BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat ditinjau dari dua macam konsep, yaitu konsep biologis dan konsep gender (Partini, 2013). Konsep biologis terlihat dari perbedaan fisik dan jenis kelamin. Sedangkan konsep gender lebih kontekstual, dapat berubah-ubah seiring waktu dan berbeda-beda antar kultur satu dengan kultur lainnya. Gender dalam A Glossary of Terms in Gender and Sexuality yaitu berhubungan dengan konstruksi sosial, perubahan waktu, serta budaya yang bervariasi1. Pada dasarnya gender berkaitan dengan jenis kelamin, akan tetapi gender bukan jenis kelamin. Pengikut teori nature mungkin akan setuju bahwa gender sama dengan jenis kelamin. Mengingat pendapat teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan peran lakilaki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis (Arif Budiman, 1982). Konteks tersebut tepat pada saat zaman purba, akantetapi tidak pada kekinian. Zaman purba menuntut perburuan dan bertahan hidup, dengan kondisi perempuan yang hamil dan melahirkan membuatnya harus istirahat dari perburuan dan pekerjaan berat lainnya. Konsep tersebut berlangsung lama hingga ribuan tahun. Hal tersebut terjadi akibat proses sosialisasi dari generasi satu ke generasi selanjutnya, menghasilkan konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Argumen tersebut ditegaskan dalam teori nurture bahwa perbedaan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin merupakan hasil proses belajar dari lingkungannya (Arif Budiman, 1982). Sayangnya konsep tersebut memicu adanya stereotype, dominasi-subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan pada perempuan (Siti dan Anik, 2005). Stereotype tersebut yaitu perempuan hanya bisa menghasilkan anak, menjaga anak, serta mengurus rumah. Tidak jarang kita temui perempuan yang dilarang bekerja atau berkarir, bahkan juga dilarang mendapatkan pendidikan atau keterampilan. Parahnya, perempuan dianggap lebih lemah daripada laki-laki, sehingga kondisi tersebut memicu adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan (Siti dan Anik, 2005; IP4 Lappera, 2001). 1 The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health. 2007.A Glossary of Terms in gender and Sexsuality. Thailand: The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health c/o Center for Health Policy Studies. Dominasi dalam konteks terkecil yaitu sistem keluarga, istilah lainnya yaitu sistem patriarkhi. Sistem patriarkhi yaitu laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (Partini, 2013; IP4 Lappera, 2001). Sistem yang banyak dipakai di Indonesia yaitu sistem patriarkhi. Sistem patriarkhi merupakan sebuah pilihan, akan tetapi yang dikritisi dari sistem ini adalah implementasi kepala rumah tangga yang lebih dominan dalam proses pengambilan keputusan, dan ibu rumah tangga yang lebih patuh kepada kepala rumah tangga (IP4 Lappera, 2001). Sayangnya hal tersebut berimbas pada sistem lainnya, seperti sistem perekonomian atau sistem politik dan pemerintahan. Sebagian besar posisi strategis seperti posisi pemimpin lebih banyak atau hampir semua dikuasai laki-laki. Kondisi demikian terjadi akibat efek domino dari stereotype dan dominasi atas konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Konsep yang sudah ada sengaja dilanggengkan oleh sejumlah oknum2 dengan menyepakati serta mereproduksi ulang pengetahuan tersebut. Kondisi tersebut merupakan tindakan politik yang direncanakan (Arif Budiman, 1982). Persoalan perempuan bukan hanya menyoal konstruksi sosial, juga persoalan politik. Terutama dalam konteks perebutan kekuasaan, ideologi gender erat kaitannya dengan ideologi politik (Partini, 2013). Pada dasarnya politik merupakan usaha menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima oleh sebagian besar warga demi menggapai kehidupan yang lebih baik (Miriam Budiarjo, 2008). Demi menggapai kehidupan yang lebih baik diperlukan aktor yang berperan aktif menjalankan tugas tersebut. Secara ideal keseluruhan elemen suatu negara sebaiknya menjadi aktor agar tercapai keseimbangan dan tidak ada dominasi satu sama lain (IP4 Lappera, 2001). Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri aktor terpenting dalam proses dan dinamika suatu lembaga adalah pemimpin. Posisi pemimpin merupakan posisi startegis karena memiliki wewenang dalam pengambilan kebijakan (Miriam Budiarjo, 2008). Sekalipun demikian, seorang pemimpin yang bijak harus mempertimbangkan kebijakan secara matang atas kemungkinankemungkinan yang ada. Proses pertimbangan kebijakan tersebut biasanya melalui pemungutan suara atau musyawarah. Selain bijak, seorang pemimpin juga harus memiliki kepemimpinan yang mumpuni. Kepemimpinan yang mumpuni dapat dilihat dari pengertian kepemimpinan itu sendiri, misal Paul Harsey & kenneth H. Blanchard (1982) seorang ahli kajian kepemimpinan 2 Oknum dalam hal ini kaum laki-laki, mengingat mereka yang diuntungkan dalam kondisi demikian. mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau kelempok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu3. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang mumpuni dapat dilihat dari seberapa jauh seorang pemimpin memiliki pengaruh. Pada dasarnya, setiap individu memiliki jiwa kepemimpinan. Akan tetapi, setiap individu memiliki cara atau pola kepemimpinan masing-masing. Kita mengenalnya sebagai model-model kepemimpinan, misal kepemimpinan otoriter dan demokratis, transaksional dan transformasional, feminim dan maskulin, serta masih banyak lainnya. Banyak penelitian menghasilkan bahwa kepemimpinan erat kaitanya dengan gender, seperti halnya kepemimpinan perempuan yang banyak didasari oleh sifat keibuan, maka kepemimpinan perempuan dikenal sebagai kepemimpinan feminisme (IP4 Lappera, 2001). Selain itu, beberapa penelitian terkait kepemimpinan dan gender mendukung argumen tersebut, misal penelitian oleh Eagly dan Jhonson (1990) terhadap 162 pemimpin perempuan dan laki-laki bahwa pemimpin perempuan lebih demokratis daripada laki-laki; penelitian Simatupang (2009) bahwa 72,2% responden menyatakan perempuan mengembangkan kepemimpinan yang berbeda dengan laki-laki; penelitian Mangunsong (2009) terhadap pemimpin perempuan di pemerintah Sumatera Utara mengungkapkan bahwa sebagian besar pemimpin perempuan menerapkan kepemimpinan transformasional sedangkan pemimpin laki-laki menerapkan kepemimpinan transaksional4. Kepemimpinan terbentuk berdasarkan kesadaran individu dan masyarakat. Banyak dari individu yang kesadarannya dibentuk masyarakat. Walaupun demikian, terdapat proses dialektika pada individu untuk menentukan tindakan. Akan tetapi, kenyataannya masyarakat berhasil membuat individu berdialektika artinya individu dipaksa memikirkan kembali tindakannya agar sesuai dengan bentukan masyarakat. Dalam konteks kepemimpinan dan gender, Desa merupakan pilihanmenarik. Desa merupakan kesatuan masyarakat dengan situasi dan kondisi pemerintahan yang berbeda-beda, tergantung konteks sejarah dan norma yang terbentuk. Desa dengan lokasi tertentu memiliki identitas unik, struktur sosial, sistem sosial serta budaya yang unik. Perbedaan antara Desa 3 Sutarto. 2006. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sumber: http://litbang.patikab.go.id/index.php/artikel-a-jurnal/117-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalamsudut-pandang-gender/104-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudut-pandang-gender. diakses pada tanggal 29/12/2014 pukul 19.35 WIB. 4 dan kota yang masih terasa kuat yaitu adat istiadat dan budaya di Desa, salah satunya sistem patriarkhi. Desa merupakan salah satu struktur pemerintahan di Indonesia. Desa sebagai bagian dari pemerintahan Indonesia memiliki wewenang dan struktur pemerintahan. Struktur pemerintahan yang ada di Desa meliputi kepala Desa, perangkat Desa, serta masyarakat yang mendukung pembangunan Desa. Pembangunan Desa menjadi agenda penting pembangunan Nasional, mengingat Desa merupakan pondasi utama Nasional. Argumen tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah pedesaan, artinya sebagian besar penduduk Indonesia berada di Desa. Sehingga, penguatan kapasitas kekuatan dan kesadaran Desa adalah penguatan kapasitas kekuatan dan kesadaran Negara. Pemerintah Nasional maupun Daerah selalu mendukung adanya penguatan kapasitas dan pembangunan Desa. Hal tersebut dibuktikan dengan ditetapkannya UU No. 6 tahun 2104 tentang Desa yang dilaksanakan pada tahun 2015. Perubahan signifikan yang terjadi dari PP No. 72 tahun 2005 menjadi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yaitu: - Masa jabatan kepala Desa selama 6 tahun dan dapat menjadi kepala Desa lagi sebanyak tiga kali baik berturut turut atau tidak. Berbeda dengan sebelumsebelumnya, yang mana kepala Desa hanya dapat menjadi kepala Desa lagi sebanyak satu kali. - Kepala desa dan perangkat Desa mendapatkan penghasilan tetap dari anggaran dana Desa, yang mana sebelumnya tergantung pada pendapatan Desa. - Keuangan Desa bersumber dari alokasi dana Desa yang ditetapkan dalam APBN yang ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota. Perubahan signifikan yang menjadi perhatian banyak kalangan terjadi pada pasal alokasi dana Desa dari APBN sebesar 10% dari Kabupaten/ Kota, berikut bunyi pasal tersebut: 1. Pasal 1 ayat 8 “Dana desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang diperuntukan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten /kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.” pembangunan, pembinaan 2. Pasal 1 ayat 9 “Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD, adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/ kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.” 