BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah Perbedaan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang Masalah
Perbedaan antara laki-laki dan perempuan dapat ditinjau dari dua macam konsep, yaitu
konsep biologis dan konsep gender (Partini, 2013). Konsep biologis terlihat dari perbedaan
fisik dan jenis kelamin. Sedangkan konsep gender lebih kontekstual, dapat berubah-ubah
seiring waktu dan berbeda-beda antar kultur satu dengan kultur lainnya. Gender dalam A
Glossary of Terms in Gender and Sexuality yaitu berhubungan dengan konstruksi sosial,
perubahan waktu, serta budaya yang bervariasi1.
Pada dasarnya gender berkaitan dengan jenis kelamin, akan tetapi gender bukan jenis
kelamin. Pengikut teori nature mungkin akan setuju bahwa gender sama dengan jenis
kelamin. Mengingat pendapat teori nature yang beranggapan bahwa perbedaan peran lakilaki dan perempuan disebabkan oleh faktor-faktor biologis (Arif Budiman, 1982). Konteks
tersebut tepat pada saat zaman purba, akantetapi tidak pada kekinian. Zaman purba menuntut
perburuan dan bertahan hidup, dengan kondisi perempuan yang hamil dan melahirkan
membuatnya harus istirahat dari perburuan dan pekerjaan berat lainnya.
Konsep tersebut berlangsung lama hingga ribuan tahun. Hal tersebut terjadi akibat
proses sosialisasi dari generasi satu ke generasi selanjutnya, menghasilkan konsep pembagian
kerja berdasarkan jenis kelamin. Argumen tersebut ditegaskan dalam teori nurture bahwa
perbedaan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin merupakan hasil proses belajar dari
lingkungannya (Arif Budiman, 1982). Sayangnya konsep tersebut memicu adanya stereotype,
dominasi-subordinasi, diskriminasi, dan kekerasan pada perempuan (Siti dan Anik, 2005).
Stereotype tersebut yaitu perempuan hanya bisa menghasilkan anak, menjaga anak,
serta mengurus rumah. Tidak jarang kita temui perempuan yang dilarang bekerja atau
berkarir, bahkan juga dilarang mendapatkan pendidikan atau keterampilan. Parahnya,
perempuan dianggap lebih lemah daripada laki-laki, sehingga kondisi tersebut memicu
adanya dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan (Siti dan Anik, 2005; IP4 Lappera,
2001).
1
The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health. 2007.A Glossary of Terms in gender and
Sexsuality. Thailand: The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health c/o Center for Health
Policy Studies.
Dominasi dalam konteks terkecil yaitu sistem keluarga, istilah lainnya yaitu sistem
patriarkhi. Sistem patriarkhi yaitu laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan perempuan
sebagai ibu rumah tangga (Partini, 2013; IP4 Lappera, 2001). Sistem yang banyak dipakai di
Indonesia yaitu sistem patriarkhi. Sistem patriarkhi merupakan sebuah pilihan, akan tetapi
yang dikritisi dari sistem ini adalah implementasi kepala rumah tangga yang lebih dominan
dalam proses pengambilan keputusan, dan ibu rumah tangga yang lebih patuh kepada kepala
rumah tangga (IP4 Lappera, 2001).
Sayangnya hal tersebut berimbas pada sistem lainnya, seperti sistem perekonomian atau
sistem politik dan pemerintahan. Sebagian besar posisi strategis seperti posisi pemimpin lebih
banyak atau hampir semua dikuasai laki-laki. Kondisi demikian terjadi akibat efek domino
dari stereotype dan dominasi atas konsep pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Konsep
yang sudah ada sengaja dilanggengkan oleh sejumlah oknum2 dengan menyepakati serta
mereproduksi ulang pengetahuan tersebut. Kondisi tersebut merupakan tindakan politik yang
direncanakan (Arif Budiman, 1982). Persoalan perempuan bukan hanya menyoal konstruksi
sosial, juga persoalan politik. Terutama dalam konteks perebutan kekuasaan, ideologi gender
erat kaitannya dengan ideologi politik (Partini, 2013).
Pada dasarnya politik merupakan usaha menentukan peraturan-peraturan yang dapat
diterima oleh sebagian besar warga demi menggapai kehidupan yang lebih baik (Miriam
Budiarjo, 2008). Demi menggapai kehidupan yang lebih baik diperlukan aktor yang berperan
aktif menjalankan tugas tersebut. Secara ideal keseluruhan elemen suatu negara sebaiknya
menjadi aktor agar tercapai keseimbangan dan tidak ada dominasi satu sama lain (IP4
Lappera, 2001). Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri aktor terpenting dalam proses
dan dinamika suatu lembaga adalah pemimpin.
Posisi pemimpin merupakan posisi startegis karena memiliki wewenang dalam
pengambilan kebijakan (Miriam Budiarjo, 2008). Sekalipun demikian, seorang pemimpin
yang bijak harus mempertimbangkan kebijakan secara matang atas kemungkinankemungkinan yang ada. Proses pertimbangan kebijakan tersebut biasanya melalui
pemungutan suara atau musyawarah. Selain bijak, seorang pemimpin juga harus memiliki
kepemimpinan yang mumpuni.
Kepemimpinan yang mumpuni dapat dilihat dari pengertian kepemimpinan itu sendiri,
misal Paul Harsey & kenneth H. Blanchard (1982) seorang ahli kajian kepemimpinan
2
Oknum dalam hal ini kaum laki-laki, mengingat mereka yang diuntungkan dalam kondisi demikian.
mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi kegiatan individu atau
kelempok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu3. Berdasarkan
pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan yang mumpuni dapat dilihat dari
seberapa jauh seorang pemimpin memiliki pengaruh.
Pada dasarnya, setiap individu memiliki jiwa kepemimpinan. Akan tetapi, setiap
individu memiliki cara atau pola kepemimpinan masing-masing. Kita mengenalnya sebagai
model-model kepemimpinan, misal kepemimpinan otoriter dan demokratis, transaksional dan
transformasional, feminim dan maskulin, serta masih banyak lainnya. Banyak penelitian
menghasilkan bahwa kepemimpinan erat kaitanya dengan gender, seperti halnya
kepemimpinan perempuan yang banyak didasari oleh sifat keibuan, maka kepemimpinan
perempuan dikenal sebagai kepemimpinan feminisme (IP4 Lappera, 2001).
Selain itu, beberapa penelitian terkait kepemimpinan dan gender mendukung argumen
tersebut, misal penelitian oleh Eagly dan Jhonson (1990) terhadap 162 pemimpin perempuan
dan laki-laki bahwa pemimpin perempuan lebih demokratis daripada laki-laki; penelitian
Simatupang (2009) bahwa 72,2% responden menyatakan perempuan mengembangkan
kepemimpinan yang berbeda dengan laki-laki; penelitian Mangunsong (2009) terhadap
pemimpin perempuan di pemerintah Sumatera Utara mengungkapkan bahwa sebagian besar
pemimpin perempuan menerapkan kepemimpinan transformasional sedangkan pemimpin
laki-laki menerapkan kepemimpinan transaksional4.
Kepemimpinan terbentuk berdasarkan kesadaran individu dan masyarakat. Banyak dari
individu yang kesadarannya dibentuk masyarakat. Walaupun demikian, terdapat proses
dialektika pada individu untuk menentukan tindakan. Akan tetapi, kenyataannya masyarakat
berhasil membuat individu berdialektika artinya individu dipaksa memikirkan kembali
tindakannya agar sesuai dengan bentukan masyarakat.
Dalam konteks kepemimpinan dan gender, Desa merupakan pilihanmenarik. Desa
merupakan kesatuan masyarakat dengan situasi dan kondisi pemerintahan yang berbeda-beda,
tergantung konteks sejarah dan norma yang terbentuk. Desa dengan lokasi tertentu memiliki
identitas unik, struktur sosial, sistem sosial serta budaya yang unik. Perbedaan antara Desa
3
Sutarto. 2006. Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sumber: http://litbang.patikab.go.id/index.php/artikel-a-jurnal/117-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalamsudut-pandang-gender/104-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudut-pandang-gender. diakses pada
tanggal 29/12/2014 pukul 19.35 WIB.
4
dan kota yang masih terasa kuat yaitu adat istiadat dan budaya di Desa, salah satunya sistem
patriarkhi.
Desa merupakan salah satu struktur pemerintahan di Indonesia. Desa sebagai bagian
dari pemerintahan Indonesia memiliki wewenang dan struktur pemerintahan. Struktur
pemerintahan yang ada di Desa meliputi kepala Desa, perangkat Desa, serta masyarakat yang
mendukung pembangunan Desa. Pembangunan Desa menjadi agenda penting pembangunan
Nasional, mengingat Desa merupakan pondasi utama Nasional. Argumen tersebut didasarkan
pada kenyataan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia adalah pedesaan, artinya sebagian
besar penduduk Indonesia berada di Desa. Sehingga, penguatan kapasitas kekuatan dan
kesadaran Desa adalah penguatan kapasitas kekuatan dan kesadaran Negara.
Pemerintah Nasional maupun Daerah selalu mendukung adanya penguatan kapasitas
dan pembangunan Desa. Hal tersebut dibuktikan dengan ditetapkannya UU No. 6 tahun 2104
tentang Desa yang dilaksanakan pada tahun 2015. Perubahan signifikan yang terjadi dari PP
No. 72 tahun 2005 menjadi UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa yaitu:
-
Masa jabatan kepala Desa selama 6 tahun dan dapat menjadi kepala Desa lagi
sebanyak tiga kali baik berturut turut atau tidak. Berbeda dengan sebelumsebelumnya, yang mana kepala Desa hanya dapat menjadi kepala Desa lagi sebanyak
satu kali.
-
Kepala desa dan perangkat Desa mendapatkan penghasilan tetap dari anggaran dana
Desa, yang mana sebelumnya tergantung pada pendapatan Desa.
-
Keuangan Desa bersumber dari alokasi dana Desa yang ditetapkan dalam APBN yang
ditransfer melalui APBD kabupaten/ kota.
Perubahan signifikan yang menjadi perhatian banyak kalangan terjadi pada pasal
alokasi dana Desa dari APBN sebesar 10% dari Kabupaten/ Kota, berikut bunyi pasal
tersebut:
1. Pasal 1 ayat 8 “Dana desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja negara yang diperuntukan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah kabupaten /kota dan digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan,
pelaksanaan
kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat.”
pembangunan,
pembinaan
2. Pasal 1 ayat 9 “Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD, adalah dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah kabupaten/ kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.”
3. Pasal 1 ayat 10 “Anggaran pendapatan dan belanja Desa, selanjutnya disebut APB
Desa, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa.
Alokasi Dana Desa dibagi rata dengan pertimbangan berdasarkan jumlah penduduk,
luas wilayah, angka kemiskinan dan tingkat kesulitan geografis. Dalam Budget in Brief
APBNP 2015 dijelaskan bahwa alokasi dana Desa mendapat tambahan sebesar 11,7 triliun,
sehingga pada tahun 2015 alokasi dana desa mencapai 20,8 triliun dan dibagi ke seluruh Desa
di Indonesia, setiap Desa paling tidak akan mendapatkan dana kurang lebih sebesar 1,4 miliar
tergantung pertimbangan yang telah disebutkan diatas.
