II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Waduk Habitat air tawar dapat dibagi dua, yaitu (1) perairan menggenang atau habitat lentik, misalnya waduk, danau, kolam, rawa, dan (2) habitat perairan mengalir atau habitat lotik, misalnya mata air dan sungai (Koesoebiono, 1979). Habitat lotik terbagi lagi menjadi dua zone, yaitu habitat lotik dingin, dangkal dan sering mempunyai dasar aliran yang berbatu-batu dan habitat lotik hangat, lebih dalam dengan dasar yang berlumpur. Salah satu perairan tergenang yang mempunyai fungsi multi guna, yaitu: waduk. Waduk adalah badan air yang terbentuk karena pembendungan aliran sungai dan salah satu bentuk reservoir tempat menampung aliran sungai dalam satu sistem jaringan sungai dalam suatu sistem DAS. Waduk merupakan badan air yang karakteristik fisik, kimia, dan biologi berbeda dari sungai yang di bendungnya serta kualitas perairan waduk lebih stabil di bandingkan dengan sungai asalnya (Ilyas dkk, 1990). Suwignyo (1981) menyatakan bahwa waduk dapat dibentuk dari sungai (river in reservoir) maupun dari rawa (food lake), karena bentuk perairan waduk yang selintas mirip dengan perairan danau, maka waduk dikenal juga sebagai danau buatan manusia. Waduk dikatakan sebagai danau buatan manusia, karena dibuat dan diciptakan oleh manusia untuk tujuan tertentu. Tujuan pembangunan waduk antara lain: sebagai pencegah banjir, Pembangkit Tenaga Listrik (PLTA), pemasok air untuk kepentingan irigasi/pertanian, industri, permukiman, perikanan (Keramba Jaring Apung), dan pariwisata. Di Indonesia luas waduk sekitar 100.000 ha dan danau alami sekitar 1,7 ha (Ismail dan Wardoyo, 1998). Perairan waduk dan danau merupakan badan air dari perairan umum yang bersifat serbaguna (digunakan untuk berbagai pemanfaatan), terbuka dan bersifat milik umum (Kartamiharja, 1998). Selanjutnya dikemukakan bahwa jumlah waduk serbaguna sebanyak 20 buah dari 23 waduk utama yang luasnya mencapai 53.000 ha. Waduk serbaguna yang terdapat di indonesia ditunjukkan pada Tabel 1. 11 Salah satu waduk yang terdapat di Jawa Barat adalah Waduk Cirata. Menurut Sudarjat (2000), menyatakan bahwa secara umum Waduk Cirata berfungsi sebagai sumberdaya air untuk kegiatan dibidang: (1) pertanian (sumber air baku), (2) industri (sumber air baku untuk kegiatan industri), (3) penyedia air baku untuk rumah tangga (reservoir air), (4) energi (penggerak mesin pembangkit listrik), (5) perikanan tangkap, (6) perikanan budidaya (akuakultur), (7) transfortasi (sarana angkutan), (8) pengendalian banjir, (9) rekreasi, dan (10) tempat pembuangan limbah. Tabel 1. Waduk serbaguna di indonesia Tempat dan Nama Waduk Jawa Barat Saguling Cirata Jatiluhur (Juanda) Jawa Tengah Wonogiri Wadaslintang Kedungombo PB. Soedirman Sempor Jawa Timur Karangkates Selorejo Lahor Wlingi Bening Sengguruh Nusa Tenggara Batujai Kalimantan Selatan Riam Kanan Lampung Way Rarem Way Jepara Luas (ha) Kedalaman Kedalaman Ketinggian Maksimum Rata-rata (m dpl) (m) (m) Fungsi Utama Tahun dibangun E,F,I E,F,I 5.34 6.2 8.3 90 106 95 18 34 37 625 250 110 W,I,E,F 1985 1987 1965 8.8 1.46 6.1 1.5 1.3 28 85 50 45 8 30 16 13 - 140 115 100 231 77 I, F, E I, F, E I, F, E E,F,1 I,F,E 1981 1987 1989 1989 1987 1.5 400 260 380 570 290 70 46 50 28 10 24 23 16 14 6 8 7 270 600 300 163 11 296 I, E, F E, I, F I, E, F I, E, F I, F E, I 1972 1970 1977 1983 1933 1987 890 14 2 4 I, F, W 1983 9.2 50 18 - I, E, F 1983 1.4 220 25 - 6 15 60 - I,F I,F 1982 1976 Sumber: Ilyas dkk, (1990) Keterangan : I (Irigasi), E (Tenaga Listrik), W (Air minum), F (Pengendali Banjir) 12 Waduk merupakan penampung alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padat tersuspensi, dan bahan kimia toksik yang akhirnya mengendap di dasarnya. Penampungan bahan-bahan tersebut berlangsung bertahun-tahun pada waduk, sehingga proses pendangkalan tidak dapat dihindari. Kontaminasi terjadi dari unsur, minyak, pestisida, dan substansi toksik yang dapat merusak di dasar waduk dan ikan yang hidup di dalamnya. Menurut Koswara (1999) dalam Djunaedi (2000) menyatakan bahwa sumber atau penyebab permasalahan waduk atau danau yaitu: pembuangan limbah organik biodegradable, pembuangan nutrien dari air limbah, pencemaran nutrien tersebar (non-point sources pollution) terutama dari pertanian, hujan asam yang disebabkan oleh polutan udara seperti SO2 dan NOx, pembuangan zat-zat toksik dari industri atau pertanian, dan pembuangan panas. Waduk selalu menerima masukan air dari daerah sekitarnya (DAS), dengan demikian waduk cenderung menerima bahan-bahan terlarut yang terangkut bersamaan dengan air yang masuk. Konsentrasi ionik perairan waduk merupakan resultante ionik dari air yang masuk. Adanya kegiatan manusia disekitar DAS seringkali menyebabkan pencemaran perairan waduk. Pertumbuhan penduduk yang cepat dan diikuti dengan perrtumbuhan industri dan kegiatan lainnya akan menghasilkan limbah yang kemudian dibuang ke lingkungan. Limbah kemudian dapat masuk ke waduk melalui aliran sungai atau rembesan air tanah. 