3. Pasal 1 ayat 10 “Anggaran pendapatan dan belanja Desa, selanjutnya disebut APB Desa, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa. Alokasi Dana Desa dibagi rata dengan pertimbangan berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, angka kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis. Dalam Budget in Brief APBNP 2015 dijelaskan bahwa alokasi dana Desa mendapat tambahan sebesar 11,7 triliun, sehingga pada tahun 2015 alokasi dana desa mencapai 20,8 triliun dan dibagi ke seluruh Desa di Indonesia, setiap Desa paling tidak akan mendapatkan dana kurang lebih sebesar 1,4 miliar tergantung pertimbangan yang telah disebutkan diatas. Sedangkan peraturan alokasi dana Desa untuk belanja Desa telah ditetapkan dalam APBD Desa yang digunakan dengan ketentuan sesuai pasal 100 UU No. 6 tahun 2014, sebagai berikut: a. Paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa. b. Paling banyak 30% (tiga puluh prseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa digunakan untuk: 1. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa; 2. Operasional Pemerintah Desa; 3. Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa 4. Insentif rukun tetangga dan rukun warga. Desa memiliki harapan dan tantangan besar dalam pengelolaan alokasi dana Desa. Harapan untuk mempermudah pembangunan Desa, penguatan kapasitas Desa dan berbagai kebutuhan Desa yang selama ini tidak terpikirkan pemerintah pusat akan terpenuhi. Akan tetapi, tantangan besar dalam pengelolaan alokasi dana desa yang efektif dan efesien, terlebih tantangan moral dalam upaya mencegah korupsi juga sedang menunggu. Banyak kalangan atau Lembaga Swadya Masyarakat baik Lokal maupun Nasional telah mengawal Desa terkait isu tersebut. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya kembali kepada empunya yaitu aktor dari Desa tersebut, terutama kepala Desa sebagai pemimpin yang memiliki posisi srategis. Aktor-aktor yang terlibat bukan hanya pejabat atau aparat Desa juga warga setempat. Komunikasi antara pejabat Desa dengan warga setempat menjadi penentu arah kebijakan. Walaupun demikian, tidak dipungkiri bahwa pemimpin tetap menjadi kunci utama penggerak suatu kebijakan. Pemimpin dalam hal ini kepala Desa merupakan aktor yang mengendalikan proses dan dinamika kebijakan suatu lembaga. Mereka dapat mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan tujuan bersama, bahkan dapat mempengaruhi orang lain untuk bertindak tidak sesuai dengan kehendak mereka. Cara memimpin sesorang dalam hal ini kepala Desa menentukan proses dan dinamika keberhasilan atau kelancaran suatu kelompok atau lembaga atau untuk mencapai tujuan bersama sesuai peraturan perundang-undangan. Adipala merupakan salah satu kecamatan di kota Cilacap dengan beberapa Desa yang menarik untuk diteliti. Desa tersebut yaitu Desa Adireja Kulon dan Desa Adireja Wetan. Selain mempertimbangkan konteks penelitian yaitu memiliki Kepala Desa perempuan dan laki-laki, juga mempertimbangkan aspek sosial masyarakat Desa tersebut. Selain karena berdekatan, kedua Desa tersebut memiliki karakter sosial masyarakat yang hampir mirip, salah satunya masih menganut sistem patriarkhi. Hal tersebut terlihat dari pembagian peran satu sama lain antara laki-laki dan perempuan di kedua Desa tersebut. Secara tersurat mereka mengakui bahwa laki-laki dan perempuan setara, akantetapi secara tersirat tidak jauh berbeda dengan pembagian kerja atau peran berdasarkan jenis kelamin. Salah satu contohnya yaitu jajaran pejabat dan atau pegawai pemerintah hampir semua laki-laki. Apabila telah setara seperti pengakuan beberapa pihak, seharusnya pejabat atau pegawai pemerintah tidak hampir semua laki-laki. Hal tersebut dirasa ganjal mengingat tidak mungkin hampir semua perempuan baik dari Desa tersebut atau bukan Desa tersebut tidak ingin atau tidak berpotensi menjadi pejabat atau pegawai pemerintahan, kecuali terdapat persoalan yang harus dikaji kembali. Akantetapi pembahasan kita tidak sampai sejauh itu, ini hanya untuk menjelaskan kondisi yang mendukung diadakannya penelitian di Desa tersebut. Selain itu, stereotipe yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang biasanya harus dilakukan dan tidak sebaiknya dilakukan masih terasa di kedua Desa tersebut. Seperti halnya perempuan yang dianggap tidak wajar keluar malam, perempuan yang seharusnya memiliki kelembutan, laki-laki yang dituntut tegas dan bisa berfikir rasional. Setidaknya hal tersebut memberikan sumbangsih terhadap cara pandang masyarakat dan atau kepala Desa itu sendiri. Mengingat kondisi demikian mempengaruhi cara pandang masyarakat terkait kepemimpinan yang biasanya dieratkan dengan sisi feminitas dan maskulinitas baik pada laki-laki maupun perempuan. Padahal kepemimpinan perempuan tidak selalu feminim, begitu juga sebaliknya yang mana bisa jadi kebalikannya atau gabungan dari keduanya. Dengan demikian, penelitian kali ini mengambil tema kaitannya dengan kepemimpinan Desa dan gender. Secara lebih detail, penelitian ini akan melihat persepsi warga terhadap kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan, baik persamaan maupun perbedaan yang mana dalam konteks kepemimpinan Desa Adireja Kulon dan Adireja Wetan, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah. 1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana persepsi warga terhadap kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan? 2. Apa saja persamaan dan perbedaan kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan berdasarkan persepsi warga? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengetahui persepsi waga tentang kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan. 2. Mengetahui persamaan dan perbedaan kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan berdasarkan persepsi warga. 3. Mengetahui persepsi warga tentang kepemimpinan kepala Desa yang dianggap ideal dalam upaya pembangunan Desa. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dalam penelitian ini yaitu: 1. Memberikan sumbangsih ilmu terhadap disiplin ilmu Sosiologi, terutama dalam konteks persepsi warga terhadap kepemimpinan laki-laki dan perempuan di tingkat Desa. 2. Memberikan gambaran tentang kepemimpinan kepala desa laki-laki maupun perempuan yang dianggap ideal oleh masyarakat. 3. Memberikan saran dan masukan terhadap kepemimpinan kepala Desa Adireja Kulon dan Adireja Wetan berdasarkan persepsi warga setempat. 1.5 Tinjuan Penelitian Kepemimpinan dan gender merupakan topik yang menarik. Tidak mengherankan apabila banyak penelitian terkait kepemimpinan dan gender. Berikut beberapa penelitian terkait kepemimpinan dan gender yang terkenal bahkan dijadikan acuan oleh banyak peneliti lainnya: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Eagly dan Jhonson (1990) terhadap 162 pemimpin perempuan dan laki-laki, menemukan bahwa pemimpin perempuan lebih demokratis daripada pemimpin laki-laki. Berikut pendapat Eagly dan jhonson5: Perempuan memiliki kecenderungan cara memimpin yang lebih partisipatif, sedangkan laki-laki cenderung mengadopsi cara yang lebih direktif. Perempuan lebih memiliki orientasi tugas berbanding terbalik dengan stereotipe tradisional soal peran seks. 2. Demokratis dan otokratis yaitu aspek yang berbeda soal perilaku kepemimpinan. Penelitian yang dilakukan oleh Gibson menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan memiliki perilaku communal yang cenderung memikirkan kesejahteraan bawahan, menekanan interaksi dan memfasilitasi bawahan. Berbeda dengan kaum laki-laki yang cenderung memiliki perilaku tegas, berorientasi pada tujuan dan cenderung bersifat menguasai. Berdasarkan karakteristik gender, ia menggolongkannya menjadi kepemimpinan otokratis (directive leadership) untuk laki-laki, sedangkan kepemimpinan demokratis (participative leadership) untuk perempuan. 3. Schermerhorn (1999)6, pemimpin wanita lebih cenderung demokratik, menghormati, prihatin terhadap pekerja/bawahannya, dan berbagi „kekuasaan‟ serta perasaan dengan orang lain. Sedangkan pria lebih cenderung bersifat transaksi antara ia dan bawahannya. Pemimpin laki-laki juga memiliki kecenderungan terarah dalam menjaga kelakuan asertifnya, dimana mereka lebih banyak mengunakan otoritas, memberi arahan, serta nasehat yang lebih banyak, Selain itu, beberapa penelitian lainnya terkait kepemimpinan dan gender dalam konteks Indonesia yaitu: 5 Muslim, Bakhtiar. 2013. Karakteristik Pemimpin Laki-laki dan Perempuan.http://bakhtiarmuslim.blogspot.com/2013/10/karakteristik-pemimpin-laki-laki-danperempuan.html yang diakses pada tanggal 17/04/2015 pukul 12.50 WIB. 6 Jumiati dan Said. 2014.Kepemimpinan Pria dan Wanita. Repository.unri.ac.id, diakses pada tanggal 17/04/2015 pukul 12:54 WIB. 1. Penelitian Lenny I.F.W Simatupang (2009) tentang kepemimpinan perempuan7. Berawal dari keresahannya atas isu kepemimpinan perempuan yang masih jarang ditemui, mengingat kepemimpinan masih dianggap sebagai peran yang dimiliki oleh laki-laki. Penelitian yang ia gunakan yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian tersebut dilakukan pada 36 responden perempuan yang bekerja di kantor pemerintahan Sumatra Utara dengan menyebarkan kuesioner yang telah disusunnya. Berdasarkan kuesioner yang telah disebar, berikut hasil analisa yang dikemukakan beliau: Pemimpin perempuan memiliki kemampuan manajerial dan kemampuan lainnya yang setara dengan laki-laki. Hal tersebut dinyatakan oleh seluruh responden yakni 36 orang (100 %). Perempuan sebagai pemimpin memiliki kepemimpinan berbeda dengan laki-laki (72,2 %). Perempuan memiliki kepemimpinan sendiri, yaitu kepemimpinan Androgini. Kepemimpinan androgini adalah kepemimpinan yang memiliki sisi feminimitas dan maskulinitas, sebagai seorang pemimpin perempuan, mereka menunjukkan jati dirinya dan tidak perlu meniru dan berperilaku sebagai laki-laki namun juga tidak perlu menghindari sifat kelembutan pada saat menjadi pemimpin. 