BAB II TATANAN GEOLOGI 2.1 Geologi Regional 2.1.1 Fisiografi dan Morfologi Pulau Sumbawa Pulau Sumbawa merupakan salah satu dari gugusan Kepulauan Nusa Tenggara yang terletak pada Busur Kepulauan Banda dan merupakan kelanjutan dari Zona Solo (Van Bemmelen, 1949). Secara umum, morfologi Pulau Sumbawa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu morfologi kompleks volkanik dengan ketinggian mencapai 1500 mdpl pada bagian utara dan morfologi yang didominasi oleh perbukitan intrusi serta perbukitan curam pada bagian selatan. Pada bagian utara, kompleks volkanik muda ini terdiri atas Gunung Sangenges (1923 m), Gunung Sakadet dan Gunung Bulupasak (1730 m) di barat serta Gunung Tambora (2851 m) di timur. Gunung-gunung ini memiliki tipe gunung api strato dengan pola aliran sungai radial. Pada bagian selatan, kompleks morfologi tersusun atas perbukitan intrusi dan perbukitan perbukitan curam yang terbentuk akibat aktivitas tektonik di bagian selatan. Pola aliran sungai pada daerah ini adalah radial yang berpusat di bukit-bukit intrusi dan sebagian menampakan pola aliran sungai radial yang dikontrol oleh kelurusan-kelurusan strukturnya. 2.1.2 Geologi Regional Pulau Sumbawa Barat Daya Pulau Sumbawa merupakan bagian dari sebelah timur Paparan Sunda di dalam sistem Busur Kepulauan Sunda-Banda (Sjoekri, 1997). Busur kepulauan ini dihasilkan dari tumbukan antara tiga Lempeng Hindia-Australia, Eurasia dan Lempeng Pasifik (Hamilton, 1980 dalam Clode, dkk., 1999). Kepulauan SundaBanda merupakan gabungan dari beberapa sistem jalur subduksi atau busur magmatik, yaitu Busur Sunda dengan arah pergerakan ke barat dan Busur Banda ke timur. Pulau Sumbawa yang berada di Kepulauan Nusa Tenggara terletak di zona transisi antara kedua busur tersebut (Sjoekri, 1997). Bagian selatan dari kepulauan Sumbawa bagian baratdaya dibatasi oleh kerak samudera yang berumur Tersier Awal, bersifat kalium kalk-alkali rendah sampai andesit volkanik yang alkali lemah 8 dan batuan volkaniklastik berlapis, berasosiasi dengan intrusi intermediet dan sedikit sedimen laut dan batugamping (Hamilton, 1980 dalam Clode, dkk., 1999). Cardwell dan Issacks (1981 dalam Sjoekri, 1997), menjelaskan bahwa lempeng Indo-Australia menunjam ke dalam Busur Banda dengan arah tegak lurus dengan arah pergerakannya (Gambar 2.1). Hal ini mengakibatkan bagian timur dari busur ini membuat gerakan melipat ke belakang ke arah persimpangan dengan lempeng Pasifik yang sedang bergerak ke arah barat. Gambar 2.1 Peta Geologi Pulau Sumbawa (Garwin, 2002) Secara stratigrafi, Pulau Sumbawa bagian baratdaya tersusun atas kompleks batuan volkanik-plutonik berumur Tersier, yang ditutupi oleh produk volkanik berumur Kuarter-Resen (Gambar 2.2). Batuan tertua yang tersingkap berupa batuan volkanik-sedimenter yang terdiri dari batuan piroklastik halus-kasar, dan perlapisan batugamping. Berdasarkan kelimpahan fosil foraminifera pada lapisan batugamping, unit batuan ini berumur Miosen Awal hingga Miosen Tengah (Sudrajat dkk., 1998). Batuan ini memiliki ketebalan hingga 1500 m (Garwin, 2000). Batuan termuda di daerah ini adalah produk dari vulkanisme Kuarter dan Resen, yang secara umum bersumber dari sebelah utara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Aliran debris menutupi sebagian besar dataran tengah Pulau Lombok, dan memisahkan batuan Kuarter di utara dengan busur volkanik tererosi di selatan. Batuan aglomerat-breksi dan piroklastik halus muncul di daerah pesisir di bagian barat dan tengah Pulau Sumbawa. Batuan volkanik ini