2.2. Pencemaran Perairan Dewasa ini air menjadi masalah yang perlu mendapat perhatian yang saksama dan cermat. Untuk mendapatkan air yang baik, sesuai dengan standar tertentu, saat ini menjadi barang yang mahal karena air sudah banyak tercemar oleh bermacam-macam limbah dari hasil kegiatan manusia, baik limbah dari kegiatan rumah tangga, limbah kegiatan industri, dan kegiatan-kegiatan lainnya (Wardhana, 2001). Air adalah pelarut yang baik untuk banyak bahan, maka dari itu merupakan salah satu media transport bagi unsur hara dan hasil limbah dalam berbagai proses kehidupan, oleh karena itu banyak sekali senyawa ionis berdiasosiasi dalam air. 13 Pencemaran air adalah penurunan kualitas air sehingga air tersebut tidak (kurang) memenuhi syarat atau bahkan mengganggu pemanfaatan. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organitation atau WHO) air dinyatakan tercemar apabila terjadi perubahan komposisi atau keadaan kandungannya sebagai akibat kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung, sehingga air tersebut tidak atau kurang sesuai dengan fungsi atau tujuan pemanfaatan asalnya. Di dalam UU Nomor 4 tahun 1982 mengenai lingkungan hidup, pencemaran lingkungan didefinisikan sebagai dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 tahun 2001 tentang pengendalian pencemaran air dan pengelolaan kualitas air, dinyatakan bahwa pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukan. Menurut Haynes (1978) dalam Nurifdinsyah (1993) mengemukakan bahwa pencemaran terhadap badan air dapat mengakibatkan masuknya zat-zat beracun, bertambahnya padatan tersuspensi, terjadinya deoksidasi dan naiknya temperatur. Pencemaran perairan yang disebabkan oleh kegiatan di darat dapat digolongkan menjadi empat kategori, yaitu (1) pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri (industrial pollution), (2) pencemaran yang disebabkan karena sampah atau limbah rumah tangga (sewage pollution), (3) pencemaran disebabkan karena sedimentasi (sedimentation pollution), dan (4) pencemaran yang disebabkan karena kegiatan pertanian (agricultural pollution). Berdasarkan sifat toksiknya, pencemaran dibedakan menjadi dua, yaitu (Effendi, 2003): 1. Polutan tak toksik Pencemaran tak toksik biasanya telah berada pada ekosistem secara alami. Sifat destruktif pencemaran ini muncul apabila berada dalam jumlah yang 14 berlebihan sehingga dapat mengganggu kesetimbangan ekosistem melalui perubahan proses fisika-kimia perairan. 2. Polutan toksik Polutan toksik dapat mengakibatkan kematian (lethal) maupun bukan kematian (sub-lethal), misalnya terganggunya pertumbuhan, tingkah laku, dan karakteristik morfologi berbagai organisme akuatik. Polutan toksik ini biasanya berupa bahan-bahan yang bukan bahan alami, misalnya pestisida, detergen, dan bahan-bahan yang lain. 2.3. Sumber Logam Berat Istilah logam secara fisik mengandung suatu arti yang merupakan konduktor listrik yang baik dan mempunyai konduktivitas panas, rapatan, kemudahan ditempa, kekerasan, dan keelektropositifan yang tinggi. Meskipun demikian, beberapa unsur (boron, silikon, germanium, arsen, dan tellirium) yang diketahui sebagai metaloid, mempunyai satu atau lebih sifat-sifat tersebut. Tetapi tidaklah cukup membedakannya dalam kekhasan untuk memungkinkan suatu pemisahan yang persis logam atau bukan logam. Lebih jauh, bentuk alotrofik dari beberapa unsur di garis batas mungkin juga memperlihatkan sifat-sifat yang berbeda (Wittman, 1979 dalam Connel dan Miller, 2006) Logam berasal dari kerak bumi berupa bahan-bahan murni, organik, dan anorganik. Secara alami siklus perputaran logam adalah dari kerak bumi kemudian ke lapisan tanah, kemudian ke mahluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia), ke dalam air, mengendap dan akhirnya kembali ke kerak bumi (Darmono, 1995). Istilah logam biasanya diberikan kepada semua unsur-unsur kimia dengan ketentuan atau kaidah-kaidah tertentu. Unsur ini dalam kondisi suhu kamar, tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang berbentuk cair. Logam-logam cair, contohnya: air raksa atau hidragyrum (Hg), serium (Ce), dan gallium (Ga). Setiap logam mempunyai bentuk dan kemanpuan atau daya yang terkandung di dalamnya, maka setiap logam, yaitu memiliki kemanpuan yang baik sebagai penghantar daya listrik (konduktor), memiliki kemanpuan sebagai penghantar panas yang baik, memiliki rapatan yang tinggi, dapat membentuk alloy dengan 15 logam lainnya, dan untuk logam yang padat, dapat ditempa dan dibentuk (Palar, 2004). Logam adalah unsur alam yang dapat di peroleh dari laut, dari erosi batuan tambang, vulkanisme dan sebagainya. Logam dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yaitu: 1. Logam ringan (seperti natrium, kalium, dan sebagainya), biasanya sebagai kation aktif di dalam larutan encer. 2. Logam transisi (seperti besi, tembaga, kobalt, dan mangan) diperlukan dalam konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang tinggi. 3. Logam berat dan metaloid (seperti raksa, timah hitam, timah, selenium, dan arsen), umumnya tidak diperlukan dalam kegiatan metabolisme dan sebagai racun bagi sel pada konsentrasi rendah. Logam-logam di atmosfir berdasarkan sumber alamiahnya berasal dari: (1) debu-debu dari kegiatan gunung berapi, (2) erosi dan pelapukan tebing dan tanah, (3) asap dan kebakaran hutan, dan (4) aerosol dan partikulasi dari permukaan laut. Kegiatan manusia juga merupakan sumber utama pemasukan logam ke dalam lingkungan perairan. Masuknya logam berasal dari buangan langsung dari berbagai jenis limbah yang beracun, gangguan pada cekungancekungan perairan, presifitasi dan jatuhan atmosfir. Sumber utam pemasukan logam dirangkum sebagai berikut (Wittman, 1979 dalam Connel dan Miller, 2006): 1. Kegiatan Pertambangan Eksploitasi timbunan biji dalam membongkar dalam permukaan batu bara dan sejumlah besar sisa-sisa batu atau tanah untuk mempercepat kondisi pelapukan. Hal ini menyebabkan masalah kualitas air yang serius, yang mengakibatkan tingginya kadar logam seperti besi (Fe), mangan ( Mn), seng (Zn), kobalt (Co), nikel (Ni), dan tembaga (Cu). 