Rhaphidophora pinnata Schott.

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekor Naga (Rhaphidophora pinnata Schott.)
Tanaman ekor naga berasal dari himalaya, merupakan tumbuhan herba,
epifit, merambat, memanjat dengan tinggi 5 hingga 20 meter (Gambar 1). Akar
tanaman ekor naga melekat pada tumpuannya seperti tembok atau pohon dan juga
memiliki akar gantung. Batang tanaman ekor naga berwarna hijau dan berbentuk
bulat dan memiliki nodus-nodus. Tanaman ekor naga memiliki daun yang
berwarna hijau, berbagi-bagi dan bertoreh serta ujung daunnya meruncing. Spatha
berbentuk seperti kano, berwarna hijau dan spadic berbentuk silindris Boyce,
2001; Heyne, 1987; Lemmens and Bunyapraphatsara, 2003).
Tanaman ini memiliki habitat yang tersebar luas di Asia selatan hingga
Australia (Boyce, 2001; Heyne, 1987; Lemmens and Bunyapraphatsara, 2003).
Klasifikasi tanaman ekor naga menurut Heyne, 1987:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Arales
Famili
: Araceae
Genus
: Rhaphidophora
Spesies
: Rhaphidophora pinnata (L.f.) Schott
Sinonim
:Epipremnum pinnatum (L.) Engl., Scindapsus pinnatus (L.)Schott,
Rhaphidophora
merrillii
Engl,
Epipremnosis
Rhaphidophora korthalasi (Boyce, 2001;
media,
Lemmens and
Bunyapraphatsara, 2003)
Nama daerah : Tapanawa tairis, Lolo munding, Samblung, Jalu mampang.
4
Gambar 1: Tanaman Ekor Naga (Rhapidophora pinnata, Schott) (Marrgono,
2005)
Pada umumnya masyarakat mengkonsumsi tanaman ini dengan cara
meminum air rebusan daun untuk mengobati penyakit kanker, menurunkan lemak
tubuh, anti hipertensi reumatik, salah urat (terkilir), batuk dan terapi stroke
(Heyne, 1987; Lemmens and Bunyapraphatsara, 2003; Neldawati dan Gusnaedi,
2013).
Karakter simplisia daun ekor naga (Rhapidophora pinnata, Schott) secara
makroskopis yakni daun berwarna coklat, berkerut, bau menusuk dan memiliki
rasa agak kelat. Secara mikroskopik memperlihatkan adanya kutikula, epidermis
atas, epidermis bawah, stomata parasitik, jaringan palisade, jaringan spons dan
seludang berkas pengangkut, kadar air 6,63%, kadar sari larut dalam air 19,15%,
kadar sari larut dalam etanol 10,35%, kadar abu total 12,05%, dan kadar abu tidak
larut dalam asam 0,24% (Rayani (2012). Penelitian yang dilakukan Syafridah
(2011) menunjukkan bahwa kandungan mineral esensial pada daun ekor naga
(Rhapidophora pinnata, Schott) terdiri dari kalium (K), natrium (N), kalsium
(Ca), besi (Fe) dan Magnesium (Mg).
Ekstrak etanol daun ekor naga mempunyai toksisitas pada LC-50 728,95
ppm. Artinya tanaman ekor naga mempunyai toksisitas yang sedang
(Makhdalena, 2006; Margono, 2005; Masfria dkk, 2013). Penelitian yang
dilakukan oleh Makhdalena (2006) melaporkan bahwa pemberian ekstrak daun
5
ekor naga dengan dosis 30, 100 dan 300 mg/kgBB dapat menurunkan kadar
kolesterol total darah tikus putih dan menurunkan kadar trigliserida darah tikus
putih dengan efek tertinggi diperlihatkan pada dosis 100mg/KgBB. Penelitian lain
menunjukkan bahwa ekstrak tanaman ekor naga memiliki aktivitas antibakteri
yang ditunjukkan dengan adanya daya hambat pada media yang diberikan ekstrak
daun ekor naga (Rayani, 2012). Ekstrak metanol daun ekor naga dapat
merangsang proliferasi sel, bersifat antioksidan dan dapat dapat meningkatkan
pertahanan tubuh dengan merangsang sel T helper untuk menghasilkan sitokin
(Wong and Tan, 2004; Yeap et al., 2007). Penelitian yang dilakukan Yeap et al.,
(2013) melaporkan bahwa ekstrak metanol ekor naga meningkatkan sel Natural
killer (NK) secara signifikan dan meningkatkan sekresi sekresi IFN-γ dan TNF-α
yang dapat meningkatkan sitotoksisitas sel NK.
