Untitled

advertisement
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
NASKAH LENGKAP
Denpasar, 30 Januari 2016
1
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
KATA PENGANTAR
Om Swastyastu,
Teman sejawat Yth.
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
oleh karena Rahmat-Nyalah Naskah Lengkap ini dapat terselesaikan.
Semoga buku ini dapat bermanfaat membantu para teman sejawat sebagai
petunjuk dari program acara yang akan disajikan dalam “Asthma Meeting:
Comperhenssive Approach Of Asthma” dan dapat dijadikan sebagai bahan
diskusi atau tukar pikiran bagi para peserta. Juga semoga naskah Lengkap
yang ada dalam buku ini dapat menambah pengetahuan dan masukan
kepada para teman sejawat sehingga dapat meningkatkan SDM masingmasing peserta.
Panitia sangat menyadari banyak sekali kekurangannya maka
dengan rendah hati panitia menyampaikan permohonan maaf yang
sebesar-besarnya apabila dalam penyusunan buku ini dan dalam
penyelenggaraan “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of
Asthma” kurang berkenan di hati Teman Sejawat, karena hal tersebut
benar-benar di luar kesengajaan dan di luar jangkauan kemampuan kami.
Sebagai akhir kata, kami ucapkan selamat atas partisipasi dan
kehadirannya pada “Asthma Meeting: Comperhenssive Approach Of
Asthma” ini dan untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Denpasar, Januari 2016
Prof. Dr. dr. I D Bagus Ngurah Rai, SpP(K)
Ketua Panitia
2
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
DAFTAR ISI
Overview Asma: Masalah Asma Global ............................................... 4
Patogenesis Asma ............................................................................. 13
Patofisiologi Asma.............................................................................. 23
Diagnosis Asma ................................................................................. 25
Penanganan Asma Akut

Layanan Primer ...................................................................... 36

Instalasi Gawat darurat .......................................................... 50
Hospital Management of Asthma

Tatalaksana Asma diruang Rawat Inap .................................... 64

Intensive Care Setting ............................................................ 76
Tataksana Asma Jangka Panjang ........................................................ 93
Dificult Asma ..................................................................................... 104
Asma Pada Usia Lanjut ...................................................................... 119
Asma Dalam Kehamilan ..................................................................... 127
Asma Kerja ........................................................................................ 147
Exercise Induced Asthma (EIA) ........................................................... 153
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) .......................................... 160
Terapi Invasiv Asma (Bronkial Termoplasti Pada Asma) ..................... 174
Denpasar, 30 Januari 2016
3
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Overview Asma: Masalah Asma Global
Ida Bagus Ngurah Rai
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma adalah salah satu penyakit saluran nafas kronik utama, yang
mengenai 1-18% penduduk di suluruh dunia. Asma ditandai oleh keluhan
respirasi, seperti mengi, sesak, rasa berat di dada, dan/atau batuk serta
hambatan aliran udara ekspirasi yang variabel. Variabel disini dimaksudkan
bahwa semua gejala dan bukti hambatan aliran udara ekspirasi tersebut
terjadi fluktuatif dalam hal waktu dan intensitasnya. Variasi tersebut terjadi
akibat rangsangan berbagai faktor pencetus seperti aktivitas fisik, allergen,
iritan, perubahan cuaca, atau infeksi virus.1
Asma merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Asma dapat
mengenai semua orang dari berbagai kelompok umur di semua wilayah di
seluruh dunia. Prevalensi asma terus meningkat dalam beberapa tahun
terakhir, terutama pada anak-anak.1 Peningkatan kejadian asma biasanya
didapatkan pada masyarakat yang mengadopsi gaya hidup barat (western
lifestyle) serta pada daerah urban. Peningkatan proporsi kaum urban yang
diproyeksikan pada tahun 2025 menjadi 59% juga diprediksi meningkatkan
prevalensi asma dalam satu decade ke depan. Pada tahun 2025
diperkirakan terjadi penambahan prevalensi asma 100 juta kasus lagi.2
4
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Masalah utama pada asma adalah beban medis dan sosioekonomi
yang dialami. Secara medis, pasien asma akan mengalami penurunan
kualitas hidup yang gradual. Bila tidak dilakukan manajemen yang tepat,
penyakit asmanya akan menjadi tidak terkontrol dengan segala
konsekuensi perburukan anatomi dan fisiologis saluran nafas. Selain itu,
masalah efek samping obat juga muncul pada kasus yang tidak ditangani
sesuai pedoman terapi yang ada. Selain konsekuensi medis, masalah sosioekonomi juga muncul akibat asma. Pasien asma akan mengalami
penurunan produktivitas kerja serta prestasi belajar pada pasien usia
sekolah. Selain itu, beban ekonomi dalam penanganan asma juga sangat
tinggi.2
Masalah global asma memaang masih tetap menjadi perhatian
berbagai organisasi kesehatan di dunia. Berbagai upaya disusun untuk
menurunkan beban asma tersebut. Berikut ini akan disampaikan berbagai
masalah epidemiologi, sosio-ekonomi yang diakibatkan oleh asma untuk
membuka wawasan dan memberikan gambaran besarnya masalah dan
lingkup asma.
Epidemiologi Asma
Asma merupakan penyakit kronis paling umum di dunia. Sekitar 300
juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan 250.000
kematian setiap tahunnya. Angka ini tersebar di berbagai belahan dunia.
Semua Negara di dunia tidak dapat terbebas dari asma. Variasi angka
prevalensi antar bangsa di seluruh dunia diakibatkan kualitas fasilitas
Denpasar, 30 Januari 2016
5
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kesehatannya, teknik surveilans yang digunakan, diagnosis dokter, serta
jaringan informasi masalah kesehatan yang dimiliki.
The World Health Survey mengungkapkan terjadinya variasi angka
prevalensi asma antar berbagai Negara di dunia. Selain itu, terdapat variasi
kejadian asmaantara asma berdasarkan diagnosis dokter dan berdasarkan
profil gejala yang dikeluhkan, termasuk mengi dalam 12 bulan terakhir.
Angka kejadian asma pada orang dewasa berdasarkan catatan diagnosis
dokter adalah 4,3 % (95 % CI: 4,2-4,4). Paling rendah di Cina (0,2%) dan
tertinggi di Australia (21%). Sedangkan angka prevalensi asma berdasarkan
keluhan klinis yang dilaporkan pasien adalah 4,5 % (95 % CI: 4,4-4,6),
didaptkan juga dengan variasi antar Negara yang cukup lebar. Angka
prevalensi terendah di Vietnam sebesar 1%, tertinggi di Australia 21,5%.
1.0 % in Vietnam to 21.5 % in Australia. Perbedaan angka prevalensi
tersebut kemungkinan diakibatkan oleh variasi tingkat pengetahuan dan
pengalaman klinisi dalam mendiagnosis asma yang tepat sesuai panduan
dan konsensus standar yang diacu di seluruh dunia.3
Prevalensi asma secara klinis juga digunakan GINA untuk
menentukan standar penghitungan angka kejadian asma. Cara ini dipakai
untuk mempersempit variasi akibat tidak adanya tes tunggal universal
untuk diagnosis asma, perbedaan klasifikasi asma, dan perbedaan
interpretasi keluhan dan gejala asma antar Negara-negara di dunia. Kriteria
klinis asma yang dipakai gold standard adalah temuan hiperresponsivitas
bronchus dan mengi. Gambar 1 menunjukkan peta prevalensi asma secara
klinis di seluruh dunia. Seperti yang dapat dilihat, banyak area di dunia
6
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang belum memiliki data terstandar, sehingga angka prevalensi asma yang
sebenarnya mungkin lebih tinggi.
Gambar 1. Peta Dunia Prevalensi Klinis Asma2
Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia
didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki
peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.
Apabila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2013 yang berjumlah lebih dari 248 juta jiwa, maka jumlah pasien asma di
Indonsia lebih dari 11 juta jiwa.5 Angka tersebut merupakan jumlah yang
sangat banyak untuk ditangani oleh dokter, khususnya spesialis terkait
yang kebanyakan terdistribusi di kota-kota besar.
Denpasar, 30 Januari 2016
7
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Selain angka prevalensi, angka kematian akibat asma juga menjadi
masalah tersendiri. Mencari angka kematian akibat asma memang sangat
menantang. Pada beberapa kasus, kematian yang terjadi pada pasien asma
bukan akibat langsung asma, sehingga menimbulkan kelompok positif
palsu. Sebaliknya pada kelompok negative palsu, kematian yang jelas
akibat
asma, disebutkan
oleh penyebab lain. GINA dan WHO
menstandarisasi angka kematian asma berdasakrkan populasi kelompok
umur 5-35 tahun. Case fatality rates dipakai untuk menggambarkan jumlah
kematian akibat asma setiap 100.000 pasien asma (Gambar 2).
Gambar 2. Peta Dunia berdasarkan Case Fatality Rate Asma2
8
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Beban asma secara epidemiologi dapat dilihat dari beberapa
perhitungan. Teknik penghitungan data yang paling sering dipakai adalah
Disability-adjusted life year (DALY). Satu DALY asma artinya hilangnya satu
tahun kehidupan akibat asma. Data WHO tahun 2001 menyebutkan
peringkat asma pada ranking 25 DALY berbagai penyakit di dunia, dengan
angka DALY 15,0.1,4
Beban ekonomi asma juga relatif sulit ditentukan secara global.
Berbagai estimasi dibuat di beberapa Negara dalam mencoba menghitung
berapa biaya yang diakibatkan oleh asma dari berbagai sektor kehidupan.
Beban langsung akibat penyakit asma dapat dilihat dari biaya pengobatan
dan perawatan pasien asma. Sedangkan biaya tidak langsung dihitung
berdasarkan efek negative asma pada produktivitas pasien. Pada beberapa
penelitian,beban indirek asma bahkan lebih tinggi dari beban langsung
asma akibat pengobatannya. Beban ekonomi ini bervariasi antara negara
dengan pendapatan tinggi dan rendah.6,7
Penelitian di Amerika tahun 2009 mendapatkan estimasi biaya total
untuk asma di populasi sebesar 56 milyar Dollar Amerika per tahun, atau
3.259 Dolar Amerika per pasien per tahun. Penelitian lain di Eropa tahun
2011 mendapatkan angka rerata biaya langsung untuk asma 19,5 milyar
EURO, sedangkan biaya tidak langsung mencapai 14,4 milyar EURO.6 Untuk
Negara Asia, angka estimasi di Hongkong mencapai 1.189 Dolar Amerika
per pasien per tahun untuk total biaya langsung dan tidak langsung dari
Asma. Sedangkan di Vietnam 184 Dolar Amerika per pasien per tahun.4
Denpasar, 30 Januari 2016
9
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Besarnya beban ekonomi asma ini sebenarnya dapat ditekan
menjadi jauh lebih rendah. Hal ini dicapai dengan semaksimal mungkin
menangani pasien asma untuk mencapai asma terkontrol. Mencapai asma
terkontrol memang masih menjadi permasalahan yang rumit. Dalam
komponen manajemen asma, berbagai faktor mempengaruhi outcome.
Tingkat kepatuhan berobat, ketersediaan obat kontroler pada layanan
kesehatan dan jaminan kesehatan nasional, harga obat yang mahal,
pemerataan distribusi obat, serta tingkat pengetahuan dokter dalam
menangani asma, sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan asma
mencapai status terkontrol.2,4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Asma
Berbagai faktor telkah diketahui mempengaruhi asma, tetapi tidak
ada satupun yang merupakan faktor spesifik untuk asma. Selama ini
berbagai faktor yang mempengaruhi asma dikategorikan menjadi 2
kelompok besar, yaitu faktor genetik dan non-genetik. Para ahli akhirnya
berkesimpulan, bahwa kedua faktor tersebut bersama-sama membentuk
wajah asma.
Faktor genetik sering dikaitkan dengan terjadinya asma dalam
keluarga. Banyak bukti menampilkan kejadian asma yang meningkat pada
populasi anak kembar serta pada riwayat orang tua asma.8 Kerentanan
genetic yang akhirnya diasumsikan mempengaruhi terjadinya asma pada
seorang pasien, terutama anak-anak. Genetik juga dihubungkan dengan
10
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
peranan alergi pada asma. Riwayat alergi pada keluarga menjadi standar
pertanyaan dalam memeriksa pasien asma.4
Kerentanan genetic asma saja sebenarnya belum cukup untuk
menimbulkan asma. Masih ada peranan faktor lingkungan, dalam hal ini
partikel dan kualitas udara, yang mempengaruhi timbulnya asma. Faktor
lingkungan atau sering juga disebut faktor non-genetik sering dikaitkan
dengan pencetus serangan asma, akibat kemampuannya menimbulkan
gejala asma baik secara langsung maupun setelah proses sensitisasi.1
Beberapa faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan asma antara
lain debu, asap, jamur dan kelembaban tempat tinggal, serbuk sari
tanaman, partikel dari hewan ternak atau hewan peliharaan, asap rokok,
perubahan cuaca, serta berbagai bahan berbahaya dari pajanan di tempat
kerja.4 Selain faktor lingkungan tersebut, beberapa faktor lain seperti
infeksi virus pernafasan, pemakaianobat golongan aspirin atau beberapa
antibiotika lain, aktivitas fisik, makanan tertentu, serta emosi juga dapat
mempengaruhi asma.
Ringkasan
Asma merupakan salah satu penyakit non-infeksi utama di dunia
dengan prevalensi yang tinggi. Asma dapat diderita oleh semua populasi di
dunia. Angka kematian akibat asma juga masih cukup tinggi. Asma juga
membawa masalah psiko-sosio-ekonomik yang cukup serius. Beban
ekonomi asma sangat tinggi, terutama akibat tidak terkontrolnya penyakit
Denpasar, 30 Januari 2016
11
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
ini. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi asma harus mendapat
perhatian oleh para klinisi, pasien, dan pemerintah.
Daftar Pustaka
1. Global
Initiative fo
Asthma.
Global
Strategy
for
Asthma
Management and Prevention updated 2015. 2015
2. Masoli M, Fabian D, Holt S, et al. Global Burden of Asthma.
GINA.2014
3. Croisant S. Epidemiology of Asthma: Prevalence and Burden of
Disease. In: Brasier AR(ed.) Heterogeneity in Asthma, Advances in
Experimental Medicine and Biology. 14th ed. Springer Science and
Business Media. New York;2014:pp.17-29
4. Global Asthma Network. The Global Asthma Report 2014. 2014
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)
2013.
6. Gibson GJ, Loddenkemper R, Sibille Y, et al. for European
Respiratory Society. Lung Health in Europe: Facts and Figures. 2013
7. Bahadori K, Dayle-Waters MM, Marra C, et al. Economic burden of
asthma: a systematic review. BMC Pulm Med 2009;9:24-30
8. Rees J. Prevalence. In: Rees J, Kanabar D, Pattani S (eds). ABC of
Athma 6th ed. Blackwell Publishing. London;2010:pp.6-9.
12
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
PATOGENESIS ASMA
Ketut Suryana
Divisi Alergi-Imunologi, Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unud - RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit dengan manifestasi klinis yang bervariasi
(heterogenous), namun mempunyai karakteristik suatu inflamasi kronik
dari saluran nafas (Chronic Airway Inflammation). Manifestasi klinis yang
dapat dijumpai pada asma, antara lain : riwayat adanya keluhan pada
sistim pernafasan, seperti : mengi, sesak nafas, dada berat / tidak nyaman
dan batuk dengan intensitas yang bervariasi sepanjang waktu serta adanya
keterbatasan saat mengeluarkan udara pernafasan (expiratory airflow
limitation) 1,2.
Prevalensi asma dilaporkan terus meningkat dengan estimasi saat
ini di dunia sekitar 300 juta. Fakta ini merupakan masalah kesehatan global
yang serius terutama di Negara sedang berkembang berkaitan dengan
beban biaya pengobatan dan beban psikososial karena menurunnya
kemampuan dan produktivitas kerja misalnya, baik secara individu maupun
masyarakat 1.
Denpasar, 30 Januari 2016
13
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Inflamasi kronik saluran nafas pada asma melibatkan berbagai sel
imunokompeten dan elemennya. Berbagai interleukin dan vascular
endotheleal growth factor merupakan sitokin penting pada hiperreaktivitas
bronkus.
Pemahaman tentang patogenesis asma dengan baik dan benar
diharapkan dapat menjadi dasar kajian berkaitan strategi pengelolaan
asma 3,4.
Key Words : asma, patogenesis, terapi biologi.
Inflamasi pada Saluran Nafas
Inflamasi saluran nafas
mempunyai peranan utama pada
patogenesis asma, dengan melibatkan berbagai sel imunokompeten dan
mediator yang akan menyebabkan timbulnya gejala asma1,4.
Inhalasi antigen mengaktifkan sel mast dan sel Th-2 di saluran
nafas, selanjutnya akan dilepaskan mediator inflamasi seperti : histamine,
leukotrien dan sitokin seperti : IL-4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke
sumsum tulang yang akan menyebabkan defrensiasi eosinofil. Eosinofil
sirkulasi masuk ke inflammatory site dan mengalami migrasi ke paru
dengan rolling / menggulir di endotel vaskuler tempat inflamasi,
mengalami aktivasi, adhesi, ektravasasi dan kemotaksis.
Eosinofil
berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di endotel melalui
14
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
perlekatannya dengan integrin di vascular-cell adhesion molecule (VICAM1) dan intercellular adhesion molecule (ICAM-1) 5.
Gambar 1. Mekasnisme Inflamasi 5 .
Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T, masuk ke saluran nafas dengan
pengaruh kemokin dan sitokin seperti RANTES, eotaksin, monocyte
chemotactic protein (MCP-1) dan macrophage inflammatory protein (MIP1α) yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator
inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk mencederai saluran
nafas. Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan
inflamasi saluran nafas yang persisten (Gambar-1) 5.
Denpasar, 30 Januari 2016
15
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Inflamasi dan Hiperresponsifnes Saluran Nafas
Sensitisasi alergen, virus, polutan udara mengakibatkan terjadinya
inflamasi kronik dengan peran utama dari eosinofil.
Sensitisasi
allergen
Virus
Polutan udara
Inflamasi kronik
Hiperresponsiveness
Bronkitis
eosinofilic
saluran nafas
Trigger Alergen
Exercise
Gejala
Udara dingin
Batuk
Mengi
Dada Berat
SO2
Sesak
Particulates
Gambar 2. Inflamasi dan hiperresponsifnes saluran nafas 6 .
16
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Inflamasi kronik saluran nafas selanjutnya berkembang menjadi keadaan
bronchial hyperresponsiveness. Adanya triger seperti : alergen, exercise,
udara dingin, SO2, particulates dapat mencetuskan serangan asma dengan
gejala dapat berupa batuk, dada berat, sesak nafas, mengi (Gambar 2) 6.
Patogenesis Asma
Antigen ditangkap (up take) oleh sel dendrit, selanjutnya dipecah
menjadi peptide yang lebih kecil dan membentuk kompleks dengan
molekul MHC-klas II menjadi Peptide-MHC klas II complex. Complex ini
melalui T cell receptor memberi signal kepada naive T-lymphocyte (Th-0),
selanjutnya akan disekresikan IL-12 yang akan menstimulasi Th-1 untuk
mensekresi IFN-γ, lymphotoxin, IL-2 dan disisi lain IL-12 menginhibisi Th-2
response 6.
Sedangkan stimulasi pada Th-2 lymphocyte akan menghasilkan
berbagai
Denpasar, 30 Januari 2016
17
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Gambar 3. Patogenesis Asma (Morris, J, 2015) 2
sitokin seperti : IL-4, IL-5, IL-13, IL-9,
GM-CSF. Sitokin tersebut
mempengaruhi sel-sel imunokompeten seperti limfosit B, eosinofil, basofil.
Mediator inflamasi yang dihasilkan mengakibatkan terjadinya perubahan
anatomis (anatomical changes) sehingga timbul manifestasi klinis asma
(Gambar 3) 2,6-8.
18
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Mediator dan Manifestasi Klinis Asma
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap manifestasi klinis asma 9.
Mediator
Tanda dan Gejala Asma
Histamin
Bronkokonstriksi,
eksudasi
protein
plasma, sekresi mucus
Leukotriens
Bronkonstriksi, eksudasi protein plasma,
sekresi mucus
Kinins
Bronkonstriksi, batuk
Prostaglandins
Bronkosntriksi
(prostaglandin
E2α,
prostaglandin
D2),
Anti
bronkokonstriktor (prostaglandin E2),
batuk (prostaglandin F2ɑ)
Mediator dan Terapi Biologi / Biological Therapeutics pada Asma
Degranulasi sel Mast melepaskan berbagai mediator seperti
leukotriens dan Platlet Activating Factor (PAF). Mediator tersebut yang
dominan berperan pada bronkokonstriksi akut.
Terapi yang ditujukan
untuk menghambat aktivitas
Denpasar, 30 Januari 2016
19
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Gambar 4. Mediator dan Target Terapi pada Asma 5.
sel Mast (kromolin) dan
relaksasi otot polos bronkus / bronkodilator
seperti epinefrin, teofilin. Obat-obat tersebut juga mempunyai efek
menghambat aktivitas sel Mast. Sel Mast juga melepaskan sitokin
proinflamasi, yang terutama berperan pada inflamasi saluran nafas reaksi
fase lambat. Kortikosteroid iberikan untuk menghambat sintesis sitokin
(Gambar 4) 5.
Terapi
biologi
pada
berbagai
penyakit
belakangan
mulai
berkembang termasuk pada strategi terapui asma. Pada terapi biologi yang
menjadi target sasran terapi adalah antibodi, soluble receptor 3-5
20
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Rangkuman
Inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel
imunokompeten dan elemennya merupakan dasar patogenesis asma .
Berbagai interleukin dan vascular endotheleal growth factor merupakan
sitokin penting pada hiperreaktivitas bronkus. Pemahaman tentang
patogenesis asma dengan lebih baik dan benar diharapkan dapat menjadi
dasar kajian berkaitan strategi pengelolaan asma. Demikian juga termasuk
pengembangan terapi biologi dengan demikian inflamasi kronik pada asma
dapat dikontrol .
Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Asthma. 2015. Pocket Guide for Health
Professionals, Updated 2015.
2. Morris, MJ. Asthma. Updated Dec 31, 2015. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/296301-overview.
Downloaded on: 17 Januari 2016.
3. Cook ML, Bochner BS. Update on Biological Therapeutic for Asthma.
WAO Journal. 2010 ; 3 : 188-194.
4. Biswas A, Papierniak E, Sriram PS. Role of Biologics in Management
of Asthma. Austin J of Pulm & Respir Med. 2015 ; vol. 2(2), 01-09.
5. Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Aster JC. 2010. Robbins and Cotran
Pathologis Basis of Disease. 8th Edition. China. Saunders
Elseiver.p:43-78.
6. Barnes PJ. Pathophysiology of asthma. Eur Respir Mon, 2003, 23,
84–113
7. Murdoch JR, Lloyd CM. Chronic inflammation and asthma.
Mutation Research 690 (2010) 24–39
Denpasar, 30 Januari 2016
21
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
8. Bradding P. Asthma: Eosinophil Disease, Mast Cell Disease, or Both?
Allergy, Asthma, and Clinical Immunology, Vol 4, No 2 (Summer),
2008: pp 84–90
9. Alenzi FQ. Alanazi2 FGB. Al-Faim AD, Al-Rabea MW. Tamimi5 W,
Tarakji B, et al. The role of eosinophils in asthma. Health 5 (2013)
339-343.
10. Ishmael FT. TResponse in the Pathogenesis of Asthma. JAOA 2011;
(Suppl 7); Vol 111(11): S11-S17.
22
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
PATOFISIOLOGI ASMA
Dr. dr. Tjokorda Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas dengan gejala
mengi (wheezing), sesak napas, dada terasa berat, batuk saat malam atau
dini hari. Serangan biasanya berkaitan dengan obstruksi luas saluran napas
di dalam paru, namun bervariasi. Obstruksi ini seringkali bersifat reversibel,
baik secara spontan atau dengan terapi. Namun demikian, obstruksi
saluran napas dapat menjadi gagal napas akibat peningkatan kerja
pernapasan, inefisiensi pertukaran gas, dan kelelahan otot pernapasan.
Obstruksi saluran napas yang bersifat rekuren disebabkan oleh
bronkokonstriksi, edema saluran napas, hiperresponsivitas saluran napas,
dan remodeling saluran napas, berupa: inflamasi, hipersekresi mukus,
fibrosis subepitelial, hipertrofi otot polos saluran napas, dan angiogenesis.
Inflamasi memegang peran sentral dalam patofisiologi asma. Inflamasi
saluran napas melibatkan interaksi berbagai tipe sel dan mediator.
Gambaran imunohistopatologis asma meliputi infiltrasi sel inflamasi
neutrofil (khususnya pada onset mendadak, eksaserbasi berat, asma
Denpasar, 30 Januari 2016
23
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
okupasional, dan perokok), eosinofil, limfosit, aktivasi sel mast, cedera sel
epitel.
Karakteristik patologi asma mengakibatkan peningkatan resistensi
saluran napas dan hiperinflasi paru dinamis. Hal ini akan mengakibatkan
konsekuensi sebagai berikut. 1) Peningkatan work of breathing. Hal ini
terjadi akibat peningkatan resistensi saluran napas dan penurunan
pulmonary compliance karena volume paru yang besar. 2) Ventilation–
perfusion mismatch. Hal ini mendasari kondisi hipoksemia dan hiperkapnia
pada penyakit paru. Penyempitan dan penutupan saluran napas akan
mengganggu pertukaran gas. 3) Interaksi kardiopulmoner. Fungsi jantung
dipengaruhi oleh perubahan volume paru dan tekanan intrapleura.
24
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Diagnosis Asma
IGN Bagus Artana
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit saluran nafas kronik yang sering terjadi
dan menimpa semua lapisan masyarakat. Asma menjadi masalah
kesehatan masyarakat utama di dunia. Kejadian asma berkisar antara 118% dari jumlah populasi pada berbagai negara. Asma terjadi pada
berbagai belahan dunia, baik negara maju atau negara berkembang. Hingga
saat ini asma masih menjadi salah satu penyakit non-infeksi dengan
prevalensi tertinggi. Perkiraan global terbaru dari Global Asthma Network
mendapatkan sebanyak 334 juta orang menderita asma di seluruh dunia.
Angka ini diperkirakan akan terus meningkat.1,2
Selain tingginya prevalensi, asma juga memiliki dampak sosioekonomi yang besar pula. Pasien asma, terlebih yang tidak terkontrol, akan
mengalami penurunan produktifitas yang signifikan. Mereka akan sering
tidak masuk sekolah atau kerja akibat asma yang dideritanya. Selain itu,
biaya yang dikeluarkan untuk penanganan asma juga sangat tinggi. Global
Initiative for Asthma (GINA) memperkirakan sekitar 1-2 persen dari seluruh
Denpasar, 30 Januari 2016
25
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
pembiayaan kesehatan suatu Negara dialokasikan untuk penanganan
asma.1
Berbagai organisasi kesehatan bidang respirasi di dunia telah
mengeluarkan konsensus atau panduan untuk mendiagnosis asma.
Sebagian besar konsensus tersebut bisa didapatlkan dengan mudah dan
gratis. Walaupun demikian, kejadian misdiagnosis atau underdiagnosis
asma masih tinggi, terutama pada populasi anak dan orang tua. Karadag,
dkk.3 melakukan penelitian pada 1134 pasien asma usia 1-17 tahun di
Turki. Hanya 45,5% yang langsung didiagnosis asma berdasarkan riwayat
serangan asma senmentara sisanya tidak langsung didiagnosis dan
ditangani sebagai asma. Penelitian Nish dan Schwietz4 pada tentara
Angkatan Udara Amerika di Texas juga mendapatkan hasil serupa. Pada
192 tentara AU yang baru masuk dilakukan pemeriksaan untuk asma sesuai
dengan consensus nasional. Didapatkkan 30% yang menderita asma, dari
sebelumnya dengan hasil tes kesehatan normal.
Pada populasi orang tua juga didapatkan masalah yang sama.
Banerjee, dkk5 juga mendapatkan hal serupa. Delapan puluh dua pasien
dari 199 lansia dengan diagnosis PPOK memiliki tes reversibilitas yang
positif. Hal ini artinya, hampir setengah pasien PPOK pada penelitian ini
merupakan pasien asma. Parameswaran, dkk.6 dari penelitian komunitas
juga menyimpulkan bahwa asma pada lanjut usia masih tidak diidentifikasi
dengan baik, sehingga penatalaksanaannya masih kurang optimal.
Diagnosis asma memang menjadi tantangan tersendiri dalam
manajemen pasien asma yang baik. Kesalahan diagnosis dan under26
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
diagnosis masih sering dijumpai pada praktek klinis sehari-hari dari
berbagai kelompok umur pasien. Berikut ini kami sampaikan panduan
mendiagnosis pasien dengan asma.
Diagnosis Asma
Asma secara umum dikenal memiliki karakteristik
gejala dan
hambatan aliran udara yang variabel dan episodik. Hal inilah yang menjadi
dasar dalam mendiagnosis asma. Diagnosis asma didapatkan dengan
mengidentifikasi kedua kondisi karakteristik tersebut. Gejala respirasi yang
sering dihubungkan dengan asma adalah mengi, sesak nafas, dada terasa
berat, atau batuk. Gejala-gejala tersebut memiliki karakteristik tersendiri
untuk mendukung diagnosis asma. Semakin banyak gejala yang ditemukan
pada pasien akan makin menguatkan dugaan kearah asma, terutama pada
kasus dewasa. Sementara itu, kronologis gejala yang biasanya memburuk
saat malam hari atau dini hari serta bervariasi intensitasnya juga
mendekatkan kita pada diagnosis asma. Karakteristik lain adalah pencetus
keluhan dan gejala tersebut yang sangat beragam mulai dari infeksi virus
(flu), olah raga, pajanan alergen, perubahan cuaca, gas iritan, atau bahkan
tertawa yang terlalu keras.(Gambar 1)1
Variabel kedua yang harus dibuktikan selain gejala yang episodik di
atas adalah hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke
waktu serta tingkat keparahannya. Hal ini memerlukan pemeriksaan fungsi
paru yang dilakukan pada pasien saat sedang eksaserbasi dan dalam konsisi
asma yang stabil. Pemeriksaan tes fungsi paru memerlukan alat spirometri
Denpasar, 30 Januari 2016
27
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang khusus dan dilakukan oleh petugas terlatih. Hal inilah yang sering
menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis asma, khususnya di fasilitas
kesehatan primer. Pada konsensus GINA, pemeriksaan tes fungsi paru
dapat dilakukan dengan pemeriksaan peakflow-meter yang lebih
sederhana dan mudah untuk dilakukan oleh petugas kesehatan di
perifer.1,7
Gambar 1. Bagan Diagnosis Asma1
28
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Konfirmasi untuk hambatan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
dapat dilakukan dengan berbagai cara pemeriksaan. Pada prinsipnya,
semakin lebar variasi fungsi paru yang didapatkan, makin meyakinkan
diagnosis
yang
didapatkan.
Berikut
ini
beberapa
tes
yang
direkomendasikan oleh GINA tahun 2015 serta hasil positif dari pasien
dewasa:1

