ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA NASKAH LENGKAP Denpasar, 30 Januari 2016 1 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA KATA PENGANTAR Om Swastyastu, Teman sejawat Yth. Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa oleh karena Rahmat-Nyalah Naskah Lengkap ini dapat terselesaikan. Semoga buku ini dapat bermanfaat membantu para teman sejawat sebagai petunjuk dari program acara yang akan disajikan dalam “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of Asthma” dan dapat dijadikan sebagai bahan diskusi atau tukar pikiran bagi para peserta. Juga semoga naskah Lengkap yang ada dalam buku ini dapat menambah pengetahuan dan masukan kepada para teman sejawat sehingga dapat meningkatkan SDM masingmasing peserta. Panitia sangat menyadari banyak sekali kekurangannya maka dengan rendah hati panitia menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan buku ini dan dalam penyelenggaraan “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of Asthma” kurang berkenan di hati Teman Sejawat, karena hal tersebut benar-benar di luar kesengajaan dan di luar jangkauan kemampuan kami. Sebagai akhir kata, kami ucapkan selamat atas partisipasi dan kehadirannya pada “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of Asthma” ini dan untuk itu kami ucapkan terima kasih. Denpasar, Januari 2016 Prof. Dr. dr. I D Bagus Ngurah Rai, SpP(K) Ketua Panitia 2 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA DAFTAR ISI Overview Asma: Masalah Asma Global ............................................... 4 Patogenesis Asma ............................................................................. 13 Patofisiologi Asma.............................................................................. 23 Diagnosis Asma ................................................................................. 25 Penanganan Asma Akut Layanan Primer ...................................................................... 36 Instalasi Gawat darurat .......................................................... 50 Hospital Management of Asthma Tatalaksana Asma diruang Rawat Inap .................................... 64 Intensive Care Setting ............................................................ 76 Tataksana Asma Jangka Panjang ........................................................ 93 Dificult Asma ..................................................................................... 104 Asma Pada Usia Lanjut ...................................................................... 119 Asma Dalam Kehamilan ..................................................................... 127 Asma Kerja ........................................................................................ 147 Exercise Induced Asthma (EIA) ........................................................... 153 Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) .......................................... 160 Terapi Invasiv Asma (Bronkial Termoplasti Pada Asma) ..................... 174 Denpasar, 30 Januari 2016 3 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Overview Asma: Masalah Asma Global Ida Bagus Ngurah Rai Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Asma adalah salah satu penyakit saluran nafas kronik utama, yang mengenai 1-18% penduduk di suluruh dunia. Asma ditandai oleh keluhan respirasi, seperti mengi, sesak, rasa berat di dada, dan/atau batuk serta hambatan aliran udara ekspirasi yang variabel. Variabel disini dimaksudkan bahwa semua gejala dan bukti hambatan aliran udara ekspirasi tersebut terjadi fluktuatif dalam hal waktu dan intensitasnya. Variasi tersebut terjadi akibat rangsangan berbagai faktor pencetus seperti aktivitas fisik, allergen, iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus.1 Asma merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Asma dapat mengenai semua orang dari berbagai kelompok umur di semua wilayah di seluruh dunia. Prevalensi asma terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama pada anak-anak.1 Peningkatan kejadian asma biasanya didapatkan pada masyarakat yang mengadopsi gaya hidup barat (western lifestyle) serta pada daerah urban. Peningkatan proporsi kaum urban yang diproyeksikan pada tahun 2025 menjadi 59% juga diprediksi meningkatkan prevalensi asma dalam satu decade ke depan. Pada tahun 2025 diperkirakan terjadi penambahan prevalensi asma 100 juta kasus lagi.2 4 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Masalah utama pada asma adalah beban medis dan sosioekonomi yang dialami. Secara medis, pasien asma akan mengalami penurunan kualitas hidup yang gradual. Bila tidak dilakukan manajemen yang tepat, penyakit asmanya akan menjadi tidak terkontrol dengan segala konsekuensi perburukan anatomi dan fisiologis saluran nafas. Selain itu, masalah efek samping obat juga muncul pada kasus yang tidak ditangani sesuai pedoman terapi yang ada. Selain konsekuensi medis, masalah sosioekonomi juga muncul akibat asma. Pasien asma akan mengalami penurunan produktivitas kerja serta prestasi belajar pada pasien usia sekolah. Selain itu, beban ekonomi dalam penanganan asma juga sangat tinggi.2 Masalah global asma memaang masih tetap menjadi perhatian berbagai organisasi kesehatan di dunia. Berbagai upaya disusun untuk menurunkan beban asma tersebut. Berikut ini akan disampaikan berbagai masalah epidemiologi, sosio-ekonomi yang diakibatkan oleh asma untuk membuka wawasan dan memberikan gambaran besarnya masalah dan lingkup asma. Epidemiologi Asma Asma merupakan penyakit kronis paling umum di dunia. Sekitar 300 juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan 250.000 kematian setiap tahunnya. Angka ini tersebar di berbagai belahan dunia. Semua Negara di dunia tidak dapat terbebas dari asma. Variasi angka prevalensi antar bangsa di seluruh dunia diakibatkan kualitas fasilitas Denpasar, 30 Januari 2016 5 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kesehatannya, teknik surveilans yang digunakan, diagnosis dokter, serta jaringan informasi masalah kesehatan yang dimiliki. The World Health Survey mengungkapkan terjadinya variasi angka prevalensi asma antar berbagai Negara di dunia. Selain itu, terdapat variasi kejadian asmaantara asma berdasarkan diagnosis dokter dan berdasarkan profil gejala yang dikeluhkan, termasuk mengi dalam 12 bulan terakhir. Angka kejadian asma pada orang dewasa berdasarkan catatan diagnosis dokter adalah 4,3 % (95 % CI: 4,2-4,4). Paling rendah di Cina (0,2%) dan tertinggi di Australia (21%). Sedangkan angka prevalensi asma berdasarkan keluhan klinis yang dilaporkan pasien adalah 4,5 % (95 % CI: 4,4-4,6), didaptkan juga dengan variasi antar Negara yang cukup lebar. Angka prevalensi terendah di Vietnam sebesar 1%, tertinggi di Australia 21,5%. 1.0 % in Vietnam to 21.5 % in Australia. Perbedaan angka prevalensi tersebut kemungkinan diakibatkan oleh variasi tingkat pengetahuan dan pengalaman klinisi dalam mendiagnosis asma yang tepat sesuai panduan dan konsensus standar yang diacu di seluruh dunia.3 Prevalensi asma secara klinis juga digunakan GINA untuk menentukan standar penghitungan angka kejadian asma. Cara ini dipakai untuk mempersempit variasi akibat tidak adanya tes tunggal universal untuk diagnosis asma, perbedaan klasifikasi asma, dan perbedaan interpretasi keluhan dan gejala asma antar Negara-negara di dunia. Kriteria klinis asma yang dipakai gold standard adalah temuan hiperresponsivitas bronchus dan mengi. Gambar 1 menunjukkan peta prevalensi asma secara klinis di seluruh dunia. Seperti yang dapat dilihat, banyak area di dunia 6 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang belum memiliki data terstandar, sehingga angka prevalensi asma yang sebenarnya mungkin lebih tinggi. Gambar 1. Peta Dunia Prevalensi Klinis Asma2 Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular. Apabila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 yang berjumlah lebih dari 248 juta jiwa, maka jumlah pasien asma di Indonsia lebih dari 11 juta jiwa.5 Angka tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak untuk ditangani oleh dokter, khususnya spesialis terkait yang kebanyakan terdistribusi di kota-kota besar. Denpasar, 30 Januari 2016 7 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Selain angka prevalensi, angka kematian akibat asma juga menjadi masalah tersendiri. Mencari angka kematian akibat asma memang sangat menantang. Pada beberapa kasus, kematian yang terjadi pada pasien asma bukan akibat langsung asma, sehingga menimbulkan kelompok positif palsu. Sebaliknya pada kelompok negative palsu, kematian yang jelas akibat asma, disebutkan oleh penyebab lain. GINA dan WHO menstandarisasi angka kematian asma berdasakrkan populasi kelompok umur 5-35 tahun. Case fatality rates dipakai untuk menggambarkan jumlah kematian akibat asma setiap 100.000 pasien asma (Gambar 2). Gambar 2. Peta Dunia berdasarkan Case Fatality Rate Asma2 8 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Beban asma secara epidemiologi dapat dilihat dari beberapa perhitungan. Teknik penghitungan data yang paling sering dipakai adalah Disability-adjusted life year (DALY). Satu DALY asma artinya hilangnya satu tahun kehidupan akibat asma. Data WHO tahun 2001 menyebutkan peringkat asma pada ranking 25 DALY berbagai penyakit di dunia, dengan angka DALY 15,0.1,4 Beban ekonomi asma juga relatif sulit ditentukan secara global. Berbagai estimasi dibuat di beberapa Negara dalam mencoba menghitung berapa biaya yang diakibatkan oleh asma dari berbagai sektor kehidupan. Beban langsung akibat penyakit asma dapat dilihat dari biaya pengobatan dan perawatan pasien asma. Sedangkan biaya tidak langsung dihitung berdasarkan efek negative asma pada produktivitas pasien. Pada beberapa penelitian,beban indirek asma bahkan lebih tinggi dari beban langsung asma akibat pengobatannya. Beban ekonomi ini bervariasi antara negara dengan pendapatan tinggi dan rendah.6,7 Penelitian di Amerika tahun 2009 mendapatkan estimasi biaya total untuk asma di populasi sebesar 56 milyar Dollar Amerika per tahun, atau 3.259 Dolar Amerika per pasien per tahun. Penelitian lain di Eropa tahun 2011 mendapatkan angka rerata biaya langsung untuk asma 19,5 milyar EURO, sedangkan biaya tidak langsung mencapai 14,4 milyar EURO.6 Untuk Negara Asia, angka estimasi di Hongkong mencapai 1.189 Dolar Amerika per pasien per tahun untuk total biaya langsung dan tidak langsung dari Asma. Sedangkan di Vietnam 184 Dolar Amerika per pasien per tahun.4 Denpasar, 30 Januari 2016 9 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Besarnya beban ekonomi asma ini sebenarnya dapat ditekan menjadi jauh lebih rendah. Hal ini dicapai dengan semaksimal mungkin menangani pasien asma untuk mencapai asma terkontrol. Mencapai asma terkontrol memang masih menjadi permasalahan yang rumit. Dalam komponen manajemen asma, berbagai faktor mempengaruhi outcome. Tingkat kepatuhan berobat, ketersediaan obat kontroler pada layanan kesehatan dan jaminan kesehatan nasional, harga obat yang mahal, pemerataan distribusi obat, serta tingkat pengetahuan dokter dalam menangani asma, sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan asma mencapai status terkontrol.2,4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asma Berbagai faktor telkah diketahui mempengaruhi asma, tetapi tidak ada satupun yang merupakan faktor spesifik untuk asma. Selama ini berbagai faktor yang mempengaruhi asma dikategorikan menjadi 2 kelompok besar, yaitu faktor genetik dan non-genetik. Para ahli akhirnya berkesimpulan, bahwa kedua faktor tersebut bersama-sama membentuk wajah asma. Faktor genetik sering dikaitkan dengan terjadinya asma dalam keluarga. Banyak bukti menampilkan kejadian asma yang meningkat pada populasi anak kembar serta pada riwayat orang tua asma.8 Kerentanan genetic yang akhirnya diasumsikan mempengaruhi terjadinya asma pada seorang pasien, terutama anak-anak. Genetik juga dihubungkan dengan 10 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA peranan alergi pada asma. Riwayat alergi pada keluarga menjadi standar pertanyaan dalam memeriksa pasien asma.4 Kerentanan genetic asma saja sebenarnya belum cukup untuk menimbulkan asma. Masih ada peranan faktor lingkungan, dalam hal ini partikel dan kualitas udara, yang mempengaruhi timbulnya asma. Faktor lingkungan atau sering juga disebut faktor non-genetik sering dikaitkan dengan pencetus serangan asma, akibat kemampuannya menimbulkan gejala asma baik secara langsung maupun setelah proses sensitisasi.1 Beberapa faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan asma antara lain debu, asap, jamur dan kelembaban tempat tinggal, serbuk sari tanaman, partikel dari hewan ternak atau hewan peliharaan, asap rokok, perubahan cuaca, serta berbagai bahan berbahaya dari pajanan di tempat kerja.4 Selain faktor lingkungan tersebut, beberapa faktor lain seperti infeksi virus pernafasan, pemakaianobat golongan aspirin atau beberapa antibiotika lain, aktivitas fisik, makanan tertentu, serta emosi juga dapat mempengaruhi asma. Ringkasan Asma merupakan salah satu penyakit non-infeksi utama di dunia dengan prevalensi yang tinggi. Asma dapat diderita oleh semua populasi di dunia. Angka kematian akibat asma juga masih cukup tinggi. Asma juga membawa masalah psiko-sosio-ekonomik yang cukup serius. Beban ekonomi asma sangat tinggi, terutama akibat tidak terkontrolnya penyakit Denpasar, 30 Januari 2016 11 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA ini. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi asma harus mendapat perhatian oleh para klinisi, pasien, dan pemerintah. Daftar Pustaka 1. Global Initiative fo Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention updated 2015. 2015 2. Masoli M, Fabian D, Holt S, et al. Global Burden of Asthma. GINA.2014 3. Croisant S. Epidemiology of Asthma: Prevalence and Burden of Disease. In: Brasier AR(ed.) Heterogeneity in Asthma, Advances in Experimental Medicine and Biology. 14th ed. Springer Science and Business Media. New York;2014:pp.17-29 4. Global Asthma Network. The Global Asthma Report 2014. 2014 5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS) 2013. 6. Gibson GJ, Loddenkemper R, Sibille Y, et al. for European Respiratory Society. Lung Health in Europe: Facts and Figures. 2013 7. Bahadori K, Dayle-Waters MM, Marra C, et al. Economic burden of asthma: a systematic review. BMC Pulm Med 2009;9:24-30 8. Rees J. Prevalence. In: Rees J, Kanabar D, Pattani S (eds). ABC of Athma 6th ed. Blackwell Publishing. London;2010:pp.6-9. 12 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA PATOGENESIS ASMA Ketut Suryana Divisi Alergi-Imunologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud - RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Asma merupakan penyakit dengan manifestasi klinis yang bervariasi (heterogenous), namun mempunyai karakteristik suatu inflamasi kronik dari saluran nafas (Chronic Airway Inflammation). Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada asma, antara lain : riwayat adanya keluhan pada sistim pernafasan, seperti : mengi, sesak nafas, dada berat / tidak nyaman dan batuk dengan intensitas yang bervariasi sepanjang waktu serta adanya keterbatasan saat mengeluarkan udara pernafasan (expiratory airflow limitation) 1,2. Prevalensi asma dilaporkan terus meningkat dengan estimasi saat ini di dunia sekitar 300 juta. Fakta ini merupakan masalah kesehatan global yang serius terutama di Negara sedang berkembang berkaitan dengan beban biaya pengobatan dan beban psikososial karena menurunnya kemampuan dan produktivitas kerja misalnya, baik secara individu maupun masyarakat 1. Denpasar, 30 Januari 2016 13 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Inflamasi kronik saluran nafas pada asma melibatkan berbagai sel imunokompeten dan elemennya. Berbagai interleukin dan vascular endotheleal growth factor merupakan sitokin penting pada hiperreaktivitas bronkus. Pemahaman tentang patogenesis asma dengan baik dan benar diharapkan dapat menjadi dasar kajian berkaitan strategi pengelolaan asma 3,4. Key Words : asma, patogenesis, terapi biologi. Inflamasi pada Saluran Nafas Inflamasi saluran nafas mempunyai peranan utama pada patogenesis asma, dengan melibatkan berbagai sel imunokompeten dan mediator yang akan menyebabkan timbulnya gejala asma1,4. Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th-2 di saluran nafas, selanjutnya akan dilepaskan mediator inflamasi seperti : histamine, leukotrien dan sitokin seperti : IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang yang akan menyebabkan defrensiasi eosinofil. Eosinofil sirkulasi masuk ke inflammatory site dan mengalami migrasi ke paru dengan rolling / menggulir di endotel vaskuler tempat inflamasi, mengalami aktivasi, adhesi, ektravasasi dan kemotaksis. Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui 14 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA perlekatannya dengan integrin di vascular-cell adhesion molecule (VICAM1) dan intercellular adhesion molecule (ICAM-1) 5. Gambar 1. Mekasnisme Inflamasi 5 . Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T, masuk ke saluran nafas dengan pengaruh kemokin dan sitokin seperti RANTES, eotaksin, monocyte chemotactic protein (MCP-1) dan macrophage inflammatory protein (MIP1α) yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk mencederai saluran nafas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi saluran nafas yang persisten (Gambar-1) 5. Denpasar, 30 Januari 2016 15 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Inflamasi dan Hiperresponsifnes Saluran Nafas Sensitisasi alergen, virus, polutan udara mengakibatkan terjadinya inflamasi kronik dengan peran utama dari eosinofil. Sensitisasi allergen Virus Polutan udara Inflamasi kronik Hiperresponsiveness Bronkitis eosinofilic saluran nafas Trigger Alergen Exercise Gejala Udara dingin Batuk Mengi Dada Berat SO2 Sesak Particulates Gambar 2. Inflamasi dan hiperresponsifnes saluran nafas 6 . 16 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Inflamasi kronik saluran nafas selanjutnya berkembang menjadi keadaan bronchial hyperresponsiveness. Adanya triger seperti : alergen, exercise, udara dingin, SO2, particulates dapat mencetuskan serangan asma dengan gejala dapat berupa batuk, dada berat, sesak nafas, mengi (Gambar 2) 6. Patogenesis Asma Antigen ditangkap (up take) oleh sel dendrit, selanjutnya dipecah menjadi peptide yang lebih kecil dan membentuk kompleks dengan molekul MHC-klas II menjadi Peptide-MHC klas II complex. Complex ini melalui T cell receptor memberi signal kepada naive T-lymphocyte (Th-0), selanjutnya akan disekresikan IL-12 yang akan menstimulasi Th-1 untuk mensekresi IFN-γ, lymphotoxin, IL-2 dan disisi lain IL-12 menginhibisi Th-2 response 6. Sedangkan stimulasi pada Th-2 lymphocyte akan menghasilkan berbagai Denpasar, 30 Januari 2016 17 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Gambar 3. Patogenesis Asma (Morris, J, 2015) 2 sitokin seperti : IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, GM-CSF. Sitokin tersebut mempengaruhi sel-sel imunokompeten seperti limfosit B, eosinofil, basofil. Mediator inflamasi yang dihasilkan mengakibatkan terjadinya perubahan anatomis (anatomical changes) sehingga timbul manifestasi klinis asma (Gambar 3) 2,6-8. 18 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Mediator dan Manifestasi Klinis Asma Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap manifestasi klinis asma 9. Mediator Tanda dan Gejala Asma Histamin Bronkokonstriksi, eksudasi protein plasma, sekresi mucus Leukotriens Bronkonstriksi, eksudasi protein plasma, sekresi mucus Kinins Bronkonstriksi, batuk Prostaglandins Bronkosntriksi (prostaglandin E2α, prostaglandin D2), Anti bronkokonstriktor (prostaglandin E2), batuk (prostaglandin F2ɑ) Mediator dan Terapi Biologi / Biological Therapeutics pada Asma Degranulasi sel Mast melepaskan berbagai mediator seperti leukotriens dan Platlet Activating Factor (PAF). Mediator tersebut yang dominan berperan pada bronkokonstriksi akut. Terapi yang ditujukan untuk menghambat aktivitas Denpasar, 30 Januari 2016 19 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Gambar 4. Mediator dan Target Terapi pada Asma 5. sel Mast (kromolin) dan relaksasi otot polos bronkus / bronkodilator seperti epinefrin, teofilin. Obat-obat tersebut juga mempunyai efek menghambat aktivitas sel Mast. Sel Mast juga melepaskan sitokin proinflamasi, yang terutama berperan pada inflamasi saluran nafas reaksi fase lambat. Kortikosteroid iberikan untuk menghambat sintesis sitokin (Gambar 4) 5. Terapi biologi pada berbagai penyakit belakangan mulai berkembang termasuk pada strategi terapui asma. Pada terapi biologi yang menjadi target sasran terapi adalah antibodi, soluble receptor 3-5 20 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Rangkuman Inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel imunokompeten dan elemennya merupakan dasar patogenesis asma . Berbagai interleukin dan vascular endotheleal growth factor merupakan sitokin penting pada hiperreaktivitas bronkus. Pemahaman tentang patogenesis asma dengan lebih baik dan benar diharapkan dapat menjadi dasar kajian berkaitan strategi pengelolaan asma. Demikian juga termasuk pengembangan terapi biologi dengan demikian inflamasi kronik pada asma dapat dikontrol . Daftar Pustaka 1. Global Initiative for Asthma. 2015. Pocket Guide for Health Professionals, Updated 2015. 2. Morris, MJ. Asthma. Updated Dec 31, 2015. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview. Downloaded on: 17 Januari 2016. 3. Cook ML, Bochner BS. Update on Biological Therapeutic for Asthma. WAO Journal. 2010 ; 3 : 188-194. 4. Biswas A, Papierniak E, Sriram PS. Role of Biologics in Management of Asthma. Austin J of Pulm & Respir Med. 2015 ; vol. 2(2), 01-09. 5. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotran Pathologis Basis of Disease. 8th Edition. China. Saunders Elseiver.p:43-78. 6. Barnes PJ. Pathophysiology of asthma. Eur Respir Mon, 2003, 23, 84–113 7. Murdoch JR, Lloyd CM. Chronic inflammation and asthma. Mutation Research 690 (2010) 24–39 Denpasar, 30 Januari 2016 21 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 8. Bradding P. Asthma: Eosinophil Disease, Mast Cell Disease, or Both? Allergy, Asthma, and Clinical Immunology, Vol 4, No 2 (Summer), 2008: pp 84–90 9. Alenzi FQ. Alanazi2 FGB. Al-Faim AD, Al-Rabea MW. Tamimi5 W, Tarakji B, et al. The role of eosinophils in asthma. Health 5 (2013) 339-343. 10. Ishmael FT. TResponse in the Pathogenesis of Asthma. JAOA 2011; (Suppl 7); Vol 111(11): S11-S17. 22 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA PATOFISIOLOGI ASMA Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas dengan gejala mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat, batuk saat malam atau dini hari. Serangan biasanya berkaitan dengan obstruksi luas saluran napas di dalam paru, namun bervariasi. Obstruksi ini seringkali bersifat reversibel, baik secara spontan atau dengan terapi. Namun demikian, obstruksi saluran napas dapat menjadi gagal napas akibat peningkatan kerja pernapasan, inefisiensi pertukaran gas, dan kelelahan otot pernapasan. Obstruksi saluran napas yang bersifat rekuren disebabkan oleh bronkokonstriksi, edema saluran napas, hiperresponsivitas saluran napas, dan remodeling saluran napas, berupa: inflamasi, hipersekresi mukus, fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos saluran napas, dan angiogenesis. Inflamasi memegang peran sentral dalam patofisiologi asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi berbagai tipe sel dan mediator. Gambaran imunohistopatologis asma meliputi infiltrasi sel inflamasi neutrofil (khususnya pada onset mendadak, eksaserbasi berat, asma Denpasar, 30 Januari 2016 23 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA okupasional, dan perokok), eosinofil, limfosit, aktivasi sel mast, cedera sel epitel. Karakteristik patologi asma mengakibatkan peningkatan resistensi saluran napas dan hiperinflasi paru dinamis. Hal ini akan mengakibatkan konsekuensi sebagai berikut. 1) Peningkatan work of breathing. Hal ini terjadi akibat peningkatan resistensi saluran napas dan penurunan pulmonary compliance karena volume paru yang besar. 2) Ventilation– perfusion mismatch. Hal ini mendasari kondisi hipoksemia dan hiperkapnia pada penyakit paru. Penyempitan dan penutupan saluran napas akan mengganggu pertukaran gas. 3) Interaksi kardiopulmoner. Fungsi jantung dipengaruhi oleh perubahan volume paru dan tekanan intrapleura. 24 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Diagnosis Asma IGN Bagus Artana Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Asma merupakan penyakit saluran nafas kronik yang sering terjadi dan menimpa semua lapisan masyarakat. Asma menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di dunia. Kejadian asma berkisar antara 118% dari jumlah populasi pada berbagai negara. Asma terjadi pada berbagai belahan dunia, baik negara maju atau negara berkembang. Hingga saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network mendapatkan sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat.1,2 Selain tingginya prevalensi, asma juga memiliki dampak sosioekonomi yang besar pula. Pasien asma, terlebih yang tidak terkontrol, akan mengalami penurunan produktifitas yang signifikan. Mereka akan sering tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma yang dideritanya. Selain itu, biaya yang dikeluarkan untuk penanganan asma juga sangat tinggi. Global Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan sekitar 1-2 persen dari seluruh Denpasar, 30 Januari 2016 25 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA pembiayaan kesehatan suatu Negara dialokasikan untuk penanganan asma.1 Berbagai organisasi kesehatan bidang respirasi di dunia telah mengeluarkan konsensus atau panduan untuk mendiagnosis asma. Sebagian besar konsensus tersebut bisa didapatlkan dengan mudah dan gratis. Walaupun demikian, kejadian misdiagnosis atau underdiagnosis asma masih tinggi, terutama pada populasi anak dan orang tua. Karadag, dkk.3 melakukan penelitian pada 1134 pasien asma usia 1-17 tahun di Turki. Hanya 45,5% yang langsung didiagnosis asma berdasarkan riwayat serangan asma senmentara sisanya tidak langsung didiagnosis dan ditangani sebagai asma. Penelitian Nish dan Schwietz4 pada tentara Angkatan Udara Amerika di Texas juga mendapatkan hasil serupa. Pada 192 tentara AU yang baru masuk dilakukan pemeriksaan untuk asma sesuai dengan consensus nasional. Didapatkkan 30% yang menderita asma, dari sebelumnya dengan hasil tes kesehatan normal. Pada populasi orang tua juga didapatkan masalah yang sama. Banerjee, dkk5 juga mendapatkan hal serupa. Delapan puluh dua pasien dari 199 lansia dengan diagnosis PPOK memiliki tes reversibilitas yang positif. Hal ini artinya, hampir setengah pasien PPOK pada penelitian ini merupakan pasien asma. Parameswaran, dkk.6 dari penelitian komunitas juga menyimpulkan bahwa asma pada lanjut usia masih tidak diidentifikasi dengan baik, sehingga penatalaksanaannya masih kurang optimal. Diagnosis asma memang menjadi tantangan tersendiri dalam manajemen pasien asma yang baik. Kesalahan diagnosis dan under26 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA diagnosis masih sering dijumpai pada praktek klinis sehari-hari dari berbagai kelompok umur pasien. Berikut ini kami sampaikan panduan mendiagnosis pasien dengan asma. Diagnosis Asma Asma secara umum dikenal memiliki karakteristik gejala dan hambatan aliran udara yang variabel dan episodik. Hal inilah yang menjadi dasar dalam mendiagnosis asma. Diagnosis asma didapatkan dengan mengidentifikasi kedua kondisi karakteristik tersebut. Gejala respirasi yang sering dihubungkan dengan asma adalah mengi, sesak nafas, dada terasa berat, atau batuk. Gejala-gejala tersebut memiliki karakteristik tersendiri untuk mendukung diagnosis asma. Semakin banyak gejala yang ditemukan pada pasien akan makin menguatkan dugaan kearah asma, terutama pada kasus dewasa. Sementara itu, kronologis gejala yang biasanya memburuk saat malam hari atau dini hari serta bervariasi intensitasnya juga mendekatkan kita pada diagnosis asma. Karakteristik lain adalah pencetus keluhan dan gejala tersebut yang sangat beragam mulai dari infeksi virus (flu), olah raga, pajanan alergen, perubahan cuaca, gas iritan, atau bahkan tertawa yang terlalu keras.