Dan Seng (Zn) - IPB Repository

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perairan Waduk
Habitat air tawar dapat dibagi dua, yaitu (1) perairan menggenang atau
habitat lentik, misalnya waduk, danau, kolam, rawa, dan (2) habitat perairan
mengalir atau habitat lotik, misalnya mata air dan sungai (Koesoebiono, 1979).
Habitat lotik terbagi lagi menjadi dua zone, yaitu habitat lotik dingin, dangkal dan
sering mempunyai dasar aliran yang berbatu-batu dan habitat lotik hangat, lebih
dalam dengan dasar yang berlumpur.
Salah satu perairan tergenang yang mempunyai fungsi multi guna, yaitu:
waduk. Waduk adalah badan air yang terbentuk karena pembendungan aliran
sungai dan salah satu bentuk reservoir tempat menampung aliran sungai dalam
satu sistem jaringan sungai dalam suatu sistem DAS. Waduk merupakan badan
air yang karakteristik fisik, kimia, dan biologi berbeda dari sungai yang di
bendungnya serta kualitas perairan waduk lebih stabil di bandingkan dengan
sungai asalnya (Ilyas dkk, 1990).
Suwignyo (1981) menyatakan bahwa waduk dapat dibentuk dari sungai
(river in reservoir) maupun dari rawa (food lake), karena bentuk perairan waduk
yang selintas mirip dengan perairan danau, maka waduk dikenal juga sebagai
danau buatan manusia. Waduk dikatakan sebagai danau buatan manusia, karena
dibuat dan diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Tujuan pembangunan
waduk antara lain: sebagai pencegah banjir, Pembangkit Tenaga Listrik (PLTA),
pemasok air untuk kepentingan irigasi/pertanian, industri, permukiman, perikanan
(Keramba Jaring Apung), dan pariwisata.
Di Indonesia luas waduk sekitar 100.000 ha dan danau alami sekitar 1,7 ha
(Ismail dan Wardoyo, 1998). Perairan waduk dan danau merupakan badan air
dari perairan umum yang bersifat serbaguna (digunakan untuk berbagai
pemanfaatan), terbuka dan bersifat milik umum (Kartamiharja, 1998).
Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah waduk serbaguna sebanyak 20 buah dari
23 waduk utama yang luasnya mencapai 53.000 ha. Waduk serbaguna yang
terdapat di indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.
11
Salah satu waduk yang terdapat di Jawa Barat adalah Waduk Cirata.
Menurut Sudarjat (2000), menyatakan bahwa secara umum Waduk Cirata
berfungsi sebagai sumberdaya air untuk kegiatan dibidang: (1) pertanian (sumber
air baku), (2) industri (sumber air baku untuk kegiatan industri), (3) penyedia air
baku untuk rumah tangga (reservoir air), (4) energi (penggerak mesin pembangkit
listrik), (5) perikanan tangkap, (6) perikanan budidaya (akuakultur), (7)
transfortasi (sarana angkutan), (8) pengendalian banjir, (9) rekreasi, dan (10)
tempat pembuangan limbah.
Tabel 1. Waduk serbaguna di indonesia
Tempat dan
Nama Waduk
Jawa Barat
Saguling
Cirata
Jatiluhur (Juanda)
Jawa Tengah
Wonogiri
Wadaslintang
Kedungombo
PB. Soedirman
Sempor
Jawa Timur
Karangkates
Selorejo
Lahor
Wlingi
Bening
Sengguruh
Nusa Tenggara
Batujai
Kalimantan
Selatan
Riam Kanan
Lampung
Way Rarem
Way Jepara
Luas
(ha)
Kedalaman Kedalaman Ketinggian
Maksimum Rata-rata
(m dpl)
(m)
(m)
Fungsi
Utama
Tahun
dibangun
E,F,I
E,F,I
5.34
6.2
8.3
90
106
95
18
34
37
625
250
110
W,I,E,F
1985
1987
1965
8.8
1.46
6.1
1.5
1.3
28
85
50
45
8
30
16
13
-
140
115
100
231
77
I, F, E
I, F, E
I, F, E
E,F,1
I,F,E
1981
1987
1989
1989
1987
1.5
400
260
380
570
290
70
46
50
28
10
24
23
16
14
6
8
7
270
600
300
163
11
296
I, E, F
E, I, F
I, E, F
I, E, F
I, F
E, I
1972
1970
1977
1983
1933
1987
890
14
2
4
I, F, W
1983
9.2
50
18
-
I, E, F
1983
1.4
220
25
-
6
15
60
-
I,F
I,F
1982
1976
Sumber: Ilyas dkk, (1990)
Keterangan : I (Irigasi), E (Tenaga Listrik), W (Air minum), F (Pengendali Banjir)
12
Waduk merupakan penampung alami dalam pengumpulan unsur hara,
bahan padat tersuspensi, dan bahan kimia toksik yang akhirnya mengendap di
dasarnya. Penampungan bahan-bahan tersebut berlangsung bertahun-tahun pada
waduk, sehingga proses pendangkalan tidak dapat dihindari. Kontaminasi terjadi
dari unsur, minyak, pestisida, dan substansi toksik yang dapat merusak di dasar
waduk dan ikan yang hidup di dalamnya.
Menurut Koswara (1999) dalam Djunaedi (2000) menyatakan bahwa
sumber atau penyebab permasalahan waduk atau danau yaitu: pembuangan limbah
organik biodegradable, pembuangan nutrien dari air limbah, pencemaran nutrien
tersebar (non-point sources pollution) terutama dari pertanian, hujan asam yang
disebabkan oleh polutan udara seperti SO2 dan NOx, pembuangan zat-zat toksik
dari industri atau pertanian, dan pembuangan panas.