2. Cairan Limbah Rumahtangga Jumlah logam runutan yang cukup besar disumbangkan ke dalam cairan limbah rumahtangga oleh sampah-sampah metabolik, korosi pipa-pipa air (Cu, 16 Pb, Zn, dan Cd) dan produk-produk konsumer (misalnya formula deterjen yang mengandung Fe, Mn, Cr, Ni, Co, Zn, Cr, dan As). 3. Limbah dan Buangan Industri Beberapa logam runutan yang dibuang ke dalam lingkungan perairan melalui caiarn limbah industri demikian juga dengan penimbunan dan pencucian lumpur industri. Emisi logam dari pembakaran bahan bakar fosil juga merupakan sumber utama logam dari udara yang ada di dalam air alamiah dan daerah aliran sungai. 4. Aliran Pertanian Sifat yang berbeda-beda mengenai kegiatan dan praktek pertanian di seluruh dunia mempersulit pengujian sumber-sumber logam ini secara keseluruhan. Namun demikian, sangat banyak endapan yang mengandung logam, hilang dari daerah pertanian sebagai akibat dari erosi tanah. Sumber utama emisi logam arsen (As), kadmium (Cd), timbal (Pb), dan merkuri (Hg) adalah pada proses peleburan dan pemurnian logam non-ferous (bukan besi). Emisi logam tersebut dapat terjadi pada saat pemrosesan primer (pemrosesan dari konsentrat mineral) maupun pemrosesan sekunder (pemrosesan dalam pabrik). Pemrosesan primer ialah pemrosesan pada daerah tambang. Logam berat adalah suatu logam dengan bobot jenis besar. Logam ini memiliki karakter seperti berkilau, lunak, atau dapat ditempa (malleability), bersifat dapat mengalir (ductility), mempunyai daya hantar panas dan listrik yang tinggi dan bersifat kimiawi, yaitu sebagai dasar pembentukan reaksi dengan asam. Selain itu, logam berat adalah unsur yang mempunyai densitas yang lebih besar dari 5 gram per cm3, mempunyai nomor atom lebih besar dari 21 dan dapat di bagian tengah daftar periodik. Beberapa macam logam berat sangat beracun terhadap tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. Logam-logam tersebut bersifat tahan lama dan keracunannya bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama. Unsur logam berat dalam jumlah yang berlebihan akan bersifat racun. Toksisitas (daya racun) logam berat tergantung pada jenis, kadar, efek sinergis-antagonis, dan bentuk fisika-kimianya (Connell dan Miller, 2006). Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam-logam lainnya. Perbedaan terletak dari pengaruh yang 17 dihasilkan bila logam berat tersebut berikatan dan atau masuk ke dalam tubuh organisme hidup. Sebagai contoh, bila unsur logam besi (Fe) masuk ke dalam tubuh, meski dalam jumlah yang berlebihan, biasanya tidak menimbulkan pengaruh yang buruk terhadap tubuh. Karena unsur besi (Fe) dibutuhkan dalam darah untuk mengikat oksigen. Sedangkan unsur logam berat baik itu logam berat beracun yang dipentingkan seperti tembaga (Cu), bila masuk ke dalam tubuh dalam jumlah berlebihan akan menimbulkan pengaruh-pengaruh buruk terhadap fungsi fisiologis tubuh. Jika yang masuk ke dalam tubuh organisme hidup adalah unsur logam beracun seperti merkuri (Hg), maka organisme dapat mengakibatkan keracunan (Palar, 2004). 2.4. Logam Berat 2.4.1. Timbal (Pb) Timbal mempunyai nomor atom 83, berat atom 207,9, titik cair 327,5oC dan titik didih 1725oC. Timbal di alam dalam bentuk sulfida (gelena), Pb Carbonat (Cerussite), PbSO4 (Angelisite), sedangkan Timbal dalam air berada dalam bentuk Pb2+, PbCO3, Pb(CO3)22-, PbOH+ dan Pb (OH)2. Secara alamiah Timbal tersebar luas pada batua-batuan dan lapisan kerak bumi. Saeni (1989) menyatakan sumber utama timbal di atmosfir dan daratan dapat berasal dari bahan bakar bertimbal sedangkan batuan kapur dan gelena (PbS) merupakan sumber timbal pada perairan alami. Timbal muncul dalam air dalam bentuk bilangan oksida +II. Ion timbal terhidrolisis sebagian di dalam air dengan reaksi : Pb2+ + PbOH+ + H+. Selanjutnya Saeni (1989) menyatakan timbal masuk H2O ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung timbal yaitu: dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi, dan limbah industri. Menurut Darmono (1995) mengemukakan penggunaan timbal dalam yang besar seperti: industri percetakan tinta, pelapis pipa sebagai anti korosif dan digunakan dalam campuran pembuat cat sebagai bahan pewarna karena daya larutnya yang rendah dalam air. Sedangkan Williams et al, (2000) dalam Oktavianus dan Salami (2005) mengungkapkan bahwa timbal (Pb) berasal dari industri-industri seperti pabrik baterai, amunisi, kawat, logam campuran, dan cat. 18 Secara alamiah, timbal masuk ke perairan melalui pengkristalan timbal di udara dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batu-bataun mineral. Timbal masuk ke perairan sebagai dampak aktivitas manusia seperti buangan industri, buangan pertambangan biji timah, dan buangan industri kaleng. Logam timbal dalam konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat racun karena bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat tersebut dalam tubuhnya (Connel dan Miller, 2006). Karena sifat bioakumulatif logam timbal, maka