2. Penelitian Mangunsong (2009)8 terhadap pemimpin perempuan di pemerintah Sumatera Utara mengungkapkan bahwa sebagian besar pemimpin perempuan menerapkan kepemimpinan transformasional, sedangkan pemimpin laki-laki menerapkan kepemimpinan transaksional. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian lainnya yaitu pada konteks konstruksi masyarakat. Berbicara konstruksi masyarakat atau pandangan masyarakat, mungkin banyak penelitian terkait hal tersebut, akan tetapi setiap Desa memiliki ciri khas masing-masing dalam menanggapi dinamika kepemimpinan yang ada, dan belum pernah dilakukan penelitian terkait hal tersebut di Desa tersebut. Terlebih dengan adanya konteks baru yaitu peraturan terkait Alokasi Dana Desa. 7 Simatupang, Lenny. 2009. Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor Pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, Medan). Repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 17/04/2015 pukul 12:22 WIB. 8 Aeni, Nurul. 2013. Efektifitas dan Gaya Kepemimpinan dalam Sudut Pandang Gender. http://litbang.patikab.go.id/index.php/artikel-a-jurnal/117-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudutpandang-gender/104-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudut-pandang-gender. diakses pada tanggal 29/12/2014 pukul 19.35 WIB. 1.6 Kerangka Teori 1.6.1 Peter L. Berger: Konstruksi Sosial9 Peter L. Berger merupakan salah satu Sosiolog yang menghasilkan karya terkenal yaitu konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial merupakan teori yang melandasi pemikiran adanya keterkaitan antara gender dan kepemimpinan (dalam konstruksi masyarakat). Landasan berfikir dalam penelitian ini yaitu konstruksi masyarakat (terkait gender) dapat mempengaruhi tindakan kepemimpinan atau (tindakan) cara memimpin dipengaruhi konstruksi masyarakat (terkait gender). Pemikiran utama dalam teori ini yaitu eksternaliasai, obyektifikasi dan internalisasi. Ketiganya memiliki keterkaitan kuat satu sama lain dan berjalan dengan siklus yang terus menerus. Berikut penjelasannya: Eksternalisasi Eksternalisasi merupakan awal munculnya siklus pembentukan konstruksi sosial. Mengingat manusia lahir di bumi dengan kondisi materialnya. Asumsi tersebut lahir dari pemikiran bahwa manusia pada awal sejarah merupakan manusia primitif dengan jumlah yang sedikit. Maksud dari manusia primitif yaitu mereka yang hidup dengan segala keterbatasan pengetahuan seperti pengetahuan dalam mencari makanan, bertahan dari serangan binatang buas atau peralatan dan perlengkapan dalam menunjang kehidupan. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri bertahan hidup dan keingintahuan yang tinggi. Hal tersebut merupakan dasar dari proses berfikir dan bertindak yang dilakukan manusia. Tidak dipungkiri, proses berfikir dan bertindak lahir dari realitas sosial dan kondisi materilnya. Kondisi materil memaksa manusia mencari tahu cara bertahan hidup dan memenuhi naluri keingintahuannya. Hal dasar bertahan hidup pada masa itu adalah bertahan dari hewan buas, berburu hewan buas, mencari makanan serta berlindung dari terik matahari atau hujan. Seperti yang telah disinggung pada bagian latarbelakang, berbagai pemikiran serta pertimbangan akhirnya disepakati, mengingat kondisi perempuan yang hamil dan melahirkan, perempuan lebih baik beristirahat menjaga kediaman sembari merawat anak yang telah dilahirkan. 9 Sumber: Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 2013. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES. Riyanto, Geger. 2009.Peter L. Berger:Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES. Institusionalisasi Realitas sosial dan kondisi materil menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan menggerakan tindakan manusia, salah satunya berinteraksi dan melahirkan kesepakatan. Proses interaksi dan kesepakatan tersebut merupakan bagian dari institusionalisasi. Institusionalisasi merupakan strategi sosial dalam mencari keteraturan. Institusi memberikan proses dan dinamika kehidupan yang lebih kompleks. Bukan hanya menyelesaikan persoalan manusia, juga membentuk perilaku masyarakat itu sendiri. Seperti halnya kesepakatan pembagian kerja secara seksual. Awalnya untuk mencari jalan keluar, setelah dirasa berhasil masyarakat cenderung bertahan dan tidak mau mengambil resiko untuk mengubahnya. Legitimasi dan Obyektifikasi Manusia memiliki kecenderungan yang repetitif yaitu mengulang-ulang kejadian yang dianggap berhasil. Kondisi yang diulang terus menerus menghasilkan habitualisasi atau pembiasaan, sehingga terbentuklah pola dan tatanan sosial. Pola dan tatanan sosial yang terbentuk akan cenderung dipertahankan oleh masyarakat secara terus-menerus. Berbagai penjelasan logis atas suatu kondisi menjadi senjata jitu dalam mempertahankan kondisi tersebut. Pada tahap ini telah memasuki proses legitimasi. Proses legitimasi yaitu proses justifikasi atas kondisi-kondisi dengan penjelasan-penjelasan logis demi mempertahankan institusi. Penjelasan-penjelasan yang dianggap logis mempertahankan pola sedemikian rupa, menghasilkan norma, adat atau budaya yang tak terbantahkan. Ketika banyak dari masyarakat menyepakati penjelasan-penjelasan logis tersebut, maka itulah yang dimaksud dengan proses obyektifikasi. Sosialisasi Tahapan selanjutnya yaitu proses sosialisasi. Proses sosialisasi merupakan wadah mempertahankan pengetahuan yang telah terobyektifikasi. Terdapat dua jenis proses sosialisasi dalam mendukung keberlangsungan suatu pengetahuan, yaitu sosialisasi primer dan sekunder. Sosialisasi primer yaitu sosialisasi yang dialami individu pada saat pertama kalinya dalam masa kanak-kanak. Pada sosialisasi primer, keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk individu. Sedangkan sosialisasi sekunder yaitu proses setelah masa kanak pada sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakat. Proses sosialisasi yang dibentuk dari kenyataan obyektif dibarengi dengan subyektifitas individu dalam membentuk identitasnya. Internalisasi Sosialisasi sekunder erat kaitannya dengan diri yang telah terbentuk dan dunia yang telah terinternalisasi. Proses internalisasi yaitu proses dimana manusia menjadi produk yang dibentuk masyarakat. Proses internalisasi terbentuk melalui adanya sosialisasi. Proses internalisasi merupakan dunia sosial yang telah diobyektifikasi dimasukan kembali ke dalam kesadaran individu selama berlangsungnya sosialisasi. Kristalisasi secara bersamaan dengan inetrnalisasi bahasa mewujudkan secara simetris dalam kesadaran individu antara kenyataan obyektif dan subyektifikasi. Akan tetapi, dalam dimensi tertentu konteks ruang dan waktu memiliki pengaruh untuk memodifikasi ulang pengetahuan. Unsur-unsur lama yang dianggap tidak relevan akan dibuang dan menambahkan unsur-unsur baru yang dianggap lebih relevan. Terdapat penafsiran ulang antara masa lalu dan masa kini. Kebutuhan-kebutuhan dapat dikonstruksi ulang sesuai dengan konteksnya. 1.6.2 Teori Gender Gender dalam A Glossary of Terms in Gender and Sexuality yaitu berhubungan dengan konstruksi sosial, perubahan waktu, serta budaya yang bervariasi 10. Sedangkan menurut Deaux dan Kite atau Thomson dan Priestley, gender merupakan bangunan sosial dan kultural yang pada akhirnya membedakan antara karakteristik maskulin dan feminim (dalam Partini, 2013)11. Maskulin dan feminim bersifat relatif, mengingat konsep gender lebih kontekstual dan menyesuaikan budaya dalam masyarakat setempat. Tidak heran ketika konsep gender satu dengan lainnya berbeda-beda dan dapat berubah-ubah seiring waktu serta perkembangan jaman. Konsep gender muncul ketika para ilmuan melihat subordinasi perempuan menjadi hal yang umum. Subordinasi perempuan itu sendiri bermula ketika adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Beribu-ribu tahun silam dengan kondisi material yang ada, manusia dituntut bertahan hidup melalui perburuan. Kondisi perempuan yang hamil dan melahirkan membuatnya harus beristirahat dari pekerjaan berat seperti halnya perburuan. Sehingga muncul anggapan bahwa sebaikanya perempuan di rumah, menjaga anak, merawat anak dan melakukan pekerjaan domestik lainnya. Kondisi tersebut diyakini oleh banyak pihak dan disosialisasikan dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Sayangnya kondisi tersebut berdampak pada anggapan masyarakat terkait karakteristik-karakteristik kepantasan gender laki-laki dan perempuan. Karakteristikkarakteristik kepantasan tersebut seperti halnya laki-laki bersifat maskulin dan perempuan bersifat feminim. Karakteristik-karakteristik kepantasan tersebut membentuk pola dan pandangan baku masyarakat. Pola dan pandangan baku inilah yang kemudian membentuk suatu stereotype. Kalau dalam bahasanya Deaux dan Kite yaitu sistem kepercayaan gender atau gender belief system (dalam Partini, 2013). Penelitian Williams dan Best yang dikutip oleh Deaux dan Kite (dalam Partini, 2013) menunjukan adanya pandangan yang sama terkait laki-laki dan perempuan. Penelitian ini membuktikan bahwa adanya generalisasi pandangan terhadap laki-laki dan perempuan, sekalipun konsep gender bersifat fleksibel tergantung kebudayaan masing-masing daerah. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih aktif, agresif dan dominan. Sebaliknya, perempuan 10 The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health. 2007. Thailand: A Glossary of Terms in gender and Sexsuality. 