CAMPURSARI “Nyanyian Hibrida dari Jawa”

advertisement
CAMPURSARI “Nyanyian Hibrida dari Jawa”
(Sebuah Video Dokumenter Tentang Polemik Keberadaan Campursari
sebagai Tradisi Musik Baru di Dunia Seni Pertunjukan)
Tika Septiana Saputri
Ch. Heny Dwi S.
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Java as a society in terms of the culture that was very old historical,
traditional art culture has very many kinds. Almost never realized that in fact, the
history of Javanese art is a jumble of various influences. Campursari is a "new
kind of music", a new musical tradition that is a hybrid musical instrument or a
mixture of traditional Javanese music and Western music.
Development period makes the performing arts began to be used to make
money and income. Campursari which are in the realm of entertainment makes
the culprit compete for the pursuit of quantity rather than quality. This makes the
polemics of various parties.
Campursari that is a "hybrid" or a mixture of traditional music of Java
pitched pentatonic and Western music pitched diatonic produce a harmonies
wonderful voice, but the other side makes campursari debated because getting
away from the musical tradition of the valuable Java.
There are some interesting facts in campursari from various sides. How
about the perspective of some parties for Pros and Cons campursari?
Documentary film of Campursari "The Hybrid Song from Java" will expose it.
Keyword: Art, culture, traditional, music
Pendahuluan
Seni pertunjukan tradisional Indonesia, di dalam pemahaman estetikanya
sangat berhubungan dengan sistem religi yang dianut pada masyarakat
pendukungnya. Seri pertunjukan tradisional dapat dibedakan menjadi seni
pertunjukan istana (setelah masuknya agama-agama besar, Hindhu/Budha dan
Islam) dan seni pertunjukan rakyat (terdapat pada masyarakat pedesaan yang
kemungkinan besar menyimpan dasar-dasar religi asli). Seni pertunjukan
tradisional, baik rakyat maupun kraton/istana, pada mulanya adalah religius.
Nilai-nilai keindahannya harus dicari pada dasar religi itu. Namun dalam
1
perkembangan selanjutnya, rillai-nilal religius itu tersisihkan dan masyarakat lebih
menyukai dari segi hiburannya (profan) saja.1 Kondisi ini berlanjut seiring
perubahan jaman, sehingga seni pertunjukan tradisional mulai digunakan untuk
mencari uang dan penghasilan, apalagi dengan adanya pengaruh dunia teater dari
barat dan negara-negara lain yang kuat dalam dunia seni pertunjukannya.
Jawa sebagai suatu masyarakat budaya yang ditinjau dari segi historisnya
ternyata sangat tua, memiliki seni tradisional budaya yang sangat banyak sekali
macamnya. Hampir tidak pernah disadari bahwa sesungguhnya, sejarah tentang
kesenian Jawa merupakan campur aduk dari berbagai pengaruh. tradisi kuno yang
oleh banyak orang dibayangkan sebagai bentuk yang asli dan tradisional itu, lebih
merupakan kreasi istana di bawah pimpinan kolonial Belanda.
Campursari merupakan “jenis musik baru”, sebuah budaya baru yang
berkembang secara luar biasa pada decade 80-an. Pada masa kini perkembangan
musik ini, dilihat dari jumlah penggemar, penyebaran dan produksi, jauh melebihi
kemampuan hidup karawitan Jawa dan musik keroncong / langgam yang menjadi
“induk lokalnya”. Bahkan, campursari bisa dikatakan bertumbuh hampir
sebanding dengan penyebaran musik pop Barat yang sarat modal dan teknologi.
Campursari merupakan musik hibrida atau percampuran dari beberapa
unsur genre music; karawitan , gamelan, langgam, keroncong, dangdut, pop, dan
sebagainya dalam bentuki musik baru. Identitasnya yang paling mudah dilihat
adalah bercampurnya gamelan dan instrument Barat terutama keyboard, yang
jumlahnya hingga mencapai enam atau tujuh pada satu perangkat.2
Campursari itu sendiri sebenarnya berangkat dari seni tradisi Jawa, dimana
dipadukannya seni gending dengan berbagai alat musik, baik alat musik
tradisional maupun modern, konvensional dan elektrik . Musik campursari yang
berkembang sekarang ini memang bermacam – macam jenisnya. Misalnya music
campursari yang merupakan campuran gamelan dan keroncong, campuran
gamelan dan dangdut serta campuran keroncong dan dangdut. Aransemen seperti
itu membuat campursari lebih fleksibel , mengaransemen music tradisional dan
1
Jakob Soemardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.22
2
Rahayu Supanggah, Bothekan Karawitan I . (Jakarta, 2002), hlm. 101.