Sedangkan peraturan alokasi dana Desa untuk belanja Desa telah ditetapkan dalam
APBD Desa yang digunakan dengan ketentuan sesuai pasal 100 UU No. 6 tahun 2014,
sebagai berikut:
a. Paling sedikit 70% (tujuh puluh perseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa
digunakan untuk mendanai penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa dan pemberdayaan masyarakat
Desa.
b. Paling banyak 30% (tiga puluh prseratus) dari jumlah anggaran belanja Desa
digunakan untuk:
1. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan perangkat Desa;
2. Operasional Pemerintah Desa;
3. Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa
4. Insentif rukun tetangga dan rukun warga.
Desa memiliki harapan dan tantangan besar dalam pengelolaan alokasi dana Desa.
Harapan untuk mempermudah pembangunan Desa, penguatan kapasitas Desa dan berbagai
kebutuhan Desa yang selama ini tidak terpikirkan pemerintah pusat akan terpenuhi. Akan
tetapi, tantangan besar dalam pengelolaan alokasi dana desa yang efektif dan efesien, terlebih
tantangan moral dalam upaya mencegah korupsi juga sedang menunggu. Banyak kalangan
atau Lembaga Swadya Masyarakat baik Lokal maupun Nasional telah mengawal Desa terkait
isu tersebut. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya kembali kepada empunya yaitu aktor dari
Desa tersebut, terutama kepala Desa sebagai pemimpin yang memiliki posisi srategis.
Aktor-aktor yang terlibat bukan hanya pejabat atau aparat Desa juga warga setempat.
Komunikasi antara pejabat Desa dengan warga setempat menjadi penentu arah kebijakan.
Walaupun demikian, tidak dipungkiri bahwa pemimpin tetap menjadi kunci utama penggerak
suatu kebijakan. Pemimpin dalam hal ini kepala Desa merupakan aktor yang mengendalikan
proses dan dinamika kebijakan suatu lembaga. Mereka dapat mempengaruhi orang lain untuk
bertindak sesuai dengan tujuan bersama, bahkan dapat mempengaruhi orang lain untuk
bertindak tidak sesuai dengan kehendak mereka. Cara memimpin sesorang dalam hal ini
kepala Desa menentukan proses dan dinamika keberhasilan atau kelancaran suatu kelompok
atau lembaga atau untuk mencapai tujuan bersama sesuai peraturan perundang-undangan.
Adipala merupakan salah satu kecamatan di kota Cilacap dengan beberapa Desa yang
menarik untuk diteliti. Desa tersebut yaitu Desa Adireja Kulon dan Desa Adireja Wetan.
Selain mempertimbangkan konteks penelitian yaitu memiliki Kepala Desa perempuan dan
laki-laki, juga mempertimbangkan aspek sosial masyarakat Desa tersebut. Selain karena
berdekatan, kedua Desa tersebut memiliki karakter sosial masyarakat yang hampir mirip,
salah satunya masih menganut sistem patriarkhi. Hal tersebut terlihat dari pembagian peran
satu sama lain antara laki-laki dan perempuan di kedua Desa tersebut.
Secara tersurat mereka mengakui bahwa laki-laki dan perempuan setara, akantetapi
secara tersirat tidak jauh berbeda dengan pembagian kerja atau peran berdasarkan jenis
kelamin. Salah satu contohnya yaitu jajaran pejabat dan atau pegawai pemerintah hampir
semua laki-laki. Apabila telah setara seperti pengakuan beberapa pihak, seharusnya pejabat
atau pegawai pemerintah tidak hampir semua laki-laki. Hal tersebut dirasa ganjal mengingat
tidak mungkin hampir semua perempuan baik dari Desa tersebut atau bukan Desa tersebut
tidak ingin atau tidak berpotensi menjadi pejabat atau pegawai pemerintahan, kecuali terdapat
persoalan yang harus dikaji kembali. Akantetapi pembahasan kita tidak sampai sejauh itu, ini
hanya untuk menjelaskan kondisi yang mendukung diadakannya penelitian di Desa tersebut.
Selain itu, stereotipe yang melekat pada perempuan dan laki-laki yang biasanya harus
dilakukan dan tidak sebaiknya dilakukan masih terasa di kedua Desa tersebut. Seperti halnya
perempuan yang dianggap tidak wajar keluar malam, perempuan yang seharusnya memiliki
kelembutan, laki-laki yang dituntut tegas dan bisa berfikir rasional. Setidaknya hal tersebut
memberikan sumbangsih terhadap cara pandang masyarakat dan atau kepala Desa itu sendiri.
Mengingat kondisi demikian mempengaruhi cara pandang masyarakat terkait kepemimpinan
yang biasanya dieratkan dengan sisi feminitas dan maskulinitas baik pada laki-laki maupun
perempuan. Padahal kepemimpinan perempuan tidak selalu feminim, begitu juga sebaliknya
yang mana bisa jadi kebalikannya atau gabungan dari keduanya.
Dengan demikian, penelitian kali ini mengambil tema kaitannya dengan kepemimpinan
Desa dan gender. Secara lebih detail, penelitian ini akan melihat persepsi warga terhadap
kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan perempuan, baik persamaan maupun perbedaan
yang mana dalam konteks kepemimpinan Desa Adireja Kulon dan Adireja Wetan,
Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1.
Bagaimana persepsi warga terhadap kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan
perempuan?
2.
Apa saja persamaan dan perbedaan kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan
perempuan berdasarkan persepsi warga?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini yaitu:
1.
Mengetahui persepsi waga tentang kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan
perempuan.
2.
Mengetahui persamaan dan perbedaan kepemimpinan kepala Desa laki-laki dan
perempuan berdasarkan persepsi warga.
3.
Mengetahui persepsi warga tentang kepemimpinan kepala Desa yang dianggap ideal
dalam upaya pembangunan Desa.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dalam penelitian ini yaitu:
1.
Memberikan sumbangsih ilmu terhadap disiplin ilmu Sosiologi, terutama dalam
konteks persepsi warga terhadap kepemimpinan laki-laki dan perempuan di tingkat
Desa.
2.
Memberikan gambaran tentang kepemimpinan kepala desa laki-laki maupun
perempuan yang dianggap ideal oleh masyarakat.
3.
Memberikan saran dan masukan terhadap kepemimpinan kepala Desa Adireja Kulon
dan Adireja Wetan berdasarkan persepsi warga setempat.
1.5 Tinjuan Penelitian
Kepemimpinan dan gender merupakan topik yang menarik. Tidak mengherankan
apabila banyak penelitian terkait kepemimpinan dan gender. Berikut beberapa penelitian
terkait kepemimpinan dan gender yang terkenal bahkan dijadikan acuan oleh banyak peneliti
lainnya:
1.
Penelitian yang dilakukan oleh Eagly dan Jhonson (1990) terhadap 162 pemimpin
perempuan dan laki-laki, menemukan bahwa pemimpin perempuan lebih demokratis
daripada pemimpin laki-laki. Berikut pendapat Eagly dan jhonson5:

Perempuan memiliki kecenderungan cara memimpin yang lebih partisipatif,
sedangkan laki-laki cenderung mengadopsi cara yang lebih direktif.

Perempuan lebih memiliki orientasi tugas berbanding terbalik dengan stereotipe
tradisional soal peran seks.

2.
Demokratis dan otokratis yaitu aspek yang berbeda soal perilaku kepemimpinan.
Penelitian yang dilakukan oleh Gibson menunjukkan bahwa sebagian besar perempuan
memiliki perilaku communal yang cenderung memikirkan kesejahteraan bawahan,
menekanan interaksi dan memfasilitasi bawahan. Berbeda dengan kaum laki-laki yang
cenderung memiliki perilaku tegas, berorientasi pada tujuan dan cenderung bersifat
menguasai. Berdasarkan karakteristik gender, ia menggolongkannya menjadi
kepemimpinan
otokratis
(directive
leadership)
untuk
laki-laki,
sedangkan
kepemimpinan demokratis (participative leadership) untuk perempuan.
3.
Schermerhorn (1999)6, pemimpin wanita lebih cenderung demokratik, menghormati,
prihatin terhadap pekerja/bawahannya, dan berbagi „kekuasaan‟ serta perasaan dengan
orang lain. Sedangkan pria lebih cenderung bersifat transaksi antara ia dan
bawahannya. Pemimpin laki-laki juga memiliki kecenderungan terarah dalam menjaga
kelakuan asertifnya, dimana mereka lebih banyak mengunakan otoritas, memberi
arahan, serta nasehat yang lebih banyak,
Selain itu, beberapa penelitian lainnya terkait kepemimpinan dan gender dalam konteks
Indonesia yaitu:
5
Muslim, Bakhtiar. 2013. Karakteristik Pemimpin Laki-laki dan
Perempuan.http://bakhtiarmuslim.blogspot.com/2013/10/karakteristik-pemimpin-laki-laki-danperempuan.html yang diakses pada tanggal 17/04/2015 pukul 12.50 WIB.
6
Jumiati dan Said. 2014.Kepemimpinan Pria dan Wanita. Repository.unri.ac.id, diakses pada tanggal
17/04/2015 pukul 12:54 WIB.
1.
Penelitian Lenny I.F.W Simatupang (2009) tentang kepemimpinan perempuan7.
Berawal dari keresahannya atas isu kepemimpinan perempuan yang masih jarang
ditemui, mengingat kepemimpinan masih dianggap sebagai peran yang dimiliki oleh
laki-laki. Penelitian yang ia gunakan yaitu penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Penelitian tersebut dilakukan pada 36 responden perempuan yang bekerja di
kantor pemerintahan Sumatra Utara dengan menyebarkan kuesioner yang telah
disusunnya. Berdasarkan kuesioner yang telah disebar, berikut hasil analisa yang
dikemukakan beliau:

Pemimpin perempuan memiliki kemampuan manajerial dan kemampuan lainnya
yang setara dengan laki-laki. Hal tersebut dinyatakan oleh seluruh responden
yakni 36 orang (100 %).

Perempuan sebagai pemimpin memiliki kepemimpinan berbeda dengan laki-laki
(72,2 %). Perempuan memiliki kepemimpinan sendiri, yaitu kepemimpinan
Androgini. Kepemimpinan androgini adalah kepemimpinan yang memiliki sisi
feminimitas dan maskulinitas, sebagai seorang pemimpin perempuan, mereka
menunjukkan jati dirinya dan tidak perlu meniru dan berperilaku sebagai laki-laki
namun juga tidak perlu menghindari sifat kelembutan pada saat menjadi
pemimpin.
2.
