BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Pustaka Anak Tunarungu
a. Pengertian Tunarungu
Anak tunarungu merupakan anak dengan gangguan pendengaran
dikarenakan beberapa hal tertentu yang mengakibatkan anak tersebut
memiliki hambatan dalam aktivitas sehari – harinya karena ketunarunguan
tersebut. Berkenaan dengan pengertian tunarungu, terdapat beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh beberapa pihak menurut kepentingan
dan pandangan masing – masing.
IDEA 04 (2009) menyatakan bahwa:
Deafness means a hearing impairment that is so severe the child is
impaired in processing linguistic information through hearing, with
or without amplification, and that adversely affects a child’s
educational performance. Hearing impairment means an impairment
in hearing, whether permanent or fluctuating, that adversely affects
a child’s educational performance but that is not included under the
definition of deafness. (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 258)
Dari pengertian di atas dapat diartikan bahwa tunarungu berarti
gangguan pendengaran yang sangat parah, anak mengalami gangguan dalam
memproses informasi linguistik dengan mengggunakan pendengaran
mereka, baik dengan menggunakan alat bantu pendengaran ataupun tidak
yang berdampak pada prestasi akademik anak. Ganguan pendengaran berarti
gangguan pada pendengaran yang bersifat permanen atau temporer, yang
berdampak pada prestasi akademik anak.
Selain IDEA 04, Uden (Haenudin 2013: 54) berpendapat bahwa :
A deaf person is one whose hearing is disabled to an extent (usually
70 dB ISO or greater) that precludes the understanding of speech
through the ear alone without or with the use of hearing aid. A hard
hearing person is whose hearing is disabled to an extent (usually 35
to 69 dB ISO) that makes difficult, but does not precludes the
understanding of speech through the ear alone without or with the
use of hearing aid.
7
8
Pedapat di atas dapat diartikan bahwa anak tunarungu adalah apabila
seseorang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau
lebih, sehingga tidak mampu mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar.
Sedangkan seseorang yang dikatakan kurang dengar jika kehilangan
kemampuan mendengar pada tingkat 35 hingga 69 dB ISO yang
menyebabkan kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui
pendengarannya sendiri tanpa ataupun menggunakan alat bantu dengar.
Pendapat lain dikemukakan oleh Efendi (2006:57), bahwa tunarungu
adalah jika seseorang dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau
lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah dan organ
telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan
penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ
tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sedangkan PL-94142 mengemukakan bahwa
Gangguan pendengaran (hearing impairment) adalah gangguan
pendengaran yang bersifat permanen maupun sementara, yang jelas
berpengaruh pada prestasi pembelejaran anak, namun tidak termasuk
definisi tunarungu pada bagian ini. Sedangkan tunarungu adalah
suatu gangguan pendengaran yang sangat berat sehingga anak tidak
bisa melakukan proses informasi bahasa melalui pendengaran,
dengan ataupun tanpa pengeras suara, yang dengan jelas
mempengaruhi prestasi pembelajaran akademis (Smith, 2013: 270).
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
tunarungu adalah seseorang yang mengalami gangguan pendengaran baik
dalam derajat rendah hingga tinggi, dikarenakan beberapa faktor penyebab
ketunarunguan, sehingga memerlukan bantuan untuk dapat memaksimalkan
pendengarannya dalam mendukung kegiatan yang dilakukannya.
b. Penyebab Tunarungu
Faktor yang menyebabkan anak mengalami tunarungu pada
dasarnya karena banyak hal. Hal ini bisa terjadi ketika sedang di kandungan
ibu (pre ntal), ketika kelahiran maupun setelah kelahiran (post natal).
Berikut faktor-faktor penyebab anak menjadi tunarungu :
9
Menurut Nonthernand Down, 1974 ( Smith, 2013 : 279 ) penyebab
ketunarunguan adalah :
1) Faktor-faktor genetik
Secara genetik faktor lingkungan dapat ditularkan oleh orang tua kepada
anak-anaknya, baik dari gen–gen resesif maupun dari gen yang dominan.
2) Faktor lingkungan / pengalaman
Faktor lingkungan ini dapat terjadi jika :
a) Anak lahir premature
b) Terkena campak, rubella
c) Virus yang menyerang otak
d) Ketidaksesuaian Rh darah
e) Infeksi telinga
f) Pemaikain obat-obatan
Menurut Smith, (2013:278) terdapat dua penyebab gangguan
pendengaran
yaitu
penyebab
genetik
dan
penyebab
dari
lingkungan/pengalaman (environtmental/experlental). Faktor-faktor ini
mempunyai efek pada pendengaran selama pra-kelahiran, selama periode
kelahiran, dan setelah kelahiran.
1) Faktor-Faktor genetik
Secara genetik gangguan pendengaran dapat ditularkan oleh orangtua
kepada anak-anaknya, baik itu gen-gen resesif (orang tua mempunyai
pendengaran normal) maupun gen-gen dominan (salah satu atau
keduanya mempunyai dasar gangguan pendengaran secara genetik).
2) Faktor-faktor lingkungan/pengalaman
a) Lahir premature (premature birh). Bayi yang lahir prematurnampak
berada paxda resiko tinggu untuk mengalami gangguan pendengaran.
b) Campak (viral infection). Rubella merupakan infeksi yang disebabkan
oleh virus yang sering dihubungkan dengan hearing loss. Bila seorang
wanita tertular oleh rubella selama trismetr pertama kehamilan.
Efeknya mungkin dapat menjafdi gangguan pendengaran selama
masa pembentukan janin
10
c) Virus-virus lain yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran
antara lain adalah radang selaput otak atau sumsum tulang belakang
(meningitis), radang otak (encephalitis, beguk, penyakit gondok
(mumps) dan influenza.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang penyebab
ketunarunguan
dapat
disimpulkan
bahwa
penyebab
ketunarunguan
/gangguan pendengaran adalah faktor yang berasal dari dalam anak yaitu
saat anak masih dalam kandungan ibu atau sebelum kelahiran yaitu faktor
genetik/ keturunan, dan faktor dari luar yaitu pada saat kelahiran atau
setelah kelahiran anak yaitu faktor yang berasal dari lingkungan seperti
anak terinfeksi virus saat dilahirkan atau mengalami kecelakaan setelah
dilahirkan.
c. Klasifikasi Tunarungu
Berdasarkan kesimpulan dari pengertian anak tunarungu yang
menyebutkan
bahwa
ketunarunguan
memiliki
derajat
gangguan
pendengaran berbeda – beda, maka tunarungu diklasifikasikan ke dalam
beberapa kelompok.
