Terms of Reference Business Ethics: Challenges behind

advertisement
Terms of Reference
Business Ethics: Challenges behind Opportunities
Perusahaan sebagai suatu entitas bisnis tidak bergerak di ruang hampa. Selain bertanggung jawab kepada
para pemegang saham, ia juga dituntut untuk memenuhi harapan para pemangku kepentingan lain seperti
karyawan, investor, rekanan bisnis, pemasok, pemerintah, auditor, dan masyarakat sekitar. Menarik untuk
melihat perilaku bisnis beretika perusahaan yang bergerak di bidang usaha yang tak jarang mengundang
pro & kontra, seperti perusahaan rokok, tambang, ataupun manufaktur. Bagaimana suatu perusahaan
rokok melalui program CSR menciptakan dan mempertahankan corporate value di tengah ramainya
gerakan anti rokok di Indonesia? Atau bagaimana perusahaan tambang yang kerapkali dikaitkan dengan
perusakan lingkungan mendapat kepercayaan masyarakat melalui praktek GCG yang kuat? Benarkah
dalam hal ini perilaku bisnis beretika merupakan tanggung jawab moral perusahaan terhadap stakeholders
atau hanya bagian dari misi membangun citra di atas kertas sebagai perusahaan yang peduli?
Menyoroti sisi lain, bukan rahasia lagi bahwa praktik bisnis beretika dapat dimanfaatkan untuk menutupi
penyalahgunaan wewenang (power abusement) dan kecurangan/penggelapan (fraud) yang dilakukan oleh
pihak internal perusahaan. Kasus Enron atau Sarijaya yang sebelumnya dikenal sebagai perusahaan
dengan corporate culture yang kondusif merupakan pembelajaran yang berharga bagi dunia usaha.
Tekanan dari pihak eksternal juga merupakan tantangan yang tidak kalah kuatnya di dalam melemahkan
motivasi untuk beretika dalam berbisnis.
Setiap perusahaan memiliki visi dan misi yang berbeda di dalam menjalankan perilaku bisnis beretika.
Lepas dari maksud dan tujuan, pelaku bisnis dihadapkan pada kenyataan akan pentingnya etika bisnis di
dalam membentuk suatu perusahaan yang kokoh, memiliki daya saing serta kemampuan menciptakan
nilai dan pertumbuhan yang berkesinambungan. Namun, seringkali esensi dari kepentingan ini dikalahkan
oleh keuntungan jangka pendek, sehingga pada kenyataannya, masih banyak pihak yang merasakan
dampak negatif dari perilaku yang mengesampingkan etika bisnis, baik dampak negatif yang dirasakan
oleh perusahaan maupun sebaliknya.
Konsep Triple Bottom Line (TBL) mengukur keberhasilan perusahaan tidak hanya dari nilai ekonomi
(profit) yang tercipta, tetapi juga dari kesejahteraan sosial (people) dan pelestarian lingkungan (planet)
yang berkesinambungan. Mewujudkan hal ini tidak cukup dengan mengandalkan perusahaan sebagai
pihak pemerhati dan pelaksana praktik bisnis beretika, tetapi juga diperlukan dukungan dari seluruh
pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya karyawan, investor, rekanan bisnis, masyarakat,
pemerintah dan auditor. Hal ini juga yang mendasari pembentukan Collective Action oleh World Bank
Institute yang merupakan koalisi dari lembaga masyarakat, perusahaan, dan kantor akuntan publik untuk
membentuk dunia usaha yang sehat dan bebas korupsi sebagai wujud dukungan terhadap bisnis beretika.
”Beyond the rules and regulations” seharusnya dapat menjadi motivasi, dimana pemenuhan etika bisnis
bukan sekedar kepatuhan terhadap peraturan dan hukum yang berlaku, tetapi merupakan budaya yang
melekat pada praktik berbisnis. Menyoroti konsistensi narasumber di dalam membangun perilaku bisnis
beretika, diharapkan dapat menjawab tuntutan perusahaan maupun pemangku kepentingan terhadap
sustainable corporate value melalui perwujudan TBL.
Download