2
modern sehingga musik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkatan
masyarakat daerah sampai masyarakat kota.
Secara sepintas, campursari terbangun dalam sejarah yang tidak berliku
dan sederhana. Namun, percampursan musik yang secara kasat terdiri dari
beberapa unsur dasar karawitan, keroncong / langgam dan musik pop menjadi
seperti sekarang ini, tidaklah mudah dan integrative. Niscaya ada begitu banyak
suara yang tidak terdengar yang tidak selalu padu dalam percampuran musikal itu,
tetapi sesungguhnnya dia menjadi bagian yang tidak bisa begitu saja dianggap
tidak ada.
Sebagai sebuah kebudayaan baru yang popular campursari juga menjadi
arena pertentangan yang mendalam di kalangan sejumlah ahli musik tradisional
Jawa. Dari segi musikalitas campursari dianggap sebagai “musik sampah” karena
bercampurnya berbagai unsur musik yang cara mencampurnya asal – asalan
hingga menjadi campur aduk bukan menjadi campursari lagi.
Benturan atau akomodatifnya musik campursari terhadap berbagai genre
dan atau gaya musik daerah, termasuk musik barat sebagai perwujudan sikap
toleransi, keterbukaan sekaligus juga cerminan ketidak tegasan sikap masyarakat
terutama masyarakat Jawa dalam menghadapi unsur atau pengaruh budaya dari
luar, budaya asing. Campursari dengan demikian dapat dianggap sebagai
keranjang sampah budaya.
Benturan paling menonjol adalah benturan berbagai aturan atau norma
musical yang terakomodasikan dengan seolah – olah “tanpa masalah” pada musik
campursari. Hal ini dapat dianggap sebagai cerminan tidak berlakunya dengan
baik system atau norma hukum di masyarakat kita, Jawa atau Indonesia. Seniman
atau sekelompok seniman dalam masyarakat campursari dapat dan boleh berbuat
“sekehendak”-nya.
Bukan sebuah kebetulan bahwa, bagi para pelaku campursari, tidak ada hal
yang merisaukan dengan apa yang dilakukannya. Campursari, bagi mereka adalah
seni adiluhung yang harus dipertahankan dan dikembangkan, sebagaimana halnya
seni Jawa lainnya seperti wayang kulit, karawitan dan tari klasik. Ironisnya,
3
niyaga gamelan yang memainkan campursari mungkin juga melestarikan musik
adiluhung di jaman ketika sokongan terhadap musik tradisional menurun.3
Bagaimanapun, campursari adalah sebuah budaya baru yang mampu
menghidupkan kembali musik tradisional Jawa. Gendhing – gendhing lagu Jawa,
tembang macapat bisa bangkit lagi dengan adanya campursari.
Pada akhirnya, film dokumenter campursari “Nyanyian Hibrida dari Jawa”
dibuat untuk memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang perkembangan
musik campursari dan polemik yang terjadi di tubuh campursari itu sendiri, baik
dari pelaku campursari itu sendiri maupun dari seniman atau yang mengatas
namakan sebagai ahli musik tradisional Jawa. Film ini dibuat agar masyarakat
luas dapat menilaidan menyikapi dengan bijak tentang sebuah “budaya baru” yang
muncul ditengah – tengah kehidupan mereka sebagai proses dari globalisasi dan
modernisasi.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah :
1. Bagaimana sejarah dan perkembangan musik campursari di dunia seni
pertunjukan?
2. Apa saja sisi menarik dalam musik campursari?
3. Bagaimana pandangan dari beberapa kalangan mengenai Pro dan Kontra
dalam menanggapi keberadaan musik campursari?
Tujuan
Tujuan dari tugas akhir ini adalah :
“Memberi pemahaman kepada masyarakat awam tentang realita yang terjadi di
tubuh campursari itu sendiri sehingga lebih bijak dalam menyikapi munculnya
campursari sebagai bentuk budaya baru yang berkembang sehingga dapat
menilai mana yang baik dan mana yang buruk”.