Bronchodilator (BD) reversibility test positif :
Peningkatan FEV1 >12% dan >200 mL dari baseline, 10–15 menit
setelah inhalasi albuterol 200–400 mcg atau obat ekuivalennya

Variabilitas hasil PEF dua kali sehari yang eksesif selama 2 minggu :
Variabilitas PEF diurnal rata-rata >10%

Peningkatan fungsi paru signifikan setelah pengobatan dengan antiinflamasi selama 4 minggu :
Peningkatan FEV1 >12% dan >200mL (atau PEF >20%) dari baseline
setelah terapi 4 minggu, tanpa infeksi saluran nafas

Exercise challenge test positif :
Penurunan FEV1 >10% dan 200mL dari baseline

Bronchial challenge test positif :
Penurunan FEV1 ≥20% dari baseline dengan dosis methacholin atau
histamine standar atau penurunan ≥15% dengan rangsangan
hiperventilasi terstandar, salin hipertonis, atau manitol
Denpasar, 30 Januari 2016
29
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA

Variasi fungsi paru yang eksesif antara kunjungan ke dokter :
Variasi FEV1 >12% dan >200mL antara kunjungan, tanpa adanya
infeksi saluran nafas
Beberapa tes lain dapat dilakukan sesuai indikasinya. Tes provokasi
bronchus dilakukan pada kasus-kasus tidak ditemukannya hambatan aliran
udara yang sesuai dengan kriteria saat tes awal. Pada kondisi ini diperlukan
rangsangan untuk mencetuskan hambatan aliran udara yang dimaksudkan.
Beberapa bahan yang biasa dipakai untuk tes provokasi ini antara lain
methacholine, histamine, latihan fisik, atau manitol. Pada kasus asma alergi
dapat juga dilakukan tes alergi. Tes alergi yang sering dilakukan adalah skin
prick test atau IgE spesifik.1
Fractional Exhaled Nitric Oxide (FENO) merupakan salah satu
modalitas tes diagnosis asma terbaru yang cukup menjanjikan. Penggunaan
FENO ini dihubungjkan dengan pengukuran eosinophil pada sputum. Hasil
yang meningkat dari kedua tes ini akan lebih mengarahkan diagnosis pada
asma. Penelitian oleh Smith, dkk. menunjukkan superioritas FENO untuk
diagnosis asma dibandingkan hambatan aliran udara variable yang
merupakan pemeriksaan konvensional untuk asma. Pada pasien dengan
gejala kl;inis tidak spesifik atau meragukan, FENO lebih dari 50 ppb (part
per billion) lebih mengarah pada asma, dan memberikan respons yang baik
pada terapi dengan inhalasi kortikosteroid.1,8
30
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Asesmen Asma
Setelah diagnosis asma ditegakkan, pada setiap pasien asma harus
dilakukan beberapa asesmen tambahan. Asesmen dilakukan dalam hal
status kontrol asma (symptom control dan risiko outcome yang buruk di
masa yang akan datang), masalah terapi, serta asesmen komorbiditas.
Ketiga hal ini harus selalu dinilai sejak awal pasien didiagnosis menderita
asma serta setiap kali pasien datang untuk pemeriksaan rutin.1,9,10
Menilai status kontrol asma merupakan hal yang sangat penting
dalam menentukan keberhasilan terapi asma. Kontrol asma memiliki dua
bagian utama, yaitu penilaian gejala dan risiko untuk outcome buruk dalam
jangka panjang. Penilaian gejala asma mencakup segala keluhan yang
berhubungan dengan penyakit asma (mengi, sesak nafas, dada terasa
berat, dan batuk) serta pengaruh gejala tersebut dalam kehidupan seharihari pasien (beban medis dan psiko-sosial dan ekonomi). Symptom control
yang buruk sangat berhubungan dengan peningkatan risiko eksaserbasi
asma. Secara umum, penilaian symptom control dilakukan dengan
menanyakan segala keluhan dan kondisi yang berkaitan dengan asma
dalam 4 minggu terakhir dengan satuan hari dalam seminggu (Tabel 1).
Beberapa kuesioner seperti Asthma Control Questionnaire (ACQ) atau
Asthma Control Test (ACT), dapat diberikan pada pasien untuk membantu
menilai symptom control ini.9,10
Sedangkan asesmen faktor risiko outcome asma yang buruk didapat
dengan menilai faktor risiko eksaserbasi, faktor risiko hambatan aliran
udara menetap, serta faktor risiko efek samping pengobatan. Selain itu,
Denpasar, 30 Januari 2016
31
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
data mengenai FEV1 saat memulai terapi serta pengecekan rutin setiap 3-6
bulan sangat ideal dalam melengkapi penilaian risiko outcome asma ini
secara komprehensif.1
Tabel 1. Asesment kontrol asma menurut GINA 20151
Hal yang dialami pasien dalam
Terkontrol
4 minggu terakhir
Gejala
asma
siang
Terkontrol
Tidak
sebagian
terkontrol
hari
>2X/minggu
Terbangun malam hari akibat
tidak ada
asma
yang
Penggunaan
obat
pelega
1-2 variabel
dialami
3-4
variabel
>2X/minggu
Hambatan aktivitas akibat asma
Faktor risiko independen yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya
eksaserbasi antara lain gejala asma yang tidak terkontrol, penggunaan β2
agonis kerja cepat (short-acting β2 agonist/SABA) dosis tinggi (>200 dosiskanister
sebulan),
penggunaan
inhalasi
kontikosteroid
(inhaled
corticosteroid/ICS) yang tidak adekuat dari segi kepatuhan atau teknik
penggunaan inhaler, FEV1 rendah (<60% prediksi), masalah psikologis dan
32
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sosio-ekonomi mayor, pajanan rokok atau allergen, faktor komorbid
(obesitas, rhino-sinusitis, alergi makanan), eosinophilia (sputum atau
darah), kehamilan. Faktor utama lain yang meningkatkan risiko eksaserbasi
adalah riwayat intubasi atau dirawat di ruang intensif akibat asma serta
riwayat eksaserbasi berat ≥ sekali setahun. Faktor risisko mendapatkan
hambatan aliran udara menetap adalah terapi tanpa ICS, pajanan yang
menetap (asap rokok, bahan kimia dan pajanan dari tempat kerja), FEV1
awal yang rendah, hipersekresi mukus kronik, eosinophilia sputum atau
darah.1,11
Sedangkan faktor risiko timbulnya efek samping obat dapat dibagi
menjadi dua, yaitu sistemik dan lokal. Faktor risiko sistemik antara lain
konsumsi kortikosteroid oral yang sering, ICS dosis tinggi dan/atau sangat
poten, konsumsi obat lain yang bersifat inhibitor sitokrom P450. Sementara
faktor risiko lokal antara lain teknik penggunaan inhaler yang tidak tepat
serta penggunaan ICS dengan dosis tinggi atau poten.1,10
Asma sering didiagnosis sekunder, dimana pasien datang mencari
pertolongan kesehatan akibat masalah kesehatan selain asma dan
diagnosis asma akhirnya dapat digali. Beberapa kelainan yang sering
didapatkan bersama asma ini dikenal sebagai komorbid asma. Kelainankelainan tersebut antara lain rhinitis, rhino-sinusitis, gastroesophageal
reflux, obesitas, obstructive sleep apnea, depresi dan ansietas. Kelainankelainan tersebut selain dapat menjadi tempat masuknya diagnosis asma
juga berperan pada outcome dan status kontrol yang buruk dari pasien
asma.1
Denpasar, 30 Januari 2016
33
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Ringkasan
Asma merupakan penyakit tidak menular dengan penyebaran
paling luas dan beragam di dunia. Diagnosis asma yang tepat merupakan
kunci utama dalam upaya mengontrol asma secara efektif. Konsensus GINA
telah merumuskan cara sederhana dalam mendiagnosis asma. Asma sudah
dapat didiagnosis bila didapatkan gejala karakeristik dan hambatan aliran
udara yang variabel dan episodik.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int.
Accessed: 15 October 2015.
3. Karadag B, Karakoc F, Ersu R, et al. Is childhood asthma still
underdiagnosed
and
undertreated
in
Istanbul?
Pediatrics
International 2007;49:508-512.
4. Nish WA, Schwietz LA. Underdiagnosis of asthma in young adults
presenting for USAF basic training. Ann of Allergy 1992;69(3):239242.
5. Banerjee DK, Lee GS, Malik SK, et al. Underdiagnosis of asthma in
the elderly. Brit J Dis of the Chest 1987;81:23-29.
34
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
6. Parameswaran K, Hildreth AJ, Chadha D, et al. Asthma in the
elderly: underperceived, underdiagnosed and undertreated; a
community survey. Respir. Med. 1998;92:573-577.
7. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J
2006;15:20-34.
8. Smith AD, Cowan JO, Filsell S, et al. Comparisons between Exhaled
Nitric Oxide Measurements and Conventional Tests. Am J Respir Crit
Care Med 2004;169:473-478.
9. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American
Thoracic Society/European Respiratory Society statement: asthma
control and exacerbations: standardizing endpoints for clinical
asthma trials and clinical practice. Am J Respir Crit Care Med
2009;180:59-99.
10. Bateman ED, Reddel HK, Eriksson G, et al. Overall asthma control:
the relationship between current control and future risk. J Allergy
Clin Immunol 2010;125:600-8.
11. Chung KF, Wenzel SE, Brozek JL, et al. International ERS/ATS
Guidelines on Definition, Evaluation and Treatment of Severe
Asthma. Eur Respir J 2014;43:343-73.
Denpasar, 30 Januari 2016
35
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
PENANGANAN ASMA AKUT DI LAYANAN PRIMER
Ida Bagus Suta
Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah
Denpasar
PENDAHULUAN
Asma adalah masalah kesehatan global yang serius terjadi pada
semua kelompok umur. Prevalensinya meningkat di banyak negara,
terutama di kalangan anak-anak. Meskipun beberapa negara telah ada
penurunan rawat inap dan kematian akibat asma, tetapi masih merupakan
masalah pada sistem perawatan kesehatan, hilangnya produktivitas kerja
dan menimbulkan masalah sosial ekonomi.1
Asma adalah penyakit pernafasan dengan peradangan saluran
napas kronis, yang ditandai oleh gejala pernapasan seperti mengi, sesak
napas, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu. Diagnosis asma
didasarkan pada riwayat pola gejala karakteristik dan bukti keterbatasan
aliran udara.
Dalam perawatan primer, pasien asma akut atau berat yang
mengancam jiwa harus diberikan pengobatan yang akurat, termauk menilai
kegawatan penderita dan sesegera mungkin mereferal penderitan ke
pelayanan kegawatan yang lebih tinggi.
36
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tujuan pengobatan asma dilayanan primer adalah untuk cepat
meringankan obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi
yang mendasari, dan mencegah kekambuhan.2.3
Eksaserbasi asma
Eksaserbasi asma adalah suatu episode yang ditandai dengan
memburuknya secara progresif gejala sesak napas, batuk, mengi serta
penurunan fungsi paru yang progresif. Eksaserbasi dapat terjadi pada
pasien asma yang sudah ditegakkan sebelumnya, atau sebagai presentasi
asma untuk pertama kalinya. Eksaserbasi biasanya terjadi sebagai reaksi
paparan agen eksternal (misalnya virus, infeksi saluran pernapasan atas,
serbuk sari atau polusi) atau ketidak-kepatuhan pada obat pengontrol.
Eksaserbasi berat dapat terjadi pada pasien asma ringan, tetapi juga bisa
pada asma yang terkendali dengan baik. 4.5
Mengidentifikasi pasien pada risiko kematian terkait dengan asma
Selain faktor-faktor yang telah diketahui meningkatkan risiko
serangan asma, beberapa keadaan secara khusus dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian terkait dengan asma yaitu:
 Riwayat asma yang pernah membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik
 Riwayat pernah dirawat atau perawatan darurat asma.
Denpasar, 30 Januari 2016
37
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
 Sedang menggunakan kortikosteroid oral, atau setelah penghentian
kortikosteroid oral.
 Tidak sedang menggunakan corticosteroid inhalasi
 Penggunaan berlebihan SABA, terutama menggunakan lebih dari
satu flakon salbutamol ( atau sejenisnya ) perbulan.
 Ada riwayat penyakit kejiwaan atau masalah psikososial.
 Ketidak-patuhan dengan obat asma dan atau ketidak-patuhan (
atau kurangnya ) terhadap rencana tindakan-tertulis asma.
 Alergi makanan pada pasien dengan asma
Adanya satu atau dua dari faktor resiko tersebut diatas, penderita
harus disarankan mencari pertolongan medis sesegera mungkin pada
awal terjadinya serangan.5
Menilai keparahan serangan akut
Eksaserbasi adalah memburuknya gejala dan fungsi paru dari
keadaan
biasanya sehari-hari.Penurunan aliran udara ekspirasi dapat
diukur dengan pengukuran APE atau VEP1, Pengukuran ini merupakan
indikator yang lebih baik dari menilai memburuknya gejala eksaserbasi .
Tetapi harus diingat juga bahwa gejala yang dirasakan oleh penderita lebih
sensitif
daripada hasil pemeriksaan APE dan VEP1. Pada kasus-ksus
tertentu pemeriksaan obyektif ini akan sulit dilakukan pada penderita
yang tidak kooperatif dan serangan yang sangat berat. 1.5
38
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Anamnesis dan riwayat singkat terfokus pada pemeriksaan fisik
yang relevan yang harus dilakukan bersamaan dengan inisiasi terapi, dan
temuan dicatat pada status. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda
serangan akut parah atau mengancam jiwa maka pengobatan dengan
SABA, pemberian oksigen dan kortikosteroid sistemik harus dimulai.
Serangan akut ringan biasanya dapat diobati di layanan primer,
tergantung pada fasilitas dan keahlian medis yang tersedia.Serangan akut
berat berpotensi mengancam jiwa penderita dan memerlukan asesmen,
pengobatan, dan pengawasan yang ketat. Referal dilakukan segera apabila
fasilitas tidak memadai dengan pengobatan awal sudah diberikan terlebih
dahulu.1.5
Riwayat Penderita
Anamnesis harus mencakup:
 Waktu onset dan penyebabnya (jika diketahui) dari serangan akut
ini
 Keparahan gejala asma, termasuk keterbatasan aktifitas atau tidur.
 Adanya gejala anafilaksis
 Adanya faktor risiko berat bererkaitan dengan asma
 Semua obat pereda dan kontroler, termasuk dosis dan cara
pemakaian, pola kepatuhan, perubahan dosis, dan respon terhadap
terapi.
Denpasar, 30 Januari 2016
39
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik:
 Tanda-tanda keparahan serangan akut
dan tanda-tanda vital
(misalnya tingkat kesadaran, suhu, denyut nadi, laju napas, tekanan
darah, kemampuan untuk berkata dalam kalimat, penggunaan otot
aksesori, mengi).
 Faktor penyakit penyerta (misalnya anafilaksis, pneumonia,
pneumotoraks)
 Tanda-tanda kondisi alternatif lain yang bisa menyebabkan sesak
napas akut (misalnya gagal jantung, gangguan saluran napas bagian
atas, benda asing atau emboli paru).
Pemeriksaan obyektif
 Pulse oksimetri. Tingkat oksimetri <90% pada anak-anak atau orang
dewasa merupakan tanda untuk terapi agresif.
 APE pada pasien yang lebih tua dari 5 tahun.5
PENGOBATAN SERANGAN AKUT PADA LAYANAN PRIMER
Terapi awal meliputi pemberian oksigen, bronkodilator inhalasi
short-acting, dan pemberian kortikosteroid sistemik. Tujuannya adalah
untuk mengurangi dengan cepat obstruksi aliran udara dan hipoksemia,
mengatasi inflamasi yang mendasari dan mencegah kekambuhan. (Gb.1)
40
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Inhalasi beta2-agonis kerja cepat (short-acting beta2-agonis/SABA)
Untuk serangan akut ringan sampai sedang, pemberian beta2agonis kerja cepat dapat diulang ( 4-10 inhalasi setiap 20 menit untuk jam
pertama) dan biasanya merupakan cara yang paling efektif dan efisien
untuk mencapai mengembalian aliran udara dengan cepat .
Setelah satu jam pertama, dosis SABA dilanjutkan antara 4-10
puff setiap 3-4 jam, atau lebih sering. Tidak diperlukan tambahan SABA jika
ada respon yang baik pada pengobatan awal (misalnya APE> 60-80% dari
nilai prediksi). Pemberian SABA melalui MDI dan spacer atau DPI maupun
pemberian nebulisasi menghasilkan peningkatan fungsi paru yang hampir
sama. Namun, pasien dengan asma berat akut tidak termasuk didalamnya.
Pemberian SABA melalui MDI dan spacer biayanya murah karena spaser
dapat dipergunakan berkali kali. Spaser setelah dipergunakan harus dicuci
bersih agar siap dipergunakan pada kasus berikutnya.6.7
Denpasar, 30 Januari 2016
41
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Gb.1: Managemen Eksaserbasi Asma Pada Layanan Primer.6
42
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Terapi oksigen (jika tersedia)
Terapi oksigen harus dimonitor dengan pulse oximetry (jika
tersedia) untuk mempertahankan saturasi oksigen pada 93-95% (94-98%
untuk anak-anak 6-11 tahun). Pemberian terapi oksigen secara perlahan
akan memberikan hasil klinis yang lebih baik daripada pemberian terapi
oksigen 100% dengan aliran cepat. Oksigen sebaiknya tidak diberikan jika
oksimetri tidak tersedia. Penderta harus dipantau apakah terjadi
perburukan, mengantuk atau kelelahan.
Tujuan pemberian oksigen ini adalah untuk cepat meringankan
obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi patofisiologi inflamasi
yang mendasari, dan mencegah kambuh.8.9.10
Kortikosteroid sistemik
Kortikosteroid oral
harus diberikan segera, terutama jika pasien
memburuk, atau jika pemberian obat SABA dan kontroler sudah perlu
peningkatan dosisnya. Dosis yang dianjurkan untuk orang dewasa adalah 1
mg prednisolon/kg/hari sampai maksimal 50 mg/hari, dan 1-2 mg/kg/hari
untuk anak-anak 6-11 tahun sampai maksimal 40 mg/hari) . Kortikosteroid
oral biasanya harus dilanjutkan selama 5-7 hari.11.12.13
Denpasar, 30 Januari 2016
43
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Obat pengontrol
Pasien yang sudah diberikan obat kontroler harus diberikan saran agar
berhati-hati bila ada peningkatan dosis untuk 2-4 minggu ke depan. Bila
pasien saat ini tidak minum obat pengontrol maka sarankan agar mulai
penggunaan terapi kortikosteroid inhalasi atau obat golongan Long Acting
Beta Agonis (LABA) inhalasi. Bila terjadi serangan akut yang membutuhkan
perawatan medis maka hal ini menunjukkan bahwa ada peningkatan risiko
serangan akut dikemudian hari.14.15
Antibiotik (tidak disarankan)
Tidak ada bukti kuat yang mendukung peranan antibiotik dalam serangan
asma akut kecuali ada bukti tentang adanya infeksi paru (misalnya demam
dan sputum purulen atau ada tanda-tanda pneumonia secara radiologis).
Pengobatan agresif dengan kortikosteroid harus dilaksanakan sebelum
antibiotik dilakukan.5
Menilai respon pengobatan
Selama perawatan pasien harus dipantau secara ketat, dan pengobatan
diberikan sesuai dengan respon penderita. Pasien dengan tanda-tanda
serangan akut parah atau yang mengancam jiwa, gagal dalam merespon
terapi, atau yang terus memburuk maka harus direferal langsung ke
fasilitas perawatan akut yang lebih tinggi. Pasien dengan respon minimal
atau lambat dengan pengobatan SABA harus dimonitor secara seksama.
44
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pengobatan tambahan harus terus sampai PEF atau FEV1 mencapai nilai
tertentu atau (idealnya) kembali ke nilai terbaik pasien. Keputusan
kemudian dapat dibuat apakah akan mengirim pasien pulang atau
mereferal ke fasilitas perawatan akut yang lebih tinggi.
Tindak-lanjut pengobatan
Obat pulang yang diberikan harus mencakup pelega, kortikosteroid oral,
dan kontroler. Cara penggunaan alat inhalasi yang benar harus diajarkan
dan kepatuhan berobat harus dikaji sebelum dipulangkan. Tindak-lanjut
harus direncanakan selama sekitar 2-7 hari kemudian, tergantung pada
konteks klinis dan sosial .
Pada kunjungan kontrol selanjutnya harus dinilai peringkat gejala dan
faktor risiko; menelaah potensi penyebab serangan akut tersebut; dan
menilai rencana-tertulis tindakan asma(the written asthma action plan).
Pengobatan kontroler pemeliharaan secara umum dapat dievaluasi setelah
2-4 minggu kemudian setelah serangan akut, 6
Ringkasan
Asma adalah penyakit pernafasan yang ditandai oleh gejala
mengi, sesak napas, dan batuk yang bervariasi dari waktu ke waktu.
Diagnosis asma didasarkan pada riwayat pola gejala karakteristik dan bukti
keterbatasan aliran udara. Eksaserbasi adalahsuatu memburuknya gejala
dan fungsi paru dari keadaan biasanya sehari-hari.
Denpasar, 30 Januari 2016
45
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tujuan pengobatan asma dilayanan primer adalah untuk cepat
meringankan obstruksi aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi
yang mendasari, dan mencegah kekambuhan.Terapi awal meliputi
pemberian oksigen, bronkodilator inhalasi short-acting, dan pemberian
kortikosteroid sistemik. Apabila tidak ada perbaikan klinis maka penderita
segera direferal ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi.
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi dengan cepat obstruksi
aliran udara dan hipoksemia, mengatasi inflamasi yang mendasari dan
mencegah kekambuhan. Tindak-lanjut harus direncanakan selama sekitar
2-7 hari kemudian, tergantung pada keadaan klinis dan sosial .
46
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Daftar Pustaka
1. Reddel HK, Taylor DR, Bateman ED, et al. An official American Thoracic
Society/European Respiratory Society statement: asthma control and
exacerbations: standardizing endpoints for clinical asthma trials and
clinical practice. Am J Respir Crit Care Med 2009;180:59-99
2. Levy ML, Quanjer PH, Booker R, et al. Diagnostic spirometry in primary
care: Proposed standards for general practice compliant with American
Thoracic Society and European Respiratory Society recommendations: a
General Practice Airways Group (GPIAG) document, in association with
the Association for Respiratory Technology & Physiology (ARTP) and
Education for Health. Prim Care Respir J 2009;18:130-47.
3. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J
2006;15:20-34.
4. Reddel H, Ware S, Marks G, Salome C, Jenkins C, Woolcock A.
Differences between asthma exacerbations andpoor asthma control
[errtum in Lancet 1999;353:758]. Lancet 1999;353:364-9.
5. GINA. Global strategy for asthma management and prevention, Global
Initiative
for
Asthma
(GINA);
2015.
Availeble
at:
http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2015_Au
g11.pdf
Denpasar, 30 Januari 2016
47
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
6.
Cates CJ, Welsh EJ, Rowe BH. Holding chambers (spacers) versus
nebulisers for beta-agonist treatment of acute asthma. Cochrane
Database Syst Rev 2013.
7.
Newman KB, Milne S, Hamilton C, Hall K. A comparison of albuterol
administered by metered-dose inhaler and spacer with albuterol by
nebulizer in adults presenting to an urban emergency department with
acute asthma. Chest 2002;121:1036-41.
8.
Chien JW, Ciufo R, Novak R, et al. Uncontrolled oxygen administration
and respiratory failure in acute asthma. Chest 2000;117:728-33.
9.
Rodrigo GJ, Rodriquez Verde M, Peregalli V, Rodrigo C. Effects of shortterm 28% and 100% oxygen on PaCO2 and peak expiratory flow rate in
acute asthma: a randomized trial. Chest 2003;124:1312-7.
10. Perrin K, Wijesinghe M, Healy B, et al. Randomised controlled trial of
high concentration versus titrated oxygen therapy in severe
exacerbations of asthma. Thorax 2011;66:937-41.
11. Hasegawa T, Ishihara K, Takakura S, et al. Duration of systemic
corticosteroids in the treatment of asthma exacerbation; a randomized
study. Intern Med 2000;39:794-7.
12. Jones AM, Munavvar M, Vail A, et al. Prospective, placebo-controlled
trial of 5 vs 10 days of oral prednisolone in acute adult asthma. Respir
Med 2002;96:950-4.
13. O'Byrne PM, Barnes PJ, Rodriguez-Roisin R, et al. Low dose inhaled
budesonide and formoterol in mild persistent asthma: the OPTIMA
randomized trial. Am J Respir Crit Care Med 2001;164(8 Pt 1):1392-7.
48
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
14. Cates CJ, Karner C. Combination formoterol and budesonide as
maintenance and reliever therapy versus current best practice
(including inhaled steroid maintenance), for chronic asthma in adults
and children. Cochrane Database Syst Rev 2013;4:CD007313
15. Kew KM, Karner C, Mindus SM, Ferrara G. Combination formoterol and
budesonide as maintenance and reliever therapy versus combination
inhaler maintenance for chronic asthma in adults and children.
Cochrane Database Syst Rev 2013;12:CD009019.
Denpasar, 30 Januari 2016
49
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tatalaksana Asma Jangka Panjang
PENATALAKSANAAN SERANGAN ASMA AKUT
DI INSTALASI GAWAT DARURAT
I Made Bagiada
Divisi Paru Bagian / SMF Penyakit Dalam
FK Unud / RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat
bersifat fatal atau mengancam jiwa.
Seringnya serangan asma
menunjukkan penanganan asma sehari-hari yang kurang tepat. Asma
adalah penyakit kronis, penanganannya ditekankan pada penanganan
jangka panjang, dan meskipun pengobatan sudah tepat sebaiknya tetap
memperhatikan serangan asma akut atau perburukan gejala. Dalam
penanganan serangan asma akut penilaian berat serangan merupakan
kunci pertama. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat
sesuai dengan beratnya serangan asma, selanjutnya menilai respons
pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan apa yang sebaiknya
dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap, intubasi,
membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain). Langkah-langkah tersebut
mutlak dilakukan, sayangnya seringkali yang dicermati hanyalah bagian
50
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
pengobatan tanpa memahami kapan dan bagaimana sebenarnya
penanganan serangan asma (1,2).
Asma adalah penyakit yang sering mengunjungi instalasi gawat
darurat (IGD). Banyak pasien asma yang berkunjung ke IGD tidak pernah
menerima informasi tentang penyakit asma, tidak pernah menerima
edukasi yang berkaitan dengan cara menggunakan obat asma, dan
penyakit asmanya tidak terkontrol atau terkontrol sebagian. Sebagian
besar kasus adalah ringan dan mudah ditangani dengan agonis-beta,
steroid, dan observasi sebelum dipulangkan. Sebagian kecil pasien dengan
serangan asma akut memerlukan observasi lebih lama untuk menentukan
rawat inap atau rawat jalan. Sayangnya, seringnya penyakit yang
berpenampilan relative ringan sewaktu-waktu menyebabkan perlunya
penanganan-akut (3).
Penanganan serangan yang tidak tepat, terutama dalam penilaian
beratnya serangan di IGD dapat berakibat pada pengobatan yang tidak
adekuat, memulangkan penderita terlalu dini dari IGD, pemberian
pengobatan (saat pulang) yang tidak tepat dapat menyebabkan
perburukan asma yang menetap, menyebabkan serangan berulang dan
semakin berat sehingga berisiko jatuh dalam keadaan asma akut berat
bahkan fatal.
Penderita asma harus memahami bagaimana mengatasi saat
terjadinya serangan; apakah cukup diatasi di rumah saja dengan obat yang
sehari-hari digunakan, ataukah ada obat tambahan atau bahkan harus
pergi ke rumah sakit. Konsep itu yang harus dibicarakan dengan dokternya.
Denpasar, 30 Januari 2016
51
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Bila sampai membutuhkan pertolongan dokter dan atau fasilitas rumah
sakit, maka dokter wajib menilai berat serangan dan memberikan
penanganan yang tepat (2).
Serangan yang ringan sampai sedang relatif dapat ditangani di
fasilitas layanan medis sederhana, bahkan serangan ringan dapat diatasi di
rumah. Akan tetapi serangan sedang sampai berat sebaiknya dilakukan di
rumah sakit
Gejala asma eksaserbasi adalah sesak, batuk, mengi, dan dada
terasa berat. Tanda asma eksaserbasi misalnya agitasi, frekuensi napas
meningkat, denyut nadi meningkat, dan penurunan fungsi paru yang dinilai
dengan FEV1, PEF, PaO2, PaCO2, dan SaO2. Penggunaan otot bantu napas
dan kemampuan bicara dalam kalimat tergantung pada beratnya serangan
asma. Beratnya gejala dan tanda untuk menentukan serangan asma
tersebut ringan, sedang atau berat, atau mengancam jiwa (tabel 1).
Pemeriksaan awal serangan asma akut di IGD adalah menilai
beratnya serangan asma akut. Dokter di IGD harus siap menganani,
mengenali gejala dan tanda serangan asma akut berat bahkan
kemungkinan serangan asma yang fatal (tabel 2).
Bila penilaian awal
serangan asma pasien adalah berat pikirkan bahwa akan berpotensi
mengancam nyawa pasien sehingga diperlukan penanganan segera dan
pengawasan terhadap perburukan
serangan
secara
dibutuhkan pengobatan berulang (2). Semua gejala
ketat, sering
dan tanda dari
serangan asma akut harus dipahami oleh dokter yang bertugas di IGD
52
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sehingga dapat memberikan penanganan yang tepat dan segera sesuai
dengan beratnya serangan asma.
Tabel 1. Klasifikasi beratnya serangan asma akut (2)
Penatalaksaan di RS (IGD)
Serangan asma akut berat membutuhkan bantuan medis segera,
penanganan harus cepat dan sebaiknya dilakukan di rumah sakit / unit
gawat darurat. Berat serangan dinilai berdasarkan riwayat singkat serangan
termasuk gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru;
untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat. Pada prinsipnya tidak
Denpasar, 30 Januari 2016
53
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
diperkenankan pemeriksaan faal paru dan laboratorium menjadikan
keterlambatan dalam pengobatan/ tindakan.
Riwayat singkat serangan meliputi: gejala, pengobatan yang telah
digunakan, respons pengobatan, waktu mula terjadinya dan penyebab/
pencetus serangan saat itu, dan ada tidaknya risiko tinggi untuk
mendapatkan keadaan fatal/ kematian yaitu: (tabel 2)
Table 2. faktor risiko kematian asma (2)
Riwayat asma
 Beratnya serangan sebelumnya (misal, intubasi atau rawat ICU)
 Dalam 1 tahun dirawat > 2x
 Ke IGD >3x dalam setahun
 Dalam sebulan ini pernah rawat inap atau dating ke IGD
 Menggunakan SABA >2 can perbulan
 Saat serangan, masih dalam terapi glukokortikosteroid oral, atau baru saja menghentikan pengobatan.
 Riwayat tidak patuh dengan pengobatan (jangka panjang) asma
 mempunyai riwayat alergi terhadap jenis makanan
 Sulit mengerti gejala asma atau beratnya serangan
 Factor lain: gagal melaksanakan program asma di rumah
Riwayat social
 Status sosioekonomi rendah atau tinggal dalam kota
 Pengguna narkoba
 Memiliki masalah psikososial berat
Komorbiditas
 Penyakit kardiovaskuler
 Penyakit paru krooni lain
 Penyakit psikiatrik kronik
54
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Denpasar, 30 Januari 2016
55
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pengobatan (1,2,4,5,6).
Pengobatan diberikan bertujuan untuk mempercepat resolusi
serangan akut. Pasien dengan riwayat serangan asma berat adalah factor
risiko asma fatal dan memerlukan pengawasan ketat dan terapi agresif.
Monitoring saturasi oksigen terus-menerus dan menilai aliran arus puncak
(PEF) memerlukan penatalaksanaan optimal dari serangan asma akut.
Pemberian bronkodilator sebaiknya melalui inhalasi, dan diberikan dengan
nebulizer dan dengan MDI. Penggunaan kombinasi kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi dan kortikosteroid oral saat pulang dari IGD dianjurkan untuk
mengurangi kekambuhan serangan asma. Secara umum pengobatan utama
atau standar semua pasien dengan serangan asma akut di IGD adalah
pemberian oksigen, agonis-beta2 inhalasi, dan kortikosteroid sistemik.
Dosis dan frekueinsi pemeberian tergantung beratnya serangan (1,2,5):
1.
Oksigen:
Pada serangan asma segera berikan oksigen untuk mencapai kadar
saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri.
2.
Agonis beta-2 inhalasi:
Dianjurkan pemberian inhalasi dengan nebuliser atau dengan IDT dan
spacer yang menghasilkan efek bronkodilatasi yang sama dengan cara
nebulisasi, onset yang cepat, efek samping lebih sedikit, membutuhkan
waktu lebih singkat dan mudah diakses di unit gawat darurat.
Pemberian inhalasi ipratropium bromide kombinasi dengan agonis
beta-2 kerja singkat inhalasi meningkatkan respons bronkodilatasi dan
sebaiknya diberikan sebelum pemberian aminofilin.
56
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
3.
Alternatif lain adalah dengan pemberian injeksi agonis beta-2 kerja
singkat; epinefrin (adrenalin) subkutan atau intramuskular. Bila
dibutuhkan dapat ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena
dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/ bolus yang diberikan dengan dilarutkan
dalam larutan NaCL fisiologis 0,9% atau dekstrosa 5% dengan
perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang menggunakan
aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan setengahnya;
untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian
dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. Pada pemberian
intravena harus dilakukan pemantauan ketat (bedside monitoring).
4.
Glukokortikosteroid:
Glukokortikosteroid
terutama
yang
sistemik
diberikan
untuk
mempercepat resolusi pada serangan asma derajat manapun kecuali
serangan ringan. Diberikan terutama jika:

Pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada
pengobatan awal tidak memberikan respons

Serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan

Serangan asma berat
Glukokortikosteroid sistemik dapat diberikan oral atau intravena,
pemberian oral lebih disukai karena tidak invasif dan tidak mahal. Pada
penderita yang tidak dapat diberikan oral karena gangguan absorpsi
gastrointestinal
maka
dianjurkan
pemberian
intravena.
Glukokortikosteroid sistemik membutuhkan paling tidak 4 jam untuk
tercapai
perbaikan
Denpasar, 30 Januari 2016
klinis.
Metaanalisis
menunjukkan
57
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
glukokortikosteroid sistemik; metilprednisolon 60-80 mg atau 300-400
mg hidrokortison atau ekivalennya adalah adekuat untuk penderita
dalam perawatan. Bahkan 40 mg metilprednisolon atau 200 mg
hidrokortison sudah adekuat. Glukokortikosteroid oral (prednison)
dapat dilanjutkan sampai 10-14 hari. Penelitian menunjukkan tidak
bermanfaat menurunkan dosis dalam waktu terlalu singkat ataupun
terlalu lama sampai beberapa minggu.
Glukokortikosteroid inhalasi. Pemberian glukokortikosteroid inhalasi
dengan tinggi (Beclomethasone dipropionate HFA >500 mcg,
Budesonide >800 mcg, Fluticasone >500 mcg) di IGD dalam satu jam
pertama dapat mengurangi kemungkinan rawat inap pada pasien yang
tidak mendapatkan glukokortikosteroid sistemik.
5.
Epinefrin: epinefrin (adrenalin) intramuskuler dapat sebagai terapi
tambahan bersama dengan terapi standar terhadap serangan asma
akut yang dipikirkan karena anafilaksis atau angioedema. Dosis
efinefrin 0.3 – 0.5 mg intramuskuler. Kalau perlu dapat diulang tiap 20
menit.
6.
Magnesium Sulfat (MgSO4). Tidak dianjurkan secara rutin pada
serangan asma akut, ]MgSO4 dapat diberikan pada serangan asma
akut berat yang tidak membaik dengan terapi inisial. Magnesium sulfat
dapat diberikan satu kali 2 gram diinfuskan pada 100ml D5% habis
dalam 20 menit. Pemberian MgSO4 bermanfat mengurangi rawat inap
pada beberapa pasien. Penelitian MgSO4 pada serangan asma ringan
dan sedang, hasilnya tidak menunjukkan perbedaan dengan placebo.
58
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
7.
Ipratropium bromide: pada pasien dengan serangan asma sedang –
berat pemberian agonis-beta2 kerja cepat plus ipratropium bromide
berhubungan dengan pengurangan rawat inap dan memperbaiki fungsi
paru. Ipratropium bromide adalah antikolinergik kerja-singkat dapat
meningkatkan efek bronkodilatasi terapi agonis beta-2.
8.
Methylxanthine: mengingat jeleknya efikasi dan keamanan aminofilin
intravena dan teofilin GINA 2015 tidak dianjurkan pada manajemen
serangan asma. Emergency Department Asthma Care Pathway
(EDACP) menganjurkan pemberian aminofilin intravena sebagai terapi
tambahan non-standar terutama pasien yang ekstrim, namun tidak
dianjurkan pada 4 jam pertama. Loading dosisnya 6 mg/kg intravena
dalam 30 menit, dosis dikurangi 50% bila telah mendapat teofilin atau
aminofilin. Dilanjutkan dengan infus 0.2 – 1mg/kg/jam.
9.
Kombinasi kortikortikosteroid/agonis beta2 kerja-panjang: manfaatnya
di IGD tidak jelas. Ada penelitian menunjukkan pemberian
budesonide/formoterol dosis tinggi memiliki manfaat dan keamanan
yang sama dengan agonis beta2 kerja-singkat.
10. Antibiotik: tidak rutin diberikan kecuali pada keadaan disertai infeksi
bakteri (pneumonia, bronkitis akut, sinusitis) yang ditandai dengan
gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering
menyertai serangan asma adalah bakteri gram positif, dan bakteri
atipik kecuali pada keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif
(penyakit/gangguan pernapasan kronik) dan bahkan anaerob seperti
sinusitis, bronkiektasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).
Denpasar, 30 Januari 2016
59
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Antibiotik pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris
yang tepat untuk gram positif dan atipik; yaitu makrolid, golongan
kuinolon
dan
alternatif
amoksisilin/amoksisilin
dengan
asam
klavulanat.
11. Intubasi: Pada pasien dengan apnea atau koma sebaiknya segera di
intubasi. Hiperkapnea persisten atau memberat, kelelahan, dan status
mental depresi indikasi sangat kuat butuh support ventilator.
Monitoring di IGD
Setelah pemberian terapi awal brobkodilator inhalasi semua pasien,
terutama pasien dengan serangan asma berat. Evaluasi dilakukan setelah
pemberian 3 dosis bronkodilator inhalasi, biasanya 60 – 90 menit setelah
terapi awal. Respon terapi selama di IGD lebih baik sebagai predictor
kemungkinan rawat inap ketimbang beratnta serangan. Pasien dengan
riwayat serangan asma berat adalah factor risiko asma fatal dan
memerlukan pengawasan ketat dan terapi agresif. Monitoring saturasi
oksigen terus-menerus dan menilai aliran arus puncak (PEF) memerlukan
penatalaksanaan optimal dari serangan asma akut (6). Evaluasi dilakukan
baik terhadap respon terapi secara subyektif, pemeriksaan fisik, hasil FEV1
atau PEF (hasil AGD atau oksimetri).
60
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pemulangan pasien
Pasien yang menunjukkan respon cepat terhadap terapi dalam waktu 30
sampai 60 menit setelah terapi bronkodilator terakhir. Secara umum
pasien boleh pulang bila hasil PEF 70% atau lebih atau keadaan umum baik
dan gejala tampak minimal. Pasien dengan respon terapi tidak lengkap dan
gejala
menjadi
ringan
harus
ditentukan
berdasarkan
individu,
memperhitungkan factor risiko kematian terkait asma (2).
Pasien yang diberikan kortikosteroid sistemik sebaiknya diberikan terapi
yang sesuai untuk melanjutkan terapi untuk waktu 3 sampai 10 hari setelah
pulang. Bagi pasien yang diperkirakan memiliki risiko untuk tidak patuh
dapat
diberikan
kortikosteroid
intra
muskuler
untuk
mencegah
kekambuhan. Pasien yang memakai terapi steroid inhalasi sebaiknya
dilanjutkan sembari mengkomsumsi kortikosteroid sistemik.
Ringkasan
Asma adalah penyakit kronis dan sering mengalami serangan akut
yang menyebabkan penderita datang ke IGD untuk mengatasi serangan
asmanya. Dokter harus bisa menilai beratnya serangan asma agar bisa
memberikan pengobatan yang tepat dan optimal dan saat pulang juga bisa
memberikan pengobatan yang tepat untuk mencegah perburukan asma
penderita. Terapi standar serangan asma akut umumnya dengan
Denpasar, 30 Januari 2016
61
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
bronkodilator inhalasi agonis beta-2 kerja singkat dan glukokortikosteroid
sistemik. Apabila terapi standar tidak memberikan respon, maka dapat
ditambahkan obat-obat lain misal MgSO4, epinefrin, aminofilin dll.
Daftar pustaka
1.
Global Initiative for Asthma.(2015).GINA Report, Global Strategy for
Asthma Management and Prevention: Management of worsening
asthma
and
exacerbation:66-72.
Available
from:
http://www.ginasthma.org/documents/4 . [Accessed 2016, January
10].
2.
Camargo C.A., Rachelefsky G., and Schatz M (2009). Summary of the
National Asthma Education and Prevention Program Expert Panel
Report 3 Guidelines for the Management of Asthma Exacerbation:
Managing asthma exacerbation in the emergency department. Proc
Am Thorac Soc, 6:357-366.
3.
Al-Jahdali H., Anwar A., Al-Harbi A., Baharoon S., Halwani R., Al
Shimemeri., and Al-Muhsen S. (2012). Factors associated with patient
visits to the emergency department for asthma therapy. BMC
Pulmonary Medicine, 12:80.
4.
Pollart S.M., Compton R.M., and Elward K.S. (2011). Management of
acute asthma exacerbation. Am Fam Physician, 84(1):40-47.
62
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
5.
Adult Emergency Department Asthma Care Pathway. (2013). The lung
association:1-14.
6.
Hodder R., Lougheed D., Rowe H.B., FitzGerald J.M., Kaplan A.G., and
McIvor A.(2010). Management of acute asthma in adults in the
mergency department: nonventilatory management. CMAJ, 182(2):5567.
Denpasar, 30 Januari 2016
63
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
TATALAKSNA ASMA DI RUANG RAWAT INAP BIASA
I Gede Ketut Sajinadiyasa
Divisi Pulmonologi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma bronkial adalah merupakan penyakit yang heterogen yang
ditandai dengan adanya gejala klinis batuk, sesak napas, dada terasa berat
dan mengi yang intensitasnya bervariasi
diantara pasien dan respon
terhadap terapi juga dapat berbeda.1 Berat ringannya gejala klinis dan baik
tidaknya respon terapi dapat dipengaruhi oleh ada tidaknya penyakit
komorbid dan komplikasi yang menyertai.2 Dengan adanya perbedaan
gejala klinis dan perbedaan respon terapi dari pasien asma, maka untuk
mencapai tujuan tatalaksana asma yaitu asma terkontrol dapat dicapai
tanpa pengobatan dan dengan pengobatan.1 Perawatan pasien juga
ditentukan oleh berat ringannya gejala, bisa dirawat secara rawat jalan, di
rawat di rumah sakit di ruangan biasa dan bahkan ada yang membutuhkan
perawatan di ruang intensiv /ICU. 1,3
Kebutuhan perawatan di ruang rawat inap merupakan kelanjutaan
tatalakasana pasien yang mengalami eksaserbasi dimana respon terapi
yang diberikan dalam waktu yang ditentukan belum tercapai.1 Laporan
tahun 2004 di AS didapatkan 1,8 juta kejadian pasien asma yang datang ke
unit gawat daraurat (64/10.000 penduduk) dan yang membutuhkan rawat
inap senanyak 497.000 orang (17/10.000 penduduk).4
64
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tujuan perawatan di rumah sakit untuk dapat melakukan
monitoring dan evaluasi yang lebih ketat terhadap kondisi dan
perkembangan klinis pasien, monitoring respon terapi, keadaan yang dapat
memperburuk kondisi pasien seperti ada penyakit komorbid dan
komplikasi serta mempersiapkan pasien pulang dan pemberian edukasi
yang memadai untuk perawatan selanjutnya.1,5. Kapan dan bagaimana
tatalaksana pasien asma
dilakukan di ruang perawatan biasa
akan
disampaikan pada tulisan ini.
Indikasi rawat inap pada pasien asma
Rawat inap pasien asma dapat di ruang rawat inap biasa ataupun di
ruang intensiv tergantung berat ringannya gejala asma yang dialami oleh
pasien. Perlu tidaknya pasien di rawat di rumah sakit dapat ditentukan oleh
respon terapi di unit rawat darurat, gambaran klinis dari serangan, tes
fungsi paru ( FEV1/PEF sebelum terapi < 25% prediksi atau FEV1/PEF < 40%
setelah terapi) dan faktor sosial ekonomi pasien.6,7
Pasien-pasien yang memiliki resiko tinggi untuk terjadi serangan
ulangan seperti ada dirawat atau datang ke ruang rawat darurat karena
serangan asma dalam satu tahun terakhir, mengunakan kortikosteroid
sistemik, menggunakan beberapa jenis obat asma, sebelumnya pernah
dengan serangan berat atau mengancam jiwa, ada masalah psikologis serta
mengunakan beta2 agonis inhalasi secara reguler, kehamilan usia tua.
Kondisi ini juga merupakan pertimbangan untuk dirawat inap.1,8,9
Denpasar, 30 Januari 2016
65
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Monitoring dan evaluasi pasien asma di ruang rawat biasa
Hal-hal yang di evaluasi pada pasien saat perawatan di ruangan
yaiu monitoring tanda vital, fungsi paru, saturasi oksigen dan respon terapi,
evaluasi kemungkinan adanya komorbid dan adaya komplikasi
Monitoring tanda vital, fungsi paru dan saturasi oksigen
Monitoring tanda vital merupakan hal penting untuk mengetahui
kondisi klinis pasien. Monitoring tanda vital seperti suhu, nadi, tekanan
darah serta laju respirasi. Idealnya dapat dilakukan tap 4 jam sekali dan
kemudian dapat diperjarang (6-8 jam) sesuai kondisi pasien. Fungsi paru
seperti pengukuran PEF / FEV1 untuk mengetahui respon terapi yang dapat
dilakukan tiap jam setelah pemberian nebuliser bronkodilator dan
kemudian 2 kali sehari sebelum dan setelah nebuliser bronkodilator.
Monitoring saturasi oksigen juga perlu dilakukan dan bila perlu analisa gas
darah. Pasien dengan asma berat biasanya mengalami hiposemia, dan
kondisi ini perlu dikoreksi dengan segera dapat diberikan oksigen dengan
konsentrasi 40-60 % dengan nasal kanul / sungkup agar tercapai saturasi
oksigen 93-95%. Kardiak monitoring juga perlu dilakukan terutama pada
pegunaan nebuliser beta2 agonis setiap 4 jam sekali.1,3
Monitoring Pengobatan
Evaluasi pengobatan seperti dosis, cara pemberian dan kombinsi
obat perlu dilakukan untuk mencapai asma terkontrol. Obat – obat yang
umum kita gunakan pada perawatan di rumah sakit adalah beta2 agonis,
66
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kortikosteroid, antikolinergik, golongan xantin dan beberapa obat lainnya
sepergi magnesium sulfat.
Beta2 agonis
Beta2 agonis kerja singkat inhasi digunakan secara luas pada pasien
asma serangan akut. Studi akhir-akhir ini pada pasien asma yang dirawat
pembeian beta2 agonis secara intermiten bila perlu dapat menurunkan
lama rawat, menurunkan frekwensi nebulisasi dan lebih sedikit palpitasi
dibanding pemberian nebuliser setiap 4 jam sekali. Sehingga pemberian
beta2 agonis inhalasi pada asma serangan akut dapat diberikan secara
kontinyu dalam satu jam pertama dan kemudian dilanjutkan dengan
pemberianan secara intermiten bila perlu.1,3,5
Kortikosteroid
Kortikosteroid
terbukti
dapat
mempercepat
resolusi
asma
eksaserbasi dan mencegah relap. Pemberian secara oral dan intravena
sama efektif. Pemberian oral lebih disukai karena lebih cepat, tidak invasif
dan lebih murah. Namun pemberian intravena lebih dipilih pada kondisi
sangat sesak, mual muntah atau pasien membutuhkan ventilator.1,5
Dosis harian kortikosteroid oral adalah ekivalen dengan 50 mg
prednisolon sekali sehari pagi hari atau 200 mg hidrokortison dosis terbagi.
Durasi pemberian sekitar 5-7 hari.1
Ipratropium bromid
Pemberian obat ipratropium bromid bersama dengan beta2 agonis
pada asma serangan sedang dan berat berhubungan dengan lebih sedikit
Denpasar, 30 Januari 2016
67
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kebutuhan rawat inap dan perbaikan yang lebih nyata pada PEF dan PEV1
dibanding pemberian beta2 agonis tunggal.1,3
Aminopilin dan teopilin
Itravena aminopilin/teopilin sebaiknya tidak digunakan dalam
penanganan eksaserbasi asma. Penggunan obat ini sering menimbulkan
efek samping yang fatal terutama pada pasien yang telah mendapat
teopilin oral sebelumnya. Pada pasien asma serangan berat yang
ditambahkan aminopilin tidak memberikan hasil yang lebih baik dibanding
pemberian beta2 agonis sendiri.1
Magnesium
Magnesium sulfat tidak rutin diberikan pada serangan asma akut.
Apabila diberikan Magnesium sulfat 2 gram dosis tunggal selama 20 menit
akan menurunkan kejadian perawatan di rumah sakit pada pasien tidak
respon dengan terapi awal.1,5
Evaluasi Penyakit Komorbid
Penyakit komorbid dapat menyertai asma. Kondisi komorbid ini
dapat berpengaruh terhadap status kontrol asma. Oleh karenanya
kormorbid perlu ditatalaksana dengan baik. Adapun komorbid yang sering
dijumpai
pada
penderita
asma
diantaranya:
Obesitas,
GERD
(Gastroesophageal reflux disease), cemas dan depresi, alergi makanan dan
anapilaksis, rinitis, sinusitis dan polinasal.1,3,5
Obesitas. Pada pasien dengan obesitas asma akan lebih sulit
dikontrol, hal ini mungkin akibat mekanisme inflamasi yang berbeda
68
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dengan pasien tanpa obesitas, adanya kemungkinan sleep apnea serta
GERD. Berkurangnya volume paru akibat lemak abdominal yang berlebih
dapat mengingkatkan rasa sesak, oleh karenanya penurunan berat badan
ikut dalam perencanaan terapi pada pasien asma dengan obesitas.1,5
GERD. GERD dapat memberikan gejala seperti heart burn, nyeri
epigastrium, nyeri dada dan juga umumnya dijumpai batuk kering. Gejala
GERD lebih sering dijumpai pada pasien dengan asma dibanding populasi
umum. Namun perlu diketahui obat-obat asma seperti beta2 agons dan
teopilin dapat menyebabkan relaksasi dari spingter esofagus bawah. Untuk
pasien asma dengan gejala reflux secara emperis dapat diberikan
pengobatan dengan PPI atau obat motilitas namun bila gejala tidak
membaik perlu penangan lebih lanjut seperti seperti endoskopi atau
monitoring pH 24 jam. Pemberian PPI dan obat motilitas direkomendasikan
pada pasien asma dengan gejala reflux tapi pasien asma dengan kontrol
yang buruk sebaiknya tidak diberi anti reflux kecuali bila ada gejala reflux
atau terdiagnosis reflux.1
Ansietas dan depresi. Rasa cemas dan depresi sering dijumpai pada
pasien dengan asma. Komorbid ini sering mengakibatkan kontrol asma
yang buruk, pengobatan tidak teratur dan menurunya kualitas hidup.
Gejala cemas dan depressi sering berhubungan dengan peningkatan
kejadian eksaserbasi dan kunjungan ke unit rawat darurat. Serangan panik
yang mungkin terjadi dapat mengacaukan gejala asma. Pengobatan
parmakologi dan nonparmakologi sebaiknya diberikan dan bila perlu dapat
dikonsultasikan dengan ahlinya.1,10
Denpasar, 30 Januari 2016
69
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Alergi makanan dan anapilaksis. Ada tidaknya alergi makan juga
perlu dievaluasi. Alergi makanan dapat mencetuskan gejala asma ( 2% dari
pasien asma). Pada pasien yang terbukti alergi makanan dan bersama
dengan asma merupakan faktor risiko kuat terjadinya reaksi yang lebih
berat dan fatal. Anafilaksis akibat alergi makanan dapat berupa serangan
asma yang mengancam jiwa. Studi di Amerika dan Inggris, kematian yang
berhubungan dengan anafilaksis ternyata memiliki riwayat pengobatan
asma sebelumnya dan asmanya umumnya tidak terkontrol. Makanan yang
telah terbukti sebaiknya dihindari untuk mencegah kejadian selanjutnya.1
Rhinitis, Sinusitis dan Polipnasal. Pasien deagan asma baik alergi
ataupun nonalergi dapat bersama dengan rinitis. Sekitar 10 – 40 % pasien
rinitsi memiliki asma. Rinosinusitis kronis berhubungan dengan asma yang
lebih berat terutama pasien dengan polip nasi. Pemeriksaan dari saluran
napas atas sebaiknya dilakuan pada pasien asma terutama pada asma
berat. Pada studi populasi pengobatan rinitis dengan intranasal
kortikosteroid menurunkan kebutuhan rawat inap dan kunjungan ke unit
rawat darurat dari pasien dengan asma.1
Evaluasi Komplikasi
Komplikasi yang terjadi tentu akan memperberat kondisi asma ,
sehingga pengenalan terhadap adanya kompliaksi menjadi hal yang
penting. Adapun komplikasi yang dapat dijumpai pada pasien asma
diantaranya;
pneumototaks
dan
pneumomidiastinum,
atelektasis,
pneumonia. Juga dapat terjadi komplikasi akibat terapi asma seperti
70
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
toksisitas aminophilin, asidosis laktat dan gangguan elektrolit seperti
hipokalemia.1,2
Pneumotoraks secara klinis dapat dikenali secara fisik dimana
dijumpai suara napas yang menurun pada sisi dada yang mengalami
pneumotorak serta perkusi yang hipersonor. Pemeriksaan rontgen dada
lebih memastikan adanya pneumotorak yang ditandai adanya daerah yang
radiolusen dan adanya garis kolap paru. Evakuasi udara dari rongga pleura
tentu diperlukan untuk memberi kesempatan paru untuk mengembang.
Atelektasis suatu keadaan kolapnya sebagian atau seluruh paru.
Atelektasis paru yang luas secara klinis memberi gambaran dada asimetris,
suara napas menurun bahkan dapat menghilang pada sisi yang kolap.
Kejadian ini i biasanya terjadi akibat sumbatan mukos yang kental intra
bronkial. Dengan membersihkan mukos yang kental biasanya paru dapat
mengembang kembali.
Pneumonia merupakan infeksi parenkim paru yang dapat dijumpai
pada penderita asma. Kejadian pneumona didapatkan lebih tinggi pada
pasien-pasien yang mengunakan steroid. Pasien dengan pneumonia
umumnya disertai panas, batuk yang produktif dengan dahak purulen,
sesak napas dan dari pemeriksaan fisik dijumpai adanya tanda-tanda
konsolidasi. Dari pemeriksaan toraks dijumpai adanya infiltrat baru atau
adanya perburukan infiltrat. Bila diagnosis terbukti pneumonia maka
antibiotika empiris segera diberikan.
Komplikasi lain yang dapat terjadi seperti efek samping obat perlu
dipertimbangkan
Denpasar, 30 Januari 2016
untuk
menurunkan
dosis
obat
dan
mungkin
71
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
menghentikan obat yang menimbulkan efek samping. Bila terjadi ganguan
ekeltrolit seperti hipokalemi maka diperlukan substitusi kalium baik secara
oral ataupun secara drip intravena tergantung berat ringan hipokalemia.1,2
Persiapan Pemulangan Pasien
Kapan kita akan memulangkan pasien asma dari ruang rawat inap
ditentukan oleh kondisi klinis pasien. Kondisi klinis yang membaik ditandai
dengan tanda-tanda vital membaik, berkurangnya wesing bahkan tidak
terdengar, dapat tertidur di malam hari, toleransi aktifitas baik dan saturasi
oksigen baik tanpa menggunakan bantuan oksigen, test pungsi paru (PEF /
FEV1)
≥ 70% prediksi.3 Selain kondisi klinis yang telah mengalami
perbaikan ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum pasien
pulang. Pengaturan jadwal kontrol setelah keluar rumah sakit dan rencana
perbaikan strategi tatalaksana asma termasuk obat-obatan, cara
penggunaan obat inhalasi dan rencana perawatan selanjutnya. Obatobatan yang dipersiapan diantaranya kortikosteroid oral dilanjutkan
selama 5-7 hari dengan dosis 1 mg /kg BB prednisolon atau equivalennya.
Obat pelega inhalasi biberikan sesuai kebutuhan dan kortikosteroid inhalasi
yang sebaiknya sudah diberikan sebelum dipulangkan. Disamping
pengobatan, edukasi sangat penting teutama edukasi tentang faktor risiko
yang berperan dalam terjadinya eksaserbasi, faktor risiko eksaserbasi yang
dapat dimodifkasi seperti merokok, pasien hendaknya pahan akan perlunya
berobat teratur dan bagaimana cara pengggunaannya.1,3
72
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Ringkasan
Asma merupakan penyakit yang heterogen yang ditandai dengan
gejala klinis dan respon terapi yang berbeda antar pasien lainya. Adanya
respon terapi yang berbeda mengakibatkan pasien asma \membutuhkan
tempat perawatan yang berbeda baik rawat jalan atau di rumah sakit.
Perawatan di rumah sakit biasanya diperlukan oleh pasien yang mengalami
eksaserbasi namun belum mencapait respon terapi yang memadai dengan
terapi awal. Di runag rawat biasa pasien akan melanjutkan pengobatan dan
perlu dilakukan pemantauan terhadap perkembangan klinis apakah terjadi
perbaikan atau tidak dengan monitoring tanda vital, fungsi paru, saturasi
oksigen analisa gas darah. Selain itu juga perlu pemantauan terhadap
adanya penyakit komorbid dan kemungkinan adanya komplikasi yang
tentunya dapat berpengaruh tidak baik terhadap usaha mengontrol asma.
Di ruanng rawat inap juga perlu mempersiapkan rencana rawat jalan, obatobatan di rumah dan edukasi pasien agar pasien mengerti dan paham akan
penyakitnya.
Denpasar, 30 Januari 2016
73
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. Clinical review severe
asthma Criticl care 2002, 6: 30-40
3. Managing asthma in the Caribbean, Caribbean health research
council St. Augusti ne. Tri ni dad & Tobago 2009 http://www.chrccaribbean.org diakses pada 17/1/2016
4. Logogo N, Que LG, Fertel D, Kraft M. Asthma in Mason RJ et al
editor Murray & Nadel’s TextBOOK of Respiratory Medicine 5th Vol
1 p883-919
5. British guideline on the management of asthma A National
guideline 2012, www.brit-thoracic.org.uk diakses pada 17/1/16
6. Kelly A-M, Kerr D, Powell C. Is severity assessment after one hour
of treatment better for predicting the need for admission in acute
asthma? Respir Med 2004;98:777-81.
7. Wilson MM, Irwin RS, Connolly AE, Linden C, Manno MM. A
prospective evaluation of the 1-hour decision point for admission
versus discharge in acute asthma. J Intensive Care Med
2003;18:275-85.
74
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
8. Grunfeld A, FitzGerald J. Discharge considerations for adult
asthmatic patients treated in emergency departments. Can Respir J
1996;3:322 - 7.
9. Rowe BH, Villa-Roel C, Abu-Laban RB, et al. Admissions to Canadian
hospitals for acute asthma: a prospective, multicentre study. Can
Respir J 2010;17:25-30.
10. Cho GSi, Shin YS, Kim JH, Choi SY, Lee SK, Nam YH, Lee YM, Park
HS. Prevalence and Risk Factors for Depression in Korean Adult
Patients with Asthma: Is There a Difference between Elderly and
Non-Elderly Patients? J Korean Med Sci 2014; 29: 1626-1631
Denpasar, 30 Januari 2016
75
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
MANAGEMEN ASMA AKUT.
Intensive Care setting.
Putu andrika
Pendahuluan
Penanganan pasien yang
mengalami serangan asma atau
eksaserbasi asma di ruang emergensi sebagian besar berhasil meringankan
bahkan menghilangkan gejala serangan pada asma. Namun sebagian kecil
sekitar 10% akan memerlukan perawatan lanjut dirumah sakit, sebagian
akan memerlukan penanganan di ruang intensif. Pasien tersebut akan
mempunyai morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1 Menurut Gupta dkk,
Sebanyak 56.8% pasien yang dirawat intensif mendapatkan mekanikal
ventilasi (MV)
pada 24 jam pertama. Dengan angka kematian secara
menyeluruh 7.1% di ICU dan 9.8% di rumah sakit.2
Penyempitan
saluran
nafas
akan
mengakibatkan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi, hiperinflasi paru, dan meningkatkan
work of breathing (WOB) selanjutnya kepayahan otot pernafasan dan gagal
nafas. Patofisiologi terjadinya dynamic hyperinflation dan gagal nafas
sangat penting untuk dipahami, serta penanganan pasien yang
membutuhkan intubasi pemasangan endotracheal tube (ETT) dan
mekanikal ventilator (MV) dan
melakukan lung protective mechanical
ventilation untuk membantu mencapai target oksigenasi adekuat,
menghindarkan komplikasi, sambil memaksimalkan terapi farmakologis.1,3
Definisi
76
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Eksaserbasi asma merupakan suatu serangan asma yang ditandai
terdapatnya satu atau lebih dari penggunaan aktivitas otot asesoris, pulsus
paradoksus > 25 mmHg, denyut jantung > 100 x/menit, laju nafas > 25-30
x/menit, keterbatasan kemampuan berbicara, peak expiratory (PEF) atau
forced expiratory volume in 1 second (FEV1) < 50% predicted dan saturasi
oksigen arteri 90-92%. Menilai beratnya derajat eksaserbasi penting untuk
penanganan dan kewaspadaan kita dalam mengelola pasien. Life
threatening asthma merupakan eksaserbasi asma yang memburuk menjadi
gagal nafas
meskipun sudah mendapatkan terapi medis agresif dan
memerlukan terapi berkesinambungan untuk menanggulangi serangan
akut tersebut. Dikenal secara umum dua subtype life threatening asthma
(table 1), tipe 1 slow-onset dengan perburukan klinis secara gradual, pada
individu yang kronis dan control asma yang buruk, dan tipe 2 rapid-onset
cenderung lebih bahaya dan sering dengan penyempitan saluran nafas tiba
tiba.4,5
Table 1. Subtipe life-threatening asthma
Slow onset
Rapid onset
Frekuensi
80 – 85%
< 20%
Triggers
Infeksi saluran nafas
Paparan Allergen
Bahan Iritan / bau inhalasi
Olah raga, stres emosi
Denpasar, 30 Januari 2016
77
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Aspirin, NSAIDs
Gejala
> 12 jam dan beberapa 1–3 2–6 jam dari onset gejala
minggu
Patologi
Inflamasi eosinophilic
Tidak ada eosinophilia atau
mucus plugs
Obstruksi saluran nafas oleh Neutrophil predominant
karena edema dan secretion Obstruction saluran nafas
(mucus dan sel epithelial karena spasme otot polos
desquamation)
Pemulihan
Lambat
Cepat
NSAID : non-steroidal anti –inflammatory asthma
Plaza dkk, menemukan bahwa 20 % pasien fatal atau near-fatal
asma terjadi dalam jangka waktu < 2 jam dari onset. Dengan profil trigger
factor, perjalanan klinis yang lebih sering dan lebih cepat memerlukan
mekanikal ventilator dan prognosis yang lebih buruk, berspekulasi bahwa
rapid onset asma fatal mempunyai pathogenesis yang spesifik dan dengan
demikian memerlukan penanganan yang berbeda dibanding slow onset
asma
fatal.
Komplikasi
yang
pneumothorax/pneumomediastinum,
sering
aritmia
ditemukan
jantung,
adalah
pneumonia,
atelektasis, myopathy, sepsis.6
78
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Faktor risiko