Waduk selalu menerima masukan air dari daerah sekitarnya (DAS),
dengan demikian waduk cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang
terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Konsentrasi ionik perairan waduk
merupakan resultante ionik dari air yang masuk. Adanya kegiatan manusia
disekitar
DAS
seringkali
menyebabkan
pencemaran
perairan
waduk.
Pertumbuhan penduduk yang cepat dan diikuti dengan perrtumbuhan industri dan
kegiatan lainnya akan menghasilkan limbah yang kemudian dibuang ke
lingkungan. Limbah kemudian dapat masuk ke waduk melalui aliran sungai atau
rembesan air tanah.
2.2. Pencemaran Perairan
Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang
saksama dan cermat. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar
tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar
oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari
kegiatan rumah tangga, limbah kegiatan industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya
(Wardhana, 2001). Air adalah pelarut yang baik untuk banyak bahan, maka dari
itu merupakan salah satu media transport bagi unsur hara dan hasil limbah dalam
berbagai proses kehidupan, oleh karena itu banyak sekali senyawa ionis
berdiasosiasi dalam air.
13
Pencemaran air adalah penurunan kualitas air sehingga air tersebut tidak
(kurang) memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatan. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organitation atau WHO) air
dinyatakan tercemar apabila terjadi perubahan komposisi atau keadaan
kandungannya sebagai akibat kegiatan manusia secara langsung
atau tidak
langsung, sehingga air tersebut tidak atau kurang sesuai dengan fungsi atau tujuan
pemanfaatan asalnya. Di dalam UU Nomor 4 tahun 1982 mengenai lingkungan
hidup, pencemaran lingkungan didefinisikan sebagai dimasukkannya makhluk
hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan
manusia
atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai pada
tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak
berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001
tentang pengendalian pencemaran air dan pengelolaan kualitas air, dinyatakan
bahwa pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat,
energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga
kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukan.
Menurut Haynes (1978) dalam Nurifdinsyah (1993) mengemukakan
bahwa pencemaran terhadap badan air dapat mengakibatkan masuknya zat-zat
beracun, bertambahnya padatan tersuspensi, terjadinya deoksidasi dan naiknya
temperatur. Pencemaran perairan yang disebabkan oleh kegiatan di darat dapat
digolongkan menjadi empat kategori, yaitu (1) pencemaran yang disebabkan oleh
limbah industri (industrial pollution), (2) pencemaran yang disebabkan karena
sampah atau limbah rumah tangga (sewage pollution), (3) pencemaran disebabkan
karena sedimentasi (sedimentation pollution), dan (4) pencemaran yang
disebabkan karena kegiatan pertanian (agricultural pollution).
Berdasarkan sifat toksiknya, pencemaran dibedakan menjadi dua, yaitu
(Effendi, 2003):
1. Polutan tak toksik
Pencemaran tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami.
Sifat destruktif pencemaran ini muncul apabila berada dalam jumlah yang
14
berlebihan sehingga dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui
perubahan proses fisika-kimia perairan.
2. Polutan toksik
Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan
kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan
karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini
biasanya berupa bahan-bahan yang bukan bahan alami, misalnya pestisida,
detergen, dan bahan-bahan yang lain.
2.3. Sumber Logam Berat
Istilah logam secara fisik mengandung suatu arti yang merupakan
konduktor listrik yang baik dan mempunyai konduktivitas panas, rapatan,
kemudahan ditempa, kekerasan, dan keelektropositifan yang tinggi. Meskipun
demikian, beberapa unsur (boron, silikon, germanium, arsen, dan tellirium) yang
diketahui sebagai metaloid, mempunyai satu atau lebih sifat-sifat tersebut. Tetapi
tidaklah cukup membedakannya dalam kekhasan untuk memungkinkan suatu
pemisahan yang persis logam atau bukan logam. Lebih jauh, bentuk alotrofik dari
beberapa unsur di garis batas mungkin juga memperlihatkan sifat-sifat yang
berbeda (Wittman, 1979 dalam Connel dan Miller, 2006)
Logam berasal dari kerak bumi berupa bahan-bahan murni, organik, dan
anorganik. Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi
kemudian ke lapisan tanah, kemudian ke mahluk hidup (tanaman, hewan, dan
manusia), ke dalam air, mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi
(Darmono, 1995).
Istilah logam biasanya diberikan kepada semua unsur-unsur kimia dengan
ketentuan atau kaidah-kaidah tertentu. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar, tidak
selalu berbentuk padat melainkan ada yang berbentuk cair. Logam-logam cair,
contohnya: air raksa atau hidragyrum (Hg), serium (Ce), dan gallium (Ga).
Setiap logam mempunyai bentuk dan kemanpuan atau daya yang terkandung di
dalamnya, maka setiap logam, yaitu memiliki kemanpuan yang baik sebagai
penghantar daya listrik (konduktor), memiliki kemanpuan sebagai penghantar
panas yang baik, memiliki rapatan yang tinggi, dapat membentuk alloy dengan
15
logam lainnya, dan untuk logam yang padat, dapat ditempa dan dibentuk (Palar,
2004).
Logam adalah unsur alam yang dapat di peroleh dari laut, dari erosi batuan
tambang, vulkanisme dan sebagainya. Logam dapat dibagi kedalam 3 kelompok,
yaitu:
1. Logam ringan (seperti natrium, kalium, dan sebagainya), biasanya sebagai
kation aktif di dalam larutan encer.
2. Logam transisi (seperti besi, tembaga, kobalt, dan mangan) diperlukan dalam
konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang
tinggi.
3. Logam berat dan metaloid (seperti raksa, timah hitam, timah, selenium, dan
arsen), umumnya tidak diperlukan dalam kegiatan metabolisme dan sebagai
racun bagi sel pada konsentrasi rendah.