Streng
Dijelaskan
mengemukakan
pula
bahwa
masing
tentang
–
klasifikasi
masing
derajat
ketunarunguan.
ketunarunguan
menyebabkan anak tunarungu memiliki ciri – ciri yang berbeda, seperti:
1) Kehilangan kemampuan mendengar 20 – 30 dB (Mild Losses) memiliki
ciri-ciri kehilangan kemampuan mendengar percakapan yang lemah,
percakapan melalui pendengaran, tidak mendapat kesulitan mendengar
dalam seuasana kelas biasa asalkan tempat duduk diperhatikan, menuntut
sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah dan kesadaran pihak guru
tentang kesulitannya, tidak mengalami kelainan bicara, kebutuhan dalam
pendidikan memerlukan latihan membaca ujaran, perlu diperhatikan
mengenai perkembangan penguasaan perbendahaannya, jika kehilangan
pendengaran melebihi 20 dB dan mendekati 30 dB perlu alat bantu
dengar.
11
2) Kehilangan kemampuan mendengar 30 – 40 dB (Marginal Loses)
memiliki ciri-ciri mereka mengerti percakapan biasa pada jarak satu
meter, mereka sulit menangkap percakapan dengan jarak normal dan
kadang-kadang
mereka
mendapat
kesulitan
dalam
percakapan
berkelompok, mereka akan mengalami sedikit kelainan dalam bicara dan
perbendaharaan terbatas, mebutuhan dalam program pendidikan antara
lain belajar membaca ujaran, latihan mendengar, penggunaan alat bantu
dengar,
latihan
bicara, latihan
artikulasi
dan
perhatian
dalam
perkembangan perbendaharaan kata dan bila kecerdasan diatas rata-rata
maka dapat ditematkan di kelas biasa asalkan tempat duduk di
perhatikan. Bai yang kecerdasannya kurang memerlukan kelas khusus.
3) Kehilangan kemampuan mendengar 50 – 60 dB (Moderat Loses)
memiliki ciri-ciri memiliki pendengaran yang cukup untuk mempelajari
bahasa dan percakapan , memerlukan alat bantu dengar, mengerti
percakapan yang keras pada jarak satu meter, sering salah faham,
mengalami kesukaran di sekolah umum, mengalami kelainan bicara,
perbendaharaan kata terbatas, untuk program pendidikan mereka
membutuhkan alat bantu dengar untuk menguatkan sisa pendengaran dan
penambahan alat bantu pengajaran yang sifatnya visual, perlu latihan
artikulasi dan membaca ujaran, serta perly pertolongan khusus dalam
bahasa, perlu masuk sekolah luar biasa
4) Kehilangan kemampuan mendengar 60 – 70 dB (Severe Loses) memiliki
ciri-ciri mempunyaisisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
dengan menggunakan alat bantu dengar, dan dengan cara khusus, karena
mereka tidak belajar bahasa dan percakapan secara spontan pada usia
muda, mereka kadang-kadang disebut “tunarungu secara pendidikan
yang berarti mereka dididik seperti orang sungguh-sungguh tunarungu,
mereka diajar pada suatu kelas khusus untuk anak-anak tunarungu karena
mereka tidak cukup sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
melalui pendengaran, kadang-kadang mereka dapat dilatih untuk dapat
mendengar dengan alat bantu mendengar, dan selanjutnya dapat
12
digolongkan ke dalam kelompok kurang dengar, masih dapat mendengar
suara keras pada jarak yang dekat, misalnya suara pesawat terbang,
klakson mobil, dan lolongan anjing, diperlukan latihan membaca ujaran
dan pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara dari guru
khusus, karena itu mereka harus dimasukkan Sekolah Luar Biasa bagian
B, kecuali bagi anak genius dapat mengikuti kelas normal.
5) Kehilangan kemampuan mendengar diatas 75 dB (Profound Loses)
memiliki ciri-ciri dapat mendengar suara yang keras dari jarak satu inchi
atau sama sekali tidak dapat mendengar, tidak sadar akan bunyi-bunyi
keras, teapi mungkin ada reaksi kalau dekat dengan telinga, meskipun
menggunakan
pengeras
suara
mereka
tidak
dapat
menggukan
pendengarannya dan memahami bahasa, mereka tidak belajar bahasa dan
bicara melalui pendengaran, walaupun menggunakan alat bantu
mendengar, memerlukan pengajaran khusus yang intensif di segala
bidang tanpa menggunakan mayoritas indra pendengaran, dalam
pendidikannya memerlukan perhatian khusus adalah: membeca ujaran,
latihan mendengar, yang berfungsi untuk memepertahankan sisa
pendengaran yang masih ada, meskipun hanya sedikit, diperlukan teknik
khusus untuk mengembangkan bicara dengan metode visual, taktil,
kinestetik serta semua hal yang dapat membantu terhadap perkembangan
bicara dan bahasanya (Haenudin, 2013: 58).
Hal ini senada dengan pendapat Kirk dan Moores (Efendi, 2006:
59) yang menyatakan bahwa berdasarkan kriteria ISO (International
Standard Organization) klasifikasi anak tunarungu atau kehilangan
pendengaran dapat dikelompokkan menjadi kelompok tunarungu (deafness)
/ tunarungu berat yaitu seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar
70dB atau lebih menurut ISO sehingga ia akan mengalami kesulitan untuk
mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan
alat bantu dengar (hearing aid), dan kelompok lemah pendengaran yaitu
orang yang kehilangan kemampuan mendengar antara 35 – 69 dB menurut
ISO sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara
13
wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami
bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar.
