KAJIAN PATOGENESIS INFEKSI BUATAN BAKTERI Edwardsiella ictaluri PADA IKAN LELE (Clarias sp.) ASEP DADANG KOSWARA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 1 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2009 Asep Dadang Koswara NIM B053040071 2 ABSTRACT ASEP DADANG KOSWARA. Pathogenesis Study of Edwardsiella ictaluri Experimental Infection in catfish (Clarias sp.). Under supervision of DEWI RATIH AGUNGPRIYONO and SRI ESTUNINGSIH. Disease in cultured of catfish Clarias sp. known to be one of mortality factors resulted in low production and harvest failure. One of the potent diseases is Edwardsiella ictaluri infecting catfish Clarias sp. Therapy by antibiotics often evokes resistance of the pathogenic bacteria and therefore it is necessary to carry out its alternative control. One of the procedures is by controlling its introduction and spread of E. ictaluri carried by fish or other media from one area to the others and its potential infection. The aim of the study is to observe the pathological sequence and to recognize the organ target of E. ictaluri experimental infection in catfish (Clarias sp.). Fifty fishes inject intraperitoneally with LD50 dose of 1,3 x 104 cfu/ml E. ictaluri while 10 control fishes inject with 0.1 ml of PBS. The fishes are observed for their swim behaviour and gross lesion up to 72 hours post infection (pi). Sample for histopathology and bacteria re-isolation are obtained at sequential time of 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48 and 72 hours pi. The fishes infected with E. ictaluri demostrate the vertical swim behavior starting from 2 hours pi, and weak reaction of outer stimulation from 12 pi. Gross observation revealed swollen spleen and kidney from 4 hours pi, produced acute peritonitis (abdominal dropsy) since 12 hours pi. Ptechial hemorrhagic dermatitis detected from 24 hours pi while swollen pallor liver exposed from 36 hours pi. Histopathology examination revealed similar lesion of natural infection of E. ictaluri such ulcerative dermatitis, ophthalmitis, branchitis, encephalitis, pancreatic acinar atrophy, multifocus necrotic hepatitis, splenitis and nephritis, except the lesion of epicarditis, mild cattharal enteritis and unappearance of hole at head cranium. The first found histopathology lesions are detected at spleen, liver and kidney from 4 hours pi. The bacteria E. ictaluri was re-isolate from spleen, liver and kidney as of 2 hours pi, but within the tissue section, the bacteria observed at spleen from 8 hours pi and at kidney from 36 hours pi. 3 RINGKASAN ASEP DADANG KOSWARA. Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.). Di bawah bimbingan DEWI RATIH AGUNGPRIYONO dan SRI ESTUNINGSIH. Edwardsiella ictaluri merupakan penyebab penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) termasuk hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) golongan II yang memerlukan kewaspadaan tinggi untuk dicegah masuk dan tersebarnya penyakit ini di wilayah Republik Indonesia. Bakteri ini menimbulkan hole in the head disease. Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas air tawar yang penting, dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Masalah yang sering dihadapi pada budidaya ikan lele adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Ikan lele merupakan salah satu inang target infeksi E. ictaluri. Upaya pencegahan penyebaran penyakit ini dapat dilakukan dengan tindakan karantina melalui tindakan pemeriksaan penyakit ikan terhadap ikan lele yang dilalulintaskan. Sampai saat ini, perubahan patologi ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri isolat lokal secara detail belum diketahui, Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan lele (Clarias sp.) secara makroskopis (Patologi Anatomi/PA) dan mikroskopis (HP) akibat infeksi buatan E. ictaluri, (2) untuk menentukan target organ ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi E. ictaluri, sehingga akan memudahkan dalam diagnosa penyakit. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dalam mengenali berbagai stadium perkembangan dari infeksi E. ictaluri pada ikan lele (Clarias sp.) melalui pengamatan patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) agar memudahkan pengawasan lalulintas ikan lele yang kemungkinan membawa / terinfeksi E. ictaluri, sehingga serangan bakteri tersebut dapat dicegah masuk dan tersebarnya di wilayah negara Republik Indonesia. Penelitian dilakukan dalam 2 tahap yaitu uji pendahuluan (uji pengembalian virulensi dan uji LD50) dan uji utama. Uji utama dilakukan terhadap 50 ekor ikan yang disuntik secara intraperitoneal dengan dosis LD50 1,3 x 104 cfu/ml sebanyak 0,1 ml dan 10 ekor ikan kontrol yang disuntik dengan 0,1 4 ml PBS. Pengamatan yang dilakukan meliputi : (a) gejala klinis, (b) patologi anatomi, (c) histopatologi, (d) pengujian E. ictaluri pada ikan sampel, (e) penghitungan jumlah koloni bakteri, dan (f) kualitas air. Sampel ikan untuk histopatologi dan reisolasi bakteri diambil pada jam ke-2, 4, 8, 12, 24, 36, 48 dan 72 pi. Hasil penelitian memperlihatkan ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri mengalami perubahan gejala klinis yaitu berenang vertikal mulai jam ke-2 pi dan refleks terhadap rangsang melemah mulai jam ke-12 pi. Perubahan makroskopis (patologi anatomi) yang terjadi adalah ukuran limpa dan ginjal membesar serta berwarna lebih gelap mulai jam ke-4 pi. Pembesaran abdomen (peritonitis / dropsy) mulai jam ke-12 pi. Dermatitis hemoragik ptekhie mulai terjadi jam ke 24 pi, sementara warna hati pucat mulai jam ke-36 pi. Adanya lesio mikroskopis (histopatologi) pada organ-organ ikan lele terlihat mulai jam ke-2 pi, yaitu pada jantung dan usus. Pada jantung ditemukan kongesti, hemoragi, epikarditis dan hiperleukositosis. Pada usus ditemukan hiperplasia sel goblet, hemoragi, edema, akumulasi sel radang dan proliferasi MMC. Lesio pada mata, hati, pankreas dan limpa mulai jam ke-4 pi. Pada mata ditemukan edema dan akumulasi sel radang. Pada hati ditemukan kongesti, hemoragi, degenerasi sel lemak, akumulasi sel radang dan nekrosa multifokal. Pada pankreas ditemukan atrofi sel asinar, nekrosa sel asinar, infiltrasi sel lemak, degenerasi dan nekrosa pulau Langerhans. Pada limpa ditemukan proliferasi makrofag, bakteri dalam makrofag, deplesi folikel dan nekrosa. Lesio pada ginjal mulai jam ke-8 pi, pada otak mulai jam ke-12 pi, pada kulit mulai jam ke-24 pi, dan pada insang mulai jam ke-48 pi. Pada ginjal ditemukan hialinisasi tubuli, infiltrasi makrofag, bakteri dalam makrofag, penebalan kapsul Bowman dan nekrosa. Pada otak ditemukan kongesti, hemoragi, gliosis, nekrosa neuron, neuronofagia dan perivaskular cuffing. Pada kulit ditemukan edema, erosi sel epidermis dan akumulasi sel radang. Pada insang ditemukan akumulasi sel radang. E. ictaluri telah diisolasi dan diidentifikasi pada hati, limpa dan ginjal mulai jam ke-2 hingga jam ke-72 pi. Hal ini menunjukkan bahwa E. ictaluri benar-benar telah menginfeksi hati, limpa dan ginjal ikan-ikan lele penelitian ini. 5 Hasil penghitungan jumlah koloni E. ictaluri tertinggi pada jam ke-24 pi yaitu 7 x108 cfu/ml. Hal ini menunjukkan, pada jam ke-24 pi derajat septisemia pada limpa ikan lele adalah yang paling tinggi. Selanjutnya jumlah koloni menurun karena berangsur-angsur sel-sel pada limpa mengalami kerusakan atau nekrosa. Hasil pemeriksaan kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran layak untuk budidaya ikan lele, baik untuk parameter suhu, DO, pH, NO2, maupun NO3. Simpulan dari penelitian ini adalah (1) perubahan gejala klinis, patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) yang dimulai pada jam ke-2 pi dari organorgan kulit, insang, otak, hati, pankreas, limpa dan ginjal ikan lele yang diinfeksi buatan E. ictaluri sesuai dengan perubahan channel catfish yang terinfeksi alami E. ictaluri. Lesio yang sesuai yaitu peritonitis, dermatitis ulseratif, ophthalmitis, brankhitis, ensefalitis, sel asinar pankreas atrofi, hepatitis nekrosa multifokus, splenitis dan nephritis. Lesio yang tidak sesuai ditemukan pada jantung yaitu epikarditis dan hiperleukositosis, pada usus yaitu enteritis kataralis, dan belum menimbulkan hole in the head, (2) lesio khas infeksi E. ictaluri pertama kali dideteksi mulai jam ke-4 pi, berturut-turut pada jaringan limpa, hati dan ginjal, (3) dari organ limpa, ginjal dan hati ikan lele, koloni E. ictaluri mulai ditemukan pada jam 2 pi hingga dengan jam ke-72 pi dengan menggunakan uji biokimia. Pada pengamatan Histopatologi (HP), E. ictaluri mulai ditemukan pada jam ke-36 pi hingga jam ke 72 pi pada jaringan ginjal dan jam ke-8 pi hingga jam ke-72 pi pada jaringan limpa, sedangkan pada jaringan hati tidak ditemukan E. ictaluri, dan (4) ikan lele yang dilalulintaskan yang mempunyai gejala klinis dan patologi anatomi mengarah ke infeksi E. ictaluri seperti gerak renang vertikal, dropsy dan ptekhie hemoragik, pemeriksaan dilanjutkan ke laboratorium bakteri. Dari hasil penelitian dapat disarankan yaitu (1) organ ikan lele yang menjadi target infeksi E. ictaluri dapat dijadikan acuan dalam diagnosa penyakit dalam rangka pengawasan lalulintas ikan lele, dan (2) perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk jenis ikan lain yang sering dibudidayakan, bernilai ekonomis dan sering dilalulintaskan yang menjadi inang dari E. ictaluri. 6 © Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya 7 KAJIAN PATOGENESIS INFEKSI BUATAN BAKTERI Edwardsiella ictaluri PADA IKAN LELE (Clarias sp.) ASEP DADANG KOSWARA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sains Veteriner SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 8 Judul Tesis Nama NIM : Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri Pada Ikan Lele (Clarias sp.) : Asep Dadang Koswara : B053040071 Disetujui, Komisi Pembimbing drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD Ketua Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Sains Veteriner drh. Bambang Pontjo P., MS, PhD Tanggal Ujian : 29 Januari 2009 Dekan Sekolah Pascasarjana Prof.Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus : 9 PRAKATA Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Kajian Patogenesis Infeksi Buatan Bakteri Edwardsiella ictaluri pada Ikan Lele (Clarias sp.) Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dan Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi atas waktu, saran, kesempatan, dan bimbingan selama penyusunan tesis ini. Juga ucapan terima kasih disampaikan kepada drh. Bambang Pontjo Priyosoeryanto, MS, PhD selaku Ketua Program Studi Sains Veteriner, Kepala Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta yang telah mengijinkan untuk tempat penelitian, Prof. drh. Kurniasih dan drh. Surya Amanu, MS yang telah membantu penyediaan isolat bakteri. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2009 Asep Dadang Koswara 10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung tanggal 12 Januari 1965 dari ayah Entang Suriadinata (alm) dan ibu Odjoh. Penulis merupakan anak ketujuh dari delapan bersaudara. Penulis menempuh pendidikan dasar sampai menengah atas di kota Bandung. Pada tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan di jenjang S1 di Fakultas Pertanian Jurusan Perikanan Universitas Padjadjaran Bandung. Pada tahun 1992 sampai dengan 2001 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Pusat Karantina Pertanian Departemen Pertanian. Pada akhir tahun 2001 sampai dengan Agustus 2007 penulis bekerja di Pusat Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan mulai September 2007 sampai dengan sekarang bekerja sebagai Kepala Balai Karantina Ikan Kelas I Juanda Surabaya. Pada tahun 2004 penulis melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Sains Veteriner, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ………………………………..…………………... v DAFTAR GAMBAR ………………………………………………… vi DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………. viii PENDAHULUAN ……………………..…………………………….. 1 Latar Belakang …………………………………………………. 2 Tujuan Penelitian …………...………………………………….. 3 Manfaat Penelitian ………...………………………………….... 3 Hipotesis ……………………………………………………….. 3 TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………... 4 Enteric Septicemia of Catfish (ESC) .……………..………….... 4 Etiologi …………………………………………………………. 4 Gejala Klinis …………………………….……………………… 6 Patogenesis …………………………………………………….. 8 Epizootologi ……………………………………………………. 10 Pengendalian …………………………………………………… 11 Diagnosis ……………………………………………………….. 11 Ikan Lele (Clarias sp.) …………………………………………. 12 Kualitas Air …………………………………………………….. 13 BAHAN DAN METODE .……………………………………………. 14 Waktu dan Tempat ………….………………………………….. 14 Edwardsiella ictaluri .……….…………………………………. 14 Ikan Lele (Clarias sp) ……………...…………………………... 14 Metode Penelitian ……………………………………………… 15 Uji Pendahuluan ...................................................................... 15 Pengembalian Virulensi E. ictaluri .................................. 15 Penentuan Dosis Infeksi (LD50) ...................................... 15 12 Halaman Uji Utama ............................................................................... 16 Pengamatan Gejala Klinis Ikan Uji ……………..………. 16 Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis …….…….. 16 Pengujian Sampel 17 Penghitungan Jumlah Koloni Bakteri ……………….….. 17 Kualitas Air ...................................................................... 18 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 20 Uji Pendahuluan ........................................................................... 20 Pengembalian Virulensi E. ictaluri ........................................ 20 Hasil LD50 .............................................................................. 