bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Perkawinan pada dasarnya merupakan manifestasi keinginan manusia
untuk hidup berkelompok. Keinginan itu tercermin dari ketidakmampuan untuk
hidup sendiri. Tidak seperti binatang, umat manusia memang tidak dibekali oleh
alat yang membuatnya hidup dalam kemandirian, karena itu manusia perlu hidup
bersekutu. Perkawinan adalah suatu pola yang disetujui dengan cara mana dua
orang atau lebih membentuk keluarga (Horton, 1987). Dengan demikian
perkawinan tidak hanya mencakup hak untuk melahirkan dan membesarkan anak,
tetapi juga persekutuan yang secara budaya mempunyai sanksi, memperjelas hak–
hak dasar seks laki-laki dan perempuan dalam memenuhi fungsi sosial.
Perkawinan juga merupakan masa seseorang melepaskan dirinya dari lingkungan
kelompok keluarga dan mulai membentuk kelompok kecil miliknya sendiri yang
secara rohaniah tidak terlepas dari pengaruh kelompok hidupnya semula.
Di Indonesia perkawinan selain diatur oleh negara 1 dan agama, juga diatur
menurut ketentuan daerah setempat atau yang disebut dengan adat. Dalam
prakteknya tidak jarang pula ditemukan aturan adat ini mempunyai peran yang
sangat menentukan bagi keberlangsungan suatu perkawinan. Tepatnya, kehidupan
sosial akan mengalami hambatan dan tidak berlangsung seperti yang dikehendaki
apabila tidak mentaati aturan setempat (Moore dalam Warsani, 1989). Adanya
aturan adat itu maka dikenal berbagai macam bentuk perkawinan yang di
antaranya; perkawinan Minangkabau, Jawa, Batak dan sekaligus menjadi identitas
daerah setempat.
Khusus di daerah Minangkabau, identitas yang melekat pada bentuk
perkawinannya adalah mendatangkan sumando, artinya laki-laki yang diterima
sebagai menantu datangnya karena dipinang oleh pihak keluarga perempuan,
dengan sejumlah pesyaratan adat yang harus di bawa. Menurut Koentjaraningrat,
(1990), dalam tata aturan umum adat disebutkan perkawinan di Minangkabau
1
Yakni Undang-undang no 1 tahun 1974
2
tidak mengenal adanya mas kawin 2 (bridewelth) yang menjadi kewajiban bagi
pengantin laki-laki menyerahkan pemberian kepada pengantin perempuan sebagai
suatu hal yang diwajibkan oleh agama Islam. Tetapi yang penting dalam
perkawinan itu adalah pertukaran benda yang berupa cincin atau keris sebagai
lambang antara kedua keluarga yang bersangkutan telah terikat dan mempunyai
kewajiban satu sama lainnya.
Kondisi ini berbeda dengan daerah Pariaman, selain aturan di atas terdapat
pula syarat lain yang harus dipenuhi oleh keluarga pihak perempuan kepada
keluarga pihak laki-laki sebelum terjadi pernikahan. Persyaratan itu adalah
keluarga pihak perempuan memberikan sejumlah uang atau barang kepada
keluarga pihak laki-laki sebagai alat untuk menjemput supaya dapat mengawini
seorang perempuan. Inilah yang disebut dengan uang japuik dalam tradisi
bajapuik.
Pada dekade terakhir ini, permintaan uang japuik 3 dari pihak keluarga
laki-laki dalam tradisi bajapuik menunjukan peningkatan seiring dengan status
sosial yang dimiliki oleh calon mempelai laki-laki. Dengan demikian status sosial
yang tinggi mengindikasikan uang japuik yang semakin tinggi pula. Azwar
(2001), laki-laki yang mempunyai pendidikan tinggi dan pekerjaan yang mapan
uang hilangnya puluhan juta rupiah. Selain itu uang japuik
(uang hilang)
menjadi penentu dalam keberlanjutan suatu perkawinan (Utama, 2002).
Implikasi dari uang japuik yang cenderung mengalami peningkatan
menimbulkan kegelisahan pada sebagian masyarakat. Seperti yang dilaporkan
oleh (Azwar, 2001), terdapat pihak keluarga perempuan menggadaikan dan
menjual sawah ladang mereka. Kemudian ada kecenderungan perempuan di
daerah ini untuk mencari pasangan dari luar 4 Kabupaten Padang Pariaman.
Dengan pendidikan yang semakin meningkat maka, kemungkinan berinteraksi
dengan orang luar juga semakin luas dan sekaligus menimbulkan peluang untuk
memperoleh pasangan dari luar tanpa adanya keterikatan dengan sistem
perkawinan yang ada
2
(Utama, 2002). Selain itu semakin meningkat jumlah
Mas kawin diartikan sebagai pemberian dan tidak sama halnya dengan mas kawin yang
disyaratkan dalam agama Islam atau yang disebut dengan mahar.