dapat terjadi konsentrasi logam tersebut dalam bentuk terlarut dalam air adalah rendah, tetapi dalam sedimen meningkat akibat proses fisik, kimia, biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat (biomagnifikasi). Selanjutnya Rompas (1998) dan Manahan (2002) menjelaskan bahwa apabila konsentrasi logam berat tinggi dalam air, ada kecendrungan konsentrasi logam berat tersebut tinggi dalam sedimen dan akumulasi logam berat dalam tubuh hewan demersial. Menurut Manahan (2002) bahwa akumulasi logam berat dalam tubuh hewan air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: 1. Konsentrasi logam berat dalam air 2. Konsentrasi logam berat dalam sedimen 3. Nilai pH air dan pH sedimen dasar perairan Nilai pH air dan pH sedimen dapat mempengaruhi akumulasi logam berat dalam tubuh hewan air, karena semakin rendah pH air dan pH sedimen maka logam berat semakin larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah masuk kedalam tubuh hewan tersebut, baik melalui insang, dan bahan makanan ataupun difusi. 4. Tingkat pencemaran air dalam bentuk COD (chemical oxygen demand) Apabila COD dalam perairan relatif tinggi, maka ada kecendrungan kandungan logam berat dalam air dan sedimen juga akan tinggi. COD menunjukkan kadar bahan organik yang bersifat non biodegradable yang umumnya bersumber dari industri. 5. Kandungan sulfur dalam air dan sedimen 19 6. Kadar sulfur (S) dalam sedimen juga mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen, karena unsur sulfur sangat mudah berikatan dengan logam berat membentuk logam-sulfida yang mengendap di dasar perairan. 7. Jenis hewan air 8. Umur dan bobot tubuh dan 9. Fase hidup (telur dan larva). Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut akan diserap oleh sedimen atau lumpur, plankton, algae, invertebrata, tanaman akuatik dan lain-lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama bagi timbal di lingkungan. Konsentrasi timbal dalam air semakin meningkat karena garam yang diekskresikan ikan ke air cenderung bertambah. Kenaikan konsentrasi timbal dalam sistem akuatik secara berurutan : air < mangsa ikan < ikan < sedimen (DVGM, 1985 dalam Oktavianus dan Salami, 2005). Selanjutnya diungkapkan bahwa peningkatan konsentrasi timbal pada ikan (proses uptake) merupakan peningkatan eksponensial, artinya: bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal dalam air, semakin tinggi pula konsentrasi timbal dalam ikan Nila (Oreochromis niloticus). Hasil penelitian Sitorus (2004), mengungkapkan bahwa kadar logam berat timbal dalam tubuh kerang di perairan pesisir Belawan mencapai 0,042 ppm dan di Tanjung Balai mencapai 0,033 ppm. Hal ini berhubungan, karena kerang hidup di lapisan sedimen dasar perairan, bergerak sangat lambat dan makanannya detritus di dasar perairan, sehingga peluang masuknya logam berat kedalam tubuh sangat besar. Kadar logam berat timbal 0,5 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan dan organisme perairan lainnya. Logam berat timbal dapat mempengaruhi hewan air yaitu; menganggu sistem organ seperti insang dalam proses respirasi dan ginjal dalam proses osmoregulasi, kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi dalam ikan, sehingga mempengaruhi mortalitas, pertumbuhan, reproduksi serta aktivitas (Lloyd, 1992 dalam Oktavianus dan Salami, 2004). Sedangkan apabila logam berat timbal masuk kedalam tubuh manusia, maka logam tersebut akan diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak bisa diekskresikan lagi keluar tubuh. Pada kadar yang sudah tinggi dalam tubuh 20 manusia, akan menyebabkan dampak negatif yang serius, antara lain: (1) menghambat aktivitas enzim, sehingga proses metabolisme terganggu, (2) menyebabkan abnormalitas kromoson (gen), (3) menghambat perkembangan janin, (4) menurunkan fertilitas wanita, (5) menghambat pembentukan sperma pada pria (spermatogenesis), (6) mengurangi konduksi syaraf tepi, (7) menghambat pembentukan hemoglobin, (8) menyebabkan kerusakan ginjal, (9) menyebabkan kekurangan darah, (10) pembengkakan kepala, (11) menyebabkan gangguan emosional dan tingkah laku (Fergusson, 1990) 2.4.2. Seng (Zn) Seng (Zn) termasuk dalam kelompok logam berat. Seng (Zn) mempunyai nomor atom 30, berat atom 65,37 dan seng memiliki valensi +2. Titik cair Zn berada pada suhu 419,6oC dan titik leburnya pada suhu 906oC (Heslop dan Robinson, 1960). Logam berat Zn merupakan suatu logam berat putih keperakan dan dapat larut dalam air. Sumber logam berat Zn terbagi dua yaitu: (1) secara alamiah dapat berasal dari batu dan lumpur lahar, (2) berasal dari aktivitas manusia seperti: proses produksi elektroda, baterai kimia, dan juga dalam air buangan penambangan logam berat serta industri baja besi. Logam berat seng dimanfaatkan dalam produksi cat, bahan keramik, gelas, lampu dan pestisida (Darmono, 1995). Seng (Zn) adalah metal yang didapat antara lain pada industri alloy, keramik, kosmetik, pigmen dan karet (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Pada dasarnya Zn bukanlah unsur radioaktif sehingga unsur tersebut pada konsentrasi rendah memiliki fungsi secara biologis. Hal tersebut karena Zn memiliki daya afinitas yang tinggi dan rendah untuk mengikat enzim. Zn dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam tubuh, tetapi dalam kadar tinggi dapat bersifat racun. Bagi mikroorganisme termasuk mikroalga, Zn