Penelitian Mangunsong (2009)8 terhadap pemimpin perempuan di pemerintah Sumatera
Utara mengungkapkan bahwa sebagian besar pemimpin perempuan menerapkan
kepemimpinan
transformasional,
sedangkan
pemimpin
laki-laki
menerapkan
kepemimpinan transaksional.
Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian lainnya yaitu pada konteks konstruksi
masyarakat. Berbicara konstruksi masyarakat atau pandangan masyarakat, mungkin banyak
penelitian terkait hal tersebut, akan tetapi setiap Desa memiliki ciri khas masing-masing
dalam menanggapi dinamika kepemimpinan yang ada, dan belum pernah dilakukan
penelitian terkait hal tersebut di Desa tersebut. Terlebih dengan adanya konteks baru yaitu
peraturan terkait Alokasi Dana Desa.
7
Simatupang, Lenny. 2009. Kepemimpinan Perempuan Dalam Birokrasi (Studi Deskriptif Pada Kantor
Pemerintahan Provinsi Sumatra Utara, Medan). Repository.usu.ac.id, diakses pada tanggal 17/04/2015 pukul
12:22 WIB.
8
Aeni, Nurul. 2013. Efektifitas dan Gaya Kepemimpinan dalam Sudut Pandang Gender.
http://litbang.patikab.go.id/index.php/artikel-a-jurnal/117-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudutpandang-gender/104-efektifitas-dan-gaya-kepemimpinan-dalam-sudut-pandang-gender. diakses pada tanggal
29/12/2014 pukul 19.35 WIB.
1.6
Kerangka Teori
1.6.1 Peter L. Berger: Konstruksi Sosial9
Peter L. Berger merupakan salah satu Sosiolog yang menghasilkan karya terkenal yaitu
konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial merupakan teori yang melandasi pemikiran adanya
keterkaitan antara gender dan kepemimpinan (dalam konstruksi masyarakat). Landasan
berfikir dalam penelitian ini yaitu konstruksi masyarakat (terkait gender) dapat
mempengaruhi tindakan kepemimpinan atau (tindakan) cara memimpin dipengaruhi
konstruksi masyarakat (terkait gender).
Pemikiran utama dalam teori ini yaitu eksternaliasai, obyektifikasi dan internalisasi.
Ketiganya memiliki keterkaitan kuat satu sama lain dan berjalan dengan siklus yang terus
menerus. Berikut penjelasannya:

Eksternalisasi
Eksternalisasi merupakan awal munculnya siklus pembentukan konstruksi sosial.
Mengingat manusia lahir di bumi dengan kondisi materialnya. Asumsi tersebut lahir dari
pemikiran bahwa manusia pada awal sejarah merupakan manusia primitif dengan jumlah
yang sedikit. Maksud dari manusia primitif yaitu mereka yang hidup dengan segala
keterbatasan pengetahuan seperti pengetahuan dalam mencari makanan, bertahan dari
serangan binatang buas atau peralatan dan perlengkapan dalam menunjang kehidupan. Pada
dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri bertahan hidup dan
keingintahuan yang tinggi. Hal tersebut merupakan dasar dari proses berfikir dan bertindak
yang dilakukan manusia.
Tidak dipungkiri, proses berfikir dan bertindak lahir dari realitas sosial dan kondisi
materilnya. Kondisi materil memaksa manusia mencari tahu cara bertahan hidup dan
memenuhi naluri keingintahuannya. Hal dasar bertahan hidup pada masa itu adalah bertahan
dari hewan buas, berburu hewan buas, mencari makanan serta berlindung dari terik matahari
atau hujan. Seperti yang telah disinggung pada bagian latarbelakang, berbagai pemikiran
serta pertimbangan akhirnya disepakati, mengingat kondisi perempuan yang hamil dan
melahirkan, perempuan lebih baik beristirahat menjaga kediaman sembari merawat anak
yang telah dilahirkan.
9
Sumber: Peter L. Berger dan Thomas Luckman. 2013. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi
Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Riyanto, Geger. 2009.Peter L. Berger:Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta: LP3ES.

Institusionalisasi
Realitas sosial dan kondisi materil menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan
menggerakan tindakan manusia, salah satunya berinteraksi dan melahirkan kesepakatan.
Proses interaksi dan kesepakatan tersebut merupakan bagian dari institusionalisasi.
Institusionalisasi merupakan strategi sosial dalam mencari keteraturan. Institusi memberikan
proses dan dinamika kehidupan yang lebih kompleks. Bukan hanya menyelesaikan persoalan
manusia, juga membentuk perilaku masyarakat itu sendiri. Seperti halnya kesepakatan
pembagian kerja secara seksual. Awalnya untuk mencari jalan keluar, setelah dirasa berhasil
masyarakat cenderung bertahan dan tidak mau mengambil resiko untuk mengubahnya.

Legitimasi dan Obyektifikasi
Manusia memiliki kecenderungan yang repetitif yaitu mengulang-ulang kejadian yang
dianggap berhasil. Kondisi yang diulang terus menerus menghasilkan habitualisasi atau
pembiasaan, sehingga terbentuklah pola dan tatanan sosial. Pola dan tatanan sosial yang
terbentuk akan cenderung dipertahankan oleh masyarakat secara terus-menerus. Berbagai
penjelasan logis atas suatu kondisi menjadi senjata jitu dalam mempertahankan kondisi
tersebut. Pada tahap ini telah memasuki proses legitimasi. Proses legitimasi yaitu proses
justifikasi atas kondisi-kondisi dengan penjelasan-penjelasan logis demi mempertahankan
institusi. Penjelasan-penjelasan yang dianggap logis mempertahankan pola sedemikian rupa,
menghasilkan norma, adat atau budaya yang tak terbantahkan. Ketika banyak dari masyarakat
menyepakati penjelasan-penjelasan logis tersebut, maka itulah yang dimaksud dengan proses
obyektifikasi.

Sosialisasi
Tahapan selanjutnya yaitu proses sosialisasi. Proses sosialisasi merupakan wadah
mempertahankan pengetahuan yang telah terobyektifikasi. Terdapat dua jenis proses
sosialisasi dalam mendukung keberlangsungan suatu pengetahuan, yaitu sosialisasi primer
dan sekunder. Sosialisasi primer yaitu sosialisasi yang dialami individu pada saat pertama
kalinya dalam masa kanak-kanak. Pada sosialisasi primer, keluarga memiliki peran yang
sangat besar dalam membentuk individu. Sedangkan sosialisasi sekunder yaitu proses setelah
masa kanak pada sektor-sektor baru dunia obyektif masyarakat. Proses sosialisasi yang
dibentuk dari kenyataan obyektif dibarengi dengan subyektifitas individu dalam membentuk
identitasnya.

Internalisasi
Sosialisasi sekunder erat kaitannya dengan diri yang telah terbentuk dan dunia yang
telah terinternalisasi. Proses internalisasi yaitu proses dimana manusia menjadi produk yang
dibentuk masyarakat. Proses internalisasi terbentuk melalui adanya sosialisasi. Proses
internalisasi merupakan dunia sosial yang telah diobyektifikasi dimasukan kembali ke dalam
kesadaran individu selama berlangsungnya sosialisasi. Kristalisasi secara bersamaan dengan
inetrnalisasi bahasa mewujudkan secara simetris dalam kesadaran individu antara kenyataan
obyektif dan subyektifikasi. Akan tetapi, dalam dimensi tertentu konteks ruang dan waktu
memiliki pengaruh untuk memodifikasi ulang pengetahuan. Unsur-unsur lama yang dianggap
tidak relevan akan dibuang dan menambahkan unsur-unsur baru yang dianggap lebih relevan.
Terdapat penafsiran ulang antara masa lalu dan masa kini. Kebutuhan-kebutuhan dapat
dikonstruksi ulang sesuai dengan konteksnya.
1.6.2 Teori Gender
Gender dalam A Glossary of Terms in Gender and Sexuality yaitu berhubungan dengan
konstruksi sosial, perubahan waktu, serta budaya yang bervariasi 10. Sedangkan menurut
Deaux dan Kite atau Thomson dan Priestley, gender merupakan bangunan sosial dan kultural
yang pada akhirnya membedakan antara karakteristik maskulin dan feminim (dalam Partini,
2013)11. Maskulin dan feminim bersifat relatif, mengingat konsep gender lebih kontekstual
dan menyesuaikan budaya dalam masyarakat setempat. Tidak heran ketika konsep gender
satu dengan lainnya berbeda-beda dan dapat berubah-ubah seiring waktu serta perkembangan
jaman.
Konsep gender muncul ketika para ilmuan melihat subordinasi perempuan menjadi hal
yang umum. Subordinasi perempuan itu sendiri bermula ketika adanya pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin. Beribu-ribu tahun silam dengan kondisi material yang ada,
manusia dituntut bertahan hidup melalui perburuan. Kondisi perempuan yang hamil dan
melahirkan membuatnya harus beristirahat dari pekerjaan berat seperti halnya perburuan.
Sehingga muncul anggapan bahwa sebaikanya perempuan di rumah, menjaga anak, merawat
anak dan melakukan pekerjaan domestik lainnya.
Kondisi tersebut diyakini oleh banyak pihak dan disosialisasikan dari generasi satu ke
generasi selanjutnya. Sayangnya kondisi tersebut berdampak pada anggapan masyarakat
terkait karakteristik-karakteristik kepantasan gender laki-laki dan perempuan. Karakteristikkarakteristik kepantasan tersebut seperti halnya laki-laki bersifat maskulin dan perempuan
bersifat feminim. Karakteristik-karakteristik kepantasan tersebut membentuk pola dan
pandangan baku masyarakat. Pola dan pandangan baku inilah yang kemudian membentuk
suatu stereotype. Kalau dalam bahasanya Deaux dan Kite yaitu sistem kepercayaan gender
atau gender belief system (dalam Partini, 2013).
Penelitian Williams dan Best yang dikutip oleh Deaux dan Kite (dalam Partini, 2013)
menunjukan adanya pandangan yang sama terkait laki-laki dan perempuan. Penelitian ini
membuktikan bahwa adanya generalisasi pandangan terhadap laki-laki dan perempuan,
sekalipun konsep gender bersifat fleksibel tergantung kebudayaan masing-masing daerah.
Pada umumnya laki-laki dipandang lebih aktif, agresif dan dominan. Sebaliknya, perempuan
10
The Southeast Asian Consurtium on Gender, Sexsuality, and Health. 2007. Thailand: A Glossary of Terms in
gender and Sexsuality.
11
Partini. 2013. Bias Gender dalam Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
dipandang lebih toleran atau suka mengalah dan memiliki nilai-nilai afektif atau kasih sayang
yang lebih.
Stereotype gender dan sistem kepercayaan masyarakat memang didasarkan pada
kenyataan yang terjadi pada msayarakat. Akan tetapi, tidak semua pelabelan maskulin untuk
laki-laki dan feminim untuk perempuan dapat diterima oleh keseluruhan masyarakat.
