TINJAUAN PUSTAKA Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang banyak terdapat dalam tumbuh-tumbuhan hijau. Diperkirakan 2% dari seluruh karbon yang difotosintesis oleh tumbuhan diubah menjadi flavonoid atau senyawa yang berkaitan dengannya (Markham 1988). Lebih lanjut disebutkan bahwa sebenarnya flavonoid terdapat dalam semua tumbuhan hijau, sehingga pastilah ditemukan pula pada setiap telaah ekstrak tumbuhan. Flavonoid terdiri atas beberapa kelas antara lain; antosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, flavanon, kalkon dan auron, serta isoflavon (Harborne 1988), yang masingmasing kelas terdiri atas beberapa senyawa. Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon di mana dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propan (C3), membentuk konfigurasi C6-C3-C6, yang dapat menghasilkan 3 jenis struktur, yakni 1,2-diaril propan atau flavonoid, 1,2-diaril propan atau isoflavonoid dan 1,1 diaril propan atau neoflavonoid. Senyawa-senyawa flavonoid dapat mempunyai kerangka 2-fenilkroman, dimana posisi orto dari cincin A dan atom karbon yang terikat pada cincin B dari 1,3-diaril propan dihubungkan oleh jembatan oksigen, sehingga membentuk suatu cincin heterosiklik yang baru (cincin C) seperti pada gambar 1.. B C3 A C1 C2 Flavonoid A C1 Isoflavonoid C3 A C3 C2 C1 B 1 C2 A B Neoflavonoid O C C2 C3 C 4 B 2-fenilkroman Gambar 1 Konfigurasi C6-C3-C6 Kerangka Dasar Flavonoid. Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesisnya sama. Kerangka dasar karbon dari flavonoid dihasilkan dari kombinasi antara dua jalur biosintesa yang utama untuk cincin aromatik, yakni jalur shikimat dan jalur asetat malonat (Gambar Lampiran 10). Cincin A dari struktur flavonoid berasal dari jalur poliketida, yakni kondensasi dari tiga unit asetat atau malonat, sedangkan cincin B dan tiga atom karbon dari rantai propan berasal dari jalur fenilpropanoid (jalur shikimat). Telah banyak penelitian yang dilaksanakan tentang penggunaan senyawa flavonoid. Diantara senyawa-senyawa antioksidan alami, yang terpenting adalah senyawa golongan flavonoid. Menurut Bartolone et al. (2005) antigenotoksisitas sampel tanaman adalah bagian yang mendukung adanya senyawa polifenol dalam tanaman dan kapasitas antioksidan mereka. Beberapa studi in vitro menunjukkan aktivitas antioksidan flavonoid, yaitu mencegah bergabungnya oksigen dengan zat lain sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada sel-sel tubuh (Polagruto et al. 2003; Liu dan Guo 2006). Senyawa flavonoid bersifat antibakteri, antiinflamasi, antialergi, antimutagen, antineoplastik dan antitrombosit (Miller 1996; Nakamura et al. 2000; Trouilas et al. 2006; Lin et al. 2006). Senyawa flavonoid juga dapat meningkatkan aktivitas enzim lipase (Darusman et al. 2001) Antosianin termasuk golongan flavonoid dan merupakan pigmen warna pada tumbuhan. Warnanya sangat dipengaruhi oleh perubahan pH. Ciri umum antosianin, yaitu berwarna merah dalam larutan asam, violet dalam larutan netral dan biru dalam larutan basa. Choung et al. (2001) melaporkan bahwa antosianin memiliki efek farmakologi dan telah digunakan di dalam perawatan berbagai penyakit inflamasi serta dapat mengurangi resiko serangan jantung karena sifat antioksidannya. Suprapta (2004) juga melaporkan bahwa antosianin dapat berfungsi sebagai pencegah tumbuhnya bibit penyakit kanker. Nikolova et al. (2004) melaporkan bahwa senyawa aglikon flavonoid, apigenin dan kuersetin dapat berfungsi sebagai senyawa antioksidan dan antifungi. Kuersetin memiliki aktivitas biologi pelindung kardiovaskular, antikanker, antiinflamasi dan memiliki kapasitas sebagai pengkelat ion logam (Nakamura et al. 2000; Liu et al. 2006). Kuersetin merupakan salah satu zat aktif yang memiliki aktivitas antioksidan tinggi. Jika vitamin C mempunyai aktivitas antioksidan 1, maka kuersetin memiliki aktivitas antioksidan 4,7. Kuersetin dan rutin memiliki aktivitas menangkap radikal bebas, antibakteri, melindungi kerusakan DNA, antitumor, antiinflamasi dan antiagregasi platelet (Lin et al. 2006). Dosis 1,0 g/kg kuersetin dan rutin yang diberikan kepada tikus secara oral yang diamati selama 22 hari