3
Nancy Copper, Retuning Javanese Identities: The Ironies of Popular Genre, Asian Music Journal
Vol. 46, Number 2, 2015. Hlm. 2
4
Tinjauan Pustaka
a. Komunikasi
Menurut
Onong, Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris
communication berasal dari kata Latin communication, dan bersumber dari kata
communis yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.
Komunikasi dapat berlangsung jika ada kesamaan makna mengenai apa yang
dibicarakan. Kesamaan bahasa yang digunakan dalam percakapan belum tentu
menimbulkan kesamaan makna. Dengan kata lain, mengerti bahasanya saja
belum tentu dapat mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Sebuah
proses komunikasi dapat dikatakan komunikatif apabila kedua-duanya,
mengerti bahasa yang digunakan, mengerti pula makna dari bahan
pembicaraan.4
Little John mendefinisikan komunikasi sebagai “communication is the
process by which we understand others and it turn endeavor to be understood
by them. It is dynamic, constantly, changing and shifting in response to the
total situation.”5
Berdasarkan paparan di atas, pikiran dan atau perasaan seseorang baru
akan diketahui oleh dan akan ada dampaknya kepada orang lain apabila
ditransmisikan dengan menggunakan media primer tersebut, yakni lambanglambang. Dengan perkataan lain, pesan (message) yang disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan terdiri atas isi (content) dan lambang
(symbol).6
Menurut Harold Lasswell, terdapat lima unsur dalam proses komunikasi
yang saling bergantung satu sama lain, antara lain7
1.
Sumber (source), yaitu semua pihak yang berinisiatif atau mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi.
4
Onong Uchjana ,,Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya , 1990)
hlm. 9
5
Stephen Littlejohn,Theories of Human Communication 3th ed. (Belmont: Wadsworth Publishing
Company, 1989) hlm. 5
6
Onong Uchjana, Op. Cit. Hlm. 12
7
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. (Bandung: 2005, PT. Remaja Rosdakarya) ,
hlm 62
5
2.
Pesan, yaitu apa yang dikomunikasikan oleh sumber kepada penerima,
baik itu verbal atau non-verbal.
3.
Saluran atau media,
yaitu alat
yang
digunakan sumber untuk
menyampaikan pesan kepada penerima.
4.
Penerima (receiver), yaitu orang yang menerima pesan dari sumber.
5.
Efek, yaitu apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima pesan
tersebut.
Proses komunikasi dibagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan
sekunder. Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran
dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang
(symbol) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses
komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang
secara langsung mampu “menerjemahkan” pikiran dan atau perasaan
komunikator kepada komunikan. Proses komunikasi secara sekunder adalah
proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang
sebagai media pertama.
b. Film Dokumenter Sebagai Media Komunikasi
Komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Fungsi-fungsi
komunikasi dan komunikasi massa dapat disederhana- kan menjadi:
menyampaikan informasi (to inform), mendidik (to educate), menghibur (to
entertain), dan mempengaruhi (to influence)8
Salah satunya dalam film dokumenter , layaknya laporan jurnalisme, film
dokumenter mampu merekonstruksikan realitas sosial atau fakta - fakta ke
dalam simbol audio visual. Dalam hal ini pada film dokumenter memenuhi
komponen komunikasi itu sendiri yaitu, pembuat film merupakan sumber atau
source yang mengirimkan sebuah pesan. Pesan atau message yang dimaksud
adalah sebuah ide mengangkat sebuah realitas, atau suatu fakta – fakta ke
8
Onong Uchjana, Op. Cit., hlm. 26
6
dalam sebuah karya film dokumenter yang mempunyai film statement. Film
dokumenter berupa produk audio visual yang dibuat tersebut adalah sebuah
saluran atau media dari seorang pembuat film untuk menyampaikan pesan
kepada penonton filmnya.