Perkembangan jaman terutama dalam konteks politik, baik laki-laki maupun perempuan
biasanya dituntut memiliki sifat androgini. Sifat androgini yaitu individu yang memiliki dua
sifat sekaligus yaitu sifat-sifat maskulin dan feminim (Partini, 2013) secara seimbang, misal
seorang pemimpin yang tegas dan dominan dalam berargumentasi tapi juga penyayang,
supel, ramah dan dekat dengan warganya.
1.6.3 Karakteristik Peran Gender
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pandangan gender atau karakteristik
maskulinitas dan feminitas bersifat relatif berdasarkan konteks daerah atau masing-masing
masyarakat. Akan tetapi, penelitian Williams dan Best membuktikan adanya pandangan yang
sama terkait laki-laki dan perempuan. Pada umumnya laki-laki dipandang lebih aktif, agresif
dan dominan. Sebaliknya, perempuan dipandang lebih toleran atau suka mengalah dan
memiliki nilai-nilai afektif atau kasih sayang yang lebih. Selain itu, dampak dari pembagian
kerja secara seksual mengakibatkan adanya anggapan masyarakat terkait karakteristikkarakteristik kepantasan gender seperti halnya laki-laki bersifat maskulin dan perempuan
bersifat feminim. Karakteristik-karakteritik kepantasan tersebut telah terpola dan membentuk
pandangan baku masyarakat. Pola dan pandangan baku masyarakat tersebut membentuk
sesuatu yang disebut stereotype.
Pada dasarnya tidak ada penegasan yang pasti terkait gender atau karakteristik
maskulinitas dan feminitas itu sendiri. Akan tetapi, apabila dianalisis lebih jauh berdasarkan
penjelasan sebelumnya, antara stereotype dan karakteristik maskulinitas atau feminitas itu
sendiri memiliki keterlekatan. Keterlekatan yang dimaksud yaitu sifat-sifat yang melekat
pada maskulinitas atau feminitas kurang lebih dapat diambil dari sifat-sifat stereotype yang
ada, misal karakteritik maskulinitas yaitu aktif, agresif dan dominan. Begitu juga sebaliknya,
karakteristik feminitas yaitu lebih toleran atau suka mengalah dan memiliki nilai-nilai afektif
atau kasih sayang yang lebih.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnnya bahwa tidak semua pelabelan maskulin
untuk laki-laki dan feminim untuk perempuan dapat diterima seluruh masyarakat.
Perkembangan jaman terutama dalam konteks politik, baik laki-laki maupun perempuan
biasanya dituntut memiliki sifat androgini. Sifat androgini yaitu individu yang memiliki dua
sifat sekaligus yaitu sifat-sifat maskulin dan feminim secara seimbang. Hal tersebut dianggap
penting mengingat seorang pemimpin harus memiliki kepekaan sosial yang tinggi tapi tetap
tegas dan konsisten dalam pengambilan kebijakan secara tepat sasaran. Tidak heran ketika
banyak dari laki-laki atau perempuan memiliki sifat androgini atau laki-laki yang memiliki
sifat feminin begitu juga sebaliknya perempuan yang memiliki sifat maskulin.
Hal tersebut dibenarkan oleh Sandra Bem seorang tokoh psikologi sosial terkenal. Sandra
Bem sendiri lebih terkenal konsep androgininya. Sebenarnya konsep androgini telah ada
sebelumnya. Sandra Bem merupakan orang pertama yang mempopulerkan konsep tersebut,
tidak heran jika konsep androgini lebih melekat pada Sandra Bem. Berikut 4 bagian
klasifikasikan tipe peran gender12 dari Sandra Bem:
1. Sex-typed, laki-laki memiliki tingkat maskulinitas tinggi dengan feminitas rendah,
sebaliknya perempuan memiliki tingkat feminitas tinggi dengan maskulinitas rendah.
2. Cross sex-typed, laki-laki memiliki tingkat feminitas tinggi dan maskulinitas rendah,
sebaliknya perempuan memiliki tingkat maskulinitas tinggi dan feminitas rendah.
3. Androgini, laki-laki dan perempuan memiliki tingkat maskulinitas serta feminitas
yang tinggi
4. Undifferentiated, laki-laki dan perempuan yang memiliki tingkat maskulinitas serta
feminitas yang rendah.
Selain itu Sandra Bem juga memiliki klasifikasi gender dalam diri individu yaitu
androgini, maskulin dan feminin. Berikut penjelasan secara lebih rinci13:
1. Androgini, individu memiliki kedua karakteristik stereotyoe yang tinggi, yaitu
maskulin dan feminin, seperti halnya seseorang yang memiliki kepemimpinan tinggi
tapi juga sensitif atau peka terhadap orang lain.
2. Maskulin, individu memiliki karakteristik stereotype maskulin yang tinggi dengan
karakteristik stereotype feminin yang rendah, seperti halnya seseorang yang memiliki
kepribadian kuat tapi tidak memiliki sifat iba atau kasihan.
3. Feminin, memiliki karakteristik stereotype feminin tinggi dengan karakteristik
stereotype maskulin rendah, seperti halnya seseorang penolong tapi tidak mandiri.
Pada tahun 1974 Bem mengembangkan klasifikasi gender tersebut dalam Bem Sex Role
Inventori (BSRI) yang mana terdiri dari 60 kata sifat. 20 menunjukan karakteristik maskulin,
20 lainnya menunjukan karakteristik feminin, sisanya menunjukan karakteristik yang tidak
berkaitan dengan peran gender namun diharapkan masyarakat dimiliki oleh masing-masing
individu serta mengurangi kesan perbedaan karakter feminin-maskulin agar tidak mencolok14.
12
Sakti, YM. 2011. Perbedaan Political Efficacy pada Peran Gender Maskulin, Feminin, Androgin, dan
Undifferentiated. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/chapterII.pdf diakses pada tanggal
17/04/2016 pukul 19.23 WIB
13
Kisworo, Restu Direska. 2008. Persepsi Identitas Gender dan Konsep Diri Tentang Peranan Gender.
Repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/2712/BAB;Jsessionid=A8D40DE9DC982D43D70EB6FC85C75
17E?Sequence=7 diaksesk pada tanggal 17/042016 pukul 20.41 WIB
14
Sakti, YM. 2011. Perbedaan Political Efficacy pada Peran Gender Maskulin, Feminin, Androgin, dan
Undifferentiated. Repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/chapterII.pdf diakses pada tanggal
17/04/2016 pukul 19.23 WIB
Tabel 1.1
Karakteristik Gender Sandra Bem
No. Maskulin
1.
Percaya diri
2.
Mempertahankan pendapat/
keyakinan sendiri
3.
Berjiwa
bebas/
tidak
terganggu pendapat orang
4.
Gemar olahraga
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Feminin
Mengalah
Periang atau ceria
Netral
Senang menolong
Berhati
murung/
pemurung
Berhati-hati/ teliti
Pemalu
Penuh kasih sayang
Tegas/ berani bilang tidak Merasa senang jika dirayu
jika memang tidak
Berkepribadian kuat/ teguh
Hangat dalam pergaulan
Bersemangat
Berfikir analisis/ melihat
hubungan sebab-akibat
Mampu memimpin, punya
jiwa kepemimpinan
Berani mengambil resiko
Bertingkah laku
dibuat-buat
Bahagia
yang
Isi hati sukar ditebak
oleh orang lain
Dapat dipercaya
bersifat Iri/ cemburu
Setia
Feminin atau
kewanitaan
Menaruh
simpati/
perhatian pada orang lain
Peka terhadap kebutuhan
orang lain
Mudah membuat keputusan Penuh pengertian
Dapat
berdiri
sendiri/ Mudah Iba hati/ kasihan
mandiri
Mendominasi/ menguasai
Suka menentramkan hati
orang lain
Maskulin, bersifat kelaki- Bertutur kata halus
lakian
Punya pendirian, berani Berhati lembut
mengambil sikap
Agresif
Mudah terpengaruh
Bersikap/ bertindak sebagai Polos atau naif
pemimpin
Bersifat
individual/ Tidak menggunakan kataperorangan
kata kasa/ tutur bahasa
tidak kasar
Kompetitif atau siap untuk Senang pada anak-anak
bersaing
Berambisi/ memiliki ambisi Lemah lembut
Jujur
Suka menyembunyikan
perasaan/ pikiran
Berhati tulus
Angkuh/ merasa tinggi
hati
Menyenangkan, mudah
disukai orang lain
Serius
Ramah atau bersahabat/
mudah berteman
Tidak efisien atau boros
Mudah
atau
dapat
menyesuaikan diri
Tidak sistematis, asalasalan
Bijaksana
Berfikiran kuno
Sumber: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30308/3/Chapter%20II.pdf
Akan tetapi dalam penelitian ini tidak mengambil semua karakteristik yang dimiliki Sandra
Bem. Mengingat penelitian ini menggunakan metode penelitian Kualitatif dan juga hanya
beberapa dari karakteristik kualifikasi Sandra Bem yang dianggap cocok dengan konteks
penelitian ini yaitu:
Tabel 1.2
Karakteristik Gender Sandra Bem yangCocok dengan Konteks Penelitian
No. Maskulin
1.
Memiliki pendirian kuat atau
berani mengambil sikap dan
mempertahankan
pendapat
atau keyakinan sendiri seperti
halnya tegas atau berani
bilang tidak jika memang
tidak
2.
Mudah membuat keputusan
(pengambilan keputusan cepat
tanpa ragu-ragu)
3.
4.
Mendominasi/ menguasai
Agresif
Feminin
Mengalah (dapat diartikan
bisa diajak kompromi atau
toleransi)
Androgini
Karakteristik
maskulin
feminin
seimbang
dan
yang
Memiliki nilai-nilai afektif
(menekankan aspek perasaan
dan emosi) seperti halnya
penuh kasih sayang, hangat,
mudah iba dan atau berhati
lembut.
Perhatian dan pengertian.
Peka terhadap kebutuhan
orang lain
Selain itu, guna melengkapi atau menyesuaikan konteks penelitian ini maka diambil beberapa
karakteristik gender dari referensi lainnya yang lebih cocok. Berikut beberapa karakteristik
yang diambil dari beberapa referensi:
Tabel 1.3
Karakteristik Gender dari Beberapa referensi
No. Maskulin
1.
Aktif
(Arif Budiman,
1982)
2.
3.
15
Feminin
Memiliki banyak pertimbangan dalam
memutuskan segala sesuatu sehingga
terkesan sulit atau lambat dalam
mengambil keputusan
Inisiatif (Partini, Mengelola keuangan (Partini, 2013) dapat
2013)
diartikan
perhitungan
dan
penuh
pertimbangan
dalam
management
keuangan.
Kurang terbuka15 Terbuka (Partini, 2013)
Androgini
Karakteristik
maskulin
feminin
seimbang
dan
yang
Seidler, Victor. 1988. “Fathering, Otoritas, dan Maskulinitas” dalam Male Order: Menguak Maskulinitas hlm
285-314 (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra
Sehingga dapat disimpulkan beberapa karakteristik maskulin, feminin, dan androgini yang
diambil dari BSRI milik Sandra BEM beserta perpaduan referensi lain yang dapat dijadikan
indikator dalam menganalisis kepemimpinan kepala Desa yaitu:
Tabel 1.4
Karakteristik Gender Perpaduan
No. Maskulin
1.