Faktor risiko utama yang berhubungan dengan life-threatening
asthma meliputi status kontrol yang buruk dengan manifestasi seperti
memerlukan 2 atau lebih canister beta 2 agonis dalam sebulan,
ketergantungan
kortikosteroid
sistemik,
riwayat
pengobatan
dan
memeriksakan diri tak teratur, menyangkal terjadinya perburukan kondisi
asmanya. Riwayat asma eksaserbasi yang hampir fatal, pernah masuk icu,
penurunan kesadaran atau kejang saat eksaserbasi.1,3
Pathophysiology
Sangat terhambatnya aliran udara (airflow limitation) akibat
penyempitan saluran nafas merupakan kunci penyebab gangguan pada
asma eksaserbasi. Penyempitan saluran nafas atau obstruksi terjadi
terutama pada cabang menengah dan kecil saluran nafas, disebabkan
bronchial hyper-responsiveness dan yang terpenting edema akibat
inflamasi saluran nafas dan meningkatnya produksi mukus. Studi terbaru
menemukan bahwa proses tersebut terjadi secara tidak homogen
diseluruh paru.5,7
Inspirasi awalnya tidak terganggu tetapi terjadi penurunan
kemampuan pengosongan paru, diperlukan usaha untuk mengeluarkan
udara ekspirasi sehingga ekspirasi menjadi proses yang aktif. Obstruksi
aliran udara ekspirasi menyebabkan tidak tuntasnya mengeluarkan seluruh
udara saat ekspirasi, namun sudah disusul dengan masuknya volume udara
inspirasi menyebabkan terperangkapnya sebagian udara (air trapping) saat
Denpasar, 30 Januari 2016
79
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
ekspirasi, yang menyebabkan meningkatnya functional residual capacity
(FRC), bahkan dapat sampai mencapai volume total lung capacity (TLC).
Udara yang terperangkap di paru akan menambah tekanan saat akhir
ekspirasi (auto-PEEP atau intrinsic PEEP) diatas PEEP yang seharusnya, yang
akan menyebabkan dynamic hyperinflation (gambar 1). Akibat PEEPi atau
autoPEEP, akan semakin memperberat usaha nafas (work of breathing)
yang diperlukan untuk dapat memulai aliran udara inspirasi spontan, jika
hal ini berlanjut mengakibatkan kelelahan otot nafas dan akhirnya
respiratory arrest. Faktor yang sangat berperan dalam terjadinya air
trapping adalah volume tidal, expirasi flow limitation, dan expiratory
resistance. Auto-PEEP, intrinsic PEEP (PEEPi) atau dynamic hyperinflation
merupakan istilah yang sering digunakan secara bergantian. Dynamic
hyperinflation didefinikan sebagai kegagalan paru untuk kembali ke volume
saat relaksasi atau functional residual capacity (FRC) saat akhir ekhalasi.7,8,9
Gambar 1. Mekanisme auto PEEP. a. Obstruksi aliran udara respirasi
menyebabkan melambannya ekspirasi dan air trapping di alveoli saat
ekspirasi. B. Meningkatnya frekuensi respirasi akan memperpendek waktu
80
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
ekspirasi. c.Usaha ekspirasi yang besar meningkatkan tekanan pleura dan
akan menekan saluran nafas yang kecil.
Tergantung dari beratnya eksaserbasi terjadi hipoksemia biasanya
ringan sampai sedang akibat dari ventilasi/perfusion (V/Q) mismatch. Jika
hipoksemia berat pikirkan kemungkinan adanya pneumonia dan komplikasi
pneumothorak. Tekanan inspirasi yang tinggi akibat obstruksi saluran nafas
akan
mempermudah
pneumomediastinum.
terjadinya
Dynamic
barotrauma,
pneumothorak
hyperinflation
dan
air
atau
trapping
menyebabkan suatu kondisi krusial dalam perannya mengganggu fungsi
kardiovaskuler, menurunkan venous return sistemik, Pengisian ventrikel
kanan yang cepat, pergeseran septum interventrikel kearah ventrikel kiri,
dapat menyebabkan disfungsi diastolik ventrikel kiri dan pengisian yang
tidak komplit. Tekanan intratorak yang sangat negatif terbentuk saat
inspirasi meningkatkan afterload ventrikel kiri sehubungan penurunan
pengosongan sistolik. Tekanan arteri pulmonal meningkat akibat
hiperinflasi paru, akan meningkatkan afterload ventrikel kanan. Akibat
selanjutnya akan menurunkan cardiac output (CO).3,5,7
Analisa Gas Darah
Analisa gas darah (AGD) tidak rutin dikerjakan, namun pada pasien
dengan PEF atau FEV1 < 50% predicted penting dikerjakan dalam
mengelola serangan asma akut berat, tetapi tidak dapat memprediksi
outcome. Saat awal serangan biasanya menampakkan hipoksemia ringan
Denpasar, 30 Januari 2016
81
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sampai sedang, hipokapnia dan alkalosis respirasi. Jika sudah terjadi
beberapa hari akan terlihat kompensasi sekresi bikarbonat ginjal.
Perburukan obstruksi jalan nafas PaCO2 tampak kembali normal dan
kemudian meningkat karena pasien kepayahan, tidak adekuatnya ventilasi
alveolar dan atau meningkatnya ruang rugi fisiologis. Asidosis respirasi
pada pasien hiperkapnik yang mengalami perburukan cepat dan pada yang
berat, penyakit fase lanjut, asidosis (laktik) metabolik dapat menyertai
kondisi tersebut. AGD akan bermaanfaat pada pasien yang mengalami
perburukan selama penanganan asma atau refrakter terhadap terapi.
Gambaran AGD yang mengarah memerlukan intubasi yaitu pH < 7.2, PaCO2
> 55 - 70 mm Hg, PaO2 < 60 mmHg pada 100% oksigen melalui sungkup
muka. Laju respirasi > 40 x/menit, silent chest, barotrauma atau asidosis
laktat yang sulit ditangani merupakan indikasi tambahan. Nilai PaC)2 < 60
mmHg (8kPa) dan normal atau peningkatan PaCO2 (terutama >45 mmHg, 6
kPa) mengindikasikan gagal nafas.10,11
Prinsip managemen eksaserbasi berat dan life-threatening asthma
Initial management
Suatu penilaian menyeluruh sesuai kegawatdaruratan diawali
dengan menilai secara cepat kondisi ABC (airway, breathing, circulation)
sekaligus melakukan penanganan segera. Pasien umumnya akan
mengalami hipoksemia, hipovolumia, asidosis dan hypokalemia. Semua
pasien diberikan suplementasi oksigen untuk mencapai saturasi oksigen
lebihdari 90%. Oksigen saturasi dimonitor secara ketat dengan pulse
82
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
oxymetry. Melakukan penilaian beratnya eksaserbasi dengan baik, mencari
tanda life-threatening asthma (seperti perubahan status mental,
pergerakan dada atau abdomen yang paradoksical, melemahnya atau
hilangnya wheezing), dan anamnesis singkat tentang faktor risiko,
pemeriksaan klinis baik gejala dan tanda fisik dan pengukuran obyektif
fungsi paru PEF dan FEV1, saturasi oksigen, fungsi jantung. Pemeriksaan
foto thorak dan analisa gas darah tidak rutin dilakukan, sebaiknya
dilakukan jika PEF 30-50% predicted, tidak respon terhadap terapi awal
atau mengalami perburukan.1
Memantau pasien secara ketat diruang intensif terutama untuk pasien
yang terancam gagal nafas, dan menilai perkembangan kondisi pasien,
penyulit yang ada dan respon pengobatan dan efek samping yang timbul.
Terapi farmakologis
Terapi obat asma seperti di ruang emergensi meliputi terutama
inhalasi bronkodilator β2agonis, kortikosteroid sistemik, dan magnesium
sulfat diberikan secara optimal.11,12 Penggunaan kombinaasi salbutamol,
ipratropium bromide dosis tinggi pada pasien sangat direkomendasi.
Penggunaan magnesium sulfat cukup aman, tidak mahal dan memberi
manfaat pada eksaserbasi berat. Dosis tunggal intra vena magnesium
sulphate 1.2–2 gr dalam 20 menit diketahui aman dan efektif pada asma
akut . Magnesium adalah suatu smooth muscle relaxant, mengakibatkan
bronkodilatasi.
Pemberian
cepat
dpat
mengakibatkan
hipotensi.
Pengulangan dosis bermanfaat namun hipermagnesia akan menyebabkan
Denpasar, 30 Januari 2016
83
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kelemahan otot dan dapat memperberat gagal nafas pada pasien bernafas
spontan.
Pemberian secara subcutan (sc) epinephrine atau terbutalin
dipertimbangkan jika tidak memberi respon adekuat dengan nebulizer, dan
pada pasien yang tidak kooperatif (depresi status mental, apneu, coma).
Epinephrine diberikan sc 0.3–0.4ml (1:1000) setiap 20 menit untuk 3 dosis.
Juga dapat diberikan melalui ETT. Terbutalin dapat diberikan sc dengan
dosis 0,25 mg, dengan cara sc terbutalin kehilangan β-selectivity dan tidak
lebih baikk dari epinephrine. Terbutalin sebaiknya lebih dipilih hanya pada
kehamilan karena aman diberikan.12
Bronchodilator intravena
Pemberian β2 agonis parenteral dipertimbangkan pada pasien
dengan MV dan life-threatening asthma. Salbutamol iv (5–20 µg/menit)
atau terbutaline (0.05-0,10 µg/kg/menit) dan dititrasi sesuai respon klinis.
Dalam kondisi ektrim, salbutamol 100–300 µg dapat diberikan sebagai
bolus iv atau melalui ETT. Obat alternatif lain adalah aminophylline.
Dengan dosis 5 mg/kg dalam 20 menit dilanjutkan infus 0.5– 0.75
mg/kg/menit).
Kekurangan
sekaligus
kontroversi
penggunaannya
sehubungan efek samping aritmia, muntuh, restlessness dan konvulsi dan
sempitnya dosis terapi. Konsentrasi aminophylline sebaiknya dimonitor
(rentang terapi 10-20 µg/ml). Pada kondisi ekstrim epinephrine dapat
diberikan iv dengan dosis 0.2–1 mg bolus diikuti 1–20 µg/menit).10,12
84
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Non-invasive Ventilator
Keberhasilan NIV masih kontroversial. NIV terkadang dipakai untuk
bantuan sesaat sebelum intubasi dan MV. Dengan mode continuous
positive airway pressure (CPAP) melalui sungkup muka akan menurunkan
WOB, menurunkan laju respirasi dan sesak tanpa mengurangi efek
pertukaran gas, aliran udara ekspirasi, atau hemodinamik. Dengan jumlah
penelitian yang relative kecil NIV mampu menurunkan kebutuhan intubasi
pasien. Mode yang lain seperti bi-level positive airway pressure (BiPAP),
membatasi tekanan inspirasi tak lebih 20 cmH2O, fraksi O2 dititrasi untuk
mencapai saturasi oksigen ≥ 90%.7-10
Tabel 2. Keuntungan dan keterbatasan NIV pada asma
Keuntungan
Keterbatasan
Menurunkan hambatan aliran
udara
Memerlukan koopratif pasien
Mengurangi tekanan transdiaphragmatic
Dapat mengurang kemampuan untuk
membersihkan dahak dan pemberian
obat
Re-expands atelectasis
Tidak memerlukan pengontrolan
saluran nafas
Memperbaiki rasa nyaman dan
bantuan WOB
Dapat menyebabkan distensi gaster dan
meningkatkan risiko aspirasi
Meningkatkan perasaan susah nafas,
claustrophobic
Denpasar, 30 Januari 2016
85
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Intubasi
Pasien dengan perubahan status mental, kepayahan atau
hipercapnia dipertimbangkan memerlukan diintubasi segera pemasangan
ETT dan bantuan mekanikal ventilator (MV). Penurunan kesadaran dan
respiratory arrest menjadi kriteria absolut untuk melakukan intubasi
segera. Indikasi relatif pada perburukan fungsi paru dan meningkatnya
WOB, perubahan status mental. Pasien yang sering melepas masker
oksigen dan mengatakan saya tak bisa bernafas merupakan indikasi
intubasi. Metode intubasi yang dipilih adalah rapid sequence intubation
(RSI) selain intubasi awake. Manipulasi jalan nafas akan dapat
meningkatkan airway responsiveness dan dapat memperburuk obstruksi
jalan nafas. Target intubasi adalah mencegah lebih lanjut peningkatan
perburukan hiperinflasi paru. Waspadai akan terjadinya hipotensi dan
barotrauma akibat tindakan intubasi dan mekanikal ventilasi.7,9,10
Mekanikal Ventilasi (MV)
Tujuan awal MV untuk memperbaiki hipoksia dengan FiO2 tinggi
tanpa memaksakan untuk segera mengembalikan ventilasi alveolar normal.
Juga penting untuk membersihkan secret dan pemberian bronkodilator
selama MV. Koreksi hiperkapnia dapat dicapai berikutnya setelah obstruksi
bronkial membaik, distribusi ventilasi-perfusi membaik. Konsep dasar dari
lung protective ventilation strategy pada asma, menurunkan WOB,
memberi oksigenasi adekuat dan ventilasi yang cukup, menghindarkan
komplikasi sehubungan intubasi dan MV.7,10,12
86
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Suatu strategi yang biasa dilakukan mentoleransi level PCO2 lebih
tinggi (atau pH darah rendah) melalui hipoventilasi untuk meminimalkan
kerusakan paru yang dipicu oleh MV tekanan positif (“permissive
hypercapnia”) banyak diterima dan dapat menurunkan mortalitas. Tujuan
MV yang jauh lebih penting mencegah perburukan hiperinflasi,
memberikan kesempatan paru melakukan ekspirasi, dan membatasi
tekanan alveolar untuk mencegah barotrauma dan kolap sirkulasi akibat
dari penurunan aliran darah vena.7,9,10,12 PaCO2 sampai 90 mmHg atau pH ≥
7,2 secara umum ditoleransi baik dan tanpa membikin kecacatan jangka
panjang asalkan oksigenasi adekuat tercapai. Mode ventilasi mekanik dan
penggunaan sedatif yang dalam dengan atau tanpa pelumpuh otot untuk
tercapainya lung protective ventilation strategy akan sangat membantu
namun
penting
untuk
mengendalikan
pengaruhnya
terhadap
hemodinamik pasien. FiO2 dititrasi untuk mencapai SO2 setidaknya 88%,
mengatur laju respirasi 8-16 x permenit dengan volume tidal 6-8 ml/kg
predicted body weight, hindarkan plateau pressure (Pplat) jangan lebih 35
cmH2O. Peak inspiratory flow tinggi (dan inspiratory time pendek)
sebaiknya digunakan untuk mendapatkan expiratory time yang maksimal.
Penggunaan PEEP kontroversial. Pada pasien dengan mode ventilasi
terkontrol pasien tersedasi dan dilumpuhkan aplikasikan zero endexpiratory pressure (ZEEP) untuk mendapatkan ekhalasi maksimum dan
meminimalkan overdistention. Jika pasien bernafas spontan, PEEP diseting
untuk mengkompensasi PEEPi dan memungkinkan mentriger ventilasi
secara adekuat (mendekati 80% dari auto PEEP).
Denpasar, 30 Januari 2016
87
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tabel 3 . Setingan awal ventilator
Laju respirasi rendah (8-16 x/menit)
Tidal volume kecil 6-8 ml/kg predicted body weight
Plateu pressure < 30 cmH2O
Peak inspiratory flow tinggi (70-100 l/menit)
Expiratory time diperpanjang (inspiratory:expiratory ratio 1:3 – 1:4
PEEP untuk kompensasi PEEPi jika pasien bernafas spontan (80% dari
autoPEEP)
ZEEP jika pasien tersedasi, paralisis dan pada pemakaian MV untuk
memaksimalkan ekhalasi
FiO2 untuk mencapai SO2 ≥ 88%
Barotrauma akan meningkatkan morbiditas mortalitas. Barotrauma
dihubungkan dengan tekanan yang tinggi di jalan nafas, PEEP, dan tidal
volume meskipun masih kontroversial.
Analgesia, Sedasi, paralisis dan anestesi inhalasi12
Opiat dan kususnya fentanyl obat pilihan untuk menekan
respiratory drive. Morphine dapat menyebabkan hipotensi dan mungkin
memperburuk bronkokonstriksi akibat pengeluaran histamine.
Sedasi yang efektif akan meningkatkan kenyamanan pasien,
menurunkan konsumsi oksigen dan menurunkan produksi CO2, dan
88
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
memudahkan sinkronisasi pasien dengan MV, menghindarkan self
extubating, trigger autoPEEP karena laju respirasi tinggi. Propofol suatu
hipnotik potensial dengan mulai kerja yang cepat dan waktu paruh pendek,
menekan respiratory drive dan mempunyai efek bronkodilator namun
dengan efek hipotensi. Lebih dipilih untuk intubasi yang tidak lama.
Benzodiazepine (midazolam dan lorazepam) banyak digunakan untuk
sedasi MV dengan efek supresi nafas sedikit dan tanpa bronkodilatasi.
Ketamine suatu obat anestesi iv dengan efek sedasi, analgesi, dan
bronkodilatasi. Secara tak langsung memicu pengeluaran katekolamin dan
pada dosis sampai 2 mg/kg akan menyebabkan beonkodilatasi. Obat ini
baik digunakan sebagai bahan induksi dan intubasi pada bronkospasme
berat. Kontraindikasinya ischemic heart disease, hipertensi berat, preeklamsi, dan tekanan intracranial yang meningkat. Efeksamping meliputi
halusinasi, sekresi meningkat, dan kadang kadang laryngospasm. Bahan
anestesi inhalasi (halothane, isoflurane dan enflurane) terkadang
digunakan. Terapi medis sebaiknya dimaksimalkan sebelum menghentikan
obat anestesi inhalasi.
Neuromuscular blocking agent selama MV akan menurunkan risiko
barotrauma, mencegah batuk dan ketidaksinkronan pernafasan dan
mengistirahatkan otot nafas. Cisatracurium pilihan yang baik untuk itu
karena bebas efek kardiovasculer, tidak melepas histamine dan kleren hati
dan ginjal tidak terpengaruhi. Obat paralisis dapat menyebabkan miopati
terutama jika bersama kortikosteroid. Obat paralisis setelah intubasi hanya
direkomendasi pada pasien yang tidak tercapai relaksasi adekuat denga
Denpasar, 30 Januari 2016
89
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sedasi
dalam.
Jika
memungkinkan
neurobloking
agent
dibatasi
penggunaannya kurang dari 24 jam.
Heliox
Helium adalah suatu low-density inert gas yang dapat menurunkan
resistensi jalan nafas dan menurunkan kerja respurasi. Heliox suatu
campuran 80:20 helium dan oksigen dapat dipetimbangkan pada pasien
dengan respirasi asidosis yang gagal denga terapi konventional.
Ringkasan
Meskipun sebagian besar pasien asma dapat tertangani, ada
sebagian kecil pasien tidak membaik atau memburuk dengan terapi yang
diberikan memerlukan perawatan terapi intensif. Dengan memahami
terjadinya dynamic hyperinflation dan akibatnya terhadap respirasi dan
fungsi kardiovaskuler akan memungkinkan melakukan penanganan lanjut
seperti melakukan intubasi dan pemasangan endotracheal tube dan
pemasangan mekanikal ventilator dengan mengaplikasikan lung protective
strategy dan menopang fungsi respirasi dan hemodinamik, memonitoring
dan mewaspadai efek samping tindakan dan pengobatan, sambil
mengoptimalkan terapi farmakologis mengatasi obstruksi jalan nafas.
Daftar Pustaka
1. Lazarus SC. Emergency Treatment of Asthma. N Engl J Med
2010;363:755-64.
2. Gupta D, Keogh B, Chung KF, Jon G Ayres JG, Harrison DA, Goldfrad
C, Brady AR, Rowan K. Characteristics and outcome for admissions
90
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
to adult, general critical care units with acute severe asthma: a
secondary analysis of the ICNARC. Critical Care 2004, 8:R112-R12
3. Papiris S, Kotanidou A, Malagari K, Roussos C. Clinical review:
Severe asthma. Critical Care 2002, 6:30-44
4. Picado C. Classification of severe asthma exacerbations: a proposal.
Eur Respir J 1996;9(9):1775-1778
5. Lugogo
NL,
MacIntyre
NR.
Life-Threatening
Asthma:
Pathophysiology and Management. Respir Care 2008;53(6):726–
735.
6. Plaza V, Serrano J, Picado C, Sanchis J, on behalf of the High Risk
Asthma Research Group. Frequency and clinical characteristics of
rapid-onset fatal and near-fatal asthma. Eur Respir J 2002; 19: 846–
852
7. Mart´ınez HQ, Ferguson ND. Life-threatening Asthma: Focus on
Lung Protection. In: Vincent JL eds. Yearbook of intensive care and
emergency medicine 2009; Springer :Wurzburg p 372 -82
8. Leatherman JW, Ravenscraft SA: Low measured auto-positive endexpiratory pressure during mechanical ventilation of patients with
severe asthma: hidden auto-positive end-expiratory pressure. Crit
Care Med 1996, 24:541-546
9. Stather DR, Stewart TE. Clinical review: Mechanical ventilation in
severe asthma. Critical Care 2005, 9:581-587
Denpasar, 30 Januari 2016
91
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
10. Brenner B, Corbridge T, Kazzi A. Intubation and Mechanical
Ventilation of the Asthmatic Patient in Respiratory Failure. Proc Am
Thorac Soc Vol 6. pp 371–379, 2009
11. GINA. Global Initiative For Asthma. Global Strategy For Asthma
Management And Prevention. 2014
12. Stanley D, Tunnicliffe W. Management of life-threatening asthma in
adults. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain
2008, 8 Number 3
92
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tatalaksana Asma Jangka Panjang
IGN Bagus Artana
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit inflamasi jalan nafas kronik dengan
banyak sel dan elemen seluler yang berperan di dalamnya. Inflamasi kronik
ini
berhubungan
dengan
hiper-responsivitas
jalan
nafas
yang
mengakibatkan episode berulang dari mengi, sesak, perasaan berat di
dada, dan batuk, terutama saat malam hari atau dini hari. Episode
serangan akut ini biasanya berhubungan dengan obstruksi aliran udara
pada paru yang reversible. Manifestasi klinis asma ini dapat dikontrol
dengan pengobatan yang tepat. Pada kondisi terkontrol, maka pasien asma
tidak akan mengalami serangan dan eksaserbasi, sehingga mampu
beraktivitas secara normal.1
Asma merupakan masalah kesehatan global. Diperkirakan sekitar
300 juta orang menderita asma di seluruh dunia. Asma dapat diderita oleh
semua ras umat manusia di dunia dari berbagai kelompok umur dan jenis
kelamin. Angka prevalensi asma sangat bervariasi di seluruh dunia. Secara
umum, prevalensi asma berkisar antara 1 – 18% pada berbagai populasi di
seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar 15 juta disability-adjusted life
years (DALYs) hilang akibat asma, atau sekitar 1% dari beban seluruh
Denpasar, 30 Januari 2016
93
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
penyakit secara global (global disease burden) dengan angka mortalitas
sebesar 250.000.1,2
Asma berhubungan dengan hiperresponsivitas saluran udara akibat
rangsangan langsung atau tidak langsung, serta berhubungan dengan
inflamasi jalan nafas kronik. Kedua kondisi ini biasanya selalu didapatkan,
walaupun pasien sudah tidak merasakan gejala asmanya serta dengan
fungsi paru normal. Kondisi hiperresponsivitas dan inflamasi jalan nafas ini
dapat dikendalikan dengan pemberian obat yang sesuai. Kedua hal ini
hingga saat ini masih menjadi inti penatalaksanaan asma jangka panjang
menurut GINA 2015.3
Berdasarkan RISKESDAS 2013, prevalensi asma di Indonesia
didapatkan 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Asma menduduki
peringkat pertama dari kategori prevalensi penyakit kronik tidak menular.
Apabila diproyeksikan dengan jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2013 yang berjumlah lebih dari 248 juta jiwa, maka jumlah pasien asma di
Indonsia lebih dari 11 juta jiwa.4 Angka tersebut merupakan jumlah yang
sangat banyak untuk ditangani oleh dokter, khususnya spesialis terkait
yang kebanyakan terdistribusi di kota-kota besar. Selain diagnosis yang
tepat, penatalaksanaan asma yang terstandar juga sangat diperlukan dalam
mencapai asma terkontrol. Berikut ini akan disampaikan prinsip-prinsip
penatalaksanaan asma jangka panjang.
Penatalaksanaan Asma
Tujuan penatalaksanaan asma jangka panjang adalah 1). untuk
mencapai asma dengan status gejala yang terkontrol dan mempertahankan
94
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
tingkat aktivitas pasien tetap normal disertai dengan 2). meminimalisasi
risiko eksaserbasi di masa yang akan datang, risiko menderita hambatan
aliran udara menetap, serta risiko mengalami efek samping pengobatan.
Kedua tujuan penatalaksaan tersebut penting untuk dikomunikasikan
dengan pasien untuk meningkatkan keberhasilan.
Faktor risiko independen yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya
eksaserbasi antara lain gejala asma yang tidak terkontrol, penggunaan β2
agonis kerja cepat (short-acting β2 agonist/SABA) dosis tinggi (>200 dosiskanister
sebulan),
penggunaan
inhalasi
kontikosteroid
(inhaled
corticosteroid/ICS) yang tidak adekuat dari segi kepatuhan atau teknik
penggunaan inhaler, FEV1 rendah (<60% prediksi), masalah psikologis dan
sosio-ekonomi mayor, pajanan rokok atau allergen, faktor komorbid
(obesitas, rhino-sinusitis, alergi makanan), eosinophilia (sputum atau
darah), kehamilan. Faktor utama lain yang meningkatkan risiko eksaserbasi
adalah riwayat intubasi atau dirawat di ruang intensif akibat asma serta
riwayat eksaserbasi berat ≥ sekali setahun. Faktor risisko mendapatkan
hambatan aliran udara menetap adalah terapi tanpa ICS, pajanan yang
menetap (asap rokok, bahan kimia dan pajanan dari tempat kerja), FEV1
awal yang rendah, hipersekresi mukus kronik, eosinophilia sputum atau
darah.1
Konsensus GINA 2015 lebih menekankan lagi konsep manajemen
asma berbasis control (The control-based asthma management) dengan
alur lingkaran seperti pada Gambar 1. Dengan prinsip manajemen ini,
penatalaksanaan farmakologis dan non-farmakologis terus menerus
Denpasar, 30 Januari 2016
95
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
disesuaikan dalam suatu siklus yang melibatkan aspek asesmen, terapi,
serta review respons terhadap terapi. Beberapa strategi alternatif lain
untuk menyesuaikan terapi yang dapat dipilih terutama pada kasus asma
yang sulit ditangani antara lain dengan prinsip Sputum-guided treatment
serta Fractional concentration of exhaled nitric oxide (FENO).1,5,6
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan asma dibagi
menjadi tiga kategori umum, yaitu kontroler (controller medication), pelega
(reliever medication), serta terapi tambahan (add-on therapy) untuk pasien
asma berat. Kontroler digunakan secara rutin untuk mengurangi inflamasi
jalan nafas, mengontrol gejala, dan mengurangi risiko eksaserbasi dan
penurunan fungsi paru dimasa depan. Pelega diberikan untuk meredakan
gejala terutama saat serangan asma dialami oleh pasien. Add-on therapy
dipertimbangkan pada kasus-kasus dengan gejala persisten atau tambahan
pada terapi pelega saat terjadi serangan, contohnya terapi untuk
menangani faktor risiko serangan asma.1,7
96
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Gambar 1. The control-based asthma management cycle1
Pemberian terapi kontroler inisial harian yang regular sebaiknya
mulai diberikan segera setelah diagnosis dan asesmen pasien asma
ditegakkan untuk memberikan outcome terbaik. Pendekatan terapi
farmakologis yang digunakan memakai prinsip stepwise approach
(pendekatan bertingkat). Setelah terapi awal diberikan, manajemen
menggunakan metode siklus the control-based asthma management cycle
seperti yang telah dijelaskan di atas. Kontroler disesuaikan naik atau turun
setiap dua sampai tiga bulan berdasarkan tingkatan (step) yang dibutuhkan
pasien (Gambar 2). Bila respons terapi tidak optimal setelah pemberian
terapi 2-3 bulan, maka dokter harus melakukan review, menilai, serta
memperbaiki faktor-faktor yang menghambat pencapaian target terapi
pasien sebelum meningkatkan step terapi. Beberapa faktor yang dikaitkan
dengan tidak adekuatnya respons terapi pasien antara lain teknik inhaler
Denpasar, 30 Januari 2016
97
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang kurang tepat, buruknya kepatuhan, pajanan polutan yang persisten,
komorbid yang belum diidentifikasi, atau diagnosisnya bukan asma.1
Gambar 2. Stepwise approach untuk mengontrol gejala dan meminimalisasi
risiko1
Selain penatalaksanaan farmakologis, pendekatan non-farmakologis
juga sangat diperlukan untuk menjamin tercapainya tujuan manajemen
asma jangka panjang. Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain henti
rokok dan melindungi pasien dari efek ETS (environment Tobacco Smoke)
serta menghindari pajanan polutan dan gas berbahaya dari lingkungan
maupun allergen atau polutan indoor. Pasien juga diupayakan tetap aktif
melakukan aktivitas fisik untuk memperbaiki kebugaran kardiopulmonal
98
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
(hati-hati pada pasien asma yang dicetuskan latihan/exercise induced
asthma). Hal lain yang sifatnya membantu antara lain latihan pernafasan,
diet dengan mengkonsumsi makanan yang sehat, mengendalikan emosi,
serta menghindari konsumsi obat-obat lain yang dapat memperburuk asma
(misalnya pada kasus asma dan alergi obat). Beberapa tidakan medis
seperti bronchial thermoplasty, immunoterapi, serta vaksinasi dapat
dipertimbangkan sesuai dengan kasus yang dihadapi.1,8
Serangan asma merupakan hal yang sangat penting dalam
tatalaksana asma jangka panjang. Pasien yang masih mengalami serangan
walaupun sudah mendapat terapi maksimal (step 5) merupakan masalah
tersendiri dalam tatalaksana asma. Dalam tatalaksana asma jangka
panjang, dikenal istilah modifiable risk factors yang sering terlewat pada
tatalaksana pasien. Dengan mengendalikan faktor-faktor risiko tersebut,
banyak pasien asma yang awalnya sulit dikontrol menjadi terkontrol. (Tabel
1)
Sebagian besar kasus asma seharusnya dapat ditangani pada
fasilitas kesehatan primer. Klinisi terutama yang bertugas pada fasilitas
kesehatan primer diharapkan mampu memilah dan memutuskan kapan
suatu kasus asma dirujuk. Beberapa kasus di bawah ini sebaiknya dirujuk
untuk memberikan penanganan yang tepat dan adekuat :1