Selain beberapa ahli diatas, Efendi, (2006:61) merinci klasifikasi
anak tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuia dengan kepentingan
tujuan pendidikan sebagi berikut:
a) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 20-30
dB (slight loses).
b) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 30-40
dB (mild loses)
c) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 40 – 60
dB (moderate loses)
d) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran antara 60-75
dB (severe loses)
e) Anak tunarungu dengan kehilangan pendengaran 75 dB ke atas
(profoundly loses)
Dari pendapat beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu dapat diklasifikasikan menjadi anak tunarungu sight loses
(kehilangan pendengaran 20-30 dB), anak tunarungu mild loses (kehilangan
pendengaran 30-40 dB), anak tunarungu moderate loses (kehilangan
pendengaran 40-60 dB), anak tunarungu severe loses (kehilangan
pendengaran 60-75 dB) dan anak tunarungu profoundly loses (kehilangan
pendengaran 75db keatas).
d. Karakteristik Tunarungu
Karakteristik anak tunarungu dapat dilihat dari segi akademik,
intelektual, bicara dan bahasa serta sosial dan emosi
1) Karakteristik dalam segi intelegensi
Simeonsson et. al (2001) berpendapat
studies have indicated that children who are deaf or hard of
hearing who are tested on performance IQ scales and are given
directions both verbally and through manual language score
better those who received instructions verbally, through
pantomime, and visual aids (Taylor, Smiley, Richards, 2009:
263)
Pendapat di atas dapat diartikan telah dipelajari bahwa anak
tunarungu atau anak yang memiliki kesulitan dalam pendengaran yang
14
telah diuji dalam skala IQ prestasi dan diberikan petunjuk baik secara
verbal melalui bahasa manual, nilainya lebih baik daripada mereka (anak
tunarungu dan sulit mendengar) yang menerima instruksi secara verbal
melalui pantomime dan alat bergambar.
Moores (2001) juga berpendapat
A majority of studies have indicated that in terms of perception
learning, and memory, the are no significant differences
between hearing children and those who are deaf”
rely more heavily in their own experiences and insights
than on the reports of scientist who assess a limited range of
behavior
“It is cleary that, as a group, students who are deaf are not
intellectually deficient (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 263)
Pendapat Moores dapat diartikan bahwa mayoritas dari hasil
yang telah dipelajari menunjukkan bahwa dalam kriteria persepsi
pembelajaran dan ingatan, tidak ada perbedaan yang signifikan antara
anak yang mendengar dan anak tunarungu. Pengalaman dan wawasan
mereka sendiri lebih luas daripada laporan dari peneliti yang
mengasesmen sebuah keterbatasan dari perilakunya. Ini sangat jelas
bahwa sebagai sebuah kelompok, mereka yang tunarungu tidak memiliki
kekurangan dalam hal intelektual.
Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa
karakteristik intelektual anak tunarungu tidak banyak berbeda dari anak
normal apabila penyampaian dalam pembelajarannya dapat dimengerti
oleh anak tunarungu tersebut.
2) Karakteristik dalam segi bahasa dan bicara
Secara umum karakteristik bicara dan bahasa anak tunarungu
dapat
bervariasi antara anak tunarungu. Ini dipengaruhi oleh faktor – faktor
seperti usia terjadinya gangguan pendengaran, jenis dan derajat gangguan
pendengaran serta pengalaman bahasa di rumah dan di sekolah.
Hal di atas didukung dengan pendapat Blamey (2003)
concluded that the spoken language of some students who are
deaf or hard of hearing may be delayed in comparison to that of
hearing students. Overall through early intervention, direct
15
instruction, and the use of listening aids, many students who are
deaf or hard of hearing can and do achieve intelligible and ageappropriate speech (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 264)
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa bahasa lisan dari
beberapa siswa yang tunarungu mungkin terlambat bila dibandingkan
dengan siswa mendengar. Secara keseluruhan melalui intervensi dini,
instruksi langsung, dan penggunaan alat bantu dengar, banyak siswa
tunarungu dapat mengerti pidato yang sesuai dengan usianya.
Pendapat pendukung lain disampaikan oleh Marscharck et. al
(2002)
pointed out that language development is influenced by the early
home/language environment. If not exposed to a fully accessible
language during the early critical developmental period,
children who are deaf or hard of hearing may develop language
delays and be less well prepared for learning to read and write
upon entering school (Taylor, Smiley, Richards, 2009: 264)
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa perkembangan bahasa
dipengaruhi oleh lingkungan rumah / bahasa awal. Jika tidak mendapat
bahasa pada awal perkembangan, anak-anak yang tunarungu akan
mengalami keterlambatan dalam mengembangkan bahasa dan kurang
siap untuk belajar membaca dan menulis saat memasuki sekolah.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik
bahasa
dan
bicara
anak
tunarungu
tergantung
pada
derajat
pendengarannya, usianya, dan juga lingkungan di sekitarnya.
3) Karakteristik dalam segi emosi dan sosial
Efendi, (2006:87) mengatakan, beberapa penelitian dalam mengukur
perkembangan kematangan sosial anak tunarungu menggunakan The
Veneland Social Maturity Test menunjukkan bahwa:
a) Anak tunarungu tingkat kematangan sosialnya berada di bawah
tingkatan kematangan sosial anak normal.
b) Anak tunarungu dari orang tua yang tunarungu juga menunjukkan
relative matang daripada anak tunarungu dari orang tua normal.
c) Anak tunarungu yang berasal dari sekolah berasrama menunjukkan
social immaturity.
16
Pendapat lain disampaikan oleh Calderon and Greenberg 2003
noted some children who are deaf may demonstrate deficits in
the mastery of social-emotional skill development, which can
lead to poor outcomes including low academic achievement,
underemployment, and higher rates of problems with drug and
alcohol abuse, as well as psychological issues. (Taylor, Smiley,
Richards, 2009: 265).
Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa beberapa anak
tunarungu
mungkin
memiliki
kekurangan
dalam
menguasi
perkembangan keterampilan sosial-emosi yang dapat menyebabkan hasil
yang buruk termasuk prestasi akademik yang rendah, pengangguran
terselubung, dan tingkat yang lebih tinggi dari masalah dengan narkoba
dan alkohol, serta masalah psikologis.
Uden (Haenudin, 2013: 68) mengemukakan beberapa ciri atau
sifat yang sering ditemukan pada anak tunarungu antara lain:
1) Sifat egosentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini
membuat mereka sukar menempatkan pada cara berfikir dan perasaan
orang lain serta kurang menyadari/peduli tentang efek perilakunya
terhadap orang lain. Dalam tindakannya dikuasai perasaan dan pikiran
secara berlebihan. Sehingga mereka sulit menyesuaikan diri.
Kemampuan bahasa yang terbatas akan membatasi pula kemampuan
untuk mengintegrasikan pengalaman dan akan makin memperkuat
sifat egosentris ini.
2) Memiliki sifat impulsive,yaitu tindakannya tidak didasarkan pada
perencanaan yang hati-hati dan jeans serta tanpa mengantisipasi akibat
yang mungkin timbul akibat perbuatannya. Apa yang mereka ingikan
biasanya perlu segera dipenuhi. Adalah sulit bagi mereka untuk
merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhan dalam jangka
panjang.