umumnya berlapis dan 9 pada beberapa daerah batuan ini berinterkalasi dengan lapisan batupasir kasar (Sudrajat dkk., 1998). Sikuen batuan volkaniklastik ini menutupi secara tidak selaras unit batuan volkano-sedimenter dan satuan batuan terobosan. Seri batuan volkaniklastik di daerah Sumbawa diterobos oleh unit batuan intrusif. Pada Pulau Sumbawa bagian baratdaya, batuan intrusi ini umumnya memiliki afinitas kalk-alkali dengan kompisisi batuan diorit, andesit-basalt, diorit kuarsa, tonalit hingga granodiorit. Batuan intrusi ini diperkirakan berumur Miosen Tengah-Pliosen berdasarkan hubungan potong-memotong dan perajahan radiometrik (Garwin, 2000). Geometri dari batuan intrusi ini berupa dike dan stock dengan arah umum timur-barat dan baratlaut. Batuan intrusi ini berasosiasi dengan aktifitas volkanik, dengan litologi yang terdiri dari diorit hornblenda, tonalit porfiri, diorit kuarsa, dan breksi instrusif (breksi diaterma). Unit batuan intrusi ini memiliki hubungan dengan proses mineralisasi bijih ekonomis di beberapa tempat di Pulau Sumbawa, termasuk Batu Hijau. Kubah breksi berkomposisi dasitik yang terletak sekitar 2,5 km dari Batu Hijau, diduga sebagai bagian akhir dari rangkaian intrusi. Mineralisasi bijih logam ekonomis di daerah ini dominan berasosiasi dengan stock tonalit porfir. Arah umum kelurusan yang berkembang di Pulau Sumbawa bagian baratlaut memiliki pola barat-baratlaut dan tenggara berdasarkan gambaran dari citra satelit foto udara dan pengamatan terhadap sesar dan rekahan pada singkapan di lapangan. Pola struktur ini dinterpretasikan sebagai hasil kompresi utara-selatan yang berasosisasi dengan subduksi Tersier sepanjang busur Sunda-Banda ke selatan (Meldrum dkk., 1994 dalam Ali, 1997). Hasil pengamatan kelurusan topografi, dan data rekahan sesar pada singkapan menunjukkan bahwa struktur umum bagian barat Pulau Sumbawa berarah baratbaratlaut dan timurlaut memanjang sampai ke bagian selatan dari Pulau Sumbawa. Struktur-struktur tersebut merupakan hasil dari kompresi yang berarah utara-selatan yang berasosiasi dengan proses subduksi berumur Tersier disepanjang bagian selatan dari Busur Sunda-Banda (Meldrum dkk., 1994 dalam Ali, 1997). 10 Gambar 2.2 Peta Geologi Pulau Sumbawa Baratdaya (Garwin, 2000) 11 2.2 Geologi Regional Daerah Penelitian 2.2.1 Fisiografi dan Morfologi Batu Hijau Endapan Porfiri Cu-Au Batu Hijau terletak di Pulau Sumbawa bagian baratdaya. Pulau Sumbawa merupakan bagian dari sebelah timur Paparan Sunda, di dalam sistem busur kepulauan Sunda-Banda (Sjoekri, 1997). Endapan Porfiri Batu Hijau merupakan bagian dari busur magmatik berumur Neogen (Carlile dan Mitchell, 1994 dalam Garwin, 2000). Secara umum morfologi daerah Batu Hijau memperlihatkan kenampakan satuan perbukitan volkanik dan satuan perbukitan intrusi. Satuan perbukitan volkanik tersusun oleh litologi berupa batuan andesit volkaniklastik dan intrusi andesit porfiri, sedangkan satuan perbukitan intrusi tersusun oleh batuan intrusi berupa diorit dan tonalit. Satuan perbukitan volkanik memperlihatkan bukit-bukit yang relatif terjal dengan vegetasi hutan tropis, sedangkan satuan perbukitan intrusi memperlihatkan morfologi yang sedikit terjal dengan vegetasi yang berupa hutan tropis (Garwin, 2000). 