Memiliki pendirian kuat atau
berani mengambil sikap dan
mempertahankan
pendapat
atau keyakinan sendiri seperti
halnya tegas atau berani
bilang tidak jika memang
tidak. Akan tetapi, hal tersebut
berbeda dengan diktaktor.
2.
Mudah membuat keputusan
(pengambilan keputusan cepat
tanpa ragu-ragu).
3.
Mendominasi/
menguasai,
dominan yang dimaksud yaitu
dalam hal berargumen atau
pengambilan keputusan. Akan
tetapi, hal tersebut berbeda
dengan diktaktor.
Aktif
(Arif Budiman, 1982)
Aktif dalam konteks ini yaitu
kegiatan, mengeluarkan ide,
dan komunikasi yang terjalin
dengan warga.
Inisiatif (Partini, 2013)
Inisiatif dalam hal ini yaitu
mengikuti kegiatan Desa atau
warga, memberikan ide atau
solusi permasalahan.
Kurang terbuka16
4.
5.
6.
16
Feminin
Mengalah, dalam konteks
kepemimpinan yaitu tidak
mempertahankan
pendiriannya dengan saklek.
Memiliki
kecenderungan
toleransi dan kompromi.
Toleransi yaitu membiarkan
orang lain berpendapat lain.
Kompromi
yaitu
upaya
memperoleh kesepakatan.
Memiliki nilai-nilai afektif
(menekankan aspek perasaan
dan emosi) seperti halnya
penuh kasih sayang, hangat,
mudah iba dan atau berhati
lembut.
Perhatian dan pengertian,
biasanya
peka
terhadap
kebutuhan orang lain.
Androgini
Karakteristik
maskulin
feminin
seimbang
dan
yang
Memiliki
banyak
pertimbangan
dalam
memutuskan segala sesuatu
sehingga terkesan sulit atau
lambat dalam mengambil
keputusan
Mengelola keuangan (Partini,
2013)
dapat
diartikan
perhitungan
dan
penuh
pertimbangan
dalam
management keuangan.
Terbuka (Partini, 2013)
Seidler, Victor. 1988. “Fathering, Otoritas, dan Maskulinitas” dalam Male Order: Menguak Maskulinitas hlm
285-314 (terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra
1.6.4 Ronald Lippit dan Ralph K. White: Otoriter, Demokrasi dan Laissez-Fire
Teori kepemimpinan Ronald Lippit dan Ralph K. White telah banyak diikuti banyak
pihak. Pada saat menemukan teori tersebut, Ronald Lippit dan Ralph K. White merupakan
mahasiswa Universitas IOWA. Bersama dengan Kurt Lewin sebagai pembimbingnya,
mereka mengamati tiga orang dengan kepemimpinan berbeda-beda, yaitu otokratis,
demokratis, dan laissez faire. Berikut penjelasannya:
 Kepemimpinan Otokratis, Otoriter atau Diktaktor
Teori otokratis atau otoriter atau diktaktor merupakan teori yang digunakan untuk
menjelaskan hubungan antara pimpinan dan anggota atas dasar perintah dan pemaksaan.
Biasanya kepemimpinan ini digunakan untuk menciptakan kecepatan dan ketepatan yang
tinggi. Dalam pelaksanaanya, hanya ada satu orang yaitu pemimpin yang memberikan
perintah atau komando, sedangkan yang lainnya melaksanakan perintah dan tidak boleh
melanggar.
Pemimpin tipe ini biasanya memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Wewenang mutlak terpusat pada pimpinan
2. Keputusan selalu dibuat oleh pemimpin
3. Kebijaksanaan selalu dibuat oleh pemimpin
4. Komunikasi satu arah yaitu dari pemimpin kepada anggota
5. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan anggotanya
dilakukan secara ketat
6. Anggota tidak memiliki kesempatan untuk memberikan saran, pertimbanganatau
pendapat
7. Tugas untuk bawahan diberikan secara instruktif
8. Pimpinan menuntut prestasi sempurna tanpa syarat
9. Pimpinan menuntut kesetiaan mutlak tanpa syarat
10. Pemimpin memiliki kecendrungan menggunakan paksaan, ancaman dan hukuman
demi mendapatkan apa yang diinginkannya
 Kepemimpinan Demokratis
Teori demokratis merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan kemampuan
seseorang dalam mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan
keputusan dan kesepakatan bersama antara pemimpin dan anggota. Biasanya tipe ini sangat
memperhatikan saran, pertimbangan dan kritik dari anggotanya. Sehingga komunikasi yang
terjalin diantara pemimpin dan anggota yaitu dua arah atau timbal balik.
Berkut ciri-ciri kepemimpinan demokratis yaitu:
1. Wewenang pimpinan tidak mutlak
2. Pimpinan bersedia melimpahkan wewenang kepada anggota
3. Keputusan dan kebijakan dibuat bersama antara pimpinan dan anggota
4. Komunikasi timbal balik antara pemimpin dan anggotanya
5. Pengawasan terhadap sikap, tingkah laku, perbuatan atau kegiatan bawahan dilakukan
secara wajar
6. Anggota diberikan kesempatan menyampaikan saran, pertimbangan atau pendapat
7. Tugas kepada anggota diberikan secara permintaan daripada instruktif
8. Pimpinan mendorong prestasi sempurna kepada anggota dalam batas kemampuan
masing-masing
9. Pemimpin memperhatikan perasaan dalam bersikap dan bertindak
10. Terdapat suasana saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai
11. Tanggungjawab organisasi atau lembaga atau kelompok dipikul bersama
 Kepemimpinan Laissez-faire
Pemimpin memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada anggota dalam menentukan
keputusan. Pemimpin seperti ini biasanya tidak ikut berpartisipasi dalam kegiatan, apabila
ikut pun hampir tidak berarti sama sekali.
Sedangkan ciri-ciri tipe kepemimpina laissez-faire yaitu
1. Pimpinan melimpahkan wewenang sepenuhnya kepada anggota
2. Keputusan lebih banyak dibuat oleh anggota
3. Kebijaksanaan lebih banyak dibuat oleh anggota
4. Pimpinan berkomunikasi ketika dibutuhkan
5. Hampir tidak ada pengawasan terhadap sikap, tingkah laki, perbuatan atau kegiatan
kepada anggota
6. Hampir tidak ada pengarahan dari pimpinan
7. Peran pimpinan sangat sedikit
8. Kepentingan pribadi (pemimpin) lebih diutamakan
9. Tanggungjawab organisasi dipikul orang perorang
10. Memberikan kebabasan untuk memutuskan dengan sedikit kontrol dan pengaruh,
hanya mmberikan nasehat dan saran sejauh diminta.
1.6.5 Bernard M. Bas: Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional
Kepemimpinan menurut Eisenhower yaitu kemampuan untuk memutuskan apa yang
harus dilakukan dan bagaimana caranya agar orang lain melakukannya (Bass, 1985).
Sedangkan menurut Truman (Bass, 1985), seorang pemimpin yaitu orang yang memiliki
kemampuan agar orang lain melakukan apa yang diinginkannya, walaupun hal tersebut tidak
ingin dilakukan orang tersebut. Hal tersebut penting dimiliki seorang pemimpin, mengingat
tanggung jawab yang dimilikinya untuk melancarkan kegiatan organisasi, lembaga dan atau
kelompok dalam mencapai tujuan bersama.

Tentang Bernard M. Bass
Bernard M. Bass merupakan ilmuan politik yang mengaspirasi banyak hal, terutama
persoalan politik terkait kepemimpinan transformational. Bass telah melahirkan banyak karya
hebat, salah satu buku yang terkenal dan dijadikan referensi oleh banyak pihak yaitu
Leadership Performance and Beyond Expectation. Buku tersebut mengupas tuntas persoalan
kepemimpinan transformasional dan transaksional.

Transformational Leadership
Paradigma mendasar kepemimpinan transformational bukan sekedar mencapai hasil,
juga proses yang bermakna. Secara umum karakteristik kepemimpinan transformasional
yaitu:
1. Pemimpin dapat mempengaruhi anggota untuk bertindak sesuai dengan pemikirannya.
Bertindak sesuai dengan pemikiran sendiri akan memberikan kepuasaan pada
anggota, serta dapat membangun prinsip kinerja sesuai standar lembaga atas kemauan
sendiri.
2. Pemimpin transformasional biasanya mencoba dan berhasil dalam meningkatkan
motivasi rekan kerja, anggota, simpatisan, klien atau konstituen untuk meningkatkan
kesadaran yang lebih tentang konsekuensi.
3. Kepemimpinan seperti ini biasanya memiliki visi-misi yang jelas, tingkat kepercayaan
diri yang tinggi, kekuatan dalam melihat yang benar atau tidak, bukan hanya melihat
hasil atau sesuatu yang sedang populer. Secara singkat, memberi dan menerima
kebijakan sesuai konteks dan waktu yang tepat.
Pemimpin transformasional selalu memotivasi anggotanya agar tidak hanya mencapai
tujuan sesuai target diawal. Pemimpin seperti itu biasanya akan mengatakan bahwa sebisa
mungkin mencapai target lebih dari apa yang diharapkan. Dalam proses pencapaian tujuan
pemimpin memberikan harapan dan tingkat kepercayaan yang lebih untuk anggotanya. Hal
tersebut memiliki maksud agar anggota nyaman dalam melakukan kinerja sesuai dengan
caranya. Transformasi tersebut dapat dicapai dengan cara, sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran anggota, terutama soal value dari proses dan hasil yang
sesuai dengan cara-cara yang nyaman menurut anggota.
2. Membantu mengatasi persoalan dan menyadarkan anngotanya tentang prioritas
persoalan tim atau lembaganya.
3. Mengubah tingkat kebutuhan dengan memperluas kebutuhan dan keinginan anggota.
Menurut Siehl dan Martin, pemimpin tarnsformasioanl memberikan atmosfer budaya
dengan memberikan anggota rasa nyaman, loyalitas serta komitmen (Bass, 1985). Bass
menyebutkan,
hampir
semua
pemimpin
yang
sukses
menerapkan
kepemimpinan
transformasional. Menurutnya, untuk menjadi pemimpin transaksional merupakan perkara
mudah, akan tetapi untuk menjadi pemimppin transformasional merupakan hal yang sulit.
Karakteristik lain dalam kepemimpinan transformational (Bass, 1985), yaitu:
1. Memberikan anggota rasa percaya diri, meraka menjadikan diri sebagai pendengar
yang baik.
2. Memberikan otonomi dan mendorong perkembangan anggota, dengan berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
3. Terlihat tegas seperti menegur bawahan, akan tetapi dengan pendekatan yang luwes
atau tidak kaku.
4. Apabila terjadi kesalahan, pemimpin memberi arahan dan perencanaan yang lebih
untuk kedepannya.