3) Sifat kaku, menunjuk pada sikap kurang luwes dalam memandang
dunia dan tugas-tugas dalam kesehariannya.
4) Sifat lekas marah dan mudah tersinggung.
17
5) Perasaan ragu-ragu dan khawatir seiring dengan pengalaman yang
dialami secara terus-menerus mereka juga memiliki keinginan untuk
berinteraksi dengan lingkungan sekitar sebagai upayanya untuk dapat
tetap survived. Oleh karena itu untuk mengatasi hambatan ini,
diperlukan upaya latihan artikulasi dan bicara yang komunikatif, serta
membaurkan anak tunarungu ke dalam komunitas anak yang
mendengar, agar termotivasi untuk berkomunikasi sehingga rasa
rendah diri, terisolasi, dapat diatasi dan berkembang menjadi rasa
percaya diri.
e. Hambatan Tunarungu
Berdasarkan karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa anak
tunarungu memiliki hambatan dalam kehidupannya dikarenakan gangguan
pendengarannya. Efendi (2006:72) menyatakan bahwa “disebabkan rentetan
yang muncul akibat gangguan pendengaran ini, anak tunarungu akan
mengalami hambatan dalam meniti perkembangannya, terutama pada aspek
bahasa, kecerdasan, dan penyesuaian sosial”. Efendi (2006:72) melanjutkan
bahwa ada dua hal penting mengikuti dampak terjadinya hambatan, yaitu:
1) Konsekuensi akibat gangguan pendengaran atau tunarungu tersebut
bahwa penderitanya akan mengalami kesulitan dalam menerima
segala macam rangsang atau peristiwa bunyi yang ada di
sekitarnya.
2) Akibat
kesulitan
menerima
rangsang
bunyi
tersebut
konsekuensinya penderita tunarungu akan mengalami kesulitan
pula dalam memproduksi suara atau bunyi bahasa yang terdapat
disekitarnya.
Pendapat lain dinyatakan oleh Smith, (2013:212) bahwa hambatan
utama anak tunarungu adalah kemampuan berbahasa anak yang kurang
karena ketidakmampuan anak tunarungu dalam mendengar.
Berdasarkan pendapat – pendapat ahli di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa hambatan anak tunarungu pada dasarnya dikarenakan
ketidakmampuan anak tunarungu dalam mendengar yang berpengaruh pada
aspek akademis, bahasa, dan penyesuaian sosial.
18
f. Kebutuhan Anak Tunarungu
Berdasarkan uraian karakteristik, hambatan dan kebutuhan anak
tunarungu, maka dapat diketahui bahwa anak tunarungu memiliki kebutuhan
– kebutuhan tertentu dalam beraktivitas dan berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Smith (2013), kebutuhan – kebutuhan tersebut antara lain:
1) Alat bantu dengar
Suatu alat bantu dengar pada dasarnya adalah miniatur dari
sistem alat pengeras suara, yang tersusun dari tiga komponen
utama yaitu sebuah mikropon untuk mengambil suara, sebuah
amplifier untuk memperkeras volume suara dan satu receiver
untuk mengirimkan suara yang sudah diintensifkan tersebut ke
dalam telinga. Meskipun alat – alat tersebut cukup membantu
tetapi tidak berarti bahwa penggunaan alat bantu dengar ini akan
menjadikan pendengaran normal. Alat bantu sesungguhnya
membuat suara menjadi lebih keras, bahkan suara yang tidak
diinginkan dan bunyi yang dihasilkan pun akan berbeda dengan
suara yang diterima oleh pendengaran yang normal.
2) Bantuan di dalam kelas
Hal – hal berikut mungkin dapat memberikan petunjuk bagi
guru yang baru pertama kali menghadapi anak tunrungu yang
menggunakan alat bantu dengar di dalam kelas.
a) Ingatlah bahwa alat bantu dengar bukan sebagai pengganti
pendengaran yang normal, alat ini hanya membuat suara
lebih keras, bahkan suara – suara tak diinginkan dan
mengganggu sekalipun.
b) Jika ada pengajaran khusus, siswa harus memakai alat bantu
dengar sepanjang hari.
c) Tempat duduk siswa sangat penting. Walaupun agak sulit,
aturlah agar siswa bisa duduk di tempat di mana dia bisa
mendengarkan secara optimal dan tidak terganggu.
d) Siswa lain mungkin ingin tahu tentang alat bantu tersebut.
Cara terbaik untuk menjawab pertanyaan mereka adalah
dengan menjelaskan cara kerja alat bantu dengar tersebut di
depan kelas.
19
e) Bicarakan dengan siswa agar membawa baterai cadangan ke
sekolah.
f) Pandanglah siswa tersebut seperti memandang anak
tunanetra yang menggunakan alat bantu penglihatan.
g) Ingatlah bahwa reaksi guru kepada anak tunarungu akan
mempengaruhi reaksi siswa lain.
3) Mengubah cara – cara berkomunikasi
Ada tiga dasar pendekatan pengajaran alternatif bagi siswa
dengan
gangguan
pendengaran
yang
tidak
dapat
mengembangkan dan/atau memakai alat komunikasi standar
yaitu:
a) Metode manual
Metode manual memiliki dua komponen dasar yaitu bahasa
isyarat dan finger spelling. Bahasa isyarat menggunakan
bahasa isyarat standar yaitu American Sign Language (ASL)
untuk menjelaskan kata dan konsep. Finger Spelling ini
menggambarkan alfabet secara manual. Posisi tangan
menggambarkan masing – masing huruf latin. Finger
Spelling biasanya digunakan untuk pelengkap bahasa isyarat.
b) Metode oral
Metode oral merupakan metode dengan menekankan pada
pembimbingan ucapan dan membaca ucapan. Metode oral
difokuskan pada pemanfaatan pendengaran yang tersisa
(residual hearing) yang mungkin masih dimiliki siswa
melalui pertolongan alat bantu dengar dan pelatihan khusus.
c) Metode komunikasi total
Definisi komunikasi total ditawarkan bagi pendekatan –
pendekatan konsep pengajaran anak – anak hearing
impairment:
Dengan komunikasi total berarti hak setiap anak
yang tunawicara untuk bisa belajar menggunakan
segala bentuk komunikasi agar dia memiliki
kesempatan penuh mengembangkan kemampuan
bahasa pada usia sedini mungkin. Konsep ini
meliputi pengenalan suatu symbol sistem ekspresif
20
yang dapat diterima pada usia prasekolah antara
1-5. Komunikasi total memuat spectrum model
bahasa yang lengkap. Membedakan gerakan /
mimik tubuh anak, bahasa isyarat yang formal,
belajar berbicara, membaca ucapan, isyarat jari
tangan, serta belajar membaca dan menulis.