Beberapa komponen tersebut, sebenarnya sudah dapat menunjang film
dokumenter yang berupa produk audio visual untuk bisa dikategorikan sebagai
salah satu media komunikasi.
c. Film Dokumenter
John
Grierson
berpendapat
dokumenter
merupakan
cara
kreatif
merepresentasikan realitas.9 Film dokumenter menyajikan realita melalui
berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Kunci utama dari
dokumenter adalah penyajian fakta. Kekuatan utama yang dimiliki film
dokumenter terletak pada rasa keontentikan, bahwa tidak ada definisi film
dokumenter
yang
lengkap
tanpa
mengaitkan
faktor-faktor
subyektif
pembuatnya. Dengan kata lain, film dokumenter bukan cerminan pasif dari
kenyataan, melainkan ada proses penafsiran atas kenyataan yang dilakukan
oleh si pembuat film dokumenter.
Film dokumenter, selain mengandung fakta, ia juga mengandung
subyektivitas pembuat. Subyektivitas dalam arti sikap atau opini terhadap
peristiwa. Jadi ketika faktor manusia berperanan, persepsi tentang kenyataan
kan sangat tergantung pada manusia pembuat film dokumenter itu
Film dokumenter adalah salah satu media komunikasi. Film dokumenter
sangat tepat digunakan sebagai media komunikasi satu arah, mengingat film
dokumenter memuat konten fakta dan dapat lebih relevan untuk diyakini
kebenarannya. Dengan format audio-visual, keberadaan film dokumenter
berpengaruh dalam pembentukan pemikiran dan sikap khalayak tanpa
mempertimbangkan usia. Penyampaian komunikasi dalam film dokumenter ini
lebih menitik beratkan pada pemakain narasi dan narasumber, sehingga akan
9
Heru Effendy, Mari Membuat Film. (Yogyakarta: 2002) hlm. 11
7
lebih mudah dan cepat dipahami oleh masyarakat. Tampilan visual yang
diperlihatkan mengacu pada kejelasan penyampaian informasi realita yang
mempunyai kesan sederhana, tegas, minimalis dan berisi sebagaimana
umumnya sebuah dokumentasi film. Struktur bertutur film dokumenter
umumnya sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk
memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan.
d. Hibrida dalam Konteks Musik Campursari
Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “hibrida” berarti
turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan (tentang
hewan atau tumbuhan); kata kompleks yang bagian-bagiannya berasal dari bahasa
berbeda.10
Keberadaan beberapa hibridisasi kreatif yang dibuat oleh para musisi
popular Indonesia dilatarbelakangi oleh sistem genre tripartit yang makro, yang
terdiri dari musik daerah, pop, serta underground/indie.11
Campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti
berbaurnya instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti
eksperimen yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para seniman
memadukan dua unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu
gamelan dan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bass, drum serta
keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari adalah musik hibrida hasil
perkawinan silang antara musik barat dan tradisional. Kesenian ini memerlukan
beberapa pemain musik, tak kurang dari hampir sepuluh orang untuk
menghasilkan irama yang sangat merdu.
10
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: 1996), hlm. 215
Jeremy Wallach and Esther Clinton, “History,Modernity, and Music Genre in Indonesia:
Popular Music Genres in the Dutch East Indies and Following Independence”, Asian Music
Journal Vol. 44 Number 02, 2013, hlm. 1
11
8
e. Polemik Keberadaan Campursari
Polemik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai
perdebatan mengenai suatu masalah yang dikemukakan secara terbuka dalam
media massa.12
Di dalam dunia seni pertunjukan, campursari menjadi sebuah perdebatan
dalam forum terbuka antara seniman elite dan pelaku campursari tentang
keberadaan campursari sebagai tradisi musik baru di dunia seni pertunjukan.
Berikut adalah rangkuman pendapat dari seniman dan pelaku campursari. 13
No. Menurut Seniman
1.
Campursari
sampah
Menurut Pelaku Campursari
adalah
yang
musik Campursari mampu menghidupkan
memasukkan kembali tradisi
semua unsur musik dalam satu diantaranya
Jawa
adalah
nembang
tetap
dimainkan
macapat.
karya.
2.
bermusik
Campursari adalah musik yang Campursari
menabrak
aturan
musikalitas dengan gamelan Jawa.
gendhing Jawi
3.
Campursari
hanya
mengejar Campursari menjawab kebutuhan
kuantitas tidak memperhatikan pasar,
kualitas
ini
berarti
campursari
berhasil menjadi tradisi baru di
dunia seni pertunjukan.