Logam-logam di atmosfir berdasarkan sumber alamiahnya berasal dari:
(1) debu-debu dari kegiatan gunung berapi, (2) erosi dan pelapukan tebing dan
tanah, (3) asap dan kebakaran hutan, dan (4) aerosol dan partikulasi dari
permukaan laut. Kegiatan manusia juga merupakan sumber utama pemasukan
logam ke dalam lingkungan perairan. Masuknya logam berasal dari buangan
langsung dari berbagai jenis limbah yang beracun, gangguan pada cekungancekungan perairan, presifitasi dan jatuhan atmosfir. Sumber utam pemasukan
logam dirangkum
sebagai berikut (Wittman, 1979 dalam Connel dan Miller,
2006):
1. Kegiatan Pertambangan
Eksploitasi timbunan biji dalam membongkar dalam permukaan batu bara dan
sejumlah besar sisa-sisa batu atau tanah untuk mempercepat kondisi
pelapukan. Hal ini menyebabkan masalah kualitas air yang serius, yang
mengakibatkan tingginya kadar logam seperti besi (Fe), mangan ( Mn), seng
(Zn), kobalt (Co), nikel (Ni), dan tembaga (Cu).
2. Cairan Limbah Rumahtangga
Jumlah logam runutan yang cukup besar disumbangkan ke dalam cairan
limbah rumahtangga oleh sampah-sampah metabolik, korosi pipa-pipa air (Cu,
16
Pb, Zn, dan Cd) dan produk-produk konsumer (misalnya formula deterjen
yang mengandung Fe, Mn, Cr, Ni, Co, Zn, Cr, dan As).
3. Limbah dan Buangan Industri
Beberapa logam runutan yang dibuang ke dalam lingkungan perairan melalui
caiarn limbah industri demikian juga dengan penimbunan dan pencucian
lumpur industri. Emisi logam dari pembakaran bahan bakar fosil juga
merupakan sumber utama logam dari udara yang ada di dalam air alamiah dan
daerah aliran sungai.
4. Aliran Pertanian
Sifat yang berbeda-beda mengenai kegiatan dan praktek pertanian di seluruh
dunia mempersulit pengujian sumber-sumber logam ini secara keseluruhan.
Namun demikian, sangat banyak endapan yang mengandung logam, hilang
dari daerah pertanian sebagai akibat dari erosi tanah.
Sumber utama emisi logam arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), dan
merkuri (Hg) adalah pada proses peleburan dan pemurnian logam non-ferous
(bukan besi). Emisi logam tersebut dapat terjadi pada saat pemrosesan primer
(pemrosesan dari konsentrat mineral) maupun pemrosesan sekunder (pemrosesan
dalam pabrik). Pemrosesan primer ialah pemrosesan pada daerah tambang.
Logam berat adalah suatu logam dengan bobot jenis besar. Logam ini
memiliki karakter seperti berkilau, lunak, atau dapat ditempa (malleability),
bersifat dapat mengalir (ductility), mempunyai daya hantar panas dan listrik yang
tinggi dan bersifat kimiawi, yaitu sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam.
Selain itu, logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas yang lebih besar
dari 5 gram per cm3, mempunyai nomor atom lebih besar dari 21 dan dapat di
bagian tengah daftar periodik. Beberapa macam logam berat sangat beracun
terhadap tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Logam-logam tersebut bersifat
tahan lama dan keracunannya bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama. Unsur
logam berat dalam jumlah yang berlebihan akan bersifat racun. Toksisitas (daya
racun) logam berat tergantung pada jenis, kadar, efek sinergis-antagonis, dan
bentuk fisika-kimianya (Connell dan Miller, 2006).
Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang
sama dengan logam-logam lainnya. Perbedaan terletak dari pengaruh yang
17
dihasilkan bila logam berat tersebut berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh
organisme hidup. Sebagai contoh, bila unsur logam besi (Fe) masuk ke dalam
tubuh, meski dalam jumlah yang berlebihan, biasanya tidak menimbulkan
pengaruh yang buruk terhadap tubuh. Karena unsur besi (Fe) dibutuhkan dalam
darah untuk mengikat oksigen. Sedangkan unsur logam berat baik itu logam berat
beracun yang dipentingkan seperti tembaga (Cu), bila masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah berlebihan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk terhadap
fungsi fisiologis tubuh. Jika yang masuk ke dalam tubuh organisme hidup adalah
unsur logam beracun seperti merkuri (Hg), maka organisme dapat mengakibatkan
keracunan (Palar, 2004).
2.4. Logam Berat
2.4.1. Timbal (Pb)
Timbal mempunyai nomor atom 83, berat atom 207,9, titik cair 327,5oC
dan titik didih 1725oC.
Timbal di alam dalam bentuk sulfida (gelena), Pb
Carbonat (Cerussite), PbSO4 (Angelisite), sedangkan Timbal dalam air berada
dalam bentuk Pb2+, PbCO3, Pb(CO3)22-, PbOH+ dan Pb (OH)2. Secara alamiah
Timbal tersebar luas pada batua-batuan dan lapisan kerak bumi. Saeni (1989)
menyatakan sumber utama timbal di atmosfir dan daratan dapat berasal dari bahan
bakar bertimbal sedangkan batuan kapur dan gelena (PbS) merupakan sumber
timbal pada perairan alami. Timbal muncul dalam air dalam bentuk bilangan
oksida +II. Ion timbal terhidrolisis sebagian di dalam air dengan reaksi : Pb2+ +
PbOH+ + H+. Selanjutnya Saeni (1989) menyatakan timbal masuk
H2O
ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung timbal yaitu:
dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi, dan limbah
industri.