Dengan komunikasi total setiap anak yang
tunarungu memiliki kesempatan mengembangkan
setiap sisa pendengarannya dengan alat bantu
dengar dan/atau sistem terpercaa untuk
memperbesar kemampuan mendengarnya (Denton
dalam Smith, (2013 :290).
Metode komunikasi total ini banyak mendapat
sambutan baik, dan akan menjadi lebih baik bila pendidik
ikut berusaha memenuhi kebutuhan anak tunarungu (hlm.
280-290)
2. Menyusun Kalimat Berbasis EYD pada Anak Tunarungu
a. Pengertian Kalimat
Kalimat adalah rangkaian kata-kata menurut aturan tertentu.
Menurut Lamuddin Finoza (1993:111) menjelaskan bahwa kalimat adalah
bagian ujaran yang mempunyai struktur minimal subjek (S) dan predikat
(P) dan intonasinya menunjukkan bagian ujaran itu sudah lengkap dengan
makna. Unsur yang lain objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket)
dalam suatu kalimat dapat wajib hadir ataupun tidak.
Sedangkan menurut Bambang Tjiptadi (1984:63) kalimat adalah “
Satu bagian ujaran yang berintonasi selesi dan menunjukkan pikiran
lengkap”. Kelengkapan pikiran disini maksudnya di dukung oleh pemikiran
yang utuh, sekurang-kurangnya kalimat memiliki subyek atau pokok
kalimat dan subyek atau sebutan, dan disertai intonasi selesai. Jika kalimat
itu tidak didukung oleh pikiran lengkap dan intonasi selesai maka itu bukan
kalimat atau bukan kalimat sempurna.
Dari pendapat kedua ahli diatas dpat disimpulkan bahwa kalimat
adalah rangkaian kata yang menunjukkan gagasan atau pikiran lengkap
yang disusun kedalam subjek, predikat, objek, dan keterangan secara utuh
21
Dalam wujud lisan kalimat diiringi oleh alun titinada, disela oleh
jeda, diakhiri oleh intonasi selesai, dan diikuti oleh kesenyapan yang
memustahilkan adanya perpaduan atau asimilasi bunyi. Dalam wujud
tulisan, kalimat dimulai dari huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik,
tanda tanya, atau tanda seru; dan sementara itu disertakan didalamnya
berbagi macam pula di dalamnya berbagai tanda baca yang berupa spasi
atau ruang kosong, koma titik koma, titik dua dan atau sepasang garis
pendek yang mengapit bentuk tertentu.
Struktur kalimat dapat dibentuk dari kata, frase, klausa, atau
gabungan dari semua unsur itu. Konteks atau situasi yang dimasuki akan
memperjelas makna sebuah amanat. Karena itu amanat atau kalimat
seseorang mencakup beberapa segi, antara lain : (1) bentuk ekspresi (unsur
– unsur segmental) terdiri atas kata, frase, klausa, atau gabungan, (2)
intonasi (unsure suprasegmental) meliputi bidang suprasegmental atau ciri –
ciri prosodi, (3) situasi yang dimasukinya, dan (4) makna atau arti yang
didukung.
Kemudian Permanarian Somad (1996:146) menerangkan bahwa
kalimat yang lengkap yang ada hubungannya dengan situasi yang terjadi
mudah dimengerti anak kecil yang mengalami ketunarunguan daripada
kata-kata yang tidak ada kaitannya dengan situasi. Karena anak tunarungu
miskin bahasa, kalimat menggunakan kaedah yang sederhanayaitu dengan
menerapkan kata benda, kata kerja dan kata sifat, dengan pola kalimat yang
baik dan benar.
Lamuddin Finoza (1993:118) mengemukakan bahwa pola kalimat
dasar sebagai berikut:
1) S – P ,contoh: Isful menulis
2) S – P – O ,contoh: Iman menonton televisi
3) S – P – Pel ,contoh: Pancasila sebagai dasar negara
4) S – P – Ket ,contoh: Kami bersekolah di Dharma Wanita
5) S – P – O – Pel ,contoh: Petani menanami sawahnya palawija
6) S – P – O – Ket ,contoh: Oni membuang sampah di tempat sampah
22
b. Menyusun Struktur Kalimat Berbasis EYD
1) Menyusun struktur kalimat
Kata-kata yang digunakan untuk menyusun struktur kaliamat berasal dari
kata benda, kata kerja, kata sifat dan kata tugas. Model terkecil dari
struktur kalimat disebut pola kalimat.
Menurut Bambang Tjiptadi (1984: 65) Pola kalimat adalah “Pola yang
terdiri dari unsure-unsur jabatan kalimat untuk membentuk sebuah
kalimat.” Jabatan kalimat itu meliputi subyek (pokok kalimat), predikat
(sebutan), obyek (pelengkap), dan keterangan. Secara singkat ciri–ciri
unsur kaimat itu dapat diperjelas sebagai berikut :
a) Subyek.
Subyek adalah unsur yang diperkatakan dalam sebuah kalimat atau
bagian kalimat yang diterangkan.
Contoh : (1) Toni duduk di kelas 5.
Toni menduduki unsur subyek karena merupakan bagian kalimat
yang diterangkan. Unsur subyek dapat diketahui dari jawaban atas
pertanyaan siapa atau apa.
b) Predikat.
Predikat adalah kata dalam kalimat yang berfungsi memberitahukan
apa, mengapa, atau bagaimana subyek itu.
Contoh : (2) Gadis itu cantik (3) Makanan itu tidak kusukai
c) Obyek.
Obyek merupakan unsur kalimat yang kehadirannya tidak dapat
dihilangkan dan hanya terdapat dalam kalimat yang predikatnya kata
kerja.
Contoh : (4) Ayah sedang membaca Koran
d) Pelengkap.
Seperti halnya obyek unsur pelengkap kehadirannya juga tidak dapat
dihilangkan. Perbedaanya adalah bahwa pelengkap tidak dapat
menduduki subyek karena kalimatnya tidak dapat dipastikan,
sedangkan objek dapat menduduki fungsi subyek dalam kalimat pasif.
23
Contoh : (5) Kacang panjang bergizi tinggi. (6) Sila kesatu dalam
Pacasila berlambang bintang.
e) Keterangan.
