut.4,19 Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa tidak ada perbedaan kejadian dan derajat menggigil yang bermakna secara statistik (p>0.05) antara kelompok ondansetron dan kelompok petidin. Hal ini membuktikan bahwa ondansetron mempunyai efek mencegah menggigil pasca anestesi 98 umum yang sama efektifnya dengan petidin.15,20 Pada penelitian Abdollahi et al (2012) pada 90 pasien yang menjalani tindakan operasi coronary artery bypass graft (CABG) dengan anestesi umum didapatkan hasil yang berbeda, yaitu ondansetron 8 mg mempunyai efek mencegah menggigil yang lebih baik dibandingkan dengan petidin 0.4 mg/kgbb.21 Hasil penelitian yang berbeda ini kemungkinan disebabkan oleh dosis ondansetron dan jenis operasi yang berbeda dengan penelitian ini. Mekanisme ondansetron sebagai anti menggigil diduga berkaitan dengan efek antagonisnya pada reseptor 5-HT3 yang merupakan salah satu neurotransmitter yang penting dalam termoregulasi karena berkaitan erat dengan jaras produksi panas tubuh dan jaras pengeluaran panas tubuh ke lingkungan. Penelitian pada hewan menunjukkan, pemberian agonis 5-HT di dalam hipotalamus menyebabkan vasokontriksi perifer dan menggigil sehingga meningkatkan suhu inti tubuh. Sebaliknya, antagonis reseptor 5-HT3 diduga akan mempunyai efek mencegah timbulnya menggigil Efek antagonis reseptor 5-HT3 pada hipotalamus inilah yang menyebabkan ondansetron dapat menghambat sistem termoregulasi sehingga tidak terjadi menggigil.9,14,17,21 Pada penelitian ini, 12.5% dari total 16 pasien yang mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb mengalami efek Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Jurnal Anestesiologi Indonesia samping mual. Ayatollahi et al (2011) menyebutkan bahwa 5 (16.7%) dari 30 pasien yang mendapat petidin 0.4 mg/ kgbb untuk mencegah terjadinya menggigil pasca anestesi umum mengalami efek samping mual.1 Pada penelitian lain, Entezari et al (2012) mendapati 10% pasien yang mendapat petidin 0.4 mg/kgbb juga mengalami efek samping mual.1,15 Efek samping mual ini disebabkan oleh stimulasi petidin pada chemoreceptor trigger zone (CTZ). CTZ merupakan area di otak yang berperan penting terhadap terjadinya mual dan muntah.2 SIMPULAN Ondansetron 0.1 mg/kgbb mempunyai efek untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum yang sama efektifnya dengan petidin 0.4 mg/ kgbb . DAFTAR PUSTAKA 1. Ayatollahi, V., Hajiesmaeili, M.R., Behdad, S., Gholipur, M., Abbasi, H.R. Comparison Of Prophylactic Use Of Meperidine And Two Low Doses Of Ketamine For Prevention Of PostAnesthetic Shivering: A Randomized Double-Blind Placebo Controlled Trial. J Res Med Sci 2011; 16(10): 1340-1346 2. Butterworth, J.F., Mackey, J.D., Wasnick, D.C. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology Fifth Edition. Chapter 52 Thermoregulation, Hypothermia, & Malignant Hyperthermia. USA; 2013. p. 1184 – 1191 3. Sidiq, S., Qazi, S.M., Dar, A.M. A Placebo- Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014 Controlled Comparison Of Ketamine With Pethidine For The Prevention Of Postoperative Shivering. South Afr J Anaesth Analg 2012;18(6):340-343 4. Arifin, J., Sanjaya, Y.A. Perbandingan Efektifitas Ondansetron dan Tramadol Intravena dalam Mencegah Menggigil Paska Anestesi Umum. Med Hosp 2012; Vol 1 (1) : 7 -11 5. Singh, SN., Sah, BP., Ghimire, A ., Prasad, JN ., Baral, DD. Comparisons