3
Sebutan uang japuik dalam sebagian masyarakat disebut juga uang jemputan atau uang hilang.
4
Berasal dari daerah lain yang tidak mempunyai adat tradisi bajapuik
3
perempuan di daerah ini yang tidak mendapat pasangan (Chatra, 2005)5.
Walaupun banyak faktor yang menentukan, namun dalam hal ini dapat
diasumsikan uang japuik (uang hilang) sebagai salah satu penyebabnya.
Mencermati fenomena yang terjadi di atas, jauh hari telah dirasakan oleh
masyarakat. Implikasi dari kegelisahan itu, pada tahun 1981 6 diadakan Raperda
(Rencana Peraturan Daerah) mengenai uang hilang yang dipelopori oleh
IMAPAR (Ikatan Mahasiswa Pariaman) dengan mengikut sertakan Tigo Tungku
Sajarangan ( cerdik pandai, ninik-mamak, dan alim ulama), Bundo Kandung, dan
Generasi Muda. Pada akhirnya Raperda itu membuahkan hasil pro dan kontra
dikalangan masyarakat. Meskipun demikian dalam kenyataan, tradisi bajapuik
dengan uang japuik tetap ada (eksis) dan menjadi salah satu syarat yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan di Pariaman hingga saat ini. Ini
merupakan suatu persoalan yang dilematis. Di satu sisi ada segolongan
masyarakat yang tidak/kurang menginginkan tradisi bajapuik, namun disisi lain
masyarakat masih melaksanakan tradisi bajapuik. Mengapa ini terjadi dan nilai
apa yang terkandung dalam tradisi bajapuik, nampaknya inilah yang perlu
ditelusuri lebih lanjut dalam penelitian ini.
Dalam perspektif pertukaran sosial, diyakini interaksi sosial mirip dengan
transaksi ekonomi. Akan tetapi diakui pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur
dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial pertukaran juga
mencakup nyata (materi) dan tidak nyata (non materi) (Turner, 1998; Poloma,
2000; Ritzer & Goodman, 2004).
Dalam teori pertukaran modern Homans lebih tegas mengatakan, dimana
semua perilaku sosial tidak hanya perilaku ekonomis hasil dari suatu pertukaran.
Artinya perilaku sosial tidak hanya menyediakan ganjaran ekstrinsik, tetapi juga
menyediakan ganjaran intrinsik, seperti persahabatan, kepuasan dan mempertinggi
harga diri. Dengan cara yang demikian adalah untuk memperkecil biaya
(hukuman) dan memperbesar keuntungan (Turner, 1998; Poloma, 2000).
Selanjutnya Homans juga menjelaskan pertukaran sosial yang terjadi juga
terkait dengan status dan peranan, dan sekaligus menyediakan mata rantai antara
5
6
Lihat Chatra, 2005 hal:187
Masa Bapak Anas Malik memangku jabatan sebagai Bupati kabupaten Padang Pariaman.
4
individu dengan struktur sosial, karena disadari struktur atau lembaga-lembaga
demikian itu terdiri dari individu-individu yang terlihat dalam proses pertukaran
barang berwujud materi maupun non materi (Anderson, 1995; Malinowski dalam
Turner, 1998; Homans dalam Poloma, 2000). Konkritnya, pertukaran yang terjadi
dalam perkawinan berkaitan dengan ekonomi, kedudukan sosial atau kekuasaan
(Goode, 2007), kecantikan, kepribadian, keahlian, dukungan dan kooporatif
ekonomi, intelektual, keperawanan dan sebagainya (Lamanna dan Riedmann,
1991). Jadi pertukaran yang terjadi dalam perkawinan tidak hanya terdiri dari satu
unsur yakni pertukaran “uang dengan seorang laki-laki”, tetapi terdiri dari dua
unsur yaitu “pertukaran” uang yang berkombinasi dengan nilai/norma
1.2. Rumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Tradisi bajapuik sebagai salah satu bentuk jaringan kerja (networking)
yang dapat dipertemukan dalam sebuah pasar perkawinan (marriage market).
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi aktor dalam melakukan pertukaran di
pasar perkawinan. Di sini posisi penelitian dimaksudkan. Analisis juga difokuskan
pada tindakan (action) yang dicirikan oleh hasil aktivitas dan pertimbangan aktor
(pertimbangan nilai) atau tindakan yang mempengaruhinya (Homans dalam
Poloma, 2000). Jadi tradisi bajapuik tidak hanya sebagai sebuah mekanisme pasar
perkawinan (marriage market mechanism), tetapi juga sebagai fenomena sosial
yang dipengaruhi oleh faktor sosial budaya (Lamanna dan Riedmann, 1991).