(Gambar 1)1 Variabel kedua yang harus dibuktikan selain gejala yang episodik di atas adalah hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke waktu serta tingkat keparahannya. Hal ini memerlukan pemeriksaan fungsi paru yang dilakukan pada pasien saat sedang eksaserbasi dan dalam konsisi asma yang stabil. Pemeriksaan tes fungsi paru memerlukan alat spirometri Denpasar, 30 Januari 2016 27 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang khusus dan dilakukan oleh petugas terlatih. Hal inilah yang sering menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis asma, khususnya di fasilitas kesehatan primer. Pada konsensus GINA, pemeriksaan tes fungsi paru dapat dilakukan dengan pemeriksaan peakflow-meter yang lebih sederhana dan mudah untuk dilakukan oleh petugas kesehatan di perifer.1,7 Gambar 1. Bagan Diagnosis Asma1 28 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Konfirmasi untuk hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dapat dilakukan dengan berbagai cara pemeriksaan. Pada prinsipnya, semakin lebar variasi fungsi paru yang didapatkan, makin meyakinkan diagnosis yang didapatkan. Berikut ini beberapa tes yang direkomendasikan oleh GINA tahun 2015 serta hasil positif dari pasien dewasa:1 Bronchodilator (BD) reversibility test positif : Peningkatan FEV1 >12% dan >200 mL dari baseline, 10–15 menit setelah inhalasi albuterol 200–400 mcg atau obat ekuivalennya Variabilitas hasil PEF dua kali sehari yang eksesif selama 2 minggu : Variabilitas PEF diurnal rata-rata >10% Peningkatan fungsi paru signifikan setelah pengobatan dengan antiinflamasi selama 4 minggu : Peningkatan FEV1 >12% dan >200mL (atau PEF >20%) dari baseline setelah terapi 4 minggu, tanpa infeksi saluran nafas Exercise challenge test positif : Penurunan FEV1 >10% dan 200mL dari baseline Bronchial challenge test positif : Penurunan FEV1 ≥20% dari baseline dengan dosis methacholin atau histamine standar atau penurunan ≥15% dengan rangsangan hiperventilasi terstandar, salin hipertonis, atau manitol Denpasar, 30 Januari 2016 29 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Variasi fungsi paru yang eksesif antara kunjungan ke dokter : Variasi FEV1 >12% dan >200mL antara kunjungan, tanpa adanya infeksi saluran nafas Beberapa tes lain dapat dilakukan sesuai indikasinya. Tes provokasi bronchus dilakukan pada kasus-kasus tidak ditemukannya hambatan aliran udara yang sesuai dengan kriteria saat tes awal. Pada kondisi ini diperlukan rangsangan untuk mencetuskan hambatan aliran udara yang dimaksudkan. Beberapa bahan yang biasa dipakai untuk tes provokasi ini antara lain methacholine, histamine, latihan fisik, atau manitol. Pada kasus asma alergi dapat juga dilakukan tes alergi. Tes alergi yang sering dilakukan adalah skin prick test atau IgE spesifik.1 Fractional Exhaled Nitric Oxide (FENO) merupakan salah satu modalitas tes diagnosis asma terbaru yang cukup menjanjikan. Penggunaan FENO ini dihubungjkan dengan pengukuran eosinophil pada sputum. Hasil yang meningkat dari kedua tes ini akan lebih mengarahkan diagnosis pada asma. Penelitian oleh Smith, dkk. menunjukkan superioritas FENO untuk diagnosis asma dibandingkan hambatan aliran udara variable yang merupakan pemeriksaan konvensional untuk asma. Pada pasien dengan gejala kl;inis tidak spesifik atau meragukan, FENO lebih dari 50 ppb (part per billion) lebih mengarah pada asma, dan memberikan respons yang baik pada terapi dengan inhalasi kortikosteroid.1,8 30 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Asesmen Asma Setelah diagnosis asma ditegakkan, pada setiap pasien asma harus dilakukan beberapa asesmen tambahan. Asesmen dilakukan dalam hal status kontrol asma (symptom control dan risiko outcome yang buruk di masa yang akan datang), masalah terapi, serta asesmen komorbiditas. Ketiga hal ini harus selalu dinilai sejak awal pasien didiagnosis menderita asma serta setiap kali pasien datang untuk pemeriksaan rutin.1,9,10 Menilai status kontrol asma merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan terapi asma. Kontrol asma memiliki dua bagian utama, yaitu penilaian gejala dan risiko untuk outcome buruk dalam jangka panjang. Penilaian gejala asma mencakup segala keluhan yang berhubungan dengan penyakit asma (mengi, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk) serta pengaruh gejala tersebut dalam kehidupan seharihari pasien (beban medis dan psiko-sosial dan ekonomi). Symptom control yang buruk sangat berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi asma. Secara umum, penilaian symptom control dilakukan dengan menanyakan segala keluhan dan kondisi yang berkaitan dengan asma dalam 4 minggu terakhir dengan satuan hari dalam seminggu (Tabel 1). Beberapa kuesioner seperti Asthma Control Questionnaire (ACQ) atau Asthma Control Test (ACT), dapat diberikan pada pasien untuk membantu menilai symptom control ini.9,10 Sedangkan asesmen faktor risiko outcome asma yang buruk didapat dengan menilai faktor risiko eksaserbasi, faktor risiko hambatan aliran udara menetap, serta faktor risiko efek samping pengobatan. Selain itu, Denpasar, 30 Januari 2016 31 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA data mengenai FEV1 saat memulai terapi serta pengecekan rutin setiap 3-6 bulan sangat ideal dalam melengkapi penilaian risiko outcome asma ini secara komprehensif.1 Tabel 1. Asesment kontrol asma menurut GINA 20151 Hal yang dialami pasien dalam Terkontrol 4 minggu terakhir Gejala asma siang Terkontrol Tidak sebagian terkontrol hari >2X/minggu Terbangun malam hari akibat tidak ada asma yang Penggunaan obat pelega 1-2 variabel dialami 3-4 variabel >2X/minggu Hambatan aktivitas akibat asma Faktor risiko independen yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya eksaserbasi antara lain gejala asma yang tidak terkontrol, penggunaan β2 agonis kerja cepat (short-acting β2 agonist/SABA) dosis tinggi (>200 dosiskanister sebulan), penggunaan inhalasi kontikosteroid (inhaled corticosteroid/ICS) yang tidak adekuat dari segi kepatuhan atau teknik penggunaan inhaler, FEV1 rendah (<60% prediksi), masalah psikologis dan 32 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sosio-ekonomi mayor, pajanan rokok atau allergen, faktor komorbid (obesitas, rhino-sinusitis, alergi makanan), eosinophilia (sputum atau darah), kehamilan. Faktor utama lain yang meningkatkan risiko eksaserbasi adalah riwayat intubasi atau dirawat di ruang intensif akibat asma serta riwayat eksaserbasi berat ≥ sekali setahun. Faktor risisko mendapatkan hambatan aliran udara menetap adalah terapi tanpa ICS, pajanan yang menetap (asap rokok, bahan kimia dan pajanan dari tempat kerja), FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mukus kronik, eosinophilia sputum atau darah.1,11 Sedangkan faktor risiko timbulnya efek samping obat dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistemik dan lokal. Faktor risiko sistemik antara lain konsumsi kortikosteroid oral yang sering, ICS dosis tinggi dan/atau sangat poten, konsumsi obat lain yang bersifat inhibitor sitokrom P450. Sementara faktor risiko lokal antara lain teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat serta penggunaan ICS dengan dosis tinggi atau poten.1,10 Asma sering didiagnosis sekunder, dimana pasien datang mencari pertolongan kesehatan akibat masalah kesehatan selain asma dan diagnosis asma akhirnya dapat digali. Beberapa kelainan yang sering didapatkan bersama asma ini dikenal sebagai komorbid asma. Kelainankelainan tersebut antara lain rhinitis, rhino-sinusitis, gastroesophageal reflux, obesitas, obstructive sleep apnea, depresi dan ansietas. Kelainankelainan tersebut selain dapat menjadi tempat masuknya diagnosis asma juga berperan pada outcome dan status kontrol yang buruk dari pasien asma.1 Denpasar, 30 Januari 2016 33 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Ringkasan Asma merupakan penyakit tidak menular dengan penyebaran paling luas dan beragam di dunia. Diagnosis asma yang tepat merupakan kunci utama dalam upaya mengontrol asma secara efektif. Konsensus GINA telah merumuskan cara sederhana dalam mendiagnosis asma. Asma sudah dapat didiagnosis bila didapatkan gejala karakeristik dan hambatan aliran udara yang variabel dan episodik. Daftar Pustaka 1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update). 2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int. Accessed: 15 October 2015. 3. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, et al. Is childhood asthma still underdiagnosed and undertreated in Istanbul? Pediatrics International 2007;49:508-512. 4. Nish WA, Schwietz LA. Underdiagnosis of asthma in young adults presenting for USAF basic training. Ann of Allergy 1992;69(3):239242. 5. Banerjee DK, Lee GS, Malik SK, et al. Underdiagnosis of asthma in the elderly. Brit J Dis of the Chest 1987;81:23-29. 34 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 6. Parameswaran K, Hildreth AJ, Chadha D, et al. Asthma in the elderly: underperceived, underdiagnosed and undertreated; a community survey. Respir. Med. 1998;92:573-577. 7. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP. International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines: diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J 2006;15:20-34. 8. Smith AD, Cowan JO, Filsell S, et al. Comparisons between Exhaled Nitric Oxide Measurements and Conventional Tests. Am J Respir Crit Care Med 2004;169:473-478. 9. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American Thoracic Society/European Respiratory Society statement: asthma control and exacerbations: standardizing endpoints for clinical asthma trials and clinical practice. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:59-99. 10. Bateman ED, Reddel HK, Eriksson G, et al. Overall asthma control: the relationship between current control and future risk. J Allergy Clin Immunol 2010;125:600-8. 11. Chung KF, Wenzel SE, Brozek JL, et al. International ERS/ATS Guidelines on Definition, Evaluation and Treatment of Severe Asthma. Eur Respir J 2014;43:343-73. Denpasar, 30 Januari 2016 35 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA PENANGANAN ASMA AKUT DI LAYANAN PRIMER Ida Bagus Suta Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar PENDAHULUAN Asma adalah masalah kesehatan global yang serius terjadi pada semua kelompok umur. Prevalensinya meningkat di banyak negara, terutama di kalangan anak-anak. Meskipun beberapa negara telah ada penurunan rawat inap dan kematian akibat asma, tetapi masih merupakan masalah pada sistem perawatan kesehatan, hilangnya produktivitas kerja dan menimbulkan masalah sosial ekonomi.1 Asma adalah penyakit pernafasan dengan peradangan saluran napas kronis, yang ditandai oleh gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu. Diagnosis asma didasarkan pada riwayat pola gejala karakteristik dan bukti keterbatasan aliran udara. Dalam perawatan primer, pasien asma akut atau berat yang mengancam jiwa harus diberikan pengobatan yang akurat, termauk menilai kegawatan penderita dan sesegera mungkin mereferal penderitan ke pelayanan kegawatan yang lebih tinggi. 36 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tujuan pengobatan asma dilayanan primer adalah untuk cepat meringankan obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi yang mendasari, dan mencegah kekambuhan.2.3 Eksaserbasi asma Eksaserbasi asma adalah suatu episode yang ditandai dengan memburuknya secara progresif gejala sesak napas, batuk, mengi serta penurunan fungsi paru yang progresif. Eksaserbasi dapat terjadi pada pasien asma yang sudah ditegakkan sebelumnya, atau sebagai presentasi asma untuk pertama kalinya. Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai reaksi paparan agen eksternal (misalnya virus, infeksi saluran pernapasan atas, serbuk sari atau polusi) atau ketidak-kepatuhan pada obat pengontrol. Eksaserbasi berat dapat terjadi pada pasien asma ringan, tetapi juga bisa pada asma yang terkendali dengan baik. 4.5 Mengidentifikasi pasien pada risiko kematian terkait dengan asma Selain faktor-faktor yang telah diketahui meningkatkan risiko serangan asma, beberapa keadaan secara khusus dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian terkait dengan asma yaitu: Riwayat asma yang pernah membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanik Riwayat pernah dirawat atau perawatan darurat asma. Denpasar, 30 Januari 2016 37 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Sedang menggunakan kortikosteroid oral, atau setelah penghentian kortikosteroid oral. Tidak sedang menggunakan corticosteroid inhalasi Penggunaan berlebihan SABA, terutama menggunakan lebih dari satu flakon salbutamol ( atau sejenisnya ) perbulan. Ada riwayat penyakit kejiwaan atau masalah psikososial. Ketidak-patuhan dengan obat asma dan atau ketidak-patuhan ( atau kurangnya ) terhadap rencana tindakan-tertulis asma. Alergi makanan pada pasien dengan asma Adanya satu atau dua dari faktor resiko tersebut diatas, penderita harus disarankan mencari pertolongan medis sesegera mungkin pada awal terjadinya serangan.5 Menilai keparahan serangan akut Eksaserbasi adalah memburuknya gejala dan fungsi paru dari keadaan biasanya sehari-hari.Penurunan aliran udara ekspirasi dapat diukur dengan pengukuran APE atau VEP1, Pengukuran ini merupakan indikator yang lebih baik dari menilai memburuknya gejala eksaserbasi . Tetapi harus diingat juga bahwa gejala yang dirasakan oleh penderita lebih sensitif daripada hasil pemeriksaan APE dan VEP1. Pada kasus-ksus tertentu pemeriksaan obyektif ini akan sulit dilakukan pada penderita yang tidak kooperatif dan serangan yang sangat berat. 1.5 38 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Anamnesis dan riwayat singkat terfokus pada pemeriksaan fisik yang relevan yang harus dilakukan bersamaan dengan inisiasi terapi, dan temuan dicatat pada status. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda serangan akut parah atau mengancam jiwa maka pengobatan dengan SABA, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus dimulai. Serangan akut ringan biasanya dapat diobati di layanan primer, tergantung pada fasilitas dan keahlian medis yang tersedia.Serangan akut berat berpotensi mengancam jiwa penderita dan memerlukan asesmen, pengobatan, dan pengawasan yang ketat. Referal dilakukan segera apabila fasilitas tidak memadai dengan pengobatan awal sudah diberikan terlebih dahulu.1.5 Riwayat Penderita Anamnesis harus mencakup: Waktu onset dan penyebabnya (jika diketahui) dari serangan akut ini Keparahan gejala asma, termasuk keterbatasan aktifitas atau tidur. Adanya gejala anafilaksis Adanya faktor risiko berat bererkaitan dengan asma Semua obat pereda dan kontroler, termasuk dosis dan cara pemakaian, pola kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap terapi. Denpasar, 30 Januari 2016 39 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik: Tanda-tanda keparahan serangan akut dan tanda-tanda vital (misalnya tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, laju napas, tekanan darah, kemampuan untuk berkata dalam kalimat, penggunaan otot aksesori, mengi). Faktor penyakit penyerta (misalnya anafilaksis, pneumonia, pneumotoraks) Tanda-tanda kondisi alternatif lain yang bisa menyebabkan sesak napas akut (misalnya gagal jantung, gangguan saluran napas bagian atas, benda asing atau emboli paru). Pemeriksaan obyektif Pulse oksimetri. Tingkat oksimetri <90% pada anak-anak atau orang dewasa merupakan tanda untuk terapi agresif. APE pada pasien yang lebih tua dari 5 tahun.5 PENGOBATAN SERANGAN AKUT PADA LAYANAN PRIMER Terapi awal meliputi pemberian oksigen, bronkodilator inhalasi short-acting, dan pemberian kortikosteroid sistemik. Tujuannya adalah untuk mengurangi dengan cepat obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi yang mendasari dan mencegah kekambuhan. (Gb.1) 40 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Inhalasi beta2-agonis kerja cepat (short-acting beta2-agonis/SABA) Untuk serangan akut ringan sampai sedang, pemberian beta2agonis kerja cepat dapat diulang ( 4-10 inhalasi setiap 20 menit untuk jam pertama) dan biasanya merupakan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai mengembalian aliran udara dengan cepat . Setelah satu jam pertama, dosis SABA dilanjutkan antara 4-10 puff setiap 3-4 jam, atau lebih sering. Tidak diperlukan tambahan SABA jika ada respon yang baik pada pengobatan awal (misalnya APE> 60-80% dari nilai prediksi). Pemberian SABA melalui MDI dan spacer atau DPI maupun pemberian nebulisasi menghasilkan peningkatan fungsi paru yang hampir sama. Namun, pasien dengan asma berat akut tidak termasuk didalamnya. Pemberian SABA melalui MDI dan spacer biayanya murah karena spaser dapat dipergunakan berkali kali. Spaser setelah dipergunakan harus dicuci bersih agar siap dipergunakan pada kasus berikutnya.6.7 Denpasar, 30 Januari 2016 41 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Gb.1: Managemen Eksaserbasi Asma Pada Layanan Primer.6 42 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Terapi oksigen (jika tersedia) Terapi oksigen harus dimonitor dengan pulse oximetry (jika tersedia) untuk mempertahankan saturasi oksigen pada 93-95% (94-98% untuk anak-anak 6-11 tahun). Pemberian terapi oksigen secara perlahan akan memberikan hasil klinis yang lebih baik daripada pemberian terapi oksigen 100% dengan aliran cepat. Oksigen sebaiknya tidak diberikan jika oksimetri tidak tersedia. Penderta harus dipantau apakah terjadi perburukan, mengantuk atau kelelahan. Tujuan pemberian oksigen ini adalah untuk cepat meringankan obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi yang mendasari, dan mencegah kambuh.8.9.10 Kortikosteroid sistemik Kortikosteroid oral harus diberikan segera, terutama jika pasien memburuk, atau jika pemberian obat SABA dan kontroler sudah perlu peningkatan dosisnya. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 1 mg prednisolon/kg/hari sampai maksimal 50 mg/hari, dan 1-2 mg/kg/hari untuk anak-anak 6-11 tahun sampai maksimal 40 mg/hari) . Kortikosteroid oral biasanya harus dilanjutkan selama 5-7 hari.11.12.13 Denpasar, 30 Januari 2016 43 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Obat pengontrol Pasien yang sudah diberikan obat kontroler harus diberikan saran agar berhati-hati bila ada peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke depan. Bila pasien saat ini tidak minum obat pengontrol maka sarankan agar mulai penggunaan terapi kortikosteroid inhalasi atau obat golongan Long Acting Beta Agonis (LABA) inhalasi. Bila terjadi serangan akut yang membutuhkan perawatan medis maka hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko serangan akut dikemudian hari.14.15 Antibiotik (tidak disarankan) Tidak ada bukti kuat yang mendukung peranan antibiotik dalam serangan asma akut kecuali ada bukti tentang adanya infeksi paru (misalnya demam dan sputum purulen atau ada tanda-tanda pneumonia secara radiologis). Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus dilaksanakan sebelum antibiotik dilakukan.5 Menilai respon pengobatan Selama perawatan pasien harus dipantau secara ketat, dan pengobatan diberikan sesuai dengan respon penderita. Pasien dengan tanda-tanda serangan akut parah atau yang mengancam jiwa, gagal dalam merespon terapi, atau yang terus memburuk maka harus direferal langsung ke fasilitas perawatan akut yang lebih tinggi. Pasien dengan respon minimal atau lambat dengan pengobatan SABA harus dimonitor secara seksama. 44 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pengobatan tambahan harus terus sampai PEF atau FEV1 mencapai nilai tertentu atau (idealnya) kembali ke nilai terbaik pasien. Keputusan kemudian dapat dibuat apakah akan mengirim pasien pulang atau mereferal ke fasilitas perawatan akut yang lebih tinggi. Tindak-lanjut pengobatan Obat pulang yang diberikan harus mencakup pelega, kortikosteroid oral, dan kontroler. Cara penggunaan alat inhalasi yang benar harus diajarkan dan kepatuhan berobat harus dikaji sebelum dipulangkan. Tindak-lanjut harus direncanakan selama sekitar 2-7 hari kemudian, tergantung pada konteks klinis dan sosial . Pada kunjungan kontrol selanjutnya harus dinilai peringkat gejala dan faktor risiko; menelaah potensi penyebab serangan akut tersebut; dan menilai rencana-tertulis tindakan asma(the written asthma action plan). Pengobatan kontroler pemeliharaan secara umum dapat dievaluasi setelah 2-4 minggu kemudian setelah serangan akut, 6 Ringkasan Asma adalah penyakit pernafasan yang ditandai oleh gejala mengi, sesak napas, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu. Diagnosis asma didasarkan pada riwayat pola gejala karakteristik dan bukti keterbatasan aliran udara. Eksaserbasi adalahsuatu memburuknya gejala dan fungsi paru dari keadaan biasanya sehari-hari. Denpasar, 30 Januari 2016 45 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tujuan pengobatan asma dilayanan primer adalah untuk cepat meringankan obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi yang mendasari, dan mencegah kekambuhan.Terapi awal meliputi pemberian oksigen, bronkodilator inhalasi short-acting, dan pemberian kortikosteroid sistemik. Apabila tidak ada perbaikan klinis maka penderita segera direferal ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi. Tujuan terapi adalah untuk mengurangi dengan cepat obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi yang mendasari dan mencegah kekambuhan. Tindak-lanjut harus direncanakan selama sekitar 2-7 hari kemudian, tergantung pada keadaan klinis dan sosial . 46 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Daftar Pustaka 1. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American Thoracic Society/European Respiratory Society statement: asthma control and exacerbations: standardizing endpoints for clinical asthma trials and clinical practice. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:59-99 2. Levy ML, Quanjer PH, Booker R, et al. Diagnostic spirometry in primary care: Proposed standards for general practice compliant with American Thoracic Society and European Respiratory Society recommendations: a General Practice Airways Group (GPIAG) document, in association with the Association for Respiratory Technology & Physiology (ARTP) and Education for Health. Prim Care Respir J 2009;18:130-47. 3. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP. International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines: diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J 2006;15:20-34. 4. Reddel H, Ware S, Marks G, Salome C, Jenkins C, Woolcock A. Differences between asthma exacerbations andpoor asthma control [errtum in Lancet 1999;353:758]. Lancet 1999;353:364-9. 5. GINA. Global strategy for asthma management and prevention, Global Initiative for Asthma (GINA); 2015. Availeble at: http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2015_Au g11.pdf Denpasar, 30 Januari 2016 47 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 6. Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus nebulisers for beta-agonist treatment of acute asthma. Cochrane Database Syst Rev 2013. 7. Newman KB, Milne S, Hamilton C, Hall K. A comparison of albuterol administered by metered-dose inhaler and spacer with albuterol by nebulizer in adults presenting to an urban emergency department with acute asthma. Chest 2002;121:1036-41. 8. Chien JW, Ciufo R, Novak R, et al. Uncontrolled oxygen administration and respiratory failure in acute asthma. Chest 2000;117:728-33. 9. Rodrigo GJ, Rodriquez Verde M, Peregalli V, Rodrigo C. Effects of shortterm 28% and 100% oxygen on PaCO2 and peak expiratory flow rate in acute asthma: a randomized trial. Chest 2003;124:1312-7. 10. Perrin K, Wijesinghe M, Healy B, et al. Randomised controlled trial of high concentration versus titrated oxygen therapy in severe exacerbations of asthma. Thorax 2011;66:937-41. 11. Hasegawa T, Ishihara K, Takakura S, et al. Duration of systemic corticosteroids in the treatment of asthma exacerbation; a randomized study. Intern Med 2000;39:794-7. 12. Jones AM, Munavvar M, Vail A, et al. Prospective, placebo-controlled trial of 5 vs 10 days of oral prednisolone in acute adult asthma. Respir Med 2002;96:950-4. 13. O'Byrne PM, Barnes PJ, Rodriguez-Roisin R, et al. Low dose inhaled budesonide and formoterol in mild persistent asthma: the OPTIMA randomized trial. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(8 Pt 1):1392-7. 48 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 14. Cates CJ, Karner C. Combination formoterol and budesonide as maintenance and reliever therapy versus current best practice (including inhaled steroid maintenance), for chronic asthma in adults and children. Cochrane Database Syst Rev 2013;4:CD007313 15. Kew KM, Karner C, Mindus SM, Ferrara G. Combination formoterol and budesonide as maintenance and reliever therapy versus combination inhaler maintenance for chronic asthma in adults and children. Cochrane Database Syst Rev 2013;12:CD009019. Denpasar, 30 Januari 2016 49 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tatalaksana Asma Jangka Panjang PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA AKUT DI INSTALASI GAWAT DARURAT I Made Bagiada Divisi Paru Bagian / SMF Penyakit Dalam FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat fatal atau mengancam jiwa. Seringnya serangan asma menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Asma adalah penyakit kronis, penanganannya ditekankan pada penanganan jangka panjang, dan meskipun pengobatan sudah tepat sebaiknya tetap memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala. Dalam penanganan serangan asma akut penilaian berat serangan merupakan kunci pertama. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat sesuai dengan beratnya serangan asma, selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain). Langkah-langkah tersebut mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian 50 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya penanganan serangan asma (1,2). Asma adalah penyakit yang sering mengunjungi instalasi gawat darurat (IGD). Banyak pasien asma yang berkunjung ke IGD tidak pernah menerima informasi tentang penyakit asma, tidak pernah menerima edukasi yang berkaitan dengan cara menggunakan obat asma, dan penyakit asmanya tidak terkontrol atau terkontrol sebagian. Sebagian besar kasus adalah ringan dan mudah ditangani dengan agonis-beta, steroid, dan observasi sebelum dipulangkan. Sebagian kecil pasien dengan serangan asma akut memerlukan observasi lebih lama untuk menentukan rawat inap atau rawat jalan. Sayangnya, seringnya penyakit yang berpenampilan relative ringan sewaktu-waktu menyebabkan perlunya penanganan-akut (3). Penanganan serangan yang tidak tepat, terutama dalam penilaian beratnya serangan di IGD dapat berakibat pada pengobatan yang tidak adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari IGD, pemberian pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat dapat menyebabkan perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat bahkan fatal. Penderita asma harus memahami bagaimana mengatasi saat terjadinya serangan; apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang sehari-hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya. Denpasar, 30 Januari 2016 51 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau fasilitas rumah sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan memberikan penanganan yang tepat (2). Serangan yang ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di fasilitas layanan medis sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi di rumah. Akan tetapi serangan sedang sampai berat sebaiknya dilakukan di rumah sakit Gejala asma eksaserbasi adalah sesak, batuk, mengi, dan dada terasa berat. Tanda asma eksaserbasi misalnya agitasi, frekuensi napas meningkat, denyut nadi meningkat, dan penurunan fungsi paru yang dinilai dengan FEV1, PEF, PaO2, PaCO2, dan SaO2. Penggunaan otot bantu napas dan kemampuan bicara dalam kalimat tergantung pada beratnya serangan asma. Beratnya gejala dan tanda untuk menentukan serangan asma tersebut ringan, sedang atau berat, atau mengancam jiwa (tabel 1). Pemeriksaan awal serangan asma akut di IGD adalah menilai beratnya serangan asma akut. Dokter di IGD harus siap menganani, mengenali gejala dan tanda serangan asma akut berat bahkan kemungkinan serangan asma yang fatal (tabel 2). Bila penilaian awal serangan asma pasien adalah berat pikirkan bahwa akan berpotensi mengancam nyawa pasien sehingga diperlukan penanganan segera dan pengawasan terhadap perburukan serangan secara dibutuhkan pengobatan berulang (2). Semua gejala ketat, sering dan tanda dari serangan asma akut harus dipahami oleh dokter yang bertugas di IGD 52 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan segera sesuai dengan beratnya serangan asma. Tabel 1. Klasifikasi beratnya serangan asma akut (2) Penatalaksaan di RS (IGD) Serangan asma akut berat membutuhkan bantuan medis segera, penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit / unit gawat darurat. Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru; untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak Denpasar, 30 Januari 2016 53 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan. Riwayat singkat serangan meliputi: gejala, pengobatan yang telah digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/ pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu: (tabel 2) Table 2. faktor risiko kematian asma (2) Riwayat asma Beratnya serangan sebelumnya (misal, intubasi atau rawat ICU) Dalam 1 tahun dirawat > 2x Ke IGD >3x dalam setahun Dalam sebulan ini pernah rawat inap atau dating ke IGD Menggunakan SABA >2 can perbulan Saat serangan, masih dalam terapi glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan pengobatan. Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma mempunyai riwayat alergi terhadap jenis makanan Sulit mengerti gejala asma atau beratnya serangan Factor lain: gagal melaksanakan program asma di rumah Riwayat social Status sosioekonomi rendah atau tinggal dalam kota Pengguna narkoba Memiliki masalah psikososial berat Komorbiditas Penyakit kardiovaskuler Penyakit paru krooni lain Penyakit psikiatrik kronik 54 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Denpasar, 30 Januari 2016 55 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pengobatan (1,2,4,5,6). Pengobatan diberikan bertujuan untuk mempercepat resolusi serangan akut. Pasien dengan riwayat serangan asma berat adalah factor risiko asma fatal dan memerlukan pengawasan ketat dan terapi agresif. Monitoring saturasi oksigen terus-menerus dan menilai aliran arus puncak (PEF) memerlukan penatalaksanaan optimal dari serangan asma akut. Pemberian bronkodilator sebaiknya melalui inhalasi, dan diberikan dengan nebulizer dan dengan MDI. Penggunaan kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis tinggi dan kortikosteroid oral saat pulang dari IGD dianjurkan untuk mengurangi kekambuhan serangan asma. Secara umum pengobatan utama atau standar semua pasien dengan serangan asma akut di IGD adalah pemberian oksigen, agonis-beta2 inhalasi, dan kortikosteroid sistemik. Dosis dan frekueinsi pemeberian tergantung beratnya serangan (1,2,5): 1. Oksigen: Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri. 2. Agonis beta-2 inhalasi: Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit, membutuhkan waktu lebih singkat dan mudah diakses di unit gawat darurat. Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin. 56 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 3. Alternatif lain adalah dengan pemberian injeksi agonis beta-2 kerja singkat; epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. Pada pemberian intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring). 4. Glukokortikosteroid: Glukokortikosteroid terutama yang sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali serangan ringan. Diberikan terutama jika: Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak memberikan respons Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan Serangan asma berat Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena, pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi gastrointestinal maka dianjurkan pemberian intravena. Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk tercapai perbaikan Denpasar, 30 Januari 2016 klinis. Metaanalisis menunjukkan 57 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA glukokortikosteroid sistemik; metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg hidrokortison sudah adekuat. Glukokortikosteroid oral (prednison) dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Penelitian menunjukkan tidak bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun terlalu lama sampai beberapa minggu. Glukokortikosteroid inhalasi. Pemberian glukokortikosteroid inhalasi dengan tinggi (Beclomethasone dipropionate HFA >500 mcg, Budesonide >800 mcg, Fluticasone >500 mcg) di IGD dalam satu jam pertama dapat mengurangi kemungkinan rawat inap pada pasien yang tidak mendapatkan glukokortikosteroid sistemik. 5. Epinefrin: epinefrin (adrenalin) intramuskuler dapat sebagai terapi tambahan bersama dengan terapi standar terhadap serangan asma akut yang dipikirkan karena anafilaksis atau angioedema. Dosis efinefrin 0.3 – 0.5 mg intramuskuler. Kalau perlu dapat diulang tiap 20 menit. 6. Magnesium Sulfat (MgSO4). Tidak dianjurkan secara rutin pada serangan asma akut, ]MgSO4 dapat diberikan pada serangan asma akut berat yang tidak membaik dengan terapi inisial. Magnesium sulfat dapat diberikan satu kali 2 gram diinfuskan pada 100ml D5% habis dalam 20 menit. Pemberian MgSO4 bermanfat mengurangi rawat inap pada beberapa pasien. Penelitian MgSO4 pada serangan asma ringan dan sedang, hasilnya tidak menunjukkan perbedaan dengan placebo. 58 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 7. Ipratropium bromide: pada pasien dengan serangan asma sedang – berat pemberian agonis-beta2 kerja cepat plus ipratropium bromide berhubungan dengan pengurangan rawat inap dan memperbaiki fungsi paru. Ipratropium bromide adalah antikolinergik kerja-singkat dapat meningkatkan efek bronkodilatasi terapi agonis beta-2. 8. Methylxanthine: mengingat jeleknya efikasi dan keamanan aminofilin intravena dan teofilin GINA 2015 tidak dianjurkan pada manajemen serangan asma. Emergency Department Asthma Care Pathway (EDACP) menganjurkan pemberian aminofilin intravena sebagai terapi tambahan non-standar terutama pasien yang ekstrim, namun tidak dianjurkan pada 4 jam pertama. Loading dosisnya 6 mg/kg intravena dalam 30 menit, dosis dikurangi 50% bila telah mendapat teofilin atau aminofilin. Dilanjutkan dengan infus 0.2 – 1mg/kg/jam. 9. Kombinasi kortikortikosteroid/agonis beta2 kerja-panjang: manfaatnya di IGD tidak jelas. Ada penelitian menunjukkan pemberian budesonide/formoterol dosis tinggi memiliki manfaat dan keamanan yang sama dengan agonis beta2 kerja-singkat. 10. Antibiotik: tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif (penyakit/gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Denpasar, 30 Januari 2016 59 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu makrolid, golongan kuinolon dan alternatif amoksisilin/amoksisilin dengan asam klavulanat. 11. Intubasi: Pada pasien dengan apnea atau koma sebaiknya segera di intubasi. Hiperkapnea persisten atau memberat, kelelahan, dan status mental depresi indikasi sangat kuat butuh support ventilator. Monitoring di IGD Setelah pemberian terapi awal brobkodilator inhalasi semua pasien, terutama pasien dengan serangan asma berat. Evaluasi dilakukan setelah pemberian 3 dosis bronkodilator inhalasi, biasanya 60 – 90 menit setelah terapi awal. Respon terapi selama di IGD lebih baik sebagai predictor kemungkinan rawat inap ketimbang beratnta serangan. Pasien dengan riwayat serangan asma berat adalah factor risiko asma fatal dan memerlukan pengawasan ketat dan terapi agresif. Monitoring saturasi oksigen terus-menerus dan menilai aliran arus puncak (PEF) memerlukan penatalaksanaan optimal dari serangan asma akut (6). Evaluasi dilakukan baik terhadap respon terapi secara subyektif, pemeriksaan fisik, hasil FEV1 atau PEF (hasil AGD atau oksimetri). 60 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pemulangan pasien Pasien yang menunjukkan respon cepat terhadap terapi dalam waktu 30 sampai 60 menit setelah terapi bronkodilator terakhir. Secara umum pasien boleh pulang bila hasil PEF 70% atau lebih atau keadaan umum baik dan gejala tampak minimal. Pasien dengan respon terapi tidak lengkap dan gejala menjadi ringan harus ditentukan berdasarkan individu, memperhitungkan factor risiko kematian terkait asma (2). Pasien yang diberikan kortikosteroid sistemik sebaiknya diberikan terapi yang sesuai untuk melanjutkan terapi untuk waktu 3 sampai 10 hari setelah pulang. Bagi pasien yang diperkirakan memiliki risiko untuk tidak patuh dapat diberikan kortikosteroid intra muskuler untuk mencegah kekambuhan. Pasien yang memakai terapi steroid inhalasi sebaiknya dilanjutkan sembari mengkomsumsi kortikosteroid sistemik. Ringkasan Asma adalah penyakit kronis dan sering mengalami serangan akut yang menyebabkan penderita datang ke IGD untuk mengatasi serangan asmanya. Dokter harus bisa menilai beratnya serangan asma agar bisa memberikan pengobatan yang tepat dan optimal dan saat pulang juga bisa memberikan pengobatan yang tepat untuk mencegah perburukan asma penderita. Terapi standar serangan asma akut umumnya dengan Denpasar, 30 Januari 2016 61 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA bronkodilator inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dan glukokortikosteroid sistemik. Apabila terapi standar tidak memberikan respon, maka dapat ditambahkan obat-obat lain misal MgSO4, epinefrin, aminofilin dll. Daftar pustaka 1. Global Initiative for Asthma.(2015).GINA Report, Global Strategy for Asthma Management and Prevention: Management of worsening asthma and exacerbation:66-72. Available from: http://www.ginasthma.org/documents/4 . [Accessed 2016, January 10]. 2. Camargo C.A., Rachelefsky G., and Schatz M (2009). Summary of the National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel Report 3 Guidelines for the Management of Asthma Exacerbation: Managing asthma exacerbation in the emergency department. Proc Am Thorac Soc, 6:357-366. 3. Al-Jahdali H., Anwar A., Al-Harbi A., Baharoon S., Halwani R., Al Shimemeri., and Al-Muhsen S. (2012). Factors associated with patient visits to the emergency department for asthma therapy. BMC Pulmonary Medicine, 12:80. 4. Pollart S.M., Compton R.M., and Elward K.S. (2011). Management of acute asthma exacerbation. Am Fam Physician, 84(1):40-47. 62 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 5. Adult Emergency Department Asthma Care Pathway. (2013). The lung association:1-14. 6. Hodder R., Lougheed D., Rowe H.B., FitzGerald J.M., Kaplan A.G., and McIvor A.(2010). Management of acute asthma in adults in the mergency department: nonventilatory management. CMAJ, 182(2):5567. Denpasar, 30 Januari 2016 63 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA TATALAKSNA ASMA DI RUANG RAWAT INAP BIASA I Gede Ketut Sajinadiyasa Divisi Pulmonologi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Pendahuluan Asma bronkial adalah merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan adanya gejala klinis batuk, sesak napas, dada terasa berat dan mengi yang intensitasnya bervariasi diantara pasien dan respon terhadap terapi juga dapat berbeda.1 Berat ringannya gejala klinis dan baik tidaknya respon terapi dapat dipengaruhi oleh ada tidaknya penyakit komorbid dan komplikasi yang menyertai.2 Dengan adanya perbedaan gejala klinis dan perbedaan respon terapi dari pasien asma, maka untuk mencapai tujuan tatalaksana asma yaitu asma terkontrol dapat dicapai tanpa pengobatan dan dengan pengobatan.1 Perawatan pasien juga ditentukan oleh berat ringannya gejala, bisa dirawat secara rawat jalan, di rawat di rumah sakit di ruangan biasa dan bahkan ada yang membutuhkan perawatan di ruang intensiv /ICU. 1,3 Kebutuhan perawatan di ruang rawat inap merupakan kelanjutaan tatalakasana pasien yang mengalami eksaserbasi dimana respon terapi yang diberikan dalam waktu yang ditentukan belum tercapai.1 Laporan tahun 2004 di AS didapatkan 1,8 juta kejadian pasien asma yang datang ke unit gawat daraurat (64/10.000 penduduk) dan yang membutuhkan rawat inap senanyak 497.000 orang (17/10.000 penduduk).4 64 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tujuan perawatan di rumah sakit untuk dapat melakukan monitoring dan evaluasi yang lebih ketat terhadap kondisi dan perkembangan klinis pasien, monitoring respon terapi, keadaan yang dapat memperburuk kondisi pasien seperti ada penyakit komorbid dan komplikasi serta mempersiapkan pasien pulang dan pemberian edukasi yang memadai untuk perawatan selanjutnya.1,5. Kapan dan bagaimana tatalaksana pasien asma dilakukan di ruang perawatan biasa akan disampaikan pada tulisan ini. Indikasi rawat inap pada pasien asma Rawat inap pasien asma dapat di ruang rawat inap biasa ataupun di ruang intensiv tergantung berat ringannya gejala asma yang dialami oleh pasien. Perlu tidaknya pasien di rawat di rumah sakit dapat ditentukan oleh respon terapi di unit rawat darurat, gambaran klinis dari serangan, tes fungsi paru ( FEV1/PEF sebelum terapi < 25% prediksi atau FEV1/PEF < 40% setelah terapi) dan faktor sosial ekonomi pasien.6,7 Pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadi serangan ulangan seperti ada dirawat atau datang ke ruang rawat darurat karena serangan asma dalam satu tahun terakhir, mengunakan kortikosteroid sistemik, menggunakan beberapa jenis obat asma, sebelumnya pernah dengan serangan berat atau mengancam jiwa, ada masalah psikologis serta mengunakan beta2 agonis inhalasi secara reguler, kehamilan usia tua. Kondisi ini juga merupakan pertimbangan untuk dirawat inap.1,8,9 Denpasar, 30 Januari 2016 65 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Monitoring dan evaluasi pasien asma di ruang rawat biasa Hal-hal yang di evaluasi pada pasien saat perawatan di ruangan yaiu monitoring tanda vital, fungsi paru, saturasi oksigen dan respon terapi, evaluasi kemungkinan adanya komorbid dan adaya komplikasi Monitoring tanda vital, fungsi paru dan saturasi oksigen Monitoring tanda vital merupakan hal penting untuk mengetahui kondisi klinis pasien. Monitoring tanda vital seperti suhu, nadi, tekanan darah serta laju respirasi. Idealnya dapat dilakukan tap 4 jam sekali dan kemudian dapat diperjarang (6-8 jam) sesuai kondisi pasien. Fungsi paru seperti pengukuran PEF / FEV1 untuk mengetahui respon terapi yang dapat dilakukan tiap jam setelah pemberian nebuliser bronkodilator dan kemudian 2 kali sehari sebelum dan setelah nebuliser bronkodilator. Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan dan bila perlu analisa gas darah. Pasien dengan asma berat biasanya mengalami hiposemia, dan kondisi ini perlu dikoreksi dengan segera dapat diberikan oksigen dengan konsentrasi 40-60 % dengan nasal kanul / sungkup agar tercapai saturasi oksigen 93-95%. Kardiak monitoring juga perlu dilakukan terutama pada pegunaan nebuliser beta2 agonis setiap 4 jam sekali.1,3 Monitoring Pengobatan Evaluasi pengobatan seperti dosis, cara pemberian dan kombinsi obat perlu dilakukan untuk mencapai asma terkontrol. Obat – obat yang umum kita gunakan pada perawatan di rumah sakit adalah beta2 agonis, 66 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kortikosteroid, antikolinergik, golongan xantin dan beberapa obat lainnya sepergi magnesium sulfat. Beta2 agonis Beta2 agonis kerja singkat inhasi digunakan secara luas pada pasien asma serangan akut. Studi akhir-akhir ini pada pasien asma yang dirawat pembeian beta2 agonis secara intermiten bila perlu dapat menurunkan lama rawat, menurunkan frekwensi nebulisasi dan lebih sedikit palpitasi dibanding pemberian nebuliser setiap 4 jam sekali. Sehingga pemberian beta2 agonis inhalasi pada asma serangan akut dapat diberikan secara kontinyu dalam satu jam pertama dan kemudian dilanjutkan dengan pemberianan secara intermiten bila perlu.1,3,5 Kortikosteroid Kortikosteroid terbukti dapat mempercepat resolusi asma eksaserbasi dan mencegah relap. Pemberian secara oral dan intravena sama efektif. Pemberian oral lebih disukai karena lebih cepat, tidak invasif dan lebih murah. Namun pemberian intravena lebih dipilih pada kondisi sangat sesak, mual muntah atau pasien membutuhkan ventilator.1,5 Dosis harian kortikosteroid oral adalah ekivalen dengan 50 mg prednisolon sekali sehari pagi hari atau 200 mg hidrokortison dosis terbagi. Durasi pemberian sekitar 5-7 hari.1 Ipratropium bromid Pemberian obat ipratropium bromid bersama dengan beta2 agonis pada asma serangan sedang dan berat berhubungan dengan lebih sedikit Denpasar, 30 Januari 2016 67 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kebutuhan rawat inap dan perbaikan yang lebih nyata pada PEF dan PEV1 dibanding pemberian beta2 agonis tunggal.1,3 Aminopilin dan teopilin Itravena aminopilin/teopilin sebaiknya tidak digunakan dalam penanganan eksaserbasi asma. Penggunan obat ini sering menimbulkan efek samping yang fatal terutama pada pasien yang telah mendapat teopilin oral sebelumnya. Pada pasien asma serangan berat yang ditambahkan aminopilin tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding pemberian beta2 agonis sendiri.1 Magnesium Magnesium sulfat tidak rutin diberikan pada serangan asma akut. Apabila diberikan Magnesium sulfat 2 gram dosis tunggal selama 20 menit akan menurunkan kejadian perawatan di rumah sakit pada pasien tidak respon dengan terapi awal.1,5 Evaluasi Penyakit Komorbid Penyakit komorbid dapat menyertai asma. Kondisi komorbid ini dapat berpengaruh terhadap status kontrol asma. Oleh karenanya kormorbid perlu ditatalaksana dengan baik. Adapun komorbid yang sering dijumpai pada penderita asma diantaranya: Obesitas, GERD (Gastroesophageal reflux disease), cemas dan depresi, alergi makanan dan anapilaksis, rinitis, sinusitis dan polinasal.1,3,5 Obesitas. Pada pasien dengan obesitas asma akan lebih sulit dikontrol, hal ini mungkin akibat mekanisme inflamasi yang berbeda 68 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dengan pasien tanpa obesitas, adanya kemungkinan sleep apnea serta GERD. Berkurangnya volume paru akibat lemak abdominal yang berlebih dapat mengingkatkan rasa sesak, oleh karenanya penurunan berat badan ikut dalam perencanaan terapi pada pasien asma dengan obesitas.1,5 GERD. GERD dapat memberikan gejala seperti heart burn, nyeri epigastrium, nyeri dada dan juga umumnya dijumpai batuk kering. Gejala GERD lebih sering dijumpai pada pasien dengan asma dibanding populasi umum. Namun perlu diketahui obat-obat asma seperti beta2 agons dan teopilin dapat menyebabkan relaksasi dari spingter esofagus bawah. Untuk pasien asma dengan gejala reflux secara emperis dapat diberikan pengobatan dengan PPI atau obat motilitas namun bila gejala tidak membaik perlu penangan lebih lanjut seperti seperti endoskopi atau monitoring pH 24 jam. Pemberian PPI dan obat motilitas direkomendasikan pada pasien asma dengan gejala reflux tapi pasien asma dengan kontrol yang buruk sebaiknya tidak diberi anti reflux kecuali bila ada gejala reflux atau terdiagnosis reflux.1 Ansietas dan depresi. Rasa cemas dan depresi sering dijumpai pada pasien dengan asma. Komorbid ini sering mengakibatkan kontrol asma yang buruk, pengobatan tidak teratur dan menurunya kualitas hidup. Gejala cemas dan depressi sering berhubungan dengan peningkatan kejadian eksaserbasi dan kunjungan ke unit rawat darurat. Serangan panik yang mungkin terjadi dapat mengacaukan gejala asma. Pengobatan parmakologi dan nonparmakologi sebaiknya diberikan dan bila perlu dapat dikonsultasikan dengan ahlinya.1,10 Denpasar, 30 Januari 2016 69 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Alergi makanan dan anapilaksis. Ada tidaknya alergi makan juga perlu dievaluasi. Alergi makanan dapat mencetuskan gejala asma ( 2% dari pasien asma). Pada pasien yang terbukti alergi makanan dan bersama dengan asma merupakan faktor risiko kuat terjadinya reaksi yang lebih berat dan fatal. Anafilaksis akibat alergi makanan dapat berupa serangan asma yang mengancam jiwa. Studi di Amerika dan Inggris, kematian yang berhubungan dengan anafilaksis ternyata memiliki riwayat pengobatan asma sebelumnya dan asmanya umumnya tidak terkontrol. Makanan yang telah terbukti sebaiknya dihindari untuk mencegah kejadian selanjutnya.1 Rhinitis, Sinusitis dan Polipnasal. Pasien deagan asma baik alergi ataupun nonalergi dapat bersama dengan rinitis. Sekitar 10 – 40 % pasien rinitsi memiliki asma. Rinosinusitis kronis berhubungan dengan asma yang lebih berat terutama pasien dengan polip nasi. Pemeriksaan dari saluran napas atas sebaiknya dilakuan pada pasien asma terutama pada asma berat. Pada studi populasi pengobatan rinitis dengan intranasal kortikosteroid menurunkan kebutuhan rawat inap dan kunjungan ke unit rawat darurat dari pasien dengan asma.1 Evaluasi Komplikasi Komplikasi yang terjadi tentu akan memperberat kondisi asma , sehingga pengenalan terhadap adanya kompliaksi menjadi hal yang penting. Adapun komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien asma diantaranya; pneumototaks dan pneumomidiastinum, atelektasis, pneumonia. Juga dapat terjadi komplikasi akibat terapi asma seperti 70 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA toksisitas aminophilin, asidosis laktat dan gangguan elektrolit seperti hipokalemia.1,2 Pneumotoraks secara klinis dapat dikenali secara fisik dimana dijumpai suara napas yang menurun pada sisi dada yang mengalami pneumotorak serta perkusi yang hipersonor. Pemeriksaan rontgen dada lebih memastikan adanya pneumotorak yang ditandai adanya daerah yang radiolusen dan adanya garis kolap paru. Evakuasi udara dari rongga pleura tentu diperlukan untuk memberi kesempatan paru untuk mengembang. Atelektasis suatu keadaan kolapnya sebagian atau seluruh paru. Atelektasis paru yang luas secara klinis memberi gambaran dada asimetris, suara napas menurun bahkan dapat menghilang pada sisi yang kolap. Kejadian ini i biasanya terjadi akibat sumbatan mukos yang kental intra bronkial. Dengan membersihkan mukos yang kental biasanya paru dapat mengembang kembali. Pneumonia merupakan infeksi parenkim paru yang dapat dijumpai pada penderita asma. Kejadian pneumona didapatkan lebih tinggi pada pasien-pasien yang mengunakan steroid. Pasien dengan pneumonia umumnya disertai panas, batuk yang produktif dengan dahak purulen, sesak napas dan dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya tanda-tanda konsolidasi. Dari pemeriksaan toraks dijumpai adanya infiltrat baru atau adanya perburukan infiltrat. Bila diagnosis terbukti pneumonia maka antibiotika empiris segera diberikan. Komplikasi lain yang dapat terjadi seperti efek samping obat perlu dipertimbangkan Denpasar, 30 Januari 2016 untuk menurunkan dosis obat dan mungkin 71 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA menghentikan obat yang menimbulkan efek samping. Bila terjadi ganguan ekeltrolit seperti hipokalemi maka diperlukan substitusi kalium baik secara oral ataupun secara drip intravena tergantung berat ringan hipokalemia.1,2 Persiapan Pemulangan Pasien Kapan kita akan memulangkan pasien asma dari ruang rawat inap ditentukan oleh kondisi klinis pasien. Kondisi klinis yang membaik ditandai dengan tanda-tanda vital membaik, berkurangnya wesing bahkan tidak terdengar, dapat tertidur di malam hari, toleransi aktifitas baik dan saturasi oksigen baik tanpa menggunakan bantuan oksigen, test pungsi paru (PEF / FEV1) ≥ 70% prediksi.3 Selain kondisi klinis yang telah mengalami perbaikan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum pasien pulang. Pengaturan jadwal kontrol setelah keluar rumah sakit dan rencana perbaikan strategi tatalaksana asma termasuk obat-obatan, cara penggunaan obat inhalasi dan rencana perawatan selanjutnya. Obatobatan yang dipersiapan diantaranya kortikosteroid oral dilanjutkan selama 5-7 hari dengan dosis 1 mg /kg BB prednisolon atau equivalennya. Obat pelega inhalasi biberikan sesuai kebutuhan dan kortikosteroid inhalasi yang sebaiknya sudah diberikan sebelum dipulangkan. Disamping pengobatan, edukasi sangat penting teutama edukasi tentang faktor risiko yang berperan dalam terjadinya eksaserbasi, faktor risiko eksaserbasi yang dapat dimodifkasi seperti merokok, pasien hendaknya pahan akan perlunya berobat teratur dan bagaimana cara pengggunaannya.1,3 72 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Ringkasan Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan gejala klinis dan respon terapi yang berbeda antar pasien lainya. Adanya respon terapi yang berbeda mengakibatkan pasien asma \membutuhkan tempat perawatan yang berbeda baik rawat jalan atau di rumah sakit. Perawatan di rumah sakit biasanya diperlukan oleh pasien yang mengalami eksaserbasi namun belum mencapait respon terapi yang memadai dengan terapi awal. Di runag rawat biasa pasien akan melanjutkan pengobatan dan perlu dilakukan pemantauan terhadap perkembangan klinis apakah terjadi perbaikan atau tidak dengan monitoring tanda vital, fungsi paru, saturasi oksigen analisa gas darah. Selain itu juga perlu pemantauan terhadap adanya penyakit komorbid dan kemungkinan adanya komplikasi yang tentunya dapat berpengaruh tidak baik terhadap usaha mengontrol asma. Di ruanng rawat inap juga perlu mempersiapkan rencana rawat jalan, obatobatan di rumah dan edukasi pasien agar pasien mengerti dan paham akan penyakitnya. Denpasar, 30 Januari 2016 73 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Daftar Pustaka 1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update). 2. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. Clinical review severe asthma Criticl care 2002, 6: 30-40 3. Managing asthma in the Caribbean, Caribbean health research council St. Augusti ne. Tri ni dad & Tobago 2009 http://www.chrccaribbean.org diakses pada 17/1/2016 4. Logogo N, Que LG, Fertel D, Kraft M. Asthma in Mason RJ et al editor Murray & Nadel’s TextBOOK of Respiratory Medicine 5th Vol 1 p883-919 5. British guideline on the management of asthma A National guideline 2012, www.brit-thoracic.org.uk diakses pada 17/1/16 6. Kelly A-M, Kerr D, Powell C. Is severity assessment after one hour of treatment better for predicting the need for admission in acute asthma? Respir Med 2004;98:777-81. 