2.2 .2 Struktur Geologi Batu Hijau Pola struktur utama yang ada di daerah Batu Hijau terdiri dari struktur berarah barat-baratlaut (W-NW) yaitu Zona Sesar Tongoloka-Puna, Katala, dan Petung, serta struktur berarah utara-timurlaut (N-NE) yaitu Zona Patahan Nono, Bambu, dan Rene. Zona struktur merupakan data sesar pada pemetaan permukaan dan lubang bor. Struktur sesar dapat diinterpretasikan dari pengukuran densitas rekahan pada conto inti bor (RQD), dan keterdapatan gouge dan zona ubahan mineral lempung (Clode dkk., 1998). Secara umum, patahan-patahan tersebut hanya sedikit mengakibatkan penggantian dari zonasi alterasi dan zonasi mineralisasi Zona Sesar Tongoloka-Puna terdiri dari pusat tubuh bijih, panjang ± 600 m dengan arah barat-baratlaut, kemiringan 60°-70°. Endapan yang terletak pada timurlaut yaitu Zona Sesar Katala, panjang ± 525 m dengan arah barat-baratlaut dan kemiringan 67° ke arah timurlaut. Zona Sesar Nono dan Bambu berarah utaratimurlaut dan kemiringan 75° ke arah barat-baratlaut. Batas selatan terjadi pada bagian tenggara dari endapan dengan arah utara-timurlaut dan kemiringan 75°-80° ke arah tenggara. Urat-urat dan dike kecil pada peta permukaan menunjukkan pola yang sama dengan struktur berarah timurlaut. 12 2.2.3 Stratigrafi Batu Hijau Berdasarkan proses mineralisasi, batuan di Batu Hijau dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu batuan pra-mineralisasi dan batuan host-mineralisasi. Batuan pra-mineralisasi mendominasi penyebaran litologi di area penambangan, yang terdiri atas batuan volkanik, intrusi andesit, dan intrusi diorit. Batuan yang berperan dalam mineralisasi (host-mineralisasi) tersusun atas batuan intrusi tonalit. Batuan pramineralisasi di Batu Hijau berumur pertengahan Miosen Awal hingga pertengahan Pliosen Awal, sedangkan batuan host-mineralisasi berumur pertengahan Pliosen Tengah (Garwin, 2000). Stratigrafi daerah Batu Hijau dimulai dari satuan batuan yang paling tua ke muda adalah Satuan Batuan Volkanik, Satuan Andesit Porfir, Satuan Diorit, dan Satuan Tonalit (Gambar 2.3; Gambar 2.4; Gambar 2.5). Satuan Batuan Volkanik terdiri dari batuan volkaniklastik berukuran halus (tuf halus), tuf kristal, dan intrusi andesit porfiritik. Intrusi kedua adalah diorit kuarsa porfiritik dan diorit kuarsa ekuigranular. Semua seri batuan ini diintrusi oleh batuan tonalit tua dan batuan tonalit muda (Garwin, 2000). Urutan pembentukan batuan didasarkan pada hubungan potong-memotong antara batuan (Gambar 2.3). Gambar 2.3 Kolom stratigrafi satuan litologi di daerah Batu Hijau (Garwin, 2000) 13 Gambar 2.4 Peta geologi area penambangan terbuka Batu Hijau (Tim Geologi PT.NNT, 2010) 14 Gambar 2.5 Penampang litologi section 050 area penambangan terbuka Batu Hijau 15 1. Satuan Tuf Andesitik Tuf andesitik merupakan litologi yang paling dominan di Batu Hijau. Batuan ini memiliki ketebalan batuan lebih dari 1500 m. Satuan tuf andesitik ini terdiri atas dua unit batuan utama, yakni tuf halus dan tuf kristal. Kontak antara dua unit batuan tersebut bersifat gradasional (Garwin, 2000). Secara makroskopis, kenampakan batuan secara umum berwarna abu-abu gelap, struktur masif, kaya akan kristal dan litik berupa batulempung tufaan, batupasir, breksi, dan konglomerat. Tuf halus yang berada di bagian bawah tersusun oleh batu lempung tufaan, batupasir, dan breksi dengan ketebalan 150-200 m (Gerteisen, 1998). Pada area tambang, tuf halus ini tersusun oleh 10-20% pecahan plagioklas dan hornblenda serta litik berukuran < 2mm. JENIS CONTO : CORE NAMA SUMUR : SBD 010 KEDALAMAN : 214,36 m SATUAN BATUAN : TIF ANDESITIK NAMA BATUAN : TUF KRISTAL SAYATAN TIPIS: MAKROSKOPIS: INDEKS: Gambar 2.6 Conto batuan dan sayatan tipis dari unit tuf kristal (ditandai dengan warna hijau pada penampang indeks), yang dominan tersusun atas pecahan mineral plagioklas (B6), kuarsa (E6), klorit (D3), dan mineral opak (F7) dalam masadasar tersusun atas pecahan gelas yang sebagian telah terubah menjadi mineral lempung (G4). Tuf halus ini ditutupi secara selaras oleh tuf kristal yang memiliki ketebalan 275-300 meter. Pecahan kristal pada unit ini berbentuk membundar sampai menyudut. Batuan ini tidak memiliki perlapisan dan memiliki pemilahan yang buruk. 