KECEMASAN MATEMATIKA (MATH ANXIETY) Secara harafiah makna kata cemas adalah tidak tenteram hati karena perasaan khawatir atau karena perasaan takut. Cemas sama dengan gelisah (KBBI, 2008:273). Kecemasan biasanya muncul dalam situasi psikologis yang tertekan. Spielberg (1966, dalam Slameto, 2003:185) membedakan kecemasan atas dua bagian: kecemasan sebagai suatu sifat (trait anxiety) dan kecemasan sebagai suatu keadaan (state anxiety). Kecemasan sebagai suatu sifat adalah kecendrungan pada diri seseorang untuk merasa terancam oleh sejumlah kondisi yang sebenarnya tidak berbahaya. Kecemasan sebagai suatu keadaan adalah suatu kondisi emosional atau keadaan sementara pada diri seseorang yang ditandai dengan perasaan tegang dan kekhawatiran yang dihayati secara sadar serta bersifat subjektif, dan meningginya aktifitas sistem saraf otonom. Sebagai suatu keadaan, kecemasan biasanya berhubungan dengan situasi-situasi lingkungan yang khusus, misalnya dalam sebuah kegiatan tampil di depan umum (pidato), dalam suatu les (pembelajaran) atau dalam suatu ujian. Rasa cemas sangat berpengaruh terhadap tingkah laku manusia. Secara alamiah, manusia yang merasa cemas atau takut, akan menghindari hal yang ditakuti tersebut. Demikian juga bagi siswa di sekolah. Prawitasari (2012:76) menyatakan bahwa untuk pengembangan potensi siswa, mampu guru dan pihak sekolah sebaiknya menciptakan iklim pembelajaran yang membuat siswa terbebas dari kecemasan, sekaligus menstimulasi mereka mengembangkan motivasi berprestasi tinggi dalam belajar. Kecemasan adalah sesuatu kondisi kurang menyenangkan, tidak ternteram yang di alami oleh individu dan dapat mempengaruhi keadaan fisiknya. Adanya kecemasan ditandai gejalagejala atau gangguan fisiologik seperti: gemetar, banyak keringat, mual, sakit kepala, sering buang-buang air, palpitasi (debaran atau berdebar-debar). Sesuai paparan di atas, maka wajar bila bagi siswa yang sedang belajar ada kecemasan terhadap matematika. Kecemasan matematika adalah perasaan cemas atau takut yang menimbulkan ketidak-tenteraman hati dalam hubungan dengan kegiatan-kegiatan matematika, misalnya kegiatan belajar-mengajar matematika, atau rasa cemas dalam mengikuti tes matematika. Freedman (2001, dalam Johnson, 2003:5) mendefinisikan kecemasan matematika sebagai "an emotional reaction to mathematics based on past unpleasant experience which harms future learning." Jadi kecemasan matematika merupakan reaksi emosional siswa berdasarkan pengalaman tidak menyenangkan sebelumnya, yang mengganggu proses belajar selanjutnya. Jika sebelumnya siswa memeperoleh hasil belajar yang baik maka kemungkinan ia terhindar dari rasa cemas yang berlebihan. Sebaliknya jika sebelumnya siswa memperoleh hasil belajar yang buruk, maka kemungkinan besar pada usaha belajar matematika selanjutnya ia mengalami tingkat kecemasan yang besar. Kecemasan matematika bisa menjadi fenomena umum dan menjadi hambatan dalam usaha belajar matematika. Kecemasan matematika bisa diikuti sikap menghindari matematika, yang menimbulkan math-phobia, yakni suatu penyakit mental dimana penderitanya takut pada matematika sebelum dia mencoba melakukan matematika. Dapat juga dikatakan bahwa kecemasan matematika adalah "perasaan tegang dan takut yang mengganggu kinerja matematika seorang siswa" Kecemasan matematika berkaitan dengan perasaan dan sikap negatif tentang matematika. Kecemasan ini dapat melanda manusia segala umur, mulai dari SD hingga perguruan tinggi. Dapat diduga bahwa dalam pembelajaran matematika, adanya kecemasan matematika dapat mengurangi kepercayaan diri dan motivasi siswa. Sehingga siswa cenderung menghindari matematika. Pikiran-pikiran negatif siswa menghantui diri mereka. Mereka cemas terhadap timbulnya konsekuensi buruk dalam melakukan atau menyelesaikan masalah matematika, termasuk ujian/tes matematika. 