berfungsi sebagai penstabil struktur dari protein, reaksi redoks dan hidrolisis serta menjadi pemicu suatu rangkaian proses. Menurut keputusan MENLH ambang batas logam berat Zn dalam air limbah adalah 5 ppm untuk kualitas ringan dan 10 ppm untuk kualitas berat. Limbah industri yang mengandung logam Zn di buang ke perairan dalam jumlah 21 banyak, maka dapat menimbulkan pencemaran perairan. Senyawa Zn mempunyai kemanpuan melarut yang relatif tinggi, maka logam tersebut tersebar luas di perairan (Llyod, 1992 dalam Damaiyanti, 1997). Apabila konsentrasi logam berat Zn dalam perairan berada pada konsntrasi yang tinggi, maka kemungkinan besar logam Zn dapat terakumulasi dalam tubuh biota air. Pada konsentrasi yang tinggi logam berat Zn dapat bersifat racun bagi mikroorganisme. Kadar Zn sebesar 0,015 ppm dapat menurunkan aktivitas fotosintesa tumbuhan perairan dan konsentrasi 0,02 ppm dapat menurunkan proses pertumbuhan fitoplankton (Clark, 1986). 2.5. Logam Berat Dalam Ekosistem Perairan Logam-logam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion. Ion-ion tersebut ada yang merupakan ion-ion bebas, pasangan ion organik, ion-ion kompleks dan bentuk-bentuk ion-ion lain. Dalam badan perairan ion-ion logam juga bereaksi membentuk kompleks organik dan kompleks anorganik. Kelarutan dari unsur-unsur logam dan logam berat dalam badan perairan dikontrol oleh: (1) pH badan air, (2) jenis dan konsentrasi logam dan khelat, (3) keadaan komponen mineral teroksidasi dan sistem yang berlingkungan redoks (Leckie dan James (1974 dalam Palar, 2004). Menurut Smith et al. (1980 dalam Kusumahadi, 1998), pada prinsipnya penyebaran logam berat dalam ekosistem perairan dicirikan oleh adanya keberadaan kandungan logam berat dalam wilayah perairan tertentu, karena pengaruh kondisi perairan tersebut. Konsentrasi logam berat yang berbeda dalam ekosistem perairan disebabkan oleh adanya pencampuran berbagai bentuk senyawa kompleks. Reaksi yang terjadi dapat mempengaruhi atau mengubah konsentrasi, termasuk juga perubahan valensi kation. Selain itu, kemungkinan juga terjadinya penyerapan oleh bahan partikel yang kemudian mengendap di dasar, dan adanya proses pengenceran. Keadaan tersebut mempengaruhi proses kimia dan fisika dari pencemar tersebut dalam ekosistem perairan. Dalam badan air tawar, penyerapan logam yang dilakukan oleh partikelpertikel dan kompleks-kompleks ligand lebih bervariasi bila dibandingkan dengan air laut. Perbedaan tersebut berkenaan dengan tingkat kompleksitas dan 22 kekentalan dari badan perairan. Lautan merupakan badan air yang kompleksitas yang sangat tinggi. Secara lebih rinci perbedaan tersebut disebabkan oleh: (1) adanya perbedaan kekuatan ion-ion, (2) perbedaan konsentrasi dari logam-logam yang ada dan juga terlarut dalam badan perairan, (3) perbedaan konsentrasi antara kation-kation dengan anion-anion utama yang ada dalam badan perairan, dan (4) dalam badan air tawar konsentrasi ligand organik lebih besar. Logam-logam berat yang terlarut dalam badan perairan pada konsentrasi tertentu akan berubah fungsi menjadi sumber racun bagi kehidupan perairan. Meskipun daya racun yang ditimbulkan oleh satu jenis logam berat terhadap semua biota perairan tidak sama, namun kehancuran dari satu kelompok dapat terjadi terputusnya satu mata rantai kehidupan. Pada tingkat tertentu, keadaan tersebut dapat menghancurkan satu tatanan suatu ekosistem perairan. Pencemaran logam berat dapat merusak lingkungan perairan dalam hal stabilitas, keanekaragaman, dan kedewasaan ekosistem. Dari aspek ekologis, kerusakan ekosistem perairan akibat pencemaran logam berat dapat ditentukan oleh faktor kadar dan kesinambungan zat pencemar yang masuk dalam perairan, sifat toksisitas, dan bioakumulasi. Pencemaran logam berat akan menyebabkan terjadinya perubahan struktur komunitas perairan, jaringan makanan, efek fisiologi, genetik, dan resistensi. Daya toksisitas logam berat terhadap mahluk hidup sangat bergantung pada spesies, lokasi, umur (fase siklus hidup), daya tahan (detoksikasi), dan kemanpuan individu untuk menghindar dari pengaruh pencemar. Pada perairan, kehadiran logam berat dapat mempengaruhi semua spesies kehidupan dalam air, terutama pada konsentrasi yang melebihi normal. Semakin besar kadar logam berat, daya toksisitasnya semakin besar pula. Di samping faktor-faktor tersebut, faktor lingkungan seperti pH, kesadahan, suhu, dan salinitas juga turut mempengaruhi toksisitas logam berat. Penurunan pH menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Kesadahan dapat mengurangi toksisitas logam berat, karena logam berat dalam air dengan kesadahan tinggi akan membentuk senyawa kompleks yang mengendap dalam air. 23 Darmono (2001) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi daya toksisitas logam dalam air terhadap mahluk yang hidup di dalamnya, yaitu: 1. Bentuk ikatan kimia dari logam yang terlarut 2. Pengaruh interaksi antara logam dan jenis toksikan lainnya 3. Pengaruh lingkungan seperti suhu, kadar garam, pH, dan kadar oksigen yang terlarut dalam air. 4. Kondisi hewan, fase siklus hidup (telur, larva, dewasa), besarnya ukuran organisme, jenis kelamin, dan kecukupan kebutuhan nutrisi. 5. Kemanpuan hewan untuk menghindar dari pengaruh pencemar 6. Kemanpuan organisme untuk beraklimatisasi terhadap bahan toksik logam. 