22 Uji Utama ..................................................................................... 24 Gejala Klinis ……………………………………………….. 24 Pemeriksaan Makroskopis (Patologi Anatomi) ……………. 26 Pemeriksaan Mikroskopis (Histopatologi) ………………… 28 Pengujian Sampel 63 Penghitungan Jumlah Koloni E. ictaluri dari Limpa ….…… 63 Kualitas Air ............................................................................ 64 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 65 Simpulan ................................................................................ 65 Saran ...................................................................................... 65 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………... 66 LAMPIRAN ………………………………………………………….. 70 E. ictaluri Pada Ikan …....................... E. ictaluri Pada Ikan …............................. 13 DAFTAR TABEL Halaman 1 Morfologi dan uji biokimia E. ictaluri dari isolat awal (asal UGM) dan uji pengembalian virulensi bakteri (BUSKI) ............................ 21 2 Jumlah kematian ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada uji LD50 23 3 Perhitungan LD50 ikan lele yang diinfeksi E. Ictaluri ...................... 23 4 Hasil Pengamatan gejala klinis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri selama 72 jam infeksi ...................................................................... 24 Jumlah kematian ikan dari 50 ekor ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri 1,3 x 104 cfu/ml. .................................................................. 25 Pengamatan makroskopis ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri pada dosis 1,3 x 104 cfu/ml ............................................................. 26 5 6 7 Jumlah koloni bakteri pada limpa ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri …………………………………………………………….. 64 8 Kualitas air selama penelitian ……………………………………. 64 14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 E. ictaluri dengan pewarnaan Gram ................................................ Ptekhie hemoragik pada permukaan tubuh channel catfish (Ictalurus punctatus) yang terinfeksi E. ictaluri ............................. Hati channel catfish yang terinfeksi E. ictaluri .............................. Channel catfish dengan lesio hole in the head ………………….. Denah alur penelitian kajian patogenesis infeksi E. ictaluri pada ikan lele (Clarias sp.) ...................................................................... Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA ............................... Gerak renang vertikal yang teramati pada ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri ..................................................................... Perubahan makroskopis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri ........... Jaringan mata ikan lele yang normal ….…………………............... Edema ditemukan di belakang jaringan mata ikan lele ................... Akumulasi sel radang ditemukan di belakang bola mata ikan lele . Jaringan kulit dan otot ikan lele yang normal ……………………. Edema radang di bawah epidermis dan otot pada jaringan kulit dan otot ikan lele ………................................................................ Erosi sel epidermis dan infiltrasi sel radang ringan pada bagian dermis kulit ikan lele ....................................................................... Akumulasi sel radang pada subkutan kulit ikan lele dan dermatitis ulseratif ............................................................................................ Jaringan insang ikan lele yang normal ............................................ Akumulasi sel radang pada lamella sekunder jaringan insang ikan lele ................................................................................................... Jaringan otak ikan lele yang normal ............................................... Ensefalitis pada jaringan otak ikan lele .......................................... Nekrosa neuron, gliosis dan aktivitas neuronofagia pada jaringan otak .................................................................................................. Nekrosa neuron, gliosis, aktivitas neuronofagia dan infiltrasi monosit pada jaringan otak ............................................................. Area dengan nekrosa neuron tipe iskemia pada jaringan otak.ikan . Perivaskular cuffing dan difus gliosis pada jaringan otak ikan lele . Jaringan miokardium ikan lele yang normal .................................. Epikarditis dan kongesti pada jaringan jantung ikan lele ............... Hemoragi pada otot jantung dan epikarditis pada jaringan jantung ikan lele ........................................................................................... Kondisi hiperleukositosis dalam lumen ventrikel jantung ikan lele Jaringan usus ikan lele yang normal ................................................ Hiperplasia sel goblet pada jaringan usus ikan lele ......................... Hemoragi pada jaringan lamina propria usus ikan lele, proliferasi 5 7 8 9 19 22 25 28 29 30 31 32 33 34 34 35 36 37 37 38 39 40 40 42 43 43 44 45 45 15 sentra melano-makrofag serta infiltrasi limfosit ............................. 31 Edema dan sel radang pada jaringan usus ikan lele ........................ 47 47 Halaman 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 Jaringan hati ikan lele yang normal ................................................ Kongesti dan dilatasi sinusoid hati pada ikan lele ........................... Hemoragi pada jaringan hati ikan lele ............................................ Degenerasi lemak pada jaringan hati ikan lele ............................... Nekrosis multifokal pada jaringan hati ikan lele disertai infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag ................................................... Jaringan pankreas ikan lele yang normal ........................................ Sel asinar inaktif pada jaringan pankreas ikan lele ......................... Daerah nekrosa sel asinar pankreas ikan lele ................................. Degenerasi dan nekrosa dari sel-sel pada pulau Langerhans jaringan pankreas ikan lele .............................................................. Infiltrasi sel lemak pada jaringan pankreas ikan lele ....................... Jaringan limpa ikan lele yang normal .............................................. Bakteri dalam makrofag pada jaringan limpa ikan lele .................. Morfologi bakteri yang di fagosit makrofag pada jaringan limpa ikan lele ............................................................................................ Deplesi dan nekrosa folikel limfoid pada jaringan limpa ikan lele ........... Daerah nekrosa di jaringan folikel limfoid limpa ikan lele ........... Jaringan ginjal ikan lele yang normal .............................................. Proliferasi makrofag pada jaringan interrenal dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hyalin pada jaringan ginjal ikan lele ......... Bakteri dalam makrofag pada jaringan interrenal ginjal ikan lele .. Penebalan kapsula Bowman dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hialin pada jaringan ginjal ikan lele .............................. Morfologi E. ictaluri ........................................................................ Nekrosa sel-sel hematopoiesis pada jaringan interstisial dan epitel tubuli ginjal ikan lele ...................................................................... 48 49 49 50 51 52 52 53 54 55 56 56 57 58 58 59 60 60 61 62 63 16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi (HP) ........................... 70 2 Pengamatan Histopatologi (HP) pada setiap jam pengamatan dan setiap organ ikan lele ………………………………………............. 72 Hasil pengujian morfologi dan biokimia (gula-gula) E. ictaluri pada organ ginjal, limpa dan hati ikan lele selama penelitian …….. 82 3 17 PENDAHULUAN Latar Belakang Edwardsiella ictaluri yang merupakan penyebab penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) termasuk hama dan penyakit ikan karantina (HPIK) golongan II yang memerlukan kewaspadaan tinggi untuk dicegah masuk dan tersebarnya penyakit ini di wilayah Republik Indonesia, karena penyakit bakteri ini membahayakan dalam waktu relatif cepat dapat mewabah dan merugikan sosio ekonomi (Anonim 2006). Di Indonesia dilaporkan, E. ictaluri pertama kali ditemukan telah menginfeksi ikan patin Siam (Pangasius hypophthalmus) di Provinsi Jambi pada bulan Januari 2002 (Panigoro et al. 2005). Supriyadi et al. (2005) juga menemukan adanya E. ictaluri yang telah menginfeksi ikan patin yang dibudidayakan di Provinsi Jambi, dan ikan lele di daerah Blitar, Jawa Timur. Terakhir bakteri ini ditemukan telah menginfeksi ikan bawal di daerah Yogyakarta (Amanu, komunikasi pribadi 2007). Penyakit ESC pertama kali dikenal pada tahun 1976 menyebabkan kematian pada benih channel catfish (Ictalurus punctatus) di Alabama dan Georgia, USA. Bakteri penyebab penyakit ini diidentifikasi sebagai spesies baru, E. ictaluri, baru dilaporkan pada tahun 1981. Di daerah Mississippi, penyakit ESC ini dilaporkan telah menyebabkan kematian sampai 47 % dari total produksi setahun ikan channel catfish dan mengakibatkan kerugian ekonomi dalam jutaan dolar (Hawke et al. 1998) dan pada tahun 1988 telah terjadi 2.456 kasus di Mississippi (Durborow et al. 1991). E. ictaluri juga dilaporkan telah menginfeksi walking catfish (Clarias batrachus) yang dibudidayakan di Thailand pada tahun 1987. Sedangkan di Vietnam, E. ictaluri juga telah menginfeksi ikan patin Siam (Pangasius hypophthalmus) yang dipelihara di kolam-kolam pada tahun 1992 (Panigoro et al. 2005). E. ictaluri umumnya menyerang golongan catfish dan dikenal dengan penyakit Hole in the Head Disease. Gejala eksternal dari serangan bakteri ini adalah luka-luka pada bagian permukaan kulit berukuran 3-5 mm, berkembang lebih lanjut menjadi luka bernanah dan menyebar keseluruh tubuh. Pada fase 18 akhir dari manifestasi penyakit ini adalah luka di bagian kepala. Luka menyebar hingga tulang kranium dan menyebabkan rongga otak terbuka. Berbeda dengan E. tarda, pada serangan E. ictaluri tidak menghasilkan gas H2S sehingga tidak menimbulkan bau busuk pada ikan yang terinfeksi (Hawke et al. 1981; Inglis et al. 1993) Selain menginfeksi channel catfish, E. ictaluri juga dapat menginfeksi blue catfish (Ictalurus furcatus), white catfish (I. melas), walking catfish (Clarias batrachus), European catfish (Silurus glanis), Chinook salmon (Oncorhynchus tshawytscha) dan rainbow trout (O. mykiss) (Inglis et al. 1993; Noga 2000). E. ictaluri juga telah dapat diisolasi dari ikan-ikan hias sakit seperti ikan danio, green knife fish dan rosy barb (Hawke et al. 1998; Noga 2000). Bakteri ini juga berpotensi sebagai patogen pada ikan salmonid (Baxa et al. 1990) Ikan lele (Clarias sp.) merupakan salah satu komoditas air tawar yang penting, dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat Indonesia. Ikan lele banyak dibudidayakan secara intensif di Indonesia dan harganya terjangkau oleh lapisan masyakarat bawah (Khairuman dan Amri 2005). Produksi budidaya ikan lele setiap tahunnya mengalami peningkatan, pada tahun 2002 produksinya sebesar 39.193 ton (Anonim 2004). Masalah yang sering dihadapi pada budidaya ikan lele adalah serangan penyakit yang disebabkan oleh parasit dan bakteri. Ikan lele merupakan salah satu inang target infeksi E. ictaluri (Anonim 2006). Upaya pencegahan penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan tindakan karantina melalui tindakan pemeriksaan penyakit ikan terhadap ikan lele yang dilalulintaskan. Sampai saat ini, perubahan patologi ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri isolat lokal secara detail belum diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tahapan perubahan patologi (makroskopis dan mikroskopis) ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan lele (Clarias sp.) secara makroskopis (Patologi Anatomi/PA) dan mikroskopis (Histopatologi/HP) akibat infeksi E. ictaluri, 19 2. Untuk menentukan target organ ikan lele (Clarias sp.) yang terinfeksi E. ictaluri, sehingga akan memudahkan dalam diagnosa penyakit. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dalam mengenali berbagai stadium perkembangan dari infeksi E. ictaluri pada ikan lele (Clarias sp.) melalui pengamatan patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) agar memudahkan pengawasan lalulintas ikan lele yang kemungkinan membawa / terinfeksi E. ictaluri, sehingga serangan bakteri tersebut dapat dicegah masuk dan tersebarnya di wilayah negara Republik Indonesia. Hipotesis Hipotesis yang mendasari dilakukannya penelitian ini adalah tanda-tanda klinis maupun patologis pada ikan lele (Clarias sp.) yang diinfeksi secara buatan dengan E. ictaluri mempunyai karakteristik yang sama dengan channel catfish yang terinfeksi alami E. ictaluri. 