16 Massa dasar dari unit ini mengandung butir berukuran lempung, gelas, dan hancuran fragmen kristal. Garwin (2000) menginterpretasikan bahwa unit batuan ini berumur Miosen Awal - Miosen Tengah, diendapkan pada daerah fore arc dalam lingkungan bawah laut. Ketidakhadiran aliran lava dalam unit batuan ini mengindikasikan bahwa sumber erupsi jauh dari daerah Batu Hijau. Pengendapan unit Tuf andesitik tersebut seiring dengan aktivitas volkanik andesitik yang terjadi di daerah ini. Pada bagian atas dari tuf kristal terdapat batuan aglomerat dengan fragmen berukuran bongkah (> 64 mm) yang tertanam dalam matriks tuf litik kristal. Unit batuan aglomerat hanya memiliki jumlah kecil di area penambangan. Unit aglomerat ini kemungkinan diendapkan sebagai endapan laharik dalam lingkungan pengendapan subaerial dan subaquaeous. 2. Satuan Diorit Batuan ini berumur lebih muda dari batuan Andesit Porfir, dan secara geokimia memiliki kesamaan kandungan K2O < 0,8% dan secara tekstural menunjukkan tekstur porfiritik hingga ekuigranular (Mitchell dkk., 1998). Secara umum, intrusi diorit di Batu Hijau dikelompokkan menjadi 2, yaitu: a. Diorit kuarsa ekuigranular Diorit kuarsa ekuigranular merupakan intrusi pra-mineralisasi terbesar. Secara regional batuan ini memotong batuan andesit porfiritik dan diorit kuarsa porfiritik. Batuan ini berbutir halus-sedang, tekstur ekuigranular, holokristalin. Fenokris berukuran 1-3 mm berupa plagioklas, hornblenda, dan kuarsa. Masadasar berupa mikrokristalin kuarsa dan plagioklas. b. Diorit kuarsa porfiritik Diorit kuarsa porfiritik merupakan batuan masif dengan tekstur porfiritik. Unit ini sudah teralterasi kuat, berbutir halus-sedang, masadasar berupa plagioklas, kuarsa, hornblenda, dengan fenokris berupa plagioklas, hornblenda, dan biotit. Di area penambangan batuan ini membentuk stock dan beberapa dike kecil. 17 JENIS CONTO : CORE NAMA SUMUR : SBD 305 KEDALAMAN : 439,8 m SATUAN BATUAN : DIORIT NAMA BATUAN : DIORIT KUARSA PORFIR SAYATAN TIPIS: MAKROSKOPIS: INDEKS: Gambar 2.7 Conto batuan dan sayatan tipis dari unit batuan diorit kuarsa porfir (ditandai dengan warna biru pada penampang indeks), yang tersusun atas fenokris kuarsa (C2), plagioklas (J7), dan mineral opak (E7) yang tertanam dalam masadasar kuarsa sekunder (H2), kalsit (B6), serisit (D5), dan klorit (A3) dengan ukuran butir yang halus. 3. Satuan Tonalit Porfir Batuan tonalit porfir menorobos kontak antara batuan volkanik dan batuan diorit kuarsa ekuigranular. Batuan ini membentuk stock dan dike yang semakin melebar ke dalam dan menyempit ke arah permukaan. Batuan tonalit merupakan batuan pembawa mineralisasi di endapan pofiri Cu-Au Batu Hijau. Pada daerah penelitian, intrusi tonalit ini terbagi menjadi dua, yaitu tonalit tua dan tonalit muda, berdasarkan hubungan potong-memotong dan perajahan radiometrik (Garwin, 2000). Kedua intrusi ini mempunyai kesamaan komposisi dan fenokris, perbedaannya terletak pada umur, persentase urat kuarsa, kelimpahan dan ukuran fenokris kuarsa, serta kadar Cu dan Au-nya. Kedua unit batuan tersebut memiliki umur yang berdekatan yaitu tonalit tua 3,76 ± 0,10 Ma, sedangkan