2.2. Kandungan Zat Aktif Tanaman Ekor Naga
Kandungan metabolit sekunder pada tanaman ekor naga berupa golongan
senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, triterpenoida/steroida (Nurhanifah,
2009; Margono, 2005; Makhdalena, 2006). Penelitian lebih lanjut mengenai
senyawa flavonoid pada daun ekor naga yang dilakukan oleh Neldawati dan
Gusnaedi (2013) menemukan bahwa jenis flavonoid pada daun ekor naga adalah
flavon dan kadar rata-rata flavonoid daun ekor naga sebesar 26, 7137 μg/ml.
Flavonoid merupakan golongan senyawa yang dapat menyebabkan
penghambatan pembelahan sel melalui penghambatan dan pembentukan membran
sel, khususnya penghambatan pembentukan protein yang mengandung tirosin
sehingga sering digunakan untuk pengobatan kanker (Sujatmoko, 2002).
Golongan senyawa tanin dapat menciutkan lapisan permukaan usus sehingga
mengurangi penyerapan sari makanan pada usus (Agus, 2006). Menurut Rusmiati
(2011) golongan senyawa alkaloid, saponin, tanin dan triterpenoid bekerja
berdasarkan efek sitotoksik yaitu mengganggu perkembangan sel baik sel ovum di
ovarium sehingga sintesis hormon progesteron dan estrogen juga akan terganggu
ataupun sel penyusun lapisan endometrium maupun miometrium.
6
Zat aktif dari golongan senyawa tanin, alkaloid, flavonoid, saponin juga
bermanfaat sebagai antioksidan yakni senyawa pemberi elektron. Antioksidan
bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa yang bersifat
oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut bisa terhambat. Antioksidan
menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki
radikal bebas, dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan
radikal bebas (Winarsi, 2007).
Golongan senyawa flavonoid, tanin, streoida dan saponin bersifat larut
dalam air dan mengandung gugus fungsi hidroksil, sehingga lebih mudah masuk
ke dalam sel dan berikatan dengan protein pada membran sel (Setyowati, dkk.,
2014).
2.3 Fitoestrogen
Fitoestrogen merupakan suatu senyawa yang bersifat estrogenik yang
berasal dari tumbuhan (Whitten and Pattisaul, 2001). Beberapa tanaman yang
diketahui bersifat fiotoestrogen adalah kedelai (Sitasiwi, 2008), biji klabet
(Agustini dkk., 2007), durian (Rusmiati, 2011), kunyit (Kusmana, 2007) dan
pegagan (Raden, 2011). Tanaman dikatakan bersifat fitoestrogen apabila
mengandung zat aktif yang berasal dari golongan senyawa saponin, flavonoid,
triterpenoid, alkaloid, steroid (Whitten and Pattisaul, 2001).
Hasil skrining fitokimia daun ekor naga menunjukkan adanya golongan
senyawa alkaloida, flavonoid, saponin, tanin, glikosida dan steroida/triterpenoida
(Nurhanifah, 2009).
Saponin merupakan golongan senyawa yang memiliki ikatan sterol. Ikatan
sterol dalam senyawa saponin merupakan ikatan steroid yang mirip dengan
hormon steroid (Maidangkay, 2008). Flavonoid memiliki aktivitas estrogenik
karena struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan
sebagai obat estrogenik (Rusmiatik, 2013).
Fitoestrogen memiliki dua gugus hidroksil (OH) yang berjarak 11,0 –
11,5Ao pada intinya, sama persis dengan estrogen. Jarak 11 A o dan gugus
OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek
7
estrogenik, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen (Achadiat,
2003). Efek estrogenik disebabkan dengan adanya ikatan antara fitoestrogen
dengan reseptor estrogen sehingga terjadi pengaktifan reseptor estrogen. Reseptor
estrogen yang telah aktif akan berinteraksi dengan ERE (Estrogen Response
Element) yang terdapat dalam nukleus sehingga mampu menginduksi ekspresi gen
yang merespon hormon estrogen. Hal ini akan memicu terjadinya sintesis estrogen
(Koswara, 2006; Rusmiati, 2011). Menurut Mei and Kung (2001) fitoestrogen
memiliki afinitas yang kuat pada reseptor beta (Erβ).