2.6. Logam Berat Dalam Sedimen Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang diangkut melalui proses hidrologi dari tempat ke tempat lain, baik secara vertikal maupun secara horizontal (Friedman dan Sanders, 1978). Sedimentasi merupakan fenomena alam yang secara langsung berhubungan dengan angin dan erosi tanah. Proses ini dapat dipercepat oleh faktor-faktor seperti: badai, peningkatan aliran sungai ”Run off”, peningkatan erosi dari daerah sekitarnya akibat pembersihan yang berlebihan, dan keberadaan partikulat hasil buangan industri. Sedimen dapat diklasifikasikan menurut asalnya dan ukuran partikelnya. Menurut asalnya Gross (1978) menggolongkan sedimen menjadi tiga bagian yaitu: (1) sedimen berasal dari batuan (lythogenous), umumnya berupa mineral silikat yang berasal dari hancuran batuan, (2) sedimen yang berasal dari organisme (biogeneus) berupa sisa-sisa tulang, gigi atau cangkang organisme, dan (3) sedimen yang dibentuk oleh reaksi kimia yang terjadi di laut (hydrogenous). Partikel sedimen mempunyai ukuran yang bervariasi, mulai yang besar sampai halus. Buchanan dan Kain (1991) mengklasifikasikan partikel sedimen seperti pada Tabel 2. 24 Tabel 2. Nama dan ukuran partikel sedimen menurut skala Went Worth Jenis Substrat Ukuran (mm) Batuan (Boulder) > 256 Batuan bulat (Cobble) 256 - 64 Batuan kerikil (Pebble) 64 - 4 Butiran (Granula) 4 - 2 Pasir paling kasar (Very coarse sand) 2 - 1 Pasir kasar (Coarse sand) 1 - 0,5 Pasir sedang (Medium sand) 0,5 - 0,25 Pasir halus (Fine sand) 0,25 - 0,125 Pasir sangat halus (Very fine sand) 0,125 - 0,0625 Lumpur (Silt) 0,0625 - 0,0039 Liat (Clay) < 0,0039 Sedangkan menurut Parson dkk (1977 dalam Bachtiar (1994) bahwa klasifikasi ukuran partikel sedimen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi ukuran partikel sedimen Jenis Substrat Ukuran (mm) Pasir (sand) 2,000 - 0,050 Lumpur (silt) 0,050 - 0,002 Liat (clay) < 0,002 Sedimen terdiri dari bahan organik dan anorganik. Bahan organik dapat berasal dari hewan atau tumbuhan yang membusuk kemudian tenggelam ke dasar perairan, dan bercampur dengan lumpur, sedangkan bahan anorganik umumnya berasal dari hasil pelapukan batuan. Sedimen hasil pelapukan batuan terdiri atas: kerikil, pasir, lumpur dan liat. Secara umum proses sedimen perairan dipengaruhi oleh dinamika perairan seperti: arus air, pasang surut, gelombang, kondisi dasar sungai, turbulensi, percampuran massa air akibat perbedaan densitas air tawar dan air laut, proses biologis, dan kimia perairan. 25 Dahuri et al. (1996) menyatakan bahwa perairan yang sedimentasinya tinggi dapat membahayakan kehidupan di lingkungan perairan. Pengaruh sedimen terhadap biota air secara garis besar melalui beberapa mekanisme, yaitu: 1. Sedimen menutupi tubuh biota perairan terutama yang hidup di dasar perairan (organisme bentik). 2. Sedimen menyebabkan peningkatan kekeruhan air dengan menghalangi penetrasi cahaya yang masuk kedalam air sehingga dapat mengganggu kehidupan organisme air. 3. Sedimen selain mampu mengikat unsur-unsur hara, juga dapat menyerap (mengabsorpsi) logam berat. Kondisi ini dapat menyebabakan kontaminasi zat-zat tersebut kedalam jaringan tubuh biota di perairan dan manusia melalui rantai makan jaring-jaring makanan. Pada sedimen dapat terjadi reaksi-reaksi kimia, yaitu: (1) penyerapan (absorpsi) dan pelarutan ion, senyawa, gas antara air, dan sedimen, (2) perubahan nilai potensial redoks (Eh) dan pH sedimen, (3) transfer senyawa hasil reduksi dari lapisan bawah ke lapisan atas sedimen, (4) siklus karbon, nitrogen, sulfur, dan fosfor, dan (5) perubahan konsentrasi ion dalam jaringan organisme maupun di sedimen (Rhoods, 1974). Salah satu hewan air yang dapat berinteraksi langsung dengan sedimen adalah hewan bentos. Perubahan sedimen dasar dapat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan makrozoobentos (Odum, 1998). Faktor yang mempengaruh langsung terhadap komposisi dan distribusi organisme bentos di dasar perairan, yaitu: partikel-partikel sedimen seperti lempung, pasir, liat, dan substrat keras. Pada sedimen yang halus, persentase bahan organik lebih tinggi daripada sedimen yang kasar, hal ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang tenang sehingga memungkinkan pengendapan sedimen lumpur yang diikuti oleh akumulasi bahan organik dan anorganik ke dasar perairan. Sedangkan pada sedimen yang kasar kandungan bahan organiknya lebih rendah karena partikel yang halus tidak mengendap. Demikian juga dengan bahan pencemar, kandungan bahan pencemar yang tinggi biasanya terdapat pada sedimen yang halus. Hal ini merupakan akibat dari adanya gaya tarik elektro-kimia antara partikel sedimen 26 dengan partikel mineral, pengikatan oleh partikel organik dan pengikatan oleh sekresi lendir organisme. 2.7. Cara Penyerapan Logam Berat Oleh Organisme Logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh mahluk hidup melalui beberapa jalan, yaitu: (1) saluran pernapasan, absorbsi logam melalui saluran pernapasan biasanya sangat besar, baik pada hewan air yang masuk melalui insang, maupun hewan darat yang masuk melalui debu di udara ke saluran pernapasan, (2) pencernaan, absorbsi melalui saluran pencernaan hanya beberapa persen, tetapi jumlah logam yang masuk melalui saluran pencernaan biasanya cukup besar, walaupun persentase absorbsinya kecil, dan (3) penetrasi melalui kulit, logam yang masuk melalui kulit jumlah dan absorbsinya relatif kecil (Darmono, 2001). Menurut Darmono dan Arifin (1989) dalam Kusumahadi (1998), ada tiga teori mengenai mekanisme penyerapan logam dalam jaringan organisme, yaitu: 1. Penyerapan logam melalui mekanisme pengangkutan yang berhubungan dengan mekanisme osmoregulasi, yaitu pengaturan tekanan osmosis oleh organisme terhadap air di sekitarnya. 