20 TINJAUAN PUSTAKA Enteric Septicemia of Catfish (ESC) Penyakit Enteric Septicemia of Catfish (ESC) pertama kali dikenal pada tahun 1976 menyebabkan kematian pada benih channel catfish (Ictalurus punctatus) di Alabama dan Georgia, USA (Hawke et al. 1998). Penyakit ESC pertama kali diinformasikan pada tahun 1979 (Hawke et al. 1981; Hawke et al. 1998). Penyakit ESC disebabkan oleh infeksi E. ictaluri umumnya menyerang jenis-jenis ikan lele terutama channel catfish (I. punctatus) (Hawke et al. 1998; Inglis et al. 1993). E. ictaluri menimbulkan penyakit yang menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar pada industri budidaya lele. Di daerah Mississippi, penyakit ESC ini dilaporkan telah menyebabkan kematian sampai 47 % dari total produksi setahun ikan channel catfish dan mengakibatkan kerugian ekonomi dalam jutaan dolar (Hawke et al. 1998). Semua isolat E. ictaluri yang berasal dari ikan channel catfish delta Mississippi mempunyai profil plasmid yang sama (homolog), sehingga bisa digunakan sebagai probe asam nukleat untuk menentukan keberadaan bakteri pada ikan (Reid and Boyle 1989). E. ictaluri ini juga berhasil diisolasi dari ikan hias air tawar termasuk kelompok ikan Barbus. E. ictaluri secara eksperimental pernah diinfeksikan pada ikan Rainbow Trout, Salmon, dan beberapa jenis ikan Tilapia, tetapi secara alami belum pernah dilaporkan terjadi wabah penyakit ESC pada ketiga jenis ikan tersebut (Hawke et al. 1998). Etiologi Bakteri penyebab penyakit ESC diidentifikasi sebagai spesies baru, E. ictaluri, dilaporkan pada tahun 1981 (Hawke et al. 1981; Hawke et al. 1998). Dua dari tiga spesies yang termasuk genus Edwardsiella berkaitan dengan proses infeksi pada manusia dan hewan. E. ictaluri merupakan agen penyebab enteric septicemia pada channel catfish, sementara E. tarda merupakan patogen pada hewan (ikan) dan manusia (Wong et al. 1989). Identifikasi E. ictaluri didasarkan pada isolasi agen penyebab dan karakterisasi tes biokimia. E. ictaluri dengan 21 mudah dapat dibedakan dari E. tarda dari ketidakmampuannya untuk memproduksi indol dan H2S (E. tarda mampu memproduksi keduanya). Kedua spesies tersebut tidak saling bereaksi silang secara serologis (Shotts and Plumb 1987). Sistematika bakteri E. ictaluri menurut Holt et al. (1994) adalah sebagai berikut : Kingdom Subkingdom Phylum Divisi Kelas Ordo Subord Famili Genus Spesies : : : : : : : : : : Eubacteria Prokaryota Proteobacteria Protophyta Schizomycetes Pseudomonadales Thiorhodaceae Enterobacteriaceae Edwardsiella Edwardsiella ictaluri E. ictaluri adalah bakteri fakultatif anaerob, batang Gram negatif (Gambar 1) termasuk famili Enterobacteriaceae (Holt et al. 1994). Karakteristik biokimia E. ictaluri pertama kali digambarkan oleh Hawke et al. (1981), dan dipelajari lebih lanjut oleh Waltman et al. (1986) dengan menguji 119 isolat E. ictaluri, dan ditemukan 100% positif dalam pengujian metil red, nitrat reduktase, lisin dekarbosilase, ornithin dekarbosilase dan katalase. Selain itu, hasil pengujian menyatakan 100% negatif dalam pengujian sitrat, malonat, Voges-Proskauer, phenylalanin, indol, arginin dihidrolase, sitokrom oksidase, β - galactosidase dan hydrolyzing urea. Gambar 1. E. ictaluri dengan pewarnaan Gram, berbentuk batang berwarna merah (Sumber : Panigoro et al. 2005). 22 Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5 µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC, oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan, lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase -, ornithin +, Gelatin -, Urea -, Citrate , VP -, Glukosa +, Inositol -, Sorbitol -, Rhamnose -, Mannitol -, Arabinose -, Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002; Anonim 2006a; Holt et al. 1994). Masa inkubasi E. ictaluri adalah 36 - 48 jam, tampak sebagai koloni nonpigmen yang halus, bundar (diameter 1-2 mm), cembung ramping sampai keseluruhan tepi. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali pada suhu 37oC (Anonim 2006a). Media yang lengkap untuk pertumbuhan E. ictaluri terdiri dari 46 komponen, termasuk di dalamnya larutan garam basal, glukosa, magnesium sulfat, iron sulfate, 6 trace metal, 4 nukleotida, 10 vitamin, dan 19 asam amino. Pertumbuhan optimal pada suhu 30oC dan pH 7,0 (Collins and Ronald 1996) E. ictaluri termasuk famili Enterobacteriaceae dengan karakterisik Gram negatif, batang, sitokrom oksidase negatif, bergerak kuat pada suhu 25-30oC dan tidak bergerak pada suhu tinggi. Bakteri ini dapat memfermentasi dan mengoksidase glukosa dengan memproduksi gas pada suhu 20-30oC. Terdapat satu dari tiga plasmid yang berhubungan dengan E. ictaluri, fungsi plasmid ini belum jelas tetapi penting dalam peningkatan resistensi antibiotika. Bakteri ini akan tumbuh lambat di dalam kultur media, memerlukan 36 – 48 jam untuk membentuk koloni pada BHI agar dengan suhu 28-30oC dan akan tumbuh lambat atau bahkan tidak sama sekali pada suhu 37oC (Inglis et al. 1993). Gejala Klinis Ikan yang terinfeksi E. ictaluri seringkali terlihat berenang berputar-putar, kepala ikan tersebut mengejar ekornya. Keadaan tingkah laku berputar (whirling /kepala mengejar ekor) tersebut merupakan tanda adanya E. ictaluri pada otak ikan. Ikan yang terinfeksi akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan ekor di bawah (Hawke et al. 1998). 23 Gejala klinis dari serangan bakteri ini adalah adanya ptekhie hemoragik (Gambar 2) atau peradangan pada kulit di bawah mulut, operkulum (tutup insang) dan perut ikan. Lesio seringkali menjadi banyak pada kulit ikan dan berwarna merah terang. Peradangan dan hemoragik juga terjadi pada dasar sirip, luka-luka fokal merah pada bagian kutan berukuran kecil berdiameter 1-3 mm, luka tersebut berada di posteriolateral badan. Pada ikan yang terinfeksi kronis, lesio terbuka akan berkembang diantara tulang tengkorak bagian depan, belakang atau diantara mata. Ikan ini juga mengalami eksoptalmia, insang pucat dan pembesaran abdomen (Inglis et al. 1993). Gambar 2. Ptekhie hemoragik (tanda panah) pada permukaan tubuh channel catfish (Ictalurus punctatus) yang terinfeksi E. ictaluri (Sumber : Inglis et al. 1993) Perubahan makroskopis PA akibat penyakit ESC ini diantaranya adalah adanya timbunan cairan atau perdarahan pada rongga tubuh (Hawke et al. 1998; Inglis et al. 1993). Hati terlihat berwarna pucat pada jaringan yang nekrosis atau nampak burik berwarna merah dan putih (Gambar 3). Ptekhie hemoragik dapat dijumpai pada jaringan otot, usus, dan lemak pada ikan. Usus terkadang berisi cairan yang mengandung darah (Hawke et al. 1998). Ginjal dan limpa membesar, limpa berwarna merah gelap. Peradangan terjadi pada jaringan adipose, 24 peritoneum dan usus (Inglis et al. 1993). Gambar 3. Hati channel catfish yang terinfeksi E. ictaluri nampak warna belang putih (tanda kepala anak panah) (Sumber : Hawke et al. 1998). Patogenesis E. ictaluri dapat menginfeksi inangnya melalui hidung, saluran gastrointestinal dan insang, kemudian akan menyebar ke organ tubuh melalui bakteriemia akut. Sel bakteri akan difagositosis lebih efisien jika terdapat serum antibodi anti-E. ictaluri (Nusbaum and Morrison 2002). Masuknya E. ictaluri ke dalam channel catfish terjadi melalui jaringan epitel, termasuk saluran gastrointestinal dan mukosa olfaktorius (Skirpstunas and Baldwin 2002). Dua bentuk gejala klinis ESC pada channel catfish adalah ensefalitis kronis dan septicemia akut (Anonim 2006a). Pada bentuk kronis, bakteri tersebut setelah menginfeksi kantung olfaktorius akan menyebar sepanjang syaraf olfaktorius menuju otak, menyebabkan peradangan granulomatosa. Meningoencephalitis ini menyebabkan tingkah laku ikan abnormal, berenang lemah dan tidak beraturan. Pada tahap akhir penyakit ini, pembengkakan pada dorsum kepala akibat proses peradangan mengikis jaringan ikat pada bagian ini. Luka di kulit yang menembus tulang kranium menyebabkan terbentuknya lubang pada tulang kranium sehingga penyakit ini disebut hole in the head disease (Gambar 4) (Anonim 2006a; Inglis et al.1993; Noga 2000). 25 Pada bentuk akut, bakteri ini diduga menginfeksi melalui mukosa usus dan menyebabkan bakteremia. Ikan yang terinfeksi memperlihatkan ptekhie hemoragik pada sekitar mulut, kerongkongan dan bagian dasar dari sirip. Tandatanda umum adalah luka multifokal berdiameter 2 mm, lesio-lesio kutan hemoragik berkembang menjadi luka tidak berpigmen, pucat, peradangan insang tingkat sedang dan eksoptalmia. Hemoragik dan nekrosis fokal tersebar pada hati dan semua organ internal lainnya. Enteritis hemoragik, edema sistemik, akumulasi cairan asites pada rongga tubuh, dan pembesaran limpa adalah tandatanda non-spesifik (Anonim 2006a). Gambar 4. Channel catfish dengan lesio hole in the head yang disebabkan oleh erosi pada tengkorak (tanda panah) (Sumber : Noga 2000). Pada bentuk akut ini, kematian ikan terlihat pada hari 4 – 12 hari (Keskin et al. 2004). Organ channel catfish yang terinfeksi berat E. ictaluri adalah ginjal dan limpa yang mengalami nekrosis, hati mengalami edema dan nekrosis. Karakteristik darah yang terinfeksi E. ictaluri adalah berkurangnya konsentrasi hematokrit, hemoglobin, glukosa plasma dan protein plasma. Jaringan insang interlamella mengalami proliferasi, kulit epidermis hilang, infiltrasi mononuklear multifokal di antara serabut ototnya. Ikan lele yang terpapar E. ictaluri melalui infeksi oral akan menyebabkan enteritis, hepatitis, nephritis interstitialis dan 26 miositis selama 2 (dua) minggu sejak infeksi. gastrointestinal, termasuk ptekhie atau Ikan lele menunjukkan lesio ekimosa pada mukosa saluran gastrointestinal dan distensi intestinal yang berhubungan dengan produksi gas. Sel E. ictaluri dapat dijumpai dalam makrofag (Inglis et al. 1993 ; Noga 2000). Enteritis, hepatitis, miositis dan nefritis interstitialis mulai timbul sebagai lesio akut yang kemudian akan berkembang menjadi kronis aktif dan akhirnya menjadi kronis (Noga 2000). Epizootologi E. ictaluri dapat bertahan hidup pada kolam berlumpur selama lebih dari 90 hari pada suhu 25oC. Bakteri ini mungkin bersifat karier dalam usus ikan terinfeksi. E. ictaluri dapat dideteksi dengan fluorescent antibody dalam usus burung pemakan ikan. Penyakit ESC merupakan penyakit musiman, terutama terjadi pada akhir musin semi sampai awal musim panas dan mulai pada musim gugur. Pola ini sesuai dengan suhu udara 20 – 27oC. Penyakit ini telah dapat dideteksi setiap bulan. Pada penelitian channel catfish yang terinfeksi terjadi mortalitas tertinggi pada suhu 25oC, terendah pada suhu 23oC dan 28oC, dan tidak ada kematian pada suhu 17oC, 21oC atau 32oC (Inglis et al. 1993). Penyakit ESC terjadi antara suhu 22 – 28 oC dengan puncak wabah terjadi pada bulan Mei, Juni, September dan Oktober, dan menyebabkan kematian ikan 500 – 2.000 ekor per hari pada kolam yang berisi 80.000 – 1.000.000 ikan (Francis-Floyd et al. 1987). Setelah beberapa tahun awal penemuan penyakit ESC, telah dideteksi beberapa kasus penyakit. Dimulai awal tahun 1980, jumlah isolat E. ictaluri mulai banyak ditemui. Sebagai contoh, pada tahun 1981 telah dilaporkan terjadi 47 kasus di Southeastern USA, dan tahun 1985 terdapat 1042 kasus dimana 28 % di Southeastern USA. Tingkat mortalitas populasi ikan terinfeksi E. ictaluri bervariasi kurang dari 10 % sampai dengan lebih dari 50 %, mulai dari benih sampai ukuran dewasa yang dipelihara di kolam air tergenang, kolam air deras, kolam sistem resirkulasi dan karamba (Inglis et al. 1993). 27 Pengendalian Penyakit ESC dapat dikontrol melalui kemoterapi dan/atau tindakan profilaktik. Perawatan anti mikrobial yang paling sering digunakan adalah aplikasi oral dengan potentiated sulfonamide sulfadimethoxine ormethoprim atau oksitetrasiklin, tetapi plasmid-mediated akan melawan antibiotik ini. Manajemen untuk mengurangi stress pada ikan, penghentian makanan pada saat penyebaran penyakit ESC terdeteksi dan vaksinasi merupakan cara pencegahan (Anonim 2006a). Copper sulphate dengan konsentrasi 2 mg/l juga dapat digunakan untuk mencegah serangan E. ictaluri (Griffin and Mitchell 2207). Hasil penelitian dari McGinnis et al. (2003) menunjukkan E. ictaluri sensitif terhadap florfenicol (FFC) secara in vitro. Saeed and Plumb (1986) telah melakukan penelitian vaksin untuk serangan E. ictaluri, ternyata vaksin yang terbuat dari LPS (lipopolysaccharide) E. ictaluri mampu meningkatkan imunitas inang terhadap serangan E. ictaluri. Channel catfish mempunyai antibodi protektif setelah ikan-ikan tersebut terpapar E. ictaluri (Vinitnantharat and Plumb 1993). Diagnosis Diagnosis definitif penyakit ESC memerlukan isolasi dan identifikasi E. ictaluri di dalam target jaringan dengan gejala klinis yang menyertai. Pada bentuk akut, ginjal merupakan organ target, sementara pada bentuk kronis otak merupakan target organ untuk isolasi (Noga 2000). Untuk mendeteksi penyakit ESC, Shotts and Waltman telah mengembangkan media selektif untuk E. ictaluri, yaitu Edwardsiella Ictaluri Agar (EIA), dapat digunakan untuk isolasi primer dan identifikasi presumtif (Inglis et al. 1993). Identifikasi penyakit ESC menggunakan pengujian karakteristik biokimia, atau serologi dengan aglutinasi serum spesifik, fluorescent antibody (FA), atau ELISA (Inglis et al. 1993; Hawke et al. 1998; Anonim 2006a) atau PCR (Anonim 2006a). E. ictaluri juga dapat diidentifikasi dengan menggunakan sistem miniatur test biokimia seperti Sistem Minitek (BBL Microbiology System) dan sistem API 20E (Hawke et al. 1998). 