Menurut Darmono (1995) mengemukakan penggunaan timbal dalam yang
besar seperti: industri percetakan tinta, pelapis pipa sebagai anti korosif dan
digunakan dalam campuran pembuat cat sebagai bahan pewarna karena daya
larutnya yang rendah dalam air. Sedangkan Williams et al, (2000) dalam
Oktavianus dan Salami (2005) mengungkapkan bahwa timbal (Pb) berasal dari
industri-industri seperti pabrik baterai, amunisi, kawat, logam campuran, dan cat.
18
Secara alamiah, timbal masuk ke perairan melalui pengkristalan timbal di udara
dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batu-bataun mineral. Timbal
masuk ke perairan sebagai dampak aktivitas manusia seperti buangan industri,
buangan pertambangan biji timah, dan buangan industri kaleng.
Logam timbal dalam konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat
racun karena bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus
diakumulasi hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan
logam berat tersebut dalam tubuhnya (Connel dan Miller, 2006). Karena sifat
bioakumulatif logam timbal, maka dapat terjadi konsentrasi logam tersebut dalam
bentuk terlarut dalam air adalah rendah, tetapi dalam sedimen meningkat akibat
proses fisik, kimia, biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat
sampai beberapa kali lipat (biomagnifikasi). Selanjutnya Rompas (1998) dan
Manahan (2002) menjelaskan bahwa apabila konsentrasi logam berat tinggi dalam
air, ada kecendrungan konsentrasi logam berat tersebut tinggi dalam sedimen dan
akumulasi logam berat dalam tubuh hewan demersial.
Menurut Manahan (2002) bahwa akumulasi logam berat dalam tubuh
hewan air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:
1. Konsentrasi logam berat dalam air
2. Konsentrasi logam berat dalam sedimen
3. Nilai pH air dan pH sedimen dasar perairan
Nilai pH air dan pH sedimen dapat mempengaruhi akumulasi logam berat
dalam tubuh hewan air, karena semakin rendah pH air dan pH sedimen maka
logam berat semakin larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah
masuk kedalam tubuh hewan tersebut, baik melalui insang, dan bahan
makanan ataupun difusi.
4. Tingkat pencemaran air dalam bentuk COD (chemical oxygen demand)
Apabila COD dalam perairan relatif tinggi, maka ada kecendrungan
kandungan logam berat dalam air dan sedimen juga akan tinggi.
COD
menunjukkan kadar bahan organik yang bersifat non biodegradable yang
umumnya bersumber dari industri.
5. Kandungan sulfur dalam air dan sedimen
19
6. Kadar sulfur (S) dalam sedimen juga mempengaruhi kandungan logam berat
dalam sedimen, karena unsur sulfur sangat mudah berikatan dengan logam
berat membentuk logam-sulfida yang mengendap di dasar perairan.
7. Jenis hewan air
8. Umur dan bobot tubuh dan
9. Fase hidup (telur dan larva).
Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut
akan diserap oleh sedimen atau lumpur, plankton, algae, invertebrata, tanaman
akuatik dan lain-lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama
bagi timbal di lingkungan. Konsentrasi timbal dalam air semakin meningkat
karena garam yang diekskresikan ikan ke air cenderung bertambah. Kenaikan
konsentrasi timbal dalam sistem akuatik secara berurutan : air < mangsa ikan <
ikan < sedimen (DVGM, 1985 dalam Oktavianus dan Salami, 2005). Selanjutnya
diungkapkan bahwa peningkatan konsentrasi timbal pada ikan (proses uptake)
merupakan peningkatan eksponensial, artinya: bahwa semakin tinggi konsentrasi
timbal dalam air, semakin tinggi pula konsentrasi timbal dalam ikan Nila
(Oreochromis niloticus).
Hasil penelitian Sitorus (2004), mengungkapkan bahwa kadar logam berat
timbal dalam tubuh kerang di perairan pesisir Belawan mencapai 0,042 ppm dan
di Tanjung Balai mencapai 0,033 ppm. Hal ini berhubungan, karena kerang
hidup di lapisan sedimen dasar perairan, bergerak sangat lambat dan makanannya
detritus di dasar perairan, sehingga peluang masuknya logam berat kedalam tubuh
sangat besar. Kadar logam berat timbal 0,5 ppm dapat menyebabkan kematian
pada ikan dan organisme perairan lainnya.
Logam berat timbal dapat mempengaruhi hewan air yaitu; menganggu
sistem organ seperti insang dalam proses respirasi dan ginjal dalam proses
osmoregulasi, kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi dalam ikan,
sehingga mempengaruhi mortalitas, pertumbuhan, reproduksi serta aktivitas
(Lloyd, 1992 dalam Oktavianus dan Salami, 2004).
Sedangkan apabila logam berat timbal masuk kedalam tubuh manusia,
maka logam tersebut akan diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak bisa
diekskresikan lagi keluar tubuh.
Pada kadar yang sudah tinggi dalam tubuh
20
manusia, akan menyebabkan dampak negatif yang serius, antara lain: (1)
menghambat aktivitas enzim, sehingga proses metabolisme terganggu, (2)
menyebabkan abnormalitas kromoson (gen), (3) menghambat perkembangan
janin, (4) menurunkan fertilitas wanita, (5) menghambat pembentukan sperma
pada pria (spermatogenesis), (6) mengurangi konduksi syaraf tepi, (7)
menghambat pembentukan hemoglobin, (8) menyebabkan kerusakan ginjal, (9)
menyebabkan kekurangan darah, (10) pembengkakan kepala, (11) menyebabkan
gangguan emosional dan tingkah laku (Fergusson, 1990)
2.4.2. Seng (Zn)
Seng (Zn) termasuk dalam kelompok logam berat. Seng (Zn) mempunyai
nomor atom 30, berat atom 65,37 dan seng memiliki valensi +2. Titik cair Zn
berada pada suhu 419,6oC dan titik leburnya pada suhu 906oC (Heslop dan
Robinson, 1960). Logam berat Zn merupakan suatu logam berat putih keperakan
dan dapat larut dalam air. Sumber logam berat Zn terbagi dua yaitu: (1) secara
alamiah dapat berasal dari batu dan lumpur lahar, (2) berasal dari aktivitas
manusia seperti: proses produksi elektroda, baterai kimia, dan juga dalam air
buangan penambangan logam berat serta industri baja besi. Logam berat seng
dimanfaatkan dalam produksi cat, bahan keramik, gelas, lampu dan pestisida
(Darmono, 1995).