Pemimpin transformasional memiliki kharisma yang dapat memainkan peran sebagai
guru, mentor, pelatih, pembaharuatau revolusioner untuk anggotanya. Mengingat, pemimpin
transformasional memiliki sikap luwes dalam mendampingi anggotanya. Biasanya pemimpin
memberikan arahan atau nasehat kepada anggota agar mudah memahami masalah, sehingga
mereka dapat menyelesaikan permasalahan dengan mudah. Selain itu pemimpin
transformasional memiliki ide-ide kreatif dalam menghadapi masalah, sehingga anggota
dapat merespon persoalan dengan jernih dan tidak tergesa-gesa.
Selain itu terdapat survei terbuka dengan 70 eksekutif laki-laki dengan kesimpulan,
seorang pemimpin trarsformational digambarkan sebagai eksekutif yang mengangkat
kesadaran anggota terkait masalah konsekuensi, pemahaman soal kebutuhan, dan
mempengaruhi anggota untuk mengatasi kepentingan sendiri demi kebaikan kelompok atau
lembaganya (Bass, 1985). Pemimpin transformasional memimpin anggotanya dengan
memotivasi atas kesadaran yang mereka lakukan.

Transaksional Leadership
Karakteristik kepemimpinan transaksional yang sangat unik yaitu kesepakatan sistem
pertukaran. Kesepakatan sistem biasanya ditandai dengan adanya reward and punishment.
Pemimpin dan anggota sepakat tentang adanya penghargaan dan hukuman. Anggota yang
menjalankan tugas dengan baik akan mendapatkan imbalan yang sesuai. Sedangkan anggota
yang tidak menjalankan tugas dengan baik akan mendapatkan hukuman, sehingga apabila
anggota tidak menghendaki hukuman, maka bekerjalah dengan baik. Implementasi
penghargaan biasanya diwujudkan dengan kenaikan gaji, kenaikan pangkat, atau
mendapatkan posisi yang dikehendaki.
Proses sistem transaksional dimulai dengan diskusi peraturan pekerjaan, imbalan dan
hukuman apa yang akan didapat jika sukses atau melanggar aturan. Setelah kesepakatan
dicapai, proses selanjutnya yaitu melegitimasi kesepakatan. Legitimasi kesepakatan
diwujudkan dengan penandatanganan kontrak kerja berisi sistem kerja dengan imbalan dan
hukumannya.
Tujuan pemberian reward atau imbalan yaitu memberikan semangat atau dorongan agar
anggota bekerja sesuai dengan harapan pemimpin. Sama halnya ketika pemimpin
memberikan hukuman, hal tersebut dimaksudkan agar anggota tidak melakukan kesalahan
dalam pekerjaan. Kelebihan lain dari adanya pemberian reward yaitu memperkuat upaya
kecepatan dan ketepatan kinerja anggota.
Menurut Sims, bentuk lain pemberian reward biasanya dengan pujian atas pekerjaan
yang dilakukan dengan baik (Bass, 1985). Menurut Hunt, Schuler, dan Oldham bentuk pujian
bukan hanya sebagai penghargaan semata, juga sebagai pengakuan publik atas kinerja yang
luar biasa. Pujian, pengakuan serta penghargaan tergantung pada kinerja. Hal tersebut
memiliki maksud agar meningkatkan kinerja anggota agar lebih baik lagi dengan tingkat
efektifitas yang tinggi (Bass, 1985). Reward, imbalan atau hadiah bukan sekedar pengakuan
atau motivasi untuk anggota, juga dapat menghilangkan hambatan-hambatan dalam bekerja.
Hukuman merupakan bentuk kegagalan dari anggota yang tidak dapat memenuhi
harapan. Luthans dan Krietner (1975), hukuman merupakan tindakan ketika kinerja tidak
sesuai dengan aturan. Bentuk hukuman biasanya dilakukan dengan denda, suspensi tanpa
dibayar dan kehilangan dukungan pemimpin (Bass, 1985).
Kepemimpinan transaksional biasanya berorientasi pada tingkat efisiensi dan hasil yang
memuaskan daripada ide-ide kreatif jangka panjang. Pemimpin transaksional menampilkan
taktik fleksibel dengan menggunakan kekuasaan untuk menghargai atau menghukum demi
memelihara serta meningkatkan kinerja anggota.
Beberapa pemimpin transaksional yang terkenal, yaitu:
1. Lyndon Johnson, selalu terlibat dalam hubungan pertukaran dengan anggotanya,
sehingga mereka mendedikasikan hidupnya demi imbalan, seperti memberikan apa
yang mereka mau atau memberikan mereka posisi.
2. Henry Ford pada tahun 1914, ia membuat kesepakatan dengan para pekerja untuk
tidak boleh menolak sistem yang dibuatnya dengan menawarkan upah yang tinggi,
sekitar $ 5 per hari. Akan tetapi untuk mendapatkan itu semua para pekerja harus
mematuhinya baik di dalam maupun di luar pabrik. Tidak ada waktu untuk
mentoleransi tindakan pekerja, sampai-sampai ia menyebar mata-mata untuk
menegakkan kedisiplinan.
3. Robert Moses merupakan pemimpin transaksional yang bertahan selama 50 tahun
dengan perubahan besar. Moses sukses dengan membuat bendungan, jalan,
terowongan dan jembatan untuk mengubah pemandangan secara fisik, ekonomi dan
pola hidup masyarakat.
4. Bass menemukan bahwa apoteker rumah sakit cenderung merasa puas ketika kinerja
mereka dihargai dengan imbalan. Menurut mereka, tingkat semangat bekerja menurun
ketika berusaha sekeras apapun gaji tetap sama.

Transformational and Transaksional Leadership
Tabel 1.5
Perbedaan kepemimpinan transformasional dan transaksional
No. Transaksional
1.
Pemimpin transaksional memberikan
hadiah khusus terhadap anggotanya
dengan syarat mematuhi segala aturan dan
kesepakatan yang ada.
2.
Pemimpin
transaksional
berdiskusi
dengan anggotanya tentang pertukaran
yang diberikan ketika memberikan
pelayanan.
3.
Pemimpin
transaksional
berdiskusi
dengan anggotanya tentang keinginan
mereka dalam menerima imbalan yang
sesuai.
4.
Pemimpin transaksional berpartisipasi
dengan
anggota
dalam
mencapai
konsensus tentang cara anggota dalam
memenuhi tugas setelah pertukaran
diterima.
5.
Pemimpin
transaksional
memotivasi
anggota agar memenuhi janji setelah
pertukaran.
6.
Kepemimpinan
transaksional
mementingkan hasil atas kepercayaan dan
kinerja yang disepakati bersama.
Transformasional
Pemimpin
transformasional
mengidentifikasi tujuan dasar untuk
mengarahkan anggotanya bekerja.
7.
Pemimpin transformasional berbicara soal
perubahan apa yang bisa dilakukan.
Pemimpin transformasional menerima dan
mengubah mereka.
Pemimpinan transformasional cenderung
menghasilkan lebih banyak usaha,
kreativitas dan produktivitas dalam jangka
panjang.
8.
9.
Pemimpin trransaksional menerima apa
yang dapat dibicarakan.
Pemimpin
transaksional
menerima
individu dengan imbalan.
Pemimpin
transaksional
dapat
memberikan hadiah yang memuaskan
dalam jangka pendek.
Pemimpin transformasional memberikan
simbol persuasif serta gambaran akan
tujuan organisasi mereka yang baru.
Pemimpin transformasional berdiskusi
dengan anggotanya tentang kesadaran
akan pentingnya pandangan objektif
terkait organisasi.
Pemimpin
transformasional
mencari
konsensus partisipatif untuk restrukturisasi
organisasi.
Pemimpin transformasional mendorong
pengembangan anggota.
Kepemimpinan transformasional dimulai
dengan mengambil kepercayaan anggota
dengan hasil yang diinginkan.
Sumber: Bass, Bernard M. 1985. Leadership Performance and Beyond Expectations. New York : The Free
Press.
1.7
Metode Penelitian
1.7.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Terdapat beberapa pendapat
terkait penelitian kualitatif yaitu:
1. Menurut Creswell, penelitian kualitatif yaitu suatu proses penelitian untuk memahami
masalah-masalah manusia atau sosial dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan
komplex yang disajikan dengan kata-kata serta interpretasi data (Creswell, 2007).
2. Menurut Gubah dan Lincoln, penelitian kualitatif berusaha menelusuri dan
mengungkap kasus khusus bersifat lokal kemudian dikonstruksikan untuk
menghasilkan fenomena sosial yang diteliti (Creswell, 2007).
3. Metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh
melalui prosedur statistik (Anselim Staruss dan Juliet Corbin. 2003. Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Penelitian kualitatif hadir untuk memahami realitas secara mendalam guna
mendeskripsikan, menganalisaserta menginterpretasi berbagai data dan informasi (Creswell,
2007). Cara kerja penelitian kualitatif berfokus pada pengalaman yang bersifat individu atau
unik, dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Seperti halnya penelitian kali ini, dengan rumusan
dan tujuan penelitian yang menekankan pada interpretasi dan analisa mendalam soal
konstruksi atau pandangan masyarakat terkait kepemimpinan dalam perspektif gender saat
ini, maka peneliti memutuskan untuk menggunakan metode penelitian kualitatif.
Pendekatan dalam metode penelitian ini yaitu deskriptif. Pendekatan secara deskriptif
yaitu pendekatan dengan menggambarkan, menuturkan, melukiskan dan memaparkan
subyek/ obyek secara detail guna memperoleh penjelasan yang mendalam. Tujuan dalam
penelitian ini juga selaras dengan pendekatan deskriptif yang mana dapat menggambarkan
dan menginterpretasikan data secara menyuluruh terkait pandangan masyarakat terhadap
kepemimpinan dan gender saat ini.
1.7.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di desa Adireja kulon dan adireja wetan, Kecamatan
Adipala, Kabupaten Cilacap, Propinsi Jawa Tengah. Lokasi tersebut dipilih dengan berbagai
pertimbangan, salah satunya yaitu sesuai dengan konteks penelitian yang membutuhkan
lokasi penelitian sedang dipimpin oleh kepala desa perempuan dan laki-laki. Selain itu juga
mempertimbangkan aspek sosial masyarakat setempat yang telah dijelaskan dalam bagian
latarbelakang.
Mengingat lokasi kedua Desa tersebut berdekatan, maka tidak heran jika kedua Desa
tersebut memiliki karakter sosial masyarakat yang hampir sama. Karakter sosial masyarakat
tersebut yaitu masih menganut sistem patriarkhi, stereotype yang melekat pada perempuan
dan laki-laki yang biasanya harus dilakukan dan tidak sebaiknya dilakukan (contoh telah
dijelaskan dalam bagian latarbelakang). Hal tersebut kemudian mempengaruhi cara pandang
masyarakat terkait maskulinitas dan feminitas kepemimpinan yang ada di Desa tersebut.