Kasus kecurigaan asma yang sulit ditegakkan diagnosisnya setelah
mengikuti skema diagnosis di atas, sebaiknya dirujuk untuk
ditelusuri lebih mendalam dengan berbagai penunjang diagnosis
yang lebih maju.
Denpasar, 30 Januari 2016
99
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA

Kasus yang memiliki karakteristik asma dan PPOK (Asthma-COPD
Overlap Syndrome/ACOS).

Kasus asma kerja

Pasien asma yang tetap tidak terkontrol setelah terapi step 4
adekuat. Atau pasien dengan serangan asma berulang

Pasien dengan riwayat near-fatal asthma attack (riwayat perawatan
ICU atau intubasi) dan anafilaksis

Pasien dengan efek samping terapi atau memerlukan terapi
kortikosteroid sistemik jangka panjang

Pasien dengan komplikasi atau sub-tipe asma, misalnya aspirinexacerbated respiratory disease atau allergic bronchopulmonary
aspergillosis. Serta asma pada berbagai populasi khusus dan kondisi
komorbid.
Tabel 1. Strategi mengendalikan modifiable risk factors untuk mengurangi
serangan asma1
Faktor Risiko
Strategi Tatalaksana
Pasien dengan ≥1 risiko • Pastikan pasien mendapat terapi kontroler
eksaserbasi
berbasis ICS
• Pastikan pasien memiliki action plan yang
sesuai
• Review kondisi pasien lebih sering
• Cek teknik inhaler dan kepatuhan lebih sering
100
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
• Identifikasi faktor risiko lain
≥ 1 serangan
• Cari kontroler alternative untuk mencegah
berat/tahun
serangan
• Step up bila tidak ada faktor lain
• Identifikasi pencetus serangan
Pajanan asap rokok
• Smoking cessation
• Tingkatkan dosis ICS bila asma tidak terkontrol
FEV1 rendah (terutama
• Trial 3 bulan dengan ICS dosis besar atau
bila
kortikosteroid oral 2
<60% predicted)
minggu
• Singkirkan penyakit paru lain, misalnya PPOK
• Rujuk bila tidak ada perbaikan
Obesitas
• Penurunan berat badan
• Bedakan gejala asma dengan gejala akibat
restriksi mekanik
atau sleep apnea
Masalah psikologis
• Assesmen kesehatan mental
berat
• Bantu pasien membedakan gejala ansietas dan
asma, beri
advis tentang manajemen serangan panik
Masalah sosio-
• Pilihkan obat kontroler ICS-based paling cost-
ekonomi berat
effective
Alergi makanan
• Hindari makanan penyebab, epinephrine
Denpasar, 30 Januari 2016
101
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
injeksi
Pajanan alergen
• Strategi menghindari pajanan
• step up kontroler
• Efikasi allergen immunotherapy pada asma
masih terbatas
Sputum eosinophilia
• Tingkatkan dosis ICS tanpa memandang level
kontrol
gejalanya
Ringkasan
Asma merupakan penyakit yang dapat mengenai seluruh lapisan
masyarakat. Asma di Indonesia masih menduduki peringkat pertama
penyakit non-infeksi terbanyak. Asma membawa dampak yang besar dari
segi medis, psiko-sosial, serta ekonomi. Klinisi pada berbagai fasilitas
kesehatan diharapkan mampu melakukan manajemen asma yang tepat
dan optimal sehingga menghindarkan pasien asma dari berbagai risiko
outcome buruk baik akibat asmanya maupun efek samping obatnya.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. World Asthma Prevalence (WHO). Available at http//www.who.int.
Accessed: 15 October 2015.
102
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
3. Boulet LP, FitzGerald JM, Reddel HK. The revised 2014 GINA
strategy report: opportunities for change. Curr Opin Pulm Med
2015;21:1-7.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar (RISKERDAS)
2013.
5. Petsky HL, Cates CJ, Lasserson TJ, et al. A systematic review and
meta-analysis: tailoring asthma treatment on eosinophilic markers
(exhaled nitric oxide or sputum eosinophils). Thorax 2012;67:199208.
6. Gibson PG. Using fractional exhaled nitric oxide to guide asthma
therapy: design and methodological issues for ASthma TReatment
ALgorithm studies. Clinical and experimental allergy. journal of the
British Society for Allergy and Clinical Immunology 2009;39:478-90.
7. Levy ML, Fletcher M, Price DB, Hausen T, Halbert RJ, Yawn BP.
International Primary Care Respiratory Group (IPCRG) Guidelines:
diagnosis of respiratory diseases in primary care. Prim Care Respir J
2006;15:20-34.
8. Castro M, Rubin AS, Laviolette M, et al. Effectiveness and safety of
bronchial thermoplasty in the treatment of severe asthma: a
multicenter, randomized, double-blind, sham-controlled clinical
trial. Am J Respir Crit Care Med 2010;181:116-24.
Denpasar, 30 Januari 2016
103
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Difficult Asthma
Putu Andrika
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Prevalensi asma semakin meningkat dekade terakhir. Diperkirakan
8,6% dewasa muda di dunia mengalami asma (1). Prevalensi asma yang
tercatat di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebesar 4,5% (2). Dengan
kemajuan pengobatan asma sebagian besar pasien dapat mengendalikan
atau mencapai status asma terkontrol. Ada sebagian kecil pasien meskipun
sudah dengan pengobatan dengan dosis tinggi sebagian pasien sulit lepas
dari serangan asma, tidak mencapai status asma terkontrol dan bahkan
sering dengan ancaman kematian.
Berkisar 5-10% dari penderita asma akan mengalami gejala yang
persisten dan sering mengalami eksaserbasi (3,4,5,6,7). Kelompok ini sering
dikatagorikan difficult asthma (4,6,7). Suatu kondisi dengan morbiditas,
mortalitas dan disabilitas penderita, juga memerlukan biaya kesehatan
yang tinggi bahkan menghabiskan 50% biaya keseluruhan asma, kualitas
hidup yang buruk, dan sering dengan efek samping pengobatan (7,8,9).
Sulitnya penatalaksanaan difficult asthma ini akan menjadi suatu
tantangan bagi dokter, benarkah pasien termasuk difficul to manage asma
atau suatu asma yang truly therapy resistant, bagaimana pendekatan
104
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dalam menangani pasien memerlukan pemahamam yang memadai
tentang difficult asthma.
Definisi
Hingga saat ini definisi difficult asthma masih berbeda-beda, tidak
ada konsensus khusus yang mendefinisikan difficult asthma. Difficult
asthma dikenal sebagai penyakit asma dengan eksaserbasi berat,
mengancam jiwa, memerlukan perawatan di rumah sakit yang sering, atau
memerlukan terapi kortikosteroid kronik (4,10,11,12). Definisi ini kemudian
mengalami perkembangan, difficult asthma memasukkan pula kondisi
pasien dengan serangan asma yang tidak dapat dikontrol meskipun telah
menggunakan terapi inhalasi dengan dosis maksimal (4,13). Berdasarkan
atas definisi di atas, difficult asthma dikenal pula dengan istilah asma berat
kronik, asma berat refrakter, asma yang sulit dikontrol (10,13,14).
Pada tahun 1999, Europian Respiratory Society (ERS) Task Force
menyebutkan bahwa difficult asthma atau therapy resistant asthma
merupakan penyakit asma yang tidak dapat dikontrol, meskipun telah
menggunakan terapi inhalasi kortikosteroid dosis tinggi dengan atau pun
tanpa terapi kortikosteroid sistemik (15). Kemudian pada tahun 2000,
American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan asma berat refrakter
dengan pengertian yang sangat mirip dengan pengertian difficult asthma
menurut ERS pada tahun 1999 (16). The European Network for
Understanding Mechanisms of Severe Asthma pada tahun 2003
mendefinisikan asma berat sebagai penyakit asma yang telah terkonfirmasi
Denpasar, 30 Januari 2016
105
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dengan kejadian eksaserbasi satu kali atau lebih dalam satu tahun terakhir,
meskipun telah mendapatkan terapi kortikosteroid oral atau terapi inhalasi
kortikosteroid dosis tinggi (5,11,17).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka difficult asthma
memiliki makna yang berbeda dengan asma berat refrakter. Kondisi ini
lebih diakibatkan karena faktor lain, seperti faktor lingkungan, adherence
pengobatan, penyakit komorbiditas, kesalahan diagnosis, dan masalah
psikososial (6,7,12,13). Sedangkan asma berat refrakter menurut
Innovative Medicine Initiative sebagai kondisi yang sama dengan difficult
asthma, namun faktor-faktor lain yang berperan pada difficult asthma
telah dieksklusi terlebih dahulu (5,11,18). Difficult asthma merupakan
kondisi asma dengan gejala persisten dan sering mengalami eksaserbasi
meskipun telah mendapatkan terapi tahap 4 atau 5 berdasarkan atas
pedoman terapi Global Initiative For Asthma (GINA) (5,7,19).
Dalam upaya pendekatan terhadap pasien difficul asthma, akan
sangat
membantu
jika
kita
memecahkan
permasalahan
dengan
menentukan apakah pasien termasuk salah satu dari difficult to manage
asthma atau therapy resistant asthma. Penting hal ini dilakukan karena
kandidat pendekatan terapi innovative yang tentunya sangat mahal akan
bermanfaat banyak pada penderita yang termasuk therapy resistant
asthma, sementara kelompok difficul to manage asthma belum tentu
membutuhkannya.
Terdapat berbagai factor penting yang memberikan kontribusi
terhadap difficult to manage asthma, dan mungkin bukan hanya satu tapi
106
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
lebih dari beberapa factor berperan terhadap seorang pasien yang kita
anggap difficult asthma. Faktor yang bekontribusi dapat dikelompokkan
kedalam grup berikut:
1. Adverse environment. 2. Nonadherence. 3. Comorbidities. 4. Incorrect
diagnosis. 5. Psychosocial problems.
Lingkungan sangat potensial dalam perannya pada pengendalian
difficult asthma, telusuri secara baik untuk mencari bahan allergen dan
iritan di rumah ataupun ditempat kerja. Aeroallergens seperti house dust
mites, domestic animals, dan environmental mold. Kurang atau tidak
cukupnya adherence terhadap pengobatan yang dianjurkan termasuk
akibat ketakutan akan efek samping. Evaluasi dan penting untuk
menangani komorbid yang sering ditemukan yaitu penyakit alergi saluran
nafas atas, GERD, obesitas, obstructive sleep apnea. Penting untuk
memastikan diagnosis kerja kita apakah pasien memang asma atau mirip
asma seperti COPD, empisema, defisiensi alfa 1 antitrypsin, bronkiektasis,
cystic fibrosis atau aspergilosis bronkopulmonari. Amin dkk, melaporkan
terdapat 33% misdiagnosis pada difficult asthma yang sesungguhnya akibat
kelainan psikiatri (30%), COPD (25%), CHF (15%), ILD (11,5%), bronkiektasis
(8,3%) (20).
Diagnosis dan Pendekatan Klinis
Penegakan diagnosis untuk difficult asthma tidaklah sulit. Diagnosis
dapat ditegakkan apabila telah didapatkan kondisi asma yang memiliki
gejala persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah
Denpasar, 30 Januari 2016
107
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
mendapatkan
terapi
tahap
4
atau
5
berdasarkan
pedoman
penatalaksanaan asthma (5,7). Kesulitan pada difficult asthma adalah
mengkaji faktor-faktor lain yang berperan sehingga mengakibatkan gejala
asma yang persisten.
Penilaian awal yang harus dilakukan pada difficult asthma adalah
mengkaji kembali kebenaran diagnosis asma. Penilaian ini dapat dilakukan
dengan mencari riwayat pasien sebelumnya dan melihat bukti-bukti
obyektif yang mendukung diagnosis asma. Asma dicirikan dengan riwayat
sesak nafas, mengik episodik yang berulang, dan/atau batuk (19). Gejalagejala ini umumnya muncul pada malam hari atau pada dini hari. Data
obyektif yang harus dicari pada asma adalah adanya obstruksi saluran
nafas yang reversibel (19). Data dapat diperoleh dengan melakukan uji
spirometri. Sedangkan pada pasien tanpa adanya obstruksi saluran nafas,
dapat dilakukan penilaian kadar nitric oxide ekshalasi dan bronchial
challenge test (4,5,6,7,12). Pemeriksaan bronchial challenge test dapat
dilakukan dengan menggunakan methacholine guna menilai hiperesponsif
dari saluran nafas (4,6,7). Selain itu, dapat pula dilakukan pemeriksaan
eosinophilia sputum dan eosinophil darah perifer. Kedua pemeriksaan ini
jarang dikerjakan, namun dapat membantu untuk menegakkan diagnosis
asthma (4,6,7).
Diagnosis lain yang dapat menimbulkan gejala menyerupai asma
perlu dipikirkan pada penatalaksanaan difficult asthma (4,6,7,12). Terdapat
beberapa penyakit lain pula yang dapat memberikan manifestasi klinis
berupa mengik, sehingga diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang lain
108
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
untuk menegakkan penyakit tersebut. Penyakit-penyakit tersebut antara
lain adalah penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), disfungsi pita suara
(vocal cord dysfunction), penyakit-penyakit bronkiolus primer (bronkiolitis
konstriktif), bronkiektasis, obstruksi saluran nafas atas, hiperventilasi, dan
kelemahan neuromuscular (4,6,7,12,13).
Faktor lingkungan pada difficult asthma harus dievaluasi dengan
baik. Eksaserbasi atau pun gejala yang persisten dapat disebabkan oleh
kurang baiknya menghindari paparan terhadap alergen yang dapat
mencetuskan asma (6,21). Paparan terhadap asap rokok disebutkan
berhubungan dengan resistensi terhadap pemberian terapi standar yang
bertujuan untuk mengontrol gejala asma. Penelitian yang dilakukan oleh
Kobayahi dkk, 2014 menunjukkan bahwa perokok pasif akan mengalami
gangguan fungsi dari histone deacetylase-2 yang berperan terhadap
resistensi steroid pada anak-anak dengan asthma (22). Penelitian lain di
Skotlandia menunjukkan bahwa larangan merokok pada area umum yang
ramai dengan anak-anak dapat menurunkan perawatan anak-anak di
rumah sakit akibat asthma secara signifikan (23). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa alergen dapat menimbulkan komorbiditas rhinitis
alergi dan mengakibatkan peningkatan risiko sebesar 4 kali lipat untuk
mengalami serangan asthma berat (21).
Adherence terhadap pengobatan merupakan salah satu faktor yang
ikut berpengaruh dalam pengontrolan penyakit kronik, seperti asthma.
Penelitian yang dipublikasikan oleh United Health Care Databases pada
tahun 2005 menunjukkan bahwa pasien-pasien asma tidak menggunakan
Denpasar, 30 Januari 2016
109
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
terapi yang sesuai dengan dosis yang dianjurkan (26). Hal ini menimbulkan
kesulitan dalam mengontrol gejala asma yang timbul. Sebuah penelitian
lain menunjukkan bahwa rendahnya tingkat adherence dalam pengobatan
asma memiliki hubungan terhadap difficult asthma yang muncul (27,28).
Masalah adherence ini biasanya muncul akibat ketakutan terhadap efek
samping, merasa tidak memerlukan pengobatan saat tidak ada gejala,
merasa pengobatan yang digunakan akan tidak efektif apabila digunakan
terus-menerus, dan merasa bahwa penyakitnya tidak serius (27).
Evaluasi komorbiditas yang ada pada pasien dengan difficult asthma
dapat memberikan hasil yang baik terhadap terapi pada difficult asthma.
Komorbiditas yang dapat muncul pada pasien difficult asthma adalah (6,7):
a.Penyakit alergi pada saluran nafas atas, b. Gastroesophageal reflux
disease (GERD), c. Obesitas, d. Obstructive sleep apnea.
Penatalaksanaan difficult asthma
Prinsip utama yang harus dipegang untuk penatalaksanaan difficult
asthma adalah konfirmasi diagnosis asma dengan menyingkirkan diagnosis
banding yang lain, juga faktor komorbid yang lain. Pencarian faktor risiko atau
pemicu yang memperberat asma juga perlu dilakukan, seperti misalnya
kunjungan ke rumah pasien. Kegagalan mencapai kontrol asma bersumber dari
ketidakakuratan penilaian kontrol asma baik dari pasien ataupun dokter yang
merawat, respon terapi yang berbeda-beda tiap pasien dan ketidaktaan pasien
terhadap regimen yang diberikan.
Obat difficult asthma yang disetujui oleh FDA adalah zileuton,
110
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
omalizumab, dan termoplasti bronkial (7,12,32). Zileuton merupakan inhibitor
enzim
intraseluler,
5-lipooksigenase,
yang
bersama-sama
dengan
5-
lipoxygenase activating protein mengkonversi asam arakidonat ke leukotriene
dan memulai jalur sintesis leukotriene (3,32). Zileuton tidak hanya mengurangi
produksi leukotrien cysteinyl (leukotrien C4, D4, dan E4) tetapi juga
menghambat sintesis leukotrien B4, kemoatraktan neutrofil. Obat diberikan
peroral sebagai tablet extended-release dengan dosis 1200 mg tiap 12 jam.
Dalam sebuah penelitian double-blind, pasien yang mendapat zileuton memiliki
peningkatan signifikan dalam fungsi paru-paru (volume ekspirasi paksa dalam 1
detik, FEV1), dan nilai-nilai peak flow dibandingkan dengan plasebo (8,32). Efek
lainnya adalah penurunan hiperaktivitas bronkus, tidak perlunya bronkodilator
“rescue”, dan perbaikan gejala hidung. Pasien dengan asma yang sensitif
aspirin cenderung memiliki tingkat produksi leukotrien basal yang tinggi dan
merupakan kandidat yang cocok untuk jalur blokade leukotrien yang kuat (32).
Zileuton umumnya ditoleransi dan memiliki risiko rendah untuk terjadinya efek
samping.2%-4% mengalami hepatotoksisitas yang paling sering terjadi dalam 6
bulan pertama pengobatan (32). Hepatitis yang diinduksi obat ini reversibel
dengan
penghentian
obat.
Disarankan
fungsi
hati
(serum
aspartat
aminotransferase dan alanine-aminotransferase) dipantau bulanan untuk 3
bulan pertama, dan kemudian setiap 2-3 bulan untuk sisa 1 tahun dan berkala
sesudahnya.
Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal. Ia mengikat
fragmen Fc dari IgE dan mengurangi konsentrasi sirkulasi IgE yang tidak terikat
sebanyak 95% dan penurunan densitas molekul pada sel target yang signifikan
Denpasar, 30 Januari 2016
111
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
(12,32).
Omalizumab-IgE
dibersihkan
oleh
sistem
retikuloendotelial.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap 2-4 minggu, dosis yang
diberikan tergantung dari berat badan dan kadar IgE serum total sebelum
terapi, 0,016 mg per kilogram dari berat badan pasien /tingkat IgE serum dalam
satuan internasional per mililiter. Omalizumab telah disetujui untuk pasien
berusia ≥ 12tahun yang memiliki kadar serum IgE dari 30-700 IU / mL dan
memiliki satu atau lebih aeroallergen (3,32). Pada pasien asma yang telah
menggunakan steroid dosis tinggi dan LABA dan mengalami setidaknya satu
eksaserbasi yang memerlukan pengobatan steroid dalam 12 bulan sebelumnya,
omalizumab menyebabkan penurunan yang signifikan dalam frekuensi
eksaserbasi asma selama 48 minggu berikutnya (8,12). Omalizumab
memungkinkan pasien untuk menghentikan penggunaan steroid sistemik,
sehingga mengurangi risiko jangka panjang yang serius (32). Efek samping dari
omalizumab sangatlah rendah, termasuk risiko terjadinya reaksi anafilaksis
(32).
Konsep dibalik termoplasti bronkial adalah diberikan energi termal
secara endobronkial pada bronkus mayor yang akan mengganggu serat otot
polos dan mengurangi hiperresponsif bronkus pada asma (32). Prosedur ini
mengunakan kateter, bronkoskopi fiberoptik dan panas yang diberikan melalui
permukaan mukosa sampai submukosa. Kontraindikasi terapi ini menurut AIR2
(Asthma Intervention Research), meliputi sumbatan aliran udara basal yang
berat (prebrokodilator FEV1 ≤ 60% predicted); dosis steroid 10 mg prednison
perhari atau lebih, rawat inap karena asma pada tahun sebelumnya, ≥3 kali
infeksi saluran nafas bawah pada tahun sebeleumnya, sinusitis kronik dan
112
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
riwayat asma yang fatal (12,32).
Terapi lain yang tidak disetujui FDA namun memiliki risiko rendah
terjadinya toksisitas antara lain ultrahigh-dose inhaled steroids, bronkodilator
kerja panjang alternatif, makrolid, dan suplemen vitamin D (32). Ultra HighDosis Inhalasi Steroid terdiri atas fluticasone 1000 mcg/hari atau yang setara
(32). Dosis ini dapat dicapai dengan 1-2 kali pemakaian sehari. Kekhawatiran
potensial dengan aplikasi jangka panjang ini antara lain efek samping lokal dan
sistemik dosis tinggi tersebut, berupa atrofi laring dengan disfonia permanen,
trakea atrofi dan risiko tracheomalacia (8,32). Penyerapan sistemik steroid
inhalasi tergantung dosis dan dapat diprediksi konsekuensi dari dosis yang
sangat tinggi. Efek samping steroid, termasuk katarak, cukup meningkat, juga
tekanan intraokular dan glaukoma sudut terbuka (32).
Bronkodilator antikolinergik jangka panjang, tiotropium, juga dapat
digunakan sebagai alternatif terapi (7,8,32). Tiotropium memiliki beberapa efek
samping seperti mulut kering, retensi urin pada orang dengan prostatism
namun jarang. Mengingat efek samping yang menguntungkan uji coba
tiotropium pada orang dengan difficult asthma tampaknya dibenarkan,
meskipun terbatas informasi yang tersedia tentang penggunaannya pada asma.
Alasan penggunaan antibiotik macrolide untuk mengobati asthma berat
refrakter ada dua. Pertama, adalah mungkin bahwa mikroba intraseluler
seperti Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae dan penggunaan
jangka panjang antibiotik macrolide telah terbukti efektif dalam pengobatan
penyakit paru-paru radang neutrophilic seperti cystic fibrosis, panbronchiolitis,
dan PPOK (32). Hingga saat ini, uji klinis antibiotik macrolide pada asma
Denpasar, 30 Januari 2016
113
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sebagian besar berskala kecil dan berdurasi pendek. Rejimen pengobatan yang
telah diusulkan, adalah penggunaan mingguan azitromisin selama 6 minggu
(setelah dosis loading awal diberikan setiap hari selama 3 hari) dan administrasi
sehari-hari klaritromisin selama 6 minggu (32).
Tingkat vitamin D berhubungan dengan kontrol asma lebih buruk; anakanak dari ibu dengan asupan makanan vitamin D rendah selama kehamilan
lebih mungkin untuk mengembangkan asma. Anak yang rendah kadar vitamin
D nya cenderung memiliki eksaserbasi asma lebih sering (32). Namun tidak ada
studi yang menunjukkan bahwa mengobati orang dengan kadar vitamin D
rendah meringankan asma. Dosis vitamin D yang dibutuhkan untuk
mengoptimalkan fungsi kekebalan tubuh di asma tidak diketahui (32).
Kesimpulan
Difficult asthma merupakan penyakit asma dengan gejala yang
persisten dan sering mengalami eksaserbasi meskipun telah mendapatkan
terapi yang intensif. Kondisi ini dapat diakibatkan oleh faktor lingkungan,
nonadherence, penyakit komorbid, kesalahan diagnosis, dan permasalahan
psikososial. Penatalaksanaan difficult asthma harus dilakukan secara
sistematik dengan mengkaji terlebih dahulu kemungkinan diagnosis lain
selain asma, menilai penyakit komorbid yang turut berperan. dan
mengevaluasi adherence penggunaan terapi yang telah diberikan.
114
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Daftar Pustaka
1.
Global Asthma Network. The global asthma report. 2014. Diunduh
dari www.globalasthmanetwork.org
2.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset
kesehatan dasar. 2013. Diunduh dari www.depkes.go.id
3.
Chung KF, Wenzel SE, Brozek JL, Bush A, Castro M, Sterk PJ, et al.
International ERS/ATS guidelines on definition, evaluation and
treatment of severe asthma. Eur Respir J 2014;43:343-373
4.
Strek ME. Difficult asthma. Proc Am Thorac Soc 2006;3:116-123
5.
Bel EH, Sousa A, Fleming L, Bush A, Chung KF, Versel J,et al.
Diagnosis and definition of severe refractory asthma: an
international consensus statement from the Innovative Medicine
Inititive (IMI). Thorax 2011;66:910-917
6.
Long AA, Fanta CH. Difficult asthma: assessment and management,
part 1. Allergy Asthma Proc 2012;33:305-312
7.
Currie GP, Doglas JG, Heaney LG. Difficult to treat asthma in adults.
BMJ 2009;338:593-597
8.
Campbell JD, Borish L, Haselkorn T, Rasouliyan L, Lee JH, Wenzel SE,
et al. The response to combination therapy treatment regimens in
severe/ difficult-to-treat asthma. Eur Respir J 2008;32: 1237-1242.
9.
Schatz M, Hsu JW, Zeiger RS, Chen W, Dorenbaum A, Chipps B, et al.
Phenotypes determined by cluster analysis in severe or difficult-totreat asthma. J Alllergy Clin Immunol 2014;133(6)
Denpasar, 30 Januari 2016
115
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
10.
Robinson DS, Campbell DA, Durham SR, Pfeffer J, Barnes PJ, Chung
KF, et al. Systematic assessment of difficult-to-treat asthma. Eur
Respir J 2003;22:478-483
11.
Wener RR, Bel EH. Severe refractory asthma: an update. Eur Respir
Rev 2013;22:227-235
12.
Chipps BE, Harder JM. Targeted interventions for difficult-to-treat
asthma. Expert Opin Ther Targets 2006;11(1)
13.
Le AV, Simon RA. The difficult-to-control asthmatic: a systematic
approach. Allergy, Asthma and Clinical Immunology 2006:2(3)
14.
Kling S. Severe asthma-assessment and management. Current
Allergy & Clinical Immunology 2012;25(3)
15.
Chung KF, Godard P, Adelroth E. Difficult/therapy-resistant asthma:
the need for an integrated approach to define clinical phenotypes,
evaluate risk factors, understand pathophysiology and find novel
therapies. Eur Respir J 1999;13:1198-1208
16.
Anon. Proceedings of the ATS workshop on refractory asthma:
Current
understanding,
recommendations,
and
unanswered
questions. Am J Respir Crit Care Med 2000;162:2341-2351
17.
Anon. The ENFUMOSA cross-sectional European multicenter study
of the clinical phenotype of chronic severe asthma. Eur Respir J
2003;22:470-477
18.
Bush A, Pedersen S, Hedlin G, Baraldi E, Barbato A, Benedictis F.
Pharmacological treatment of severe, therapy-resistant asthma in
116
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
children: what can we learn from where? Eur Respir J 2011; 38:947958
19.
Global Initiative for Asthma. Pocket guide for asthma management
and prevention. 2015. Diunduh dari www.ginaasthma.org
20.
Amin M, Fouad A, El-rab EG. Difficult to treatment asthma, is it
really asthma? Is it really difficult?.Egyptian Journal of Chest
Diseases and Tuberculosis 2014:63,39-42.
21.
Sheehan WJ, Phipatanakul W. Difficult to control asthma:
epidemiology and its link with enviromental factors. Curr Opin
Allergy Clin Immunol 2015;13(5):397-401
22.
Kobayashi Y, Bossley C, Gupta A. Passive smoking impairs histone
deacetylase-2
in
children
with
severe
asthma.
Chest
2014;145(2):305-312
23.
Mackay D, Haw S, Ayres JG, Fischbacher C, Pell JP. Smoke free
legislation and hospitalizations for childhood asthma. New Eng J
Med 2010;363(12):1139-1145
24.
Hassanzad M, Khalilzadeh S, Eslampanah NS. Nicotine level is
associated with asthma severity in passive smoker children. IJAAI
2015;14(1):67-73
25.
Wood RA, Johnson EF, Van Natta ML. A placebo controlled trial of a
HEPA air cleaner in the treatment of cat allergy. Am J Respir Crit
Care Med 1998;158:115-120
26.
Stempel DA, Stoloff SW, Rosenzweig CJR. Adherence to asthma
controller medication regimens. Respir Med 2005;99:1263-1267
Denpasar, 30 Januari 2016
117
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
27.
Lindsay JT, Heaney LG. Nonadherence in difficult asthma-facts,
myths, and a time to act. Patient Preference and Adherence
2013;7:328-336
28.
Gamble J, Stevenson M, McClean E, Heaney LG. The prevalence of
nonadherence in difficult asthma. Am J Respir Crit Care Med
2009;180:817-822
29.
Moore WC, Bleecker ER, Curran-Everet D. Characterization of the
severe asthma phenotype by the National Heart, Lung and Blood
Institute’s Severe Asthma Research Program. J Allergy Clin Immunol
2007;119:205-213
30.
Mastronarde
JG,
Anthonisen
NR,
Castro
M.
Efficacy
of
esomeprazole for treatment of poorly controlled asthma. New Eng J
Med 2009;360:1487-1499
31.
Holbrook JT, Wise RA, Gold BD. Lansopazole for children with poorly
controlled
asthma:
A
randomized
controlled
trial.
JAMA
2012;307:373-381
32.
Fanta CH, Long AA. Difficult asthma: assessment and management,
part 2. Allergy Asthma Proc 2012;33:312-323
118
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
ASMA PADA USIA LANJUT
IGP SUKA ARYANA
Divisi Geriatri, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam,
FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar
Abstrak
Populasi usia lanjut akan semakin terus meningkat seiring dengan
peningkatan taraf hidup dan derajat kesehatanan masyarakat. Kejadian
penyakit akan semakin meningkat sehingga usia lanjut akan membutuhkan
banyak fasilitas kesehatan yang memadai. Walaupun asma adalah penyakit
yang sering diderita pada usia muda, tetapi bila mengenai usia lanjut akan
mengakibatkan mortalitas semakin meningkat. Gejala dan manifestasi
klinis yang akut akan sangat berpengaruh terhadap kuailitas hidup usia
lanjut. Asma pada usia lanjut sering under-diagnosed baik akibat comorbid
ataupun factor fisiologi akibat proses penuaan. Strategi pengobatan pada
usia lanjut dibuat sama dengan usia dewasa karena studi kohort pada usia
lanjut belum banyak dilakukan. Asma pada usia lanjut yang paling penting
untuk diperhatikan adalah efek samping pengobatan sehingga kepatuhan
pasien usia lanjut minum obat sangat rendah. Penurunan kemampuan
aktifitas
fisik
dan
mental
juga
mengakibatkan
kesulitan
untuk
melaksanakan terapi dengan efektif terutama kesulitan dalam penggunaan
alat inhaler. Asma pada usia lanjut merupakan tantangan di masa
Denpasar, 30 Januari 2016
119
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
mendatang terutama dalam hal mekanisme mendasar asma, penegakan
diagnosis dan strategi terapi terutama dalam hal penatalaksanaan mandiri
dan pengunaan alat inhaler.
Kata kunci:
Asma; proses penuaan; under-diagnosed; strategi terapi; alat inhaler
Pendahuluan
Populasi usia lanjut yan terus meningkat akan meningkatkan risikan
terjadinya penyakit pada usia lanjut. Asma memang merupakan penyakit
yang sering terjadi pada usia muda. Bila prevalensi asma tinggi petanda
bahwa banyak usia lanjut yang menderita asma dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi pula. Kematian akibat asma lebih banyak terjadi
pada usia lanjut. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, seperti: perubahan
paru akibat proses penuaan, perubahan persepsi sesak, proses penuaan
secara umum, kesulitan diagnosis asma pada usia lanjut, polifarmasi, dan
ko-morbid yang terjadi. Sehingga asma pada usia lanjut menjadi unik dan
spesifik baik dari diagnostic maupun penatalaksanaannya. Usia lanjut
dibatasi dengan umur lebih dari 60 tahun atau di Eropa menyebut lebih
dari 65 tahun. Pada usia ini kejadian asma sekitar 10%. Karakteristik asma
adalah ditandai dengan adanya sesak berupa whizzing dan batuk yang
keparuhannya tergantung dari beratnya obstruksi yang terjadi pada jalan
nafas. Definisi asma didasarkan pada adanya inflamasi di jalan nafas
120
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
sebagai kunci utama dan adanya remodeling di dinding jalan nafas berupa
penebalan membrane basal saluran nafas dan hipertrofi otot polos.
Pemeriksaan penting yang dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya
inflamasi di saluran nafas adalh dengan memeriksa sputum. Sebagian besar
asma ditandai dengan adanya eosinophil di sputum tetapi pada usia lanjut
lebih banyak terdapat sel netrofil. Berbeda jauh dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) yang bersifat ireversible serta dominam netrofil
pada sputum sedangkan pada asma bersifat reversible. Riwayat merokok
pada usia lanjut menimbulkan kesulitan menentukan mekanisme obstruksi
jalan nafas dan penatalaksanaan yang harus diberikan.
Asma pada usia lanjut dapat diklasifikasikan menjadi Late Onset dan Early
Onset. Late onset bila diagnosis awal terjadai pada usia yang telah lanjut
yaitu lebih dari 65 tahun sedangkan Early onset bila diagnosis asma telah
ada sejak awal atau usia muda sampai lanjut usia. Late onset asma sering
memiliki gejala lebih berat dan lama serta sering memerlukan obat
kortikosteroid oral dengan dosis yang lebih besar. Late onset asma
biasanya kurang bersifat atopi kadar serum Ig E dan eosinophil rendah.
Kadar eosinophil sputum juga rendah. Late onset asma sepertinya bukan
tipe atopi tetapi merupakan asma intrinsic dengan bukti adanya netrofil
sputum. Bila kadar Ig E tinggi maka disebut sebagai Late onset atopi asma.
Denpasar, 30 Januari 2016
121
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Proses penuaan paru
Proses penuaan berhubugan dengan terjadinya restriksi dinding dada
berupa kekakuan otot dinding dada dan penurunan elestisitas. Hal ini
diakibatkan oleh proses kalsifikasi pada sendi tulang costa, penurunan
elastisitas diafragma, dan penurunan elastisitas jaringan paru. Pada saat
