II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banteng 2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai 120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg. Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al. (2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil. 2.1.2 Populasi dan Penyebaran Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa populasi adalah kelompok individu suatu jenis makhluk hidup yang tergolong dalam satu spesies (atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan), dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah atau tata ruang tertentu. Begon et al. (2006) menyatakan bahwa populasi adalah organisme 8 yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakkan pada waktu dan tempat yang sama dan menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi banteng di Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perburuan dan aktivitas manusia sekitar habitat banteng sehingga mempengaruhi keberadaan populasi banteng. Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah. Suhadi (2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menyatakan bahwa populasi banteng di Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan disebabkan tingginya aktivitas manusia, kurang stabilnya ketersediaan rumput di padang penggembalan Bekol dan adanya predator. Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena rusaknya padang penggembalaan. Jenuyanti (2002) menambahkan bahwa penurunan tersebut diakibatkan telah berubah fungsinya padang penggembalaan menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan banteng, sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar. Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang Tahun Jumlah Sumber 1988 200 Ashby dan Santiapillai 1988 2000 10 Kompas 28 Nov 2003 2003 Punah Kompas 28 Nov 2003 Sumber: Permenhut No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng 2011-2020 Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng meliputi Burma, Thai, Indocina, Semenanjung Malaya dan Indonesia (Kalimantan dan jawa) dan memperkirakan bahwa populasi banteng sekitar pada tahun 1940 sekitar 2000 ekor, sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan dan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut dari tahun ke tahun terus 9 mengalami penurunan hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. Lekagul & McNeely (1977) berpendapat bahwa sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, walaupun beberapa waktu kemudian hanya ditemukan di suaka dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Alikodra (1983) bahwa banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatawa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Beberapa referensi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Banteng Tahun 2010-2020 dikatakan bahwa banteng selain di kawasan konservasi pernah dan diduga masih ada sampai saat ini ditemukan di beberapa lokasi, seperti Bojong Larang-Jayanti, Cikamurang, Kediri, Pantai Blitar, Pantai Malang, Perkebunan Treblasara-Jatim, Kawasan Hutan Lindung Londo Lampesan, Kabupaten Nunukan, Malinau dan Berau. Beberapa tempat penyebaran banteng yang dikemukakan oleh beberapa peneliti di atas, saat ini telah mengalami pengurangan yang cukup tinggi ditandai dengan hilangnya populasi di beberapa kawasan tersebut. Saat ini status sebaran dibagi dalam empat kategori yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng (confirmed range), kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng (possible range), kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful range) dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau extirpated). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan beberapa penelitian mengenai jejak tanda-tanda keberadaannya, terdapat di enam padang penggembalaan yang berada di dalam kawasan, sedangkan penyebaran di luar kawasan, yaitu areal Perusahaan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Mira Mare yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kawasan perbatasan tersebut, antara lain Cibunigeulis, blok 23, blok Bekanta, blok Meranti dan blok 20 (Mardi 1995; Subroto 1996). 