Keterangan merupakan kalimat yang kehadirannya dapat dihilangkan
tanpa mempengaruhi keberterimaan struktur kalimatnya. Posisi unsur
keterangan dapat dipindah – pindah : di tengah, di akhir, / di depan.
Contoh (7) Ayah membaca koran Jawa Pos
c. Menyusun Kalimat pada Anak Tunarungu
Kemampuan berbahasa dan bicara anak tunarungu berbeda dengan
anak yang mendengar. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan
mendengar. Kesulitan berbahasa adalah masalah pokok bagi anak
tunarungu, sehingga memiliki prestasi ketinggalan bila dibandingkan
dengan anak normal seusianya. Sadjaah E, (2003:1) berpendapat, “Sebagai
akibat hilangnya sebagian atau keseluruhan fungsi
pendengaran maka
pendengaran akan sulit atau kurang berfungsi sebagaimana mestinya, dan
menyebabkan terhambatnya komunikasi baik secara lisan maupun tulisan”.
Bahasa merupakan alat untuk mengetahui makna kata, aturan, atau
kaedah bahasa serta penerapannya. Sedangkan kemampuan membaca,
menulis, berbicara dan mendengar sebagai alat komunikasi bahasa. Anak
yang mendengar umumnya memperoleh kemampuan berbahasa dengan
sendirinya bila dibesarkan dalam lingkungan berbahasa dan selanjutnya
anak akan Mengetahui makna kata atau aturan atau kaedah bahasanya.
Kalimat yang diungkapkan anak tunarungu baik lisan maupun tulisan
adalah berbelit-belit relatif kaku, kesatuan bahasanya kurang atau tidak
menunjukkan hubungan untuk mengikuti kesatuan yang lain dan sedikit
tumpan tindih. Hal ini sesuai dengan pendapat Kathryn P. Meadow dalam
Edja Sadjaah, (2003:48) yang berpendapat bahwa:
Dalam berkomunikasi melalui tulisan, anak tunarungu cenderung
menggunakan kalimat pendek dan menggunakan kalimat yang
lebih sederhana, karena keterbatasan kata yang dimengertinya,
akhirnya anak hanya menggunakan kata yang bisa diingatnya, ia
lupa dalam menyusun kalimat dengan benar, dan juga sering
membuat kalimat yang tidak menggunakan kata-kata yang terlalu
24
banyak dan juga mengalami kesulitan dalam menyusun bentuk dan
struktur kalimat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para
ahli tentang jenis dan banyaknya kesalahan yang diperbuat oleh
anak tunarungu dalam tulisan atau karangan mereka.“
Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan anak tunarungu
tertinggal bila dibanding anak mendengar.
Sejalan dengan hal itu, Myklebust dalam Lani Bunawan, (2000:54)
menyimpulkan bahwa karangan anak tunarungu usia 7-15 tahun lebih
banyak menggunakan kata benda dibandingkan dengan jenis kata lainnya.
Terkait hasil observasi yang telah dilakukan pada siswa tunarungu kelas
VIb di SLB-B YRTRW Surakarta, ditemukan permasalahan bahwa
sebagian anak tunarungu umumnya mengalami kesulitan dalam hal
menyusun atau menulis kalimat, sering melakukan banyak kesalahan yaitu
anak sulit untuk menulis kalimat dengan struktur yang benar, dan susunan
kata yang digunakan masih cenderung terbolak- balik.
Contoh kalimat pertama: “Rani buku membeli”. Pada kalimat
tersebut, penempatan, letak dan pemilihan kata kurang tepat sehingga
kalimat menjadi sulit dipahami.
Dan contoh pada kalimat kedua: “Ibu mengantar sedang adik ke
sekolah”.
Kata-kata yang disusun dalam kalimat tersebut tidak sesuai dengan
struktur kalimat S-P-O-K sehingga alur kalimat menjadi tidak jelas dan sulit
dipahami. Seringya penggunaan kalimat tidak berstruktur dan berpola
tersebut, mengakibatkan pesan yang disampaikan oleh anak tunarungu saat
melakukan komunikasi tidak dapat dipahami dan kurang dimengerti oleh
orang yang mendengar, jika hal tersebut terus terjadi maka komunikasi
yang terjalin antara anak tunarungu di dalam masyarakat akan terputus dan
mereka tersisihkan dari lingkungannya. Berpijak dari permasalahan tersebut
perlu adanya solusi yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan
anak tunarungu dalam kemampuan menyusun kalimat.
25
3. Metode Picture Exchange Communication System (PECS)
a. Pengertian PECS
PECS (Picture Exchange Communication System) adalah suatu
pendekatan melalui gambar yang dikembangkan untuk anak-anak yang
mengalami kekurangan dalam komunikasi visual. Bondy dan Frost dalam
Meimulyani dan Caryoto, (2013:101). Tien menerangkan bahwa PECS
dikembangkan pertama kali pada tahun 1985 oleh Bondy dan Frost, PECS
awalnya digunakan oleh anak pra sekolah dengan gangguan ASD dan
gangguan komunikasi lainnya (Frost & Bondy, 2002, pp, 46).
Hal yang sama diungkapkan Meimulyani dan Caryoto (2013:101)
bahwa :
Awalnya PECS ini digunakan unruk siswa-siswa pra sekolah yang
mengalami autis dan kelainan lainnya yang berkaitan dengan
gangguan komunikasi. Siswa yang menggunakan PECS ini adalah
mereka yang perkembangan bahasanya tidak mengembirakan dan
mereka tidak memiliki kemauan untuk berkomunikasi dengan
orang lain. Dalam perkembangan selanjutnya, penggunaan PECS
telah meluas dapat digunakan untuk berbagai usia dan lebih
diperdalam lagi.
Dari pengertian PECS yang diungkapkan beberapa ahli diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa PECS adalah suatu pendekatan yang
digunakan untuk menangani anak yang mengalami gangguan komunikasi.
b. Langkah-Langkah Pengajaran Menggunakan Metode PECS
Dalam manual yang disusun oleh Frost dan Bondy (Meimulyani
dan Caryoto. 2013:109-113) Langkah-langkah PECS terdiri dari enam fase
yang setiap fase merupakan jenjang hirarkis , saling berurutan dan harus
berurut. Adapun fase tersebut sebagai berikut
1) Fase I
Mengajarkan anak untuk pertukaran satu gambar yang diinginkan
2) Fase II
Komunikator atau guru mengajarkan anak untuk menjadi gigih dan
aktif dalam mencari gambar sertadatang kepada seseorang untuk
26
meminta gambar
3) Fase III
Mengajarkan anak untuk memilih gambar sesuai keinginan mereka
4) Fase IV
Mengajarkan anak untuk membuat struktur kalimat dengan kata ”saya
ingin…”
5) Fase V
Mengajarkan anak untuk menjawab pertanyaan “apa yang kamu
inginkan?”