memperlihatkan sifat antioksidan, tetapi tidak menunjukkan gejala toksikologi (Nakamura et al. 2000). Ekstrak etanolik daun jambu biji (yang telah dikeringkan) menunjukkan sifat seperti morfina dalam menghambat pelepasan asetilkolina karena adanya kandungan kuersetin dan kuersetin 3-arabinosida dimulai dari kadar 1,6 μg/mL. Selain itu ekstrak metanolik atau fraksi ekstrak metanolik daun jambu biji yang mengandung glikosida kuersetin memiliki efek spamolitik terhadap ileum tikus atau marmut terisolasi (Hargono 2003). Di lingkungan farmasi senyawa-senyawa isoflavon mempunyai kegunaan cukup banyak, antara lain sebagai bahan obat yang berfungsi menghambat pertumbuhan sel kanker, karena sifat antioksidan yang dimilikinya (Swanson et al. 2004). Data studi epidemiologi dan in vitro menunjukkan isoflavonoid genistein dan daidzein juga flavonol kuersetin dan kaemferol dapat bersifat melindungi tulang punggung setelah menopause, meskipun efek mekanisme secara fisiologi tidak dipahami dengan baik (Pang et al. 2006). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonyugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Data spektrum UV-tampak dapat digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Disamping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi, yang berarti secara tidak langsung berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksil fenol (Markham, 1988). Senyawa flavonoid biasanya mempunyai spektrum yang khas, yang terdiri atas dua serapan maksimum pada dua panjang gelombang, yakni pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedua pita serapan ini, masingmasing berhubungan dengan resonansi gugus sinamoil yang melibatkan cincin B dan gugus benzoil yang melibatkan cincin A dari molekul flavonoid (Gambar 2). B O + O A A R O B O A - + B R O _ R O Gambar 2 Resonansi pada Molekul Flavonoid. Penambahan gugus fungsi yang dapat menyumbangkan elektron seperti gugus hidroksil atau gugus metoksil pada cincin B akan meningkatkan peranan sinamoil terhadap resonansi molekul sehingga mengakibatkan perpindahan batokromik atas pita I. Penambahan gugus hidroksil atau gugus metoksil pada cincin A akan menaikkan panjang gelombang dari serapan maksimum serta intensitas dari serapan pita II (Achmad 1986). Tanaman Daun Dewa Tanaman daun dewa mempunyai nama latin Gynura pseudochina (Lour) DC. Tanaman ini mempunyai beberapa sinonim, yaitu Gynura segetum (Lour) Merr, dan Gynura sarmentosa BI. Menurut Heyne (1987), tanaman ini berasal dari Birma dan Cina. Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan nama daerah beluntas cina (Sumatera), daun dewa (Melayu), tigel kio (Jawa). Daun dewa banyak digunakan untuk pengobatan, seperti luka, kejang pada anak, digigit ular atau binatang lain, membuang kutil, mencegah stroke, antikanker, mencairkan darah membeku pada luka sekaligus menghentikan pendarahan, membersihkan racun, dan mengatasi peradangan pada jaringan tubuh, seperti radang pankreas pada penderita diabetes militus, dan infeksi herves (Soedibyo 1998; Lemmens 2003; Kardinan dan Taryono 2003). Hasil beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa spesies gynura menunjukkan aktivitas antiagregasi-platelet (Jong dan Hwang 1997, Lin et al. 2000). Pada konsentrasi 3% b/v ekstrak etil asetat dan ekstrak n-Butanol daun dewa menunjukkan daya antioksidan (Alisyahbana et al. 2003). Ekstrak etanol tanaman daun dewa mempunyai aktivitas sitotoksik terhadap sel lestari HeLa dengan menghambat pertumbuhan sel sebesar 56% dibanding kontrol pada konsentrasi 1000 ppm (Sajuthi et al. 1999). Klasifikasi dan Morfologi Menurut Winarto (2003), tanaman daun dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyita Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Asterales Suku : Asteraceae (Compositae) Marga : Gynura Jenis : Gynura pseudochina (Lour) DC Berdasarkan penggolongan secara taksonomi, tanaman daun dewa termasuk famili Asteraceae (Compositae), marga Gynura yang merupakan tanaman terna, tinggi mencapai 40-75 cm dan tumbuh tegak. Batang pendek dan lunak, berbentuk segi lima, penampang lonjong, berambut halus dan berwarna ungu kehijauan. Daunnya termasuk