10 Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng 2011-2020 Gambar 2. Peta status sebaran banteng di Indonesia 2.1.3 Habitat Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik (iklim, suhu, kelembaban, tanah dan sebagainya) maupun biotik (organisme yang hidup) yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar. Alikodra (2002) juga menambahkan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies termasuk sumber makanan, air dan perlindungan (cover) yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara normal. Subroto (1996) dan Kusnandar (1997) menyatakan bahwa kebutuhan pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dari enam padang penggembalaan yang tersebar di seluruh kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas total 130 ha dan SBKSDA Jabar II (1993a) menjelaskan bahwa luas masing-masing enam padang penggembalaan tersebut, yaitu blok Cipalawah 30 ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon 11 30 ha. Subroto (1996) menyatakan bahwa kegiatan pemeliharaan terhadap padang penggembalaan Cibako, Cipadaruum, Ciporeang dan Cidahon sudah sejak lama tidak dilakukan, sedangkan pemeliharaan secara intensif hanya dilakukan pada blok Cijeruk dan Cipalawah sampai pada tahun 1992. Kebutuhan banteng akan air di dipenuhi dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, seperti Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan (Subroto 1996). 2.1.4 Perilaku Alikodra (2002) menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput (grazer) dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak (browser). Beberapa jenis rumput yang merupakan pakan banteng adalah domdoman (Chrysopogon aciculatus), kakawatan (Ischaemum muticum), rumput jarum (Chrysopogon sp.) dan rumput teki (Cyperus brevifolia). Sancayaningsih et al. (1983) dalam Destriana (2008) menyatakan bahwa banteng merupakan herbivora yang memiliki periode memamahbiak lebih kurang 2-5 jam/hari dengan kecepatan mengunyah selama periode tersebut 48-56 kali/menit. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mencari makan, minum, istirahat atau mencari tempat-tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan membesarkan anaknya dilakukan di padang penggembalaan. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2007) yang menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo melakukan kegiatan-kegiatan tersebut di hutan tanaman. Perbedaan ini diperkirakan karena adanya perbedaan kondisi habitat yang dapat menyediakan kebutuhan banteng. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng mulai berkembangbiak pada umur tiga tahun dan mulai melakukan perkawinan setelah berumur enam tahun. 12 Banteng mengandung bayinya sekitar 9.5-10 bulan dengan jumlah anak per kelahiran 1-2 ekor, tetapi mayoritas 1 ekor setiap induk. Alikodra (1983) menyatakan bahwa musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terjadi pada bulan Agustus dan September dan perkawinan tersebut terjadi di padang penggembalaan antara jam 15.00 sampai dengan 17.00 dengan banteng jantan lebih agresif dibandingkan banteng betina, yang ditandai dengan mengeluarkan suara lebih banyak dari biasanya, mengikuti banteng betina sambil menjilat bagian pantat betina dan sering mendongakkan kepalanya ke atas, mengusir banteng jantan lain yang berada di dekatnya serta sering menanduk pohon ataupun semak sambil berjalan berputar-putar. Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa musim melahirkan atau berkembangbiak banteng di Thailand adalah bulan Mei dan Juni, sedangkan Hoogerwerf (1970) di Cijungkulon atau Taman Nasional Ujung Kulon adalah bulan Mei dan Juni, sedangkan Alikodra (1983) musim melahirkan banteng di Cijungkulon adalah bulan Mei, Juni dan Juli. Hal ini terlihat bahwa musim melahirkan di Taman Nasional ujung Kulon lebih lama dibandingkan dengan banteng di Thailand yang diperkirakan terdapat perbedaan pada masa interval beranak banteng dan musim kawin yang tergantung kondisi dan keamanan habitatnya. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa banteng termasuk satwa monoestrus artinya mempunyai satu musim kawin dalam satu tahun. Lama hidup banteng sekitar 21-25 tahun, sehingga seekor banteng betina sepanjang umurnya dapat melahirkan sebanyak 21 kali. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kondisi anak banteng akan dapat berdiri dalam waktu 40 menit kemudian setelah dilahirkan dalam 1 menit. Induknya akan menyusui anaknya setelah 60 dari proses melahirkan dan dilakukan penyapihan sampai berumur 10 bulan. Alikodra (1983) dan Destriana (2008) menambahkan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulonn merupakan hewan yang berkelompok dan dapat hidup berkelompok dengan satwa lainnya, seperti rusa dan herbivora lainnya, demikian juga dengan banteng yang hidup di Taman Nasional Alas Purwo (Santosa et al. 2007 dan Baluran (Suhadi 2009). 