11 Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana. dipandang lebih toleran atau suka mengalah dan memiliki nilai-nilai afektif atau kasih sayang yang lebih. Stereotype gender dan sistem kepercayaan masyarakat memang didasarkan pada kenyataan yang terjadi pada msayarakat. Akan tetapi, tidak semua pelabelan maskulin untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan dapat diterima oleh keseluruhan masyarakat. Perkembangan jaman terutama dalam konteks politik, baik laki-laki maupun perempuan biasanya dituntut memiliki sifat androgini. Sifat androgini yaitu individu yang memiliki dua sifat sekaligus yaitu sifat-sifat maskulin dan feminim (Partini, 2013) secara seimbang, misal seorang pemimpin yang tegas dan dominan dalam berargumentasi tapi juga penyayang, supel, ramah dan dekat dengan warganya. 1.6.3 Karakteristik Peran Gender Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pandangan gender atau karakteristik maskulinitas dan feminitas bersifat relatif berdasarkan konteks daerah atau masing-masing masyarakat. Akan tetapi, penelitian Williams dan Best membuktikan adanya pandangan yang sama terkait laki-laki dan perempuan. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih aktif, agresif dan dominan. Sebaliknya, perempuan dipandang lebih toleran atau suka mengalah dan memiliki nilai-nilai afektif atau kasih sayang yang lebih. Selain itu, dampak dari pembagian kerja secara seksual mengakibatkan adanya anggapan masyarakat terkait karakteristikkarakteristik kepantasan gender seperti halnya laki-laki bersifat maskulin dan perempuan bersifat feminim. Karakteristik-karakteritik kepantasan tersebut telah terpola dan membentuk pandangan baku masyarakat. Pola dan pandangan baku masyarakat tersebut membentuk sesuatu yang disebut stereotype. Pada dasarnya tidak ada penegasan yang pasti terkait gender atau karakteristik maskulinitas dan feminitas itu sendiri. Akan tetapi, apabila dianalisis lebih jauh berdasarkan penjelasan sebelumnya, antara stereotype dan karakteristik maskulinitas atau feminitas itu sendiri memiliki keterlekatan. Keterlekatan yang dimaksud yaitu sifat-sifat yang melekat pada maskulinitas atau feminitas kurang lebih dapat diambil dari sifat-sifat stereotype yang ada, misal karakteritik maskulinitas yaitu aktif, agresif dan dominan. Begitu juga sebaliknya, karakteristik feminitas yaitu lebih toleran atau suka mengalah dan memiliki nilai-nilai afektif atau kasih sayang yang lebih. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya bahwa tidak semua pelabelan maskulin untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan dapat diterima seluruh masyarakat. Perkembangan jaman terutama dalam konteks politik, baik laki-laki maupun perempuan biasanya dituntut memiliki sifat androgini. Sifat androgini yaitu individu yang memiliki dua sifat sekaligus yaitu sifat-sifat maskulin dan feminim secara seimbang. Hal tersebut dianggap penting mengingat seorang pemimpin harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi tapi tetap tegas dan konsisten dalam pengambilan kebijakan secara tepat sasaran. Tidak heran ketika banyak dari laki-laki atau perempuan memiliki sifat androgini atau laki-laki yang memiliki sifat feminin begitu juga sebaliknya perempuan yang memiliki sifat maskulin. Hal tersebut dibenarkan oleh Sandra Bem seorang tokoh psikologi sosial terkenal. Sandra Bem sendiri lebih terkenal konsep androgininya. Sebenarnya konsep androgini telah ada sebelumnya. Sandra Bem merupakan orang pertama yang mempopulerkan konsep tersebut, tidak heran jika konsep androgini lebih melekat pada Sandra Bem. Berikut 4 bagian klasifikasikan tipe peran gender12 dari Sandra Bem: 1. Sex-typed, laki-laki memiliki tingkat maskulinitas tinggi dengan feminitas rendah, sebaliknya perempuan memiliki tingkat feminitas tinggi dengan maskulinitas rendah. 2. Cross sex-typed, laki-laki memiliki tingkat feminitas tinggi dan maskulinitas rendah, sebaliknya perempuan memiliki tingkat maskulinitas tinggi dan feminitas rendah. 3. Androgini, laki-laki dan perempuan memiliki tingkat maskulinitas serta feminitas yang tinggi 4. Undifferentiated, laki-laki dan perempuan yang memiliki tingkat maskulinitas serta feminitas yang rendah. Selain itu Sandra Bem juga memiliki klasifikasi gender dalam diri individu yaitu androgini, maskulin dan feminin. Berikut penjelasan secara lebih rinci13: 1. Androgini, individu memiliki kedua karakteristik stereotyoe yang tinggi, yaitu maskulin dan feminin, seperti halnya seseorang yang memiliki kepemimpinan tinggi tapi juga sensitif atau peka terhadap orang lain. 2. Maskulin, individu memiliki karakteristik stereotype maskulin yang tinggi dengan karakteristik stereotype feminin yang rendah, seperti halnya seseorang yang memiliki kepribadian kuat tapi tidak memiliki sifat iba atau kasihan. 3. Feminin, memiliki karakteristik stereotype feminin tinggi dengan karakteristik stereotype maskulin rendah, seperti halnya seseorang penolong tapi tidak mandiri. Pada tahun 1974 Bem mengembangkan klasifikasi gender tersebut dalam Bem Sex Role Inventori (BSRI) yang mana terdiri dari 60 kata sifat. 20 menunjukan karakteristik maskulin, 20 lainnya menunjukan karakteristik feminin, sisanya menunjukan karakteristik yang tidak berkaitan dengan peran gender namun diharapkan masyarakat dimiliki oleh masing-masing individu serta mengurangi kesan perbedaan karakter feminin-maskulin agar tidak mencolok14. 12 Sakti, YM. 2011. Perbedaan Political Efficacy pada Peran Gender Maskulin, Feminin, Androgin, dan Undifferentiated. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/chapterII.pdf diakses pada tanggal 17/04/2016 pukul 19.23 WIB 13 Kisworo, Restu Direska. 2008. Persepsi Identitas Gender dan Konsep Diri Tentang Peranan Gender. Repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB;Jsessionid=A8D40DE9DC982D43D70EB6FC85C75 17E?Sequence=7 diaksesk pada tanggal 17/042016 pukul 20.41 WIB 14 Sakti, YM. 2011. Perbedaan Political Efficacy pada Peran Gender Maskulin, Feminin, Androgin, dan Undifferentiated. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/chapterII.pdf diakses pada tanggal 17/04/2016 pukul 19.23 WIB Tabel 1.1 Karakteristik Gender Sandra Bem No. Maskulin 1. Percaya diri 2. Mempertahankan pendapat/ keyakinan sendiri 3. Berjiwa bebas/ tidak terganggu pendapat orang 4. Gemar olahraga 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Feminin Mengalah Periang atau ceria Netral Senang menolong Berhati murung/ pemurung Berhati-hati/ teliti Pemalu Penuh kasih sayang Tegas/ berani bilang tidak Merasa senang jika dirayu jika memang tidak Berkepribadian kuat/ teguh Hangat dalam pergaulan Bersemangat Berfikir analisis/ melihat hubungan sebab-akibat Mampu memimpin, punya jiwa kepemimpinan Berani mengambil resiko Bertingkah laku dibuat-buat Bahagia yang Isi hati sukar ditebak oleh orang lain Dapat dipercaya bersifat Iri/ cemburu Setia Feminin atau kewanitaan Menaruh simpati/ perhatian pada orang lain Peka terhadap kebutuhan orang lain Mudah membuat keputusan Penuh pengertian Dapat berdiri sendiri/ Mudah Iba hati/ kasihan mandiri Mendominasi/ menguasai Suka menentramkan hati orang lain Maskulin, bersifat kelaki- Bertutur kata halus lakian Punya pendirian, berani Berhati lembut mengambil sikap Agresif Mudah terpengaruh Bersikap/ bertindak sebagai Polos atau naif pemimpin Bersifat individual/ Tidak menggunakan kataperorangan kata kasa/ tutur bahasa tidak kasar Kompetitif atau siap untuk Senang pada anak-anak bersaing Berambisi/ memiliki ambisi Lemah lembut Jujur Suka menyembunyikan perasaan/ pikiran Berhati tulus Angkuh/ merasa tinggi hati Menyenangkan, mudah disukai orang lain Serius Ramah atau bersahabat/ mudah berteman Tidak efisien atau boros Mudah atau dapat menyesuaikan diri Tidak sistematis, asalasalan Bijaksana Berfikiran kuno Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/Chapter%20II.pdf Akan tetapi dalam penelitian ini tidak mengambil semua karakteristik yang dimiliki Sandra Bem. Mengingat penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dan juga hanya beberapa dari karakteristik kualifikasi Sandra Bem yang dianggap cocok dengan konteks penelitian ini yaitu: Tabel 1.2 Karakteristik Gender Sandra Bem yangCocok dengan Konteks Penelitian No. Maskulin 1. Memiliki pendirian kuat atau berani mengambil sikap dan mempertahankan pendapat atau keyakinan sendiri seperti halnya tegas atau berani bilang tidak jika memang tidak 2. Mudah membuat keputusan (pengambilan keputusan cepat tanpa ragu-ragu) 3. 4. Mendominasi/ menguasai Agresif Feminin Mengalah (dapat diartikan bisa diajak kompromi atau toleransi) Androgini Karakteristik maskulin feminin seimbang dan yang Memiliki nilai-nilai afektif (menekankan aspek perasaan dan emosi) seperti halnya penuh kasih sayang, hangat, mudah iba dan atau berhati lembut. Perhatian dan pengertian. Peka terhadap kebutuhan orang lain Selain itu, guna melengkapi atau menyesuaikan konteks penelitian ini maka diambil beberapa karakteristik gender dari referensi lainnya yang lebih cocok. Berikut beberapa karakteristik yang diambil dari beberapa referensi: Tabel 1.3 Karakteristik Gender dari Beberapa referensi No. Maskulin 1. Aktif (Arif Budiman, 1982) 2. 3. 15 Feminin Memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan segala sesuatu sehingga terkesan sulit atau lambat dalam mengambil keputusan Inisiatif (Partini, Mengelola keuangan (Partini, 2013) dapat 2013) diartikan perhitungan dan penuh pertimbangan dalam management keuangan. Kurang terbuka15 Terbuka (Partini, 2013) Androgini Karakteristik maskulin feminin seimbang dan yang Seidler, Victor. 