28 Untuk menentukan intra dan interspesifik E. ictaluri dapat dianalisa dengan menggunakan gel elektroforesis protein, fatty acid methyl esters (FAMEs) dan immunoblotting (Panangala et al. 2006). Ikan Lele (Clarias sp.) Sistematika ikan lele menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut : Kelas Subklas Ordo Subordo Famili Genus Spesies : : : : : : : Pisces Teleostei Ostariophysi Siluroidea Clariidae Clarias Clarias sp. Bentuk umum ikan lele adalah bulat memanjang dengan kepala pipih. Mulut terminal dilengkapi dengan empat pasang sungut sekelilingnya, tubuh tidak bersisik, kulit licin berwarna gelap atau coklat dengan bagian ventral yang lebih terang. Sepanjang dorsal dan anal dilengkapi sirip lunak, sirip punggung hampir bersambungan dengan sirip ekor (Saanin 1968). Jenis ikan ini bersifat nokturnal yaitu aktif di malam hari, lebih suka bersembunyi di balik batu atau tanaman air, mencari makanan di dasar perairan. Sekalipun demikian ikan ini sekali kali harus keluar ke permukaan air untuk mengambil oksigen. Ikan lele termasuk ikan karnivor atau juga omnivor yang memangsa jenis ikan kecil, larva serangga atau hewan dasar lainnya. Ikan ini lebih banyak menggunakan penciumannya daripada penglihatannya untuk mencari makan (Saanin 1968). Ikan lele lebih menyukai tempat terbuka dengan suhu berkisar antara 20-25ºC. Ikan lele disebut ‘Scavenger’ karena senang memakan bangkai. Makanan tambahan seperti pelet juga di sukai lele (Lingga dan Susanto 1989). Dari segi biologi ikan lele mempunyai daya tahan hidup yang tinggi, sehingga dapat hidup dalam lumpur dan air dengan kandungan oksigen rendah, asalkan tidak mengandung racun. Hal ini disebabkan karena ikan lele memiliki alat pernafasan tambahan yang terdapat dalam ruang udara sebelah atas insang, sehingga mampu mengambil udara secara langsung dari udara (Arsyad dan Hadirini 1989). Alat pernafasan tambahan pada ikan lele bukan labirin seperti 29 yang dipunyai ikan gurame, sepat dan tambakan melainkan hanya berupa beberapa lipatan kulit tipis yang menyerupai spons (arborescent) yang terdapat dalam rongga diatas rongga insang serta melekat padanya (Soetomo 1987). Kualitas Air Air merupakan faktor yang paling penting dalam budidaya ikan. Bukan hanya ikan lele, ikan-ikan lainpun untuk hidup dan berkembang biak memerlukan air. Karenanya, kualitas dan kuantitas air harus diperhatikan agar kegiatan budidaya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kualitas air adalah variabel yang dapat mempengaruhi kehidupan lele. Variabel tersebut dapat berupa sifat fisika, kimia dan biologi air. Sifat fisika air meliputi suhu, kekeruhan dan warna air. Sifat kimia air adalah kandungan oksigen, karbondioksida, pH, amoniak dan alkalinitas. Sifat biologi meliputi jenis dan jumlah binatang renik. Beberapa persyaratan sifat air untuk budidaya lele adalah suhu berkisar antara 20 – 30oC, pH antara 6,5 – 8, DO sebesar 3 ppm, CO2 sebesar 15 ppm, N2 sebesar 102 %, NH3 sebesar 0,05 ppm, NH4+ sebesar 8,80 ppm, NO2 sebesar 0,25 ppm, dan NO3 sebesar 250 ppm (Khairuman dan Amri 2005). 30 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang dimulai pada bulan Nopember 2006 sampai dengan Januari 2008. E. ictaluri E. ictaluri diisolasi dari ginjal ikan Bawal (Colossoma macropomum) yang berasal dari peternakan ikan di desa Pringgolayan, Yogyakarta. E. ictaluri tersebut telah diidentifikasi berdasarkan morfologi dan sifat-sifat biokimianya di Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Amanu, komunikasi pribadi 2007). E. ictaluri tersebut dikultur kembali di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Jakarta, dilanjutkan dengan pengujian ulang morfologi dan biokimia, untuk membuktikan bahwa bakteri tersebut benar-benar E. ictaluri. Ikan Lele (Clarias sp.) Ikan lele yang digunakan dalam penelitian berukuran 9 – 10 cm (5 – 6 gram) yang berasal dari satu induk dan bebas dari infeksi E. ictaluri. Ikan lele tersebut diambil secara acak berasal dari peternakan ikan di daerah Cijeruk Kabupaten Bogor. Ikan tersebut diperiksa kesehatannya dan tidak menunjukkan gejala sakit. Sebelum digunakan dalam penelitian, ikan diaklimatisasi selama 48 jam dalam akuarium berukuran 30 x 25 x 20 cm3 berisi air 10 liter dengan kondisi air statis yang telah difilter dan diberi aerasi. Pakan ikan berupa pakan pelet yang telah disterilkan dengan iradiasi sinar gamma dosis 10 K Gray di BATAN Jakarta. 31 Metode Penelitian Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri Pengembalian virulensi bakteri dilakukan dengan cara menginfeksikan E. ictaluri dari sediaan kultur murni laboratorium pada ikan lele (Clarias sp.) sebagai inang target penyakit ESC. Sebelumnya bakteri dibiakkan pada media cair (BHI broth) dan diinkubasi pada suhu 28oC selama 24 – 48 jam (Inglis et al. 1993; Anonim, 2006a). Hasil pemanenan dimasukkan ke dalam tabung reaksi steril dengan ditambah pelarut PBS dan diaduk dengan vortex mixer hingga homogen, setelah itu suspensi isolat bakteri yang diperoleh dihitung tingkat kekeruhannya dengan membandingkan kepadatan konsentrasi bakteri (109 cfu/ml) pada standar kepadatan bakteri menurut McFarland (Jang 1980). Biakan E. ictaluri konsentrasi kepadatan 109 cfu/ml sebanyak 0,1 ml disuntikkan secara intraperitoneal pada ikan lele ukuran ± 6 gram sebanyak 5 ekor. Setelah 2 – 3 hari masa inkubasi ikan yang menunjukkan gejala menciri penyakit ESC segera diisolasi dari organ ginjal dan dilakukan pemeriksaan sifatsifat biokimianya untuk mengetahui kemurnian isolat bakteri tersebut. Isolat bakteri dimurnikan dengan menggunakan media TSA. Isolat bakteri dari organ ginjal yang telah terbukti virulen kemudian digunakan untuk uji selanjutnya. Penentuan Dosis Infeksi (LD50) Untuk memperbanyak biakan E. ictaluri yang akan digunakan pada uji penentuan LD50, bakteri dipupuk pada media plat TSA, selanjutnya diinkubasi pada 27ºC. Bakteri dipanen setelah 18 - 24 jam dan dibuat suspensi dalam larutan PBS steril untuk mendapatkan konsentrasi kepadatan 104, 106, 108, 1010 cfu/ml. Dalam menentukan nilai LD50 digunakan 5 kelompok perlakuan masingmasing terdiri dari 10 ekor ikan. Ikan-ikan diinfeksi oleh 4 tingkat konsentrasi kepadatan bakteri 104, 106, 108 dan 1010 cfu/ml secara intraperitonial sebanyak 0,1 ml per ekor dan 1 kelompok kontrol yang tidak diinfeksi, masing-masing kelompok uji dilakukan 3 kali ulangan. Pasca infeksi ikan tersebut dimasukkan ke dalam akuarium dan diberi pakan pelet steril, selanjutnya dilakukan pengamatan gejala klinis, perubahan 32 makroskopis dan jumlah kematian ikan selama 72 jam. LD50 dihitung menurut metode Dragsted-Behrens (Hubert, 1980). Nilai LD50 tersebut digunakan sebagai dosis infeksi pada uji utama. Uji Utama Uji utama bertujuan untuk mengetahui tahapan perubahan jaringan ikan lele (Clarias sp.) secara makroskopis dan mikroskopis akibat infeksi E. ictaluri dengan menggunakan dosis infeksi LD50. Ikan lele sebanyak 50 ekor diinfeksi E. ictaluri secara intraperitoneal dengan konsentrasi kepadatan sesuai hasil uji LD50 sebanyak 0,1 ml per ekor. Pasca infeksi ikan dimasukkan ke dalam 5 buah akuarium dan diberi pakan pelet steril. Tiap akuarium memiliki kepadatan jumlah ikan uji sebanyak 10 ekor/akuarium. Satu akuarium berisi 10 ekor ikan yang diinjeksi PBS bertindak sebagai kelompok kontrol. Penggantian air dilakukan bila air keruh yaitu sehari sekali selama pengujian berlangsung. Pengamatan perubahan jaringan secara makroskopik (Patologi Anatomi) dan mikroskopik (Histopatologi) dari ikan-ikan uji yang diinfeksi E. ictaluri dengan cara mengambil 1 ekor ikan sampel dari masing-masing akuarium pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pasca infeksi (pi), sehingga setiap waktu pengambilan sampel diperoleh 5 ekor ikan. Pengamatan Gejala Klinis Ikan Uji Pengamatan gejala klinis yang diamati lele meliputi tingkah laku ikan lele berupa reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang. Pengamatan gerakan renang dilakukan selama 72 jam, uji untuk mengetahui reaksi terhadap rangsangan dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi. Pemeriksaan Makroskopis dan Mikroskopis Setiap waktu pengambilan sampel dilakukan pemeriksaan makroskopis terhadap perubahan pada organ eksternal dan internal tubuh ikan. Pengamatan PA dilakukan terhadap bentuk, warna dan ukuran dari organ-organ tersebut. Untuk pemeriksaan histopatologi, sampel organ kulit, otot, mata, insang, jantung, 33 lambung, usus, pankreas, hati, limpa dan ginjal difiksasi dalam larutan Buffer Netral Formalin (BNF) 10%, selama 48 jam. Sampel selanjutnya di proses untuk pembuatan sediaan histopatologi menggunakan automatic tissue processor ® (Sakura , Jepang), ditanam pada parafin menggunakan alat tissue embedding ® console (Sakura , Jepang) dan dipotong menggunakan mikrotom (Spencer ®, USA) setebal 5 µm. Sediaan histopatologi diwarnai dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) dan Giemsa (Lampiran 1). Pengamatan makroskopis dan mikroskopis berdasarkan adanya lesio pada kulit, otot, mata, insang, jantung, lambung, usus, pankreas, hati, limpa dan ginjal ikan uji. Pengamatan dilakukan pada jam ke 2, 4, 8,12, 24, 36, 48, dan 72 pi. Data-data yang diperoleh dari pengamatan patologi dianalisa secara deskriptif, baik data mengenai perubahan patologi anatomi (PA) maupun perubahan histopatologi (HP). Pada pengamatan perubahan histopatologi (HP), frekuensi kejadian lesio pada setiap organ ikan lele dihitung dengan cara : Jumlah sampel ikan yang mengalami lesio x 100 % Jumlah sampel ikan Pengujian E. ictaluri Pada Ikan Sampel Selama uji utama dilakukan pengujian adanya E. ictaluri pada jaringan ikan sampel pada setiap pengamatan. Jaringan yang diambil yaitu ginjal, limpa dan hati, selanjutnya dilakukan isolasi dan dikultur pada media TSA kemudian diinkubasi pada suhu 27°C selama 24 jam, dan koloni yang tumbuh terpisah diuji lanjut sifat-sifat morfologi dan biokimianya (gula-gula). Pengujian adanya E. ictaluri pada ikan sampel dilakukan pada pengamatan jam ke-2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 setelah infeksi. Penghitungan Jumlah Koloni Bakteri Pada uji utama, dilakukan reisolasi bakteri pada limpa dan penghitungan jumlah koloni E. ictaluri dengan tujuan untuk mengetahui tingkat perkembangan sepsis pada ikan. Penghitungan jumlah koloni pada organ dengan menggunakan 34 metoda hitungan cawan (HC). Metode HC ini dilakukan dengan cara : 1 gram limpa dimasukkan ke dalam 9 ml larutan bufer pepton water. Kemudian ditumbuhkan pada media TSA diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27°C. Isolat 1 (satu) koloni bakteri dipindahkan dan dikultur ke dalam 10 ml BHI broth, diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27°C. Kemudian 0,1 ml contoh yang telah mengalami satu seri pengenceran diulaskan dengan spatula pada permukaan TSA sebanyak 2 cawan (duplo). Setelah inkubasi, dilakukan perhitungan jumlah koloni dengan menggunakan Colony Counter (Fardiaz 1987). Penghitungan koloni bakteri ini dilakukan pada pengamatan jam ke 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi. Penghitungan koloni bakteri dilakukan terhadap cawan yang mengandung 30 sampai 300 koloni. Jumlah bakteri yang terdapat dalam tabung asal ditentukan dengan mengalikan jumlah koloni yang terbentuk dengan faktor pengenceran pada cawan yang bersangkutan, dengan rumus sebagai berikut : Faktor pengenceran = Pengencaran awal x Pengenceran x Jumlah yang selanjutnya ditumbuhkan 1 Koloni per ml = Jumlah koloni x Faktor Pengenceran Kualitas Air Kualitas air yang diamati pada uji utama terdiri dari Nitrit (test kit), Nitrat (test kit), pH (test kit), Oksigen terlarut, dan Suhu (termometer). Pengamatan nitrit dan nitrat dilakukan pada saat awal dan akhir uji. Sedangkan pengamatan pH, oksigen terlarut dan suhu air dilakukan setiap hari pagi dan sore. 35 Uji Pendahuluan : Isolat E. ictaluri Re-kultur (inkubasi 28oC, 24-48 jam) Injeksi 0,1 ml ke ikan Reisolasi dan identifikasi Infeksi 104,106,108,10 10 cfu/ml Injeksi 0,1 ml intraperitoneal Kontrol 10 ekor ikan/dosis Diamati mortalitas Dosis LD50 Uji Utama : 50 ekor ikan/5 akuarium Diamati selama 72 jam Kontrol 10 ekor ikan /akuarium (5 ekor sampel pada jam ke-2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, 72 pi) Gejala Klinis Makroskopis (PA) Mikroskopis (HP) Gambar 5. Pengamatan morfologi dan uji biokimia bakteri Penilaian tahapan sepsis dengan reisolasi bakteri dari limpa Kualitas air Denah alur penelitian kajian patogenesis infeksi E. ictaluri pada ikan lele (Clarias sp.) 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Uji Pendahuluan Pengembalian Virulensi E. ictaluri Hasil uji biokimia (gula-gula) E. ictaluri menghasilkan enzim katalase, memfermentasi glukosa, tidak memfermentasi laktosa, tidak memproduksi H2S, tidak membentuk indol dari tryptophan, tidak mampu memproduksi asam campuran dari fermentasi glukosa, tidak mampu membentuk acetyl-methylcarbinol, tidak menggunakan citrate sebagai sumber karbon, tidak menghasilkan enzim urease, tidak menghasilkan gelatin, dapat menggunakan gula secara fermentatif, dapat menggunakan gula secara oksidatif dan bakteri tergolong Gram negatif (Tabel 1). Karakteristik dari E. ictaluri adalah bergerak dengan flagella, tidak berspora dan tidak berkapsul, batang, pleomorfik, Gram -, berukuran 0,75 – 2,5 µm, koloni kecil, bulat transparan, tidak berwarna, suhu optimum 28-30oC, oksidase -, katalase +, H2S -, Indol - (dari tryptophan), fermentatif, 0/129 resistan, lysin dekarboksilase +, arginin dihidrolase -, ornithin +, Gelatin -, Urea -, Citrate , VP -, Glukosa +, Inositol -, Sorbitol -, Rhamnose -, Mannitol -, Arabinose -, Sukrose -, fakultatif anaerob (Austin and Austin 1987; Crumlish et al. 2002; Anonim 2006a; Holt et al. 1994). Isolasi E. ictaluri tidak menghasilkan H2S atau indol, atau fermentasi glukosa dengan menghasilkan gas pada suhu 37°C (Hawke et al. 1981). Menurut Holt et al. (1994) mengatakan hasil isolasi E. ictaluri yang diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam tidak menghasilkan H2S, indol, sukrosa dan citrate. Koloni E. ictaluri secara morfologi terlihat sebagai koloni halus, tidak berpigmen, konvek ramping, dan bundar (Gambar 6). Menurut Cooper et al. (1996) mengatakan bahwa setelah inkubasi pada suhu 28° - 30°C selama 36 - 48 jam, koloni E. ictaluri terlihat mungil, halus, bundar (diameter 1-2 mm), penuh dan dalam koloni tidak berpigmen, cembung ramping sampai keseluruhan tepi. E. ictaluri merupakan Gram negatif berbentuk batang, sekitar 0,75-2,5 μm, terlihat motil lemah, bergerak dengan flagella di seluruh tubuhnya, serta bersifat 37 cytochrome oxidase negative. Bakteri ini tumbuh lambat atau tidak sama sekali pada suhu 37°C. Tabel 1. No. Morfologi dan uji biokimia E. ictaluri dari isolat awal (asal UGM) dan uji pengembalian virulensi bakteri (BUSKI). Uji Hasil Pengujian Isolat Awal Uji Pengembalian (asal UGM) Virulensi (BUSKI) Holt et al. (1994) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Bentuk Gram Katalase Motilitas Oksidase O/F Arginin Lysine decarboxilase Ornithine decarboxilase Simmon's citrate R + + F + + - R + + F + + - R + + F + + - 11 12 13 14 15 16 17 18 H2S Urease Indole Methyl Red Gelatine TSIA Mc Conkey Voges Prokaeur Produksi Gas dari Glukosa Produksi asam dari : Arabinose Glukosa Mannitol Sukrose Laktosa + + + - + + + - + + + - + + + + - + - + - 19 20 21 22 23 24 Keterangan : R = Rod F = Fermentatif + = Positif - = Negatif 38 i i da r talur e c i . E l t e Isola al Ikan L Ginj K Gambar 6. Koloni E. ictaluri yang tumbuh di media TSA, hasil dari uji pengembalian virulensi bakteri yang diinfeksikan ke ikan lele. K : Koloni tunggal E. ictaluri Hasil LD50 Selama pengujian LD50 berlangsung, ikan lele menunjukkan gejala klinis terinfeksi E. ictaluri. Tingkah laku ikan lele mengalami kelainan, ikan bergerak berenang tidak normal dan berenang dengan kepala di atas permukaan air/vertikal. Hasil pengamatan makroskopis, menunjukkan bintik-bintik merah pada kulit, warna hati pucat, ginjal dan limpa berwarna lebih gelap. Pada uji LD50, kematian ikan lele mulai muncul 1 hari setelah diinjeksi bakteri. Kematian hari pertama dimulai dari ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 1010 cfu/ml, kemudian ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 108 cful/ml. Ikan lele yang diinfeksi bakteri dosis 106 cfu/ml dan 104 cfu/ml mengalami kematian mulai hari kedua (Tabel 2). 