Seng (Zn) adalah metal yang didapat antara lain pada industri alloy,
keramik, kosmetik, pigmen dan karet (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Pada
dasarnya Zn bukanlah unsur radioaktif sehingga unsur tersebut pada konsentrasi
rendah memiliki fungsi secara biologis. Hal tersebut karena Zn memiliki daya
afinitas yang tinggi dan rendah untuk mengikat enzim. Zn dibutuhkan untuk
proses metabolisme dalam tubuh, tetapi dalam kadar tinggi dapat bersifat racun.
Bagi mikroorganisme termasuk mikroalga, Zn berfungsi sebagai penstabil struktur
dari protein, reaksi redoks dan hidrolisis serta menjadi pemicu suatu rangkaian
proses.
Menurut keputusan MENLH ambang batas logam berat Zn dalam air
limbah adalah 5 ppm untuk kualitas ringan dan 10 ppm untuk kualitas berat.
Limbah industri yang mengandung logam Zn di buang ke perairan dalam jumlah
21
banyak, maka dapat menimbulkan pencemaran perairan. Senyawa Zn mempunyai
kemanpuan melarut yang relatif tinggi, maka logam tersebut tersebar luas di
perairan (Llyod, 1992 dalam Damaiyanti, 1997). Apabila konsentrasi logam berat
Zn dalam perairan berada pada konsntrasi yang tinggi, maka kemungkinan besar
logam Zn dapat terakumulasi dalam tubuh biota air.
Pada konsentrasi yang tinggi logam berat Zn dapat bersifat racun bagi
mikroorganisme. Kadar Zn sebesar 0,015 ppm dapat menurunkan aktivitas
fotosintesa tumbuhan perairan dan konsentrasi 0,02 ppm dapat menurunkan
proses pertumbuhan fitoplankton (Clark, 1986).
2.5. Logam Berat Dalam Ekosistem Perairan
Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk
ion. Ion-ion tersebut ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik,
ion-ion kompleks dan bentuk-bentuk ion-ion lain. Dalam badan perairan ion-ion
logam juga bereaksi membentuk kompleks organik dan kompleks anorganik.
Kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat dalam badan perairan dikontrol
oleh: (1) pH badan air, (2) jenis dan konsentrasi logam dan khelat, (3) keadaan
komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks (Leckie dan
James (1974 dalam Palar, 2004).
Menurut Smith et al. (1980 dalam Kusumahadi, 1998), pada prinsipnya
penyebaran logam berat dalam ekosistem perairan dicirikan oleh adanya
keberadaan kandungan logam berat dalam wilayah perairan tertentu, karena
pengaruh kondisi perairan tersebut. Konsentrasi logam berat yang berbeda dalam
ekosistem perairan disebabkan oleh adanya pencampuran berbagai bentuk
senyawa kompleks. Reaksi yang terjadi dapat mempengaruhi atau mengubah
konsentrasi, termasuk juga perubahan valensi kation. Selain itu, kemungkinan
juga terjadinya penyerapan oleh bahan partikel yang kemudian mengendap di
dasar, dan adanya proses pengenceran. Keadaan tersebut mempengaruhi proses
kimia dan fisika dari pencemar tersebut dalam ekosistem perairan.
Dalam badan air tawar, penyerapan logam yang dilakukan oleh partikelpertikel dan kompleks-kompleks ligand lebih bervariasi bila dibandingkan dengan
air laut. Perbedaan tersebut berkenaan dengan tingkat kompleksitas dan
22
kekentalan dari badan perairan. Lautan merupakan badan air yang kompleksitas
yang sangat tinggi. Secara lebih rinci perbedaan tersebut disebabkan oleh: (1)
adanya perbedaan kekuatan ion-ion, (2) perbedaan konsentrasi dari logam-logam
yang ada dan juga terlarut dalam badan perairan, (3) perbedaan konsentrasi antara
kation-kation dengan anion-anion utama yang ada dalam badan perairan, dan (4)
dalam badan air tawar konsentrasi ligand organik lebih besar.
Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi
tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan.
Meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap
semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat
terjadi terputusnya satu mata rantai kehidupan. Pada tingkat tertentu, keadaan
tersebut dapat menghancurkan satu tatanan suatu ekosistem perairan.
Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal
stabilitas, keanekaragaman, dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis,
kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan
oleh faktor kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan,
sifat toksisitas, dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat akan menyebabkan
terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, efek
fisiologi, genetik, dan resistensi.
Daya toksisitas logam berat terhadap mahluk hidup sangat bergantung
pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi), dan
kemanpuan individu untuk menghindar dari pengaruh pencemar. Pada perairan,
kehadiran logam berat dapat mempengaruhi semua spesies kehidupan dalam air,
terutama pada konsentrasi yang melebihi normal. Semakin besar kadar logam
berat, daya toksisitasnya semakin besar pula. Di samping faktor-faktor tersebut,
faktor lingkungan seperti pH, kesadahan, suhu, dan salinitas juga turut
mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH menyebabkan toksisitas
logam berat semakin besar. Kesadahan dapat mengurangi toksisitas logam berat,
karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi akan membentuk senyawa
kompleks yang mengendap dalam air.