Lokasi penelitian berada di sekitar lingkungan warga, mengingat rumusan masalah
menekankan pada pandangan masyarakat setempat. Akan tetapi guna mendapatkan data yang
komprehensif,pengambilan data juga dilakukan di sekitar kantor kepala Desa, mengingat
aparat desa juga sebagai masyarakat dan subyek penelitian yang merasakan langsung
kepemimpinan kepala Desa.
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik yaitu:
1.
Data primer
Pengumpulan dengan menggunakan data primer merupakan pengumpulan data yang
diperoleh secara langsung dari lapangan, berikut teknik pengumpulan data primer:
a.
Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya jawab antara peneliti dengan subyek peneliti yaitu
informan kunci. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan wawancara semi
terstruktur. Wawancara semi terstruktur yaitu wawancara dengan menggunakan pedoman
wawancara berupa daftar pertanyaan, akan tetapi boleh muncul pertanyaan-pertanyaan lain
diluar daftar pertanyaan yang telah disusun. Hal tersebut memiliki maksud agar peneliti dapat
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada saat informan menjawab atau akan
menguatkan sebuah argument dengan pertanyan-pertanyaan lain. Pemilihan wawancara semi
terstruktur juga memiliki maksud agar peneliti tetap sesuai dengan rumusan masalah dan
wawancara tidak meluas pada hal-hal yang tidak penting.
Dalam penelitian ini juga menggunakan wawancara mendalam. Wawancara mendalam
merupakan proses memperoleh data secara mendalam dengan atau tanpa pedoman
wawancara. Mengingat peneliti telah menggunakan wawancara semi terstruktur, maka
dengan kombinasi wawancara mendalam peneliti memutuskan menggunakan wawancara
mendalam semi terstruktur. Kombinasi keduanya merupakan kombinasi yang cocok guna
mendapatkan data deskriptif yang mendalam dan detail, tapi sesuai dengan rumusan masalah
yang sedang dicari.
b.
Observasi (Pengamatan)
Observasi merupakan pengamatan langsung di lapangan, baik terlibat langsung maupun
tidak (partisipatoris dan non-partisipatoris). Hal tersebut dilakukan guna mengamati perilaku
atau aktivitas individu-individu di lokasi penelitian (Cresswell, 267). Beberapa tujuan dalam
observasi yaitu:
1.
Menerangkan atau melihat secara teliti semua aktifitas yang ada pada subyek atau
obyek penelitian.
2.
Menyaksikan secara aktif semua gejala yang ada pada subyek atau obyek penelitian.
3.
Kumpulan kesan tentang realitas yang ada pada subyek atau obyek penelitian.
Dalam penelitian kali ini, peneliti memilih untuk melakukan observasi non-
partisipatoris, yaitu pengamatan tidak langsung atau tidak terlibat misal mengamati dengan
melihat, mendengar, mencatat dan merekam kejadian yang dianggap penting oleh peneliti
pada saat di lapangan. Peneliti memilih observasi non-partisipatoris dengan melihat
keterbatasan waktu dan kurang memungkinkannya observasi partisipatoris.
c.
Dokumentasi
Dokumentasi dalam data primer yaitu proses mengambil gambar, video atau rekaman
pada saat observasi non-partisipatoris berlangsung di lapangan oleh peneliti. Hasil
dokumentasi oleh peneliti merupakan data primer karena diambil langsung oleh peneliti.
Terutama pengambilan gambar guna mendukung pelaporan dalam penelitian ini. Sedangkan
pengambilan video atau rekaman guna mempermudah peneliti agar tidak terjadi miss data
karena lupa atau sebagainya. Selain itu, video atau rekaman juga dapat digunakan untuk
membuktikan keaslian dalam penelitian ini
d.
FGD (Focus Group Discussion)
Focus Group Disccussion atau yang biasa disebut FGD merupakan kelompok diskusi
untuk membahas sebuah persoalan. Kelompok FGD biasanya terdiri dari 6 sampai 8 orang
dengan moderator yang dapat memantik jalannya diskusi. FGD dalam penelitian sangat
membantu dalam proses pengambilan data secara cepat. Walaupun demikian, penting untuk
tetap mempertimbangkan kembali perlu atau tidak dan dapat atau tidak diadakan FGD.
Mengingat penting untuk memperhatikan konteks informan dan pembahasan yang akan
dilaksanakan. Beberapa kelompok atau kalangan tidak selalu dapat disatukan dalam satu
forum dengan satu pembahasan. Setiap kelompok atau kalangan memiliki konteks
pembahasan yang berbeda, sehingga penting untuk mempertimbangkan kembali perlu atau
tidak dan dapat atau tidak diadakan FGD. FGD dalam penelitian ini bersifat fleksibel
tergantung situasi dan kondisi lapangan serta kebutuhan dalam penelitian ini.
2.
Data Sekunder
Teknik pengumpulan data menggunakan data sekunder merupakan teknik pengumpulan
data yang diperoleh secara tidak langsung atau melalui pihak/ perantara lain misal:
a. Membaca tulisan, misal membaca buku, koran, artikel, website dan dokumen lainnya
yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini.
b. Melihat dan mengambil gambar atau video, baik dalam youtube, website, televisi dan
lainnya yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini.
c. Mendengarkan sebuah rekaman, baik dalam bentuk radio, rekaman manual dari pihak
lain dan lainnya yang mendukung rumusan masalah dalam penelitian ini.
1.7.4 Subyek Penelitian atau Informan
Subyek penelitian atau informan merupakan individu yang terlibat dalam proses
pengambilan data penelitian ini. Biasanya informan terlibat dalam proses wawancara, yang
mana terjadi tanya jawab antara peneliti dan individu. Berikut beberapa penjelasan terkait
teknik pengambilan informan dan informan terpilih berdasarkan beberapa pertimbanganpertimbangan:
1.
Teknik Pengambilan Informan
Teknik pengambilan informan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik
pengambilan secara quota dan purpose. Peneliti tidak mengambil informan dalam jumlah
banyak atau besar, cukup sedikit, sesuai tujuan, berdasarkan kelompok-kelompok masyarakat
yang ada dan dengan pertimbangan-pertimbangan yang dapat mendukung penelitian ini.
Berikut penjelasan secara singkat terkait teknik pengambilan quota dan purpose:
a.
Quota
Masyarakat dibagi atau di kelompokan ke dalam beberapa kelompok masyarakat
berdasarkan kelompok masyarakat yang ada di Desa Adireja Kulon. Calon informan dalam
setiap kelompok masyarakat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang
matang. Penjelasan lebih lanjut terkait rasionalisasi calon informan terdapat pada sub bagian
informan.
b.
Purpose
Pengambilan informan ditentukan berdasarkan kelompok masyarakat yang ada di Desa
Adireja Kulon dan Adireja Wetan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selain
itu, teknik pemilihan secara purpose memiliki memiliki maksud agar setiap kelompok
masyarakat menjadi representasi dan memiliki tingkat komprehensif lebih dalam memperoleh
data.
2.
Informan
a. Berdasarkan Kelompok Masyarakat
No.
Nama Kelompok
Jumlah
1.
Karang taruna (ketua dan anggota)
2 orang
2.
PKK atau Dasawisma (sekretaris dan anggota)
2 orang
3.
Kelompok petani (pertanian, peternakan, dan perikanan)
3 orang
4.
Kelompok kesenian (ketua/ yang mewakili)
1 orang
5.
Pejabat desa (sekretaris Desa, kepala departemen, staff di 5 orang
pemerintahan Desa, kepala Dusun dan ketua RW)
Tabel 1.6 Informan Berdasarkan Kelompok Masyarakat
b. Berdasarkan Mata Pencaharian
No.
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah
1.
Kalangan akademisi
2 orang
2.
Kalangan pedagang meliputi pedagang kecil (penghasilan 3 orang
dibawah 1juta/ bulan); pedagang menengah (penghasilan
1juta > 5juta/ bulan); dan pedagang besar (penghasilan
diatas 5juta/ bulan).
3.
Kalangan buruh meliputi buruh terlatih (karyawan, SPG, 2 orang
dll) dan buruh tidak terlatih (buruh bangunan, PRT, dll)
4.
Kalangan pelajar
1 orang
5.
Kalangan profesional
1 Orang
Tabel 1.7 Informan Berdasarkan Mata Pencaharian
Pemilihan kelompok masyarakat sebagai calon informan karena biasanya mereka
yang terlibat langsung dengan program-program Desa, baik rapat Desa maupun
pelaksanaannya. Sedangkan pemilihan calon informan berdasarkan mata pencaharian diatas
karena mata pencaharian dianggap sebagai simbol ekonomi atas kesejahteraan dan
pembangunan Desa. Sehingga penting untuk mempertimbangkan mata pencaharian sebagai
representasi kalangan masyarakat yang merasakan langsung proses dan dampak
kepemimpinan kepala Desa tersebut.
Nama-nama kelompok masyarakat dan mata pencaharian yang tertera berdasarkan pra
observasi pengambilan data yang dilakukan sekali pada saat penyusunan proposal
berlangsung. Walaupun hanya sekali, setidaknya memberikan gambaran terkait nama-nama
kelompok masyarakat dan mata pencaharian yang ada. Sekalipun demikian, nama-nama
kelompok masyarakat atau mata pencaharian dapat berubah sefleksibel mungkin tergantung
situasi dan kondisi pada saat dilapangan. Mengingat satu kali tersebut tidak memberikan
gambaran yang detail dan menyeluruh terhadap situasi atau kondisi yang ada di lapangan.
Akan tetapi, peneliti akan memaksimalkan pada saat pengambilan data berlangsung dengan
meminta data penduduk pada pemerintahan Desa. Hal tersebut baru bisa dilakukan setelah
mendapatkan persetujuan dan wewenang melakukan penelitian di Desa tersebut oleh pihak
jurusan Sosiologi UGM.
Sedangkan pertimbangan menyoal jumlah pada setiap kelompok atau kalangan
masyarakat ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut:
a. Jumlah 1 orang pada bagian kalangan pelajar dirasa mencukupi mengingat pada
bagian karang taruna berjumlah 2 orang. Jumlah kalangan pelajar lebih sedikit
mengingat telah tercukupi pada bagian karang taruna yang mayoritas masih muda dan
biasanya masih pelajar. Sedangkan jumlah karang taruna lebih banyak mengingat
mereka lebih sering terlibat langsung dengan kepemimpinan kepala Desa.
b. Jumlah 2 orang pada bagian PKK atau Dasawisma karena biasanya jumlah dalam
kelompok inti PKK atau dasawisma lebih sedikit, maka jumlah 2 orang tersebut dirasa
sudah merepresentasikan pandangan mereka sebagai kelompok PKK atau Dasawisma.
c. Kelompok kesenian hanya 1 orang mengingat biasanya mereka tidak banyak terlibat
dengan kegiatan Desa. Akan tetapi penting melihat pandangan mereka dari sudut
pandang kreatifitas dan seni yang ada di Desa.
d. Kelompok petani berjumlah 3 orang dengan asumsi terdapat pertanian, peternakan,
dan perikanan. Setiap sub kelompok petani diusahakan berjumlah 1 orang sehingga
keseluruhan terdapat 3 orang sebagai calon informan. Jumlah tersebut dianggap
representasi karena biasanya tidak semua anggota terlibat langsung, sehingga peneliti
memaksimalkan calon informan yang benar-benar mengerti situasi dan kondisi
masing-masing sub kelompok petani kaitannya denga kepemimpinan kepala Desa.
e. Jumlah pada pejabat Desa lebih banyak mengingat mereka lebih banyak bersentuhan
atau bersinggungan dengan kepemimpinan kepala Desa. Sekretaris Desa, kepala
Departemen, staff pemerintahan Desa, kepala dusun dan ketua RT dianggap telah
merepresentasikan masing-masing elemen yang ada pada bagian pejabat Desa.
f. Kalangan akademisi berjumlah 2 orang karena dianggap telah merepresentasikan
kalangan akademisi lainnya.
g. Kalangan pedagang dan buruh masing-masing berjumlah 3 dan 2 orang dengan
asumsi bagian pedagang memiliki sub bagian pedagang kecil, menengah dan besar.