2. Faktor-faktor yang menimbulkan kecemasan matematika Dapat diduga bahwa seara umum, kecemasan matematika disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor intern siswa dan faktor ekstern. Faktor intern berhubungan dengan tingkat inteligensi, disiplin belajar/disiplin diri, dan persepsi siswa terhadap matematika. Faktor ekstern bisa berasal dari guru, masyarakat/lingkungan dan kebijakan sekolah. Beberapa hal yang secara teoritis diduga sebagai faktor penyebab timbulnya kecemasan matematika dijelaskan sebagai berikut: 1. Sifat matematika yang abstrak. Berbeda dengan ilmu pengetahuan lain, matematika tidak mempelajari objek-objek yang secara langsung dapat ditangkap oleh indera manusia. Substansi matematika adalah benda-benda pikir yang bersifat abstrak. Walaupun pada awalnya matematika lahir dari hasil pengamatan empiris terhadap benda-benda konkret (geometri), namun dalam perkembangannya matematika lebih memasuki dunianya yang abstrak. 2. Belajar matematika lebih mengandalkan penalaran dan logika daripada sekedar pengamatan indra Objek kajian matematika adalah fakta, konsep, operasi dan prinsip yang kesemuanya itu berperan dalam membentuk proses berpikir matematis, dengan salah satu cirinya adalah adanya alur penalaran yang logis. Jika dibandingkan dengan mata pelajaran lain, matematika relatif dianggap lebih sulit, karena dibutuhkan kemampuan berpikir tinggi dalam mempelajarinya. 3. Persepsi siswa dan persepsi masyarakat bahwa matematika itu sulit Persepsi umum bahwa matematika itu ilmu paling sulit, telah mengkooptasi pikiran sebagian anak. Siswa yang sedang belajar matematika ikut menilai bahwa matematika itu sulit. Karena lebih dahulu menganggap sulit, maka siswa mengalami apa yang disebut menyerah sebelum mencoba. Pandangan bahwa matematika merupakan ilmu yang kering, abstrak, teoritis, banyak rumus yang sulit dan membingungkan, yang didasarkan atas pengalaman kurang menyenangkan ketika belajar matematika di sekolah, telah membangun persepsi negatif pada diri siswa. Hal ini telah membangun rasa takut dan memicu sikap menghindar dari matematika. Jika siswa memiliki persepsi yang positif terhadap matematika maka kemungkinan tingkat kecemasannya kecil. Sebaliknya jika siswa menganggap matematika terlalu sulit, maka ia akan takut dan cemas pada matematika. 4. Tingkat inteligensi siswa Siswa dengan tingkat inteligensi bagus akan mudah memahami materi matematika atau mudah mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini cenderung tidak cemas terhadap matematika. Sebaliknya, jika tingkat inteligensi siswa rendah, maka ada kemungkinan ia sulit memahami materi matematika dan sulit melakukan sesuatu yang berhubungan dengan matematika. Siswa seperti ini akan cemas dengan matematika. 5. Disiplin belajar/disiplin diri Jika siswa disiplin dalam belajar, maka ia akan melakukan belajar secara kontinu dan teratur. Kebiasaan ini membuat siswa mudah menguasai materi matematika dan ia tidak akan terlalu cemas. 6. Kekeliruan metode pembelajaran dan sikap guru Ada fenomena umum bahwa pembelajaran matematika didominasi oleh guru. Guru menjelaskan materi pelajaran dan membahas contoh soal. Kemudian memberikan soal latihan kepada siswa. Pembelajarn seperti ini tentu kurang bermakna, dan membuat siswa cenderung mengikuti contoh saja. Siswa menjadi manja dan pikirannya tidak berkembang, siswa tidak mendapat kesempatan mengeksplorasi dan mengekspresikan kemampuannya. Jika menemukan soal yang lebih sulit, maka siswa merasa tertekan. Pembelajaran matematika tidak menjadi kesempatan untuk melatih olah pikir, melainkan matematika dipahami dengan cara menghafal. Kadang-kadang jika siswa tidak mampu mengerjakan soal, maka guru marah dan memberikan punishment kepada siswa. Tindakan