23
Darmono (2001) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap mahluk yang hidup di
dalamnya, yaitu:
1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut
2. Pengaruh interaksi antara logam dan jenis toksikan lainnya
3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH, dan kadar oksigen yang
terlarut dalam air.
4. Kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), besarnya ukuran
organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi.
5. Kemanpuan hewan untuk menghindar dari pengaruh pencemar
6. Kemanpuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik logam.
2.6. Logam Berat Dalam Sedimen
Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang diangkut melalui proses
hidrologi dari tempat ke tempat lain, baik secara vertikal maupun secara
horizontal (Friedman dan Sanders, 1978).
Sedimentasi merupakan fenomena
alam yang secara langsung berhubungan dengan angin dan erosi tanah. Proses ini
dapat dipercepat oleh faktor-faktor seperti: badai, peningkatan aliran sungai ”Run
off”, peningkatan erosi dari daerah sekitarnya akibat pembersihan yang
berlebihan, dan keberadaan partikulat hasil buangan industri.
Sedimen dapat diklasifikasikan menurut asalnya dan ukuran partikelnya.
Menurut asalnya Gross (1978) menggolongkan sedimen menjadi tiga bagian
yaitu: (1) sedimen berasal dari batuan (lythogenous), umumnya berupa mineral
silikat yang berasal dari hancuran batuan, (2) sedimen yang berasal dari
organisme (biogeneus) berupa sisa-sisa tulang, gigi atau cangkang organisme, dan
(3) sedimen yang dibentuk oleh reaksi kimia yang terjadi di laut (hydrogenous).
Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar
sampai halus. Buchanan dan Kain (1991) mengklasifikasikan partikel sedimen
seperti pada Tabel 2.
24
Tabel 2. Nama dan ukuran partikel sedimen menurut skala Went Worth
Jenis Substrat
Ukuran (mm)
Batuan (Boulder)
> 256
Batuan bulat (Cobble)
256 - 64
Batuan kerikil (Pebble)
64 - 4
Butiran (Granula)
4 - 2
Pasir paling kasar (Very coarse sand)
2 - 1
Pasir kasar (Coarse sand)
1 - 0,5
Pasir sedang (Medium sand)
0,5 - 0,25
Pasir halus (Fine sand)
0,25 - 0,125
Pasir sangat halus (Very fine sand)
0,125 - 0,0625
Lumpur (Silt)
0,0625 - 0,0039
Liat (Clay)
< 0,0039
Sedangkan menurut Parson dkk (1977 dalam Bachtiar (1994) bahwa
klasifikasi ukuran partikel sedimen disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi ukuran partikel sedimen
Jenis Substrat
Ukuran (mm)
Pasir (sand)
2,000 - 0,050
Lumpur (silt)
0,050 - 0,002
Liat (clay)
< 0,002
Sedimen terdiri dari bahan organik dan anorganik. Bahan organik dapat
berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk kemudian tenggelam ke dasar
perairan, dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya
berasal dari hasil pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terdiri atas:
kerikil, pasir, lumpur dan liat. Secara umum proses sedimen perairan dipengaruhi
oleh dinamika perairan seperti: arus air, pasang surut, gelombang, kondisi dasar
sungai, turbulensi, percampuran massa air akibat perbedaan densitas air tawar dan
air laut, proses biologis, dan kimia perairan.
25
Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa perairan yang sedimentasinya
tinggi dapat membahayakan kehidupan di lingkungan perairan.
Pengaruh
sedimen terhadap biota air secara garis besar melalui beberapa mekanisme, yaitu:
1. Sedimen menutupi tubuh biota perairan terutama yang hidup di dasar perairan
(organisme bentik).
2. Sedimen menyebabkan peningkatan kekeruhan air dengan menghalangi
penetrasi cahaya yang masuk kedalam air sehingga dapat mengganggu
kehidupan organisme air.
3. Sedimen selain mampu mengikat unsur-unsur hara, juga dapat menyerap
(mengabsorpsi) logam berat. Kondisi ini dapat menyebabakan kontaminasi
zat-zat tersebut kedalam jaringan tubuh biota di perairan dan manusia melalui
rantai makan jaring-jaring makanan.
Pada sedimen dapat terjadi reaksi-reaksi kimia, yaitu: (1) penyerapan
(absorpsi) dan pelarutan ion, senyawa, gas antara air, dan sedimen, (2) perubahan
nilai potensial redoks (Eh) dan pH sedimen, (3) transfer senyawa hasil reduksi
dari lapisan bawah ke lapisan atas sedimen, (4) siklus karbon, nitrogen, sulfur,
dan fosfor, dan (5) perubahan konsentrasi ion dalam jaringan organisme maupun
di sedimen (Rhoods, 1974).
Salah satu hewan air yang dapat berinteraksi langsung dengan sedimen
adalah hewan bentos. Perubahan sedimen dasar dapat mempengaruhi komposisi
dan kelimpahan makrozoobentos (Odum, 1998). Faktor yang mempengaruh
langsung terhadap komposisi dan distribusi organisme bentos di dasar perairan,
yaitu: partikel-partikel sedimen seperti lempung, pasir, liat, dan substrat keras.
Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi daripada
sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang
sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh
akumulasi bahan organik dan anorganik ke dasar perairan. Sedangkan pada
sedimen yang kasar kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel
yang halus tidak mengendap. Demikian juga dengan bahan pencemar, kandungan
bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada sedimen yang halus. Hal ini
merupakan akibat dari adanya gaya tarik elektro-kimia antara partikel sedimen
26
dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh
sekresi lendir organisme.