4.
Dari
sisi
sosial
campursari Penyanyi campursari duduk dengan
menjadi citra buruk bagi musik santun,
kalau
berjoget
ganya
Jawa karena penyanyi yang gerakan sewajarnya. Yang berjoget
jogetan saat pentas
dan koplo itu bukan campursari
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id
Wawancara dengan narasumber Prof. Rahayu Supanggah, S.Kar., Danis Sugiyanto, S.Sn,
M.Hum, Yunianto CSGK, dan Plenthe Percussion. (Transkrip tersedia di halaman lampiran)
13
9
f. Seni Pertunjukan
Dalam bahasa Inggris, seni pertunjukan dikenal dengan istilah perfomance
art.
Seni pertunjukan merupakan bentuk seni yang cukup kompleks karena
merupakan gabungan antara berbagai bidang seni. Sebuah pertunjukan kesenian
seperti teater atau sendratari biasanya terdiri atas seni musik, dialog, kostum,
panggung, pencahayaan, dan seni rias. Seni pertunjukan sangat menonjolkan
manusia sebagai aktor atau aktrisnya.
1. Seni Pertunjukan Tradisional
Di dalam setiap pementasannya, beberapa bentuk kesenian tradisional
selalu membawa misi yang ingin disampaikan kepada penonton. Misi atau pesan
itu dapat bersifat sosial, politik, moral dan sebagainya. Sebenarnya dalam setiap
pertunjukan seni tradisional ada beberapa nilai tertentu yang dikandungnya. Seni
pertunjukan tradisional secara umum mempunyai empat fungsi, yaitu fungsi
ritual, fungsi pendidikan sebagai media tuntunan, fungsi atau media penerangan
atau kritik sosial dan fungsi hiburan atau tontonan.
Untuk memenuhi fungsi ritual, seni pertunjukan yang ditampilkan
biasanya masih berpijak pada aturan-aturan tradisi. Misalnya sesaji sebelum
pementasan wayang, ritual-ritual bersih desa dengan seni pertunjukan dan sesaji
tertentu, pantanganpantangan yang tidak boleh dilanggar selama pertunjukan dan
lainlain. Sebagai media pendidikan, pertunjukan tradisional mentransformasikan
nilai-nilai budaya yang ada dalam seni pertunjukan tradisional tersebut. Oleh
karena itu, seorang seniman betul-betul dituntut untuk dapat berperan semaksimal
mungkin atas peran yang dibawakannya. Seni pertunjukan tradisional (wayang
kulit, wayang orang, ketoprak) sebenarnya sudah mengandung media pendidikan
pada hakikat seni pertunjukan itu sendiri, dalam perwatakan tokoh-tokohnya dan
juga dalam ceritanya. Misalnya pertentangan yang baik dan yang buruk akan
dimenangkan yang baik, kerukunan Pandawa, nilai-nilai kesetiaan dan lain-lain.
Pada masa sekarang ini seni pertunjukan tradisional cukup efektif pula
sebagai media penerangan ataupun kritik sosial, baik dari pemerintah atau dari
rakyat. Misalnya pesan-pesan pembangunan, penyampaian informasi dan lain-
10
lain.
Sebaliknya rakyat dapat mengkritik pimpinan atau pemerintah secara tidak
langsung misalnya lewat adegan goro-goro pada wayang atau dagelan pada
ketoprak. Hal ini disebabkan adanya anggapan mengkritik (lebih-lebih) pimpinan
atau atasan adalah “tabu”. Melalui sindiran atau guyonan dapat diungkap tentang
berbagai ketidakberesan yang ada, tanpa menyakiti orang lain. Sebagai media
tontonan seni pertunjukan tradisional harus dapat menghibur penonton,
menghilangkan stres dan menyenangkan hati. Sebagai tontonan atau hiburan seni
pertunjukan tradisional ini biasanya tidak ada kaitannya dengan upacara ritual.
Pertunjukan ini diselenggarakan benar-benar hanya untuk hiburan misalnya tampil
pada peringatan kelahiran, resepsi pernikahan dan lain-lain. 14
2. Seni Pertunjukan Modern
Contoh pertunjukan modern antara lain drama, opera, fragmen, teater, dan
film. Seni pertunjukan modern banyak ditampilkan di media elektronik seperti
televisi.