Masing-masing sub bagian tersebut cukup direpresentasikan oleh 1 orang sehingga
keseluruhan berjumlah 3 orang. Sedangkan bagian buruh memiliki sub bagian buruh
tidak terlatih dan terlatih. Masing-masing sub bagian juga cukup direpresentasikan
oleh 1 orang sehingga keseluruhan berjumlah 2 orang.
h. Kalangan profesional merupakan kalangan masyarakat Desa yang biasanya memiliki
presentasi
paling
sedikit.
Oleh
karena
itu
kalangan
profesional
cukup
direpresentasikan oleh 1 orang saja dengan catatan calon informan tersebut cukup
mengetahui sedikit banyak terkait kepemimpinan kepala Desa, baik terlibat secara
langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, dalam pemilihan informan peneliti juga mempertimbangkan beberapa
aspek, yaitu:
1.
Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan merupakan simbol pengetahuan. Pengetahuan menjadi salah satu
pertimbangan dalam pemilihan calon informan, agar pada saat wawancara atau diskusi calon
informan dapat menyampaikan argumen atau analisa yang tajam, terutama menyoal
pandangan masyarakat terhadap kepemimpinan dan gender. Walaupun demikian, tetap sesuai
kondisi dan situasi desa tersebut, tidak menutup kemungkinan terdapat informan dalam
kelompok atau kalangan masyarakat yang tidak berpendidikan. Apabila itu terjadi, maka
pengambilan informan dalam kelompok atau masyarakat tetap dilakukan sesuai jatah dalam
jenis kelompok atau kalangan masyarakat. Mengingat, tidak selalu yang tidak berpendidikan
tidak mengetahui soal kepemimpinan dan gender. Dampak kepemimpinan tidak hanya
dirasakan sebagian warga, juga seluruh warga, maka mereka dianggap tetap memiliki
kecenderungan dapat memberikan pendapat soal kepemimpinan dan gender.
2.
Berdasarkan Tempat
Memiliki maksud bahwa dalam penelitian ini tidak mengharuskan setiap Dusun atau
RT/ RW terdapat satu informan sebagai representasi. Hanya saja, peneliti mengusahakan
terdapat sebaran yang merata dalam pemilihan informan berdasarkan Dusun atau RT/ RW
dalam desa tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut bersifat fleksibel yaitu sesuai kondisi
dan situasi dilapangan dengan pertimbangan yang matang. Akan tetapi, dengan pemilihan
jenis kelompok dan kalangan masyarakat, memiliki kecenderungan dengan sebaran yang
merata. Mengingat, setiap Dusun atau RT/ RW pasti memiliki calon informan dengan jenis
kelompok atau kalangan masyarakat yang telah ditentukan.
3.
Berdasarkan Usia
Paling tidak, dalam pemilihan informan diusahakan terdapat usia muda (17 – 29 tahun),
sedang ( 30 – 49 tahun), dan tua (49+). Alasan pemilihan informan dimulai pada usia 17+
mengingat usia tersebut telah memiliki hak politik dan dianggap telah melek politik terutama
soal kepemimpinan. Selain mereka ikut merasakan dampak kepemimpinan, biasanya
beberapa dari usia tersebut ikut membantu proses pelaksanaan pemerintahan Desa, misal ikut
dalam kelompok karang taruna atau kelompok kesenian.
Selain itu, penjelasan soal rentang usia tua dimulai dari 49 tahun sampai lebih dan tidak
ditentukan berapa pun usia tua tersebut, mengingat peneliti belum tahu sampai pada usia
berapa rata-rata penduduk di kedua Desa tersebut. Berapa pun usia tua asal lebih dari 49
tahun, maka dianggap masuk golongan usia tua, akan tetapi tetap mempertimbangkan soal
pendengaran, penglihatan dan ingatan informan. Hal tersebut penting untuk mengurangi
kecenderungan human eror dalam argumen dan analisa soal kepemimpinan dan gender.
4.
Berdasarkan Gender
Maksud dari pertimbangan berdasarkan gender yaitu terdapat keseimbangan antara
informan laki-laki dan perempuan. Konstruksi sosial terkait gender dan stereotype yang
dilabelkan pada perempuan atau laki-laki telah memberikan dampak pada cara pandang yang
berbeda dari keduanya. Sehingga penting mempertimbangkan keseimbangan antara informan
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh data dan analisia yang lebih komprehensif,
terutama menyoal feminitas dan maskulinitas dalam kepemimpinan kepala Desa.
5.
Berdasarkan Strata Sosial
Strata sosial merupakan perbedaan individu atau kelompok secara hierarki berdasarkan kelaskelas sosial dalam masyarakat. Pertimbangan berdasarkan strata sosial penting, mengingat
setiap kelas memiliki perspektif atau pandangan yang berbeda dalam menanggapi sebuah
persoalan. Wujud strata sosial dalam mempertimbangkan calon informan diimplementasikan
kedalam pemilihan informan berdasarkan mata pencaharian.
1.7.5 Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain (Moleong, 2008). Triangulasi merupakan multimetode yang dilakukan peneliti
dalam mencari kebenaran dengan melihat sudut pandang berbeda. Menurut Norman K.
Denkin, triangulasi merupakan metode kombinasi dengan mencari sudut pandang berbeda
untuk meminimalisir perbedaan sebanyak mungkin. Dalam penelitian ini terdapat empat
triangulasi:
1.
Triangulasi Metode
Triangulasi metode merupakan cara mencari data yang lebih akurat dengan
membandingkan informasi atau data dengan cara yang berbeda. Misal dalam penelitian ini
menggunakan metode teknik pengumpulan data wawancara, observasi dan dokumentasi.
Untuk mengecek keakuratan data, maka dilakukan silang metode dalam proses check and recheck, misal jika sebelumnya menggunakan wawancara maka pada saat check and re-check
dapat menggunakan observasi atau dokumentasi, contohnya meminta bukti melalui gambar
atau video, begitu pula sebaliknya. Akan tetapi jika dalam proses wawancara sebelumnya
sudah dibuktikan dengan data, misal dokumentasi gambar atau video maka triangulasi tidak
perlu dilakukan.
2.
Triangulasi Sumber Data
Menurut Patton, triangulasi sumber data merupakan proses pengecekan sumber data
melalaui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Moleong, 2008). Terdapat
beberapa cara dalam triangulasi sumber data yaitu membandingkan data hasil pengamatan
dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan informan secara umum
dan secara pribadi, membandingkan pendapat informan dari berbagai pandangan, misal
kalangan akademisi, pemerintahan atau warga biasa.
3.
Triangulasi Teori
Setelah memiliki data, maka peneliti bukan hanya menyimpulkan analisis sesuai data,
juga membandingkan dengan teori yang dianggap relevan, dalam hal ini kerangka teori yang
sudah dibangun sejak awal dalam penelitian ini.
4.
Triangulasi Waktu
Triangulasi waktu yaitu data yang telah diperoleh pada waktu sebelumnya dicek
kembali pada waktu lain. Hal tersebut untuk membuktikan tingkat konsistensi dan keakuratan
yang lebih tinggi.
Bukan hanya kombinasi dalam sebuah triangulasi, tapi antar triangulasi pun
dapat dikombinasikan, misal kombinasi triangulasi sumber data dengan triangulasi
metode. Sumber data di cross-check dengan sumber data lain yang menggunakan
metode lain pula. Triangulasi akan berhenti ketika sampai pada titik jenuh data, yang
mana data sudah mencapai titik homogen dan dapat ditarik kesimpulannya secara
langsung.
1.7.6 Metode Analisis Data
Terdapat tiga tahapan proses analisis data, yaitu reduksi data, pembahasan atau
pengujian data dan penarikan kesimpulan. Berikut penjelasan terkait tahapan dalam proses
analisis data:
1.
Reduksi Data
Data yang diperoleh dari lapangan merupakan data mentah yang acak dan berantakan.
Selain itu, data lapangan biasanya telah mengalami banyak penyesuaian, maka hal pertama
yang harus dilakukan adalah mengcek ulang data lapangan dan susun secara sistematis. Hal
tersebut menghindari adanya kekurangan atau kehilangan data pada saat proses pengambilan
data.
Ketik ulang semua data secara rapi dan sistematis. Susun berdasarkan pola, fokus,
tema dan atau pokok permasalahan. Hal tersebut dilakukan guna memudahkan peneliti dalam
tahapan selanjutnya. Poin-poin atau hal-hal yang akan dibahas dapat mudah dicari dalam sub
bagian yang telah disusun berdasarkan fokus, tema atau pokok permasalahan tersebut.
2.
Pembahasan atau Pengujian Data
Setelah data tersusun rapi, cek kembali data lapangan tersebut. Hal tersebut
menghindari adanya data yang kurang atau hilang. Apabila telah di cek, selanjutnya yaitu
menghubungkan hasil kalsifikasi dan kategorisasi yang telah disusun dengan referensi teori
dan hubungankan sifat dari keduanya. Identifikasi gagasan-gagasan yang ditampilkan oleh
data untuk menunjukan bahwa tema dan asumsi dalam penelitian yang sudah ada didukung
atau dikuatkan oleh data.
Kaji secara berulang data agar menghasilkan pembahasan yang sesuai dengan maksud
dan tujuan dalam penelitian ini. Proses selanjutnya yaitu menyusun deskripsi dari hasil
analisis data secara induktif. Pembahasan secara induktif yaitu pembahasan dari mulai hasil
lapangan terlebih dahulu, kemudian baru diidentifikasi permasalahan tersebut sesuai dengan
rumusan masalah atau konteks dalam penelitian ini.
3.
Penarikan Kesimpulan
Proses terakhir yaitu penarikan kesimpulan, dalam penarikan kesimpulan peneliti
diharapkan menarik benang merah dari data lapangan secara tepat dan sesuai dengan
referensi dan atau teori dalam penelitian ini.
Download