2.7. Cara Penyerapan Logam Berat Oleh Organisme
Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh mahluk hidup melalui
beberapa jalan, yaitu: (1) saluran pernapasan, absorbsi logam melalui saluran
pernapasan biasanya sangat besar, baik pada hewan air yang masuk melalui
insang, maupun hewan darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran
pernapasan, (2) pencernaan, absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa
persen, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya
cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil, dan (3) penetrasi melalui
kulit, logam yang masuk melalui kulit jumlah dan absorbsinya relatif kecil
(Darmono, 2001).
Menurut Darmono dan Arifin (1989) dalam Kusumahadi (1998), ada tiga
teori mengenai mekanisme penyerapan logam dalam jaringan organisme, yaitu:
1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan
dengan mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh
organisme terhadap air di sekitarnya.
2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan
dan masuk ke dalam sitoplasma
3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel
epitel dan secara endositosis logam tersebut di bawa masuk dan dilepas ke
dalam sitoplasma.
Cara penyerapan logam berat oleh masing-masing organisme, yaitu: (1)
fitoplankton, fitoplankton mengambil logam berat yang tersebar secara vertikal
dengan cara absorbsi. Logam yang diabsorbsi umumnya adalah logam berat yang
berada dalam bentuk anorganik, (2) zooplankton, pengambilan logam berat oleh
zooplankton dilakukan sama dengan makroavertebrata yaitu melalui makanan, (3)
bentos, mengambil logam berat melalui makanan dan makanan tersebut
dihancurkan dalam usus, kemudian diserap oleh darah, ditransfer ke hati dan
disimpan dalam ginjal, (4) ikan,
umumnya mengambil logam berat melalui
insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat
27
anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan
diekresikan, sedangkan logam organik tidak diekresikan, tetapi terakumulasi
dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat ke dalam tubuh ikan juga
dapat melalui rantai makanan, dan (5) manusia, logam berat masuk ke dalam
tubuh dapat melalui air secara langsung atau melalui rantai makanan, kemudian
terakumulasi dalam tubuh manusia, terutama hati dan ginjal.
Menurut Simkis dan Mason (1983), logam masuk ke dalam jaringan tubuh
biota secara umum melalui tiga cara yaitu:
1. Endositosis dimana pengambilan partikel dari permukaan sel dengan
perpindahan oleh membran plasma. Proses ini berperan dalam pengambilan
logam berat dalam bentuk tidak terlarut.
2. Diserap dari air, sembilan puluh persen kandungan logam dalam jaringan
berasal dari penyerapan oleh sel epitel insang. Insang diduga sebagai organ
yang menyerap logam berat dari air.
3. Diserap dari makanan dan sedimen. Penyerapan logam berat dari makanan
dan sedimen oleh biota bergantung pada strategi mendapat makanan.
2.8. Hewan Bentos
2.8.1. Pengertian Bentos
Menururt Odum (1971), bentos merupakan organisme yang hidup pada
permukaan atau di dalam substrat pada dasar perairan. Berdasarkan cara
makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi filter feeder dan deposit
feeder. Filter feeder merupakan organisme yang memakan bahan tersuspensi
dengan cara menyaring (contoh kerang) sedangkan deposit feeder adalah
organisme pemakan deposit (misalnya jenis siput). Sedangkan Lind (1979) dalam
Nurifdinsyah (1993) memberikan definisi bahwa bentos adalah semua organisme
yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil, dan sampah baik di dasar danau atau
waduk, kolam, dan sungai.
Berdasarkan sebaran vertikalnya, bentos yang hidup di atas permukaan
dasar disebut epifauna dan yang hidup di dalam dasar perairan disebut infauna.
Bentos berdasarkan ukurannya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: (1)
makrozoobentos, dengan ukuran lebih besar dari 1 mm (contoh: Oligochaeta,
28
Crustacea, Mollusca, Gastropoda, dan Palecypoda), (2) meiobentos dengan
ukuran antara 0,1 mm, (3) mikrobentos dengan ukuran kurang dari 0,1 mm.
Dalam ekosisitem perairan, makrozoobentos memegang beberapa peran penting
seperti dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik dan posisinya dalam rantai
makanan terutama rantai makanan detritus.
Menurut Perkins (1974) menyatakan bahwa berdasarkan ukurannya bentos
dibagi menjadi tiga yaitu: (1) organisme yang tertahan pada saringan berukuran
2,0 – 0,5 mm termasuk ke dalam makrobentos atau oleh saringan dengan ukuran
nomor 30 US Standard, (2) organisme yang lolos pada saringan berukuran 1,0 –
0,5 mm tetapi tertahan pada saringan berukuran 0,04 – 1,0 mm termasuk ke dalam
meiobentos, dan (3) organisme yang lolos pada saringan 0,04 mm termasuk
mikrobentos.
Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif
tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan
substrat
tempat
hidupnya
sangat
mempengaruhi
komposisi
maupun
kelimpahannya. Komposisi dan kelimpahannya bergantung pada toleransi atau
sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan (makrozoobentos dapat bersifat
toleran maupun bersifat sensitif), sehingga jenis tersebut dapat dijadikan indikator
pencemaran suatu perairan.
Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran
adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan
diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda
terhadap kandungan bahan organik. Berdasarkan kepekaannya terhadap pencemar,
spesies makrozoobentos dibagi 3 kelompok, yaitu: (1) intoleran, yaitu organisme
yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang
sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme tersebut
tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas, (2)
fakultatif, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi
lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran, dan
(3) toleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran
kondisi lingkungan yang luas (organisme yang sering dijumpai di perairan yang
berkualitas jelek).
29
Menurut Hawkes (1979) dalam Astuti dan Trihadiningrum (2000),
makroinvertebrata dapat berlaku sebagai monitor kontinyu air, tidak seperti
halnya kualitas fisik dan kimia air yang hanya berlaku sesaat. Bahkan respon dari
komunitas bentos lebih luas dari polutan air. Mempertimbangkan beberapa
penemuan
metode
pendugaan
biologis
yang
berdasarkan
pada
hewan
makroinvertebrata dan fakta bahwa makroinvertebrata telah dipergunakan secara
luas sebagai bagian dari integral untuk monitoring kualitas air.