1988. “Fathering, Otoritas, dan Maskulinitas” dalam Male Order: Menguak Maskulinitas hlm 285-314 (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra Sehingga dapat disimpulkan beberapa karakteristik maskulin, feminin, dan androgini yang diambil dari BSRI milik Sandra BEM beserta perpaduan referensi lain yang dapat dijadikan indikator dalam menganalisis kepemimpinan kepala Desa yaitu: Tabel 1.4 Karakteristik Gender Perpaduan No. Maskulin 1. Memiliki pendirian kuat atau berani mengambil sikap dan mempertahankan pendapat atau keyakinan sendiri seperti halnya tegas atau berani bilang tidak jika memang tidak. Akan tetapi, hal tersebut berbeda dengan diktaktor. 2. Mudah membuat keputusan (pengambilan keputusan cepat tanpa ragu-ragu). 3. Mendominasi/ menguasai, dominan yang dimaksud yaitu dalam hal berargumen atau pengambilan keputusan. Akan tetapi, hal tersebut berbeda dengan diktaktor. Aktif (Arif Budiman, 1982) Aktif dalam konteks ini yaitu kegiatan, mengeluarkan ide, dan komunikasi yang terjalin dengan warga. Inisiatif (Partini, 2013) Inisiatif dalam hal ini yaitu mengikuti kegiatan Desa atau warga, memberikan ide atau solusi permasalahan. Kurang terbuka16 4. 5. 6. 16 Feminin Mengalah, dalam konteks kepemimpinan yaitu tidak mempertahankan pendiriannya dengan saklek. Memiliki kecenderungan toleransi dan kompromi. Toleransi yaitu membiarkan orang lain berpendapat lain. Kompromi yaitu upaya memperoleh kesepakatan. Memiliki nilai-nilai afektif (menekankan aspek perasaan dan emosi) seperti halnya penuh kasih sayang, hangat, mudah iba dan atau berhati lembut. Perhatian dan pengertian, biasanya peka terhadap kebutuhan orang lain. Androgini Karakteristik maskulin feminin seimbang dan yang Memiliki banyak pertimbangan dalam memutuskan segala sesuatu sehingga terkesan sulit atau lambat dalam mengambil keputusan Mengelola keuangan (Partini, 2013) dapat diartikan perhitungan dan penuh pertimbangan dalam management keuangan. Terbuka (Partini, 2013) Seidler, Victor. 1988. “Fathering, Otoritas, dan Maskulinitas” dalam Male Order: Menguak Maskulinitas hlm 285-314 (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra 1.6.4 Ronald Lippit dan Ralph K. White: Otoriter, Demokrasi dan Laissez-Fire Teori kepemimpinan Ronald Lippit dan Ralph K. White telah banyak diikuti banyak pihak. Pada saat menemukan teori tersebut, Ronald Lippit dan Ralph K. White merupakan mahasiswa Universitas IOWA. Bersama dengan Kurt Lewin sebagai pembimbingnya, mereka mengamati tiga orang dengan kepemimpinan berbeda-beda, yaitu otokratis, demokratis, dan laissez faire. Berikut penjelasannya: Kepemimpinan Otokratis, Otoriter atau Diktaktor Teori otokratis atau otoriter atau diktaktor merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pimpinan dan anggota atas dasar perintah dan pemaksaan. Biasanya kepemimpinan ini digunakan untuk menciptakan kecepatan dan ketepatan yang tinggi. Dalam pelaksanaanya, hanya ada satu orang yaitu pemimpin yang memberikan perintah atau komando, sedangkan yang lainnya melaksanakan perintah dan tidak boleh melanggar. Pemimpin tipe ini biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan 2. Keputusan selalu dibuat oleh pemimpin 3. Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pemimpin 4. Komunikasi satu arah yaitu dari pemimpin kepada anggota 5. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan anggotanya dilakukan secara ketat 6. Anggota tidak memiliki kesempatan untuk memberikan saran, pertimbanganatau pendapat 7. Tugas untuk bawahan diberikan secara instruktif 8. Pimpinan menuntut prestasi sempurna tanpa syarat 9. Pimpinan menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat 10. Pemimpin memiliki kecendrungan menggunakan paksaan, ancaman dan hukuman demi mendapatkan apa yang diinginkannya Kepemimpinan Demokratis Teori demokratis merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan seseorang dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan keputusan dan kesepakatan bersama antara pemimpin dan anggota. Biasanya tipe ini sangat memperhatikan saran, pertimbangan dan kritik dari anggotanya. Sehingga komunikasi yang terjalin diantara pemimpin dan anggota yaitu dua arah atau timbal balik. Berkut ciri-ciri kepemimpinan demokratis yaitu: 1. Wewenang pimpinan tidak mutlak 2. Pimpinan bersedia melimpahkan wewenang kepada anggota 3. Keputusan dan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan anggota 4. Komunikasi timbal balik antara pemimpin dan anggotanya 5. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan bawahan dilakukan secara wajar 6. Anggota diberikan kesempatan menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat 7. Tugas kepada anggota diberikan secara permintaan daripada instruktif 8. Pimpinan mendorong prestasi sempurna kepada anggota dalam batas kemampuan masing-masing 9. Pemimpin memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak 10. Terdapat suasana saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai 11. Tanggungjawab organisasi atau lembaga atau kelompok dipikul bersama Kepemimpinan Laissez-faire Pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada anggota dalam menentukan keputusan. Pemimpin seperti ini biasanya tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan, apabila ikut pun hampir tidak berarti sama sekali. Sedangkan ciri-ciri tipe kepemimpina laissez-faire yaitu 1. Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada anggota 2. Keputusan lebih banyak dibuat oleh anggota 3. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh anggota 4. Pimpinan berkomunikasi ketika dibutuhkan 5. Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laki, perbuatan atau kegiatan kepada anggota 6. Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan 7. Peran pimpinan sangat sedikit 8. Kepentingan pribadi (pemimpin) lebih diutamakan 9. Tanggungjawab organisasi dipikul orang perorang 10. Memberikan kebabasan untuk memutuskan dengan sedikit kontrol dan pengaruh, hanya mmberikan nasehat dan saran sejauh diminta. 1.6.5 Bernard M. Bas: Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional Kepemimpinan menurut Eisenhower yaitu kemampuan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan dan bagaimana caranya agar orang lain melakukannya (Bass, 1985). Sedangkan menurut Truman (Bass, 1985), seorang pemimpin yaitu orang yang memiliki kemampuan agar orang lain melakukan apa yang diinginkannya, walaupun hal tersebut tidak ingin dilakukan orang tersebut. Hal tersebut penting dimiliki seorang pemimpin, mengingat tanggung jawab yang dimilikinya untuk melancarkan kegiatan organisasi, lembaga dan atau kelompok dalam mencapai tujuan bersama. Tentang Bernard M. Bass Bernard M. Bass merupakan ilmuan politik yang mengaspirasi banyak hal, terutama persoalan politik terkait kepemimpinan transformational. Bass telah melahirkan banyak karya hebat, salah satu buku yang terkenal dan dijadikan referensi oleh banyak pihak yaitu Leadership Performance and Beyond Expectation. Buku tersebut mengupas tuntas persoalan kepemimpinan transformasional dan transaksional. Transformational Leadership Paradigma mendasar kepemimpinan transformational bukan sekedar mencapai hasil, juga proses yang bermakna. Secara umum karakteristik kepemimpinan transformasional yaitu: 1. Pemimpin dapat mempengaruhi anggota untuk bertindak sesuai dengan pemikirannya. Bertindak sesuai dengan pemikiran sendiri akan memberikan kepuasaan pada anggota, serta dapat membangun prinsip kinerja sesuai standar lembaga atas kemauan sendiri. 2. Pemimpin transformasional biasanya mencoba dan berhasil dalam meningkatkan motivasi rekan kerja, anggota, simpatisan, klien atau konstituen untuk meningkatkan kesadaran yang lebih tentang konsekuensi. 3. Kepemimpinan seperti ini biasanya memiliki visi-misi yang jelas, tingkat kepercayaan diri yang tinggi, kekuatan dalam melihat yang benar atau tidak, bukan hanya melihat hasil atau sesuatu yang sedang populer. Secara singkat, memberi dan menerima kebijakan sesuai konteks dan waktu yang tepat. Pemimpin transformasional selalu memotivasi anggotanya agar tidak hanya mencapai tujuan sesuai target diawal. Pemimpin seperti itu biasanya akan mengatakan bahwa sebisa mungkin mencapai target lebih dari apa yang diharapkan. Dalam proses pencapaian tujuan pemimpin memberikan harapan dan tingkat kepercayaan yang lebih untuk anggotanya. Hal tersebut memiliki maksud agar anggota nyaman dalam melakukan kinerja sesuai dengan caranya. Transformasi tersebut dapat dicapai dengan cara, sebagai berikut: 1. Meningkatkan kesadaran anggota, terutama soal value dari proses dan hasil yang sesuai dengan cara-cara yang nyaman menurut anggota. 2. Membantu mengatasi persoalan dan menyadarkan anngotanya tentang prioritas persoalan tim atau lembaganya. 