tunggal, tersebar mengelilingi batang, bertangkai pendek, berbentuk bulat lonjong, berbulu halus, ujung lancip, tepi bertoreh, pangkal meruncing, pertulangan menyirip, berwarna hijau, panjang daun sekitar 20 cm dan lebar 10 cm. Bunganya termasuk bunga majemuk yang tumbuh di ujung batang, bentuk bongkol, berbulu, kelopak hijau berbentuk cawan, benang sari kuning dan berbentuk jarum. Akarnya merupakan akar serabut, berwarna kuning muda, membentuk umbi sebagai tempat cadangan makanan (Winarto 2003; Heyne 1987). Gambar 3 Tanaman Daun dewa. Tanaman daun dewa dapat dikembangbiakkan melalui umbi atau setek batang. Bagian tanaman ini yang paling banyak dimanfaatkan untuk bahan baku obat-obatan adalah daun dan umbi. Kandungan Kimia Daun Dewa Daun dan umbi tanaman daun dewa mengandung bahan aktif seperti flavonoid, saponin, terpenoid, tanin, alkaloid, dan minyak atsiri (Ratnaningsih et al. 1985; Depkes RI 1989; Wijayakusuma 1992; Siregar dan Utami 2000; Winarto 2003). Hasil penelitian Agusta et al. (1998) menunjukkan daun dewa mengandung 0,05% minyak atsiri dari bagian daunnya yang terdiri atas 22 komponen dan didominasi oleh senyawa seskuiterpena. Di samping itu, penelitian Soetarno et al. (2000) menunjukkan senyawa flavonoid yang terkandung dalam daun dewa termasuk golongan glikosida kuersetin. Selain itu, juga ditemukan ada delapan asam fenolat, diantaranya asam klorogenat, asam kafeat, asam p-kumarat, asam p-hidroksi benzoat dan asam vanilat, sedangkan tiga asam fenolat lainnya belum teridentifikasi. Winarto (2003) menyatakan kandungan kimia yang terdapat pada tanaman daun dewa diantaranya berupa senyawa flavonoid, asam fenolat, asam kafeat, asam klorogenat, asam p-kumarat, asam p-hidroksibenzoat dan asam vanilat. Kandungan dan manfaat senyawa flavonoid, saponin dan minyak atsiri diindikasikan dapat menurunkan kolesterol darah. Minyak atsiri pada daun dewa diduga dapat merangsang sirkulasi darah, juga bersifat analgetik dan antiinflamasi. Di samping itu, minyak atsiri dan flavonoid juga dapat bersifat sebagai antiseptik. Selain senyawa di atas, pada daun dewa juga ditemukan senyawa alkaloid, tanin, dan polifenol. Pewnim dan Thadaniti (1987) melaporkan bahwa dalam tanaman daun dewa terkandung enzim dengan kadar yang tinggi. Beberapa hasil penelitian lain menunjukkan bahwa spesies gynura mengandung beberapa komponen senyawa seperti iridoit, kumarin terfenil, steroid spirostanol, pirolizidin alkaloid, purin, pirimidin dan kromanon (Jong dan Hwang 1997; Lin et al. 2000). Ekstraksi flavonoid dari Tanaman Daun Dewa Flavonoid merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam tanaman daun dewa. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran yang sering terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas. Flavonoid termasuk antosianin, merupakan senyawa polar, sehingga dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol, air dan pelarut polar lainnya. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid menjadi mudah larut dalam air, sehingga campuran pelarut di atas dengan air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida (Markham 1988). Menurut Markham (1988), ekstraksi paling baik untuk flavonoid dari bahan tumbuhan yang telah digiling dilakukan dua tahap. Pertama kali dengan pelarut MeOH:H2O (9:1) dan kedua kali dengan MeOH:H2O (1:1), ekstrak yang didapat disatukan dan diuapkan sampai hampir semua MeOH menguap. Cara ekstraksi ini cocok untuk kebanyakan senyawa flavonoid, tetapi tidak untuk antosianin atau flavonoid yang kepolarannya rendah. Ekstraksi antosianin biasanya dilakukan dengan air, air yang mengandung SO2 dan alkohol yang diasamkan, tetapi pelarut metanol yang diasamkan dengan HCl lebih efektif (Markakis 1982). Ekstraksi antosianin dari bahan nabati umumnya dilakukan dengan menggunakan larutan pengekstrak asam klorida dalam metanol (Francis 1982; Markham 1988; Jackman dan Smith 1996). Asam klorida dalam pelarut metanol akan mendenaturasi membran sel, kemudian melarutkan pigmen antosianin keluar dari sel. Francis (1982) mengemukakan untuk kepentingan penelitian dan pangan, konsentrasi HCl 1% dalam larutan pengekstrak sudah mencukupi jika