2. Pengikatan ion-ion logam menyentuh bagian tertentu dari permukaan jaringan dan masuk ke dalam sitoplasma 3. Logam dalam bentuk kristal kecil atau larutan yang segera ditangkap oleh sel epitel dan secara endositosis logam tersebut di bawa masuk dan dilepas ke dalam sitoplasma. Cara penyerapan logam berat oleh masing-masing organisme, yaitu: (1) fitoplankton, fitoplankton mengambil logam berat yang tersebar secara vertikal dengan cara absorbsi. Logam yang diabsorbsi umumnya adalah logam berat yang berada dalam bentuk anorganik, (2) zooplankton, pengambilan logam berat oleh zooplankton dilakukan sama dengan makroavertebrata yaitu melalui makanan, (3) bentos, mengambil logam berat melalui makanan dan makanan tersebut dihancurkan dalam usus, kemudian diserap oleh darah, ditransfer ke hati dan disimpan dalam ginjal, (4) ikan, umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat 27 anorganik disimpan dalam jaringan, kemudian ditransfer ke ginjal dan diekresikan, sedangkan logam organik tidak diekresikan, tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya logam berat ke dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan, dan (5) manusia, logam berat masuk ke dalam tubuh dapat melalui air secara langsung atau melalui rantai makanan, kemudian terakumulasi dalam tubuh manusia, terutama hati dan ginjal. Menurut Simkis dan Mason (1983), logam masuk ke dalam jaringan tubuh biota secara umum melalui tiga cara yaitu: 1. Endositosis dimana pengambilan partikel dari permukaan sel dengan perpindahan oleh membran plasma. Proses ini berperan dalam pengambilan logam berat dalam bentuk tidak terlarut. 2. Diserap dari air, sembilan puluh persen kandungan logam dalam jaringan berasal dari penyerapan oleh sel epitel insang. Insang diduga sebagai organ yang menyerap logam berat dari air. 3. Diserap dari makanan dan sedimen. Penyerapan logam berat dari makanan dan sedimen oleh biota bergantung pada strategi mendapat makanan. 2.8. Hewan Bentos 2.8.1. Pengertian Bentos Menururt Odum (1971), bentos merupakan organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat pada dasar perairan. Berdasarkan cara makannya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi filter feeder dan deposit feeder. Filter feeder merupakan organisme yang memakan bahan tersuspensi dengan cara menyaring (contoh kerang) sedangkan deposit feeder adalah organisme pemakan deposit (misalnya jenis siput). Sedangkan Lind (1979) dalam Nurifdinsyah (1993) memberikan definisi bahwa bentos adalah semua organisme yang hidup pada lumpur, pasir, batu, kerikil, dan sampah baik di dasar danau atau waduk, kolam, dan sungai. Berdasarkan sebaran vertikalnya, bentos yang hidup di atas permukaan dasar disebut epifauna dan yang hidup di dalam dasar perairan disebut infauna. Bentos berdasarkan ukurannya dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: (1) makrozoobentos, dengan ukuran lebih besar dari 1 mm (contoh: Oligochaeta, 28 Crustacea, Mollusca, Gastropoda, dan Palecypoda), (2) meiobentos dengan ukuran antara 0,1 mm, (3) mikrobentos dengan ukuran kurang dari 0,1 mm. Dalam ekosisitem perairan, makrozoobentos memegang beberapa peran penting seperti dalam proses dekomposisi bahan-bahan organik dan posisinya dalam rantai makanan terutama rantai makanan detritus. Menurut Perkins (1974) menyatakan bahwa berdasarkan ukurannya bentos dibagi menjadi tiga yaitu: (1) organisme yang tertahan pada saringan berukuran 2,0 – 0,5 mm termasuk ke dalam makrobentos atau oleh saringan dengan ukuran nomor 30 US Standard, (2) organisme yang lolos pada saringan berukuran 1,0 – 0,5 mm tetapi tertahan pada saringan berukuran 0,04 – 1,0 mm termasuk ke dalam meiobentos, dan (3) organisme yang lolos pada saringan 0,04 mm termasuk mikrobentos. Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif tetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan-perubahan kualitas air dan substrat tempat hidupnya sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi dan kelimpahannya bergantung pada toleransi atau sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan (makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif), sehingga jenis tersebut dapat dijadikan indikator pencemaran suatu perairan. Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik. Berdasarkan kepekaannya terhadap pencemar, spesies makrozoobentos dibagi 3 kelompok, yaitu: (1) intoleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik. Organisme tersebut tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas, (2) fakultatif, yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi lingkungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran, dan (3) toleran, yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas (organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek). 