3. Mengubah tingkat kebutuhan dengan memperluas kebutuhan dan keinginan anggota. Menurut Siehl dan Martin, pemimpin tarnsformasioanl memberikan atmosfer budaya dengan memberikan anggota rasa nyaman, loyalitas serta komitmen (Bass, 1985). Bass menyebutkan, hampir semua pemimpin yang sukses menerapkan kepemimpinan transformasional. Menurutnya, untuk menjadi pemimpin transaksional merupakan perkara mudah, akan tetapi untuk menjadi pemimppin transformasional merupakan hal yang sulit. Karakteristik lain dalam kepemimpinan transformational (Bass, 1985), yaitu: 1. Memberikan anggota rasa percaya diri, meraka menjadikan diri sebagai pendengar yang baik. 2. Memberikan otonomi dan mendorong perkembangan anggota, dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman. 3. Terlihat tegas seperti menegur bawahan, akan tetapi dengan pendekatan yang luwes atau tidak kaku. 4. Apabila terjadi kesalahan, pemimpin memberi arahan dan perencanaan yang lebih untuk kedepannya. Pemimpin transformasional memiliki kharisma yang dapat memainkan peran sebagai guru, mentor, pelatih, pembaharuatau revolusioner untuk anggotanya. Mengingat, pemimpin transformasional memiliki sikap luwes dalam mendampingi anggotanya. Biasanya pemimpin memberikan arahan atau nasehat kepada anggota agar mudah memahami masalah, sehingga mereka dapat menyelesaikan permasalahan dengan mudah. Selain itu pemimpin transformasional memiliki ide-ide kreatif dalam menghadapi masalah, sehingga anggota dapat merespon persoalan dengan jernih dan tidak tergesa-gesa. Selain itu terdapat survei terbuka dengan 70 eksekutif laki-laki dengan kesimpulan, seorang pemimpin trarsformational digambarkan sebagai eksekutif yang mengangkat kesadaran anggota terkait masalah konsekuensi, pemahaman soal kebutuhan, dan mempengaruhi anggota untuk mengatasi kepentingan sendiri demi kebaikan kelompok atau lembaganya (Bass, 1985). Pemimpin transformasional memimpin anggotanya dengan memotivasi atas kesadaran yang mereka lakukan. Transaksional Leadership Karakteristik kepemimpinan transaksional yang sangat unik yaitu kesepakatan sistem pertukaran. Kesepakatan sistem biasanya ditandai dengan adanya reward and punishment. Pemimpin dan anggota sepakat tentang adanya penghargaan dan hukuman. Anggota yang menjalankan tugas dengan baik akan mendapatkan imbalan yang sesuai. Sedangkan anggota yang tidak menjalankan tugas dengan baik akan mendapatkan hukuman, sehingga apabila anggota tidak menghendaki hukuman, maka bekerjalah dengan baik. Implementasi penghargaan biasanya diwujudkan dengan kenaikan gaji, kenaikan pangkat, atau mendapatkan posisi yang dikehendaki. Proses sistem transaksional dimulai dengan diskusi peraturan pekerjaan, imbalan dan hukuman apa yang akan didapat jika sukses atau melanggar aturan. Setelah kesepakatan dicapai, proses selanjutnya yaitu melegitimasi kesepakatan. Legitimasi kesepakatan diwujudkan dengan penandatanganan kontrak kerja berisi sistem kerja dengan imbalan dan hukumannya. Tujuan pemberian reward atau imbalan yaitu memberikan semangat atau dorongan agar anggota bekerja sesuai dengan harapan pemimpin. Sama halnya ketika pemimpin memberikan hukuman, hal tersebut dimaksudkan agar anggota tidak melakukan kesalahan dalam pekerjaan. Kelebihan lain dari adanya pemberian reward yaitu memperkuat upaya kecepatan dan ketepatan kinerja anggota. Menurut Sims, bentuk lain pemberian reward biasanya dengan pujian atas pekerjaan yang dilakukan dengan baik (Bass, 1985). Menurut Hunt, Schuler, dan Oldham bentuk pujian bukan hanya sebagai penghargaan semata, juga sebagai pengakuan publik atas kinerja yang luar biasa. Pujian, pengakuan serta penghargaan tergantung pada kinerja. Hal tersebut memiliki maksud agar meningkatkan kinerja anggota agar lebih baik lagi dengan tingkat efektifitas yang tinggi (Bass, 1985). Reward, imbalan atau hadiah bukan sekedar pengakuan atau motivasi untuk anggota, juga dapat menghilangkan hambatan-hambatan dalam bekerja. Hukuman merupakan bentuk kegagalan dari anggota yang tidak dapat memenuhi harapan. Luthans dan Krietner (1975), hukuman merupakan tindakan ketika kinerja tidak sesuai dengan aturan. Bentuk hukuman biasanya dilakukan dengan denda, suspensi tanpa dibayar dan kehilangan dukungan pemimpin (Bass, 1985). Kepemimpinan transaksional biasanya berorientasi pada tingkat efisiensi dan hasil yang memuaskan daripada ide-ide kreatif jangka panjang. Pemimpin transaksional menampilkan taktik fleksibel dengan menggunakan kekuasaan untuk menghargai atau menghukum demi memelihara serta meningkatkan kinerja anggota. Beberapa pemimpin transaksional yang terkenal, yaitu: 1. Lyndon Johnson, selalu terlibat dalam hubungan pertukaran dengan anggotanya, sehingga mereka mendedikasikan hidupnya demi imbalan, seperti memberikan apa yang mereka mau atau memberikan mereka posisi. 2. Henry Ford pada tahun 1914, ia membuat kesepakatan dengan para pekerja untuk tidak boleh menolak sistem yang dibuatnya dengan menawarkan upah yang tinggi, sekitar $ 5 per hari. Akan tetapi untuk mendapatkan itu semua para pekerja harus mematuhinya baik di dalam maupun di luar pabrik. Tidak ada waktu untuk mentoleransi tindakan pekerja, sampai-sampai ia menyebar mata-mata untuk menegakkan kedisiplinan. 3. Robert Moses merupakan pemimpin transaksional yang bertahan selama 50 tahun dengan perubahan besar. Moses sukses dengan membuat bendungan, jalan, terowongan dan jembatan untuk mengubah pemandangan secara fisik, ekonomi dan pola hidup masyarakat. 4. Bass menemukan bahwa apoteker rumah sakit cenderung merasa puas ketika kinerja mereka dihargai dengan imbalan. Menurut mereka, tingkat semangat bekerja menurun ketika berusaha sekeras apapun gaji tetap sama. Transformational and Transaksional Leadership Tabel 1.5 Perbedaan kepemimpinan transformasional dan transaksional No. Transaksional 1. Pemimpin transaksional memberikan hadiah khusus terhadap anggotanya dengan syarat mematuhi segala aturan dan kesepakatan yang ada. 2. Pemimpin transaksional berdiskusi dengan anggotanya tentang pertukaran yang diberikan ketika memberikan pelayanan. 3. Pemimpin transaksional berdiskusi dengan anggotanya tentang keinginan mereka dalam menerima imbalan yang sesuai. 4. Pemimpin transaksional berpartisipasi dengan anggota dalam mencapai konsensus tentang cara anggota dalam memenuhi tugas setelah pertukaran diterima. 5. Pemimpin transaksional memotivasi anggota agar memenuhi janji setelah pertukaran. 6. Kepemimpinan transaksional mementingkan hasil atas kepercayaan dan kinerja yang disepakati bersama. Transformasional Pemimpin transformasional mengidentifikasi tujuan dasar untuk mengarahkan anggotanya bekerja. 7. Pemimpin transformasional berbicara soal perubahan apa yang bisa dilakukan. Pemimpin transformasional menerima dan mengubah mereka. Pemimpinan transformasional cenderung menghasilkan lebih banyak usaha, kreativitas dan produktivitas dalam jangka panjang. 8. 9. Pemimpin trransaksional menerima apa yang dapat dibicarakan. Pemimpin transaksional menerima individu dengan imbalan. Pemimpin transaksional dapat memberikan hadiah yang memuaskan dalam jangka pendek. Pemimpin transformasional memberikan simbol persuasif serta gambaran akan tujuan organisasi mereka yang baru. Pemimpin transformasional berdiskusi dengan anggotanya tentang kesadaran akan pentingnya pandangan objektif terkait organisasi. Pemimpin transformasional mencari konsensus partisipatif untuk restrukturisasi organisasi. Pemimpin transformasional mendorong pengembangan anggota. Kepemimpinan transformasional dimulai dengan mengambil kepercayaan anggota dengan hasil yang diinginkan. Sumber: Bass, Bernard M. 1985. Leadership Performance and Beyond Expectations. New York : The Free Press. 1.7 Metode Penelitian 1.7.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Terdapat beberapa pendapat terkait penelitian kualitatif yaitu: 1. Menurut Creswell, penelitian kualitatif yaitu suatu proses penelitian untuk memahami masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan komplex yang disajikan dengan kata-kata serta interpretasi data (Creswell, 2007). 2. Menurut Gubah dan Lincoln, penelitian kualitatif berusaha menelusuri dan mengungkap kasus khusus bersifat lokal kemudian dikonstruksikan untuk menghasilkan fenomena sosial yang diteliti (Creswell, 2007). 3. Metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik (Anselim Staruss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar). Penelitian kualitatif hadir untuk memahami realitas secara mendalam guna mendeskripsikan, menganalisaserta menginterpretasi berbagai data dan informasi (Creswell, 2007). Cara kerja penelitian kualitatif berfokus pada pengalaman yang bersifat individu atau unik, dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Seperti halnya penelitian kali ini, dengan rumusan dan tujuan penelitian yang menekankan pada interpretasi dan analisa mendalam soal konstruksi atau pandangan masyarakat terkait kepemimpinan dalam perspektif gender saat ini, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan dalam metode penelitian ini yaitu deskriptif. Pendekatan secara deskriptif yaitu pendekatan dengan menggambarkan, menuturkan, melukiskan dan memaparkan subyek/ obyek secara detail guna memperoleh penjelasan yang mendalam. Tujuan dalam penelitian ini juga selaras dengan pendekatan deskriptif yang mana dapat menggambarkan dan menginterpretasikan data secara menyuluruh terkait pandangan masyarakat terhadap kepemimpinan dan gender saat ini. 1.7.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di desa Adireja kulon dan adireja wetan, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih dengan berbagai pertimbangan, salah satunya yaitu sesuai dengan konteks penelitian yang membutuhkan lokasi penelitian sedang dipimpin oleh kepala desa perempuan dan laki-laki. Selain itu juga mempertimbangkan aspek sosial masyarakat setempat yang telah dijelaskan dalam bagian latarbelakang. Mengingat lokasi kedua Desa tersebut berdekatan, maka tidak heran jika kedua Desa tersebut memiliki karakter sosial masyarakat yang hampir sama. Karakter sosial masyarakat tersebut yaitu masih menganut sistem patriarkhi, stereotype yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang biasanya harus dilakukan dan tidak sebaiknya dilakukan (contoh telah dijelaskan dalam bagian latarbelakang). Hal tersebut kemudian mempengaruhi cara pandang masyarakat terkait maskulinitas dan feminitas kepemimpinan yang ada di Desa tersebut. Lokasi penelitian berada di sekitar lingkungan warga, mengingat rumusan masalah menekankan pada pandangan masyarakat setempat. Akan tetapi guna mendapatkan data yang komprehensif,pengambilan data juga dilakukan di sekitar kantor kepala Desa, mengingat aparat desa juga sebagai masyarakat dan subyek penelitian yang merasakan langsung kepemimpinan kepala Desa. 1.7.3 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik yaitu: 1. Data primer Pengumpulan dengan menggunakan data primer merupakan pengumpulan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan, berikut teknik pengumpulan data primer: a. Wawancara Wawancara merupakan proses tanya jawab antara peneliti dengan subyek peneliti yaitu informan kunci. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur yaitu wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan, akan tetapi boleh muncul pertanyaan-pertanyaan lain diluar daftar pertanyaan yang telah disusun. Hal tersebut memiliki maksud agar peneliti dapat menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat informan menjawab atau akan menguatkan sebuah argument dengan pertanyan-pertanyaan lain. Pemilihan wawancara semi terstruktur juga memiliki maksud agar peneliti tetap sesuai dengan rumusan masalah dan wawancara tidak meluas pada hal-hal yang tidak penting. Dalam penelitian ini juga menggunakan wawancara mendalam. Wawancara mendalam merupakan proses memperoleh data secara mendalam dengan atau tanpa pedoman wawancara. Mengingat peneliti telah menggunakan wawancara semi terstruktur, maka dengan kombinasi wawancara mendalam peneliti memutuskan menggunakan wawancara mendalam semi terstruktur. Kombinasi keduanya merupakan kombinasi yang cocok guna mendapatkan data deskriptif yang mendalam dan detail, tapi sesuai dengan rumusan masalah yang sedang dicari. b. Observasi (Pengamatan) Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan, baik terlibat langsung maupun tidak (partisipatoris dan non-partisipatoris). Hal tersebut dilakukan guna mengamati perilaku atau aktivitas individu-individu di lokasi penelitian (Cresswell, 267). Beberapa tujuan dalam observasi yaitu: 1. Menerangkan atau melihat secara teliti semua aktifitas yang ada pada subyek atau obyek penelitian. 2. Menyaksikan secara aktif semua gejala yang ada pada subyek atau obyek penelitian. 3. Kumpulan kesan tentang realitas yang ada pada subyek atau obyek penelitian. Dalam penelitian kali ini, peneliti memilih untuk melakukan observasi non- partisipatoris, yaitu pengamatan tidak langsung atau tidak terlibat misal mengamati dengan melihat, mendengar, mencatat dan merekam kejadian yang dianggap penting oleh peneliti pada saat di lapangan. Peneliti memilih observasi non-partisipatoris dengan melihat keterbatasan waktu dan kurang memungkinkannya observasi partisipatoris. c. Dokumentasi Dokumentasi dalam data primer yaitu proses mengambil gambar, video atau rekaman pada saat observasi non-partisipatoris berlangsung di lapangan oleh peneliti. Hasil dokumentasi oleh peneliti merupakan data primer karena diambil langsung oleh peneliti. Terutama pengambilan gambar guna mendukung pelaporan dalam penelitian ini. Sedangkan pengambilan video atau rekaman guna mempermudah peneliti agar tidak terjadi miss data karena lupa atau sebagainya. Selain itu, video atau rekaman juga dapat digunakan untuk membuktikan keaslian dalam penelitian ini d. FGD (Focus Group Discussion) Focus Group Disccussion atau yang biasa disebut FGD merupakan kelompok diskusi untuk membahas sebuah persoalan. Kelompok FGD biasanya terdiri dari 6 sampai 8 orang dengan moderator yang dapat memantik jalannya diskusi. FGD dalam penelitian sangat membantu dalam proses pengambilan data secara cepat. Walaupun demikian, penting untuk tetap mempertimbangkan kembali perlu atau tidak dan dapat atau tidak diadakan FGD. Mengingat penting untuk memperhatikan konteks informan dan pembahasan yang akan dilaksanakan. Beberapa kelompok atau kalangan tidak selalu dapat disatukan dalam satu forum dengan satu pembahasan. Setiap kelompok atau kalangan memiliki konteks pembahasan yang berbeda, sehingga penting untuk mempertimbangkan kembali perlu atau tidak dan dapat atau tidak diadakan FGD. FGD dalam penelitian ini bersifat fleksibel tergantung situasi dan kondisi lapangan serta kebutuhan dalam penelitian ini. 2. Data Sekunder Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder merupakan teknik pengumpulan data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui pihak/ perantara lain misal: a. Membaca tulisan, misal membaca buku, koran, artikel, website dan dokumen lainnya yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini. b. Melihat dan mengambil gambar atau video, baik dalam youtube, website, televisi dan lainnya yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini. c. Mendengarkan sebuah rekaman, baik dalam bentuk radio, rekaman manual dari pihak lain dan lainnya yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini. 1.7.4 Subyek Penelitian atau Informan Subyek penelitian atau informan merupakan individu yang terlibat dalam proses pengambilan data penelitian ini. Biasanya informan terlibat dalam proses wawancara, yang mana terjadi tanya jawab antara peneliti dan individu. Berikut beberapa penjelasan terkait teknik pengambilan informan dan informan terpilih berdasarkan beberapa pertimbanganpertimbangan: 1. Teknik Pengambilan Informan Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik pengambilan secara quota dan purpose. Peneliti tidak mengambil informan dalam jumlah banyak atau besar, cukup sedikit, sesuai tujuan, berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat yang ada dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat mendukung penelitian ini. Berikut penjelasan secara singkat terkait teknik pengambilan quota dan purpose: a. Quota Masyarakat dibagi atau di kelompokan ke dalam beberapa kelompok masyarakat berdasarkan kelompok masyarakat yang ada di Desa Adireja Kulon. Calon informan dalam setiap kelompok masyarakat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Penjelasan lebih lanjut terkait rasionalisasi calon informan terdapat pada sub bagian informan. b. Purpose Pengambilan informan ditentukan berdasarkan kelompok masyarakat yang ada di Desa Adireja Kulon dan Adireja Wetan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selain itu, teknik pemilihan secara purpose memiliki memiliki maksud agar setiap kelompok masyarakat menjadi representasi dan memiliki tingkat komprehensif lebih dalam memperoleh data. 2. Informan a. Berdasarkan Kelompok Masyarakat No. Nama Kelompok Jumlah 1. Karang taruna (ketua dan anggota) 2 orang 2. PKK atau Dasawisma (sekretaris dan anggota) 2 orang 3. Kelompok petani (pertanian, peternakan, dan perikanan) 3 orang 4. Kelompok kesenian (ketua/ yang mewakili) 1 orang 5. Pejabat desa (sekretaris Desa, kepala departemen, staff di 5 orang pemerintahan Desa, kepala Dusun dan ketua RW) Tabel 1.6 Informan Berdasarkan Kelompok Masyarakat b. Berdasarkan Mata Pencaharian No. Jenis Mata Pencaharian Jumlah 1. Kalangan akademisi 2 orang 2. Kalangan pedagang meliputi pedagang kecil (penghasilan 3 orang dibawah 1juta/ bulan); pedagang menengah (penghasilan 1juta > 5juta/ bulan); dan pedagang besar (penghasilan diatas 5juta/ bulan). 3. Kalangan buruh meliputi buruh terlatih (karyawan, SPG, 2 orang dll) dan buruh tidak terlatih (buruh bangunan, PRT, dll) 4. Kalangan pelajar 1 orang 5. Kalangan profesional 1 Orang Tabel 1.7 Informan Berdasarkan Mata Pencaharian Pemilihan kelompok masyarakat sebagai calon informan karena biasanya mereka yang terlibat langsung dengan program-program Desa, baik rapat Desa maupun pelaksanaannya. Sedangkan pemilihan calon informan berdasarkan mata pencaharian diatas karena mata pencaharian dianggap sebagai simbol ekonomi atas kesejahteraan dan pembangunan Desa. Sehingga penting untuk mempertimbangkan mata pencaharian sebagai representasi kalangan masyarakat yang merasakan langsung proses dan dampak kepemimpinan kepala Desa tersebut. Nama-nama kelompok masyarakat dan mata pencaharian yang tertera berdasarkan pra observasi pengambilan data yang dilakukan sekali pada saat penyusunan proposal berlangsung. Walaupun hanya sekali, setidaknya memberikan gambaran terkait nama-nama kelompok masyarakat dan mata pencaharian yang ada. Sekalipun demikian, nama-nama kelompok masyarakat atau mata pencaharian dapat berubah sefleksibel mungkin tergantung situasi dan kondisi pada saat dilapangan. Mengingat satu kali tersebut tidak memberikan gambaran yang detail dan menyeluruh terhadap situasi atau kondisi yang ada di lapangan. Akan tetapi, peneliti akan memaksimalkan pada saat pengambilan data berlangsung dengan meminta data penduduk pada pemerintahan Desa. Hal tersebut baru bisa dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dan wewenang melakukan penelitian di Desa tersebut oleh pihak jurusan Sosiologi UGM. Sedangkan pertimbangan menyoal jumlah pada setiap kelompok atau kalangan masyarakat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut: a. Jumlah 1 orang pada bagian kalangan pelajar dirasa mencukupi mengingat pada bagian karang taruna berjumlah 2 orang. Jumlah kalangan pelajar lebih sedikit mengingat telah tercukupi pada bagian karang taruna yang mayoritas masih muda dan biasanya masih pelajar. Sedangkan jumlah karang taruna lebih banyak mengingat mereka lebih sering terlibat langsung dengan kepemimpinan kepala Desa. b. Jumlah 2 orang pada bagian PKK atau Dasawisma karena biasanya jumlah dalam kelompok inti PKK atau dasawisma lebih sedikit, maka jumlah 2 orang tersebut dirasa sudah merepresentasikan pandangan mereka sebagai kelompok PKK atau Dasawisma. c. Kelompok kesenian hanya 1 orang mengingat biasanya mereka tidak banyak terlibat dengan kegiatan Desa. Akan tetapi penting melihat pandangan mereka dari sudut pandang kreatifitas dan seni yang ada di Desa. d. Kelompok petani berjumlah 3 orang dengan asumsi terdapat pertanian, peternakan, dan perikanan. Setiap sub kelompok petani diusahakan berjumlah 1 orang sehingga keseluruhan terdapat 3 orang sebagai calon informan. Jumlah tersebut dianggap representasi