39 Tabel 2. Jumlah kematian ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada uji LD50. Konsentrasi Edwarsiella Ictaluri (sel/ml) Jumlah Ikan (ekor) Kontrol 104 106 108 1010 20 20 20 20 20 Jumlah Ikan yang Mati (ekor) Hari ke 1 2 3 0 0 0 17 18 0 5 11 1 2 Total Mati (ekor) 0 7 6 0 0 0 12 17 18 20 Untuk mengetahui nilai LD50 E. ictaluri, data pengamatan kematian ikan lele pada Tabel 2 dihitung menurut metode Dregsted Behrens (Hubert, 1980) seperti Tabel 3 di bawah ini : Tabel 3. Perhitungan LD50 ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri. Konsentrasi (cfu/ml) Log Konsentrasi ∑N R N-R ∑R ∑(Nn-R) Total P*x100 Kontrol 104 106 108 0 4 6 8 20 20 20 20 0 12 17 18 20 8 3 2 0 12 29 47 33 13 5 2 33 25 34 49 0 48 85.29 95.92 1010 10 20 20 0 67 0 67 100 Keterangan : ∑N : Jumlah ikan uji setiap perlakuan (ekor) R : Jumlah ikan yang mati setiap perlakuan (ekor) Perhitungan nilai LD50 : Log (m) LD50 LD50 = = = = 4 + (6-4) [(50-48)/(85,29-48)] 4 + 0,11 4,11 1,3 x 104 cfu/ml Dari hasil uji didapat nilai LD50 sebesar 1,3 x 104 cfu/ml yang dipergunakan untuk uji utama. Dalam salah satu penelitian, injeksi 1,5 x 103 cfu E. ictaluri yang patogen dapat menyebabkan 100 % kematian catfish (Plumb dan Sanchez 1983). Data lain menyebutkan bahwa nilai LD50 dari infeksi E. ictaluri untuk ikan chinook salmon sebesar 3,4 x 107 cfu/ml (Baxa et al. 1990). 40 Uji Utama Gejala Klinis Selama penelitian dilakukan pengamatan terhadap gejala klinis yaitu tingkah laku ikan lele meliputi reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang. Hasil pengamatan reaksi terhadap rangsangan dan gerakan renang, pada jam ke0 ikan lele terlihat masih normal. Ikan lele mengalami kelainan gejala klinis mulai jam ke-2 pi (Tabel 4). Tabel 4. Hasil Pengamatan gejala klinis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri selama 72 jam infeksi. No. Jam pengamatan Gejala klinis Gerakan renang 1 Jam ke- 0 pi Normal Refleks terhadap rangsangan + 2 Jam ke- 2 pi Gerak renang vertikal + 3 Jam ke- 4 pi Gerak renang vertikal + 4 Jam ke- 8 pi Gerak renang vertikal + 5 Jam ke-12 pi Gerak renang vertikal - 6 Jam ke-24 pi Gerak renang vertikal - 7 Jam ke-36 pi Gerak renang vertikal - 8 Jam ke-48 pi Gerak renang vertikal - 9 Jam ke-72 pi Gerak renang vertikal - Tingkah laku ikan lele mulai berubah pada pengamatan jam ke-2 pi yaitu ikan lele mulai bergerak berenang tidak normal, ikan lele berenang dengan kepala di atas permukaan air/vertikal (Tabel 4 dan Gambar 7). Hal ini sesuai dengan penyataan Hawke et al. 1998 dan Francis-Floyd 1996 bahwa ikan yang terinfeksi E. ictaluri akan berenang menggantung dengan kepala di atas dan ekor di bawah. Refleks ikan lele terhadap rangsang mulai melemah pada pengamatan jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-72 pi. 41 Gambar 7. Gerak renang vertikal (tanda panah) yang teramati pada ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri mulai jam ke-2 pi. Selain gejala klinis tersebut di atas, juga dilakukan pengamatan terhadap jumlah kematian ikan lele. Pengamatan dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi, Pada pengamatan jam ke-0 sampai dengan jam ke-12 pi, terlihat belum ada kematian ikan pada akuarium. Kematian ikan dimulai pada jam ke-24 sebanyak 4 ekor dari 50 ekor ikan yang diinfeksi pada dosis bakteri 1,3 x 104 cfu/ml (Tabel 5). Tabel 5. Jumlah kematian ikan dari 50 ekor ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri 1,3 x 104 cfu/ml. No. Jam Pengamatan Jumlah Ikan yang Moribund dan Mati (ekor) 1 Jam ke- 0 pi 0 2 Jam ke- 2 pi 5 3 Jam ke- 4 pi 5 4 Jam ke- 8 pi 5 5 Jam ke- 12 pi 5 6 Jam ke- 24 pi 4 7 Jam ke- 36 pi 4 8 Jam ke- 48 pi 5 9 Jam ke- 72 pi 7 42 Pemeriksaan Makroskopis (Patologi Anatomi) Pengamatan makroskopis dilakukan terhadap bentuk, warna, ukuran dan perubahan patologi organ eksternal dan internal ikan lele. Organ eksternal ikan yang diamati adalah kulit dan abdomen, sedangkan organ internal ikan yang diamati adalah hati, limpa dan ginjal. Pengamatan makroskopis patologi anatomi ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 8, 12, 24, 36, 48, dan 72 pi. Hasil pengamatan disajikan pada Tabel 6. Perubahan makroskopis pada kulit ikan lele dimulai pada jam ke-24 pi, terjadi bercak-bercak merah terang (Tabel 6). Menurut Francis-Floyd (1996), salah satu perubahan eksternal spesifik ikan yang terinfeksi E. ictaluri adalah adanya lesio pada kulit berupa hemoragi. Lesio tersebut berupa ptekhie hemoragik yang seringkali menjadi banyak (multifokus) pada kulit ikan dan berwarna merah terang (Inglis et al. 1993) Tabel 6. Pengamatan makroskopis ikan lele yang diinfeksikan E. ictaluri pada dosis 1,3 x 104 cfu/ml No Jam Patologi Anatomi Pengamatan Kulit Abdomen Hati Limpa Ginjal 1 Ke- 0 pi TAK TAK TAK TAK TAK 2 ke- 2 pi TAK TAK TAK TAK TAK 3 ke- 4 pi TAK TAK TAK Warna lebih gelap Warna lebih gelap 4 ke- 8 pi TAK Ukuran membesar TAK Warna lebih gelap Warna lebih gelap 5 ke-12 pi TAK TAK 6 ke-24 pi Bercak merah Ukuran membesar Ukuran membesar Warna lebih gelap Warna lebih gelap Warna lebih gelap Warna lebih gelap 7 ke-36 pi Bercak merah Ukuran membesar Warna pucat Warna lebih gelap Warna lebih gelap 8 ke-48 pi Bercak merah Ukuran membesar Warna pucat Warna lebih gelap Warna lebih gelap 9 ke-72 pi Bercak merah Ukuran membesar Warna pucat Warna lebih gelap Warna lebih gelap TAK Keterangan : TAK = Tidak Ada kelainan 43 Abdomen ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-12 pi yaitu ukurannya menjadi lebih besar atau dinamakan peritonitis / dropsy (Tabel 6 dan Gambar 8a). Pembesaran pada abdomen disebabkan oleh pembengkakan organ internal dan akibat adanya timbunan cairan eksudat atau pendarahan pada rongga tubuh (Hawke et al. 1998; Inglis et al. 1993). Akumulasi cairan eksudat peradangan pada rongga tubuh merupakan tanda non-spesifik dari penyakit ESC (Francis-Floyd 1996; Anonim 2006a). Infeksi Vibrio anguillarum, Aeromonas hydrophilla dan Renibacterium salmoninarum juga menyebabkan akumulasi cairan eksudat peradangan pada rongga tubuh (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et al. 1993). Pada jam ke-36 pi, hati ikan lele mulai mengalami perubahan warna menjadi lebih pucat (Tabel 6 dan Gambar 8b). Hati terlihat berwarna pucat atau nampak belang merah dan pucat pada jaringan yang mengalami degenerasi (Hawke et al. 1998). Limpa ikan lele mulai mengalami perubahan pada jam ke-4 pi yaitu berwarna menjadi agak gelap dan ukurannya membesar (Tabel 6). Hal ini sesuai dengan Inglis et al. (1993), bahwa limpa catfish yang terinfeksi E. ictaluri akan membesar dan berwarna merah gelap. Pembesaran ukuran limpa merupakan tanda non-spesifik pada infeksi E. ictaluri (Anonim 2006a). Beberapa penyakit lain seperti Aeromonas hydrophill, Yersinia ruckeri dan Mycobacterium marinum menunjukkan pembengkakan limpa ((Noga 1996; Inglis et al. 1993). Perubahan makroskopis ginjal ikan lele dimulai pada jam ke-4 pi. Ginjal ikan lele mulai mengalami perubahan yaitu berwarna lebih gelap (Tabel 6). Menurut Inglis et al. (1993), ginjal catfish yang terinfeksi E. ictaluri akan membesar dan berwarna merah gelap. 44 a b Gambar 8. Perubahan makroskopis ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri, a) abdomen ikan lele membesar, tanda panah; dan b) hati ikan lele pucat, tanda panah. Pemeriksaan Mikroskopis (Histopatologi) Hasil pengamatan mikroskopis menunjukkan ikan lele yang diinfeksi buatan E. ictaluri secara intraperitoneal. akan menimbulkan lesio pada organorgan internal dan eksternal. Bakteri yang masuk rongga perut ikan akan menginfeksi epitel selaput peritoneum dan masuk ke pembuluh darah (bakteremia). Sebagai mikroorganisme bebas, bakteri akan menginfeksi mobile cell (leukosit) menyebar ke organ tubuh seperti hati, limpa, kulit dan organ internal lainnya (Mims 1987). Infeksi alami dari E. ictaluri dapat terjadi melalui rute jaringan epitel olfaktoris, insang dan saluran gastrointestinal, kemudian akan menyebar ke organ tubuh melalui pembuluh darah (bakteriemia) secara akut (Nusbaum and Morrison 2002 ; Skirpstunas and Baldwin 2002). 45 Adanya lesio pada organ-organ ikan lele terlihat mulai jam ke-2 pi, yaitu pada jantung dan usus. Lesio pada mata, hati, pankreas dan limpa mulai jam ke-4 pi. Lesio pada ginjal mulai jam ke-8 pi, pada otak mulai jam ke-12 pi, pada kulit mulai jam ke-24 pi, dan pada insang mulai jam ke-48 pi. Menurut Baldwin and Newton (1993), ESC dicirikan oleh serangan septisemia yang cepat dengan deteksi awal adanya E. ictaluri pada organ-organ internal dimulai 15 menit mengikuti cairan sekresi lambung. Lesio mikroskopis dilaporkan muncul pada hari ke-2 pi (Newton et al. 1989). Histopatologi Mata Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-2 pi belum nampak adanya perubahan lesio pada jaringan mata ikan lele, jaringan mata masih nampak normal (Gambar 9). Pada jam ke-4 pi 60% sampel mulai menunjukkan adanya perubahan mikroskopis pada mata ikan lele yaitu berupa edema di bagian posterior mata (Gambar 10) dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi. Edema pada bagian posterior mata ikan lele berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan (Damjanov 1997). Gambar 9. Jaringan mata ikan lele yang normal pada jam ke 2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 10 µm 46 Gambar 10. Edema ditemukan di belakang jaringan mata ikan lele pada jam ke-4 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 10 µm. Pada jam 48 pi, 20% sampel menunjukkan reaksi pada jaringan mata berupa adanya sel radang di bagian posterior mata ikan lele (Gambar 11) dan menjadi 60% sampel pada jam ke 72 pi. Edema dan akumulasi sel radang di posterior bola mata menyebabkan penonjolan bola mata atau eksophthalmus secara makroskopis. Semakin banyak cairan edema dan sel radang yang terakumulasi dalam ruang intraorbital, maka eksophthalmus terlihat. semakin jelas Lesio eksophthalmus merupakan lesio non-spesifik dari infeksi E ictaluri. Gangguan keseimbangan endokrin dan beberapa penyakit septisemia lain seperti Aeromonas hydrophila dan Aeromonas salmonicida, Vibrio anguillarum (Noga 1996; Inglis et al. 1993) menunjukkan lesio eksophthalmus juga. Septisemia menyebabkan pembuluh darah khususnya pembuluh darah arteri yang menyuplai bagian khoroid mengalami kerusakan endotel sehingga terjadi edema, hemoragi dan peradangan. 47 Gambar 11. Akumulasi sel radang ditemukan di otot belakang bola mata ikan lele pada jam ke-48 pi E.ictaluri (tanda panah). Pewarnaan HE, skala 10 µm. Insert : Infiltrasi sel radang di antara otot di belakang bola mata. Pewarnaan HE, skala 1 µm Histopatologi Kulit Perubahan organ kulit akibat infeksi E. ictaluri memperlihatkan berbagai kerusakan pada bagian epidermis dan dermis kulit ikan lele. Hasil pengamatan terhadap sampel kulit ikan lele menunjukkan adanya : edema pada dermis, erosi sel epitel dan sel radang pada lapisan subepidermis. Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-12 pi belum nampak adanya perubahan lesio pada jaringan kulit ikan lele, jaringan kulit masih nampak normal (Gambar 12). Pada jam ke-24 pi mulai terlihat edema pada lapisan di bawah sel epitel epidermis dan di daerah otot (Gambar 13). Edema adalah meningkatnya akumulasi cairan ekstraselular dan ekstravaskular di sela-sela jaringan dan rongga tubuh. Edema dapat bersifat lokal atau meluas di seluruh tubuh. Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat dilalui air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya dapat lewat sedikit atau terbatas sekali. Tekanan osmotik darah lebih besar daripada tekanan osmotik limfe. Daya atau kesanggupan 48 permeabilitas ini tergantung pada substansi semen yang mengikat sel-sel endotel tersebut (Sudiono et al. 2003). Ada dua mekanisme kejadian edema, yaitu edema hemodinamik dan edema permeabilitas. Edema hemodinamik terjadi akibat tekanan yang meningkat pada pembuluh darah pada kondisi gangguan jantung atau tekanan osmotik pembuluh darah yang berbeda dengan jaringan sekitarnya. Edema permeabilitas biasanya terjadi akibat peradangan yang menyebabkan endotel rusak pada beberapa bagian (Damjanov 1997). Edema pada lapisan di bawah epidermis dan bagian dermis kulit ikan lele berkaitan dengan peningkatan permeabilitas vaskular, yang merupakan awal stadium peradangan. Gambar 12. Jaringan kulit dan otot ikan lele yang normal pada jam ke-12 pi E. ictaluri, (a) adalah lapisan epidermis, (b) adalah dermis dan (c) adalah otot. Pewarnaan HE, skala 2 µm. 49 Gambar 13. Edema radang di bawah epidermis (tanda panah) dan otot (tanda kepala anak panah) pada jaringan kulit dan otot ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri pada jam ke-24 pi. Pewarnaan HE, skala 2 µm. Pada jam ke-24 pi, 60% sampel jaringan kulit dan otot mulai menunjukkan erosi sel epidermis dan meningkat menjadi 100% pada jam ke-72 pi (Gambar 14). Pada jam 36 pi, 20% sampel mulai memperlihatkan adanya sel radang di jaringan subkutan (Gambar 15) dan meningkat menjadi 40% pada jam ke 72 pi. Adanya sel radang di jaringan subkutan menyebabkan kejadian degenerasi dan nekrosa pada epidermis dan dermis di bawahnya. Sel epidermis yang nekrosa akan terlepas dari membran basalnya dan menyebabkan erosi yang meluas. Jika nekrosa mencapai bagian dermis maka akan terbentuk ulkus atau luka terbuka. Jaringan otot dibawah akumulasi sel radangpun turut mengalami perubahan degenerasi hingga nekrosa. 50 Gambar 14. Erosi sel epidermis kulit ikan lele pada jam ke-24 pi E. ictaluri (tanda panah), infiltrasi sel radang ringan terlihat pada bagian dermis (tanda kepala anak panah). Pewarnaan HE, skala 1µm Gambar 15. Akumulasi sel radang pada subkutan kulit ikan lele (tanda panah) dan dermatitis ulseratif (tanda kepala anak panah) pada jam ke-48 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm. 51 Peradangan kulit yang ulseratif merupakan lesio non-spesifik pada ikan lele yang terinfeksi E ictaluri. Lesio tersebut merupakan perjalanan infeksi yang bersifat sistemik atau septisemia. Agen yang beredar di pembuluh darah mencapai bagian kulit, merusak endotel dan menimbulkan lesio perdarahan ptekhie, edema, infiltrasi sel radang serta mengakibatkan erosi epidermis dan ulser. Infeksi Aeromonas hydrophila, Pseudomonas fluorescens dan Vibrio anguillarum juga menyebabkan lesio dermatitis ulseratif (Noga 1996; Roberts 1978; Inglis et al. 1993). Histopatologi Insang Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-36 pi belum nampak adanya perubahan lesio atau jaringan insang ikan lele masih nampak normal (Gambar 16). Infiltrasi sel radang diantara lamella sekunder (brankhitis) mulai terlihat pada 20% sampel jam ke-48 pi (Gambar 17) hingga 20% sampel pada jam ke-72 pi. Gambar 16. Jaringan insang ikan lele yang normal, pada jam ke 36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 5 µm 52 Peradangan insang merupakan reaksi tidak spesifik terhadap E. ictaluri. Lesio brankhitis juga dapat terjadi akibat kualitas air yang buruk dan infestasi parasit. Infeksi Flavobacterium branchiophila, Amyloodinium sp. juga menyebabkan peradangan insang (Noga 1996). Gambar 17. Akumulasi sel radang pada lamella sekunder jaringan insang ikan lele (tanda panah) pada jam ke 36 pi E. ictaluri menyebabkan fusi dari lamela sekunder insang, Pewarnaan HE, skala 5 µm Histopatologi Otak Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-8 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan otak ikan lele (Gambar 18). Perubahan dimulai pada jam ke-12 pi yaitu kongesti dan hemoragi (Gambar 19). Kongesti ditemukan pada 20% dari sampel jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-36 pi. Hemoragi terjadi pada 20% dari sampel jam ke-12 pi sampai dengan jam ke-72 53 Gambar 18. Jaringan otak ikan lele yang normal pada jam ke-8 pi E ictaluri, Pewarnaan HE, Skala 1µm Gambar 19. Ensefalitis pada jaringan otak ikan jam ke-24 pi E. ictaluri, ditandai dengan hemoragi (H) (tanda panah warna hitam), Kongesti (K) (tanda panah warna putih), nekrosa neuron dan gliosis (N) (tanda kepala anak panah), dan malacia (M) (tanda kepala anak panah warna putih), Pewarnaan HE, skala 1 µm 54 Pada jam ke-24 pi tampak nekrosa neuron dan gliosis (Gambar 20) dan aktifitas neuronofagia (Gambar 21). Gliosis dan aktifitas neuronofagia terjadi mulai jam ke-24 hingga jam ke-72 pi. Gambar 20. Nekrosa neuron , gliosis dan aktivitas neuronofagia pada jaringan otak jam ke-36 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm Gliosis terjadi ketika jaringan otak mengalami lesio nekrosis. Pada permulaannya, terjadi respon eksudatif dengan aktivasi mikroglia lokal dan pengerahan monosit fagositik untuk memfagositosis jaringan mati (Stevens et al. 2002). 55 Gambar 21. Nekrosa neuron, gliosis, aktivitas neuronofagia dan infiltrasi monosit pada jaringan otak jam ke-36 pi E. Ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm Menurut Cheville (1999), neuronofagia merupakan proses fagositosis selsel syaraf oleh mikroglia, sebaiknya dibedakan dari satelitosis, dimana oligodendrogliosit berakumulasi di sekitar neuron. Dalam proses reaksi terhadap lesio di otak, mikroglia mengalami pembesaran, hiperplasia dan otofagia. Monosit yang berasal dari sirkulasi biasanya memasuki neuropil. Duapuluh persen sampel pada jam ke-36 pi hingga jam ke-72 pi menunjukkan infiltrasi monosit (Gambar 21). Nekrosis neuron mulai terlihat pada 20% sampel dari jam ke-36 pi hingga 60% pada jam ke-72 pi. Berdasarkan perubahan morfologi dimana ukuran neuron bertambah kecil dengan sitoplasma yang gelap maka nekrosa neuron yang terjadi di golongkan dalam nekrosa tipe iskhemia (Gambar 22). Iskhemik neuron terjadi akibat gangguan suplai oksigen ke otak (McGavin et al. 2001). Infeksi sistemik dari E. ictaluri telah menyebabkan kerusakan pembuluh darah sehingga suplai oksigen terganggu dan menimbulkan lesio iskhemia. Neuron yang mengalami nekrosa akan difagositosis oleh sel glia dan mengundang kehadiran monosit yang berasal dari peredaran darah. Akumulasi monosit di sekitar kapiler pembuluh darah atau 56 yang disebut sebagai perivaskular cuffing juga terlihat pada ikan lele penelitian ini (Gambar 23). Gambar 22. Area dengan nekrosa neuron tipe iskemia pada jaringan otak jam ke-72 pi (tanda panah) E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 23. Perivaskular cuffing (tanda panah) dan difus gliosis pada jaringan otak ikan lele jam ke-36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm 57 Ensefalitis merupakan salah satu lesio spesifik dari infeksi alami E. ictaluri. Pada infeksi alami, ensefalitis akibat E ictaluri menyebabkan os cranium lisis dan membentuk lubang yang dikenal dengan sebutan “hole in the head”. Pada penelitian infeksi buatan kali ini, lesio ensefalitis belum menimbulkan lisisnya os cranium dan “hole in the head”. Rute infeksi buatan yang melalui intraperitoneal, tampaknya menimbulkan lesio berbeda dengan rute infeksi secara alami yaitu melalui mulut dan saluran olfatori. Menurut Plumb (1999), E. ictaluri yang menginfeksi ikan secara waterborne akan menginvasi organ olfactory melalui nasal yang terbuka, berpindah ke dalam syaraf olfactory memasuki otak dan menyebar dari meningen ke tengkorak dan kulit ikan serta menciptakan kondisi hole in the head pada ikan. Histopatologi Jantung Dari hasil pengamatan histopatologi, mulai jam ke-2 pi terlihat adanya perubahan lesio pada jaringan jantung ikan lele, sementara pada kelompok kontrol menunjukan tidak ada perubahan (Gambar 24). Pada jam ke-2 pi E. ictaluri terlihat kongesti dan epikarditis (Gambar 25) serta miokarditis hemoragika (Gambar 26) . Kongesti terlihat pada 20% ikan lele jam ke-2 hingga pada 40% sampel ikan lele jam ke-24 pi E. ictaluri. Epikarditis terjadi pada 40% ikan lele di jam ke-2 pi hingga 60% ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri. Hemoragi pada miokardium hanya ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-2 pi. 58 Gambar 24. Jaringan miokardium ikan lele yang normal pada kelompok kontrol, Pewarnaan HE, skala 1µm Pada pembuluh darah yang mengalami kongesti, kecepatan aliran darah akan menurun dan mengurangi derajat oksigenisasi darah ke jantung. Akibat pembendungan dan darah yang lamban atau tidak mengalir (statis), maka permeabilitas kapiler bertambah sehingga terjadi edema dan hemoragi. Hemoragi juga dapat disebabkan oleh kerusakan endotel kapiler akibat agen infeksi yang beredar di pembuluh darah. Sejumlah bakteri E. ictaluri yang berada pada pembuluh darah pada jam ke 2 pi kemungkinan menyebabkan kerusakan tersebut. Epikarditis merupakan peradangan pada bagian epikardium jantung. Peradangan bagian ini pada sebagian besar sampel ikan lele diduga terjadi akibat rute penyuntikan E. ictaluri secara intraperitoneal, karena lesio epikarditis tidak dilaporkan pada infeksi alami dari E. ictaluri. Agen akan menyebar di rongga abdomen dan dada, serta menyebabkan reaksi peradangan di epikardium. 59 Gambar 25. Epikarditis (tanda panah) dan kongesti (tanda kepala anak panah) pada jaringan jantung ikan lele jam ke-36 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm Gambar 26. Hemoragi pada otot jantung (tanda panah) dan epikarditis pada jaringan jantung ikan lele (tanda kepala anak panah) pada jam ke-2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm 60 Hiperleukositosis terlihat pada 20% ikan lele jam ke-4 pi hingga pada 40% ikan lele jam ke-72 pi E ictaluri (Gambar 27). Akumulasi leukosit terlihat di dalam lumen ventrikel jantung menunjukkan kadar leukosit di dalam sirkulasi meningkat mulai jam ke-4 pi hingga akhir penelitian pada jam ke 72 pi. Infeksi buatan E. ictaluri telah menimbulkan respon sistemik berupa peningkatan kadar leukosit darah yang kemudian mengendap saat post mortem pada ruang ventrikel jantung. Jantung ikan memiliki banyak celah-celah di ruang ventrikelnya, kondisi hiperleukositosis menyebabkan leukosit terjebak di lumen ventrikel di permukaan endokardium. Gambar 27. Kondisi hiperleukositosis ditunjukkan oleh akumulasi leukosit dalam lumen ventrikel jantung ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1µm Histopatologi Usus Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-2 pi mulai terlihat adanya lesio pada usus ikan lele, sementara pada kelompok kontrol tidak menunjukkan adanya perubahan (Gambar 28). Duapuluh persen sampel ikan lele jam ke-2 pi, menunjukkan hiperplasia sel goblet hingga meningkat menjadi 80% sampel ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 29). 61 Gambar 28. Jaringan usus ikan lele yang normal dari kelompok kontrol jam ke 2-pi, Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 29. Hiperplasia sel goblet pada jaringan usus ikan lele jam ke- 2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm 62 Hiperplasia sel goblet pada epitel saluran cerna merupakan reaksi pertahanan awal terhadap berbagai kerusakan yang ada disaluran cerna. Sel goblet merupakan sel penghasil mukus, hiperplasia sel goblet menyebabkan produksi mukus berlebihan yang berfungsi melindungi epitel permukaan dari agen penyebab kerusakan (McGavin et al. 2001). E. ictaluri di golongkan sebagai enterobacter, bakteri yang mempunyai habitat saluran cerna (Holt et al.1994). Walaupun rute infeksi pada penelitian ini tidak dilakukan melalui jalur infeksi alami, tetapi lesio pada saluran cerna sangat cepat timbul yaitu pada jam ke-2 pi. Pada jam ke 8 pi, terjadi edema, hemoragi, infiltrasi sel radang serta proliferasi sentra melano-makrofag atau melano-macrophage center (MMC) pada jaringan lamina propria usus ikan. Hemoragi terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 pi (Gambar 30). Edema dan infiltrasi sel radang serta proliferasi sentra melano-makrofag terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 31). Edema, hemoragi dan infiltrasi sel radang serta proliferasi MMC merupakan tahapan reaksi peradangan. Rute infeksi melalui intraperitoneal segera menyebarkan E. ictaluri melalui sirkulasi dan menimbulkan peradangan pada lamina propria usus. Proliferasi MMC merupakan indikasi adanya reaksi pertahanan tubuh pada ikan (Roberts 1978). Nekrotik enteritis yang merupakan lesio infeksi alami dari E. ictaluri (Inglis et al. 1993; Plumb 1999) tidak ditemukan pada penelitian ini. Lesio pada ikan penelitian sebatas pada enteritis kataralis, dengan epitel penutup yang masih utuh. 63 Gambar 30. Hemoragi pada jaringan lamina propria usus ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri (tanda panah), proliferasi sentra melano-makrofag (tanda kepala anak panah hitam) serta infiltrasi limfosit (tanda kepala anak panah tanpa warna) mengikuti kejadian hemoragi. Pewarnaan HE, skala 1µm Gambar 31. Edema radang (tanda panah) dan sel radang (tanda kepala anak panah) pada jaringan usus ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 2 µm 64 Histopatologi Hati Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-2 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan hati ikan lele (Gambar 32). Perubahan dimulai pada jam ke-4 pi yaitu kongesti, hemoragi dan degenerasi lemak. Kongesti mulai terjadi pada 20% sampel ikan lele jam ke-4 pi sampai dengan jam ke-12 pi (Gambar 33). Hemoragi terjadi hanya pada 20% sampel ikan lele jam ke-4 pi (Gambar 34). Degenerasi lemak pada 40% sampel ikan lele jam ke-4 pi hingga 60% sampel ikan lele jam ke-48 pi (Gambar 35). Gambar 32. Jaringan hati ikan lele yang normal, Pewarnaan HE, skala 1 µm 65 Gambar 33. Kongesti dan dilatasi sinusoid hati pada ikan lele jam ke-2 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm Gambar 34. Hemoragi pada jaringan hati ikan lele jam ke-4 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm 66 Gambar 35. Degenerasi lemak pada jaringan hati ikan lele jam ke-46 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala1µm Degenerasi lemak menggambarkan adanya penimbunan abnormal lipid dalam sel parenkim. Akumulasi lemak dalam sel terjadi bila terlalu banyak asupan asam lemak bebas ke dalam sel hati, peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati akibat toksin yang merusak jalur metabolisme lemak atau hipoksia yang menghambat kerja enzim pada metabolisme lemak (Cheville 1990). Degenerasi lemak pada ikan lele penelitian ini kemungkinan akibat hipoksia. jaringan terjadi Hipoksia karena melambatnya aliran darah yang ditunjukkan oleh perubahan dilatasi dan kongesti, sebagai respon terhadap adanya antigen dalam jaringan. Nekrosis multifokal pada hati disertai infiltrasi sel radang ditemukan pada 20% ikan lele mulai jam ke-36 sampai dengan jam ke-72 pi (Gambar 36). Hepatitis nekrotikan telah dilaporkan sebagai salah satu lesio yang diakibatkan oleh infeksi E. ictaluri (Inglis et al. 1993 ; Mohanti and Sahoo 2007). Re-isolasi bakteri E ictaluri juga telah berhasil dilakukan (Lampiran 3), walaupun morfologi bakteri tidak terlihat pada jaringan. 