29 Menurut Hawkes (1979) dalam Astuti dan Trihadiningrum (2000), makroinvertebrata dapat berlaku sebagai monitor kontinyu air, tidak seperti halnya kualitas fisik dan kimia air yang hanya berlaku sesaat. Bahkan respon dari komunitas bentos lebih luas dari polutan air. Mempertimbangkan beberapa penemuan metode pendugaan biologis yang berdasarkan pada hewan makroinvertebrata dan fakta bahwa makroinvertebrata telah dipergunakan secara luas sebagai bagian dari integral untuk monitoring kualitas air. 2.8.2. Struktur Komunitas Makrozoobentos Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang hidup di daerah tertentu atau habitat fisik tertentu dan merupakan satu satuan yang terorganisir dan mempunyai hubungan timbal balik. Konsep komunitas tersebut dapat digunakan dalam menganalisis lingkungan perairan karena komposisi dan karakter organisme di dalam suatu komunitas merupakan indikator yang cukup baik untuk melihat keadaan lingkungan dimana komunitas tersebut berada (Odum, 1971). Basmi (2000) menyatakan bahwa analisis struktur komunitas biota sebagai indikator biologis tingkat pencemaran perairan dapat bersifat kuantitatif (berupa indeks) melalui kalkulasi terhadap komponen-komponen tertentu dari struktur komunitas yang diamati dan secara kualitatif dengan mengamati komposisi jenisjenis tertentu yang dominan di dalam suatu komunitas. Krebs (1989) menambahkan bahwa untuk kondisi suatu struktur komunitas terdapat lima karakteristik komunitas yang dapat diukur yaitu: (1) keanekaragaman, (2) dominansi, (3) bentuk dan struktur pertumbuhan, (4) kelimpahan, dan (5) struktur trofik. Keanekaragaman dapat digunakan untuk melihat pengaruh pencemaran perairan terhadap komunitas perairan (biologi), dalam hal ini keanekaragaman digunakan untuk mengevaluasi akibat yang terjadi pada komunitas bentos dihubungkan dengan kondisi lingkungan. Selain itu keanekaragaman dapat juga digunakan sebagai indikator kualitas perairan, dalam hal ini digunakan untuk menentukan apakah perubahan yang terjadi pada komunitas merupakan hasil dari adanya bahan pencemar (Dennis dan Patil, 1977). Untuk menghitung keanekaragaman jenis makrozoobentos digunakan metode Shannon-Wiener. 30 Keanekaragaman dari Shannon-Wiener merupakan indeks yang paling umum digunakan bagi manajemen lingkungan dan berfungsi sebagai alat bantu dalam menggambarkan struktur komunitas dan mendeteksi besarnya degradasi pada ekosistem. Indeks keanekaragaman menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu: kelimpahan, jumlah taksa, dan kemerataan distribusi organisme diantara spesies (Krebs, 1989). Parameter kualitas air mendukung kehidupan bentos antara lain: bahan organik dan detritus sedangkan faktor penghambat adalah bahan-bahan beracun. Oleh karena itu, hanya jenis-jenis bentos tertentu dan derajat keanekaragaman dapat dipergunakan sebagai indikator tingkat pencemaran perairan dimana organisme itu hidup. Bentos merupakan hewan air yang dapat dijadikan indikator untuk menentukan kualitas perairan berdasarkan ketahanannya terhadap pencemaran air dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Klassifikasi hewan bentos berdasarkan ketahanannya terhadap pencemaran air (Wilhm, 1975) Kelompok Jenis Hewan Bentos Jenis organisme sangat tahan Cacing tubifecid, Lintah, Larva terhadap pencemaran nyamuk, Siput (musculum dan fisidium) Jenis yang ketahanannya Jenis-jenis siput, Serangga dan sedang dan lebih Crustacea menyenangi air yang jernih Jenis yang tidak tahan Siput dari famili viviparidae, terhadap bahan pencemar amnicolidae serangga, nimfa dari dan hanya menyenangi air ordo Ephemercidae, odonata, bersih hemiptera, neuroptera dan Colenterata Selanjutnya Wilhm (1975) memberikan kriteria kualitas air berdasarkan penduga keanekaragaman Shannon-Wiener dari hewan bentos makro dapat dilihat pada Tabel 5. Organisme yang toleran terhadap zat pencemar pada akhirnya dapat tumbuh dan berkembang karena tidak terdapat kompetisi baik dalam ruang maupun dalam memperoleh nutrien. Sebagai akibatnya kelimpahan organisme tersebut akan meningkat. Kelimpahan makrozoobentos di suatu perairan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan baik fisik, kimia maupun faktor 31 biologi. Faktor-faktor tersebut adalah: suhu, pH, kekeruhan, kecerahan, gas-gas terlarut dan interaksi dengan organisme lain. Sedangkan organisme yang tidak toleran terhadap zat pencemar kemanpuan kompetisinya menurun dan akhirnya akan punah, sehingga pada daerah tersebut akan di dominasi oleh organisme yang toleran terhadap polutan (Dennis dan Patil, 1977). Keanekaragaman organisme yang rendah mengindikasikan bahwa pada daerah tersebut telah terjadi tekanan lingkungan akibat polusi. Pada saat terjadi tekanan lingkungan, hanya beberapa spesies yang dapat mentelorir dan keanekaragaman menjadi rendah. Tabel 5. Beberapa kriteria kualitas air berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dari hewan bentos makro Indeks Keanekaragaman Jenis < 3 1 - 3 < 1 3,0 - 4,5 2,0 - 3,0 1,0 - 2,0 < 1,0 > 2,0 2,0 - 1,6 1,5 - 1,0 > 1,0 Kualitas Air Air bersih Setengah tercemar Tercemar Berat Pencemaran sangat ringan Pencemaran ringan Setengah tercemar Tercemar berat Pencemaran sangat ringan Pencemaran ringan Pencemaran sedang Tercemar berat Dari Tabel diatas dapat diambil kesimpulan bahwa apabila Indeks keanekaragaman jenis lebih besar dari tiga, berarti kualitas perairan di tempat tersebut baik dan sebaliknya apabila indeks keanekaragaman jenis lebih kecil dari satu maka kualitas perairan telah tercemar berat.