karena biasanya tidak semua anggota terlibat langsung, sehingga peneliti memaksimalkan calon informan yang benar-benar mengerti situasi dan kondisi masing-masing sub kelompok petani kaitannya denga kepemimpinan kepala Desa. e. Jumlah pada pejabat Desa lebih banyak mengingat mereka lebih banyak bersentuhan atau bersinggungan dengan kepemimpinan kepala Desa. Sekretaris Desa, kepala Departemen, staff pemerintahan Desa, kepala dusun dan ketua RT dianggap telah merepresentasikan masing-masing elemen yang ada pada bagian pejabat Desa. f. Kalangan akademisi berjumlah 2 orang karena dianggap telah merepresentasikan kalangan akademisi lainnya. g. Kalangan pedagang dan buruh masing-masing berjumlah 3 dan 2 orang dengan asumsi bagian pedagang memiliki sub bagian pedagang kecil, menengah dan besar. Masing-masing sub bagian tersebut cukup direpresentasikan oleh 1 orang sehingga keseluruhan berjumlah 3 orang. Sedangkan bagian buruh memiliki sub bagian buruh tidak terlatih dan terlatih. Masing-masing sub bagian juga cukup direpresentasikan oleh 1 orang sehingga keseluruhan berjumlah 2 orang. h. Kalangan profesional merupakan kalangan masyarakat Desa yang biasanya memiliki presentasi paling sedikit. Oleh karena itu kalangan profesional cukup direpresentasikan oleh 1 orang saja dengan catatan calon informan tersebut cukup mengetahui sedikit banyak terkait kepemimpinan kepala Desa, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu, dalam pemilihan informan peneliti juga mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: 1. Berdasarkan Pendidikan Pendidikan merupakan simbol pengetahuan. Pengetahuan menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan calon informan, agar pada saat wawancara atau diskusi calon informan dapat menyampaikan argumen atau analisa yang tajam, terutama menyoal pandangan masyarakat terhadap kepemimpinan dan gender. Walaupun demikian, tetap sesuai kondisi dan situasi desa tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat informan dalam kelompok atau kalangan masyarakat yang tidak berpendidikan. Apabila itu terjadi, maka pengambilan informan dalam kelompok atau masyarakat tetap dilakukan sesuai jatah dalam jenis kelompok atau kalangan masyarakat. Mengingat, tidak selalu yang tidak berpendidikan tidak mengetahui soal kepemimpinan dan gender. Dampak kepemimpinan tidak hanya dirasakan sebagian warga, juga seluruh warga, maka mereka dianggap tetap memiliki kecenderungan dapat memberikan pendapat soal kepemimpinan dan gender. 2. Berdasarkan Tempat Memiliki maksud bahwa dalam penelitian ini tidak mengharuskan setiap Dusun atau RT/ RW terdapat satu informan sebagai representasi. Hanya saja, peneliti mengusahakan terdapat sebaran yang merata dalam pemilihan informan berdasarkan Dusun atau RT/ RW dalam desa tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut bersifat fleksibel yaitu sesuai kondisi dan situasi dilapangan dengan pertimbangan yang matang. Akan tetapi, dengan pemilihan jenis kelompok dan kalangan masyarakat, memiliki kecenderungan dengan sebaran yang merata. Mengingat, setiap Dusun atau RT/ RW pasti memiliki calon informan dengan jenis kelompok atau kalangan masyarakat yang telah ditentukan. 3. Berdasarkan Usia Paling tidak, dalam pemilihan informan diusahakan terdapat usia muda (17 – 29 tahun), sedang ( 30 – 49 tahun), dan tua (49+). Alasan pemilihan informan dimulai pada usia 17+ mengingat usia tersebut telah memiliki hak politik dan dianggap telah melek politik terutama soal kepemimpinan. Selain mereka ikut merasakan dampak kepemimpinan, biasanya beberapa dari usia tersebut ikut membantu proses pelaksanaan pemerintahan Desa, misal ikut dalam kelompok karang taruna atau kelompok kesenian. Selain itu, penjelasan soal rentang usia tua dimulai dari 49 tahun sampai lebih dan tidak ditentukan berapa pun usia tua tersebut, mengingat peneliti belum tahu sampai pada usia berapa rata-rata penduduk di kedua Desa tersebut. Berapa pun usia tua asal lebih dari 49 tahun, maka dianggap masuk golongan usia tua, akan tetapi tetap mempertimbangkan soal pendengaran, penglihatan dan ingatan informan. Hal tersebut penting untuk mengurangi kecenderungan human eror dalam argumen dan analisa soal kepemimpinan dan gender. 4. Berdasarkan Gender Maksud dari pertimbangan berdasarkan gender yaitu terdapat keseimbangan antara informan laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial terkait gender dan stereotype yang dilabelkan pada perempuan atau laki-laki telah memberikan dampak pada cara pandang yang berbeda dari keduanya. Sehingga penting mempertimbangkan keseimbangan antara informan laki-laki dan perempuan untuk memperoleh data dan analisia yang lebih komprehensif, terutama menyoal feminitas dan maskulinitas dalam kepemimpinan kepala Desa. 5. Berdasarkan Strata Sosial Strata sosial merupakan perbedaan individu atau kelompok secara hierarki berdasarkan kelaskelas sosial dalam masyarakat. Pertimbangan berdasarkan strata sosial penting, mengingat setiap kelas memiliki perspektif atau pandangan yang berbeda dalam menanggapi sebuah persoalan. Wujud strata sosial dalam mempertimbangkan calon informan diimplementasikan kedalam pemilihan informan berdasarkan mata pencaharian. 1.7.5 Triangulasi Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2008). Triangulasi merupakan multimetode yang dilakukan peneliti dalam mencari kebenaran dengan melihat sudut pandang berbeda. Menurut Norman K. Denkin, triangulasi merupakan metode kombinasi dengan mencari sudut pandang berbeda untuk meminimalisir perbedaan sebanyak mungkin. Dalam penelitian ini terdapat empat triangulasi: 1. Triangulasi Metode Triangulasi metode merupakan cara mencari data yang lebih akurat dengan membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. Misal dalam penelitian ini menggunakan metode teknik pengumpulan data wawancara, observasi dan dokumentasi. Untuk mengecek keakuratan data, maka dilakukan silang metode dalam proses check and recheck, misal jika sebelumnya menggunakan wawancara maka pada saat check and re-check dapat menggunakan observasi atau dokumentasi, contohnya meminta bukti melalui gambar atau video, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi jika dalam proses wawancara sebelumnya sudah dibuktikan dengan data, misal dokumentasi gambar atau video maka triangulasi tidak perlu dilakukan. 2. Triangulasi Sumber Data Menurut Patton, triangulasi sumber data merupakan proses pengecekan sumber data melalaui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2008). Terdapat beberapa cara dalam triangulasi sumber data yaitu membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan secara umum dan secara pribadi, membandingkan pendapat informan dari berbagai pandangan, misal kalangan akademisi, pemerintahan atau warga biasa. 3. Triangulasi Teori Setelah memiliki data, maka peneliti bukan hanya menyimpulkan analisis sesuai data, juga membandingkan dengan teori yang dianggap relevan, dalam hal ini kerangka teori yang sudah dibangun sejak awal dalam penelitian ini. 4. Triangulasi Waktu Triangulasi waktu yaitu data yang telah diperoleh pada waktu sebelumnya dicek kembali pada waktu lain. Hal tersebut untuk membuktikan tingkat konsistensi dan keakuratan yang lebih tinggi. Bukan hanya kombinasi dalam sebuah triangulasi, tapi antar triangulasi pun dapat dikombinasikan, misal kombinasi triangulasi sumber data dengan triangulasi metode. Sumber data di cross-check dengan sumber data lain yang menggunakan metode lain pula. Triangulasi akan berhenti ketika sampai pada titik jenuh data, yang mana data sudah mencapai titik homogen dan dapat ditarik kesimpulannya secara langsung. 1.7.6 Metode Analisis Data Terdapat tiga tahapan proses analisis data, yaitu reduksi data, pembahasan atau pengujian data dan penarikan kesimpulan. Berikut penjelasan terkait tahapan dalam proses analisis data: 1. Reduksi Data Data yang diperoleh dari lapangan merupakan data mentah yang acak dan berantakan. Selain itu, data lapangan biasanya telah mengalami banyak penyesuaian, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengcek ulang data lapangan dan susun secara sistematis. Hal tersebut menghindari adanya kekurangan atau kehilangan data pada saat proses pengambilan data. Ketik ulang semua data secara rapi dan sistematis. Susun berdasarkan pola, fokus, tema dan atau pokok permasalahan. Hal tersebut dilakukan guna memudahkan peneliti dalam tahapan selanjutnya. Poin-poin atau hal-hal yang akan dibahas dapat mudah dicari dalam sub bagian yang telah disusun berdasarkan fokus, tema atau pokok permasalahan tersebut. 2. Pembahasan atau Pengujian Data Setelah data tersusun rapi, cek kembali data lapangan tersebut. Hal tersebut menghindari adanya data yang kurang atau hilang. Apabila telah di cek, selanjutnya yaitu menghubungkan hasil kalsifikasi dan kategorisasi yang telah disusun dengan referensi teori dan hubungankan sifat dari keduanya. Identifikasi gagasan-gagasan yang ditampilkan oleh data untuk menunjukan bahwa tema dan asumsi dalam penelitian yang sudah ada didukung atau dikuatkan oleh data. Kaji secara berulang data agar menghasilkan pembahasan yang sesuai dengan maksud dan tujuan dalam penelitian ini. Proses selanjutnya yaitu menyusun deskripsi dari hasil analisis data secara induktif. Pembahasan secara induktif yaitu pembahasan dari mulai hasil lapangan terlebih dahulu, kemudian baru diidentifikasi permasalahan tersebut sesuai dengan rumusan masalah atau konteks dalam penelitian ini. 3. Penarikan Kesimpulan Proses terakhir yaitu penarikan kesimpulan, dalam penarikan kesimpulan peneliti diharapkan menarik benang merah dari data lapangan secara tepat dan sesuai dengan referensi dan atau teori dalam penelitian ini.