proses ekstraksi dilakukan selama 24 jam pada suhu 4 oC. Uji Bioaktivitas Hasil penelusuran komponen kimia tertentu dari tumbuhan, hewan atau mikroba, perlu dilanjutkan dengan uji bioaktivitas untuk mengetahui potensi bioaktivitas dari suatu senyawa hasil isolasi sehingga dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Beberapa bioindikator yang lazim digunakan yaitu A. salina Leach, Calandra oryzae Linn, Epilachna sparsa dan Sitophyllus oryzae Linn (McLaughin et al. 1991) Uji BSLT Metode Brine Shrimp merupakan metode uji hayati yang banyak digunakan untuk mengetahui potensi bioaktivitas suatu sampel. Sebagai hewan uji digunakan larva udang A. salina Leach. Keuntungan metode ini adalah cepat, tidak mahal, tidak membutuhkan peralatan yang rumit, mudah dilakukan, hasilnya dapat dipercaya, dan memiliki spektrum aktivitas farmakologi yang luas (Meyer et al. 1982). Uji ini merupakan uji pendahuluan dengan mengamati tingkat kematian larva udang yang disebabkan oleh ekstrak sampel. Data yang diperoleh diolah untuk mendapatkan nilai LC50 pada selang kepercayaan 95%. Menurut Meyer et al. (1982), senyawa yang mempunyai nilai LC50 lebih kecil dari 1000 ppm dikatakan memiliki potensi sebagai senyawa bioaktif. Hasil uji assay untuk mendeteksi sitotoksisitas secara in vitro terhadap 20 spesies organisme laut (marine natural products), menunjukkan hasil yang konsisten, antara uji toksisitas (penghambatan pertumbuhan) terhadap sel lung karsinoma A-549 dan kolon karsinoma HT-29 dengan uji terhadap kematian larva A. salina. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang konsisten antara sitotoksitas dan brine shrimp lethality dalam ekstrak tanaman, sehingga metode BSLT dapat digunakan pada uji bioassay untuk mengetahui aktivitas farmakologi dalam marine natural products (Carballo et al. 2002). Metode BSLT telah lama digunakan dalam berbagai riset ilmiah, seperti Lembaga Kanker Nasional (The National Cancer Institute) Indonesia dalam menapis komponen antineoplastik dari berbagai jenis tanaman. Hasil penyelidikannya menunjukkan bahwa kebanyakan tanaman yang mempunyai toksisitas tinggi terhadap larva A. salina adalah tanaman yang mengandung komponen antineoplastik (Leswara et al. 1986). Isolat flavonoid dari herba benalu mangga (Dendropthae petandra), mempunyai kemampuan sitotoksitas terhadap larva A. salina. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Sukardiman et al. (2006) membuktikan bahwa pada dosis 12,2 mg/mL isolat flavonoid dari herba benalu mangga mampu menghambat pertumbuhan sel kanker pada mencit betina yang menderita kanker di daerah interskapuler (tengkuk) berdasarkan hasil induksi dengan benzopirena. Uji Antikhamir Saccharomyces cerevisiae S. cerevisiae tergolong khamir yang biasa dikenal dengan ragi kue, dan sebagai produsen utama penghasil alkohol. Khamir ini dapat digunakan sebagai salah satu model sel eukariot di mana sekuens genom lengkapnya sangat bermanfaat sebagai referensi bagi sekuens gen manusia dan makhluk eukariot lainnya (Rempola et al. 2001). S. cerevisiae merupakan suatu genus khamir Saccharomyces dengan famili Endomicetaceae sub famili Saccharomycoideae, berkembang biak dengan tunas, tetapi dapat juga berkembangbiak dengan askuspora yang terbungkus dalam askus (Frankin 2002). S. cerevisiae memiliki warna krem sehingga dapat dilihat secara visual pada permukaan media tumbuh. S. cerevisiae dapat digunakan sebagai sel eukariot untuk uji antikanker, karena dapat dimanipulasi sehingga merupakan model yang sempurna untuk mempelajari permasalahan pada eukariot. Pembentukan sel S. cerevisiae dilakukan oleh banyak gen, diantaranya gen cdc28, yang memulai replikasi DNA atau mitosis di mana produknya adalah suatu protein kinase, yang dimiliki oleh semua sel eukariot (Wolfe 1993). Salah satu uji antikanker yang didasarkan pada interaksi dengan DNA dilakukan dengan cara melihat kemampuan senyawa uji untuk menghambat topoisomerase I dan II yang digunakan pada replikasi DNA. Salah satu cara untuk menguji kemampuan inhibisi suatu senyawa terhadap topoisomerase ialah dengan menguji kemampuan senyawa itu dalam menghambat pertumbuhan khamir S. cerevisiae.