ini justru menambah ketakutan siswa terhadap matematika. Siswa akan cemas untuk mengikuti pembelajaran matematika selanjutnya. Secara psikologis, desain pembelajaran sebenarnya merupakan bentuk intervensi terencana. Intervensi ini bertujuan positif, yakni upaya mengubah perilaku, pikiran, atau perasaan siswa dalam belajar. Dalam belajar, terjadi interaksi sosial dua arah atau multi arah, sehingga pembelajaran selaku intervensi berfungsi sebagai support, karena merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengubah perilaku atau keadaan sosial dengan sengaja menuju tujuan yang dikehendaki. Guru mendesain inervensi secara professional, namun kadang-kadang guru tidak dapat melepaskan diri dari ego sebagai manusia, yang bisa menuntun dia untuk bertindak sesuai kehendaknya. 7. Tuntutan untuk mendapatkan nilai yang baik Adalah kebiasaan umum bahwa guru dan orang tua menghendaki siswa memperoleh prestasi belajar yang baik. Jika siswa mendapat nilai rendah, ia dimarahi atau diolok. Ini mengakibatkan siswa merasa tertekan dan menganggap dirinya bodoh. Tanpa disadari, hal ini menjadi beban atas diri siswa. Siswa akan cenderung berorientasi pada hasil atau nilai yang tinggi dalam matematika, dengan tujuan asal bapak senang, terhindar dari hukuman dan olokan. Siswa mengabaikan proses belajar. Dalam hal ini siswa bisa saja mengandalkan segala cara untuk memperoleh nilai, misalnya dengan menyontek, mengutip pekerjaan teman, tidak peduli apakah pekerjaan tersebut benar atau salah. Siswa mengalami paranoia yakni siswa berpikir bahwa semua orang tahu jawaban dari soal matematika kecuali dirinya. Meskipun nilai yang diperoleh baik, tapi pengetahuan yang dikuasainya sangat minim, karena secara konseptual memang sebenarnya anak tidak belajar, tidak paham materi yang dipelajari. Syah (2012:184-185) menjelaskan adanya faktor-faktor yang mempengaruhi kesulitan belajar yang dapat menimbulkan kecemasan, yaitu: a. Faktor Internal Siswa, Faktor internal meliputi gangguan atau ketidakmampuan psiko-fisik siswa yang dapat bersifat kognitif (rendahnya intelektual/ inteligensi siswa), afektif (labilnya emosi dan sikap), dan psikomotor (terganggunya alat indera siswa). b. Faktor Eksternal Faktor eksternal meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar siswa (lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah); c. Kejenuhan Belajar Kejenuhan belajar yaitu rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi tidak mendatangkan hasil (Reber dalam Syah, 2012). d. Kelelahan Kelelahan dapat menjadi faktor pemicu kecemasan matematika karena siswa tidak dapat melanjutkan proses belajarnya yang sudah pada batas kemampuan jasmaniahnya. Di kelas, guru selaku pendidik profesional, sedapat mungkin memegang prinsip ‘tidak satu orang siswa pun ditinggalkan’, walaupun sangat sulit untuk mengakomodir semua kebutuhan bimbingan sesuai kondisi internal siswa. Guru perlu mengetahui tingkat kecemasan siswa, tetapi bukan untuk membuat perlakuan diskriminasi dalam pembelajaran. Informasi tingkat kecemasan yang diperoleh dijadikan modal untuk menyiapkan tindakan meminimalisir hambatan pembelajaran secara keseluruhan. Mendukung penjelasan faktor-faktor penyebab kecemasan matematika di atas, Erick Jensen (2008:197) menyarankan guru untuk menghindari tindakan-tindakan berikut: (1) membandingkan siswa yang satu dengan siswa yang lain, (2) mengajar untuk mengerjakan ujian, (3) mengkhawatirkan peringkat sekolahnya, (4) membuat diferensiasi dalam pembelajaran dengan dalil memenuhi kebutuhan semua siswa, (5) melayani tuntutan orang tua yang ingin kebutuhan anak mereka terpenuhi, dan (6) berusaha menyenangkan hati yayasan sekolah yang menginginkan nilai tes yang lebih tinggi. (http://tyanfedi.blogspot.com/2013/11/kecemasan-matematika-math-anxiety.html)