7. Wilson MM, Irwin RS, Connolly AE, Linden C, Manno MM. A prospective evaluation of the 1-hour decision point for admission versus discharge in acute asthma. J Intensive Care Med 2003;18:275-85. 74 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 8. Grunfeld A, FitzGerald J. Discharge considerations for adult asthmatic patients treated in emergency departments. Can Respir J 1996;3:322 - 7. 9. Rowe BH, Villa-Roel C, Abu-Laban RB, et al. Admissions to Canadian hospitals for acute asthma: a prospective, multicentre study. Can Respir J 2010;17:25-30. 10. Cho GSi, Shin YS, Kim JH, Choi SY, Lee SK, Nam YH, Lee YM, Park HS. Prevalence and Risk Factors for Depression in Korean Adult Patients with Asthma: Is There a Difference between Elderly and Non-Elderly Patients? J Korean Med Sci 2014; 29: 1626-1631 Denpasar, 30 Januari 2016 75 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA MANAGEMEN ASMA AKUT. Intensive Care setting. Putu andrika Pendahuluan Penanganan pasien yang mengalami serangan asma atau eksaserbasi asma di ruang emergensi sebagian besar berhasil meringankan bahkan menghilangkan gejala serangan pada asma. Namun sebagian kecil sekitar 10% akan memerlukan perawatan lanjut dirumah sakit, sebagian akan memerlukan penanganan di ruang intensif. Pasien tersebut akan mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1 Menurut Gupta dkk, Sebanyak 56.8% pasien yang dirawat intensif mendapatkan mekanikal ventilasi (MV) pada 24 jam pertama. Dengan angka kematian secara menyeluruh 7.1% di ICU dan 9.8% di rumah sakit.2 Penyempitan saluran nafas akan mengakibatkan ketidakseimbangan ventilasi perfusi, hiperinflasi paru, dan meningkatkan work of breathing (WOB) selanjutnya kepayahan otot pernafasan dan gagal nafas. Patofisiologi terjadinya dynamic hyperinflation dan gagal nafas sangat penting untuk dipahami, serta penanganan pasien yang membutuhkan intubasi pemasangan endotracheal tube (ETT) dan mekanikal ventilator (MV) dan melakukan lung protective mechanical ventilation untuk membantu mencapai target oksigenasi adekuat, menghindarkan komplikasi, sambil memaksimalkan terapi farmakologis.1,3 Definisi 76 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Eksaserbasi asma merupakan suatu serangan asma yang ditandai terdapatnya satu atau lebih dari penggunaan aktivitas otot asesoris, pulsus paradoksus > 25 mmHg, denyut jantung > 100 x/menit, laju nafas > 25-30 x/menit, keterbatasan kemampuan berbicara, peak expiratory (PEF) atau forced expiratory volume in 1 second (FEV1) < 50% predicted dan saturasi oksigen arteri 90-92%. Menilai beratnya derajat eksaserbasi penting untuk penanganan dan kewaspadaan kita dalam mengelola pasien. Life threatening asthma merupakan eksaserbasi asma yang memburuk menjadi gagal nafas meskipun sudah mendapatkan terapi medis agresif dan memerlukan terapi berkesinambungan untuk menanggulangi serangan akut tersebut. Dikenal secara umum dua subtype life threatening asthma (table 1), tipe 1 slow-onset dengan perburukan klinis secara gradual, pada individu yang kronis dan control asma yang buruk, dan tipe 2 rapid-onset cenderung lebih bahaya dan sering dengan penyempitan saluran nafas tiba tiba.4,5 Table 1. Subtipe life-threatening asthma Slow onset Rapid onset Frekuensi 80 – 85% < 20% Triggers Infeksi saluran nafas Paparan Allergen Bahan Iritan / bau inhalasi Olah raga, stres emosi Denpasar, 30 Januari 2016 77 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Aspirin, NSAIDs Gejala > 12 jam dan beberapa 1–3 2–6 jam dari onset gejala minggu Patologi Inflamasi eosinophilic Tidak ada eosinophilia atau mucus plugs Obstruksi saluran nafas oleh Neutrophil predominant karena edema dan secretion Obstruction saluran nafas (mucus dan sel epithelial karena spasme otot polos desquamation) Pemulihan Lambat Cepat NSAID : non-steroidal anti –inflammatory asthma Plaza dkk, menemukan bahwa 20 % pasien fatal atau near-fatal asma terjadi dalam jangka waktu < 2 jam dari onset. Dengan profil trigger factor, perjalanan klinis yang lebih sering dan lebih cepat memerlukan mekanikal ventilator dan prognosis yang lebih buruk, berspekulasi bahwa rapid onset asma fatal mempunyai pathogenesis yang spesifik dan dengan demikian memerlukan penanganan yang berbeda dibanding slow onset asma fatal. Komplikasi yang pneumothorax/pneumomediastinum, sering aritmia ditemukan jantung, adalah pneumonia, atelektasis, myopathy, sepsis.6 78 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Faktor risiko Faktor risiko utama yang berhubungan dengan life-threatening asthma meliputi status kontrol yang buruk dengan manifestasi seperti memerlukan 2 atau lebih canister beta 2 agonis dalam sebulan, ketergantungan kortikosteroid sistemik, riwayat pengobatan dan memeriksakan diri tak teratur, menyangkal terjadinya perburukan kondisi asmanya. Riwayat asma eksaserbasi yang hampir fatal, pernah masuk icu, penurunan kesadaran atau kejang saat eksaserbasi.1,3 Pathophysiology Sangat terhambatnya aliran udara (airflow limitation) akibat penyempitan saluran nafas merupakan kunci penyebab gangguan pada asma eksaserbasi. Penyempitan saluran nafas atau obstruksi terjadi terutama pada cabang menengah dan kecil saluran nafas, disebabkan bronchial hyper-responsiveness dan yang terpenting edema akibat inflamasi saluran nafas dan meningkatnya produksi mukus. Studi terbaru menemukan bahwa proses tersebut terjadi secara tidak homogen diseluruh paru.5,7 Inspirasi awalnya tidak terganggu tetapi terjadi penurunan kemampuan pengosongan paru, diperlukan usaha untuk mengeluarkan udara ekspirasi sehingga ekspirasi menjadi proses yang aktif. Obstruksi aliran udara ekspirasi menyebabkan tidak tuntasnya mengeluarkan seluruh udara saat ekspirasi, namun sudah disusul dengan masuknya volume udara inspirasi menyebabkan terperangkapnya sebagian udara (air trapping) saat Denpasar, 30 Januari 2016 79 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA ekspirasi, yang menyebabkan meningkatnya functional residual capacity (FRC), bahkan dapat sampai mencapai volume total lung capacity (TLC). Udara yang terperangkap di paru akan menambah tekanan saat akhir ekspirasi (auto-PEEP atau intrinsic PEEP) diatas PEEP yang seharusnya, yang akan menyebabkan dynamic hyperinflation (gambar 1). Akibat PEEPi atau autoPEEP, akan semakin memperberat usaha nafas (work of breathing) yang diperlukan untuk dapat memulai aliran udara inspirasi spontan, jika hal ini berlanjut mengakibatkan kelelahan otot nafas dan akhirnya respiratory arrest. Faktor yang sangat berperan dalam terjadinya air trapping adalah volume tidal, expirasi flow limitation, dan expiratory resistance. Auto-PEEP, intrinsic PEEP (PEEPi) atau dynamic hyperinflation merupakan istilah yang sering digunakan secara bergantian. Dynamic hyperinflation didefinikan sebagai kegagalan paru untuk kembali ke volume saat relaksasi atau functional residual capacity (FRC) saat akhir ekhalasi.7,8,9 Gambar 1. Mekanisme auto PEEP. a. Obstruksi aliran udara respirasi menyebabkan melambannya ekspirasi dan air trapping di alveoli saat ekspirasi. B. Meningkatnya frekuensi respirasi akan memperpendek waktu 80 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA ekspirasi. c.Usaha ekspirasi yang besar meningkatkan tekanan pleura dan akan menekan saluran nafas yang kecil. Tergantung dari beratnya eksaserbasi terjadi hipoksemia biasanya ringan sampai sedang akibat dari ventilasi/perfusion (V/Q) mismatch. Jika hipoksemia berat pikirkan kemungkinan adanya pneumonia dan komplikasi pneumothorak. Tekanan inspirasi yang tinggi akibat obstruksi saluran nafas akan mempermudah pneumomediastinum. terjadinya Dynamic barotrauma, pneumothorak hyperinflation dan air atau trapping menyebabkan suatu kondisi krusial dalam perannya mengganggu fungsi kardiovaskuler, menurunkan venous return sistemik, Pengisian ventrikel kanan yang cepat, pergeseran septum interventrikel kearah ventrikel kiri, dapat menyebabkan disfungsi diastolik ventrikel kiri dan pengisian yang tidak komplit. Tekanan intratorak yang sangat negatif terbentuk saat inspirasi meningkatkan afterload ventrikel kiri sehubungan penurunan pengosongan sistolik. Tekanan arteri pulmonal meningkat akibat hiperinflasi paru, akan meningkatkan afterload ventrikel kanan. Akibat selanjutnya akan menurunkan cardiac output (CO).3,5,7 Analisa Gas Darah Analisa gas darah (AGD) tidak rutin dikerjakan, namun pada pasien dengan PEF atau FEV1 < 50% predicted penting dikerjakan dalam mengelola serangan asma akut berat, tetapi tidak dapat memprediksi outcome. Saat awal serangan biasanya menampakkan hipoksemia ringan Denpasar, 30 Januari 2016 81 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sampai sedang, hipokapnia dan alkalosis respirasi. Jika sudah terjadi beberapa hari akan terlihat kompensasi sekresi bikarbonat ginjal. Perburukan obstruksi jalan nafas PaCO2 tampak kembali normal dan kemudian meningkat karena pasien kepayahan, tidak adekuatnya ventilasi alveolar dan atau meningkatnya ruang rugi fisiologis. Asidosis respirasi pada pasien hiperkapnik yang mengalami perburukan cepat dan pada yang berat, penyakit fase lanjut, asidosis (laktik) metabolik dapat menyertai kondisi tersebut. AGD akan bermaanfaat pada pasien yang mengalami perburukan selama penanganan asma atau refrakter terhadap terapi. Gambaran AGD yang mengarah memerlukan intubasi yaitu pH < 7.2, PaCO2 > 55 - 70 mm Hg, PaO2 < 60 mmHg pada 100% oksigen melalui sungkup muka. Laju respirasi > 40 x/menit, silent chest, barotrauma atau asidosis laktat yang sulit ditangani merupakan indikasi tambahan. Nilai PaC)2 < 60 mmHg (8kPa) dan normal atau peningkatan PaCO2 (terutama >45 mmHg, 6 kPa) mengindikasikan gagal nafas.10,11 Prinsip managemen eksaserbasi berat dan life-threatening asthma Initial management Suatu penilaian menyeluruh sesuai kegawatdaruratan diawali dengan menilai secara cepat kondisi ABC (airway, breathing, circulation) sekaligus melakukan penanganan segera. Pasien umumnya akan mengalami hipoksemia, hipovolumia, asidosis dan hypokalemia. Semua pasien diberikan suplementasi oksigen untuk mencapai saturasi oksigen lebihdari 90%. Oksigen saturasi dimonitor secara ketat dengan pulse 82 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA oxymetry. Melakukan penilaian beratnya eksaserbasi dengan baik, mencari tanda life-threatening asthma (seperti perubahan status mental, pergerakan dada atau abdomen yang paradoksical, melemahnya atau hilangnya wheezing), dan anamnesis singkat tentang faktor risiko, pemeriksaan klinis baik gejala dan tanda fisik dan pengukuran obyektif fungsi paru PEF dan FEV1, saturasi oksigen, fungsi jantung. Pemeriksaan foto thorak dan analisa gas darah tidak rutin dilakukan, sebaiknya dilakukan jika PEF 30-50% predicted, tidak respon terhadap terapi awal atau mengalami perburukan.1 Memantau pasien secara ketat diruang intensif terutama untuk pasien yang terancam gagal nafas, dan menilai perkembangan kondisi pasien, penyulit yang ada dan respon pengobatan dan efek samping yang timbul. Terapi farmakologis Terapi obat asma seperti di ruang emergensi meliputi terutama inhalasi bronkodilator β2agonis, kortikosteroid sistemik, dan magnesium sulfat diberikan secara optimal.11,12 Penggunaan kombinaasi salbutamol, ipratropium bromide dosis tinggi pada pasien sangat direkomendasi. Penggunaan magnesium sulfat cukup aman, tidak mahal dan memberi manfaat pada eksaserbasi berat. Dosis tunggal intra vena magnesium sulphate 1.2–2 gr dalam 20 menit diketahui aman dan efektif pada asma akut . Magnesium adalah suatu smooth muscle relaxant, mengakibatkan bronkodilatasi. Pemberian cepat dpat mengakibatkan hipotensi. Pengulangan dosis bermanfaat namun hipermagnesia akan menyebabkan Denpasar, 30 Januari 2016 83 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kelemahan otot dan dapat memperberat gagal nafas pada pasien bernafas spontan. Pemberian secara subcutan (sc) epinephrine atau terbutalin dipertimbangkan jika tidak memberi respon adekuat dengan nebulizer, dan pada pasien yang tidak kooperatif (depresi status mental, apneu, coma). Epinephrine diberikan sc 0.3–0.4ml (1:1000) setiap 20 menit untuk 3 dosis. Juga dapat diberikan melalui ETT. Terbutalin dapat diberikan sc dengan dosis 0,25 mg, dengan cara sc terbutalin kehilangan β-selectivity dan tidak lebih baikk dari epinephrine. Terbutalin sebaiknya lebih dipilih hanya pada kehamilan karena aman diberikan.12 Bronchodilator intravena Pemberian β2 agonis parenteral dipertimbangkan pada pasien dengan MV dan life-threatening asthma. Salbutamol iv (5–20 µg/menit) atau terbutaline (0.05-0,10 µg/kg/menit) dan dititrasi sesuai respon klinis. Dalam kondisi ektrim, salbutamol 100–300 µg dapat diberikan sebagai bolus iv atau melalui ETT. Obat alternatif lain adalah aminophylline. Dengan dosis 5 mg/kg dalam 20 menit dilanjutkan infus 0.5– 0.75 mg/kg/menit). Kekurangan sekaligus kontroversi penggunaannya sehubungan efek samping aritmia, muntuh, restlessness dan konvulsi dan sempitnya dosis terapi. Konsentrasi aminophylline sebaiknya dimonitor (rentang terapi 10-20 µg/ml). Pada kondisi ekstrim epinephrine dapat diberikan iv dengan dosis 0.2–1 mg bolus diikuti 1–20 µg/menit).10,12 84 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Non-invasive Ventilator Keberhasilan NIV masih kontroversial. NIV terkadang dipakai untuk bantuan sesaat sebelum intubasi dan MV. Dengan mode continuous positive airway pressure (CPAP) melalui sungkup muka akan menurunkan WOB, menurunkan laju respirasi dan sesak tanpa mengurangi efek pertukaran gas, aliran udara ekspirasi, atau hemodinamik. Dengan jumlah penelitian yang relative kecil NIV mampu menurunkan kebutuhan intubasi pasien. Mode yang lain seperti bi-level positive airway pressure (BiPAP), membatasi tekanan inspirasi tak lebih 20 cmH2O, fraksi O2 dititrasi untuk mencapai saturasi oksigen ≥ 90%.7-10 Tabel 2. Keuntungan dan keterbatasan NIV pada asma Keuntungan Keterbatasan Menurunkan hambatan aliran udara Memerlukan koopratif pasien Mengurangi tekanan transdiaphragmatic Dapat mengurang kemampuan untuk membersihkan dahak dan pemberian obat Re-expands atelectasis Tidak memerlukan pengontrolan saluran nafas Memperbaiki rasa nyaman dan bantuan WOB Dapat menyebabkan distensi gaster dan meningkatkan risiko aspirasi Meningkatkan perasaan susah nafas, claustrophobic Denpasar, 30 Januari 2016 85 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Intubasi Pasien dengan perubahan status mental, kepayahan atau hipercapnia dipertimbangkan memerlukan diintubasi segera pemasangan ETT dan bantuan mekanikal ventilator (MV). Penurunan kesadaran dan respiratory arrest menjadi kriteria absolut untuk melakukan intubasi segera. Indikasi relatif pada perburukan fungsi paru dan meningkatnya WOB, perubahan status mental. Pasien yang sering melepas masker oksigen dan mengatakan saya tak bisa bernafas merupakan indikasi intubasi. Metode intubasi yang dipilih adalah rapid sequence intubation (RSI) selain intubasi awake. Manipulasi jalan nafas akan dapat meningkatkan airway responsiveness dan dapat memperburuk obstruksi jalan nafas. Target intubasi adalah mencegah lebih lanjut peningkatan perburukan hiperinflasi paru. Waspadai akan terjadinya hipotensi dan barotrauma akibat tindakan intubasi dan mekanikal ventilasi.7,9,10 Mekanikal Ventilasi (MV) Tujuan awal MV untuk memperbaiki hipoksia dengan FiO2 tinggi tanpa memaksakan untuk segera mengembalikan ventilasi alveolar normal. Juga penting untuk membersihkan secret dan pemberian bronkodilator selama MV. Koreksi hiperkapnia dapat dicapai berikutnya setelah obstruksi bronkial membaik, distribusi ventilasi-perfusi membaik. Konsep dasar dari lung protective ventilation strategy pada asma, menurunkan WOB, memberi oksigenasi adekuat dan ventilasi yang cukup, menghindarkan komplikasi sehubungan intubasi dan MV.7,10,12 86 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Suatu strategi yang biasa dilakukan mentoleransi level PCO2 lebih tinggi (atau pH darah rendah) melalui hipoventilasi untuk meminimalkan kerusakan paru yang dipicu oleh MV tekanan positif (“permissive hypercapnia”) banyak diterima dan dapat menurunkan mortalitas. Tujuan MV yang jauh lebih penting mencegah perburukan hiperinflasi, memberikan kesempatan paru melakukan ekspirasi, dan membatasi tekanan alveolar untuk mencegah barotrauma dan kolap sirkulasi akibat dari penurunan aliran darah vena.7,9,10,12 PaCO2 sampai 90 mmHg atau pH ≥ 7,2 secara umum ditoleransi baik dan tanpa membikin kecacatan jangka panjang asalkan oksigenasi adekuat tercapai. Mode ventilasi mekanik dan penggunaan sedatif yang dalam dengan atau tanpa pelumpuh otot untuk tercapainya lung protective ventilation strategy akan sangat membantu namun penting untuk mengendalikan pengaruhnya terhadap hemodinamik pasien. FiO2 dititrasi untuk mencapai SO2 setidaknya 88%, mengatur laju respirasi 8-16 x permenit dengan volume tidal 6-8 ml/kg predicted body weight, hindarkan plateau pressure (Pplat) jangan lebih 35 cmH2O. Peak inspiratory flow tinggi (dan inspiratory time pendek) sebaiknya digunakan untuk mendapatkan expiratory time yang maksimal. Penggunaan PEEP kontroversial. Pada pasien dengan mode ventilasi terkontrol pasien tersedasi dan dilumpuhkan aplikasikan zero endexpiratory pressure (ZEEP) untuk mendapatkan ekhalasi maksimum dan meminimalkan overdistention. Jika pasien bernafas spontan, PEEP diseting untuk mengkompensasi PEEPi dan memungkinkan mentriger ventilasi secara adekuat (mendekati 80% dari auto PEEP). Denpasar, 30 Januari 2016 87 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tabel 3 . Setingan awal ventilator Laju respirasi rendah (8-16 x/menit) Tidal volume kecil 6-8 ml/kg predicted body weight Plateu pressure < 30 cmH2O Peak inspiratory flow tinggi (70-100 l/menit) Expiratory time diperpanjang (inspiratory:expiratory ratio 1:3 – 1:4 PEEP untuk kompensasi PEEPi jika pasien bernafas spontan (80% dari autoPEEP) ZEEP jika pasien tersedasi, paralisis dan pada pemakaian MV untuk memaksimalkan ekhalasi FiO2 untuk mencapai SO2 ≥ 88% Barotrauma akan meningkatkan morbiditas mortalitas. Barotrauma dihubungkan dengan tekanan yang tinggi di jalan nafas, PEEP, dan tidal volume meskipun masih kontroversial. Analgesia, Sedasi, paralisis dan anestesi inhalasi12 Opiat dan kususnya fentanyl obat pilihan untuk menekan respiratory drive. Morphine dapat menyebabkan hipotensi dan mungkin memperburuk bronkokonstriksi akibat pengeluaran histamine. Sedasi yang efektif akan meningkatkan kenyamanan pasien, menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan produksi CO2, dan 88 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA memudahkan sinkronisasi pasien dengan MV, menghindarkan self extubating, trigger autoPEEP karena laju respirasi tinggi. Propofol suatu hipnotik potensial dengan mulai kerja yang cepat dan waktu paruh pendek, menekan respiratory drive dan mempunyai efek bronkodilator namun dengan efek hipotensi. Lebih dipilih untuk intubasi yang tidak lama. Benzodiazepine (midazolam dan lorazepam) banyak digunakan untuk sedasi MV dengan efek supresi nafas sedikit dan tanpa bronkodilatasi. Ketamine suatu obat anestesi iv dengan efek sedasi, analgesi, dan bronkodilatasi. Secara tak langsung memicu pengeluaran katekolamin dan pada dosis sampai 2 mg/kg akan menyebabkan beonkodilatasi. Obat ini baik digunakan sebagai bahan induksi dan intubasi pada bronkospasme berat. Kontraindikasinya ischemic heart disease, hipertensi berat, preeklamsi, dan tekanan intracranial yang meningkat. Efeksamping meliputi halusinasi, sekresi meningkat, dan kadang kadang laryngospasm. Bahan anestesi inhalasi (halothane, isoflurane dan enflurane) terkadang digunakan. Terapi medis sebaiknya dimaksimalkan sebelum menghentikan obat anestesi inhalasi. Neuromuscular blocking agent selama MV akan menurunkan risiko barotrauma, mencegah batuk dan ketidaksinkronan pernafasan dan mengistirahatkan otot nafas. Cisatracurium pilihan yang baik untuk itu karena bebas efek kardiovasculer, tidak melepas histamine dan kleren hati dan ginjal tidak terpengaruhi. Obat paralisis dapat menyebabkan miopati terutama jika bersama kortikosteroid. Obat paralisis setelah intubasi hanya direkomendasi pada pasien yang tidak tercapai relaksasi adekuat denga Denpasar, 30 Januari 2016 89 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sedasi dalam. Jika memungkinkan neurobloking agent dibatasi penggunaannya kurang dari 24 jam. Heliox Helium adalah suatu low-density inert gas yang dapat menurunkan resistensi jalan nafas dan menurunkan kerja respurasi. Heliox suatu campuran 80:20 helium dan oksigen dapat dipetimbangkan pada pasien dengan respirasi asidosis yang gagal denga terapi konventional. Ringkasan Meskipun sebagian besar pasien asma dapat tertangani, ada sebagian kecil pasien tidak membaik atau memburuk dengan terapi yang diberikan memerlukan perawatan terapi intensif. Dengan memahami terjadinya dynamic hyperinflation dan akibatnya terhadap respirasi dan fungsi kardiovaskuler akan memungkinkan melakukan penanganan lanjut seperti melakukan intubasi dan pemasangan endotracheal tube dan pemasangan mekanikal ventilator dengan mengaplikasikan lung protective strategy dan menopang fungsi respirasi dan hemodinamik, memonitoring dan mewaspadai efek samping tindakan dan pengobatan, sambil mengoptimalkan terapi farmakologis mengatasi obstruksi jalan nafas. Daftar Pustaka 1. Lazarus SC. Emergency Treatment of Asthma. N Engl J Med 2010;363:755-64. 2. Gupta D, Keogh B, Chung KF, Jon G Ayres JG, Harrison DA, Goldfrad C, Brady AR, Rowan K. Characteristics and outcome for admissions 90 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA to adult, general critical care units with acute severe asthma: a secondary analysis of the ICNARC. Critical Care 2004, 8:R112-R12 3. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. Clinical review: Severe asthma. Critical Care 2002, 6:30-44 4. Picado C. Classification of severe asthma exacerbations: a proposal. Eur Respir J 1996;9(9):1775-1778 5. Lugogo NL, MacIntyre NR. Life-Threatening Asthma: Pathophysiology and Management. Respir Care 2008;53(6):726– 735. 6. Plaza V, Serrano J, Picado C, Sanchis J, on behalf of the High Risk Asthma Research Group. Frequency and clinical characteristics of rapid-onset fatal and near-fatal asthma. Eur Respir J 2002; 19: 846– 852 7. Mart´ınez HQ, Ferguson ND. Life-threatening Asthma: Focus on Lung Protection. In: Vincent JL eds. Yearbook of intensive care and emergency medicine 2009; Springer :Wurzburg p 372 -82 8. Leatherman JW, Ravenscraft SA: Low measured auto-positive endexpiratory pressure during mechanical ventilation of patients with severe asthma: hidden auto-positive end-expiratory pressure. Crit Care Med 1996, 24:541-546 9. Stather DR, Stewart TE. Clinical review: Mechanical ventilation in severe asthma. Critical Care 2005, 9:581-587 Denpasar, 30 Januari 2016 91 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 10. Brenner B, Corbridge T, Kazzi A. Intubation and Mechanical Ventilation of the Asthmatic Patient in Respiratory Failure. Proc Am Thorac Soc Vol 6. pp 371–379, 2009 11. GINA. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma Management And Prevention. 2014 12. Stanley D, Tunnicliffe W. Management of life-threatening asthma in adults. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain 2008, 8 Number 3 92 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tatalaksana Asma Jangka Panjang IGN Bagus Artana Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan banyak sel dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi kronik ini berhubungan dengan hiper-responsivitas jalan nafas yang mengakibatkan episode berulang dari mengi, sesak, perasaan berat di dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau dini hari. Episode serangan akut ini biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara pada paru yang reversible. Manifestasi klinis asma ini dapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Pada kondisi terkontrol, maka pasien asma tidak akan mengalami serangan dan eksaserbasi, sehingga mampu beraktivitas secara normal.1 Asma merupakan masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar 300 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Asma dapat diderita oleh semua ras umat manusia di dunia dari berbagai kelompok umur dan jenis kelamin. Angka prevalensi asma sangat bervariasi di seluruh dunia. Secara umum, prevalensi asma berkisar antara 1 – 18% pada berbagai populasi di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 15 juta disability-adjusted life years (DALYs) hilang akibat asma, atau sekitar 1% dari beban seluruh Denpasar, 30 Januari 2016 93 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA penyakit secara global (global disease burden) dengan angka mortalitas sebesar 250.000.1,2 Asma berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran udara akibat rangsangan langsung atau tidak langsung, serta berhubungan dengan inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan, walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan fungsi paru normal. Kondisi hiperresponsivitas dan inflamasi jalan nafas ini dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai. Kedua hal ini hingga saat ini masih menjadi inti penatalaksanaan asma jangka panjang menurut GINA 2015.3 Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular. Apabila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2013 yang berjumlah lebih dari 248 juta jiwa, maka jumlah pasien asma di Indonsia lebih dari 11 juta jiwa.4 Angka tersebut merupakan jumlah yang sangat banyak untuk ditangani oleh dokter, khususnya spesialis terkait yang kebanyakan terdistribusi di kota-kota besar. Selain diagnosis yang tepat, penatalaksanaan asma yang terstandar juga sangat diperlukan dalam mencapai asma terkontrol. Berikut ini akan disampaikan prinsip-prinsip penatalaksanaan asma jangka panjang. Penatalaksanaan Asma Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang adalah 1). untuk mencapai asma dengan status gejala yang terkontrol dan mempertahankan 94 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA tingkat aktivitas pasien tetap normal disertai dengan 2). meminimalisasi risiko eksaserbasi di masa yang akan datang, risiko menderita hambatan aliran udara menetap, serta risiko mengalami efek samping pengobatan. Kedua tujuan penatalaksaan tersebut penting untuk dikomunikasikan dengan pasien untuk meningkatkan keberhasilan. Faktor risiko independen yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya eksaserbasi antara lain gejala asma yang tidak terkontrol, penggunaan β2 agonis kerja cepat (short-acting β2 agonist/SABA) dosis tinggi (>200 dosiskanister sebulan), penggunaan inhalasi kontikosteroid (inhaled corticosteroid/ICS) yang tidak adekuat dari segi kepatuhan atau teknik penggunaan inhaler, FEV1 rendah (<60% prediksi), masalah psikologis dan sosio-ekonomi mayor, pajanan rokok atau allergen, faktor komorbid (obesitas, rhino-sinusitis, alergi makanan), eosinophilia (sputum atau darah), kehamilan. Faktor utama lain yang meningkatkan risiko eksaserbasi adalah riwayat intubasi atau dirawat di ruang intensif akibat asma serta riwayat eksaserbasi berat ≥ sekali setahun. Faktor risisko mendapatkan hambatan aliran udara menetap adalah terapi tanpa ICS, pajanan yang menetap (asap rokok, bahan kimia dan pajanan dari tempat kerja), FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mukus kronik, eosinophilia sputum atau darah.1 Konsensus GINA 2015 lebih menekankan lagi konsep manajemen asma berbasis control (The control-based asthma management) dengan alur lingkaran seperti pada Gambar 1. Dengan prinsip manajemen ini, penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis terus menerus Denpasar, 30 Januari 2016 95 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA disesuaikan dalam suatu siklus yang melibatkan aspek asesmen, terapi, serta review respons terhadap terapi. Beberapa strategi alternatif lain untuk menyesuaikan terapi yang dapat dipilih terutama pada kasus asma yang sulit ditangani antara lain dengan prinsip Sputum-guided treatment serta Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO).1,5,6 Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi menjadi tiga kategori umum, yaitu kontroler (controller medication), pelega (reliever medication), serta terapi tambahan (add-on therapy) untuk pasien asma berat. Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi jalan nafas, mengontrol gejala, dan mengurangi risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru dimasa depan. Pelega diberikan untuk meredakan gejala terutama saat serangan asma dialami oleh pasien. Add-on therapy dipertimbangkan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau tambahan pada terapi pelega saat terjadi serangan, contohnya terapi untuk menangani faktor risiko serangan asma.1,7 96 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Gambar 1. The control-based asthma management cycle1 Pemberian terapi kontroler inisial harian yang regular sebaiknya mulai diberikan segera setelah diagnosis dan asesmen pasien asma ditegakkan untuk memberikan outcome terbaik. Pendekatan terapi farmakologis yang digunakan memakai prinsip stepwise approach (pendekatan bertingkat). Setelah terapi awal diberikan, manajemen menggunakan metode siklus the control-based asthma management cycle seperti yang telah dijelaskan di atas. Kontroler disesuaikan naik atau turun setiap dua sampai tiga bulan berdasarkan tingkatan (step) yang dibutuhkan pasien (Gambar 2). Bila respons terapi tidak optimal setelah pemberian terapi 2-3 bulan, maka dokter harus melakukan review, menilai, serta memperbaiki faktor-faktor yang menghambat pencapaian target terapi pasien sebelum meningkatkan step terapi. Beberapa faktor yang dikaitkan dengan tidak adekuatnya respons terapi pasien antara lain teknik inhaler Denpasar, 30 Januari 2016 97 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang kurang tepat, buruknya kepatuhan, pajanan polutan yang persisten, komorbid yang belum diidentifikasi, atau diagnosisnya bukan asma.1 Gambar 2. Stepwise approach untuk mengontrol gejala dan meminimalisasi risiko1 Selain penatalaksanaan farmakologis, pendekatan non-farmakologis juga sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan manajemen asma jangka panjang. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain henti rokok dan melindungi pasien dari efek ETS (environment Tobacco Smoke) serta menghindari pajanan polutan dan gas berbahaya dari lingkungan maupun allergen atau polutan indoor. Pasien juga diupayakan tetap aktif melakukan aktivitas fisik untuk memperbaiki kebugaran kardiopulmonal 98 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA (hati-hati pada pasien asma yang dicetuskan latihan/exercise induced asthma). Hal lain yang sifatnya membantu antara lain latihan pernafasan, diet dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, mengendalikan emosi, serta menghindari konsumsi obat-obat lain yang dapat memperburuk asma (misalnya pada kasus asma dan alergi obat). Beberapa tidakan medis seperti bronchial thermoplasty, immunoterapi, serta vaksinasi dapat dipertimbangkan sesuai dengan kasus yang dihadapi.1,8 Serangan asma merupakan hal yang sangat penting dalam tatalaksana asma jangka panjang. Pasien yang masih mengalami serangan walaupun sudah mendapat terapi maksimal (step 5) merupakan masalah tersendiri dalam tatalaksana asma. Dalam tatalaksana asma jangka panjang, dikenal istilah modifiable risk factors yang sering terlewat pada tatalaksana pasien. Dengan mengendalikan faktor-faktor risiko tersebut, banyak pasien asma yang awalnya sulit dikontrol menjadi terkontrol. (Tabel 1) Sebagian besar kasus asma seharusnya dapat ditangani pada fasilitas kesehatan primer. Klinisi terutama yang bertugas pada fasilitas kesehatan primer diharapkan mampu memilah dan memutuskan kapan suatu kasus asma dirujuk. Beberapa kasus di bawah ini sebaiknya dirujuk untuk memberikan penanganan yang tepat dan adekuat :1 Kasus kecurigaan asma yang sulit ditegakkan diagnosisnya setelah mengikuti skema diagnosis di atas, sebaiknya dirujuk untuk ditelusuri lebih mendalam dengan berbagai penunjang diagnosis yang lebih maju. Denpasar, 30 Januari 2016 99 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Kasus yang memiliki karakteristik asma dan PPOK (Asthma-COPD Overlap Syndrome/ACOS). Kasus asma kerja Pasien asma yang tetap tidak terkontrol setelah terapi step 4 adekuat. Atau pasien dengan serangan asma berulang Pasien dengan riwayat near-fatal asthma attack (riwayat perawatan ICU atau intubasi) dan anafilaksis Pasien dengan efek samping terapi atau memerlukan terapi kortikosteroid sistemik jangka panjang Pasien dengan komplikasi atau sub-tipe asma, misalnya aspirinexacerbated respiratory disease atau allergic bronchopulmonary aspergillosis. Serta asma pada berbagai populasi khusus dan kondisi komorbid. Tabel 1. Strategi mengendalikan modifiable risk factors untuk mengurangi serangan asma1 Faktor Risiko Strategi Tatalaksana Pasien dengan ≥1 risiko • Pastikan pasien mendapat terapi kontroler eksaserbasi berbasis ICS • Pastikan pasien memiliki action plan yang sesuai • Review kondisi pasien lebih sering • Cek teknik inhaler dan kepatuhan lebih sering 100 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA • Identifikasi faktor risiko lain ≥ 1 serangan • Cari kontroler alternative untuk mencegah berat/tahun serangan • Step up bila tidak ada faktor lain • Identifikasi pencetus serangan Pajanan asap rokok • Smoking cessation • Tingkatkan dosis ICS bila asma tidak terkontrol FEV1 rendah (terutama • Trial 3 bulan dengan ICS dosis besar atau bila kortikosteroid oral 2 <60% predicted) minggu • Singkirkan penyakit paru lain, misalnya PPOK • Rujuk bila tidak ada perbaikan Obesitas • Penurunan berat badan • Bedakan gejala asma dengan gejala akibat restriksi mekanik atau sleep apnea Masalah psikologis • Assesmen kesehatan mental berat • Bantu pasien membedakan gejala ansietas dan asma, beri advis tentang manajemen serangan panik Masalah sosio- • Pilihkan obat kontroler ICS-based paling cost- ekonomi berat effective Alergi makanan • Hindari makanan penyebab, epinephrine Denpasar, 30 Januari 2016 101 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA injeksi Pajanan alergen • Strategi menghindari pajanan • step up kontroler • Efikasi allergen immunotherapy pada asma masih terbatas Sputum eosinophilia • Tingkatkan dosis ICS tanpa memandang level kontrol gejalanya Ringkasan Asma merupakan penyakit yang dapat mengenai seluruh lapisan masyarakat. Asma di Indonesia masih menduduki peringkat pertama penyakit non-infeksi terbanyak. Asma membawa dampak yang besar dari segi medis, psiko-sosial, serta ekonomi. Klinisi pada berbagai fasilitas kesehatan diharapkan mampu melakukan manajemen asma yang tepat dan optimal sehingga menghindarkan pasien asma dari berbagai risiko outcome buruk baik akibat asmanya maupun efek samping obatnya. Daftar Pustaka 1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update). 2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int. Accessed: 15 October 2015. 102 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 3. Boulet LP, FitzGerald JM, Reddel HK. The revised 2014 GINA strategy report: opportunities for change. Curr Opin Pulm Med 2015;21:1-7. 4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS) 2013. 5. Petsky HL, Cates CJ, Lasserson TJ, et al. A systematic review and meta-analysis: tailoring asthma treatment on eosinophilic markers (exhaled nitric oxide or sputum eosinophils). Thorax 2012;67:199208. 6. Gibson PG. Using fractional exhaled nitric oxide to guide asthma therapy: design and methodological issues for ASthma TReatment ALgorithm studies. Clinical and experimental allergy. journal of the British Society for Allergy and Clinical Immunology 2009;39:478-90. 7. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP. International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines: diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J 2006;15:20-34. 8. Castro M, Rubin AS, Laviolette M, et al. Effectiveness and safety of bronchial thermoplasty in the treatment of severe asthma: a multicenter, randomized, double-blind, sham-controlled clinical trial. Am J Respir Crit Care Med 2010;181:116-24. Denpasar, 30 Januari 2016 103 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Difficult Asthma Putu Andrika Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Prevalensi asma semakin meningkat dekade terakhir. Diperkirakan 8,6% dewasa muda di dunia mengalami asma (1). Prevalensi asma yang tercatat di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 4,5% (2). Dengan kemajuan pengobatan asma sebagian besar pasien dapat mengendalikan atau mencapai status asma terkontrol. Ada sebagian kecil pasien meskipun sudah dengan pengobatan dengan dosis tinggi sebagian pasien sulit lepas dari serangan asma, tidak mencapai status asma terkontrol dan bahkan sering dengan ancaman kematian. Berkisar 5-10% dari penderita asma akan mengalami gejala yang persisten dan sering mengalami eksaserbasi (3,4,5,6,7). Kelompok ini sering dikatagorikan difficult asthma (4,6,7). Suatu kondisi dengan morbiditas, mortalitas dan disabilitas penderita, juga memerlukan biaya kesehatan yang tinggi bahkan menghabiskan 50% biaya keseluruhan asma, kualitas hidup yang buruk, dan sering dengan efek samping pengobatan (7,8,9). Sulitnya penatalaksanaan difficult asthma ini akan menjadi suatu tantangan bagi dokter, benarkah pasien termasuk difficul to manage asma atau suatu asma yang truly therapy resistant, bagaimana pendekatan 104 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dalam menangani pasien memerlukan pemahamam yang memadai tentang difficult asthma. Definisi Hingga saat ini definisi difficult asthma masih berbeda-beda, tidak ada konsensus khusus yang mendefinisikan difficult asthma. Difficult asthma dikenal sebagai penyakit asma dengan eksaserbasi berat, mengancam jiwa, memerlukan perawatan di rumah sakit yang sering, atau memerlukan terapi kortikosteroid kronik (4,10,11,12). Definisi ini kemudian mengalami perkembangan, difficult asthma memasukkan pula kondisi pasien dengan serangan asma yang tidak dapat dikontrol meskipun telah menggunakan terapi inhalasi dengan dosis maksimal (4,13). Berdasarkan atas definisi di atas, difficult asthma dikenal pula dengan istilah asma berat kronik, asma berat refrakter, asma yang sulit dikontrol (10,13,14). Pada tahun 1999, Europian Respiratory Society (ERS) Task Force menyebutkan bahwa difficult asthma atau therapy resistant asthma merupakan penyakit asma yang tidak dapat dikontrol, meskipun telah menggunakan terapi inhalasi kortikosteroid dosis tinggi dengan atau pun tanpa terapi kortikosteroid sistemik (15). Kemudian pada tahun 2000, American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan asma berat refrakter dengan pengertian yang sangat mirip dengan pengertian difficult asthma menurut ERS pada tahun 1999 (16). The European Network for Understanding Mechanisms of Severe Asthma pada tahun 2003 mendefinisikan asma berat sebagai penyakit asma yang telah terkonfirmasi Denpasar, 30 Januari 2016 105 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dengan kejadian eksaserbasi satu kali atau lebih dalam satu tahun terakhir, meskipun telah mendapatkan terapi kortikosteroid oral atau terapi inhalasi kortikosteroid dosis tinggi (5,11,17). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka difficult asthma memiliki makna yang berbeda dengan asma berat refrakter. Kondisi ini lebih diakibatkan karena faktor lain, seperti faktor lingkungan, adherence pengobatan, penyakit komorbiditas, kesalahan diagnosis, dan masalah psikososial (6,7,12,13). Sedangkan asma berat refrakter menurut Innovative Medicine Initiative sebagai kondisi yang sama dengan difficult asthma, namun faktor-faktor lain yang berperan pada difficult asthma telah dieksklusi terlebih dahulu (5,11,18). Difficult asthma merupakan kondisi asma dengan gejala persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah mendapatkan terapi tahap 4 atau 5 berdasarkan atas pedoman terapi Global Initiative For Asthma (GINA) (5,7,19). Dalam upaya pendekatan terhadap pasien difficul asthma, akan sangat membantu jika kita memecahkan permasalahan dengan menentukan apakah pasien termasuk salah satu dari difficult to manage asthma atau therapy resistant asthma. Penting hal ini dilakukan karena kandidat pendekatan terapi innovative yang tentunya sangat mahal akan bermanfaat banyak pada penderita yang termasuk therapy resistant asthma, sementara kelompok difficul to manage asthma belum tentu membutuhkannya. Terdapat berbagai factor penting yang memberikan kontribusi terhadap difficult to manage asthma, dan mungkin bukan hanya satu tapi 106 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA lebih dari beberapa factor berperan terhadap seorang pasien yang kita anggap difficult asthma. Faktor yang bekontribusi dapat dikelompokkan kedalam grup berikut: 1. Adverse environment. 2. Nonadherence. 3. Comorbidities. 4. Incorrect diagnosis. 5. Psychosocial problems. Lingkungan sangat potensial dalam perannya pada pengendalian difficult asthma, telusuri secara baik untuk mencari bahan allergen dan iritan di rumah ataupun ditempat kerja. Aeroallergens seperti house dust mites, domestic animals, dan environmental mold. Kurang atau tidak cukupnya adherence terhadap pengobatan yang dianjurkan termasuk akibat ketakutan akan efek samping. Evaluasi dan penting untuk menangani komorbid yang sering ditemukan yaitu penyakit alergi saluran nafas atas, GERD, obesitas, obstructive sleep apnea. Penting untuk memastikan diagnosis kerja kita apakah pasien memang asma atau mirip asma seperti COPD, empisema, defisiensi alfa 1 antitrypsin, bronkiektasis, cystic fibrosis atau aspergilosis bronkopulmonari. Amin dkk, melaporkan terdapat 33% misdiagnosis pada difficult asthma yang sesungguhnya akibat kelainan psikiatri (30%), COPD (25%), CHF (15%), ILD (11,5%), bronkiektasis (8,3%) (20). Diagnosis dan Pendekatan Klinis Penegakan diagnosis untuk difficult asthma tidaklah sulit. Diagnosis dapat ditegakkan apabila telah didapatkan kondisi asma yang memiliki gejala persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah Denpasar, 30 Januari 2016 107 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA mendapatkan terapi tahap 4 atau 5 berdasarkan pedoman penatalaksanaan asthma (5,7). Kesulitan pada difficult asthma adalah mengkaji faktor-faktor lain yang berperan sehingga mengakibatkan gejala asma yang persisten. Penilaian awal yang harus dilakukan pada difficult asthma adalah mengkaji kembali kebenaran diagnosis asma. Penilaian ini dapat dilakukan dengan mencari riwayat pasien sebelumnya dan melihat bukti-bukti obyektif yang mendukung diagnosis asma. Asma dicirikan dengan riwayat sesak nafas, mengik episodik yang berulang, dan/atau batuk (19). Gejalagejala ini umumnya muncul pada malam hari atau pada dini hari. Data obyektif yang harus dicari pada asma adalah adanya obstruksi saluran nafas yang reversibel (19). Data dapat diperoleh dengan melakukan uji spirometri. Sedangkan pada pasien tanpa adanya obstruksi saluran nafas, dapat dilakukan penilaian kadar nitric oxide ekshalasi dan bronchial challenge test (4,5,6,7,12). Pemeriksaan bronchial challenge test dapat dilakukan dengan menggunakan methacholine guna menilai hiperesponsif dari saluran nafas (4,6,7). Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan eosinophilia sputum dan eosinophil darah perifer. Kedua pemeriksaan ini jarang dikerjakan, namun dapat membantu untuk menegakkan diagnosis asthma (4,6,7). Diagnosis lain yang dapat menimbulkan gejala menyerupai asma perlu dipikirkan pada penatalaksanaan difficult asthma (4,6,7,12). Terdapat beberapa penyakit lain pula yang dapat memberikan manifestasi klinis berupa mengik, sehingga diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang lain 108 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA untuk menegakkan penyakit tersebut. Penyakit-penyakit tersebut antara lain adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), disfungsi pita suara (vocal cord dysfunction), penyakit-penyakit bronkiolus primer (bronkiolitis konstriktif), bronkiektasis, obstruksi saluran nafas atas, hiperventilasi, dan kelemahan neuromuscular (4,6,7,12,13). Faktor lingkungan pada difficult asthma harus dievaluasi dengan baik. Eksaserbasi atau pun gejala yang persisten dapat disebabkan oleh kurang baiknya menghindari paparan terhadap alergen yang dapat mencetuskan asma (6,21). Paparan terhadap asap rokok disebutkan berhubungan dengan resistensi terhadap pemberian terapi standar yang bertujuan untuk mengontrol gejala asma. Penelitian yang dilakukan oleh Kobayahi dkk, 2014 menunjukkan bahwa perokok pasif akan mengalami gangguan fungsi dari histone deacetylase-2 yang berperan terhadap resistensi steroid pada anak-anak dengan asthma (22). Penelitian lain di Skotlandia menunjukkan bahwa larangan merokok pada area umum yang ramai dengan anak-anak dapat menurunkan perawatan anak-anak di rumah sakit akibat asthma secara signifikan (23). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa alergen dapat menimbulkan komorbiditas rhinitis alergi dan mengakibatkan peningkatan risiko sebesar 4 kali lipat untuk mengalami serangan asthma berat (21). Adherence terhadap pengobatan merupakan salah satu faktor yang ikut berpengaruh dalam pengontrolan penyakit kronik, seperti asthma. Penelitian yang dipublikasikan oleh United Health Care Databases pada tahun 2005 menunjukkan bahwa pasien-pasien asma tidak menggunakan Denpasar, 30 Januari 2016 109 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA terapi yang sesuai dengan dosis yang dianjurkan (26). Hal ini menimbulkan kesulitan dalam mengontrol gejala asma yang timbul. Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa rendahnya tingkat adherence dalam pengobatan asma memiliki hubungan terhadap difficult asthma yang muncul (27,28). Masalah adherence ini biasanya muncul akibat ketakutan terhadap efek samping, merasa tidak memerlukan pengobatan saat tidak ada gejala, merasa pengobatan yang digunakan akan tidak efektif apabila digunakan terus-menerus, dan merasa bahwa penyakitnya tidak serius (27). Evaluasi komorbiditas yang ada pada pasien dengan difficult asthma dapat memberikan hasil yang baik terhadap terapi pada difficult asthma. Komorbiditas yang dapat muncul pada pasien difficult asthma adalah (6,7): a.Penyakit alergi pada saluran nafas atas, b. Gastroesophageal reflux disease (GERD), c. Obesitas, d. Obstructive sleep apnea. Penatalaksanaan difficult asthma Prinsip utama yang harus dipegang untuk penatalaksanaan difficult asthma adalah konfirmasi diagnosis asma dengan menyingkirkan diagnosis banding yang lain, juga faktor komorbid yang lain. Pencarian faktor risiko atau pemicu yang memperberat asma juga perlu dilakukan, seperti misalnya kunjungan ke rumah pasien. Kegagalan mencapai kontrol asma bersumber dari ketidakakuratan penilaian kontrol asma baik dari pasien ataupun dokter yang merawat, respon terapi yang berbeda-beda tiap pasien dan ketidaktaan pasien terhadap regimen yang diberikan. Obat difficult asthma yang disetujui oleh FDA adalah zileuton, 110 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA omalizumab, dan termoplasti bronkial (7,12,32). Zileuton merupakan inhibitor enzim intraseluler, 5-lipooksigenase, yang bersama-sama dengan 5- lipoxygenase activating protein mengkonversi asam arakidonat ke leukotriene dan memulai jalur sintesis leukotriene (3,32). Zileuton tidak hanya mengurangi produksi leukotrien cysteinyl (leukotrien C4, D4, dan E4) tetapi juga menghambat sintesis leukotrien B4, kemoatraktan neutrofil. Obat diberikan peroral sebagai tablet extended-release dengan dosis 1200 mg tiap 12 jam. Dalam sebuah penelitian double-blind, pasien yang mendapat zileuton memiliki peningkatan signifikan dalam fungsi paru-paru (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik, FEV1), dan nilai-nilai peak flow dibandingkan dengan plasebo (8,32). Efek lainnya adalah penurunan hiperaktivitas bronkus, tidak perlunya bronkodilator “rescue”, dan perbaikan gejala hidung. Pasien dengan asma yang sensitif aspirin cenderung memiliki tingkat produksi leukotrien basal yang tinggi dan merupakan kandidat yang cocok untuk jalur blokade leukotrien yang kuat (32). Zileuton umumnya ditoleransi dan memiliki risiko rendah untuk terjadinya efek samping.2%-4% mengalami hepatotoksisitas yang paling sering terjadi dalam 6 bulan pertama pengobatan (32). Hepatitis yang diinduksi obat ini reversibel dengan penghentian obat. Disarankan fungsi hati (serum aspartat aminotransferase dan alanine-aminotransferase) dipantau bulanan untuk 3 bulan pertama, dan kemudian setiap 2-3 bulan untuk sisa 1 tahun dan berkala sesudahnya. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal. Ia mengikat fragmen Fc dari IgE dan mengurangi konsentrasi sirkulasi IgE yang tidak terikat sebanyak 95% dan penurunan densitas molekul pada sel target yang signifikan Denpasar, 30 Januari 2016 111 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA (12,32). Omalizumab-IgE dibersihkan oleh sistem retikuloendotelial. Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap 2-4 minggu, dosis yang diberikan tergantung dari berat badan dan kadar IgE serum total sebelum terapi, 0,016 mg per kilogram dari berat badan pasien /tingkat IgE serum dalam satuan internasional per mililiter. Omalizumab telah disetujui untuk pasien berusia ≥ 12tahun yang memiliki kadar serum IgE dari 30-700 IU / mL dan memiliki satu atau lebih aeroallergen (3,32). Pada pasien asma yang telah menggunakan steroid dosis tinggi dan LABA dan mengalami setidaknya satu eksaserbasi yang memerlukan pengobatan steroid dalam 12 bulan sebelumnya, omalizumab menyebabkan penurunan yang signifikan dalam frekuensi eksaserbasi asma selama 48 minggu berikutnya (8,12). Omalizumab memungkinkan pasien untuk menghentikan penggunaan steroid sistemik, sehingga mengurangi risiko jangka panjang yang serius (32). Efek samping dari omalizumab sangatlah rendah, termasuk risiko terjadinya reaksi anafilaksis (32). Konsep dibalik termoplasti bronkial adalah diberikan energi termal secara endobronkial pada bronkus mayor yang akan mengganggu serat otot polos dan mengurangi hiperresponsif bronkus pada asma (32). Prosedur ini mengunakan kateter, bronkoskopi fiberoptik dan panas yang diberikan melalui permukaan mukosa sampai submukosa. Kontraindikasi terapi ini menurut AIR2 (Asthma Intervention Research), meliputi sumbatan aliran udara basal yang berat (prebrokodilator FEV1 ≤ 60% predicted); dosis steroid 10 mg prednison perhari atau lebih, rawat inap karena asma pada tahun sebelumnya, ≥3 kali infeksi saluran nafas bawah pada tahun sebeleumnya, sinusitis kronik dan 112 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA riwayat asma yang fatal (12,32). Terapi lain yang tidak disetujui FDA namun memiliki risiko rendah terjadinya toksisitas antara lain ultrahigh-dose inhaled steroids, bronkodilator kerja panjang alternatif, makrolid, dan suplemen vitamin D (32). Ultra HighDosis Inhalasi Steroid terdiri atas fluticasone 1000 mcg/hari atau yang setara (32). Dosis ini dapat dicapai dengan 1-2 kali pemakaian sehari. Kekhawatiran potensial dengan aplikasi jangka panjang ini antara lain efek samping lokal dan sistemik dosis tinggi tersebut, berupa atrofi laring dengan disfonia permanen, trakea atrofi dan risiko tracheomalacia (8,32). Penyerapan sistemik steroid inhalasi tergantung dosis dan dapat diprediksi konsekuensi dari dosis yang sangat tinggi. Efek samping steroid, termasuk katarak, cukup meningkat, juga tekanan intraokular dan glaukoma sudut terbuka (32). Bronkodilator antikolinergik jangka panjang, tiotropium, juga dapat digunakan sebagai alternatif terapi (7,8,32). Tiotropium memiliki beberapa efek samping seperti mulut kering, retensi urin pada orang dengan prostatism namun jarang. Mengingat efek samping yang menguntungkan uji coba tiotropium pada orang dengan difficult asthma tampaknya dibenarkan, meskipun terbatas informasi yang tersedia tentang penggunaannya pada asma. Alasan penggunaan antibiotik macrolide untuk mengobati asthma berat refrakter ada dua. Pertama, adalah mungkin bahwa mikroba intraseluler seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae dan penggunaan jangka panjang antibiotik macrolide telah terbukti efektif dalam pengobatan penyakit paru-paru radang neutrophilic seperti cystic fibrosis, panbronchiolitis, dan PPOK (32). Hingga saat ini, uji klinis antibiotik macrolide pada asma Denpasar, 30 Januari 2016 113 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sebagian besar berskala kecil dan berdurasi pendek. Rejimen pengobatan yang telah diusulkan, adalah penggunaan mingguan azitromisin selama 6 minggu (setelah dosis loading awal diberikan setiap hari selama 3 hari) dan administrasi sehari-hari klaritromisin selama 6 minggu (32). Tingkat vitamin D berhubungan dengan kontrol asma lebih buruk; anakanak dari ibu dengan asupan makanan vitamin D rendah selama kehamilan lebih mungkin untuk mengembangkan asma. Anak yang rendah kadar vitamin D nya cenderung memiliki eksaserbasi asma lebih sering (32). Namun tidak ada studi yang menunjukkan bahwa mengobati orang dengan kadar vitamin D rendah meringankan asma. Dosis vitamin D yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan fungsi kekebalan tubuh di asma tidak diketahui (32). Kesimpulan Difficult asthma merupakan penyakit asma dengan gejala yang persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah mendapatkan terapi yang intensif. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan, nonadherence, penyakit komorbid, kesalahan diagnosis, dan permasalahan psikososial. Penatalaksanaan difficult asthma harus dilakukan secara sistematik dengan mengkaji terlebih dahulu kemungkinan diagnosis lain selain asma, menilai penyakit komorbid yang turut berperan. dan mengevaluasi adherence penggunaan terapi yang telah diberikan. 114 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Daftar Pustaka 1. Global Asthma Network. The global asthma report. 2014. Diunduh dari www.globalasthmanetwork.org 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar. 2013. Diunduh dari www.depkes.go.id 3. Chung KF, Wenzel SE, Brozek JL, Bush A, Castro M, Sterk PJ, et al. International ERS/ATS guidelines on definition, evaluation and treatment of severe asthma. Eur Respir J 2014;43:343-373 4. Strek ME. Difficult asthma. Proc Am Thorac Soc 2006;3:116-123 5. Bel EH, Sousa A, Fleming L, Bush A, Chung KF, Versel J,et al. Diagnosis and definition of severe refractory asthma: an international consensus statement from the Innovative Medicine Inititive (IMI). Thorax 2011;66:910-917 6. Long AA, Fanta CH. Difficult asthma: assessment and management, part 1. Allergy Asthma Proc 2012;33:305-312 7. Currie GP, Doglas JG, Heaney LG. Difficult to treat asthma in adults. BMJ 2009;338:593-597 8. Campbell JD, Borish L, Haselkorn T, Rasouliyan L, Lee JH, Wenzel SE, et al. The response to combination therapy treatment regimens in severe/ difficult-to-treat asthma. Eur Respir J 2008;32: 1237-1242. 