tonalit muda 3,74 ± 0,14 Ma. Menurut Mitchell, dkk. (1998), tonalit tua dan tonalit muda mempunyai karakteristik sebagai berikut: 18 a. Tonalit teralterasi kuat Batuan ini bertekstur porfiritik, berukuran butir halus-sedang, fenokris berupa kuarsa berukuran 0,7-1 mm dengan kelimpahan lebih dari 20%, bentuk kristal umumnya anhedral-subhedral, dengan masa dasar yang ekuigranular tersusun oleh kuarsa, hornblenda, dan plagioklas. Dalam sayatan tipis, dapat terlihat bahwa plagioklas dalam batuan ini diidentifikasi sebagai oligoklas (An40-50), dan beberapa sebagai andesin (An>50). Plagioklas ini secara intersif telah terubah dan terpotong oleh urat kuarsa. Mineral mafik sebagian besar telah terubah menjadi biotit sekunder dan klorit. Satuan batuan ini didaerah penelitian disetarakan dengan tonalit tua. JENIS CONTO : CORE NAMA SUMUR : SBD 305 KEDALAMAN : 506 m SATUAN BATUAN : TONALIT NAMA BATUAN : TONALIT TERALTERASI KUAT SAYATAN TIPIS: MAKROSKOPIS: INDEKS: Gambar 2.8 Conto batuan dan sayatan tipis dari unit batuan tonalit tua (ditandai dengan warna oranye pada penampang indeks), yang tersusun atas plagioklas (B7), hornblenda (G2), kuarsa (J1), dan mineral opak (G1) yang tertanam dalam masadasar kuarsa sekunder (B6), serisit (C3), klorit (I2), dan kalsit (D6) dengan tekstur subhedral-euhedral. b. Tonalit teralterasi lemah Tonalit muda merupakan satuan intrusi batuan yang termuda di Batu Hijau. Menurut Mitchell, dkk. (1998), tonalit muda berwarna abu-abu terang, dengan ukuran butir medium-kasar, dicirikan dengan tekstur porfiritik, fenokris berupa kuarsa (5-10 mm), plagioklas, dan hornblenda (2-10 mm), dengan masa dasar yang ekuigranular, berukuran kasar-sedang. Fenokris hornblenda yang berukuran cukup 19 besar membuat tonalit muda mudah dikenali. Perbedaan antara tonalit muda dengan tonalit tua adalah kehadiran fenokris kuarsa yang relatif lebih kasar yakni 8-10 mm dan bentuk kristal rounded-bipiramid. Mineral mafik hadir lebih sedikit dalam tonalit muda dengan masadasar yang relatif lebih kasar daripada tonalit tua. Hornblenda hanya mengalami perubahan menjadi mineral biotit sekunder dalam jumlah kecil. Urat-urat kuarsa sangat jarang dijumpai dan bahkan kadang-kadang absen. Satuan batuan ini didaerah penelitian disetarakan dengan tonalit muda. JENIS CONTO : CORE NAMA SUMUR : SBD 305 KEDALAMAN : 783,27 m SATUAN BATUAN : TONALIT NAMA BATUAN : TONALIT TERALTERASI LEMAH SAYATAN TIPIS: MAKROSKOPIS: INDEKS: Gambar 2.9 Conto batuan dan sayatan tipis dari unit batuan tonalit muda (ditandai dengan warna merah pada penampang indeks), yang tersusun atas fenokris kuarsa (C1,C2,C3), plagioklas (J3), hornblenda (G4), dan mineral opak (I2) yang tertanam dalam masadasar kuarsa sekunder (E6), serisit (G3), klorit (B4), dan kalsit (G5). 20 2.2.4 Alterasi Hidrotermal dan Mineralisasi Batu Hijau Alterasi hidrotermal yang berhubungan erat dengan mineralisasi pada sistem porfiri Batu Hijau terbagi menjadi beberapa tahap berdasarkan waktu pembentukannya (Mitchell, dkk., 1998), yaitu : 1. Alterasi tingkat awal (early alteration) Alterasi tingkat awal terdiri dari proses biotisasi fenokris dan masadasar mineral mafik serta pembentukan shreddy biotit, magnetit, kuarsa dan anhidrit berasosiasi dengan biotit-kuarsa±magnetit stringer, urat biotit serisit dan potongmemotong urat tipe A dan AB. Alterasi awal terjadi pada bagian dalam dan proksimal intrusi tonalit. Pada tingkat ini terdapatkalkosit, digenit dan digenit-bornit. 