Metodologi
Tugas akhir ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Metode
observasi (observation research) dilakukan untuk melacak secara sistematis dan
langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan persoalan-persoalan sosial,
politis, dan kultural masyarakat. Metode wawancara merupakan alat pengumpulan
data yang sangat penting yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor)
sehubungan dengan realitas atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode
tersebut bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan tugas akhir. 15
Di dalam film dokumenter ini, penulis melakukan observasi di beberapa
pertunjukan campursari baik yang di desa maupun di kota di wilayah Boyolali,
Solo, Sukoharjo, Wonogiri, Semarang, dan Yogyakarta guna mengetahui
permasalahan di lapangan terkait keberadaan campursari sebagai tradisi musik
14
15
Dyastriningrum, Antropologi Kelas XII, (Jakarta: 2009) hlm. 63.
Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: 2007,LKiS) hlm. 132
11
baru di dunia seni pertunjukam. Penulis juga melakukan wawancara dengan
teoritikus karawitan, seniman, komposer, dan beberapa pelaku campursari.
Sajian dan Analisis Data
a. Judul
CAMPURSARI “Nyanyian Hibrida dari Jawa”
b. Lokasi
Boyolali, Wonogiri, Sukoharjo, Semarang, Yogyakarta
c. Durasi
19 menit 45 detik
d. Segmentasi
Masyarakat umum
e. Film Statement
Campursari adalah sebuah budaya baru hasil percampuran atau hibrida
antara permainan musik tradisional bernada pentatonis dengan permainan musik
internasional modern bernada diatonis yang kehadirannya mengubah tatanan dan
formasi bentuk-bentuk musik lainnya.
Keberadaan campursari sebagai budaya baru di dunia seni pertunjukan
sampai
saat
ini
masih
menjadi
pro
dan
kontra
karena
campursari
memproklamirkan sendiri sebagai corak baru kesenian Jawa. Hal ini yang
menimbulkan berbagai wacana mengenai identitas asli kesenian Jawa sebagai seni
yang adiluhung.
f. Ringkasan Film
Film dokumenter CAMPURSARI “Nyanyian Hibrida dari Jawa” terdiri
atas lima sekuen.
1.
Sekuen I
Pada sequence ini akan memperlihatkan keberadaan musik campursari di
sekitar kita dan penjelasan singkat dengan narasi tentang pengertian musik
campursari secara garis besar.
12
Gambar 1 : Campursari saat pertunjukan wayang
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 2 : Penyanyi saat pentas campursari
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 3 : Warga menengah ke bawah yang menyaksikan campursari
Sumber : Dokumen Pribadi
Campursari adalah sebuah jenis musik baru di dunia seni pertunjukan yang
berasal dari tanah Jawa, sangat dekat dengan kehidupan masyarakat baik dari
kalangan menengah bawah maupun menengah ke atas. Campursari merupakan
paduan musik tradisional - gamelan Jawa bernada pentatonis seperti saron,
kendang, gender, dan gong dicampur dengan musik
13
barat atau eropa yang
bernada diatonis seperti gitar, cak, cuk, keyboard, bass, drum, kadang dengan
biola atau flute.
Gambar 4 : Gamelan dalam campursari
Sumber : Dokumen Pribadi
2.
Sekuen II
Sekuen ini menjelaskan mengenai sejarah campursari dan beberapa versi
campursari yang sempat popular selama perkembangannya dari mulai
campursari yang pertama muncul, campursari versi ki Nartosabdho, dan era
Manthous.
Gambar 5 : Recorder yang digunakan untuk menyiarkan campursari di RRI
Semarang pada tahun 1960
Sumber : Dokumen Pribadi
14
Gambar 6 : Ilustrasi pertunjukan wayang Ki Nartosabdho tahun 1980
Sumber : Dokumen Pribadi
Gambar 7 : Penghargaan tokoh campursari Alm Manthous
Sumber : Dokumen Pribadi
Campursari pertama kali muncul sekitar 1960 an hasil kerjasama antara
(RRI) Semarang dan Tjabang Ajudan Jenderal Kodam IV Diponegoro
Semarang Pimpinan Jenderal Surono. bermula dari kegiatan pergelaran
karawitan dan keroncong, mereka pun acapkali membawakann lagu-lagu
langgam.. Percampuran alat music untuk mengiringi langgam inilah yang
kemudian mereka sebut sebagai“campursari”. Pada tahun 1980-an. Ki
Nartosabdho pernah memperkenalkan campursari dengan bentuk yang berbeda.