67 Gambar 36. Nekrosis multifokal pada jaringan hati ikan lele disertai infiltrasi sel radang limfosit dan makrofag pada jam ke 36 pi E. ictaluri (tanda lingkaran dengan garis terputus), Pewarnaan HE, skala1µm Histopatologi Pankreas Dari hasil pengamatan histopatologi, sampai dengan jam ke-2 pi belum terlihat adanya lesio pada jaringan pankreas ikan lele (Gambar 37). Pada jam ke-4 pi, atrofi sel asinar terjadi pada 20% sampel ikan lele. Lesio ini meningkat hingga 40% sampel ikan lele pada jam ke-48 pi (Gambar 38). 68 Gambar 37. Jaringan pankreas ikan lele yang normal, pada jam ke-2 pi E. ictaluri. Tanda panah adalah pulau Langerhans yang dikitari oleh sel asinar aktif berisi granula zimogen. Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 38. Sel asinar inaktif (tanda panah) dibandingkan sel asinar normal (tanda kepala anak panah) jaringan pankreas ikan lele jam ke-4 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala1µm 69 Atrofi adalah perubahan ukuran sel dari normal menjadi lebih kecil akibat berkurangnya substansi sel sehingga jaringan yang disusun oleh sel tersebut menjadi lebih kecil. Atrofi sel asinar biasanya dijumpai pada kondisi inaktif. Sel asinar berfungsi menghasilkan enzim-enzim pencernaan terutama protease dan lipase, kondisi inaktif biasanya terjadi jika tidak terjadi rangsangan dari makanan di saluran cerna untuk menghasilkan enzim tersebut (McGavin et al. 2001). Infeksi E. Ictaluri diduga telah menyebabkan ikan mengalami gejala klinis anoreksi sehingga sebagian sel asinar berada dalam inaktif. Nekrosa sel asinar terjadi pada 20% sampel ikan lele mulai jam ke 12 hingga jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 39). Degenerasi dan nekrosa pulau Langerhans terlihat pada 20% sampel ikan lele pada jam ke-12 pi E. ictaluri (Gambar 40). Gambar 39. Daerah nekrosa sel asinar pankreas ikan lele pada jam ke 72 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm . 70 Gambar 40. Degenerasi (tanda panah) dan nekrosa (tanda kepala anak panah) dari sel-sel pada pulau Langerhans jaringan pankreas ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Sel-sel asinar merupakan jaringan eksokrin penghasil enzim pencernaan sementara pulau Langerhans merupakan jaringan endokrin penghasil hormon insulin dan glukagon. Degenerasi dan nekrosa pada sel-sel asinar dan pulau Langerhans pankreas merupakan perubahan non-spesifik dari infeksi E. ictaluri. Patogenesa lesio degenerasi yang paling memungkinkan adalah akibat hipoksia dan beredarnya agen infeksius dalam pembuluh darah (Cheville 1990). Lesio degeneratif pada pankreas menyebabkan penurunan fungsi pencernaan dan regulasi glukosa darah pada ikan-ikan lele penelitian ini. Infiltrasi sel lemak atau steatosis ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 41). Pada pankreas, lemak dijumpai pada jaringan ikat dari lobulus pankreas. Infiltrasi lemak pada stroma jarang menyebabkan gangguan fungsi pada pankreas (Sudiono et al. 2003). Steatosis bukan merupakan lesio spesifik dari infeksi E. ictaluri atau peradangan lainnya. 71 Gambar 41. Infiltrasi sel lemak pada jaringan pankreas ikan lele yang terinfeksi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala1µm Histopatologi Limpa Pengamatan histopatologi limpa menunjukkan belum nampak adanya perubahan pada jam ke 2 pi (Gambar 42). Perubahan mulai tampak pada 20 % sampel ikan lele jam ke- 4 pi berupa adanya proliferasi makrofag di jaringan pulpa merah . Proliferasi makrofag ini ditemukan hingga 40% sampel ikan lele jam ke72 pi (Gambar 43). Bakteri dalam makrofag terlihat pada 20 % jaringan limpa ikan lele jam ke-8 pi hingga 40% sampel ikan lele jam ke-72 pi (Gambar 44). 72 Gambar 42. Jaringan limpa ikan lele yang normal pada jam ke-2 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 43. Bakteri dalam makrofag terlihat pada jaringan limpa ikan lele jam ke 8 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm 73 Gambar 44. Dengan pewarnaan khusus Giemsa morfologi bakteri yang di fagosit makrofag lebih jelas terlihat pada jaringan limpa ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri (tanda panah), skala 1 µm Proliferasi makrofag yang memfagosit bakteri pada jaringan pulpa merah limpa ikan lele mulai jam ke-8 hingga jam ke-72 pi menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang mencapai organ limpa cukup banyak sejak jam ke-8 pi E. ictaluri. Peneguhan bahwa bakteri yang terlihat merupakan bakteri E. ictaluri juga dilakukan dengan melakukan re-isolasi bakteri pada limpa. Hasil diperoleh bahwa E. ictaluri dapat di isolasi dan diidentifikasi kembali (Lampiran 3) dari organ limpa. Deplesi folikel limpa ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-24 pi (Gambar 45) hingga 40% sampel ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri. Deplesi folikel limfoid terjadi akibat nekrosa dari sel-sel limfoid sehingga populasi sel limfoid pada folikel limfoid berkurang (Gambar 46). Keberadaan bakteri pada organ limpa mengundang sel-sel radang makrofag dan limfosit, serta menginduksi kematian sel-sel limfoid. 74 Gambar 45. Deplesi dan nekrosa folikel limfoid pada jaringan limpa ikan lele pada jam ke-24 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 46. Daerah nekrosa di jaringan folikel limfoid limpa ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri (tanda bintang yang dibatasi garis putih terputus), Pewarnaan HE, skala 1 µm 75 Lesio limpa pada penelitian ini menunjukkan lesio khas dari E. ictaluri. Limpa channel catfish yang terinfeksi berat E. ictaluri akan mengalami nekrosa dan mengakibatkan deplesi (Inglis et al. 1993; Plumb 1999). Histopatologi Ginjal Dari hasil pengamatan histopatologi, pada jam ke-4 pi belum nampak adanya perubahan pada jaringan ginjal ikan lele (Gambar 47). Pada jam ke-8 pi, terlihat infiltrasi makrofag pada jaringan interrenal, butir hialin pada sel epitel tubuli dan penebalan kapsul Bowman. Infiltrasi makrofag pada jaringan interrenal ditemukan pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 sampai dengan jam ke-72 pi E. ictaluri (Gambar 48) dan di dalamnya jelas terlihat berisi bakteri bila sediaan diwarnai dengan Giemsa (Gambar 49). Butir hialin pada sel epitel tubuli terlihat pada 40% sampel ikan lele hingga pada 60% sampel ikan lele jam ke-72 pi (Gambar 48, 50). Kapsula Bowman terlihat mengalami penebalan pada 20% sampel ikan lele jam ke-8 hingga jam ke-24 pi (Gambar 50). Gambar 47. Jaringan ginjal ikan lele yang normal, terdiri dari struktur glomerulus (tanda panah); tubulus (tanda kepala anak panah) serta jaringan interenal yang terdiri dari sel-sel hematopoiesis, Pewarnaan HE, skala 1 µm 76 Gambar 48. Proliferasi makrofag pada jaringan interrenal (tanda panah) dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hyalin (tanda kepala anak panah) pada jaringan ginjal ikan lele pada jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Gambar 49. Bakteri dalam makrofag pada jaringan interrenal ginjal ikan lele pada jam ke72 pi E. ictaluri (tanda panah), Pewarnaan Giemsa, skala 1 µm 77 Gambar 50. Penebalan kapsula Bowman (tanda panah) dan sel epitel tubulus mengalami degenerasi hialin (tanda kepala anak panah) pada jaringan ginjal ikan lele jam ke-72 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Proliferasi makrofag yang memfagosit bakteri pada jaringan interrenal ikan lele mulai jam ke-8 hingga jam ke-72 pi menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang mencapai organ ginjal cukup banyak sejak jam ke-8 pi E. ictaluri. Morfologi bakteri yang ditemukan serupa dengan morfologi E. ictaluri asal biakan pada agar (gambar 51). Peneguhan bahwa bakteri yang terlihat merupakan E. ictaluri juga dilakukan dengan melakukan re-isolasi bakteri pada ginjal. Hasil diperoleh bahwa E. ictaluri dapat di isolasi kembali dari organ ginjal (Lampiran 3). E. ictaluri yang menginfeksi ginjal melalui kapiler pembuluh darah akan menyebabkan kerusakan pada anyaman kapiler pembuluh darah kumparan glomerulus. Kerusakan kapiler glomerulus selanjutnya akan mengakibatkan kebocoran filter sehingga protein akan lolos ke ruang Bowman dan lumen tubulus. Adanya endapan protein dalam lumen tubulus mengindikasikan telah terjadi gangguan pada fungsi filtrasi dari glomerulus. Protein di ruang Bowman akan mengendap dan menyebabkan penebalan kapsula Bowman. Protein berlebihan di lumen tubuli akan direabsorbsi oleh epitel tubuli dan terakumulasi sebagai butiran 78 hialin intraseluler. Tubulus ginjal mempunyai fungsi untuk meresorbsi bahanbahan yang diperlukan oleh tubuh termasuk protein (McGavin et al. 2001). Gambar 51. Morfologi E. ictaluri dari koloni asal organ ginjal ikan lele dengan menggunakan Pewarnaan Giemsa, Skala 1 µm Nekrosa koagulasi dari sel-sel hematopoiesis pada jaringan interrenal dan epitel tubuli terlihat pada 20% sampel ikan lele jam ke-12 pi (Gambar 52). Nekrosa koagulasi terjadi akibat kerusakan pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke jaringan hingga sel-sel jaringan tersebut mengalami kematian (Cheville 1990). Beberapa peneliti terdahulu pernah melaporkan bahwa infeksi E. ictaluri menyebabkan nekrosa pada organ ginjal (Inglis et al. 1993). 79 Gambar 52. Nekrosa sel-sel hematopoiesis pada jaringan interstisial (tanda panah) dan epitel tubuli (tanda kepala anak panah) ginjal ikan lele jam ke-12 pi E. ictaluri, Pewarnaan HE, skala 1 µm Pengujian E. ictaluri Pada Ikan Sampel Reisolasi dan identifikasi E. ictaluri dilakukan pada penelitian ini, untuk membuktikan bahwa benar ikan-ikan lele penelitian ini terinfeksi E. ictaluri. Hasil dari pengujian memperlihatkan pada jam ke-0 pi tidak ditemukan E. ictaluri pada hati, limpa dan ginjal ikan lele. E. ictaluri telah diisolasi dan diidentifikasi pada hati, limpa dan ginjal mulai jam ke-2 hingga jam ke-72 pi (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa E. ictaluri benar-benar telah menginfeksi hati, limpa dan ginjal ikan-ikan lele penelitian ini. Penghitungan Koloni E. ictaluri dari Limpa Untuk melihat patogenitas E. ictaluri yang menginfeksi, maka dilakukan penghitungan jumlah koloni yang terbentuk saat reisolasi bakteri dari limpa. Hasil penghitungan jumlah koloni E. ictaluri pada jam ke-2 pi sebesar 5 x 106 cfu/ml dan mengalami kenaikan tertinggi hingga jam ke-24 pi yaitu 7 x108 cfu/ml, kemudian nilainya menurun (Tabel 7). Hal ini menunjukkan, pada jam ke-24 pi 80 derajat septisemia pada limpa ikan lele adalah yang paling tinggi. Selanjutnya jumlah koloni menurun karena berangsur-angsur sel-sel pada limpa mengalami kerusakan atau nekrosa. Tabel 7. Jumlah koloni bakteri pada limpa ikan lele yang diinfeksi E. ictaluri No. Jam Pengamatan 1 Jam ke-2 pi Jumlah Koloni (cfu/ml) 5 x 106 2 Jam ke-4 pi 1 x 107 3 Jam ke-8 pi 5 x 107 4 Jam ke-12 pi 1 x 108 5 Jam ke-24 pi 7 x 108 6 Jam ke-36 pi 2 x 107 7 Jam ke-48 pi 1 x 106 8 Jam ke-72 pi 1 x 106 Kualitas Air Hasil pemeriksaan kualitas air selama penelitian masih dalam kisaran layak untuk budidaya ikan lele, baik untuk parameter suhu, DO, pH, NO2, maupun NO3 (Tabel 8). Pengukuran NO2 dan NO3 dilakukan pada jam ke-0 pi dan ke-72 pi, pengukuran pH, DO dan suhu dilakukan pada pagi dan sore hari. Hal ini membuktikan bahwa lesio yang terlihat pada ikan lele penelitian adalah benar akibat infeksi buatan E. ictaluri, bukan pengaruh perubahan kualitas air. Tabel 8. Kualitas air selama penelitian No. Kualitas Air Awal Penelitian Selama Penelitian 1 DO 4 ppm 4 – 6 ppm Literatur (Khairuman dan Amri 2005) 3 ppm 2 pH 7 6–7 6,5 – 8 3 NO2 0,25 mg/l 0,25 mg/l 0,25 mg/l 4 NO3 250 mg/l 250 mg/l 250 mg/l 5 Suhu 26oC 26o – 26,5oC 20o – 30oC 81 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Perubahan gejala klinis, patologi anatomi (PA) dan histopatologi (HP) yang dimulai pada jam ke-2 pi dari organ-organ kulit, insang, otak, hati, pankreas, limpa dan ginjal ikan lele yang diinfeksi buatan E. ictaluri sesuai dengan perubahan channel catfish yang terinfeksi alami E. ictaluri. Lesio yang sesuai yaitu peritonitis, dermatitis ulseratif, ophthalmitis, brankhitis, ensefalitis, sel asinar pankreas atrofi, hepatitis nekrosa multifokus, splenitis dan nephritis. Lesio yang tidak sesuai ditemukan pada jantung yaitu epikarditis dan hiperleukositosis, pada usus yaitu enteritis kataralis, dan belum menimbulkan hole in the head. 2. Lesio khas infeksi E. ictaluri pertama kali dideteksi mulai jam ke-4 pi, berturut-turut pada jaringan limpa, hati dan ginjal. 3. Dari organ limpa, ginjal dan hati ikan lele, koloni E. ictaluri mulai ditemukan pada jam 2 pi hingga dengan jam ke-72 pi dengan menggunakan uji biokimia. Pada pengamatan Histopatologi (HP), E. ictaluri mulai ditemukan pada jam ke-36 pi hingga jam ke 72 pi pada jaringan ginjal dan jam ke-8 pi hingga jam ke-72 pi pada jaringan limpa, sedangkan pada jaringan hati tidak ditemukan E. ictaluri. 