9. Schatz M, Hsu JW, Zeiger RS, Chen W, Dorenbaum A, Chipps B, et al. Phenotypes determined by cluster analysis in severe or difficult-totreat asthma. J Alllergy Clin Immunol 2014;133(6) Denpasar, 30 Januari 2016 115 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 10. Robinson DS, Campbell DA, Durham SR, Pfeffer J, Barnes PJ, Chung KF, et al. Systematic assessment of difficult-to-treat asthma. Eur Respir J 2003;22:478-483 11. Wener RR, Bel EH. Severe refractory asthma: an update. Eur Respir Rev 2013;22:227-235 12. Chipps BE, Harder JM. Targeted interventions for difficult-to-treat asthma. Expert Opin Ther Targets 2006;11(1) 13. Le AV, Simon RA. The difficult-to-control asthmatic: a systematic approach. Allergy, Asthma and Clinical Immunology 2006:2(3) 14. Kling S. Severe asthma-assessment and management. Current Allergy & Clinical Immunology 2012;25(3) 15. Chung KF, Godard P, Adelroth E. Difficult/therapy-resistant asthma: the need for an integrated approach to define clinical phenotypes, evaluate risk factors, understand pathophysiology and find novel therapies. Eur Respir J 1999;13:1198-1208 16. Anon. Proceedings of the ATS workshop on refractory asthma: Current understanding, recommendations, and unanswered questions. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:2341-2351 17. Anon. The ENFUMOSA cross-sectional European multicenter study of the clinical phenotype of chronic severe asthma. Eur Respir J 2003;22:470-477 18. Bush A, Pedersen S, Hedlin G, Baraldi E, Barbato A, Benedictis F. Pharmacological treatment of severe, therapy-resistant asthma in 116 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA children: what can we learn from where? Eur Respir J 2011; 38:947958 19. Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management and prevention. 2015. Diunduh dari www.ginaasthma.org 20. Amin M, Fouad A, El-rab EG. Difficult to treatment asthma, is it really asthma? Is it really difficult?.Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis 2014:63,39-42. 21. Sheehan WJ, Phipatanakul W. Difficult to control asthma: epidemiology and its link with enviromental factors. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2015;13(5):397-401 22. Kobayashi Y, Bossley C, Gupta A. Passive smoking impairs histone deacetylase-2 in children with severe asthma. Chest 2014;145(2):305-312 23. Mackay D, Haw S, Ayres JG, Fischbacher C, Pell JP. Smoke free legislation and hospitalizations for childhood asthma. New Eng J Med 2010;363(12):1139-1145 24. Hassanzad M, Khalilzadeh S, Eslampanah NS. Nicotine level is associated with asthma severity in passive smoker children. IJAAI 2015;14(1):67-73 25. Wood RA, Johnson EF, Van Natta ML. A placebo controlled trial of a HEPA air cleaner in the treatment of cat allergy. Am J Respir Crit Care Med 1998;158:115-120 26. Stempel DA, Stoloff SW, Rosenzweig CJR. Adherence to asthma controller medication regimens. Respir Med 2005;99:1263-1267 Denpasar, 30 Januari 2016 117 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 27. Lindsay JT, Heaney LG. Nonadherence in difficult asthma-facts, myths, and a time to act. Patient Preference and Adherence 2013;7:328-336 28. Gamble J, Stevenson M, McClean E, Heaney LG. The prevalence of nonadherence in difficult asthma. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:817-822 29. Moore WC, Bleecker ER, Curran-Everet D. Characterization of the severe asthma phenotype by the National Heart, Lung and Blood Institute’s Severe Asthma Research Program. J Allergy Clin Immunol 2007;119:205-213 30. Mastronarde JG, Anthonisen NR, Castro M. Efficacy of esomeprazole for treatment of poorly controlled asthma. New Eng J Med 2009;360:1487-1499 31. Holbrook JT, Wise RA, Gold BD. Lansopazole for children with poorly controlled asthma: A randomized controlled trial. JAMA 2012;307:373-381 32. Fanta CH, Long AA. Difficult asthma: assessment and management, part 2. Allergy Asthma Proc 2012;33:312-323 118 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA ASMA PADA USIA LANJUT IGP SUKA ARYANA Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam, FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar Abstrak Populasi usia lanjut akan semakin terus meningkat seiring dengan peningkatan taraf hidup dan derajat kesehatanan masyarakat. Kejadian penyakit akan semakin meningkat sehingga usia lanjut akan membutuhkan banyak fasilitas kesehatan yang memadai. Walaupun asma adalah penyakit yang sering diderita pada usia muda, tetapi bila mengenai usia lanjut akan mengakibatkan mortalitas semakin meningkat. Gejala dan manifestasi klinis yang akut akan sangat berpengaruh terhadap kuailitas hidup usia lanjut. Asma pada usia lanjut sering under-diagnosed baik akibat comorbid ataupun factor fisiologi akibat proses penuaan. Strategi pengobatan pada usia lanjut dibuat sama dengan usia dewasa karena studi kohort pada usia lanjut belum banyak dilakukan. Asma pada usia lanjut yang paling penting untuk diperhatikan adalah efek samping pengobatan sehingga kepatuhan pasien usia lanjut minum obat sangat rendah. Penurunan kemampuan aktifitas fisik dan mental juga mengakibatkan kesulitan untuk melaksanakan terapi dengan efektif terutama kesulitan dalam penggunaan alat inhaler. Asma pada usia lanjut merupakan tantangan di masa Denpasar, 30 Januari 2016 119 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA mendatang terutama dalam hal mekanisme mendasar asma, penegakan diagnosis dan strategi terapi terutama dalam hal penatalaksanaan mandiri dan pengunaan alat inhaler. Kata kunci: Asma; proses penuaan; under-diagnosed; strategi terapi; alat inhaler Pendahuluan Populasi usia lanjut yan terus meningkat akan meningkatkan risikan terjadinya penyakit pada usia lanjut. Asma memang merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia muda. Bila prevalensi asma tinggi petanda bahwa banyak usia lanjut yang menderita asma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi pula. Kematian akibat asma lebih banyak terjadi pada usia lanjut. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti: perubahan paru akibat proses penuaan, perubahan persepsi sesak, proses penuaan secara umum, kesulitan diagnosis asma pada usia lanjut, polifarmasi, dan ko-morbid yang terjadi. Sehingga asma pada usia lanjut menjadi unik dan spesifik baik dari diagnostic maupun penatalaksanaannya. Usia lanjut dibatasi dengan umur lebih dari 60 tahun atau di Eropa menyebut lebih dari 65 tahun. Pada usia ini kejadian asma sekitar 10%. Karakteristik asma adalah ditandai dengan adanya sesak berupa whizzing dan batuk yang keparuhannya tergantung dari beratnya obstruksi yang terjadi pada jalan nafas. Definisi asma didasarkan pada adanya inflamasi di jalan nafas 120 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA sebagai kunci utama dan adanya remodeling di dinding jalan nafas berupa penebalan membrane basal saluran nafas dan hipertrofi otot polos. Pemeriksaan penting yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya inflamasi di saluran nafas adalh dengan memeriksa sputum. Sebagian besar asma ditandai dengan adanya eosinophil di sputum tetapi pada usia lanjut lebih banyak terdapat sel netrofil. Berbeda jauh dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang bersifat ireversible serta dominam netrofil pada sputum sedangkan pada asma bersifat reversible. Riwayat merokok pada usia lanjut menimbulkan kesulitan menentukan mekanisme obstruksi jalan nafas dan penatalaksanaan yang harus diberikan. Asma pada usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi Late Onset dan Early Onset. Late onset bila diagnosis awal terjadai pada usia yang telah lanjut yaitu lebih dari 65 tahun sedangkan Early onset bila diagnosis asma telah ada sejak awal atau usia muda sampai lanjut usia. Late onset asma sering memiliki gejala lebih berat dan lama serta sering memerlukan obat kortikosteroid oral dengan dosis yang lebih besar. Late onset asma biasanya kurang bersifat atopi kadar serum Ig E dan eosinophil rendah. Kadar eosinophil sputum juga rendah. Late onset asma sepertinya bukan tipe atopi tetapi merupakan asma intrinsic dengan bukti adanya netrofil sputum. Bila kadar Ig E tinggi maka disebut sebagai Late onset atopi asma. Denpasar, 30 Januari 2016 121 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Proses penuaan paru Proses penuaan berhubugan dengan terjadinya restriksi dinding dada berupa kekakuan otot dinding dada dan penurunan elestisitas. Hal ini diakibatkan oleh proses kalsifikasi pada sendi tulang costa, penurunan elastisitas diafragma, dan penurunan elastisitas jaringan paru. Pada saat ekspirasi karena terjadi penurunan kemapuan elastisitas recoil paru sehingga terjadi kolaps pada saluran nafas yang kecil sehingga terjadi trapping dan peningkatan residual volume. Diagnosis Diagnosis Late onset asma menjadi sulit dan sering terlambat, bias oleh karena factor pasien maupun dari dokter. Asma pada usia lanjut lebih tidak bergejala dibandingkan dengan usia muda. Bahkan bila pasien merasa sesak sering dianggap sebagai hal yang normal karena proses penuaan. Sosial ekonomi yang semakin rendah pada usia lanjut juga merupakan salah satu factor yang menyebabkan pasien tidak dating berobat ke dokter. Studi pada usia lanjut didapatkan 50% terjadi under-diagnosis asma. Pada populasi masyarakat didapatkan 3,9% pasien didiagnosis oleh dokter umum, tetapi ada 4,1% pasien lagi yang belum terdiagnosis asma. Dow and Co-workers pada survey potong lintang usia lanjut umur lebih dari 65 tahun di Bristol dari 6000 sampel didapatkan 1,7% tidak mendapatkan terapi asma. Didapatkan 84% sampel menderita asma sedang dan berat berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri. Asma pada usia lanjut menjadi 122 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA penyebab yang bermakna terhadap penngkatan angka kematian pada usia lanjut. Kematian pada asma usia lanjut sangat tinggi kejadiannya. Di Australia antara tahun 2003-2007, 69% kematian pada asma terjadi pada usia 65 tahun keatas. Kematian pada asma usia lanjut lebih banyak dibandingkan usia muda karena pada usia lanjut dapat disebabkan akibat obstruksi dan lebih banyak infeksi dibandingkan usia muda dan anak. Terapi Terapi farmakologi asma pada usia lanjut membutuhkan pengalaman dan kewaspadaan yang tinggi mengingat bahaya efek samping obat dan interaksi antar obat. Hal ini yang disebut sebagai polifarmasi yang sangat sering terjadi pada usia lanjut. Terapi dengan Beta agonis dapat menyebabkan tremor, penurunan kalium dan takikardia. Tremor sangat umum terjadi pada usia lanjut dengan asma akibat dari stimulasi reseptor beta2 di otot skletaal. Untuk mengurangi efek sistemik akibat absorpsi di oroparingeal dianjurkan menggunakan spacer device. Pada pasien asma usia lanjut yang mengalami efek samping dapat menggunakan terapi beta 2 agonist jika diperlukan saja. Teofilin dapat direkomendasikan pada asma yang tidak terkontrol denga terapi kombinasi inhalasi sesuai dengan rekomendasi GINA step 3. Penggunaan teofilin pada usia lanjut sangat hati-hati karena banyak kasus efek samping yang muncul terutama bila kadar obat dalam darah melebihi kadar yang dianjurkan. Efek toksik obat ini terutama bagi pasien dengan Denpasar, 30 Januari 2016 123 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA riwayat penyakit jantung dan hati. Obat-obatan yang sering berinteraksi adalah qiunolon dan allopurinol. Monitoring kadar obat sangat diperlukan karena memiliki risiko efek samping yang serius berupa aritmia dan kejang. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah mual, insomnia, dan gastro esophageal reflux disease. Steroid inhalasi dosis moderat tidak berhubungan dengan efek samping sistemik yang muncul pada pasien usia lanjut, tetapi efek samping local yang dapat muncul adalah oral candidiasis dan suara serak. Efek ini tergantung dari dosis dan dapat diatasi dengan menggunakan alat spacer. Efek samping yang paling ditakuti pada penggunaan steroid adalah katarak dan osteoporosis terutama pada penggunaan sistemik. Steroid sistemik dapat menimbulkan kekambuhan dari diabetes, katarak, hipertensi, osteoporosis dan fraktur tulang vertebra. Obat kortikosteroid sistemik hanya diindikasikan untuk kasus berat dan asma yang tidak terkontrol sesuai dengan rekomendasi dari GINA. Beta 2 Agonis direkomendasikan menjadi terapi lini pertama sebagai reliever pada asma. Beta 2 agonis lebih superior sebagai bronkodilator dibandingkan dengan antikolinergik. Walaupun pada proses penuaan penurunan jumlah dan ekspresi reseptor beta adrenergik sedangkan jumlah reseptor kolinergik dikatakan tidak terpengaruh akibat proses penuaan tersebut. Sehingga penurunan respon terhadap beta2 agonis jelas terlihat sedangkan pada antikolinergik tidak kelihatan. Pada beberapa pasien juga cederung bisa terjadi dimana respon terhadap antikolinergik 124 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA lebih baik dibandingkan dengan beta 2 agonis, tetapi perbedaan ini tidak mengubah guideline yang telah ditetapkan. Pada usia lanjut dengan asma alergi berat mungkin dapat diberikan obat omalizumab merupakan rekomendasi step 4 dari GINA. Pada analisis subgroup pada usia lanjut menunjukan obat ini efektif untuk usia lanjut. Pada pasien usia lanjut sering dijumpai pemberian obat-obatan untuk komorbiditas lain yang ada pada pasien tetapi dapat menjadi pencetus asma. Obat tersebut antara lain: beta bloker dan NSAID. Beta bloker sering digunakan untuk obat hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Beberapa kasus penggunaan timolol sebagai non selektif beta bloker untuk kasus glaucoma memicu terjadinya bronkospasme berat dan fatal. NSAID adalah obat yang sering digunakan untuk nyeri osteoarthritis (OA). Prevalensi OA pada usia lanjut sangat tinggi sehingga penggunaan obatnya juga tinggi. Obat ini juga dikatakan dapat memicu kejadian asma. Daftar Rujukan 1. Gillman A and Douglass JA, Asthma in Elderly. Asia Pac Allergy 2012;2:101-108 2. Abramson MJ. Respiratory symptoms and lung function in older people with asthma or chronic obstructive pulmonary disease. Med J Aust 2005;183:S23-5 3. Quadrelli SA, Roncoroni AJ. Is asthma in the elderly really different? Denpasar, 30 Januari 2016 125 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Respiration 1998;65:347-53. 4. Maykut RJ, Kianifard F, Geba GP. Response of older patients with IgE-mediated asthma to omalizumab: a pooled analysis. J Asthma 2008;45:173-81. 5. Australian Centre for Asthma Monitoring (ACAM). Available from: www.asthmamonitoring.org. 6. Slavin RG. The elderly asthmatic patient. Allergy Asthma Proc 2004;25:371-3. 7. Newnham DM, Hamilton SJ. Sensitivity of the cough reflex in young and elderly subjects. Age Ageing 1997;26:185-8. 126 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA ASMA DALAM KEHAMILAN I Made Bagiada Divisi Paru Bagian Penyakit Dalam / SMF Penyakit Dalam FK Unud /RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup. Secara kuantitatif trend AKI di indonesia cenderung menurun sejak tahun 1994. Namun angka ini masih tertinggi di Asia. Distribusi persentase penyumbang AKI secara berturut-turut yaitu: perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), abortus (5%), persalinan tidak maju (5%), emboli osbtruktif (3%), dan lain-lain (1). Asma dalam kehamilan sendiri merupakan salah satu penyumbang morbiditas serta mortalitas ibu hamil bila tidak ditangani dengan baik. Pada kehamilan, tingkat keparahan asma dapat mengalami perubahan, baik menjadi semakin ringan, berat, atau tidak berubah sama sekali. Walaupun terdapat kekhawatiran akan penggunaan obat-obatan selama kehamilan, asma yang tidak terkontrol bisa mengakibatkan efek yang tidak diinginkan pada janin, yaitu peningkatan mortalitas perinatal, angka kejadian prematuritas (pertumbuhan janin lambat, bayi kecil saat lahir, janin lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu), dan angka kejadian berat badan bayi lahir rendah. Sedangkan pada ibu janin dapat terjadi hipertensi Denpasar, 30 Januari 2016 127 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang dapat berlanjut terjadi preeclampsia. Itulah sebabnya penanganan asma yang baik selama kehamilan melalui pemantauan ketat dan pengobatan asma berdasarkan prinsip reliever dan controller diharapkan bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu hamil dengan asma, yang pada akhirnya dapat menghasilkan outcome maternal dan fetal yang maksimal (2,3). Semua wanita hamil maupun wanita yang berencana hamil sebaiknya ditanyakan apakah menderita asma. Mereka yang menderita asma harus diajarkan pentingya pengelolaan asma demi kepentingan kesehatan ibu dan janin (4). Perubahan Sistem Pernapasan Selama Kehamilan (5) Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahanperubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan metabolik dan sirkulasi bagi pertumbuhan janin, plasenta dan uterus. Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %. Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas pusat pernapasan terhadap karbondioksida. 128 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama setelah pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%. Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari 90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga pH darah tidak mengalami perubahan. Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5 selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2 cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen maternal selama kehamilan. Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2 dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru, kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin Denpasar, 30 Januari 2016 129 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi dapat terjadi distres janin. Pengaruh Perubahan Hormonal Selama Kehamilan (5) Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan. Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan. Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos. Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol. Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada 130 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA reseptor glukoortikoid oleh progesteron, deoksikortikosteron dan aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan. Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama persalinan. Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi. Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang ditimbulkannya. Gejala dan Derajat Asma Asma bermanifestasi sebagai spektrum gejala klinis yang luas, dari mengi yang ringan hingga bronkokonstriksi yang berat. Efek fungsional dari bronkospasme akut adalah obstruksi saluran pernapasan dan penurunnya laju udara di paru. Upaya bernafas meningkat secara progresif dan menimbulkan gejala subjektif berupa sesak napas dan gejala objektif berupa mengi. Hal ini diikuti dengan perubahan oksigenasi yang mengakibatkan ventilation-perfusion mismatch karena distribusi penyempitan saluran pernapasan yang tidak seimbang (6). Denpasar, 30 Januari 2016 131 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Modifikasi derajat asma berdasarkan National Asthma Education Program (NAEPP) yaitu : 1. Asma Ringan - Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu. - Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala. 2. Asma Sedang - Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu - Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya - Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari - Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume ekspirasi berkisar antara 60-80%. 3. Asma Berat - Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari - Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang dari 60% dengan variasi luas - Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala. Penilaian kontrol asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma) 2015 dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kemampuan pengendalian gejala asma dalam 4 minggu terakhir, yaitu asma terkontrol baik, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. 132 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tabel 1. Derajat Pengendalian Asma (2) Dalam 4 minggu terakhir Terkontrol Terkontrol Tidak apakah terdapat gejala : baik sebagian terkontrol 1-2 gejala 3-4 gejala Gejala siang hari >2x/minggu Terbangun tengah malam karena asma Memerlukan reliever Tidak satupun gejala >2x/minggu Adanya keterbatasan aktifitas oleh karena asma Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi hidung, sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju pernapasan (5). Beecroft dkk (1998) mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat mempengaruhi Denpasar, 30 Januari 2016 133 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif, ditemukan 50% ibu bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama kehamilan dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin lakilaki dapat meringankan gejala asma (7). Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 % dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per vaginam. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu,dan akan berkurang pada akhir kehamilan. Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. 134 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner dkk (1980) dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan 22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60% wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada persalinan (8). Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan Asma pada kehamilan umumnya tidak mempengaruhi janin, namun serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan, abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria (5). Diagnosa Asma dalam Kehamilan Diagnosis asma pada kehamilan tidak ada bedanya dengan asma tidak hamil. Gejala dan tanda asma pada kehamilan adalah sesak napas,mengi, batuk, dada terasa berat. Gejala tersebut memberat pada malam hari atau menjelang pagi hari. Gejala yang muncul bervariasi dari waktu kewaktu. Gejala asma dicetuskan oleh infeksi virus, latihan (exercise), pajanan Denpasar, 30 Januari 2016 135 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA allergen, perubahan cuaca, atau iritan missal menghirup asap, asap rokok atau bau yang menyengat (4). Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki risiko yang lebih tinggi (2). Tatalaksana Asma pada Kehamilan Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat yang khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil. Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi penderita asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (9). Pentingnya pengobatan asma adalah mencegah kematian, kegagalan pernapasan, status asmatikus, dan perawatan di ruang emergensi. Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal berikut. 1. Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin 136 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550 liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga terapi dapat disesuaikan. 2. Menghindari faktor pencetus asma Mengenali serta menghindari faktor pencetus asma dapat meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang minimal (2). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi. Di samping itu, pencetus terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur, amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan asma, termasuk kecoak. Gastroesophageal reflux disease (GERD) dikenal sebagai pencetus asma dan terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh GERD dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktifasi arkus refleks vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi. Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan kejadian asma pada anaknya (2,9). Denpasar, 30 Januari 2016 137 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 3. Edukasi Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin. Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma yang memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktorfaktor pencetus asma (4,5). 4. Terapi farmakologi selama kehamilan Kelompok kerja NAEPP (2005) merekomendasikan prinsip serta pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan (2). Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali sejak efek pada janin tidak diketahui. 138 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Penanganan Asma Akut di Unit Gawat Darurat Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama dengan asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah. Secara umum, dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemasangan sungkup oksigen dengan target PO2 > 60 mmHg dan pemasangan pulse oximetry dengan target saturasi O2 > 95%. Kemudian dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGD), pengukuran FEV1 serta PEFR, dan dilakukan pemantauan janin (10). Obat lini pertama adalah agonis β-adrenegik (subkutan, peroral, inhalasi) dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan maintenance dose 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik dengan kadar plasma sebesar 10-20 ng/ml. Obat ini akan berikatan dengan reseptor spesifik di permukaan sel dan mengaktifkan adenilil siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan merelaksasi otot polos bronkus. Selain itu, diberikan kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg intravena setiap 6 jam. Terapi selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon hasil terapi sebelumnya. Bila FEV1 dan PEFR > 70% baseline maka pasien dapat dipulangkan dan berobat jalan. Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline setelah 3 kali pemberian agonis β-adrenegik, maka diperlukan masa observasi di rumah sakit hingga keadaan pasien stabil (10). Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30-60 menit dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive care unit (ICU) dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada Denpasar, 30 Januari 2016 139 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA keadaan kelelahan otot, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas (10). Ringkasan Asma pada kehamilan dapat merupakan morbiditas atau mortalitas pada ibu hamil dengan asma. Asma dapat mempengaruhi kehamilan atau kehamilan dapat mempengaruhi asma. Gejala dan tanda asma pada kehamilan bervariasi, tetapi umumnya sama seperti asma tanpa kehamilan. Derajat beratnya asma bisa ringan, sedang atau berat. Diagnosis asma pada kehamilan sama seperti asma tanpa kehamilan. Terapi farmakologi asma pada kehamilan adalah bronkodilator agonis beta2 kerja singkat inhalasi, kortikosteroid dan boleh juga ditambahkan dengan teofilin Daftar Pustaka 1. Kementrian Pemberdayaan Perempuan. 2014. Angka Kematian Ibu. Available from : http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/datadanin formasi /kesehatan?download=23:angka-kematian-ibu-melahirkan-aki. [Accessed 2016, January 9]. 2. National Asthma Education and Prevention Program. Working Group Report on managing asthma during pregnancy: Recommendations for pharmacologic treatment. Update 2004. National Institutes of Health, National Heart, Lung, and Blood Institute. (2005). NIH Publication No. 05-5236. 140 Available from: Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg/astpreg_f ull.pdf [Accessed 2016, January 19]. 3. American College of Obstetricians and Gynecologists (2008, reaffirmed 2009). Asthma in pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics and Gynecology, 111(2): 457-464. 