2.4. Ovarium
Ovarium merupakan organ reproduksi yang bersifat endokrin dan
sitogenik yang berfungsi untuk menghasilkan hormon dan ovum (sel telur) serta
mengatur sifat seks sekunder (Dellmann and Brown, 1993; Lesson et al, 1996;
Kanno et al, 2001). Ovarium berjumlah sepasang dan memiliki bentuk bulat telur
serta terletak di dalam rongga pelvis dekat ginjal.
Ovarium terdiri dari dua bagian yaitu zona vaskular (medula) dan zona
parenkima (gambar 2). Zona medula yang terdapat pada bagian tengah ovarium
dan terdiri atas jaringan ikat, saraf, pembuluh darah dan pembuluh limfa
(Bevelander dan Judith, 1988; Junqueira et al, 1998; Lesson et al, 1996). Zona
parenkima terletak pada bagian tepi yang terdiri dari jaringan ikat padat dan
terdapat juga epitel parenkim pada permukaannya. Selain itu terdapat juga tunika
albuginea yang terdapat pada bagian luar korteks yang tersusun atas jaringan ikat
yang rapat dan kaya akan serat kolagen (Frandson, 1996; Karlina, 2003).
Ovarium merupakan sumber utama estrogen yang sangat berperan dalam
perkembangan organ reproduksi. Sekresi estrogen merupakan umpan balik negatif
terhadap gonadotropin pituitari (Ganong, 2003). Estrogen dibentuk oleh sel-sel
granulosa dalam folikel ovarium melalui serangkaian konversi melalui reaksi
enzimatis dengan substrat utama pembentuk estrogen adalah kolesterol (Johnson
dan Everitt, 1988; Sitasiwi, 2008).
8
FOLIKEL PRIMER
EPITELIUM GERMINAL
FOLIKEL YANG
BERKEMBANG
KAPILER DARAH
FOLIKEL
MATANG
SEL
HILUS
KORPUS
HEMORAGIUM
KORPUS ALBIKANS
KORPUS LUTEUM YANG
MATANG
Gambar 2: Struktur Ovarium (Bambang, 2011)
2.4.1. Mencit yang diovariektomi
Ovariektomi merupakan pengambilan atau penghilangan ovarium mencit
dengan proses pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi ovarium
sebagai penghasil hormon estrogen sehingga keadaan ini mewakili kondisi wanita
saat menopause (Kanno et al, 2001; Suhargo, 2005; Agustini dkk., 2007). Setelah
ovariektomi, estrogen yang beredar dalam darah berasal dari hasil sintesis
estrogen dari jaringan perifer yakni lemak dan otot (Whitten and Pattisaul, 2001).
Jenis estrogen yang yang disintesis dari jaringan perifer adalah jenis estron yang
mempunyai efek estrogen lebih rendah dibandingkan estradiol yang dihasilkan
oleh ovarium (Suhargo, 2005).
2.3. Uterus
Uterus merupakan salah satu saluran reproduksi betina yang berfungsi
sebagai tempat penerimaan dan transportasi spermatozoa dari serviks ke tuba
fallopi. Jika terjadi pembuahan maka uterus berfungsi sebagai tempat
berkembangnya zigot (Johnson and Everit, 1988). Uterus mencit (Mus musculus)
berbentuk dupleks yaitu terdapat dua serviks, tidak terdapat korpus uteri dan
kedua kornunya terpisah sama sekali.
9
Secara histologi dinding uterus terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan
perimetrium yang tersusun membran serosa, lapisan miometrium yang terdiri dari
lapisan otot polos dan paling dalam adalah endometrium yang merupakan dinding
lumen uterus dan terdiri atas epitel sela, lapisan kelenjar-kelenjar uterus dan
jaringan ikat serta banyak terdapat pembuluh darah seperti pada Gambar 3 (Kahle
et al., 2006; Partodihardjo, 1992).
Uterus merupakan organ reproduksi yang memiliki reseptor hormon
estrogen. Oleh karena itu lapisan pada uterus sangat responsif terhadap perubahan
hormon reproduksi, sehingga perubahan ketebalan lapisan uterus ini dijadikan
indikator untuk menentukan perubahan hormon dalam tubuh (Cooke et al, 1995;
Johnson and Everit, 1988). Perubahan berat uterus dan tebal lapisan uterus
merupakan hasil proliferasi sel-sel stroma dan sel epitelium dibawah pengaruh
hormon gonadotropin dan estrogen (Puspitadewi dan Sunarno, 2007).
Gambar 3: Sayatan Melintang Uterus Mencit dengan Pewarnaan HE
(Pusphitadewi dan Sunarno, 2007).
Keterangan: a. Lumen uterus b. Endometrium
c. Miometrium d. Perimetrium
10
Download