6) Fase VI
Mengajarkan anak untuk berkomentar secara spontan apa yang ada di
lingkungan sekitar dan menjawab pertanyaan
Bondy dan Frost (Meimulyani dan Caryoto, 2013:108) juga
menerangkan bahwa dalam pelaksanaan PECS ini, “anak dibimbing oleh
dua orang guru atau pembimbing. Salah satunya sebagai pembimbing/guru
utama, salah satunya lagi sebagai asisten. Posisi guru utama berhadapan
dengan anak, sedangkan asisten berada dibelakang dekat anak “.
Material yang digunakan dalam PECS cukup murah. Simbol atau
gambar dapat diperoleh dengan cara menggambar sendiri, dari majalah atau
koran, foto, atau gambar dari komputer (clip art atau dari internet). Bisa
juga menggunakan material resmi PECS yang diterbitkan oleh Pyramid
Educational Consultants. Inc. Gambar-gambar atau simbol itu dibentuk
kartu kemudian dilaminating agar awet dan di belakang gambar itu
dipasang pengait (velcro) atau double tape agar bisa dipasang atau
digantung pada berbagai media.
Dalam Meimulyani dan Caryoto (2013:104-105) menyebutkan
sebagian contoh gambar yang dapat di gunakan seperti berikut:
Gambar-gambar dan simbol dikelompokkan dan disusun
dari yang paling mudah sampai yang paling sulit. Gambar dan
simbol dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa kategori,
misalnya:
1) Orang dan jenis kelamin
2) Profesi
27
3)
4)
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
Kata benda, kata kerja, kata siifat, kata depan
Binatang
Bagian tubuh
Pakaian dan perlengkapannya
Jenis pekerjaan
Rumah dan perlengkapannya
Makanan
Perlengkapan masak
Transportasi
Tempat-tempat umum
Waktu dan cuaca
Berdasarkan pengalaman Wallin (Meimulyani dan Caryoto.
2013:102-103). ada beberapa keunggulan yang dimiliki oleh PECS ini,
diantaranya:
1) Setiap pertukaran menunjukkan tujuan yang jelas dan mudah
dipahami. Pada saat tangan anak menunjuk gambar atau
kalimat, maka dapat dengan cepat dan mudah permintaan atau
pendapatnya itu dipahami. Melalui PECS, anak telah diberikan
jalan yang lancar dan mudah untuk menemukan kebutuhannya.
2) Sejak dari awal, tujuan komunikasi ditentukan oleh anak. Anakanak tidak diarahkan untuk merespon kata-kata tertentu atau
pengajaran yang ditentukan oleh orang dewasa, akan tetapi
anak-anak didorong untuk secara mandiri memperoleh
“jembatan” komunikasinya dan terjadi secara alamiah. Guru
atau pembimbing mencari apa yang anak inginkan untuk
dijadikan penguatan dan jembatan komunikasi dengan anak.
3) Material (bahan-bahan) yang digunakan cukup murah, mudah
disiapkan, dan bisa dipakai kapan saja dan dimana saja. Simbol
PECS dapat dibuat dengan digambar sendiri atau dengan foto.
4) PECS tidak membatasi anak untuk berkomunikasi dengan
siapapun. Setiap orang dapat dengan mudah memahami simbol
PECS sehingga anak autis dapat berkomunikasi dengan orang
lain tidak hanya dengan keluarganya sendiri.
Demikian cara penerapan PECS dimulai dari fase I sampai VI
selalu diawali dengan apa yang anak inginkan. Jika pembelajaran dimulai
dari yang anak suka atau inginkan maka tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pun akan mudah dikuasai oleh anak, serta adanya dua guru yaitu
guru utama dan asisten akan menambah penguasaan anak karena dengan
adanya asisten maka dapat tercipta lingkungan belajar yang kondusif.
28
c. Metode PECS Untuk Meningkatkan Kemampuan Menyusun Kalimat
Berbasis EYD Anak Tunarungu
Untuk mengatasi permasalahan siswa kelas VIb di SLB B
YRTRW Surakarta tentang penguasaan menyusun kalimat bisa diajarkan
kepada anak melalui kartu gambar bernama, hal ini bertujuan karena anak
tunarungu sangat sulit untuk berfikir tentang hal yang abstrak, dengan
demikian, anak dapat memvisualisasikan apa yang diajarkan guru. Kartu
gambar bernama salah satunya adalah melalui PECS (Picture Exchange
Communication System).
Sejalan dengan ini Azhar Arsyad, (2014:89)
“Media berbasis visual memegang peran yang sangat penting dalam proses
belajar”. Media visual dapat memperlancar pemahaman ingatan. Visual
dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan
antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata.
Dengan menggunakan kartu bergambar dalam PECS ini dapat
merangsang anak untuk mengucapkan atau menuliskan kata-kata baru atau
dengan kartu ini akan merangrang anak untuk mmemunculkan kembali
kosakata yang pernah mereka pelajari dengan dipadu dengan kata kerja,
subyek, serta keterangan sehingga tersusun kalimat yang baik dan benar
menurut EYD bahasa Indonesia. Demikian pembelajaran ini diulang ulang
sehingga menjadi kebiasaan karena seseorang dapat berbahasa karena
terbiasa.
Pembelajaran menyusun kalimat melalui PECS ini harus dimulai
dari objek atau tema yang benar benar anak inginkan . Oleh karena itu
menurut Bondy dan Frost, (2002:11) dalam penerapan PECS ini perlu
adanya penggunaan modifikasi perilaku. Melalui modifikasi perilaku
tersebut akan diketahui apa yang anak inginkan . Objek yang diinginkan
tersebut akan menjadi penguatan bagi anak untuk melakukan komunikasi
melalui pertukaran gambar. Demikian cara penerapan PECS untuk
meningkatkan kemampuan menyusun siswa kelas VIb di SLB B YRTRW
Surakarta. Dengan memanfaatkan media visual untuk menyampaikan
29
pembelajaran yang berupa gambar yang disertai keterangan gambar lalu
dikemas ke dalam tema yang anak suka atau inginkan maka tujuan
pembelajaran yang ingin dicapai pun akan mudah dikuasai oleh anak.