4. Ikan lele yang dilalulintaskan yang mempunyai gejala klinis dan patologi anatomi mengarah ke infeksi E. ictaluri seperti gerak renang vertikal, dropsy dan ptekhie hemoragik, pemeriksaan dilanjutkan ke laboratorium bakteri. Saran 1. Organ ikan lele yang menjadi target infeksi E. ictaluri dapat dijadikan acuan dalam diagnosa penyakit dalam rangka pengawasan lalulintas ikan lele. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk jenis ikan lain yang sering dibudidayakan, bernilai ekonomis dan sering dilalulintaskan yang menjadi inang dari E. ictaluri. 82 DAFTAR PUSTAKA Amanu S. 2007. Komunikasi Pribadi. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Yogyakarta. [2 – 07 – 2007, Yogyakarta]. [Anonim]. 2004. Statistik Perikanan Budidaya Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. [Anonim]. 2006. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.17/MEN/2006 tentang Penetapan Jenis-Jenis Hama dan Penyakit Ikan Karantina, Golongan, Media Pembawa, dan Sebarannya. Jakarta. [Anonim]. 2006a. Manual of Diagnostic Tests for Aquatic Animals : Enteric Septicaemia of Catfish (Edwardsiella ictaluri). OIE. Hal. 214 – 220. Arsyad H, Hadirini RE. 1989. Petunjuk Praktis Budidaya Perikanan. Mahkota. Jakarta. 144 hal. PD Austin B, Austin DA. 1987. Bacterial Fish Pathogens : Disease in Farmed and Wils Fish. John Willy and Sons Ltd. England. Baldwin TJ, Newton JC. 1993. Pathogenesis of enteric septicemia of channel catfish, caused by Edwardsiella ictaluri: bacteriologic and light electron microscopy findings. J. Aquat. Anim. Health, 5:189-198. Baxa DV, Groff JM, Wishkovsky A, Hedrick RP. 1990. Susceptibility of nonictalurid fishes to experimental infection with Edwardsiella ictaluri. J. Diseases of Aquatic Organisms Vol 8:113-117. Cheville NF. 1999. Introduction to Veterinary Pathology, Second EditionI. Iowa State University Press. Ames, Iowa. Collins LA, Ronald LT. 1996. Development of a Defined Minimal Medium for the Growth of Edwardsiella ictaluri. Applied and Environmental Microbiology Vol 62 No. 3, 848 – 852. Crumlish M, Dung TT, Turnbull JF, Ngoc NTN, Ferguson HW. 2002. Identification of Edwardsiella ictaluri from diseased freshwater catfish, Pangasius hypophthalmus (Sauvage), cultured in the Mekong Delta, Vietnam. J. of Fish Disease, 25:733-736. Damjanov I. 1997. Buku Teks & Atlas Berwarna Histopatologi, Alih Bahasa : Brahm U. Pendit. Widya Medika. Jakarta. 501 hal. Durborow RM, Taylor PW, Crosby MD, Santucci TD. 1991. Fish Mortality in the Mississippi Catfish Farming Industry in 1988: Causes and Treatments, J. of Wildlife Diseases 27(1), 144 – 147. 83 Fardiaz S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya Informasi IPB Bogor. Francis-Floyd R, Beleau MH, Waterstrat P, Bowser PR. 1987. Effect of temperature on the clinical outcome of infection with Edwardsiella ictaluri in channel catfish. J. of the American Veterinary Medical Association 191: 1413-1416. Francis-Floyd R. 1996. Enteric Septicemia of Catfish. Fact Sheet FA-10, Department of Fisheries and Aquatic Sciences, Florida Cooperative Extention Service, Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida. Revised February 1996. Griffin BR, Mitchell AJ. 2007. Susceptibility of channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), to Edwardsiella ictaluri challenge following copper sulphate exposure. J. of Fish Diseases, 30:581-585. Hawke JP, McWhorter AC, Steigerwait AG, Brenner DJ. 1981. Edwardsiella ictaluri, the causative agent of enteric septicaemia of catfish. Int.J.Syst.Bacteriol., 31:396-400. Hawke JP, Durborow RM, Thune RL, Camus AC. 1998. ESC-Enteric Septicemia of Catfish. Southern Region Aquaculture Center. SRAC Publication No. 477. Holt JG, Krieg NR, Sneath PHA, Staley JT, Williams ST. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology, Ninth Edition. Williams & Wilkins. Baltimore. Hal. 175 – 289. Hubert JJ. 1980. Bioassay. Kendall.Hunt Publishing Company. Iowa State. 164 hal. Inglis V, Roberts RJ, Bromage NR. 1993. Bacterial Disease of Fish. Institute of Agriculture Blackwell Scientific Publication. Oxford. London. Hal 61 – 79. Jutono, Soedarsono J, Hartadi S, Kabirun S, Suhadi D, Soesanto. 1980. Pedoman Praktikum Mikrobiologi. Fak.Pertanian UGM. Yogyakarta. Keskin O, Selcuk S, Mujgan I, Suheyla T, Rajhab SM. 2004. Edwardsiella ictaluri infection in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk. J. Vet. Anim. Sci. 28:649 – 653. Khairuman, Amri K. 2005. Budidaya Lele Dumbo Secara Intensif. AgroMedia Pustaka. Jakarta. 79 hal. Lingga P, Susanto H. 1989. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta. 84 McGinnis A, Gaunt P, Santucci T, Simmons R, Endris R. 2003. In vitro evaluation of the susceptibility of Edwardsiella ictaluri, etiological agent of enteric septicemia in channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque), to florfenicol. J.Vet Diagn. Invest. 15:576-579. McGavin MD, Carlton WW, Zachary JF. 2001. Thomson’s Special Veterinary Pathology, Third Edition. Mosby Inc. St. Louis. Mims CA. 1987. The Pathogenesis Infectious Diseases. 3rd Edition. Academic Press. London. Mohanty BR, Sahoo PK. 2007. Edwardsiellosis In Fish : A Brief Review. J.Biosci. 32 (7) December 2007, 1331- 1344. Newton JC, Wolfe LG, Grizzle JM, Plumb JA. 1989. Pathological of Experimental Enteric Septicemia In Channel Catfish, Ictalurus punctatus, Following Immersion-Exposure to Edwardsiella ictaluri. J. Fish Dis. 12: 335-347. Noga EJ. 2000. Fish Disease : Diagnosis and Treatment. Iowa State Press, A Blackwell Publishing Company, Iowa. 366 hal. Nusbaum KE, Morrison EE. 2002. Edwardsiella ictaluri bacteraemia elicits shedding of Aeromonas hydrophila complex in latently infected channel catfish, Ictalurus punctatus (Rafinesque). J. of Fish Diseases, 25:343-350. Panangala VS, Craig AS, Shawn TM, Covadonga RA, Phillip HK. 2006. Intraand interspecific phenotypic characteristics of fish-pathogenic Edwardsiella ictaluri and E. tarda. Aquaculture Research, 37:49-60. Panigoro N, Bahnan M, Kholidin EB, Yuasa K. 2005. Pathogenecity of Edwardsiella ictaluri to Different Kinds of Fish. http://www.was.org/meetings/-sessionAbstract.asp?MeetingCode= WA2005 & Session =55 – 24k [11-08-2006] Plumb JA. 1999. Health Maintenance and Principal Microbial Diseases of Cultured Fishes. Iowa State University Press. Ames, Iowa. Hal 187 – 194. Plumb JA, Sanchez DJ. 1983. Susceptibility of five species of fish to Edwardsiella ictaluri. J. of Fish Diseases, 6:261-266. Reid WS, John AB. 1989. Plasmid Homologies in Edwardsiella ictaluri. Applied and Environmental Microbiology, Vol. 55, No. 12, 3253 – 3255. Roberts RJ. 1978. Fish Pathology. Bailliere Tindall. London Saanin M., 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Vol.I dan II. Bina Cipta. Jakarta. 85 Saeed MO, Plumb JA. 1986. Immune response of channel catfish to lipopolysaccharide and whole cell Edwardsiella ictaluri vaccines. J. Diseases of Aquatic Organisms, 2:21-25. Shotts EB, Plumb JA. 1987. Serological detection of Edwardsiella ictaluri lipopolysaccharide antibody in serum of channel catfish, Ictalurus punctatus Rafinesque. J. Fish Dis., 10:205-209. Skirpstunas RT, Thomas JB. 2002. Edwardsiella ictaluri invasion of IEC-6, Henle 407, fathead minnow and channel catfish enteric epithelial cells. J. Diseases of Aquatic Organisms, 51:161-167. Soetomo MHA. 1987. Teknik Budidaya Ikan Lele Dumbo. Sinar Baru. Bandung. 109 hal. Stevens A, Lowe JS, Young B. 2002. Wheater’s Basic Histopathology, A Color Atlas and Text, Fourth Edition. Churchill Livingstone. Edinburgh. Supriyadi H et al. 2005. Laporan Monitoring dan Surveilance Penyakit Ikan dan Udang Potensial. BRPAT DKP. Jakarta. 20 hal. Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A, Djimantoro B. 2003. Ilmu Patologi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 213 hal. Vinitnantharat S, Plumb JA. 1992. Protection of channel catfish Ictalurus punctatus following natural exposure to Edwardsiella ictaluri and effects of feeding antigen on antibody titer. J Diseases of Aquatic Organisms Vol. 15:31-34 Waltman WD, Shotts EB, Hsu TC. 1986. Biochemical Characteristics of Edwardsiella ictaluri. Applied and Environmental Microbiology, Vol. 51, No. 1, 101 – 104. Wong JD, Miller MA, Janda JM. 1989. Surface Properties and Ultrastructure of Edwardsiella Species. J of Clinical Microbiology, Vol 27, No. 8, 1797 1801 86 Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Preparat Histopatologi (HP) 1. Dehidrasi adalah proses penarikan air dari jaringan dan mencegah terjadinya pengerutan sampel yang diuji. Sampel jaringan didehidrasi dalam alkohol bertingkat (Alkohol 70%, 80%, 90%, 95% dan Alkohol Absolut). Proses ini umumnya dilakukan pada masing-masing cairan alkohol selama 2 jam. 2. Clearing adalah proses penjernihan dengan menggunakan Xylol (I dan II). 3. Embedding adalah proses pembuatan blok parafin dengan menggunakan parafin histoplast. 4. Sectioning adalah pemotongan jaringan dengan menggunakan mikrotom dengan ketebalan 4 – 5 µm. Gelas objek yang telah dilekati irisan jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 37oC) selama 24 jam. 5. Staining adalah proses pewarnaan jaringan. a. Pewarnaan HE : - Sediaan Histopatologi dicelupkan secara bertahap ke dalam larutan xylol (I dan II), Alkohol Absolut, Alkohol 95%, Alkohol 80%, masingmasing dilakukan selama 2 menit, kecuali perendaman Alkohol 95% dan Alkohol 80% dilakukan selama 1 menit; - Sediaan dicuci pada air mengalir (air kran) selama 1 menit; - Sediaan direndam dalam larutan Mayer’s Haematoxylin selama 8 menit; - Dicuci pada air mengalir selama 30 detik; - Dicelupkan ke dalam larutan Lithium Carbonat selama 15 – 30 detik; - Dicuci dengan air mengalir selama 2 menit; - Sediaan direndam dalam larutan Eosin selama 2 - 3 menit; - Dicuci pada air mengalir selama 30 – 60 detik; - Sediaan dicelupkan kedalam larutan alkohol 95% dan Alkohol Absolut I sebanyak 10 celupan; - Direndam secara bertahap ke dalam larutan Alkohol Absolut II, Xylol I, dan Xylol II, masing-masing selama 2 menit kecuali Xylol II, perendaman dilakukan selama 1 menit 87 b. Pewarnaan Giemsa : - Hilangkan paraffin pada jaringan, bilas dengan alkohol, kemudian air - Warnai jaringan dalam coplin jar dengan campuran 1 ml larutan stok giemsa ditambah 45 ml air destilasi pada waterbath suhu 56oC (20 – 60 menit) - Bilas dengan air destilasi - Diferensiasi dalam 1/1,500 asam asetat selama 30 detik, bilas dengan air destilasi (Irisan Jaringan terlihat warna pink) - Bilas dengan air destilasi - Keringkan hasil pewarnaan dengan dibilas singkat dengan alkohol, bersihkan, dan mounting Hasil : 9 Nukleus berwarna biru ungu 9 Asidofil berwarna pink/merah 9 Basofil berwarna biru 9 Eosinofil berwarna merah/orange 9 Sel Mast berwarna ungu (bergranul) 9 Bakteri dan parasit berwarna biru/biru tua (titik-titik) 88 Lampiran 2. Pengamatan Histopatologi (HP) pada setiap jam pengamatan dan setiap organ ikan lele Organ : MATA Frekuensi Kejadian Lesio (%) Edema Sel Radang No. Jam Pengamatan 1 72 pi 100 60 2 48 pi 100 20 3 36 pi 100 - 4 24 pi 100 - 5 12 pi 80 - 6 8 pi 60 - 7 4 pi 60 - 8 2 pi - - 89 Organ : KULIT Frekuensi Kejadian Lesio (%) Erosi Sel Epidermis Sel Radang No. Jam Pengamatan 1 72 pi 100 100 40 2 48 pi 80 100 20 3 36 pi 80 100 20 4 24 pi 40 60 - 5 12 pi - - - 6 8 pi - - - 7 4 pi - - - 8 2 pi - - - Edema 90 Organ : INSANG Frekuensi Kejadian Lesio (%) No. Jam Pengamatan 1 72 pi 20 2 48 pi 20 3 36 pi - 4 24 pi - 5 12 pi - 6 8 pi - 7 4 pi - 8 2 pi - Brankitis 91 Organ : OTAK Frekuensi Kejadian Lesio (%) Nekrosa Neuronofagia Neuron No. Jam Pengamatan Kongesti Perivaskular Cuffing 1 72 pi - 40 60 2 48 pi - 40 3 36 pi 20 4 24 pi 5 Gliosis Hemoragi 60 100 40 60 60 100 40 20 60 20 100 20 20 - 60 20 60 20 12 pi 20 - - - - 20 6 8 pi - - - - - - 7 4 pi - - - - - - 8 2 pi - - - - - - 92 Organ : JANTUNG Frekuensi Kejadian Lesio (%) No. Jam Pengamatan Epikarditis Hiperleukositosis Hemoragi Kongesti 1 72 pi 60 40 - - 2 48 pi 60 20 - - 3 36 pi 40 20 - - 4 24 pi 40 20 - 40 5 12 pi 60 20 - 40 6 8 pi 40 20 - 20 7 4 pi 40 20 - 20 8 2 pi 40 - 20 20 93 Organ : USUS Frekuensi Kejadian Lesio (%) Hiperplasia Sel Sel radang Edema Goblet No. Jam Pengamatan Hemoragi 1 72 pi - 80 - - - 2 48 pi - 20 - - - 3 36 pi - 20 - - - 4 24 pi - 20 - - - 5 12 pi - 20 20 20 20 6 8 pi 20 20 - - - 7 4 pi - 20 - - - 8 2 pi - 20 - - - Proliferasi MMC 94 Organ : HATI No. Jam Pengamatan 1 72 pi - 20 20 - - 2 48 pi 60 20 20 - - 3 36 pi 60 20 20 - - 4 24 pi 60 - - - - 5 12 pi 40 - - 20 - 6 8 pi 40 - - 20 - 7 4 pi 40 - - 20 20 8 2 pi - - - - - Degenerasi Lemak Frekuensi Kejadian Lesio (%) Nekrosis Sel Radang Kongesti Multifokal Hemoragi 95 Organ : PANKREAS Frekuensi Kejadian Lesio (%) Nekrosis Sel Degenerasi Pulau Nekrosis Pulau Asinar Langerhans Langerhans No. Jam Pengamatan 1 72 pi - 20 - - - 2 48 pi 40 20 - - - 3 36 pi 20 20 - - - 4 24 pi 20 20 - - - 5 12 pi 20 20 20 20 20 6 8 pi 20 - - - - 7 4 pi 20 - - - - 8 2 pi - - - - - Atrofi Sel Asinar Infiltrasi Sel Lemak 96 Organ : LIMPA No. Jam Pengamatan 1 Frekuensi Kejadian Lesio (%) Proliferasi Makrofag Nekrosis Deplesi Folikel Bakteri Dalam Makrofag 72 pi 40 40 40 40 2 48 pi 20 20 20 20 3 36 pi 20 20 20 20 4 24 pi 20 20 20 20 5 12 pi 20 - - 20 6 8 pi 20 - - 20 7 4 pi 20 - - - 8 2 pi - - - - 97 Organ : GINJAL No. Jam Pengamatan 1 Frekuensi Kejadian Lesio (%) Hyalinisasi Tubuli Infiltrasi Makrofag Penebalan Kapsul Bowman Nekrosa Bakteri Dalam Makrofag 72 pi 60 20 - - 20 2 48 pi 40 20 - - 20 3 36 pi 40 20 - - 20 4 24 pi 40 20 20 - 20 5 12 pi 40 20 20 20 20 6 8 pi 40 20 20 - 20 7 4 pi - - - - 8 2 pi - - - - 98 99 100 101 102 103 104 105