of tramadol with pethidine for prevention of post anaesthetic shivering in elective abdominal surgery. Health Renaissance; SeptemberDecember 2012; Vol 10 (No.3);220-223 6. Zahedi, H. Comparison of Tramadol and Pethidine for Postanesthetic Shivering in Elective Cataract Surgery . Journal of Research in Medical Sciences 2004; 5: 235 -239 7. Shrestha, A.B. Comparative Study on Effectiveness of Doxapram and Pethidine for Postanaesthetic Shivering. J Nepal Med Assoc 2009;48(174):116-20 8. Stoelting, R.K., Hillier, C.S. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice Fourth Edition. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Chapter 42 Thermoregulation; 2006. p. 688 – 695 9. Powell, R.M. and Buggy, D.J. Ondansetron Given Before Induction of Anesthesia Reduces Shivering After General Anesthesia. Anesth Analg 2000;90:1423–7 10. Kyokonga, O. Tamdee, D. Charuluxanan, S. Comparison of the efficacy of nalbuphine, tramadol, ondansetron and placebo in the treatment of postanesthetic shivering after spinal anesthesia for cesarean delivery. Asian Biomedicine Vol. 1 No. 2 August 2007 11. Buggy, D.J., Crossley, A.W. Thermoregulation, Mild Perioperative Hypothermia And Post-Anaesthetic Shivering. British Journal of Anesthesia 84 (5) : 615-28 (2000) 12. Padayachee, N.S.Y.Post Anaesthesia Shivering. [internet]. 2013. [cited 2013 May 03] Available from : http: // 99 Jurnal Anestesiologi Indonesia anaesthetics.ukzn.ac.za/ Libraries / Documents2011/post_ anaesthesia _shivering_-_N_Padayachee.sflb. ashx. 13. Parsa, T., Dabir, S., Radpay, B. Efficacy of Pethidine and Buprenorphine for Prevention and Treatment of Postanesthetic Shivering. Tansffod. 2007; 6(3): 54 – 58. 14. Bhattacharya, P.K., Bhattacharya, L., Jain, R.K., Agarwal, R.C. Post Anaesthesia Shivering (PAS): a review. Indian J. Anaesth. 2003; 47 (2) : 88-93 15. Entezari, M.,Isazadefar, K., Mohammadian, A., Khoshbaten, M. Ondansetron and Meperidine prevent Post Operative Shivering after General Anesthesia. Iran Red Crescent Med J 2012; 14(5):316-317 16. Ezike, H., Ajuzieogu, O., Amucheazi, A. Ewah, R., Ajuzieogu, J.I. Treatment Of Postanesthetic Shivering In Children: A Randomized Control Study Comparing Tramadol To Pethidine. http:// www.Academicjournals.org / AJPP. Vol. 7 (20), pp. 1208-1212, 29 May, 2013 17. Witte, D., Sessler, DI. Perioperative Shivering: Physiology and Pharmacology. Anesthesiology, 2002;96:467-484. 100 18. Wang, C. Critical Regulation of Calcium Signaling and NMDA-type Glutamate Receptor In Developmental Neural Toxicity. J Drug Metab Toxicol. 2013 4:3 19. Kelsaka, E., Baris, S., Karakaya, D., Sarihasan, B. Comparison of Ondansetron and Meperidine for Prevention of Shivering in Patients Undergoing Spinal Anesthesia. Regional Anesthesia and Pain Medicine, 2006.Volume 31, Issue 1. p. 40-45 20. Kayalha, H., Roushanfekr, M., Ahmadi, M. The Comparison of Ondansetron and Meperidine to Prevent Shivering after Anesthesia in Patients Undergoing Lower Limb Orthopedic Surgeries with General Anesthesia. ZUMS Journal. Volume 22, Number 92 (6-2014) 21. Abdollahi, M.H., Forouzannia, S.K. Bagherinasab, M. Barzegar, K. Fekri, A., Sarebanhassanabadi, M., Entezari, A. The Effect of Ondansetron and Meperedin on Preventing Shivering After Off-pump Coronary Artery Bypass Graft. Acta Medica Iranica, 2012; 50(6): 395-398. Volume VI, Nomor 2, Tahun 2014