Ia menggabungkan gamelan dengan musik barat di setiap pertunjukan
wayangnya. Namun apa yang dilakukannya menuai kontroversi dari persatuan
dalang. Barulah pada tahun 1990 an , di tangan Alm. Anto Soegiyono atau
dikenal Manthous , Musik campursari semakin popular.
15
3.
Sekuen III
Sekuen ini akan memperlihatkan mengenai hal – hal menarik yang bisa
dibicarakan dari musik campursari baik dari sisi musikalitas, sisi sosial, dan dari
artistik.
Gambar 8 : Penyanyi yang menyanyikan lirik lagu Jawa
Sumber : Dokumen Pribadi
Dari sisi musikalitas, Paduan yang seimbang antara musik tradisional jawa
dan barat menjadikan musik campursari lebih mudah didengar dan populer.
Karenanya, tembang macapat ikut terangkat popularitasnya . Lagu yang
dinyanyikan dengan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa dan dengan lirik – lirik yang
bertemakan kehidupan sehari – sehari membuat musik campursari pun lebih
mudah diterima
Gambar 9 : Alat musik Gender
Sumber : Dokumen Pribadi
16
Beberapa alat musik yang digunakan pun memiliki peran tersendiri, seperti
Gender, Kendang, Drum yang dalam musik ini bagaikan sebuah “tulang”, yaitu
kekuatan dalam sebuah lagu.
Bass berfungsi sebagai “lambaran” atau alas yang digambarkan menjadi
nyawa suatu chord. Sedangkan siter dan keyboard bagaikan sebuah pelangi, yang
berfungsi memperindah sajian lagu
Gambar 10 : Rumania
Sumber : Dokumen Pribadi
Sinden jawa dulu dengan sanggul Jawa ala kraton, seiring perkembangan
jaman ada sinden yang berbusana modern yang memakai rok, tidak
memakai jarik atau “wiron”. Tata rambut dulu klasik sekarang ditata biar
kekinian. Dulu sinden itu Cuma duduk, sekarang penyanyi campursari
turun ke panggung joget – joget.16
Terdapat beberapa perbedaan penyajian antara campursari jaman dahulu
dan campursari jaman sekarang baik dalam berbusana maupun tata cara pentas.
Gambar 11 : Dr. Ganang Trikora, SH
Sumber : Dokumen Pribadi
16
Wawancara Rumania (pelaku campursari) pada tanggal 20 Agustus 2015.
17
Penataan alat musik saat pementasan pun juga diperhatikan. Posisi
penataan alat musik diperhitungkan berdasar pertimbangan artistic dan
komunikasi musical antar pemain
Gamelan posisi di depan, keyboard di depan, Drum di belakang. Kendang
ketipung di belakang. Kalau kendang di depan nanti merusak suara yang
lain.17
4.
Sekuen IV
Sekuen ini akan menunjukkan pro dan kontra dari berbagai pihak
mengenai keberadaan musik campursari di dunia seni pertunjukan baik dari
seniman, pelaku campursari, maupun pengamat musik.
Gambar 12 : Wawancara Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S.Kar.
Sumber : Dokumen Pribadi
Campursari mendapat pengaruh dari berbagai jenis musik yaitu langgam,
dangdut, keroncong, pop, dsb. Campursari tadinya intinya mencampurkan
sari – sari dari musik – musik itu menjadi sebuah karya campurari.
Namun pada prakteknya tidak demikian, campursari menjadi campur
aduk, menjadi tempat sampah. Aturan banyak diterjang, dipaksakan.18
17
18
Wawancara Dr. Ganang Trikora, SH pada tanggal 8 Juni 2015
Wawancara Prof. Dr. Rahayu Supanggah, S.Kar.pada tanggal 29 Mei 2015
18
Gambar 13 : Wawancara Yunianto CSGK
Sumber : Dokumen Pribadi
Kalau nabrak aturan ya tidak, orang kita nyanyi duduk santun,
menyanyikan langgam Jawa dengan baik, ada sinom, gending.19
Gambar 14 : Wawancara Danis Sugiyanto, S.Sn., M.Hum.