2.8.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu
atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu satuan yang terorganisir dan
mempunyai hubungan timbal balik. Konsep komunitas tersebut dapat digunakan
dalam menganalisis lingkungan perairan karena komposisi dan karakter
organisme di dalam suatu komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk
melihat keadaan lingkungan dimana komunitas tersebut berada (Odum, 1971).
Basmi (2000) menyatakan bahwa analisis struktur komunitas biota sebagai
indikator biologis tingkat pencemaran perairan dapat bersifat kuantitatif (berupa
indeks) melalui kalkulasi terhadap komponen-komponen tertentu dari struktur
komunitas yang diamati dan secara kualitatif dengan mengamati komposisi jenisjenis tertentu yang dominan di dalam suatu komunitas. Krebs (1989)
menambahkan bahwa untuk kondisi suatu struktur komunitas terdapat lima
karakteristik komunitas yang dapat diukur yaitu: (1) keanekaragaman, (2)
dominansi, (3) bentuk dan struktur pertumbuhan, (4) kelimpahan, dan (5) struktur
trofik.
Keanekaragaman dapat digunakan untuk melihat pengaruh pencemaran
perairan terhadap komunitas perairan (biologi), dalam hal ini keanekaragaman
digunakan untuk mengevaluasi akibat yang terjadi pada komunitas bentos
dihubungkan dengan kondisi lingkungan. Selain itu keanekaragaman dapat juga
digunakan sebagai indikator kualitas perairan, dalam hal ini digunakan untuk
menentukan apakah perubahan yang terjadi pada komunitas merupakan hasil dari
adanya bahan pencemar (Dennis dan Patil, 1977). Untuk menghitung
keanekaragaman jenis makrozoobentos digunakan metode Shannon-Wiener.
30
Keanekaragaman dari Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum
digunakan bagi manajemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam
menggambarkan struktur komunitas dan mendeteksi besarnya degradasi pada
ekosistem. Indeks keanekaragaman menggabungkan tiga komponen utama dari
struktur komunitas yaitu: kelimpahan, jumlah taksa, dan kemerataan distribusi
organisme diantara spesies (Krebs, 1989).
Parameter kualitas air mendukung kehidupan bentos antara lain: bahan
organik dan detritus sedangkan faktor penghambat adalah bahan-bahan beracun.
Oleh karena itu, hanya jenis-jenis bentos tertentu dan derajat keanekaragaman
dapat dipergunakan sebagai indikator tingkat pencemaran perairan dimana
organisme itu hidup. Bentos merupakan hewan air yang dapat dijadikan indikator
untuk menentukan kualitas perairan
berdasarkan ketahanannya terhadap
pencemaran air dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Klassifikasi hewan bentos berdasarkan ketahanannya terhadap
pencemaran air (Wilhm, 1975)
Kelompok
Jenis Hewan Bentos
Jenis organisme sangat tahan Cacing tubifecid, Lintah, Larva
terhadap pencemaran
nyamuk, Siput (musculum dan
fisidium)
Jenis yang ketahanannya Jenis-jenis siput, Serangga dan
sedang
dan
lebih Crustacea
menyenangi air yang jernih
Jenis yang tidak tahan Siput dari famili viviparidae,
terhadap bahan pencemar amnicolidae serangga, nimfa dari
dan hanya menyenangi air ordo
Ephemercidae,
odonata,
bersih
hemiptera,
neuroptera
dan
Colenterata
Selanjutnya Wilhm (1975) memberikan kriteria kualitas air berdasarkan
penduga
keanekaragaman Shannon-Wiener dari hewan bentos makro dapat
dilihat pada Tabel 5.
Organisme yang toleran terhadap zat pencemar pada akhirnya dapat
tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat kompetisi baik dalam ruang
maupun dalam memperoleh nutrien. Sebagai akibatnya kelimpahan organisme
tersebut akan meningkat. Kelimpahan makrozoobentos di suatu perairan sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan baik fisik, kimia maupun faktor
31
biologi. Faktor-faktor tersebut adalah: suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas
terlarut dan interaksi dengan organisme lain.
Sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap zat pencemar
kemanpuan kompetisinya menurun dan akhirnya akan punah, sehingga pada
daerah tersebut akan di dominasi oleh organisme yang toleran terhadap polutan
(Dennis
dan
Patil,
1977).
Keanekaragaman
organisme
yang
rendah
mengindikasikan bahwa pada daerah tersebut telah terjadi tekanan lingkungan
akibat polusi. Pada saat terjadi tekanan lingkungan, hanya beberapa spesies yang
dapat mentelorir dan keanekaragaman menjadi rendah.
Tabel 5. Beberapa kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman
Shannon-Wiener dari hewan bentos makro
Indeks Keanekaragaman Jenis
< 3
1 - 3
< 1
3,0 - 4,5
2,0 - 3,0
1,0 - 2,0
< 1,0
> 2,0
2,0 - 1,6
1,5 - 1,0
> 1,0
Kualitas Air
Air bersih
Setengah tercemar
Tercemar Berat
Pencemaran sangat ringan
Pencemaran ringan
Setengah tercemar
Tercemar berat
Pencemaran sangat ringan
Pencemaran ringan
Pencemaran sedang
Tercemar berat
Dari Tabel diatas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila Indeks
keanekaragaman jenis lebih besar dari tiga, berarti kualitas perairan di tempat
tersebut baik dan sebaliknya apabila indeks keanekaragaman jenis lebih kecil dari
satu maka kualitas perairan telah tercemar berat.
Download