ekspirasi karena terjadi penurunan kemapuan elastisitas recoil paru
sehingga terjadi kolaps pada saluran nafas yang kecil sehingga terjadi
trapping dan peningkatan residual volume.
Diagnosis
Diagnosis Late onset asma menjadi sulit dan sering terlambat, bias oleh
karena factor pasien maupun dari dokter. Asma pada usia lanjut lebih tidak
bergejala dibandingkan dengan usia muda. Bahkan bila pasien merasa
sesak sering dianggap sebagai hal yang normal karena proses penuaan.
Sosial ekonomi yang semakin rendah pada usia lanjut juga merupakan
salah satu factor yang menyebabkan pasien tidak dating berobat ke dokter.
Studi pada usia lanjut didapatkan 50% terjadi under-diagnosis asma. Pada
populasi masyarakat didapatkan 3,9%
pasien didiagnosis oleh dokter
umum, tetapi ada 4,1% pasien lagi yang belum terdiagnosis asma. Dow and
Co-workers pada survey potong lintang usia lanjut umur lebih dari 65 tahun
di Bristol dari 6000 sampel didapatkan 1,7% tidak mendapatkan terapi
asma. Didapatkan 84% sampel menderita asma sedang dan berat
berdasarkan hasil pemeriksaan spirometri. Asma pada usia lanjut menjadi
122
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
penyebab yang bermakna terhadap penngkatan angka kematian pada usia
lanjut. Kematian pada asma usia lanjut sangat tinggi kejadiannya. Di
Australia antara tahun 2003-2007, 69% kematian pada asma terjadi pada
usia 65 tahun keatas. Kematian pada asma usia lanjut lebih banyak
dibandingkan usia muda karena pada usia lanjut dapat disebabkan akibat
obstruksi dan lebih banyak infeksi dibandingkan usia muda dan anak.
Terapi
Terapi farmakologi asma pada usia lanjut membutuhkan pengalaman dan
kewaspadaan yang tinggi mengingat bahaya efek samping obat dan
interaksi antar obat. Hal ini yang disebut sebagai polifarmasi yang sangat
sering terjadi pada usia lanjut. Terapi dengan Beta agonis dapat
menyebabkan tremor, penurunan kalium dan takikardia. Tremor sangat
umum terjadi pada usia lanjut dengan asma akibat dari stimulasi reseptor
beta2 di otot skletaal. Untuk mengurangi efek sistemik akibat absorpsi di
oroparingeal dianjurkan menggunakan spacer device. Pada pasien asma
usia lanjut yang mengalami efek samping dapat menggunakan terapi beta 2
agonist jika diperlukan saja.
Teofilin dapat direkomendasikan pada asma yang tidak terkontrol denga
terapi kombinasi inhalasi sesuai dengan rekomendasi GINA step 3.
Penggunaan teofilin pada usia lanjut sangat hati-hati karena banyak kasus
efek samping yang muncul terutama bila kadar obat dalam darah melebihi
kadar yang dianjurkan. Efek toksik obat ini terutama bagi pasien dengan
Denpasar, 30 Januari 2016
123
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
riwayat penyakit jantung dan hati. Obat-obatan yang sering berinteraksi
adalah qiunolon dan allopurinol. Monitoring kadar obat sangat diperlukan
karena memiliki risiko efek samping yang serius berupa aritmia dan kejang.
Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah mual, insomnia, dan gastro
esophageal reflux disease.
Steroid inhalasi dosis moderat tidak berhubungan dengan efek samping
sistemik yang muncul pada pasien usia lanjut, tetapi efek samping local
yang dapat muncul adalah oral candidiasis dan suara serak. Efek ini
tergantung dari dosis dan dapat diatasi dengan menggunakan alat spacer.
Efek samping yang paling ditakuti pada penggunaan steroid adalah katarak
dan osteoporosis terutama pada penggunaan sistemik. Steroid sistemik
dapat menimbulkan kekambuhan dari diabetes, katarak, hipertensi,
osteoporosis dan fraktur tulang vertebra. Obat kortikosteroid sistemik
hanya diindikasikan untuk kasus berat dan asma yang tidak terkontrol
sesuai dengan rekomendasi dari GINA.
Beta 2 Agonis direkomendasikan menjadi terapi lini pertama sebagai
reliever pada asma. Beta 2 agonis lebih superior sebagai bronkodilator
dibandingkan dengan antikolinergik. Walaupun pada proses penuaan
penurunan jumlah dan ekspresi reseptor beta adrenergik sedangkan
jumlah reseptor kolinergik dikatakan tidak terpengaruh akibat proses
penuaan tersebut. Sehingga penurunan respon terhadap beta2 agonis jelas
terlihat sedangkan pada antikolinergik tidak kelihatan. Pada beberapa
pasien juga cederung bisa terjadi dimana respon terhadap antikolinergik
124
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
lebih baik dibandingkan dengan beta 2 agonis, tetapi perbedaan ini tidak
mengubah guideline yang telah ditetapkan.
Pada usia lanjut dengan asma alergi berat mungkin dapat diberikan obat
omalizumab merupakan rekomendasi step 4 dari GINA. Pada analisis
subgroup pada usia lanjut menunjukan obat ini efektif untuk usia lanjut.
Pada pasien usia lanjut sering dijumpai pemberian obat-obatan untuk
komorbiditas lain yang ada pada pasien tetapi dapat menjadi pencetus
asma. Obat tersebut antara lain: beta bloker dan NSAID. Beta bloker sering
digunakan untuk obat hipertensi dan penyakit jantung iskemik. Beberapa
kasus penggunaan timolol sebagai non selektif beta bloker untuk kasus
glaucoma memicu terjadinya bronkospasme berat dan fatal. NSAID adalah
obat yang sering digunakan untuk nyeri osteoarthritis (OA). Prevalensi OA
pada usia lanjut sangat tinggi sehingga penggunaan obatnya juga tinggi.
Obat ini juga dikatakan dapat memicu kejadian asma.
Daftar Rujukan
1. Gillman A and Douglass JA, Asthma in Elderly. Asia Pac Allergy
2012;2:101-108
2. Abramson MJ. Respiratory symptoms and lung function in older
people with asthma or chronic obstructive pulmonary disease. Med
J Aust 2005;183:S23-5
3. Quadrelli SA, Roncoroni AJ. Is asthma in the elderly really different?
Denpasar, 30 Januari 2016
125
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Respiration 1998;65:347-53.
4. Maykut RJ, Kianifard F, Geba GP. Response of older patients with
IgE-mediated asthma to omalizumab: a pooled analysis. J Asthma
2008;45:173-81.
5. Australian Centre for Asthma Monitoring (ACAM). Available from:
www.asthmamonitoring.org.
6. Slavin RG. The elderly asthmatic patient. Allergy Asthma Proc
2004;25:371-3.
7. Newnham DM, Hamilton SJ. Sensitivity of the cough reflex in young
and elderly subjects. Age Ageing 1997;26:185-8.
126
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
ASMA DALAM KEHAMILAN
I Made Bagiada
Divisi Paru Bagian Penyakit Dalam / SMF Penyakit Dalam
FK Unud /RSUP Sanglah Denpasar
Pendahuluan
Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia berdasarkan Survei Demografi
dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 sebesar 228 per 100.000
kelahiran hidup. Secara kuantitatif trend AKI di indonesia cenderung
menurun sejak tahun 1994. Namun angka ini masih tertinggi di Asia.
Distribusi persentase penyumbang AKI secara berturut-turut yaitu:
perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%), abortus (5%), persalinan
tidak maju (5%), emboli osbtruktif (3%), dan lain-lain (1). Asma dalam
kehamilan sendiri merupakan salah satu penyumbang morbiditas serta
mortalitas ibu hamil bila tidak ditangani dengan baik.
Pada kehamilan, tingkat keparahan asma dapat mengalami perubahan,
baik menjadi semakin ringan, berat, atau tidak berubah sama sekali.
Walaupun terdapat kekhawatiran akan penggunaan obat-obatan selama
kehamilan, asma yang tidak terkontrol bisa mengakibatkan efek yang tidak
diinginkan pada janin, yaitu peningkatan mortalitas perinatal, angka
kejadian prematuritas (pertumbuhan janin lambat, bayi kecil saat lahir,
janin lahir sebelum umur kehamilan 37 minggu), dan angka kejadian berat
badan bayi lahir rendah. Sedangkan pada ibu janin dapat terjadi hipertensi
Denpasar, 30 Januari 2016
127
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang dapat berlanjut terjadi preeclampsia. Itulah sebabnya penanganan
asma yang baik selama kehamilan melalui pemantauan ketat dan
pengobatan asma berdasarkan prinsip reliever dan controller diharapkan
bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas ibu hamil dengan asma, yang
pada akhirnya dapat menghasilkan outcome maternal dan fetal yang
maksimal (2,3).
Semua wanita hamil maupun wanita yang berencana hamil sebaiknya
ditanyakan apakah menderita asma. Mereka yang menderita asma harus
diajarkan pentingya pengelolaan asma demi kepentingan kesehatan ibu
dan janin (4).
Perubahan Sistem Pernapasan Selama Kehamilan (5)
Selama kehamilan terjadi perubahan fisiologi sistem pernafasan yang
disebabkan oleh perubahan hormonal dan faktor mekanik. Perubahanperubahan ini diperlukan untuk mencukupi peningkatan kebutuhan
metabolik dan sirkulasi bagi pertumbuhan janin, plasenta dan uterus.
Selama kehamilan kapasitas vital pernapasan tetap sama dengan
kapasitas sebelum hamil yaitu 3200 cc, akan tetapi terjadi peningkatan
volume tidal dari 450 cc menjadi 600 cc, yang menyebabkan terjadinya
peningkatan ventilasi permenit selama kehamilan antara 19-50 %.
Peningkatan volume tidal ini diduga disebabkan oleh efek progesteron
terhadap resistensi saluran nafas dan dengan meningkatkan sensitifitas
pusat pernapasan terhadap karbondioksida.
128
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Dari faktor mekanis, terjadinya peningkatan diafragma terutama
setelah
pertengahan kedua kehamilan akibat membesarnya janin, menyebabkan
turunnya kapasitas residu fungsional, yang merupakan volume udara yang
tidak digunakan dalam paru, sebesar 20%. Selama kehamilan normal
terjadi penurunan resistensi saluran napas sebesar 50%.
Perubahan-perubahan ini menyebabkan terjadinya perubahan pada
kimia dan gas darah. Karena meningkatnya ventilasi maka terjadi
penurunan pCO2 menjadi 30 mm Hg, sedangkan pO2 tetap berkisar dari
90-106 mmHg, sebagai penurunan pCO2 akan terjadi mekanisme sekunder
ginjal untuk mengurangi plasma bikarbonat menjadi 18-22 mEq/L, sehingga
pH darah tidak mengalami perubahan.
Secara anatomi terjadi peningkatan sudut subkostal dari 68,5 – 103,5
selama kehamilan. Perubahan fisik ini disebabkan karena elevasi diafragma
sekitar 4 cm dan peningkatan diameter tranversal dada maksimal sebesar 2
cm. Adanya perubahan-perubahan ini menyebabkan perubahan pola
pernapasan dari pernapasan abdominal menjadi torakal yang juga
memberikan pengaruh untuk memenuhi peningkatan konsumsi oksigen
maternal selama kehamilan.
Laju basal metabolisme meningkat selama kehamilan seperti terbukti
oleh peningkatan konsumsi oksigen. Selama melahirkan, konsumsi O2
dapat meningkat 20-25 %. Bila fungsi paru terganggu karena penyakit paru,
kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen terbatas dan mungkin
Denpasar, 30 Januari 2016
129
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
tidak cukup untuk mendukung partus normal, sebagai konsekuensi dapat
terjadi distres janin.
Pengaruh Perubahan Hormonal Selama Kehamilan (5)
Keadaan hormonal selama kehamilan sangat berbeda dengan keadaan
tidak hamil dan mengalami perubahan selama perjalanan kehamilan.
Perubahan-perubahan ini akan memberikan pengaruh terhadap fungsi
paru. Progesteron tampaknya memberikan pengaruh awal dengan
meningkatkan sensitifitas terhadap CO2, yang menyebabkan terjadinya
hiperventilasi ringan, yang bisa disebut sebagai dispnea selama kehamilan.
Lebih lanjut dapat dilihat adanya efek relaksasi otot polos.
Selama kehamilan kadar estrogen meningkat, dan terdapat data-data
yang menunjukkan bahwa peningkatan ini menyebabkan menurunnya
kapasitas difusi pada jalinan kapiler karena meningkatnya jumlah sekresi
asam mukopolisakarida perikapiler. Estrogen memberikan pengaruh
terhadap asma selama kehamilan.dengan menurunkan klirens metabolik
glukokortikoid sehingga terjadi peningkatan kadar kortisol. Estrogen juga
mempotensiasi relaksasi bronkial yang diinduksi oleh isoproterenol.
Kadar kortisol bebas plasma meningkat selama kehamilan, demikian
pula kadar total kortisol plasma. Peningkatan kadar kortisol ini seharusnya
memberikan perbaikan terhadap keadaan penderita asma, akan tetapi
dalam kenyataannya tidak demikian. Tampaknya beberapa wanita hamil
refrakter terhadap kortisol meskipun terjadi peningkatan kadar dalam
serum 2-3 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan terjadinya kompetisi pada
130
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
reseptor
glukoortikoid
oleh
progesteron,
deoksikortikosteron
dan
aldosteron yang semuanya meningkat selama kehamilan.
Semua tipe prostaglandin meningkat dalam serum maternal selama
kehamilan, terutama menjelang persalinan aterm. Meskipun dijumpai
adanya peningkatan kadar matabolit prostalandin PGF 2x yang merupakan
suatu bronkokonstriktor kuat, dalam serum sebesar 10%-30%, hal ini tidak
selalu memberikan pengaruh buruk pada penderita asma selama
persalinan.
Pada jaringan janin ditemukan histamin dalam konsentrasi tinggi.
Sebagai respon terhadap stimulus ini maka plasenta menghasilkan
histaminase (diaminoksidase) dalam jumlah besar mencapai 1000 kali lipat
dibandingkan wanita yang tidak hamil. Penelitian dewasa ini belum
membuktikan perubahan biokkimiawi ini dengan pengaruh klinik yang
ditimbulkannya.
Gejala dan Derajat Asma
Asma bermanifestasi sebagai spektrum gejala klinis yang luas, dari
mengi yang ringan hingga bronkokonstriksi yang berat. Efek fungsional dari
bronkospasme akut adalah obstruksi saluran pernapasan dan penurunnya
laju udara di paru. Upaya bernafas meningkat secara progresif dan
menimbulkan gejala subjektif berupa sesak napas dan gejala objektif
berupa mengi. Hal ini diikuti dengan perubahan oksigenasi yang
mengakibatkan
ventilation-perfusion
mismatch
karena
distribusi
penyempitan saluran pernapasan yang tidak seimbang (6).
Denpasar, 30 Januari 2016
131
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Modifikasi derajat asma berdasarkan National Asthma Education
Program (NAEPP) yaitu :
1. Asma Ringan
-
Singkat (< 1 jam ) eksaserbasi symptomatic < dua kali/minggu.
-
Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.
2. Asma Sedang
-
Gejala asma kambuh >2 kali / mingggu
-
Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya
-
Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari
-
Kemampuan puncak ekspirasi /detik dan kemampuan volume
ekspirasi berkisar antara 60-80%.
3. Asma Berat
-
Gejala terus menerus menganggu aktivitas sehari-hari
-
Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang
dari 60% dengan variasi luas
-
Diperlukan kortikosteroid oral untuk menghilangkan gejala.
Penilaian kontrol asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma)
2015 dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kemampuan
pengendalian gejala asma dalam 4 minggu terakhir, yaitu asma terkontrol
baik, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol.
132
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tabel 1. Derajat Pengendalian Asma (2)
Dalam 4 minggu terakhir
Terkontrol
Terkontrol
Tidak
apakah terdapat gejala :
baik
sebagian
terkontrol
1-2 gejala
3-4 gejala
Gejala siang hari
>2x/minggu
Terbangun tengah malam
karena asma
Memerlukan reliever
Tidak satupun
gejala
>2x/minggu
Adanya keterbatasan
aktifitas oleh karena asma
Pengaruh Kehamilan Terhadap Asma
Perubahan hormonal yang terjadi selama kehamilan mempengaruhi
hidung, sinus dan paru. Peningkatan hormon estrogen menyebabkan
kongesti kapiler hidung, terutama selama trimester ketiga, sedangkan
peningkatan kadar hormon progesteron menyebabkan peningkatan laju
pernapasan (5).
Beecroft dkk (1998) mengatakan bahwa jenis kelamin janin dapat
mempengaruhi
Denpasar, 30 Januari 2016
133
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
serangan asma pada kehamilan. Pada studi prospektif, ditemukan 50% ibu
bayi perempuan mengalami peningkatan gejala asma selama kehamilan
dibandingkan dengan 22,2% ibu bayi laki-laki. Ibu dengan bayi laki-laki
menunjukkan perbaikan gejala asma (44,4%), sementara tidak satu pun ibu
dari bayi perempuan mengalami perbaikan. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa gejolak adrenergik yang dialami ibu selama mengandung janin lakilaki dapat meringankan gejala asma (7).
Ada hubungan antara keadaan asma sebelum hamil dan morbiditasnya
pada kehamilan. Pada asma ringan 13 % mengalami serangan pada
kehamilan, pada asma moderat 26 %, dan asma berat 50 %. Sebanyak 20 %
dari ibu dengan asma ringan dan moderat mengalami serangan
intrapartum, serta peningkatan risiko serangan 18 kali lipat setelah
persalinan dengan seksio sesarea jika dibandingkan dengan persalinan per
vaginam.
Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma pada setiap
penderita tidaklah sama, bahkan pada seorang penderita asma
serangannya tidak sama pada kehamilan pertama dan kehamilan
berikutnya. Biasanya serangan akan timbul mulai usai kehamilan 24 minggu
sampai 36 minggu,dan akan berkurang pada akhir kehamilan.
Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat bergantung dari frekuensi
dan beratnya serangan asma, karena ibu dan janin akan mengalami
hipoksia. Keadaan hipoksia jika tidak segera diatasi tentu akan memberikan
pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur, dan
berat janin yang tidak sesuai dengan umur kehamilan.
134
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Efek kehamilan pada asma tidak dapat diprediksi. Turner dkk (1980)
dalam suatu penelitian yang melibatkan 1054 wanita hamil yang menderita
asma menemukan bahwa 29% kasus membaik dengan terjadinya
kehamilan, 49% kasus tetap seperti sebelum terjadinya kehamilan, dan
22% kasus memburuk dengan bertambahnya umur kehamilan. Sekitar 60%
wanita hamil yang mendapat serangan asma dapat menyelesaikan
kehamilannya dengan baik. Sekitar 10% akan mengalami eksaserbasi pada
persalinan (8).
Pengaruh Asma Terhadap Kehamilan
Asma pada kehamilan umumnya tidak mempengaruhi janin, namun
serangan asma berat dan asma yang tak terkontrol dapat menyebabkan
hipoksemia ibu sehingga berefek pada janin. Hipoksia janin terjadi sebelum
hipoksia ibu terjadi. Asma pada kehamilan berdampak penting bagi ibu dan
janin selama kehamilan dan persalinan. Dampak yang terjadi dapat berupa
kelahiran prematur, usia kehamilan muda, hipertensi pada kehamilan,
abrupsio plasenta, korioamnionitis, dan seksio sesaria (5).
Diagnosa Asma dalam Kehamilan
Diagnosis asma pada kehamilan tidak ada bedanya dengan asma tidak
hamil. Gejala dan tanda asma pada kehamilan adalah sesak napas,mengi,
batuk, dada terasa berat. Gejala tersebut memberat pada malam hari atau
menjelang pagi hari. Gejala yang muncul bervariasi dari waktu kewaktu.
Gejala asma dicetuskan oleh infeksi virus, latihan (exercise), pajanan
Denpasar, 30 Januari 2016
135
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
allergen, perubahan cuaca, atau iritan missal menghirup asap, asap rokok
atau bau yang menyengat (4).
Uji spirometri dilakukan pada diagnosis pertama kali, dan dilanjutkan
dengan pemantauan rutin pada kunjungan pasien selanjutnya, tetapi
pengukuran APE dengan peak flow meter biasanya sudah cukup. Pasien
dengan VEP1 60-80% prediksi meningkatkan risiko terjadinya asma pada
kehamilan, dan pasien dengan VEP1 kurang dari 60% prediksi memiliki
risiko yang lebih tinggi (2).
Tatalaksana Asma pada Kehamilan
Penatalaksanaan asma selama kehamilan membutuhkan pendekatan
kooperatif antara dokter kandungan, bidan, dokter paru serta perawat
yang khusus menangani asma dan ibu hamil itu sendiri. Tujuan serta terapi
pada prinsipnya sama dengan pada penderita asma yang tidak hamil.
Terapi medikasi asma selama kehamilan hampir sama dengan terapi
penderita asma tidak hamil, dengan pelega kerja singkat serta terapi harian
jangka panjang untuk mengatasi inflamasi (9). Pentingnya pengobatan
asma adalah mencegah kematian, kegagalan pernapasan, status asmatikus,
dan perawatan di ruang emergensi.
Penatalaksaan asma kronis pada kehamilan harus mencakup hal-hal
berikut.
1. Penilaian objektif fungsi paru dan kesejahteraan janin
136
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pasien harus mengukur PEFR 2 kali sehari dengan target 380 – 550
liter/menit. Tiap pasien memiliki nilai baseline masing-masing sehingga
terapi dapat disesuaikan.
2. Menghindari faktor pencetus asma
Mengenali
serta
menghindari
faktor
pencetus
asma
dapat
meningkatkan kesejahteraan ibu dengan kebutuhan medikasi yang
minimal (2). Asma dapat dicetuskan oleh berbagai faktor termasuk
alergi, infeksi saluran napas atas, sinusitis, exercise, aspirin, obatobatan anti inflamasi non steroid (NSAID), dan iritan, misalnya: asap
rokok, asap kimiawi, kelembaban, emosi. Di samping itu, pencetus
terkemuka serangan asma termasuk serbuk/tepung, tungau, jamur,
amukan hewan, makanan, dan hormone. Pada umumnya kucing
merupakan hewan kesayangan yang menyebabkan asma. Semua
hewan pengerat, kelinci, dan hewan peliharaan dapat menyebabkan
asma, termasuk kecoak.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) dikenal sebagai pencetus asma
dan terjadi pada hampir 1/3 wanita hamil. Asma yang dicetuskan oleh
GERD dapat disebabkan oleh aspirasi isi lambung ke dalam paru
sehingga menyebabkan bronkospasme, maupun aktifasi arkus refleks
vagal dari esofagus ke paru sehingga menyebabkan bronkokonstriksi.
Wanita hamil perokok harus berhenti merokok, dan menghindari
paparan asap tembakau serta iritan lain di sekitarnya. Wanita hamil
yang merokok berhubungan dengan peningkatan risiko wheezing dan
kejadian asma pada anaknya (2,9).
Denpasar, 30 Januari 2016
137
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
3. Edukasi
Mengontrol asma selama kehamilan penting bagi kesejahteraan janin.
Ibu hamil harus mampu mengenali dan mengobati tanda-tanda asma
yang memburuk agar mencegah hipoksia ibu dan janin. Ibu hamil harus
mengerti cara mengurangi paparan agar dapat mengendalikan faktorfaktor pencetus asma (4,5).
4. Terapi farmakologi selama kehamilan
Kelompok kerja NAEPP (2005) merekomendasikan prinsip serta
pendekatan terapi farmakologi dalam penatalaksanaan asma pada
kehamilan dan laktasi. Prednison, teofilin, antihistamin, kortikosteroid
inhalasi, β2 agonis dan kromolin bukan merupakan kontra indikasi pada
penderita asma yang menyusui. Rekomendasi penatalaksanaan asma
selama laktasi sama dengan penatalaksanaan asma selama kehamilan
(2). Terapi asma modern dengan teofilin, kortikosreoid dan beta agonis
menurunkan risiko komplikasi kehamilan menjadi rendah baik pada ibu
maupun janin. Farmakoterapi tdak boleh bersifat teratogenik pada
janin atau berbahaya pada ibu. Penggunaan beta agonis, seperti
metaproterenol, dan albuterol, dapat digunakan dalam pengobatan
darurat pada asma berat dalam kehamilan, tetapi penggunaan jangka
panjang seharusnya dihindari pada kehamilan muda, terutama sekali
sejak efek pada janin tidak diketahui.
138
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Penanganan Asma Akut di Unit Gawat Darurat
Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama
dengan asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih
rendah. Secara umum, dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi
intravena, pemasangan sungkup oksigen dengan target PO2 > 60 mmHg
dan pemasangan pulse oximetry
dengan target saturasi O2 > 95%.
Kemudian dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGD), pengukuran
FEV1 serta PEFR, dan dilakukan pemantauan janin (10).
Obat lini pertama adalah agonis β-adrenegik (subkutan, peroral,
inhalasi) dengan loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan
maintenance dose 0,8-1 mg/kgBB/jam sampai tercapai kadar terapeutik
dengan kadar plasma sebesar 10-20 ng/ml. Obat ini akan berikatan dengan
reseptor spesifik di permukaan sel dan mengaktifkan adenilil siklase untuk
meningkatkan cAMP intrasel dan merelaksasi otot polos bronkus. Selain
itu, diberikan kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg intravena setiap 6
jam. Terapi selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon hasil
terapi sebelumnya. Bila FEV1 dan PEFR > 70% baseline maka pasien dapat
dipulangkan dan berobat jalan. Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline
setelah 3 kali pemberian agonis β-adrenegik, maka diperlukan masa
observasi di rumah sakit hingga keadaan pasien stabil (10).
Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30-60 menit
dimasukkan dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive
care unit (ICU) dan intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada
Denpasar, 30 Januari 2016
139
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
keadaan kelelahan otot, retensi CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki
morbiditas (10).
Ringkasan
Asma pada kehamilan dapat merupakan morbiditas atau mortalitas
pada ibu hamil dengan asma. Asma dapat mempengaruhi kehamilan atau
kehamilan dapat mempengaruhi asma. Gejala dan tanda asma pada
kehamilan bervariasi, tetapi umumnya sama seperti asma tanpa kehamilan.
Derajat beratnya asma bisa ringan, sedang atau berat. Diagnosis asma pada
kehamilan sama seperti asma tanpa kehamilan. Terapi farmakologi asma
pada kehamilan adalah bronkodilator agonis beta2 kerja singkat inhalasi,
kortikosteroid dan boleh juga ditambahkan dengan teofilin
Daftar Pustaka
1. Kementrian Pemberdayaan Perempuan. 2014. Angka Kematian Ibu.
Available from : http://www.menegpp.go.id/v2/index.php/datadanin
formasi /kesehatan?download=23:angka-kematian-ibu-melahirkan-aki.
[Accessed 2016, January 9].
2. National Asthma Education and Prevention Program. Working Group
Report on managing asthma during pregnancy: Recommendations for
pharmacologic treatment. Update 2004. National Institutes of Health,
National Heart, Lung, and Blood Institute. (2005). NIH Publication No.
05-5236.
140
Available
from:
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/lung/asthma/astpreg/astpreg_f
ull.pdf [Accessed 2016, January 19].
3. American College of Obstetricians and Gynecologists (2008, reaffirmed
2009). Asthma in pregnancy. ACOG Practice Bulletin No. 90. Obstetrics
and Gynecology, 111(2): 457-464.
4. Pocket Guide
Initiative
for
for Asthma Management and Prevention. Global
Asthma
(GINA)
2015.
Available
from:
http://www.ginasthma.org/. [Accessed 2016, January 11].
5. Murphy V.E., Gibson P.G., Smith R. and Clifton V.L.(2005). Asthma
during pregnancy: mechanisms and treatment implications
6. Cunningham FG et al. Asma Dalam Kehamilan. Obstetri Wiilliams
Volume II. Edisi XXI. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
7. Beecroft N, Cochrane GM, Milburn, HJ. (1998) Effect of sex of fetus on
asthma during pregnancy:blind prospective study. BMJ; 317:856-857.
8. Turner E.S., Greenberger P.A., and Patterson R. (1980). Management of
the Pregnant Asthmatic Patient, Ann Intern Med. 1980;93(6):905-918
9. Nelson-Piercy C. (2001). Asthma in pregnancy.Thorax;56:325-328
10. Moechtar R. Asma Dalam Kehamilan. Dalam: Sinopsis Obstetri. Jilid II.
Edisi II. 1998. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran ECG.
Denpasar, 30 Januari 2016
141
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Asma Kerja
Ida Bagus Ngurah Rai
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia.
Sekitar 300 juta penduduk dunia diperkirakan menderita asma, dengan
250.000 kematian setiap tahun akibat asma. Prevalensi asma terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Asma diderita oleh 1 dari 14
orang di Amerika pada tahun 2001, sementara yahun 2009 rasionya
menjadi 1 pasien dari 12 orang.1 Pada tahun 2025 diperkirakan terjadi
peningkatan jumlah pasien asma 100 juta orang di seluruh dunia, dari
sebelumnya 300 juta orang pada tahun 2010.2
Sebagian besar asma, terutama pada anak-anak berhubungan
dengan alergi. Sedangkan asma pada orang dewasa memiliki karakteristik
faktor risiko dan penyebab lebih beragam. Beberapa faktor yang
berhubungan dengan asma, terutama pada orang dewasa antara lain
obesitas, polusi lingkungan, perubahan genetik pada reseptor vitamin D,
psikologis, hormonal, asap rokok, serta salah satu yang terpenting adalah
pajanan pekerjaan. Asma kerja diperkirakan 15%-25% dari seluruh kasus
asma dewasa di seluruh dunia.1,3 Asma kerja diperkirakan oleh CDC
sebanyak 1,9 juta kasus, atau lebih dari 15% dari kasus asma di Amerika.
142
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Kasus asma kerja didapatkan paling banyak pada kelompok umur 45-64
tahun (20,7%).4
Asma kerja makin menjadi masalah dalam penatalaksanaan asma.
Prevalensi asma kerja cenderung meningkat akibat makin banyak
ditemukan bahan-bahan pajanan yang didapatkan dari pekerjaan sebagai
penyebab asma. Selain itu, tuntutan industrialisasi dan konsumerisme
mengakibatkan lingkungan kerja makin tidak sehat. Selain itu, pemahaman
klinisi tentang penatalaksanaan asma kerja juga masih terbatas, sehingga
kasus ini cenderung menjadi sulit untuk dikontrol.
Pengaruh dan dampak psiko-sosioekonomik dari asma kerja juga
menjadi isu tersendiri menyangkut kondisi ini. Pasien asma kerja sering
masih
mengalami
kualitas
hidup
yang
buruk,
walaupun
telah
dipindahtugaskan dari tempat yang diperkirakan menyebabkan asmanya.
Hal ini ditambah masalah psikologis yang dialami pasien, seperti depresi
dan ansietas. Dampak ekonomi asma kerja juga tidak ringan. Dampak
ekonomi ini dapat bersifat langsung pada biaya pelayanan kesehatanserta
tidak
langsung
akibat
ketidakmampuan
pekerja
mempertahankan
produktivitasnya pada perusahaan.
Berbagai organisasi kesehatan di dunia mulai banyak memberi
perhatian pada asma kerja. Banyak konsensus yang diterbitkan untuk
memberi pemahaman dalam mengidentifikasi asma kerja dan memberikan
penanganan yang komprehensif, termasuk menangani lingkungan kerja
pasien. Berikut ini kami sampaikan uraian singkat mengenai asma kerja,
kriteria diagnosis, serta tatalaksananya.
Denpasar, 30 Januari 2016
143
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Definisi dan Klasifikasi
Asma kerja (work-related asthma) secara umum merujuk pada dua
keadaan, yaitu occupational asthma dan asma yang diperberat oleh
pekerjaan (work-aggravated asthma). Occupational asthma adalah
penyakit yang ditandai oleh hambatan aliran udara variabel dan/atau
hiperresponsivitas yang berhubungan dengan inflamasi yang diakibatkan
oleh penyebab dan kondisi khusus pada pekerjaan. Atau dengan kata lain,
occupational asthma adalah asma yang disebabkan oleh pekerjaan.
Sementara asma yang diperberat oleh pekerjaan (work-aggravated
asthma) ditandai terjadinya perburukan asma yang sebelumnya telah
diderita pasien sebelumnya akibat pajanan dan/atau lingkungan khusus
pada pekerjaan.3,6
Work-related asthma
Occupational asthma
IgEmediated
occupational
asthma
Occupational asthma due
to specific occupational
agents with unknown
patho-mechanisms
Work-aggravated
Gambar 1. Work
related asthma dan
sub-grupnya masingmasing
(exacerbated) asthma
Irritant
occupational
asthma
Occupational asthma dapat melibatkan immunoglobulin E (IgE
mediated) setelah periode laten tertentu; asma iritan dengan atau tanpa
periode laten akibat pajanan dosis besar; dan asma akibat bahan spesifik
144
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang pato-mekanismenya tidak diketahui, yang biasanya melalui periode
laten tertentu seperti terlihat pada gambar 1.6 Klasifikasi yang lebih
sederhana membagi occupational asthma menjadi allergic occupational
asthma yang diakibatkan sensitisasi bahan spesifik di tempat kerja pada
periode laten tertentu. Serta irritant induced occupational asthma yang
biasanya dapat terjadi walaupun hanya dengan 1 kali pajanan dosis tinggi
dari bahan kimia iritan.7
Beberapa pajanan pekerjaan yang potensial menyebabkan asma
kerja antara lain asap pengelasan konsentrasi tinggi, isocyanate, serta
pajanan berbagai bahan toksik (aluminium, cadmium, logam, ammonia,
asap rokok, debu kayu, kapas, serta endotoksin).6 Bahan pajanan
(sensitizer), terutama pada jenis asma kerja alergik, melakukan sensitisasi
pada jalan nafas dalam periode waktu tertentu. Dilihat dari berat
molekulnya, sensitizer ini dibagi menjadi high molecular weight (HMW)
yang biasanya berasal dari protein atau bahan biologis lain, serta low