Berkaitan dengan hal tersebut pembelajaran menggunakan PECS
pernah dilakukan untuk meningkatkan ketrampilan komunikasi anak autis.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Charlop-Christy, Carpenter, Le,
LeBlanc & Kellet (2002) dengan judul “Using Picture Exchange
Communication System (PECS)With Children Autism: Assesment Of PECS
Acquisition, Speech, Social-Communicative Behavior, And Problem
Behavior” yang menyimpulkan bahwa penelitian mnggunakan PECS
dinyatakan efektif pada 3 anak autis dengan munculnya percakapan dan
perilaku komunikatif yang baik dan masalah perilaku yang menurun.
Temuan ini didukung oleh data empiris pertama. Begitu juga dengan
penelitian dilakukan oleh Karyanti (2011) dengan judul “Penggunaan
Picture Exchange Communication System (PECS) Untuk Membantu
Mengurangi Perilaku Agresif: Penelitian Single Subject Research Pada
Anak Tunarungu Kelas D3 di SLB Negeri Cicendo” yang hasil dari
penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa dalam penggunaan Picture
Exchange Communication System (PECS) pada anak tunarungu yang
mempunyai gangguan perilaku agresif dapat terjadi penurunan skor pada
intervensi akhir sehingga perilaku agresif anak tunarungu menurun.
Berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran menggunakan Picture
Exchange Communication System (PECS) untuk meningkatkan kemampuan
menyusun kalimat berbasis EYD, hasil penelitian Penelitian yang dilakukan
oleh Tien (2008) yang berjudul “Effectiveness Of The Picture Exchange
Communication System As A Functional Communication Intervention For
Individuals With Autism Spectrum Disorder:A Practice-Based Research
Synthesis” yang hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa PECS
(Picture Exchange Communication System) efektif untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi anak autis. Karenanya penggunaan Picture
Exchange Communication System (PECS) untuk meningkatkan kemampuan
30
berkomunikasi terutama untuk anak tunarungu seperti meningkatkan
kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD sangat dianjurkan.
B. Kerangka Berpikir
Di dalam sebuah penelitian dibutuhkan kerangka pemikiran untuk
menghubungkan variabel-variabel. Menurut Darmawan, (2013:117) ”kerangka
berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan
dengan berbagai faktor yang akan diidentifikasi sebagai masalah yang penting”.
Menurut Iskandar, (2008:173) “kerangka pemikiran adalah analisis secara teoritis
mengenai hubungan antara variabel-variabel yang hendak di teliti”.
Dapat disimpulkan bahwa kerangka berpikir merupakan analisis
konseptual tentang hubungan antar variabel yang di teliti.
Somantri, (2007:93) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan
anak tunarungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia mengalami hambatan dalam
perkembangan bahasanya, sehingga hal ini berdampak pada pencapaian prestasi
yang tertinggal bila dibandingkan dengan anak normal seusianya. Sejalan dengan
hal tersebut, Sadjaah E, (2003:1) berpendapat, “sebagai akibat hilangnya sebagian
atau keseluruhan fungsi pendengaran maka pendengaran akan sulit atau kurang
berfungsi sebagaimana mestinya, dan menyebabkan terhambatnya komunikasi
baik secara lisan maupun tulisan”. Kemudian Myklebust (Lani Bunawan,
2000:54) menyimpulkan bahwa karangan anak tunarungu usia 7-15 tahun lebih
banyak menggunakan kata benda dibandingkan dengan jenis kata lainnya.
Pendapat tersebut sesuai dengan hasil observasi yang telah dilakukan pada siswa
tunarungu kelas VIb di SLB-B YRTRW Surakarta, bahwa di kelas VIb
ditemukan permasalahan bahwa anak tunarungu umumnya mengalami kesulitan
dalam hal menyusun atau menulis kalimat,mereka lebih banyak menggunakan
kata benda tanpa ada kata sambung atau hubng sehingga kalimat kurang tersusun
dengan stuktur yang rapi, cenderung terbolak- balik dan sulit untuk di pahami.
31
Untuk mengatasi permasalahan siswa kelas VIb di SLB B YRTRW
Surakarta tentang penguasaan menyusun kalimat tersebut akan dilakukan
pengajaran dengan kartu gambar bernama yang disebut PECS (Picture Exchange
Communication System).
menyebutkan bahwa
Sejalan dengan ini Azhar Arsyad, (2014:89)
“Media berbasis visual memegang peran yang sangat
penting dalam proses belajar”. Media visual dapat memperlancar pemahaman
ingatan,media visual dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat
memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Sehingga
diharapkan dengan menerapkan metode PECS yang memaksimalkan indra visual
ini dapat meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD seperti
yang telah diterapkan oleh Bondy dan Frost tahun 1994 di Amerika bahwa PECS
telah berhasil digunakan untuk memperbaiki gangguan komunikasi anak autis.
Dari judul penggunaan metode Picture Exchange Communication System
(PECS) dalam meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD anak
tunarungu kelas VIb di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016 dapat
dibuat kerangka berpikir seperti dibawah ini:
Kemampuan Menyusun Kalimat Anak Tunarungu kelas VIb di SLB-B
YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016
Pembelajaran belum menerapkan Metode Picture
Exchange Communication System (PECS)
Kemampuan Menyusun Kalimat berbasis EYD Anak Tunarungu masih rendah
Pembelajaran sudah menerapkan Metode Picture
Exchange Communication System (PECS)
Kemampuan Menyusun Kalimat berbasis EYD Anak Tunarungu
meningkat
Gambar 2.1. Kerangka berfikir
32
C. Hipotesis
Suatu penelitian ilmiah memiliki hipotesis, Sugiono menyebutkan
hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian
(2013:64). Sehubungan dengan itu Noor, (2012:81) menyatakan bahwa
‘Hipotesis adalah pernyataan yang dapat diuji mengenai hubungan antar
variable”.
Hipotesis dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan oleh fakta-fakta empiris
yang diperoleh melalui pengumpulan data.
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berfikir
di atas, maka dalam penelitian ini dapat diajukan hipotesis bahwa penggunaan
metode Picture Exchange Communication System (PECS) Efektif dalam
meningkatkan kemampuan menyusun kalimat berbasis EYD anak tunarungu
kelas VIb Di SLB-B YRTRW Surakarta tahun ajaran 2015/2016”.
Download