4. Pocket Guide Initiative for for Asthma Management and Prevention. Global Asthma (GINA) 2015. Available from: http://www.ginasthma.org/. [Accessed 2016, January 11]. 5. Murphy V.E., Gibson P.G., Smith R. and Clifton V.L.(2005). Asthma during pregnancy: mechanisms and treatment implications 6. Cunningham FG et al. Asma Dalam Kehamilan. Obstetri Wiilliams Volume II. Edisi XXI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. 7. Beecroft N, Cochrane GM, Milburn, HJ. (1998) Effect of sex of fetus on asthma during pregnancy:blind prospective study. BMJ; 317:856-857. 8. Turner E.S., Greenberger P.A., and Patterson R. (1980). Management of the Pregnant Asthmatic Patient, Ann Intern Med. 1980;93(6):905-918 9. Nelson-Piercy C. (2001). Asthma in pregnancy.Thorax;56:325-328 10. Moechtar R. Asma Dalam Kehamilan. Dalam: Sinopsis Obstetri. Jilid II. Edisi II. 1998. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG. Denpasar, 30 Januari 2016 141 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Asma Kerja Ida Bagus Ngurah Rai Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Asma merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia. Sekitar 300 juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan 250.000 kematian setiap tahun akibat asma. Prevalensi asma terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Asma diderita oleh 1 dari 14 orang di Amerika pada tahun 2001, sementara yahun 2009 rasionya menjadi 1 pasien dari 12 orang.1 Pada tahun 2025 diperkirakan terjadi peningkatan jumlah pasien asma 100 juta orang di seluruh dunia, dari sebelumnya 300 juta orang pada tahun 2010.2 Sebagian besar asma, terutama pada anak-anak berhubungan dengan alergi. Sedangkan asma pada orang dewasa memiliki karakteristik faktor risiko dan penyebab lebih beragam. Beberapa faktor yang berhubungan dengan asma, terutama pada orang dewasa antara lain obesitas, polusi lingkungan, perubahan genetik pada reseptor vitamin D, psikologis, hormonal, asap rokok, serta salah satu yang terpenting adalah pajanan pekerjaan. Asma kerja diperkirakan 15%-25% dari seluruh kasus asma dewasa di seluruh dunia.1,3 Asma kerja diperkirakan oleh CDC sebanyak 1,9 juta kasus, atau lebih dari 15% dari kasus asma di Amerika. 142 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Kasus asma kerja didapatkan paling banyak pada kelompok umur 45-64 tahun (20,7%).4 Asma kerja makin menjadi masalah dalam penatalaksanaan asma. Prevalensi asma kerja cenderung meningkat akibat makin banyak ditemukan bahan-bahan pajanan yang didapatkan dari pekerjaan sebagai penyebab asma. Selain itu, tuntutan industrialisasi dan konsumerisme mengakibatkan lingkungan kerja makin tidak sehat. Selain itu, pemahaman klinisi tentang penatalaksanaan asma kerja juga masih terbatas, sehingga kasus ini cenderung menjadi sulit untuk dikontrol. Pengaruh dan dampak psiko-sosioekonomik dari asma kerja juga menjadi isu tersendiri menyangkut kondisi ini. Pasien asma kerja sering masih mengalami kualitas hidup yang buruk, walaupun telah dipindahtugaskan dari tempat yang diperkirakan menyebabkan asmanya. Hal ini ditambah masalah psikologis yang dialami pasien, seperti depresi dan ansietas. Dampak ekonomi asma kerja juga tidak ringan. Dampak ekonomi ini dapat bersifat langsung pada biaya pelayanan kesehatanserta tidak langsung akibat ketidakmampuan pekerja mempertahankan produktivitasnya pada perusahaan. Berbagai organisasi kesehatan di dunia mulai banyak memberi perhatian pada asma kerja. Banyak konsensus yang diterbitkan untuk memberi pemahaman dalam mengidentifikasi asma kerja dan memberikan penanganan yang komprehensif, termasuk menangani lingkungan kerja pasien. Berikut ini kami sampaikan uraian singkat mengenai asma kerja, kriteria diagnosis, serta tatalaksananya. Denpasar, 30 Januari 2016 143 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Definisi dan Klasifikasi Asma kerja (work-related asthma) secara umum merujuk pada dua keadaan, yaitu occupational asthma dan asma yang diperberat oleh pekerjaan (work-aggravated asthma). Occupational asthma adalah penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara variabel dan/atau hiperresponsivitas yang berhubungan dengan inflamasi yang diakibatkan oleh penyebab dan kondisi khusus pada pekerjaan. Atau dengan kata lain, occupational asthma adalah asma yang disebabkan oleh pekerjaan. Sementara asma yang diperberat oleh pekerjaan (work-aggravated asthma) ditandai terjadinya perburukan asma yang sebelumnya telah diderita pasien sebelumnya akibat pajanan dan/atau lingkungan khusus pada pekerjaan.3,6 Work-related asthma Occupational asthma IgEmediated occupational asthma Occupational asthma due to specific occupational agents with unknown patho-mechanisms Work-aggravated Gambar 1. Work related asthma dan sub-grupnya masingmasing (exacerbated) asthma Irritant occupational asthma Occupational asthma dapat melibatkan immunoglobulin E (IgE mediated) setelah periode laten tertentu; asma iritan dengan atau tanpa periode laten akibat pajanan dosis besar; dan asma akibat bahan spesifik 144 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang pato-mekanismenya tidak diketahui, yang biasanya melalui periode laten tertentu seperti terlihat pada gambar 1.6 Klasifikasi yang lebih sederhana membagi occupational asthma menjadi allergic occupational asthma yang diakibatkan sensitisasi bahan spesifik di tempat kerja pada periode laten tertentu. Serta irritant induced occupational asthma yang biasanya dapat terjadi walaupun hanya dengan 1 kali pajanan dosis tinggi dari bahan kimia iritan.7 Beberapa pajanan pekerjaan yang potensial menyebabkan asma kerja antara lain asap pengelasan konsentrasi tinggi, isocyanate, serta pajanan berbagai bahan toksik (aluminium, cadmium, logam, ammonia, asap rokok, debu kayu, kapas, serta endotoksin).6 Bahan pajanan (sensitizer), terutama pada jenis asma kerja alergik, melakukan sensitisasi pada jalan nafas dalam periode waktu tertentu. Dilihat dari berat molekulnya, sensitizer ini dibagi menjadi high molecular weight (HMW) yang biasanya berasal dari protein atau bahan biologis lain, serta low molecular weight yang memiliki berat molekul kurang dari 1 kD. Berikut ini, pada Tabel 1 terdapat beberapa contoh bahan pajanan dan aktivitas yang menghasilkannya.8 Denpasar, 30 Januari 2016 145 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Tabel 1. Kelompok Bahan Pajanan dan Aktivitas yang Menghasilkannya8 Kelompok Bahan Aktivitas Penghasil Isocyanates Vehicle spray painting, foam manufacture Flour/grain/hay Handling grain at docks, milling, malting, baking Electronic soldering flux Soldering, electronic assembly, computer manufacture Latex rubber Gloves in health care, laboratories Laboratory animals Laboratory animal work Wood dusts Saw milling, woodworking, furniture manufacture Glues/resins Curing glues and epoxy resins in joinery and construction Gluteraldehyde Health care Hair dyes Hairdressers Penicillin’s/cephalosporin’s Pharmaceutical Chromium compounds Welding stainless steel Platinum salts Catalyst manufacture Cobalt Hard metal production, diamond polishing 146 Nickel sulphate Electroplating Subtilisin/enzymes Detergent manufacture Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Kriteria Diagnosis Para klinisi yang mendapatkan kasus kecurigaan asma kerja harus melakukan penelusuran dan identifikasi kasus ini dengan sangat berhatihati. Kesimpulan pemeriksaan yang didapatkan akan sangat mempengaruhi nasib pekerja bersangkutan. Kaidah-kaidah diagnosis umum dari anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang ,utlak harus dilakukan. Selain itu, pengetahuan tentang bahan pajanan umum penyebab asma kerja juga sangat dibutuhkan oleh klinisi yang menangani kasus ini.8 Dalam mendiagnosis asma kerja secara umum, terdapat tiga langkah diagnostik utama yang harus dilakukan. Langkah pertama menentukan dilakukan diagnosis asma. Langkah kedua untuk mengidentifikasi tempat kerja sebagai penyebab keluhan pernafasan yang dialami pasien. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi bahan penyebab asma kerja ini. Pada langkah pertama dilakukan berbagai pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis asma sesuai kriteria diagnosis standar. Pada anamnesis digali keluhan-keluhan respirasi spesifik asma yang bersifak intermiten dan variabel. Pemeriksaan fungsi paru ditekankan untuk menentukan reversibilitas hambatan aliran udara ekspirasi. Beberapa pemeriksaan lain seperti FENO atau sputum eosinophilia juga dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosis asma. Langkah kedua dimulai dengan menemukan hubungan gejala asma dengan tempat kerja. Keluhan respirasi yang membaik setelah pasien keluar dari tempat kerja atau saat hari libur merupakan ciri khas asma Denpasar, 30 Januari 2016 147 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kerja. Secara obyektif dapat dilakukan pengukuran fungsi paru yang dihubungkan dengan pajanan di tempat kerja. Tes fungsi paru biasanya dilakukan serial untuk mendapatkan variasi fungsi paru saat bekerja maupun saat tidak bekerja. Konsensus BTS mewajibkan pemeriksaan PEF serial minimal selama 3 minggu, empat kali sehari. Atau cara lain yang dianjurkan consensus ERS dilakukan dengan pemeriksaan PEF serial setiap 2 jam pada 8 hari kerja dan 3 hari libur. Langkah ketiga dilakukan dalam rangka menemukan bahan penyebab asma kerja. Pemeriksaan yang paling dianjurkan adalah dengan tes specific inhalation challenge (SIC). Kelemahan tes SIC biasanya pada hasil negatif palsu padabahan dengan berat molekul rendah. Tetapi ditegaskan oleh konsensus ERS, bahwa hasil SIC negatif pada pasien dengan bukti kuat asma kerja lainnya, tidak dapat mengeksklusi diagnosis asma kerja. Pemeriksaan IgE spesifik dan tes alergi (tes kulit) memiliki sensitifitas dalam mendeteksi reaksi hipersensitifitas tipe 1, dan dapat menentukan agen penyebab asma kerja, terutama pada bahan dengan berat molekul besar.8 Specific inhalation challenge merupakan gold standard dalam diagnosis occupational asthma. Hasil tes ini berperan penting untuk menentukan bahan penyebab asma kerja, terutama pada kasus pekerja yang terpajan beberapa dugaan bahan penyebab dari pekerjaan. Pemajanan bahan pada tes SIC ini dapat dilakukan dengan 2 cara berdasarkan jenis bahan pajanan yang disuda. Bahan larut air yang secara imunologis dimediasi oleh IgE, dapat dibuat solusio untuk kemudian 148 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA diberikan dengan nebulizer. Pemeriksaan dilanjutkan menggunakan prinsip tes profokasi bronchus dengan methacholin standar. Sementara bila agen digaan tidak larut, maka pemajanan dilakukan pada ruang khusus.3 Kombinasi pemeriksaan penunjang dapat meningkatkan kekuatan diagnosis, terutama pada kasus yang meragukan. Panduan ERS menyebutkan, peningkatan eosinophil sputum >1% post SIC atau setelah pajanan di tempat kerjamenguatkan diagnosis occupational asthma bila FEV1 <20%.9 Manajemen Asma Kerja Tatalaksana asma kerja sama dengan tatalaksana asma secara umum. Secara farmakologis, terapi asma kerja memiliki prinsip penganganan yang sama, yaitu mencapai status asma yang terkontrol. Sebaliknya pada tatalaksana non farmakologis, pendekatan penanganan bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan bahan pajanan pada occupational asthma. Hal ini sedikit berbeda pada kasus work-aggravated asthma, dimana penghindaran total dari bahan pajanan tidak mutlak diperlukan, tetapi sebaliknya penanganan farmakologis yang tepat dan optimal lebih diperlukan.3 Konsensus ERS serta RCP tahun 2012 merumuskan beberapa rekomendasi berhubungan dengan manajemen untuk kasus asma kerja. Pasien, dokter, dan pengusaha harus mendapatkan penjelasan bahwa pajanan bahan yang terus menerus akan memperburuk gejala asma dan obstruksi jalan nafas. Menghindari bahan pajanan secara total memberikan Denpasar, 30 Januari 2016 149 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA kemungkinan perbaikan tertinggi, tetapi tidak dapat menghilangkan asmanya. Pemakaian alat pelindung diri (terutama pelindung pernafasan) bukan pendekatan pengamanan yang utama, terutama pada pajanan jangka panjang dan kasus asma berat. Terapi anti-asma bukan merupakan alternative pengganti dari intervensi lingkungan.Tatalaksana farmakologis work-related asthma mengacu pada standar terapi asma umum dengan acuan status control asma.6,10 Berbagai konsensus tentang asma kerja menitikberatkan masalah screening dan surveilans medis pada pekerja secara rutin. Pada beberapa jenis usaha yang memiliki risiko tinggi mengakibatkan asma kerja, penerapan screening sebelum pekerja ditempatkan serta surveilans yang teratur dikatakan dapat mengurangi kejadian asma kerja dan asma yang diperburuk oleh kerja secara signifikan.6 Ringkasan Asma kerja merupakan salah satu masalah utama dalam tatalaksana asma secara umum. Asma kerja makin meningkat seiring dengan perkembangan industry di seluruh dunia. Asma kerja dibagi menjadi occupational asthma dan work-aggravated asthma. Prosedur diagnostik yang efektif dan cermat diperlukan untuk memberikan kesimpulan diagnosis asma kerja dan bahan penyebab yang akurat. Tatalaksana asma kerja dititikberatkan pada pengurangan atau menghilangkan pajanan agen penyebab. Peranan screening dan surveilans 150 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang baik pada tempat kerja penting untuk menghindarkan pekerja dari ancaman asma kerja. Daftar Pustaka 1. Centers for Disease Control and Prevention, Vital Signs, May 2011 2. World Health Organization. Global surveillance, prevention and control of chronic respiratory diseases: a comprehensive approach, 2014. 3. Munoz X, Cruz MJ, Bustamante V, et al. Work-Related Asthma: Diagnosis and Prognosis of Immunological Occupational Asthma and Work-Exacerbated Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol 2014;24(6):396-405 4. Centers for Disease Control and Prevention. Workrelated Asthma in 22 States. Morbidity and Mortality Weekly Report 2015;64(13):343. 5. Tarlo SM, Malo J-L. An Official ATS Proceedings: Asthma in the Workplace. Proc Am Thorac Soc 2009; 6: 339-349. 6. Baur X, Sigsgaard T, Asasen TB, et al. Guidelines for the management of work-related asthma. Eur Respir J 2012; 39: 529– 545 7. Health and Safety Authority of Ireland. Guidelines on Occupational Asthma.2008 8. Fishwick D, Barber CM, Bradshaw LM, et al. Standards of care for occupational asthma: an update. Thorax 2012;67:278-280. Denpasar, 30 Januari 2016 151 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 9. Aasen TB, Burge PS, Henneberger PK, et al. Diagnostic approach in cases with suspected work-related asthma. Journal of Occupational Medicine and Toxicology 2013;8:17-27. 10. Nicholson PJ, Cullinan P, Burge S. Concise guidance: diagnosis, management and prevention of occupational asthma. Clinical Medicine 2012;12(2):156-159. 152 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA EXERCISE-INDUCED ASTHMA (EIA) Ida Bagus Suta Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Asma adalah kelainan inflamasi kronik saluran nafas dimana inflamasi kronik ini berkaitan dengan hiperresponsif saluran nafas. Obstruksi saluran nafas bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Asma adalah penyakit multifaktorial dan heterogen. Faktor risiko meliputi predisposisi genetik, atopi dan hiperresponsivitas. Karakteristik asma adalah inflamasi pada bronkus, sejumlah besar sel radang, antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag dan neutrofil terlibat dalam proses inflamasi. Inflamasi dapat terjadi setelah pajanan terhadap alergen dan obstruksi terjadi karena otot polos bronkus yang mengalami konstriksi, edema, remodeling dan peningkatan produksi mukus.1 Exercise-Induced Asthma (EIA) dikenal juga sebagai Exercise-Induced Bronchotictionco (EIB) adalah suatu keadaan penyempitan saluran nafas yang terjadi setelah aktifitas fisik. Prevalensi EIB tidak ketahui dengan pasti, tetapi latihan fisik diketahui sebagai salah satu pencetus serangan asma. EIB bisa juga terjadi pada individu yang tidak ada riwayat asma.1.2 Denpasar, 30 Januari 2016 153 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pengurangan aktivitas fisik adalah hal yang wajar pada individu asma. Hal ini disebabkan oleh obstruksi saluran nafas dan meningkatnya sensitivitas terhadap berbagai rangsangan (termasuk aktivitas fisik). Aktivitas fisik berguna dan perlu untuk individu asma karena dapat memperbaiki kapasitas fisik, mengurangi sesak nafas dan memperbaiki kesulitasn bernafas terkait aktivitas fisik. Individu dengan derajat obstruksi saluran nafas ringan sampai sedang dapat melakukan latihan fisik sama seperti orang sehat. Latihan fisik sebaiknya meliputi latihan ketahanan dan latihan fleksibilitas. Aktivitas yang baik dan dianjuran adalah berenang, jalan, bersepeda, olahraga dengan bola, serta latihan aerobik.1.2 Patogenis Kebanyakan individu dengan asma merasakan kesulitan bernafas selama latihan fisik yang diebabkan menyempitnya saluran nafas. Hal ini disebut obstruksi yang disebabkan oleh latihan fisik (exercise-induced airway obstruction). Obstruksi saluran nafas yang disebabkan oleh latihan fisik diartikan sebagai keadaan dimana Arus PuncakEekspirasi (APE) lebih besar atau sama dengan 15% atau Volume Ekspirasi Paksa (VEP) lebih besar atau sama dengan 10% bergantung pada latihan fisik. Obstruksi muncul saat latihan fisik atau umumnya 5-15 menit kemudian dan bertahan selama 30-60 menit. Terkadang gejala menghilang dengan sendirinya. Derajat obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik bervariasi tergantung pada intensitas latihan, tipe aktivitas, dan lingkungan sekitar dimana latihan fisik dilakukan. Sebagai contoh, berlari menimbulkan lebih banyak 154 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA gejala dibandingkan jogging ataupun berjalan. Didapatkan gejala lebih sering muncul apabila latihan fisik dilakukan pada lingkungan yang dingin, udara kering dibandingkan pada lingkungan yang hangat dengan udara yang lembab. Polusi udara juga ternyata dapat meningkatkan derajat obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik. Pada sekitar 20-50% individu dengan asma, obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik ini juga dapat diamati beberapa jam setelah latihan fisik. Hal ini disebut sebagai reaksi fase lambat.1,3 Ada dua teori berkaitan dengan asma terkait latihan fisik, teori hiperosmolar dan teori airway rewarming. Teori hiperosmolar berpendapat bahwa saat latihan fisik terjadi peningkatan ventilasi yang mengakibatkan membran mukosa bronkus kering karena udara yang melewati saluran nafas harus dilembabkan dan akibatnya saluran nafas kehilangan kelembabannya. Hal ini menimbulkan rangsangan hiperosmolar yang mengaktifkan sel sekitarnya seperti sel mast, sehingga terjadi bronkokonstriksi. Teori airway rewarming berpendapat bahwa saat latihan fisik terjadi peningkatan ventilasi udara yang suhunya lebih dingin daripada suhu tubuh yang menyebabkan vasokonstriksi dari membran mukosa bronkus. Setelah latihan fisik terjadi vasodilatasi dan pembuluh darah yang mengalami vasodilatasi terisi oleh darah, membengkak dan mengobstruksi saluran nafas.2.3 Denpasar, 30 Januari 2016 155 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Diagnosis Keluhan yang muncul pada asma terkait latihan fisik biasanya adalah batuk, mengi, sesak nafas atau dada terasa berat selama atau setelah latihan fisik. Dapat diasumsikan bahwa seorang individu akan merasakan gejala abnormal ini dan akan mencari pertolongan medis, namun banyak individu tidak mengenali gejala ini dan baru mencari pertolongan medis saat didesak oleh orang lain. Terdapat gejala ringan lain selain batuk, mengi dan sesak nafas yang dialami oleh individu dengan asma terkait latihan fisik seperti tidak enak badan, nyeri kepala, nyeri perut, kram otot, kelelahan atau pusing.2.4, Tes provokasi bronkus penting pada beberapa keadaan seperti : 1. Untuk mengkonfirmasi diagnosis asma terkait latihan fisik saat meragukan, 2. Untuk menapis atlet pada bidang olahraga yang didapatkan insidensi tingkat asma terkait latihan fisik tinggi, 3. Untuk studi epidemiologi untuk mengetahui insidensi asma terkait latihan fisik. Tes provokasi yang sering digunakan terutama untuk penegakan diagnosis pada atlet adalah tes inhalasi metakolin. Selain itu tes eucapnic voluntary hyperventilation (EVH) dengan udara kering juga digunakan pada atlet Olympic namun tes ini memerlukan peralatan 156 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA yang mahal dan relatif kompleks. Tes lain seperti tes inhalasi mannitol dapat digunakan sebagai gantinya.3 Pengobatan Saat diagnosis asma terkait latihan fisik Exercise-Induced Asthma (EIA) ditegakkan atau disimpulkan, pengobatan asma direkomendasikan untuk diberikan. Contohnya pada atlet olahraga, pengobatan EIA meliputi pertimbangan jenis latihan yang menyebabkan asma. Namun pada beberapa jenis atlet, hal ini tidak memungkinkan karena mereka berlomba pada bidang tersebut. Untuk atlet beberapa olahraga rekreasional maka mereka dapat mengatur jenis latihan dan dapat menghindari kondisikondisi tertentu yang dapat memperberat keadaan seperti cuaca, banyak, polusi. Sebagai tambahan, latihan pemanasan tertentu dapat mengurangi derajat keparahan asma terkait latihan fisik. Contohnya seorang atlet harus melakukan pemanasan hingga 80-90% kapasitas maksimum mereka sebelum memulai latihan formal. Hal ini dapat mengurangi derajat keparahan asma namun tidak sepenuhnya mencegah terjadinya asma terkait latihan fisik. Farmakoterapi diberikan untuk mencegah terjadinya Exercise-Induced Asthma terutam sebelumlatihan fisik. Terapi paling efektif adalah shortacting beta agonist dalam 15 menit sebelum memulai latihan fisik. Inhalasi kromolin dapat ditambahkan bila SABA saja tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pada individu dengan asma kronis persisten (FEV 1 kurang Denpasar, 30 Januari 2016 157 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dari 80% prediksi dan gejala muncul lebih dari 2x/minggu), obat-obatan kontroler harian harus dimulai dan obat pencegahan sebelum latihan fisik juga harus diberikan.3,4.5 Ringkasan Exercise-Induced Asthma (EIA) adalah suatu keadaan t erjadinya pnyempitan saluran pernapasan saat latihan fisik. Bisa terjadi pada penderitan asma dengan pencetus latihan fisik, tetapi juga bisa terjadi pada penderita bukan penderita asma. EIA mudah ditegakkan tetapi sering tidak terdiagnosis dengan baik. Pasien EIA harus dianjurkan untuk melakukan pemanasan sebelum latihan fisik. Pengobatan farmakologi SABA hendaknya diberikan terutama sekali sebelum latihan fisik. Pengobatan secara konfrehensif hendaknya didiskusikan dengn penderita agar mendapatkanhasil yang memuaskan. 158 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Daftar Pustaka 1. GINA. Global strategy for asthma management and prevention, Global Initiative for Asthma (GINA); 2015. Availeble at: http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2015_ Aug11.pdf 2. Jonathan P, Parsons, Teal S , Hallstrad, John G, Mastronarde, David A Kaminsky. An Official American Thoracic Society Clinical Practice Guideline: Exercise-induced Bronchoconstriction. Am J Respir Crit Care Med Vol 187, Iss. 9, pp 1016–1027, May 1, 2013 3. Hayden, Mary Lou, MS, Stuart W. Stoloff, MD Gene L. Colice, MD, Nancy K. Ostrom, MD, Nemr S. Eid, MD , Jonathan P. Parsons, MD. Exercise-induced bronchospasm: A case study in a nonasthmatic patient. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners 24 (2012) 19–23 4. T.H. Lee*, S.P. O'Hickey, Exercise-induced asthma and late phase reactions, EUR Respir J 1989, 2, 195-197 5. Emtner, Margareta. Asthma. professional associations for physical activity, sweden. http://www.fyss.se/wp-content/uploads/2011/02/ fyss_2010_english.pdf Denpasar, 30 Januari 2016 159 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) IB Ngurah Rai Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah Pendahuluan Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia saat ini. Kedua penyakit obstruktif di atas memiliki prevalensi yang tinggi dan kecenderungan untuk terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, mortalitas dan morbiditas, serta beban sosio-ekonomik kedua kelainan tersebut juga tinggi.1 Keluhan dan gejala asma biasanya muncul sejak usia muda, sementara PPOK mulai terlihat setelah usia empatpuluh-an. Dalam praktek klinis sehari-hari, kriteria penatalaksanaan asma dan PPOK telah dikenal luas dan memiliki panduan internasional yang baku.2 Pada litearaturliteratur terdahulu, asma merupakan diagnosis banding dari PPOK, demikian pula sebaliknya. Tetapi pada kenyataannya, banyak pasien PPOK yang mengalami gejala asma atau sebaliknya pada pasien asma usia tua yang sering tidak menunjukkan hasil pengobatan yang optimal. Keberadaan kedua jenis kelainan ini (asma dan PPOK) pada satu pasien inilah yang mencetuskan banyak review dan penelusuran lebih mendalam dari para ahli di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir. 160 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan terminologi yang dipilih untuk mengelompokkan pasien-pasien seperti tersebut di atas. Menemukan angka kejadian ACOS dari kepustakaan menjadi hal yang agak kompleks. Penelitian-penelitian di bidang asma dan PPOK biasanya mengeksklusi salah satunya, karena masih menganggap asma merupakan diagnosis banding PPOK. Guerra3 dalam penelitiannya mendapatkan 40% kejadian koeksistensi asma dan PPOK pada satu pasien dengan menggunakan kombinasi kriteria diagnostik keduanya. Sementara Soriano, dkk.4 menunjukkan estimasi prevalensi ACOS yang meningkat sesuai umur pasien. Prevalensi ACOS pada usia kurang dari 50 tahun adalah 10%, dan meningkat menjadi >50% pada usia 80 tahun ke atas. Satu hal yang telah disepakati oleh para ahli, apabila koeksistensi asma dan PPOK terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut memiliki prognosis lebih buruk daripada hanya menderita salah satu kelainan ini. Pasien akan mengalami perburukan penyakit yang lebih cepat, kualitas hidup yang lebih buruk, lebih sering mengalami eksaserbasi, meningkatnya komorbid, serta sering mengunjungi fasilitas kesehatan akibat penyakitnya. Untuk itulah dirumuskan kriteria diagnostik tersendiri dalam mendiagnosis kondisi ini, dan diberi terminology ACOS oleh GINAGOLD.5,6 Berikut ini akan disampaikan secara ringkas karakteristik ACOS dan kriteria klinis yang dipakai berdasarkan consensus bersama GINA-GOLD tentang ACOS ini. Denpasar, 30 Januari 2016 161 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Definisi dan Karakteristik Klinis Asma menurut GINA 2015 merupakan kelainan heterogen yang ditandai oleh inflamasi kronis jalan nafas. Hal ini bisa didapatkan dari riwayat keluhan respirasi seperti mengi, sesak nafas, rasa berat di dada, dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan intensitas, seta ditemukannya hambatan aliran udara ekspirasi yang juga variabel.7 Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan nafas besar dan kecil. Secara karakteristik, biasanya terjadi saat anak-anak dan sering disertai alergi, walaupun banyak kasus juga dapat terjadi saat dewasa. Gejala klinis khas pada pasien terjadi akibat obstruksi jalan nafas secaramenyeluruh. Hal ini mengakibatkan penurunan udara, khususnya kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa detik pertama, tetapi akan kembali menjadi normal setalah serangan. Obstruksi jalan nafas ini secara umum disebabkan oleh spasme otot polos. Karakteristik lain adalah dasar hiperresponsivitas bronkus pada pasien asma akibat rangsangan inhalan pada jalan nafas.8 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut GOLD 2015 adalah penyakit yang dapat dicegah dan dikontrol, ditandai oleh hambatan aliran udara persisten yang progresif. Hal ini berhubungan dan diperburuk oleh respons inflamasi kronik jalan nafas dan paru akibat pajanan bahan dan gas berbahaya. Kondisi komorbid dan eksaserbasi mempengaruhi tingkat keparahan penyakit ini.9 PPOK juga merupakan penyakit inflamasi jalan nafas seperti halnya asma, perbedaannya pada PPOK lebih mengenai saluran nafas kecil. Pada 162 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA pasien PPOK akan didapatkan infiltrasi sel-sel inflamasi pada saluran nafas kecil dan jaringan mukus sekretori, serta kerusakan jaringan alveolar. PPOK biasanya mulai menimbulkan gejala pada pasien emur di atas 40 tahun. Gejala yang dering dikeluhkan adalah batuk kronik, produksi sputum, serta sesak nafas dan mengi. Obstruksi jalan nafas yang terjadi pada PPOK berhubungan dengan kontraksi otot polos, mucus jalan nafas, kerusakan jaringan alveolar, serta kombinasi dengan hilangnya elastic recoil yang menyebabkan penutupan jalan nafas. Karakteristik penting lainnya dari PPOK adalah perjalanan penyakit yang progresif dan keterlibatan asap rokok, polusi udara, serta pajanan lingkungan dan pekerjaan.8 Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) ditandai dengan hambatan aliran udara persistendengan beberapa karakteristik yang biasanya berhubungan dengan asma dan karakteristik lain yang berhubungan dengan PPOK. Secara klinis praktis, ACOS ini didiagnosis bila pasien menunjukkan karakteristik-karakteristik asma dan PPOK.5 Perjalanan klinis pasien PPOK biasanya dimulai dengan penurunan minor fungsi paru (FEV1) usia 20-30 tahun-an. Penurunan ini terus terjadi sejalan dengan pajanan bahan berbahaya dan asap rokok yang dialami pasien sampai hanya 50% dari fungsi paru normal pada usia 60 tahun-an. Setelah itu terus terjadi perburukan fungsi paru akibat inflamasi kronik jalan nafas dan kerusakan arsitektur paru. Pada asma perburukan fungsi paru terjadi secara gradual dan cenderung reversibel. Pasien asma yang mengalami perburukan fungsi paru progresif saat usia 50-60 tahun-an kemungkinan besar mengalami ACOS. Pada kondisi ini sangat sulit Denpasar, 30 Januari 2016 163 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA menentukan secara tegas pasien tersebut menderita asma atau PPOK karena membawa karakteristik kedua kelainan tersebut, seperti terlihat pada Gambar 1.8 Gamba 1. Perjalanan Klinis Asma, PPOK, serta ACOS dilihat dari perburukan fungsi paru.8 Patogenesis Pada penyakit obstruktif paru, terdapat tiga karakteristik klinis umum, yaitu inflamasi jalan nafas, obstruksi jalan nafas, dan hiperresponsivitas bronchus. Inflamasi kronik jalan nafas dibagi 2, yaitu inflamasi eosinofilik pada asma yang diakibatkan oleh CD4, serta inflamasi netrofilik pada PPOK yang diakibatkan oleh CD8. Pada beberapa populasi khusus seperti pasien asma perokok, didapatkan peningkatan netrofil jalan nafas seperti pada PPOK, sehingga lebih resisten terhadap steroid. Sebaliknya pada PPOK juga dapat terjadi inflamasi eosinofilik yang biasanya ditandai oleh variasi reversibilitas obstruksi jalan nafas setelah mendapat terapi steroid.6 164 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Secara klasik, hiperresponsivitas bronchus sejak lama merupakan tanda patognomonis asma yang menjadi predictor seseorang menderita asma di kemudian hari. Definisi-definisi asma terbaru tidak mencantumkan hiperresponsivitas bronchus lagi sebagai penanda asma, karena hal ini tidak sepenuhnya menjadi pembeda asma dan PPOK. Hiperresponsivittas bronchus diakibatkan berbagai faktor, seperti penyempitan diameter jalan nafas, penebalan dinding jalan nafas, peningkatan massa dan reaktivitas otot polos jalan nafas, peningkatan vaskularitas peri-bronkhial, kehilangan elastic recoil, inflamasi jalan nafas, cedera epitelial, dan peningkatan aktivitas neurogenik.8 Hiperreaktivitas bronchus juga dapat menjadi risiko terjadinya PPOK. Pada beberapa penelitian terakhir, semakin berat hiperreaktivitas bronchus akan meningkatkan volume residual, sehingga memperburuk airtrapping pada PPOK. Salah satu implikasi klinis lain hiperreaktivitas bronchus pada PPOK adalah dalam menurunkan fungsi paru (FEV1). Perburukan penurunan FEV1 pada pasien PPOK dengan hiperreaktivitas bronchus, terutama pada perokok juga menjadi prediktor kematian pada pasien PPOK.10 Postma dan van den Berge8 juga menggarisbawahi hiperresponsivitas jalan nafas ini. Pada review yang ditulis, mereka mendapatkan 98% pasien ACOS mengalami hiperresponsivitas jalan nafas dibandingkan 15% pada PPOK. Pada kasus ACOS dengan FEV1 rendah, hiperresponsivitas bronchus ini semakin nyata terlihat. Hal ini juga menimbulkan asumsi bahwa perburukan fungsi paru berhubungan dengan Denpasar, 30 Januari 2016 165 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA hiperresponsivitas bronchus pada kasus yang telah terdokumentasi sebagai ACOS. Hiperresponsivitas jalan nafas pada pasien PPOK dapat dilihat dengan melakukan tes provokasi dengan agen yang sesuai, seperti methacoline, histamine, manitol, adenosine, dan salin hipertonis. Hiperresponsivitas jalan nafas meningkat pada pasien perokok dan usia tua. Banyak konsensus menganjurkan hiperresponsivitas jalan nafas tidak hanya sebagai faktor risiko asma, tetapi PPOK juga. Hiperresponsivitas jalan nafas juga berhubungan dengan perburukan gejala klinis yang memberi respons terhadap pemberian terapi steroid.6,8,11 Gambar 2. Faktor risiko asma dan PPOK serta pengaruh lingkungan dan penuaan8 166 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Setelah melihat berbagai faktor risiko bersama untuk terjadinya asma dan PPOK, seperti penuaan, merokok, hiperresponsivitas jalan nafas, serta inflamasi, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana proses terjadinya overlap dari kedua kelainan ini. Dutch Hypothesis menyatakan bahwa asma dan hiperresponsivitas jalan nafas menjadi predisposisi terjadi PPOK di kemudian hari. Asma, PPOK, hiperresponsivitas jalan nafas, bronchitis kronik, dan emfisema merupakan ekspresi berbedadari satu kelainan pada jalan nafas. Munculnya ekspresi ini dipengaruhi faktor host dan lingkungan.6 Kriteria Klinis ACOS5 Konsensus bersama GINA dan GOLD telah merilis pedoman diagnosis ACOS. Pada consensus ini, langkah diagnosis dan manajemen ACOS dibagi menjadi lima langkah (step) utama. Step 1 mengidentifikasi penyakit jalan nafas kronik. Step 2 memilah temuan klinis pasien untuk menilai kecenderungannya ke arah asma atau PPOK. Step 3 panduan penilaian fungsi paru dengan spirometri. Step 4 berisi panduan pemberian terapi inisial. Step 5 memuat tentang panduan rujukan, bila diperlukan. Step 1 Kesimpulan yang harus didapat pada step 1 adalah keberadaan penyakit jalan nafas kronik. Langkah pertama ini sangat penting karena menentukan apakah investigasi dilanjutkan ke langkah berikutnya atau tidak. Step 1 ini dapat dilewati setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis. Denpasar, 30 Januari 2016 167 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Pada anamnesis penting digali tentang riwayat gejala respirasi seperti batuk kronik, produksi dahak, sesak nafas, atau mengi serta kejadian infeksi saluran nafas berulang. Riwayat diagnosis asma atau PPOK sebelumnya, riwayat pengobatan dengan terapi inhalasi, riwayat merokok atau pajanan gas dan partikel berbahaya. Pada pemeriksaan fisik penting diidentifikasi tanda penyakit paru kronis dan hiperinflasi. Sementara pada pemeriksaan radiologis bias dengan rentang hasil normal hingga kelainan paru berat. Step 2 Pada langkah kedua ini, dilakukan pengelompokan gejala, tanda, dan karakteristik klinis pasien apakah mengarah ke asma atau PPOK. Pada langkah ini dapat digunakan tabel ceklist yang terstandar (Gambar 3). Setelah dilakukan pengisian ceklist tadi, kemudian dihitung berapa checkbox yang terisi dari masing-masing kolom asma dan PPOK. Apabila pada salah satu kolom didapatkan 3 atau lebih checkbox terisi, maka diagnosis lebih cenderung ke kolom kelainan yang bersangkutan. Sedangkan bila pada kedua kolom terdapat checkbox yang terisi, diagnosis ACOS dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut. 168 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Gambar 3. Checkbox untuk diisi sesuai dengan temuan klinis pasien. Step 3 Pemeriksaan spirometri sangat esensial pada asesmen pasien kelainan jalan nafas kronik. Waktu yang tepat untuk melakukan spirometri idealnya pada awal diagnosis, sebelum serta setelah initial treatment. Spirometri Denpasar, 30 Januari 2016 169 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA pada awal pasien datang dapat menjadi kriteria eksklusi, sehingga pasien tidak perlu mendapat initial treatment dan bisa menghemat waktu untuk langsung menjalani pemeriksaan lain sesuai dengan kelainan yang dideritanya. Sebaliknya bila diagnosis terkonfirmasi, dapat langsung menerima initial treatment. Karakteristik pengukuran spirometri untuk ACOS antara lain FEV1/FVC post bronkodilator < 0,7, test reversibilitas positif (peningkatan FEV1 post bronkodilator >12% atau 400ml dibandingkan baseline. Step 4 Pemberian terapi disesuaikan dengan kecenderungan diagnosis yang didapat. Pada kasus asma diberikan terapi sesuai standar dari GINA. Sedangkan kasus PPOK diberikan terapi sesuai standar GOLD. Sementara terapi inisial apabila ACOS teridentifikasi adalah pemberian inhalasi kortikosteroid (ICS) dengan kombinasi long acting β2 agonist (LABA) dengan/atau tanpa long acting muscarinic antagonist (LAMA). Terapi untuk faktor risiko eksaserbasi dan kondisi komorbid secara komprehensif juga diberikan pada pasien ACOS. Sementara penanganan non farmakologis seperti aktivitas fisik, stop merokok, rehabilitasi paru, serta vaksinasi juga tetap diberikan sesuai indikasi. Step 5 Seperti halnya asma, pasien ACOS sebenarnya dapat ditangani pada fasilitas kesehatan primer. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi 170 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA pertimbangan untuk merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi atau dokter spesialis terkait, yaitu: Keluhan persisten dan sering eksaserbasi Diagnosis tidak jelas Pasien dengan asma atau ppok atipikal yang mengarah pada tambahan diagnosis kelainan respirasi lain Kondisi komorbid yang mempengaruhi manajemen jalan nafas pasien Masalah yang terjadi waktu pengobatan Ringkasan Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan sindrome kelainan jalan nafas kronis yang khusus. ACOS memiliki komponen asma dan PPOK secara bersama. Patogenesis ACOS merupakan gabungan pathogenesis asma, terutama dengan hiperresponsivitas jalan nafasnya, dan PPOK dengan air trapping dan progresifitas inflamasinya. Identifikasi sindrom ini pada kasus asma atau PPOK sangat penting dilakukan untuk memberikan penanganan yang lebih mengena dan berkaitan dengan faktor prognostik pasien ini ke depannya. Denpasar, 30 Januari 2016 171 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Daftar Pustaka 1. de Marco R, Pesce G, Marcon A, et al. The Coexistence of Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Prevalence and Risk Factors in Young, Middle-aged and Elderly People from the General Population. PLoS ONE 2013;8(5): e62985 2. Postma DS, van den Berge M. The different faces of the asthma−COPD overlap syndrome. Eur Respir J 2015; 46: 587–590. 3. Guerra S. Overlap of asthma and chronic obstructive pulmonary disease. Curr Opin Pulm Med. 2004;11: 7–13. 4. Soriano JB, Davis KJ, Coleman B, et al. The proportional Venn diagram of obstructive lung disease: two approximations from the United States and the United Kingdom. Chest 2003;124:474-81. 5. GINA and GOLD joint project. Diagnosis of Diseases of Chronic Airflow Limitation: Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap Syndrome (ACOS). 2015. 6. Papaiwannou A, Zarogoulidis P, Porpodis K, et al. Asthma-chronic obstructive pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current literature review. J Thorac Dis 2014; 6(S1): S146-S151. 7. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention. 2015 8. Postma DS, Rabe KF. The Asthma–COPD Overlap Syndrome. N Engl J Med 2015; 373: 1241-1249. 9. GOLD. Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD. 2015 172 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA 10. Miravitlles M, Soriano JB, Ancochea J, et al. Characteristic of the overlap COPD-asthma phenotype. Focus on physical activity and health status. Resp Med 2013;107:1053-1060. 11. Fu JJ, Gibson PG, Simpson JL,et al. Longitudinal Changes in Clinical outcomes in Older Patients with Asthma, COPD, and Asthma-COPD overlap Syndrome Denpasar, 30 Januari 2016 173 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Terapi Invasiv Asma (Bronkial Termoplasti Pada Asma) I Gede Ketut Sajinadiyasa Divisi Pulmonologi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar Pendahuluan Asma adalah merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan adanya inflamasi kronis saluran napas dengan tanda klins adanya gejala berupa batuk, sesak napas, dada berat dan mengi yang bervariasi dari waktu ke waktu dan disertai adanya hambatan aliran udara.1 Asma berat ditandai dengan gejala yang persisten, kebutuhan obat yang meningkat dan sering terjadi eksaserbasi. Walaupun kejadian asma berat diprediksi < 10% dari seluruh pasien asma namun pasien ini memiliki morbiditas yang tinggi dan kebutuhan biaya perawatan yang tinggi. Terapi utama asma adalah kortikosteroid, beta2 agonis. Terapi ini menekan inflamasi atau mengurangi penyempitan dengan merelaksasi otot polos saluran napas tapi tidak mencegah proses perubahan struktur yang kronis dari otot polos saluran napas pasien asma. Efektivitas obat tersebut tidak sama pada pasien-pasien dengan asma berat sehingga diperlukan pilihan terapi lainnya. Akhir-akhir ini pendekatan baru untuk terapi asma berat adalah bronkial termoplasti.2 174 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Bronkial termoplasti sebagai terapi pada asma berat Bronkial termoplasti merupakan konsep baru terapi pada asma, yang bertujuan menurunkan massa otot polos saluran napas dengan tujuan utama mengurangi kontriksi bronkus dam memperbaiki gejala asma. Penurunan massa otot polos saluran napas dilakukan dengan memberikan energi panas pada dinding saluran napas sebanyak 3 seri melalui tindakann bronkoskopi. Energi panas diberikan melalui sistem Alair yang terdiri dari generator listrik frekuensi radio dan kateter sekali pakai dan pada ujungnya terdapat empat elektrode yang dapat dikembangkan. Energi listrik diberikan melalui elektrode dan diubah menjadi panas setelah bertemu jaringan. Pemantauan tetap dilakukan pada generator energi untuk mamastikan derajat panas dan waktu pemanasan dan suhu yang diinginkan setinggi 650C. Suhu ini didapatkan pada penelitian binatang dan manusia dimana pada suhu terebut tercapai penurunan massa otot polos saluran napas dengan kerusakan struktur saluran napas yang sangat minimal. Energi diberikan selama 10 detik dietiap tempat terapi dan diperkirakan mencapai 18 W. Bronkial termoplasti diberikan secara sistematis pada lokasi di luar bronkus utama yaitu pada bronkus dengan diameter 10 – 3 mm atau pada saluran napas yang lebih distal. 2,3,4 Mekanisme kerja Pada asma otot polos saluran napas merupakan efektor utama dari bronkokontriksi yang bertanggungjawab terhadap beberapa stimulus termasuk mediator inflamasi. Otot polos juga dapat merangsang inflamasi Denpasar, 30 Januari 2016 175 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dengan memproduksi beberapa sitokin dan kemokin seperti CXCL10 (IP10) dan fractalkin yang berpartisipasi pada lingkaran autokrin. Sel mast berperan pada kaskade inflamasi ini dan berhubungan dengan otot polos saluran napas pada pasien dengan asma. Melalui aktivasi dan degranulasi juga dibentuk beberapa sitokin dan mediator seperti IL-4 dan leukotrin B4 yang berkontribusi pada hiperresponsip saluran napas dan merangsang peningkatan massa otot polos saluran napas. Oleh karenanya otot polos saluran napas berpartispasi aktif dalam respon inflamasi dan berkontribusi pada eksaserbasi asma.2,5,6 Bronkial termoplasti dapat menurunkan massa otot polos saluran napas melalui ablasi radiofrequency pada binatang sehat saluran napas manusia, dimana penurunan massa otot polos saluran napas dapat direproduksi pada saluran napas pasien asma atau merupakan satusatunya mekanisme yang bertanggungjawab untuk mafaat klinis terlihat pada pasien asma berat masih perlu penelitian lanjutan. Alternatif dan kontribusi mekanisme bronkial termoplasti yatu dapat memodifikasi matrik ekstraseluler yang dapat membuat struktur saluran napas tetap utuh, mengurangi hiperplasia kelenjar mukus dan perubahan pada automic tone saluran napas.2,3 Aspek prosedural Bronkial termoplasti dilakukan melalui 3 sesi bronkoskopi dengan interval 2-3 minggu. Sesi pertama dan kedua bronkial termoplasti dilakukan pada lobus bawah sedangkan sesi ke tiga dilakukan pada kedua 176 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA lobus atas secara bersamaan. Kenapa bronkial termoplasti dilakukan dalam 3 sesi adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk menterapi saluran napas dalam lobus dan mencegah terjadinya iritasi yang luas. Saluran napas pada lobus medius kanan dihindari oleh karena dikawatirkan terjadi stenosis bronkus.2,3 Pasien diberikan prednisolon 50 mg selama 5 hari yang dimulai 2-3 hari sebelum tindakan, untuk mengurangi respon inflamasi setelah tindakan. Pada hari akan dilaksanakan bronkoskopi pasien hendaknya dievaluasi apakah ada tanda klinis eksaserbasi atau ada infeksi saluran napas, bila ada sebaiknya tindakan bronkial termoplasti ditunda. Pemeriksaan spirometri dan terapi bronkodiltor sebelum tindakan direkomen. Oksigen selama tindakan sebaiknya diturunkan untuk mencegah kemungkinan percikan api. Bronkoskop yang digunakan adalah standar dewasa dengan diameter working channel minimal 2 mm. Bronkoskopi dengan bronkial termoplasti dapat dikerjakan dengan anastesi lokal dan dengan sedasi sedang sampai dalam. Prosedur dimulai dengan melihat saluran napas untuk menilai mukosa dan sekresi akibat infeksi dan bila ada tanda-tanda infeksi sebaiknya tindakan di tunda. Kemudian bronkoskop diarahakan ke distal bronkus dari saluran napas yang ditentukan dan berhenti pada titik dimana bronkoskopik dapat melihat dinding bronkus dengan jelas. Kateter kemudian dimasukan melalui bronkoskop untuk mencapai bronkus distal yang masih memungkinkan. Elektrode kemudian dikembangkan sampai menempel dengan dinding bronkus. Energi kemudian diberikan selama 10 detik untuk setiap tindakan. Denpasar, 30 Januari 2016 177 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Bila telah selesai satu tindakan elektrode dikuncupkan kembali dan ditarik 5 mm untuk memulai tindakan selanjutnya dan selanjutnya ke proksimal dan pindah ke percabangan bronkos lainnya. Oleh karena adanya variasi anatomi saluran napas pada pasien jumlah tindakan yang dilakukan dapat berbeda dengan kisaran 40-60 tindakan dan bronkial termoplasti dapat berlangsung sekitar 45-60 menit.2,3,4 Efektivitas Bronkial Termoplasti Bronkial termoplasti merupakan alternatif terapi yang cukup efektif pada pasien asma. Ada tiga studi yaitu studi AIR(Asthma Intervention Research), RISA(The Research in Severe Asthma) dan AIR2 yang memberi bukti bahwa bronkial termoplasti efektif untuk asma. Efek pada kualiatas hidup. Studi AIR mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik pada kelompok pasien yang mendapat terapi bronkial termoplasti dibanding kelompok pasien tanpa bronkial termoplasti. Begitu juga hasil yang didapatkan pada studi RISA dan AIR2 dimana kualitas hidup yang diukur dengan AQLQ(Asthma Quality of Life Questionnaire) menunjukan perbaikan dibanding kelompok kontrol.3,4 Efek pada kontrol asma. Pada studi awal dilaporkan terjadi perbaikan dimana pasien yang mendapat bronkial termoplasti didapatkan peningkatan hari bebas serangan dalam pemantauan 3 bulan pasca bronkial termoplasti. Pada studi AIR kontrol asma membaik setelah bronkial termoplasti, lebih banyak memiliki hari tanpa gejala asma dan bermakana memperbaiki kualitas hidup. Kelompok yang mendapatkan 178 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA bronkial termoplasti lebih sedikit menggunakan obat pelega, rata-rata dua kali lebih sedikit dalam setahun. Pada studi RISA dan AIR2 juga mendapat kontrol asma yang lebih baik.3 Efek pada eksaerbasi, perawatan darurat dan absen dari kerja dan sekolah. Pada studi AIR kelompok bronkial termoplasti didapatkan serangan yang lebih sedikit selama tidak mengunakan beta2 agonis kerjang panjang selama satu tahun dibanding kelompok kontrol. Pada studi AIR2 dibanding dengan kontrol, kelompok bronkial termoplasti menunjukan lebih sedikit eksaserbasi berat, lebih sedikit kunjungan ke perawatan emergensi dan lebih sedikit absen di tempak kerja ataupun sekolah.3,4 Efek Pada Fungsi Paru dan hiperesponsif saluran napas. Studi kelayakan melaporkan terjadi perbaikan pada aliran ekspirasi dan responsivitas saluran napas setelah 3 dan 12 bulan tindakan bronkial termoplasti. Perbaikan ini bertahan samapai 3 tahun walaupun ini tidak bermakna oleh karena sampel tidak semuanya dapat dievaluasi terutama pada kelompok tanpa bronkial termoplasti. Pada studi AIR peak flow pagi lebih baik dibanding kelompok kontrol. Pada studi AIR2 tidak ada perubahan pada fungsi paru setelah satu tahun pasca tindakan tapi terjadi penurunan pada konsumsi steroid. Faktanya efek bronkial termoplasti pada asma sebanding dengan omalizumab dengan perbaikan pada kejadian eksaserbasi dan kualitas hidup namun tidak berefek pada fungsi respirasi.3 Denpasar, 30 Januari 2016 179 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Keamanan Kejadian yang merugikan yang diobservasi selama terapi dan setelah terapi dapat dilihat dari 4 studi yaitu studi kelayakan pada asma ringan dan sedang, Studi AIR pada asma sedang dan berat, Studi RISA dan AIR2.3 Kejadian merugikan pada peride awal tindakan. Kelompok yang diterapi dengan bronkial termoplasti menunjukan lebih banyak mengalami gejala khas asma seperti batuk, wesing, sesak dan terbangun di malam hari dibanding kelompok kontrol dan kadang dijumpai gejala lain seperti demam beberapa jam setelah terapi. Gejala ini biasanya menghilang dalam 7 hari tapi juga bisa membutuhkan perawatan dirumah sakit pada 3,4% dari bronkoskopi pada asma sedang dan berat dari studi AIR2 dan 15,6% dari asma berat pada studi RISA. Penemuan ini menekankan bahwa pentingnya kontrol asma yang optimal sebelum tindakan dan monitor yang ketat setelah periode tindakan. Pada studi AIR2 satu pasien mengalami hemoptisis dari lobus atas kanan 1 bulan setelah sesi terakhir dan membutuhkan embolisasi arteri bronkial.2,3 Kejadian merugikan setelah satu tahun dan waktu yang lebih lama. Setelah pemantauan jangka panjang pada 4 studi tersebut diatas tidak ada bukti terjadi stenosis akibat terapi ataupun bronkiektasis. Tidak satupun studi ini mendapatkkan kerusakan pada bronkus setelah memantau selama satu tahun. Satu kasus terjadi abses paru pada 14 bulan pada studi AIR2. Abses ini diduga oleh karena infeksi sekunder bukan secara langsung akibat bronkial termoplasti.3,4 180 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Setelah diikuti selama 5 tahun, FEV1 sebelum bronkodilator tetap stabil pada dua studi pada pasien asma sedang dan berat. Gambaran rontgen dada dan HRCT pada 3 dan 5 tahun tidak menunjukan perubahan struktur yang bermakna. Pada studi RISA pemantauan rontgen dada pada 5 tahun pada kelompok dengan asma berat, tidak dijumpai perubahan yang bermakna, FEV1 tidak mengalami penurunan dan jumlah yang membutuhkan perawatan rumah sakit karena eksaserbasi dari asma menurun selama periode ini.3 Kontraindikasi Konraindikasi dari bronkial termoplasti adalah adanya alat yang teranam dalam tubuh, adanya hipersensitif terhadap obat yang digunakan selama prosedur bronkoskopi dan adanya kondisi komorbid yang berat yang dapat meningkatkan risiko yang tidak diinginkan. Pasien dengan riwayat asma mengancam jiwa di keluarkan dari program penelitian. Pasien yang 3 kali atau lebih dirawat di rumah sakit dalam satu tahun karena serangan asma atau 4 kali atau lebib dalam satu tahun mengunakan steroid sistemik. Menggunakan bronkodilator kerja singkat lebih dar 4 hirup dalam satu hari. Infeksi saluran napas dan bronkiektasis merupakan kontraindikasi absolut bronkial termoplasti. Rinosinusitis kronis juga dikontraindikasi oleh karena sulit membedakan kejadian klinis karena rinosinusitis atau asma. Subyek dengan riwayat merokok melebihi 10 pack years juga dikeluarkan.2,3 Denpasar, 30 Januari 2016 181 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA Keuntungan dan Kerugian Bronkial Termoplasti Bronkial termoplasti merupakan terapi non-medikamentosa untuk pasien dengan asma berat yang telah menggunakan obat yang optimal tapi masih dengan status kontrol yang buruk. Adanya perkembangan terapi baru tentu disambut oleh semua pihak dan memberi harapan baru, namun bronkial termoplasti memerlukan dana yang besar untuk bronkoskopi dan kateter sekali pakai yang digunaka, terutama untuk negara berkembang. Mungkin masih perlu penelitian lebih lanjut apakah terapi ini memberikan keuntungan secara ekonomi.2 Ringkasan Bronkial termoplasti merupakan terapi baru untuk pasien asma berat dengan konsep untuk murunkan massa otot polos saluran napas dengan tujuan utama mengurangan kontriksi bronkus dan menghilangkan gejala asma. Penurunan massa otot polos saluran napas dilakukan dengan memberikan energi panas pada dinding saluran napas sebanyak 3 seri melalui tindakann bronkoskopi. Energi panas diberikan melalui sistem Alair yang terdiri dari generator listrik frekuensi radio dan kateter sekali pakai pada ujungnya terdapat empat elektrode yang dapat dikembangkan. Terapi ini cukup efektif. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa kelompok yang mendapat bronkial termoplasti dijumpai adanya peningkatan kualitas hidup, meningkatkan hari besas gejala asma, menurunkan kejadian ekserbasi berat. Secara ekonomi tindakan ini relatif masih mahal mengingat akan peralatan seperti peranngkat bronkoskopi dan kateter 182 Denpasar, 30 Januari 2016 ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA dengan elektrode yang sekali pakai. Masih diperlukan kajian terhadap terapi ini apakah dapat memberi manfaat baik klinis dan ekonomi. Daftar Pustaka 1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2015 update). 2. Wahidi MM, Kraf M. Bronchial thermoplasty for severe asthma. Am J Respir Crit Care Med 2012 ; 185:709-714 3. Dombret MC, Alagha K, Boulet LP, Brillet PY, Joos G, Laviolette3 M, Louis R, Rocha T, Soccal P, Aubiel M,Chanez P. Bronchial thermoplasty: a new therapeutic option for the treatment of severe, uncontrolled asthma in adults. Eur Respir Rev 2014; 23: 510–518 4. Laxmanan B, Hogarth D K. Bronchial thermoplasty in asthma: current perspectives. Journal of Asthma and Allergy 2015:8: 39-49 5. Cox C, Kjarsgaard M, Surette MG, Cox PG, Nair P. A multidimensional approach to the management of severe asthma: Inflammometry, molecular microbiology and bronchial thermoplasty. Can Respir J 2015;22(4):221-224 6. Keglowich LF, Borger P. The Three A’s in Asthma – Airway Smooth Muscle, Airway Remodeling & Angiogenesis. The Open Respiratory Medicine Journal 2015; 9: 70-80 Denpasar, 30 Januari 2016 183