Selain itu, perlu pula kiranya untuk melihat saling hubungan antara ekonomi dan
masyarakat secara lebih luas, yakni meliputi interaksi saling hubungan antara
ekonomi dan budaya (nilai-nilai dan norma) yang lebih luas.
Bagaimana ekonomi dan masyarakat berinteraksi lebih luas, seberapa jauh
kekuatan ekonomi menentukan pilihan masyarakat dan seberapa jauh kekuatan di
luar ekonomi mempengaruhi persoalan tradisi bajapuik. Secara keseluruhan ini
dapat ditelusuri melalui analisis dalam institusi perkawinan, yang mencakup
kekayaaan yang dimiliki, kedudukan tinggi atau berkuasa (Goode, 2007; Lamanna
dan Riedmann, 1991).
Selain itu keluarga luas (extended family) merupakan salah satu unsur
yang ikut mempengaruhi tradisi bajapuik dan juga sebagai salah satu penerapan
5
bentuk solidaritas yang dilakukan aktor-aktor dalam perkawinan. Artinya
keterlibatan anggota keluarga sangat dibutuhkan untuk terlaksananya tradisi
bajapuik. Bila itu terjadi jelas akan menguntungkan terutama bagi pihak keluarga
perempuan dan sekaligus akan berpengaruh terhadap keberlangsungan tradisi
bajapuik.
Kemudian dipihak lain sepintas tradisi bajapuik menunjukkan laki-laki
seperti benda yang dapat dipertukarkan dalam pelaksanaan perkawinan. Sebagai
bentuk perwujudan itu di Pariaman memakai uang japuik. Uang japuik pada
awalnya dalam tradisi bajapuik--merupakan suatu bentuk penghargaan kepada
status gelar kebangsawanan yang diwariskan dari ayah kepada anak laki-laki dan
inilah yang disebut dengan uang jemputan. Akibat pengaruh ekonomi muncul
uang hilang dalam tradisi bajapuik, sekaligus merubah penghargaan status gelar
kebangsawanan menjadi status sosial ekonomi (prestasi) yang dimiliki oleh calon
pengantin laki-laki.
Terjadinya perubahan penghargaan dari status sosial gelar kebangsawanan
ke status sosial ekonomi (prestasi) jelas merupakan konsekuensi dari berbagai
faktor yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu bagaimana
aturan, norma mengenai tradisi bajapuik? Mengapa individu tetap mendukung
eksisnya tradisi bajapuik? Untuk lebih terarahnya penelitian ini maka akan
diajukan sejumlah pertanyaan pendukung lainnya sebagai berikut:
1. Apa nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam tradisi
bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya?
2. Siapa saja aktor yang terlibat dan bagaimana prilaku aktor dalam
pertukaran perkawinan dalam tradisi bajapuik?
3. Mengapa tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bermaksud untuk melihat mengapa dan
bagaimana tradisi bajapuik sebagai salah satu institusi dalam masyarakat
Pariaman bisa bertahan dalam proses perubahan yang terjadi? Untuk lebih
jelasnya tujuan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:
6
1. Mengkaji nilai-nilai, dasar dan bentuk pertukaran perkawinan dalam
tradisi bajapuik dan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya.
2. Mengkaji aktor yang terlibat dan prilaku aktor dalam pertukaran
perkawinan dalam tradisi bajapuik.
3. Menganalisis tradisi bajapuik dapat eksis dalam perubahan masyarakat.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan, secara umum dapat menambah dan
memperluas wawasan ilmu pengetahuan dan informasi tentang berbagai dinamika
kehidupan masyarakat Minangkabau khususnya masyarakat Pariaman. Selain itu
penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan disiplin ilmu sosiologi Pedesaan,
khususnya pada kajian sosial dan adat-istiadat suatu masyarakat.
Secara khusus, keseluruhan hasil studi ini nantinya dapat memberikan
kontribusi bagi pemerintah Nagari, KAN (Kerapatan Adat Nagari), LKAAM
(Lembaga Kerapatan Alam Adat Minangkabau) atau pemangku adat dan pihak
terkait lainnya dalam rangka keberlanjutan (continuity) tradisi bajapuik sebagai
identitas masyarakat Pariaman khususnya dan Minangkabau pada umumnya.
Selain itu, pada gilirannya dapat menciptakan pertukaran yang seimbang antara
kedua belah pihak dalam tradisi bajapuik.
Download