2. Alterasi tingkat transisi (transitional alteration) Alterasi tingkat transisi ditandai dengan terubahnya biotit menjadi klorit, oligoklas menjadi albit di sepanjang urat dan hadir serisit±kalsit. Berasosiasi dengan urat AB dan B. Magnetit terubah menjadi hematit.Mineralisasi berupa bornit dan kalkopirit. 3. Alterasi tingkat akhir (late alteration) Alterasi tingkat akhir dicirikan oleh kehancuran feldspar (feldspar destruction), alterasi serisit dan pembentukan urat sulfida tipe D. Urat terisi oleh pirit dan kuarsa±kalkopirit. Urat pada Tahap alterasi ini umumnya dikelilingi oleh halo urat-urat kecil pirit-biotit dan feldspar yang terubahkan menjadi serisit. Pada perbatasan suatu tipe endapan alterasi, tahapan alterasi ini sulit dibedakan dengan bagian luar tahap alterasi transisi. Hal ini umumnya disebut “zona propilitik” (Clode dkk., 1999). 4. Alterasi tingkat sangat akhir (very late alteration) Alterasi tingkat sangat akhir dicirikan oleh kehancuran feldspar, tetapi berbeda dengan late alteration, feldpar digantikan oleh smektit berasosiasi dengan serisit dan klorit. Mineral sulfida berupa sfalerit, galena, tennantit, pirit, kalkopirit dan sedikit bornit. 5. Alterasi zeolit (zeolit alteration) Alterasi zeolit dicirikan oleh kehadiran mineral zeolit (stilbit dan laumonit) yang terbentuk pada temperatur rendah. Kehadiran mineral penciri ini bersamaan dengan munculnya kalsit, kuarsa, dan kristobalit yang mengisi rekahan/rongga. 21 Gambar 2.10 Peta alterasi area penambangan terbuka Batu Hijau (Tim Geologi PT.NNT, 2010) 22 Alterasi yang berkembang pada daerah Batu Hijau berdasarkan karakteristik alterasi dan asosiasi mineral ubahannya dapat diklasifikasikan menjadi 5 zona alterasi (Mitchell dkk., 1998), yaitu: a. Parsial Biotit Zona alterasi ini merupakan zona alterasi awal yang terbentuk pada batuan tonalit. Alterasi ini dicirikan mineral hornblenda yang sebagian terubah menjadi biotit, disamping masih ditemukannya mineral hornblenda primer yang utuh. Alterasi ini dapat dibedakan dengan alterasi biotit sekunder dengan masih ditemukannya kristal hornblenda yang berbentuk prismatik. Penyebaran Zona Alterasi Partial Biotit mengikuti pola penyebaran intrusi tonalit muda. b. Biotit Sekunder Zona ini merupakan alterasi tingkat awal yang dicirikan dengan hadirnya biotit sekunder dan magnetit serta umumnya berasosiasi dengan urat kuarsa, dan hornblenda yang teralterasi menjadi biotit. Mineral plagioklas bersifat relatif stabil namun dapat teralterasi menjadi biotit, kalsit, anhidrit, K-feldspar pada bagian pinggir atau bidang belahan. Alterasi ini juga biasanya ditandai dengan asosiasi mineral porfiri tingkat tinggi seperti bornit, digenit, magnetit, serta secara bergradasi keluar menjadi kalkopirit dan pirit. Intensitas alterasi pada zona alterasi ini pada umumnya lebih tinggi daripada zona alterasi parsial biotit. c. Pale Green Mica (PGM) Zona ini merupakan alterasi tingkat transisi yang dicirikan dengan kehadiran mika hijau yang mengandung klorit dan serisit, klorit overprint dengan biotit sekunder, berasosiasi dengan kalkopirit dan urat tipe B. d. Klorit-Epidot Klorit-epidot merupakan alterasi tingkat awal yang dicirikan dengan hadirnya klorit dan epidot, serta pirit, magnetit, kalsit. Plagioklas teralterasi menjadi epidot dan kalsit serta mineral-mineral mafik menjadi klorit. e. Hancuran Feldspar (Feldspar Destructive) Zona alterasi yang terbentuk paling akhir, dicirikan dengan clay, serisit, andalusit, dan piropilit. Zona ini dicirikan dengan biotit, magnetit yang rusak, dan berasosiasi dengan urat yang terisi mineral pirit. 23