13 2.1.5 Status Konservasi dan Kepunahan Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 pada jaman Belanda tentang Dierenbeschermings-Or-Donantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening untuk daerah di luar Jawa dan Madura, banteng merupakan kategori satwa yang dilindungi oleh undang-undang dengan nama yang tertulis Bos sondaicus. Perlindungan terhadap banteng ini dinyatakan dengan pasal 1 bahwa “dilarang memburu, menangkap, membunuh, memperniagakan hidup atau mati, ataupun memiliki satwa liar yang termasuk dalam kategori dilindungi undang-undang”. Banteng dalam undang-undang dan Peraturan Perburuan Jawa dan Madura tahun 1940 atau dalam bahasa Belanda adalah Jachtverordening Java En Madura 1940 (Staatsblad 1940 Nr 247) tentang Peraturan Perburuan merupakan satwa liar elok sama dengan satwa liar lainnya, yaitu kerbau liar, rusa/menjangan, kijang/muncak dan burung merak. Banteng dalam Peraturan Perburuan tersebut diperbolehkan untuk diburu selama bulan September sampai dengan Desember dengan syarat pemburu memiliki sertifikat berburu E (berlaku untuk memburu 2 ekor banteng dewasa atau 1 ekor kerbau dewasa dan 1 ekor banteng dewasa). SK Menteri Pertanian No.327/Kpts/Um/7/1972 tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang Dilindungi Disamping Jenis-jenis Binatang Liar yang Telah Dilindungi berdasarkan Dierenbeschermings-OrDonantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening 1931 dan Surat Keputusan menteri pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970 yang menyatakan bahwa banteng termasuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi sesuai dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 Nomor 266. IUCN (1972) menyatakan bahwa banteng termasuk dalam kategori “vulnerable” artinya populasinya sedang menuju tahap membahayakan bagi kelestariannya (penurunan populasi). Penurunan populasi tersebut disebabkan karena adanya pengambilan yang berlebihan, perusakan habitat dan lingkungannya. Tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi dengan nama Bos sondaicus (banteng) melalui Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan Satwa. Status internasional melalui IUCN Red Data List sejak tahun 1996 memasukkan banteng dalam status konservasi „endangered‟ artinya populasinya 14 mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan akan terjadi kepunahan jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Hal ini berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN 2004). Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah: 1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk. 2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor). 3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan oleh manusia. 4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/pathogen. Kondisi banteng yang mengalami penurunan setiap tahunnya mendorong CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sejak tahun 1996 mengusulkan banteng terdaftar dalam CITES Apendiks I, artinya semua jenis kehidupan liar yang terancam (threatened) dari kepunahan (extinction) yang dapat atau kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya tindakan perdagangan, sehingga tidak diperbolehkan adanya perdagangan terhadap spesies tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya ancaman perburuan yang sangat tinggi sehingga dikhawatirkan mengancam kepunahannya. Kepunahan menurut Redlist IUCN (2010) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati atau tidak ditemukan lagi. Kepunahan di alam liar (extinct in the wild) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Kepunahan menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar adalah ketika suatu spesies tidak ada satu pun individu dari spesies itu yang masih hidup di dunia. Tingkat kepunahan antara lain: a. Punah dalam skala global : jika beberapa individu suatu spesies hanya dijumpai di dalam kurungan atau pada situasi yang diatur oleh manusia, sehingga dapat dikatakan spesies tersebut telah punah di alam. 15 b. Punah dalam skala lokal (extirpated): jika tidak ditemukan di tempat mereka dulu berada tetapi masih ditemukan di tempat lain di alam, seperti banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang. c. Punah secara ekologi: jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan. d. Kepunahan yang terutang (extinction debt) : hilangnya spesies di masa depan akibat kegiatan manusia pada saat ini Kepunahan akan terjadi pada suatu spesies setelah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam, perusakan atau penyempitan habitat dan menyebabkan kematian. Kriteria spesies yang sangat rentan terhadap kematian hingga punah menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar terbagi ke dalam beberapa kelompok, antara lain: (a) mempunyai populasi yang kecil, (b) adanya penurunan yang tajam pada jumlah Individu dialam, dan (c) daerah penyebarannya yang terbatas (endemik). Alikodra (2002) menyatakan bahwa faktor kematian yang dapat mengurangi kepadatan populasi satwa liar adalah: 1. Keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan. 2. Kecelakaan, misalnya tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan infeksi sehingga mengalami kematian. 3. Perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan air, serta persaingan untuk menguasai kawasan. 4. Aktivitas manusia, perusakan habitat, perburuan, pencemaran, dan kecelakaan lalu lintas, terperangkap dan sebagainya. Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid (1999) menambahkan bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian, perumahan hingga industri serta Indrawan et al. (2007) menambahkan kegiatan manusia yang telah mengubah, mendegradasi, dan merusak bentang alam dalam skala luas sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat (termasuk populasi), perubahan iklim global, 16 pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, invasi spesiesspesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktorfaktor tersebut. Alikodra (2010) menyatakan bahwa faktor utama penyebab kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam dan menyebabkan kematian. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa populasi banteng tertekan oleh kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan, sedangkan Alikodra (1983) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan, adanya pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit, parasit, diburu, kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan suatu spesies yang berada di dalam cagar diperlukan suatu pengelolaan yang intensif dan dilakukan secara berkala, seperti kegiatan monitoring habitat, pengamanan kawasan, penyuluhan masyarakat dan sebagainya. 2.2 Sosial Ekonomi Masyarakat dan Sumber Daya Alam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan mendefinisikan masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum. Sosial ekonomi masyarakat sangat berkaitan erat dengan lingkungan di sekitarnya termasuk dalam pemanfaatan sumber daya alam. Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa dalam sejarah hidup manusia, ekologi dan faktor lain seperti ekonomi, teknologi bahkan faktor yang tidak bernilai material seperti sistem sosial, budaya dan religius menjadi arena bagi manusia dalam menemukan pengetahuan-pengetahuan kunci untuk mengelola lingkungan hidup. Interaksi yang panjang, teratur dan terus menerus antara manusia dengan alam melahirkan pengalaman-pengalaman hidup di alam berkaitan dengan pemanfaatan alam untuk sumber kehidupan dan 17 mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya. Dengan demikian dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan manusia, sehingga dapat mengelola sumber daya alam sekitarnya secara lestari, termasuk cagar alam. Manan (1998) menyatakan bahwa masyarakat merupakan bagian dari mahluk hidup yang memegang peranan dalam menentukan kelestarian dan keseimbangan ekosistem, yang mencakup komponen makhluk hidup (hewan, jasad renik, tumbuh-tumbuhan) dan lingkungan yang tidak hidup (udara, energi matahari, air, tanah, angin, panas, cahaya, mineral dan sebagainya), yang keduanya saling berinteraksi dan berhubungan timbal balik, juga diantara sesama makhluk hidup tersebut, baik di ekosistem daratan maupun ekosistem perairan yang berada dalam keseimbangan dinamis. Manan (1998) juga menyatakan bahwa ekosistem hutan, sebagaimana halnya dengan ekosistem lainnya, seperti ekosistem padang rumput dan perairan, memang harus dimanfaatkan oleh manusia sebagai penghuninya demi untuk kesejahteraan hidup, akan tetapi cara-cara pemanfaatan yang berlebihan, semenamena, mengakibatkan terganggunya keseimbangan, bahkan hancurnya ekosistem hutan. Fokus dalam hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya adalah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik serta tumbuhan dan hewan sebagai materi di dalam hidup manusia, oleh karena dalam pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia. 2.3 Kawasan Konservasi IUCN (2008) mendefinisikan kawasan konservasi sebagai kawasan lindung, yaitu sebuah area tanah dan atau laut khusus diperuntukkan untuk melindungi dan memelihara keanekaragaman hayati, dan sumber daya alam dan sumber daya yang berkaitan dengan budaya, dan dikelola dengan resmi atau dimaksud efektivitas lainnya, sedangkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa kawasan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, 18 yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. IUCN (2008) dan pemerintahan Indonesia memiliki nama kategori maupun definisi yang diberikan keduanya agak berbeda tetapi berdasarkan tujuan pengelolaannya, kategori-kategori dari kedua sistem klasifikasi tersebut dapat saling dipadankan walaupun tidak berarti semua kategori dari sistem klasifikasi tersebut bisa dipadankan secara tepat karena mungkin saja kriteria tujuan pengelolaan dari suatu kategori dalam sistem IUCN ternyata terdapat pada lebih sari satu kategori dalam sistem Indonesia. Perlindungan kawasan konservasi dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. IUCN (2008) dalam pedoman manajemen terdapat dua prinsip mendasar untuk menentukan luasan kawasan konservasi, yaitu daerah tersebut harus cukup luas untuk memelihara spesies dan dapat mendukung proses ekologi. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa kawasan konservasi memiliki beberapa dasar sebagai berikut: 1. Karakteristik suatu ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, ekosistem pegunungan tropika. 2. Spesies khusus yang memiliki nilai, kelangkaan, atau ancaman misalnya badak, harimau sumatera dan satwa lainnya. 3. Habitat yang memiliki keanekaragaman spesies. 4. Ciri geografik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glaiser, mata air panas, air terjun dan sebagainya. 5. Memiliki fungsi perlindungan hidrologi: tanah, air, iklim. 6. Memiliki potensi rekreasi alam dan wisata, misalnya danau, pantai, pegunungan, satwa liar dan sebagainya. 7. Tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian purbakala. Kategori kawasan konservasi berdasarkan tujuan pengelolaannya di Indonesia yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 19 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kawasan Suaka Alam a. Cagar Alam (CA), adalah kawasan suaka alam yang karena keadaaan alamnya mempunyai kekhasan/keuinikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, antara lain: (a) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, (b) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, (c) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, dan (d) pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa di dalam cagar alam setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, karena cagar alam hanya dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya. Cagar alam memiliki keutamaan pelestarian yang tinggi serta keunikan alam yang merupakan habitat dari spesies langka tertentu; merupakan habitat rapuh yang tidak terganggu. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak (MacKinnon et al. 1990). b. Suaka Margasatwa (SM), adalah kawasan suaka alam yang mempunyai kekhasan/keunikan jenis satwa liar dan/atau keanekaragaman satwa liar yang untuk kelangsungan hidupnya memerlukan upaya perlindungan dan pembinaan terhadap populasi dan habitatnya. Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk: (a) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, (b) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, (c) penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas, dan (d) pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya. 20 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Kehutanan menyatakan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan berbagai kegiatan bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dalam jumlah yang terbatas (menikmati keindahan dengan syarat tertentu) serta kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. MacKinnon et al. (1990) juga menambahkan di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan pengelolaan habitat yang bertujuan untuk perlindungan spesies, populasi atau komunitas satwa serta mempertahankan fisik lingkungan yang penting walaupun dengan cara manipulasi habitat. 2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri dari Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Rakyat (Tahura). 3. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang memiliki habitat alami atau hutan tanaman yang berukuran sedang sampai besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah terjadi erosi, serta tanah yang mudah tercuci oleh air hujan sehingga kawasan ini diutamakan untuk melindungi daerah tangkapan air, mencegah erosi dan longsor (MacKinnon et al. 1990). 4. Taman Buru, adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan untuk diselenggarakannya perburuan satwa secara teratur (PP Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru). Habitat yang ada bersifat alami atau semi alami berukuran sedang sampai besar, memiliki potensi satwa buru yang jumlah populasinya cukup besar, tersedianya fasilitas buru yang memadai dan lokasinya mudah dijangkau (MacKinnon et al. 1990). 2.4 Pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa 2.4.1. Pengelolaan Cagar Alam IUCN (2008) menyatakan bahwa penetapan suatu kawasan yang dilindungi membutuhkan adanya tujuan pelestarian yang jelas, sehingga tujuan pengelolaan cagar alam, meliputi: (1) Melindungi habitat, ekosistem dan spesies dalam kondisi 21 alaminya; (2) Mempertahankan sumberdaya genetik dalam keadaan yang dinamis; (3) Mempertahankan proses ekologi; (4) Melindungi struktur lansekap atau bebatuan; (5) Mengamankan contoh-contoh lingkungan alami untuk penelitian, monitor lingkungan dan pendidikan, termasuk batas kawasan dengan aksesibilitas tinggi; (6) Meminimalkan gangguan melalui perencanaan dan penelitian serta kegiatan-kegiatan dengan berhati-hati; (7) Membatasi akses manusia. Pemerintah Indonesia mengadopsi kategori IUCN tersebut dan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, memberlakukan pengelolaan cagar alam yang tidak memperkenankan adanya campur tangan manusia di dalam kawasan tersebut. Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan cagar alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam): a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem. b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya. c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia. d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. e. Mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi. f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Prinsip pengelolaan cagar alam dengan berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia adalah tidak diperkenankan adanya kegiatan pendayagunaan potensi dan pengembangan sarana dan prasarana. Kegiatan yang diperkenankan hanya pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan monitoring dan perlindungan kawasan. Pendayagunaan potensi cagar alam diupayakan sedemikian rupa agar tidak mengurangi luasan kawasan, tidak mengganggu fungsi kawasan dan tidak memasukkan jenis tumbuhan atau satwa yang tidak asli. Tujuan dari pengelolaan kawasan adalah melindungi kehidupan alamiah dalam suatu kawasan yang tidak terganggu, dengan harapan didapatkannya perwakilan 22 ekologis dari lingkungan dan perkembangan kondisi lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap kegiatan termasuk kegiatan penelitian harus terencana dengan baik dan dilaksanakan secara hati-hati untuk meminimalkan gangguan. IUCN (2008) mengemukakan beberapa kriteria dalam pengelolaan cagar alam, sebagai berikut: 1. Kawasan tertutup bagi masuknya pengunjung untuk rekreasi maupun untuk tourisme 2. Proses alamiah yang terjadi bebas dari pengaruh keikutsertaan manusia secara langsung 3. Proses yang terjadi, yang merubah sistem ekologis dan ciri-ciri fisiologis, pada setiap waktu sebagai akibat terjadinya kebakaran, suksesi, serangan hama, badai gempa bumi dan lain sebagainya hanyalah terjadi secara alamiah bukan karena gangguan manusia. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan suaka alam ditekankan dalam aspek pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau jenis satwa beserta ekosistemnya. Usaha pengawetan dalam kawasan suaka alam tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan: 1. Perlindungan dan pengamanan kawasan. 2. Inventarisasi potensi kawasan. 3. Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan. IUCN (2008) menyatakan bahwa cagar alam dikategorikan ke dalam Ia (Scientific Reserve / Strict Naure Reserve-Strict Protection), yaitu suatu kawasan pinjaman dari generasi mendatang kepada generasi sekarang yang suatu saat harus dikembalikan atau merupakan tanggungan atau pinjaman dari generasai sekarang untuk generasi mendatang. Adanya paradigma tersebut harus mempertimbangkan azas pemanfaatan disamping untuk tujuan pelestarian, artinya keberadaan cagar alam dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan tetap menjamin kelestariannya. 2.4.2 Pengelolaan Suaka Margasatwa Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menyatakan bahwa suatu kawasan ditunjuk 23 sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteriasebagai berikut: a. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yangperlu dilakukan upaya konservasinya. b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi. c. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah. d. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. e. Mempunyai luas yangcukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Upaya pengawetan kawasan Suaka Margasatwa selain memiliki perihal yang sama dengan Cagar Alam, yaitu dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan dan penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan juga dalam rangka pembinaan habitat dan populasi, antara lain: a. Pembinaan padang rumput untuk makanan satwa. b. Pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa. c. Penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa. d. Penjarangan populasi satwa. e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli. f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu. Kawasan Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan: a. Penelitian dan pengembangan, meliputi penelitian dasar dan penunujang pemanfaatan dan budidaya. b. Ilmu pengetahuan. c. Pendidikan. d. Wisata alam terbatas. e. Kegiatan penunjang budidaya. 24