Sumber : Dokumen Pribadi
Keberadaan campursari sampai sekarang menimbulkan pro kontra,
campursari berada di wilayah entertain bukan hayatan dimana hanya
gebyar saja tidak menusuk ke rohani atau wigati , semata – mata hanya
hiburan, baik yang tidak bermutu, maupun hanya mengejar kuantitas. .
Betapapun, campursari membawa nilai – nilai yang membuat orang
semakin tidak meninggalkan budaya Jawa nembang, meskipun disitu juga
ada kontra karena bukan mnampilkan gamelan yang tradisional namun di
tune sedemikian rupa dengan nada diatonic. Vocal penghayatannya
semakin jauh dengan tradisi.20
19
Wawancara dengan Bp. Yunianto (Adik Alm. Manthous) pada tanggal 21 Juli 2015.
Wawancara dengan Danis Sugiyanto, S.Sn, M.Hum (komposer dan pengamat musik) pada
tanggal 20 September 2015
20
19
Kesimpulan
Kesimpulan dalam tugas akhir ini, antara lain:
a. Campursari merupakan sebuah jenis musik baru dalam dunia seni
pertunjukan yang mampu memberi warna dalam musik Jawa dan mampu
menjadi media untuk generasi muda mencintai kembali tembang macapat.
b. Campursari sangat dekat dengan kehidupan masyarakat khususnya Jawa
dalam kehidupan sehari – hari dengan digunakannya musik campursari
dalam berbagai kesempatan dan acara.
c. Begitu banyak Pro Kontra yang terjadi dalam musik campursari, baik dari
pandangan seniman, pelaku campursari, maupun masyarakat. Namun tidak
dapat dipungkiri tetap menjadikan musik campursari sebagai ikon musik
Jawa yang memiliki banyak sisi menarik dari sisi musikalitas dan sosial
dan tetap eksis di tengah modernisasi.
Saran
Saran yang diajukan dan diharapkan untuk Musik Campursari baik bagi
pelaku maupun seniman, serta untuk masyarakat pada umumnya, antara lain:
a. Bagi para seniman, maupun pelaku campursari buatlah musik karya yang
benar- benar memperhatikan kualitas bukan hanya kuantitas, memiliki
nilai
keindahan,
original,
tidak
hanya
menyonto,
dan
juga
mempertimbangkan nilai moral, dari syair. Bersinergi antara nilai
keindahan dan nilai nilai moralitas yang diungkapkan manusia sebagai
daya untuk memuliakan campursari
b. Diharapkan bahwa semua seniman ketika melakukan profesinya harap
dilandasi oleh niat yang luhur dan dilandasi rasa Ketuhanan yang baik,
sehingga aspek – aspek negatif yang dianggap akibat dari musik
campursari bisa dihindari
c. Untuk masyarakat luas diharapkan lebih pintar dalam menilai mana yang
baik dan buruk, dapat melihat kualitas sehingga musik campursari dapat
menjadi musik tradisi Jawa yang adiluhung.
20
Daftar Pustaka
Copper,I. Nancy. (2015). Retuning Javanese Identities: The Ironies of Popular
Genre. Asian Music Journal Vol. 46 Number 02.
Dyastriningrum. (2009). Antropologi Kelas XII. Jakarta : Pusat Perbukuan,
Departemen Pendidikan Nasional.
Effendy, Heru. (2002). Mari Membuat Film. Yogyakarta: Panduan.
Effendy, Onong Uchjana. (2001). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Littlejohn, Stephen W. (1989). Theories of Human Communication 3th ed.
Belmont: Wadsworth Publishing Company.
Mulyana, Deddy. (2005). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.
Sumardjo, Jakob. (1992). Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Sumarno, M. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia
Supanggah, Rahayu. (2002). Bothekan Karawitan I. Jakarta: MSPI
Wallach, Jeremy & Clinton, Esther. (2013) “History,Modernity, and Music Genre
in Indonesia: Popular Music Genres in the Dutch East Indies and
Following Independence”, Asian Music Journal Vol. 44 Number 02.
21
Download