molecular weight yang memiliki berat molekul kurang dari 1 kD. Berikut ini,
pada Tabel 1 terdapat beberapa contoh bahan pajanan dan aktivitas yang
menghasilkannya.8
Denpasar, 30 Januari 2016
145
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Tabel 1. Kelompok Bahan Pajanan dan Aktivitas yang Menghasilkannya8
Kelompok Bahan
Aktivitas Penghasil
Isocyanates
Vehicle
spray
painting,
foam
manufacture
Flour/grain/hay
Handling grain at docks, milling,
malting, baking
Electronic soldering flux
Soldering,
electronic
assembly,
computer manufacture
Latex rubber
Gloves in health care, laboratories
Laboratory animals
Laboratory animal work
Wood dusts
Saw
milling,
woodworking,
furniture manufacture
Glues/resins
Curing glues and epoxy resins in
joinery and construction
Gluteraldehyde
Health care
Hair dyes
Hairdressers
Penicillin’s/cephalosporin’s Pharmaceutical
Chromium compounds
Welding stainless steel
Platinum salts
Catalyst manufacture
Cobalt
Hard metal production, diamond
polishing
146
Nickel sulphate
Electroplating
Subtilisin/enzymes
Detergent manufacture
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Kriteria Diagnosis
Para klinisi yang mendapatkan kasus kecurigaan asma kerja harus
melakukan penelusuran dan identifikasi kasus ini dengan sangat berhatihati. Kesimpulan pemeriksaan yang didapatkan akan sangat mempengaruhi
nasib pekerja bersangkutan. Kaidah-kaidah diagnosis umum dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang ,utlak harus dilakukan. Selain itu,
pengetahuan tentang bahan pajanan umum penyebab asma kerja juga
sangat dibutuhkan oleh klinisi yang menangani kasus ini.8
Dalam mendiagnosis asma kerja secara umum, terdapat tiga
langkah diagnostik utama yang harus dilakukan.
Langkah pertama
menentukan
dilakukan
diagnosis
asma.
Langkah
kedua
untuk
mengidentifikasi tempat kerja sebagai penyebab keluhan pernafasan yang
dialami pasien. Langkah terakhir adalah mengidentifikasi bahan penyebab
asma kerja ini.
Pada langkah pertama dilakukan berbagai pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis asma sesuai kriteria diagnosis standar. Pada
anamnesis digali keluhan-keluhan respirasi spesifik asma yang bersifak
intermiten dan variabel. Pemeriksaan fungsi paru ditekankan untuk
menentukan reversibilitas hambatan aliran udara ekspirasi. Beberapa
pemeriksaan lain seperti FENO atau sputum eosinophilia juga dapat
dilakukan untuk memperkuat diagnosis asma.
Langkah kedua dimulai dengan menemukan hubungan gejala asma
dengan tempat kerja. Keluhan respirasi yang membaik setelah pasien
keluar dari tempat kerja atau saat hari libur merupakan ciri khas asma
Denpasar, 30 Januari 2016
147
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kerja. Secara obyektif dapat dilakukan pengukuran fungsi paru yang
dihubungkan dengan pajanan di tempat kerja. Tes fungsi paru biasanya
dilakukan serial untuk mendapatkan variasi fungsi paru saat bekerja
maupun saat tidak bekerja. Konsensus BTS mewajibkan pemeriksaan PEF
serial minimal selama 3 minggu, empat kali sehari. Atau cara lain yang
dianjurkan consensus ERS dilakukan dengan pemeriksaan PEF serial setiap
2 jam pada 8 hari kerja dan 3 hari libur.
Langkah ketiga dilakukan dalam rangka menemukan bahan
penyebab asma kerja. Pemeriksaan yang paling dianjurkan adalah dengan
tes specific inhalation challenge (SIC). Kelemahan tes SIC biasanya pada
hasil negatif palsu padabahan dengan berat molekul rendah. Tetapi
ditegaskan oleh konsensus ERS, bahwa hasil SIC negatif pada pasien
dengan bukti kuat asma kerja lainnya, tidak dapat mengeksklusi diagnosis
asma kerja. Pemeriksaan IgE spesifik dan tes alergi (tes kulit) memiliki
sensitifitas dalam mendeteksi reaksi hipersensitifitas tipe 1, dan dapat
menentukan agen penyebab asma kerja, terutama pada bahan dengan
berat molekul besar.8
Specific inhalation challenge merupakan gold standard dalam
diagnosis occupational asthma. Hasil tes ini berperan penting untuk
menentukan bahan penyebab asma kerja, terutama pada kasus pekerja
yang terpajan beberapa dugaan bahan penyebab dari pekerjaan.
Pemajanan bahan pada tes SIC ini dapat dilakukan dengan 2 cara
berdasarkan jenis bahan pajanan yang disuda. Bahan larut air yang secara
imunologis dimediasi oleh IgE, dapat dibuat solusio untuk kemudian
148
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
diberikan dengan nebulizer. Pemeriksaan dilanjutkan menggunakan prinsip
tes profokasi bronchus dengan methacholin standar. Sementara bila agen
digaan tidak larut, maka pemajanan dilakukan pada ruang khusus.3
Kombinasi
pemeriksaan
penunjang
dapat
meningkatkan
kekuatan
diagnosis, terutama pada kasus yang meragukan. Panduan ERS
menyebutkan, peningkatan eosinophil sputum >1% post SIC atau setelah
pajanan di tempat kerjamenguatkan diagnosis occupational asthma bila
FEV1 <20%.9
Manajemen Asma Kerja
Tatalaksana asma kerja sama dengan tatalaksana asma secara
umum. Secara farmakologis, terapi asma kerja memiliki prinsip
penganganan yang sama, yaitu mencapai status asma yang terkontrol.
Sebaliknya pada tatalaksana non farmakologis, pendekatan penanganan
bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan bahan pajanan pada
occupational asthma. Hal ini sedikit berbeda pada kasus work-aggravated
asthma, dimana penghindaran total dari bahan pajanan tidak mutlak
diperlukan, tetapi sebaliknya penanganan farmakologis yang tepat dan
optimal lebih diperlukan.3
Konsensus ERS serta RCP tahun 2012 merumuskan beberapa
rekomendasi berhubungan dengan manajemen untuk kasus asma kerja.
Pasien, dokter, dan pengusaha harus mendapatkan penjelasan bahwa
pajanan bahan yang terus menerus akan memperburuk gejala asma dan
obstruksi jalan nafas. Menghindari bahan pajanan secara total memberikan
Denpasar, 30 Januari 2016
149
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
kemungkinan perbaikan tertinggi, tetapi tidak dapat menghilangkan
asmanya. Pemakaian alat pelindung diri (terutama pelindung pernafasan)
bukan pendekatan pengamanan yang utama, terutama pada pajanan
jangka panjang dan kasus asma berat. Terapi anti-asma bukan merupakan
alternative pengganti dari intervensi lingkungan.Tatalaksana farmakologis
work-related asthma mengacu pada standar terapi asma umum dengan
acuan status control asma.6,10
Berbagai konsensus tentang asma kerja menitikberatkan masalah
screening dan surveilans medis pada pekerja secara rutin. Pada beberapa
jenis usaha yang memiliki risiko tinggi mengakibatkan asma kerja,
penerapan screening sebelum pekerja ditempatkan serta surveilans yang
teratur dikatakan dapat mengurangi kejadian asma kerja dan asma yang
diperburuk oleh kerja secara signifikan.6
Ringkasan
Asma kerja merupakan salah satu masalah utama dalam
tatalaksana asma secara umum. Asma kerja makin meningkat seiring
dengan perkembangan industry di seluruh dunia. Asma kerja dibagi
menjadi occupational asthma dan work-aggravated asthma. Prosedur
diagnostik yang efektif dan cermat diperlukan untuk memberikan
kesimpulan diagnosis asma kerja dan bahan penyebab yang akurat.
Tatalaksana
asma
kerja
dititikberatkan
pada
pengurangan
atau
menghilangkan pajanan agen penyebab. Peranan screening dan surveilans
150
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang baik pada tempat kerja penting untuk menghindarkan pekerja dari
ancaman asma kerja.
Daftar Pustaka
1. Centers for Disease Control and Prevention, Vital Signs, May 2011
2. World Health Organization. Global surveillance, prevention and
control of chronic respiratory diseases: a comprehensive approach,
2014.
3. Munoz X, Cruz MJ, Bustamante V, et al. Work-Related Asthma:
Diagnosis and Prognosis of Immunological Occupational Asthma
and Work-Exacerbated Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol
2014;24(6):396-405
4. Centers for Disease Control and Prevention. Workrelated Asthma in
22 States. Morbidity and Mortality Weekly Report 2015;64(13):343.
5. Tarlo SM, Malo J-L. An Official ATS Proceedings: Asthma in the
Workplace. Proc Am Thorac Soc 2009; 6: 339-349.
6. Baur X, Sigsgaard T, Asasen TB, et al. Guidelines for the
management of work-related asthma. Eur Respir J 2012; 39: 529–
545
7. Health and Safety Authority of Ireland. Guidelines on Occupational
Asthma.2008
8. Fishwick D, Barber CM, Bradshaw LM, et al. Standards of care for
occupational asthma: an update. Thorax 2012;67:278-280.
Denpasar, 30 Januari 2016
151
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
9. Aasen TB, Burge PS, Henneberger PK, et al. Diagnostic approach in
cases with suspected work-related asthma. Journal of Occupational
Medicine and Toxicology 2013;8:17-27.
10. Nicholson PJ, Cullinan P, Burge S. Concise guidance: diagnosis,
management and prevention of occupational asthma. Clinical
Medicine 2012;12(2):156-159.
152
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
EXERCISE-INDUCED ASTHMA (EIA)
Ida Bagus Suta
Divisi Paru, Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD / RSUP Sanglah
Denpasar
Pendahuluan
Asma adalah kelainan inflamasi kronik saluran nafas dimana
inflamasi kronik ini berkaitan dengan hiperresponsif saluran nafas.
Obstruksi saluran nafas bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan. Asma adalah penyakit multifaktorial dan heterogen.
Faktor risiko meliputi predisposisi genetik, atopi dan hiperresponsivitas.
Karakteristik asma adalah inflamasi pada bronkus, sejumlah besar sel
radang, antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag dan neutrofil
terlibat dalam proses inflamasi. Inflamasi dapat terjadi setelah pajanan
terhadap alergen dan obstruksi terjadi karena otot polos bronkus yang
mengalami konstriksi, edema, remodeling dan peningkatan produksi
mukus.1
Exercise-Induced Asthma (EIA) dikenal juga sebagai Exercise-Induced
Bronchotictionco (EIB) adalah suatu keadaan penyempitan saluran nafas
yang terjadi setelah aktifitas fisik. Prevalensi EIB tidak ketahui dengan pasti,
tetapi latihan fisik diketahui sebagai salah satu pencetus serangan asma.
EIB bisa juga terjadi pada individu yang tidak ada riwayat asma.1.2
Denpasar, 30 Januari 2016
153
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pengurangan aktivitas fisik adalah hal yang wajar pada individu
asma. Hal ini disebabkan oleh obstruksi saluran nafas dan meningkatnya
sensitivitas terhadap berbagai rangsangan (termasuk aktivitas fisik).
Aktivitas fisik berguna dan perlu untuk individu asma karena dapat
memperbaiki kapasitas fisik, mengurangi sesak nafas dan memperbaiki
kesulitasn bernafas terkait aktivitas fisik. Individu dengan derajat obstruksi
saluran nafas ringan sampai sedang dapat melakukan latihan fisik sama
seperti orang sehat. Latihan fisik sebaiknya meliputi latihan ketahanan dan
latihan fleksibilitas. Aktivitas yang baik dan dianjuran adalah berenang,
jalan, bersepeda, olahraga dengan bola, serta latihan aerobik.1.2
Patogenis
Kebanyakan individu dengan asma merasakan kesulitan bernafas
selama latihan fisik yang diebabkan menyempitnya saluran nafas. Hal ini
disebut obstruksi yang disebabkan oleh latihan fisik (exercise-induced
airway obstruction). Obstruksi saluran nafas yang disebabkan oleh latihan
fisik diartikan sebagai keadaan dimana Arus PuncakEekspirasi (APE) lebih
besar atau sama dengan 15% atau Volume Ekspirasi Paksa (VEP) lebih besar
atau sama dengan 10% bergantung pada latihan fisik. Obstruksi muncul
saat latihan fisik atau umumnya 5-15 menit kemudian dan
bertahan
selama 30-60 menit. Terkadang gejala menghilang dengan sendirinya.
Derajat obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik bervariasi tergantung
pada intensitas latihan, tipe aktivitas, dan lingkungan sekitar dimana
latihan fisik dilakukan. Sebagai contoh, berlari menimbulkan lebih banyak
154
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
gejala dibandingkan jogging ataupun berjalan. Didapatkan gejala lebih
sering muncul apabila latihan fisik dilakukan pada lingkungan yang dingin,
udara kering dibandingkan pada lingkungan yang hangat dengan udara
yang lembab. Polusi udara juga ternyata dapat meningkatkan derajat
obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik. Pada sekitar 20-50% individu
dengan asma, obstruksi saluran nafas terkait latihan fisik ini juga dapat
diamati beberapa jam setelah latihan fisik. Hal ini disebut sebagai reaksi
fase lambat.1,3
Ada dua teori berkaitan dengan asma terkait latihan fisik, teori
hiperosmolar
dan
teori
airway
rewarming.
Teori
hiperosmolar
berpendapat bahwa saat latihan fisik terjadi peningkatan ventilasi yang
mengakibatkan membran mukosa bronkus kering karena udara yang
melewati saluran nafas harus dilembabkan dan akibatnya saluran nafas
kehilangan kelembabannya. Hal ini menimbulkan rangsangan hiperosmolar
yang mengaktifkan sel sekitarnya seperti sel mast, sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Teori airway rewarming berpendapat bahwa saat latihan
fisik terjadi peningkatan ventilasi udara yang suhunya lebih dingin daripada
suhu tubuh yang menyebabkan vasokonstriksi dari membran mukosa
bronkus. Setelah latihan fisik terjadi vasodilatasi dan pembuluh darah yang
mengalami vasodilatasi terisi oleh darah, membengkak dan mengobstruksi
saluran nafas.2.3
Denpasar, 30 Januari 2016
155
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Diagnosis
Keluhan yang muncul pada asma terkait latihan fisik biasanya
adalah batuk, mengi, sesak nafas atau dada terasa berat selama atau
setelah latihan fisik. Dapat diasumsikan bahwa seorang individu akan
merasakan gejala abnormal ini dan akan mencari pertolongan medis,
namun banyak individu tidak mengenali gejala ini dan baru mencari
pertolongan medis saat didesak oleh orang lain. Terdapat gejala ringan lain
selain batuk, mengi dan sesak nafas yang dialami oleh individu dengan
asma terkait latihan fisik seperti tidak enak badan, nyeri kepala, nyeri
perut, kram otot, kelelahan atau pusing.2.4,
Tes provokasi bronkus penting pada beberapa keadaan seperti :
1. Untuk mengkonfirmasi diagnosis asma terkait latihan fisik saat
meragukan,
2. Untuk menapis atlet pada bidang olahraga yang didapatkan
insidensi tingkat asma terkait latihan fisik tinggi,
3. Untuk studi epidemiologi untuk mengetahui insidensi asma terkait
latihan fisik.
Tes provokasi yang sering digunakan terutama untuk penegakan
diagnosis pada atlet adalah tes inhalasi metakolin. Selain itu tes
eucapnic voluntary hyperventilation (EVH) dengan udara kering juga
digunakan pada atlet Olympic namun tes ini memerlukan peralatan
156
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
yang mahal dan relatif kompleks. Tes lain seperti tes inhalasi mannitol
dapat digunakan sebagai gantinya.3
Pengobatan
Saat diagnosis asma terkait latihan fisik Exercise-Induced Asthma (EIA)
ditegakkan atau disimpulkan, pengobatan asma direkomendasikan untuk
diberikan. Contohnya pada atlet olahraga, pengobatan EIA meliputi
pertimbangan jenis latihan yang menyebabkan asma. Namun pada
beberapa jenis atlet, hal ini tidak memungkinkan karena mereka berlomba
pada bidang tersebut. Untuk atlet beberapa olahraga rekreasional maka
mereka dapat mengatur jenis latihan dan dapat menghindari kondisikondisi tertentu yang dapat memperberat keadaan seperti cuaca, banyak,
polusi. Sebagai tambahan, latihan pemanasan tertentu dapat mengurangi
derajat keparahan asma terkait latihan fisik. Contohnya seorang atlet harus
melakukan pemanasan hingga 80-90% kapasitas maksimum mereka
sebelum memulai latihan formal. Hal ini dapat mengurangi derajat
keparahan asma namun tidak sepenuhnya mencegah terjadinya asma
terkait latihan fisik.
Farmakoterapi diberikan untuk mencegah terjadinya Exercise-Induced
Asthma terutam sebelumlatihan fisik. Terapi paling efektif adalah shortacting beta agonist dalam 15 menit sebelum memulai latihan fisik. Inhalasi
kromolin dapat ditambahkan bila SABA saja tidak memberikan hasil yang
memuaskan. Pada individu dengan asma kronis persisten (FEV 1 kurang
Denpasar, 30 Januari 2016
157
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dari 80% prediksi dan gejala muncul lebih dari 2x/minggu), obat-obatan
kontroler harian harus dimulai dan obat pencegahan sebelum latihan fisik
juga harus diberikan.3,4.5
Ringkasan
Exercise-Induced Asthma (EIA) adalah suatu keadaan t erjadinya
pnyempitan saluran pernapasan saat latihan fisik. Bisa terjadi pada
penderitan asma dengan pencetus latihan fisik, tetapi juga bisa terjadi pada
penderita bukan penderita asma. EIA mudah ditegakkan tetapi sering tidak
terdiagnosis dengan baik. Pasien EIA harus dianjurkan untuk melakukan
pemanasan sebelum latihan
fisik. Pengobatan farmakologi SABA
hendaknya diberikan terutama sekali sebelum latihan fisik. Pengobatan
secara konfrehensif hendaknya didiskusikan dengn penderita agar
mendapatkanhasil yang memuaskan.
158
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Daftar Pustaka
1. GINA. Global strategy for asthma management and prevention,
Global
Initiative
for
Asthma
(GINA);
2015.
Availeble
at:
http://www.ginasthma.org/local/uploads/files/GINA_Report_2015_
Aug11.pdf
2. Jonathan P, Parsons, Teal S ,
Hallstrad, John G, Mastronarde, David
A Kaminsky. An Official American Thoracic Society Clinical Practice
Guideline: Exercise-induced Bronchoconstriction. Am J Respir Crit
Care Med Vol 187, Iss. 9, pp 1016–1027, May 1, 2013
3. Hayden, Mary Lou, MS, Stuart W. Stoloff, MD Gene L. Colice, MD,
Nancy K. Ostrom, MD, Nemr S. Eid, MD , Jonathan P. Parsons, MD.
Exercise-induced bronchospasm: A case study in a nonasthmatic
patient. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners 24
(2012) 19–23
4. T.H. Lee*, S.P. O'Hickey, Exercise-induced asthma and late phase
reactions, EUR Respir J 1989, 2, 195-197
5. Emtner, Margareta. Asthma. professional associations for physical
activity, sweden. http://www.fyss.se/wp-content/uploads/2011/02/
fyss_2010_english.pdf
Denpasar, 30 Januari 2016
159
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS)
IB Ngurah Rai
Divisi Paru Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK UNUD / RSUP Sanglah
Pendahuluan
Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah
satu masalah kesehatan utama di dunia saat ini. Kedua penyakit obstruktif
di atas memiliki prevalensi yang tinggi dan kecenderungan untuk terus
meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Selain itu, mortalitas dan
morbiditas, serta beban sosio-ekonomik kedua kelainan tersebut juga
tinggi.1
Keluhan dan gejala asma biasanya muncul sejak usia muda,
sementara PPOK mulai terlihat setelah usia empatpuluh-an. Dalam praktek
klinis sehari-hari, kriteria penatalaksanaan asma dan PPOK telah dikenal
luas dan memiliki panduan internasional yang baku.2 Pada litearaturliteratur terdahulu, asma merupakan diagnosis banding dari PPOK,
demikian pula sebaliknya. Tetapi pada kenyataannya, banyak pasien PPOK
yang mengalami gejala asma atau sebaliknya pada pasien asma usia tua
yang sering tidak menunjukkan hasil pengobatan yang optimal. Keberadaan
kedua jenis kelainan ini (asma dan PPOK) pada satu pasien inilah yang
mencetuskan banyak review dan penelusuran lebih mendalam dari para
ahli di seluruh dunia dalam lima tahun terakhir.
160
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan terminologi
yang dipilih untuk mengelompokkan pasien-pasien seperti tersebut di atas.
Menemukan angka kejadian ACOS dari kepustakaan menjadi hal yang agak
kompleks. Penelitian-penelitian di bidang asma dan PPOK biasanya
mengeksklusi salah satunya, karena masih menganggap asma merupakan
diagnosis banding PPOK. Guerra3 dalam penelitiannya mendapatkan 40%
kejadian koeksistensi asma dan PPOK pada satu pasien dengan
menggunakan kombinasi kriteria diagnostik keduanya. Sementara Soriano,
dkk.4 menunjukkan estimasi prevalensi ACOS yang meningkat sesuai umur
pasien. Prevalensi ACOS pada usia kurang dari 50 tahun adalah 10%, dan
meningkat menjadi >50% pada usia 80 tahun ke atas.
Satu hal yang telah disepakati oleh para ahli, apabila koeksistensi
asma dan PPOK terjadi pada seorang pasien, maka pasien tersebut
memiliki prognosis lebih buruk daripada hanya menderita salah satu
kelainan ini. Pasien akan mengalami perburukan penyakit yang lebih cepat,
kualitas hidup yang lebih buruk, lebih sering mengalami eksaserbasi,
meningkatnya komorbid, serta sering mengunjungi fasilitas kesehatan
akibat penyakitnya. Untuk itulah dirumuskan kriteria diagnostik tersendiri
dalam mendiagnosis kondisi ini, dan diberi terminology ACOS oleh GINAGOLD.5,6
Berikut ini akan disampaikan secara ringkas karakteristik ACOS dan
kriteria klinis yang dipakai berdasarkan consensus bersama GINA-GOLD
tentang ACOS ini.
Denpasar, 30 Januari 2016
161
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Definisi dan Karakteristik Klinis
Asma menurut GINA 2015 merupakan kelainan heterogen yang
ditandai oleh inflamasi kronis jalan nafas. Hal ini bisa didapatkan dari
riwayat keluhan respirasi seperti mengi, sesak nafas, rasa berat di dada,
dan batuk yang bervariasi dalam waktu dan intensitas, seta ditemukannya
hambatan aliran udara ekspirasi yang juga variabel.7
Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan nafas besar dan
kecil. Secara karakteristik, biasanya terjadi saat anak-anak dan sering
disertai alergi, walaupun banyak kasus juga dapat terjadi saat dewasa.
Gejala klinis khas pada pasien terjadi akibat obstruksi jalan nafas
secaramenyeluruh. Hal ini mengakibatkan penurunan udara, khususnya
kapasitas vital dan volume ekspirasi paksa detik pertama, tetapi akan
kembali menjadi normal setalah serangan. Obstruksi jalan nafas ini secara
umum disebabkan oleh spasme otot polos. Karakteristik lain adalah dasar
hiperresponsivitas bronkus pada pasien asma akibat rangsangan inhalan
pada jalan nafas.8
Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurut GOLD 2015
adalah penyakit yang dapat dicegah dan dikontrol, ditandai oleh hambatan
aliran udara persisten yang progresif. Hal ini berhubungan dan diperburuk
oleh respons inflamasi kronik jalan nafas dan paru akibat pajanan bahan
dan gas berbahaya. Kondisi komorbid dan eksaserbasi mempengaruhi
tingkat keparahan penyakit ini.9
PPOK juga merupakan penyakit inflamasi jalan nafas seperti halnya
asma, perbedaannya pada PPOK lebih mengenai saluran nafas kecil. Pada
162
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
pasien PPOK akan didapatkan infiltrasi sel-sel inflamasi pada saluran nafas
kecil dan jaringan mukus sekretori, serta kerusakan jaringan alveolar. PPOK
biasanya mulai menimbulkan gejala pada pasien emur di atas 40 tahun.
Gejala yang dering dikeluhkan adalah batuk kronik, produksi sputum, serta
sesak nafas dan mengi. Obstruksi jalan nafas yang terjadi pada PPOK
berhubungan dengan kontraksi otot polos, mucus jalan nafas, kerusakan
jaringan alveolar, serta kombinasi dengan hilangnya elastic recoil yang
menyebabkan penutupan jalan nafas. Karakteristik penting lainnya dari
PPOK adalah perjalanan penyakit yang progresif dan keterlibatan asap
rokok, polusi udara, serta pajanan lingkungan dan pekerjaan.8
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) ditandai dengan hambatan
aliran udara persistendengan beberapa karakteristik yang biasanya
berhubungan dengan asma dan karakteristik lain yang berhubungan
dengan PPOK. Secara klinis praktis, ACOS ini didiagnosis bila pasien
menunjukkan karakteristik-karakteristik asma dan PPOK.5
Perjalanan klinis pasien PPOK biasanya dimulai dengan penurunan
minor fungsi paru (FEV1) usia 20-30 tahun-an. Penurunan ini terus terjadi
sejalan dengan pajanan bahan berbahaya dan asap rokok yang dialami
pasien sampai hanya 50% dari fungsi paru normal pada usia 60 tahun-an.
Setelah itu terus terjadi perburukan fungsi paru akibat inflamasi kronik
jalan nafas dan kerusakan arsitektur paru. Pada asma perburukan fungsi
paru terjadi secara gradual dan cenderung reversibel. Pasien asma yang
mengalami perburukan fungsi paru progresif saat usia 50-60 tahun-an
kemungkinan besar mengalami ACOS. Pada kondisi ini sangat sulit
Denpasar, 30 Januari 2016
163
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
menentukan secara tegas pasien tersebut menderita asma atau PPOK
karena membawa karakteristik kedua kelainan tersebut, seperti terlihat
pada Gambar 1.8
Gamba 1. Perjalanan Klinis Asma, PPOK, serta ACOS dilihat dari perburukan
fungsi paru.8
Patogenesis
Pada penyakit obstruktif paru, terdapat tiga karakteristik klinis
umum,
yaitu
inflamasi
jalan
nafas,
obstruksi
jalan
nafas,
dan
hiperresponsivitas bronchus. Inflamasi kronik jalan nafas dibagi 2, yaitu
inflamasi eosinofilik pada asma yang diakibatkan oleh CD4, serta inflamasi
netrofilik pada PPOK yang diakibatkan oleh CD8. Pada beberapa populasi
khusus seperti pasien asma perokok, didapatkan peningkatan netrofil jalan
nafas seperti pada PPOK, sehingga lebih resisten terhadap steroid.
Sebaliknya pada PPOK juga dapat terjadi inflamasi eosinofilik yang biasanya
ditandai oleh variasi reversibilitas obstruksi jalan nafas setelah mendapat
terapi steroid.6
164
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Secara klasik, hiperresponsivitas bronchus sejak lama merupakan
tanda patognomonis asma yang menjadi predictor seseorang menderita
asma di kemudian hari. Definisi-definisi asma terbaru tidak mencantumkan
hiperresponsivitas bronchus lagi sebagai penanda asma, karena hal ini
tidak sepenuhnya menjadi pembeda asma dan PPOK. Hiperresponsivittas
bronchus diakibatkan berbagai faktor, seperti penyempitan diameter jalan
nafas, penebalan dinding jalan nafas, peningkatan massa dan reaktivitas
otot polos jalan nafas, peningkatan vaskularitas peri-bronkhial, kehilangan
elastic recoil, inflamasi jalan nafas, cedera epitelial, dan peningkatan
aktivitas neurogenik.8
Hiperreaktivitas bronchus juga dapat menjadi risiko terjadinya
PPOK. Pada beberapa penelitian terakhir, semakin berat hiperreaktivitas
bronchus akan meningkatkan volume residual, sehingga memperburuk airtrapping pada PPOK. Salah satu implikasi klinis lain hiperreaktivitas
bronchus pada PPOK adalah dalam menurunkan fungsi paru (FEV1).
Perburukan penurunan FEV1 pada pasien PPOK dengan hiperreaktivitas
bronchus, terutama pada perokok juga menjadi prediktor kematian pada
pasien PPOK.10
Postma
dan
van
den
Berge8
juga
menggarisbawahi
hiperresponsivitas jalan nafas ini. Pada review yang ditulis, mereka
mendapatkan 98% pasien ACOS mengalami hiperresponsivitas jalan nafas
dibandingkan 15% pada PPOK. Pada kasus ACOS dengan FEV1 rendah,
hiperresponsivitas bronchus ini semakin nyata terlihat. Hal ini juga
menimbulkan asumsi bahwa perburukan fungsi paru berhubungan dengan
Denpasar, 30 Januari 2016
165
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
hiperresponsivitas bronchus pada kasus yang telah terdokumentasi sebagai
ACOS.
Hiperresponsivitas jalan nafas pada pasien PPOK dapat dilihat
dengan melakukan tes provokasi dengan agen yang sesuai, seperti
methacoline, histamine, manitol, adenosine, dan salin hipertonis.
Hiperresponsivitas jalan nafas meningkat pada pasien perokok dan usia
tua. Banyak konsensus menganjurkan hiperresponsivitas jalan nafas tidak
hanya sebagai faktor risiko asma, tetapi PPOK juga. Hiperresponsivitas jalan
nafas juga berhubungan dengan perburukan gejala klinis yang memberi
respons terhadap pemberian terapi steroid.6,8,11
Gambar 2. Faktor risiko asma dan PPOK serta pengaruh lingkungan dan
penuaan8
166
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Setelah melihat berbagai faktor risiko bersama untuk terjadinya
asma dan PPOK, seperti penuaan, merokok, hiperresponsivitas jalan nafas,
serta inflamasi, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana proses
terjadinya overlap dari kedua kelainan ini. Dutch Hypothesis menyatakan
bahwa asma dan hiperresponsivitas jalan nafas menjadi predisposisi terjadi
PPOK di kemudian hari. Asma, PPOK, hiperresponsivitas jalan nafas,
bronchitis kronik, dan emfisema merupakan ekspresi berbedadari satu
kelainan pada jalan nafas. Munculnya ekspresi ini dipengaruhi faktor host
dan lingkungan.6
Kriteria Klinis ACOS5
Konsensus bersama GINA dan GOLD telah merilis pedoman
diagnosis ACOS. Pada consensus ini, langkah diagnosis dan manajemen
ACOS dibagi menjadi lima langkah (step) utama. Step 1 mengidentifikasi
penyakit jalan nafas kronik. Step 2 memilah temuan klinis pasien untuk
menilai kecenderungannya ke arah asma atau PPOK. Step 3 panduan
penilaian fungsi paru dengan spirometri. Step 4 berisi panduan pemberian
terapi inisial. Step 5 memuat tentang panduan rujukan, bila diperlukan.
Step 1
Kesimpulan yang harus didapat pada step 1 adalah keberadaan penyakit
jalan nafas kronik. Langkah pertama ini sangat penting karena menentukan
apakah investigasi dilanjutkan ke langkah berikutnya atau tidak. Step 1 ini
dapat dilewati setelah melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
radiologis.
Denpasar, 30 Januari 2016
167
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Pada anamnesis penting digali tentang riwayat gejala respirasi seperti
batuk kronik, produksi dahak, sesak nafas, atau mengi serta kejadian infeksi
saluran nafas berulang. Riwayat diagnosis asma atau PPOK sebelumnya,
riwayat pengobatan dengan terapi inhalasi, riwayat merokok atau pajanan
gas dan partikel berbahaya. Pada pemeriksaan fisik penting diidentifikasi
tanda penyakit paru kronis dan hiperinflasi. Sementara pada pemeriksaan
radiologis bias dengan rentang hasil normal hingga kelainan paru berat.
Step 2
Pada langkah kedua ini, dilakukan pengelompokan gejala, tanda, dan
karakteristik klinis pasien apakah mengarah ke asma atau PPOK. Pada
langkah ini dapat digunakan tabel ceklist yang terstandar (Gambar 3).
Setelah dilakukan pengisian ceklist tadi, kemudian dihitung berapa
checkbox yang terisi dari masing-masing kolom asma dan PPOK. Apabila
pada salah satu kolom didapatkan 3 atau lebih checkbox terisi, maka
diagnosis lebih cenderung ke kolom kelainan yang bersangkutan.
Sedangkan bila pada kedua kolom terdapat checkbox yang terisi, diagnosis
ACOS dapat dipertimbangkan pada pasien tersebut.
168
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Gambar 3.
Checkbox
untuk diisi
sesuai
dengan
temuan klinis
pasien.
Step 3
Pemeriksaan spirometri sangat esensial pada asesmen pasien kelainan
jalan nafas kronik. Waktu yang tepat untuk melakukan spirometri idealnya
pada awal diagnosis, sebelum serta setelah initial treatment. Spirometri
Denpasar, 30 Januari 2016
169
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
pada awal pasien datang dapat menjadi kriteria eksklusi, sehingga pasien
tidak perlu mendapat initial treatment dan bisa menghemat waktu untuk
langsung menjalani pemeriksaan lain sesuai dengan kelainan yang
dideritanya. Sebaliknya bila diagnosis terkonfirmasi, dapat langsung
menerima initial treatment. Karakteristik pengukuran spirometri untuk
ACOS antara lain FEV1/FVC post bronkodilator < 0,7, test reversibilitas
positif (peningkatan FEV1 post bronkodilator >12% atau 400ml
dibandingkan baseline.
Step 4
Pemberian terapi disesuaikan dengan kecenderungan diagnosis yang
didapat. Pada kasus asma diberikan terapi sesuai standar dari GINA.
Sedangkan kasus PPOK diberikan terapi sesuai standar GOLD. Sementara
terapi inisial apabila ACOS teridentifikasi adalah pemberian inhalasi
kortikosteroid (ICS) dengan kombinasi long acting β2 agonist (LABA)
dengan/atau tanpa long acting muscarinic antagonist (LAMA). Terapi untuk
faktor risiko eksaserbasi dan kondisi komorbid secara komprehensif juga
diberikan pada pasien ACOS. Sementara penanganan non farmakologis
seperti aktivitas fisik, stop merokok, rehabilitasi paru, serta vaksinasi juga
tetap diberikan sesuai indikasi.
Step 5
Seperti halnya asma, pasien ACOS sebenarnya dapat ditangani pada
fasilitas kesehatan primer. Beberapa kondisi berikut dapat menjadi
170
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
pertimbangan untuk merujuk pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih tinggi
atau dokter spesialis terkait, yaitu:

Keluhan persisten dan sering eksaserbasi

Diagnosis tidak jelas

Pasien dengan asma atau ppok atipikal yang mengarah pada
tambahan diagnosis kelainan respirasi lain

Kondisi komorbid yang mempengaruhi manajemen jalan nafas
pasien

Masalah yang terjadi waktu pengobatan
Ringkasan
Asthma COPD Overlap Syndrome (ACOS) merupakan sindrome
kelainan jalan nafas kronis yang khusus. ACOS memiliki komponen asma
dan PPOK secara bersama. Patogenesis ACOS merupakan gabungan
pathogenesis asma, terutama dengan hiperresponsivitas jalan nafasnya,
dan PPOK dengan air trapping dan progresifitas inflamasinya. Identifikasi
sindrom ini pada kasus asma atau PPOK sangat penting dilakukan untuk
memberikan penanganan yang lebih mengena dan berkaitan dengan faktor
prognostik pasien ini ke depannya.
Denpasar, 30 Januari 2016
171
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Daftar Pustaka
1. de Marco R, Pesce G, Marcon A, et al. The Coexistence of Asthma
and Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD): Prevalence and
Risk Factors in Young, Middle-aged and Elderly People from the
General Population. PLoS ONE 2013;8(5): e62985
2. Postma DS, van den Berge M. The different faces of the
asthma−COPD overlap syndrome. Eur Respir J 2015; 46: 587–590.
3. Guerra S. Overlap of asthma and chronic obstructive pulmonary
disease. Curr Opin Pulm Med. 2004;11: 7–13.
4. Soriano JB, Davis KJ, Coleman B, et al. The proportional Venn
diagram of obstructive lung disease: two approximations from the
United States and the United Kingdom. Chest 2003;124:474-81.
5. GINA and GOLD joint project. Diagnosis of Diseases of Chronic
Airflow Limitation: Asthma, COPD and Asthma-COPD Overlap
Syndrome (ACOS). 2015.
6. Papaiwannou A, Zarogoulidis P, Porpodis K, et al. Asthma-chronic
obstructive pulmonary disease overlap syndrome (ACOS): current
literature review. J Thorac Dis 2014; 6(S1): S146-S151.
7. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
2015
8. Postma DS, Rabe KF. The Asthma–COPD Overlap Syndrome. N Engl J
Med 2015; 373: 1241-1249.
9. GOLD. Global Strategy for Diagnosis, Management and Prevention
of COPD. 2015
172
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
10. Miravitlles M, Soriano JB, Ancochea J, et al. Characteristic of the
overlap COPD-asthma phenotype. Focus on physical activity and
health status. Resp Med 2013;107:1053-1060.
11. Fu JJ, Gibson PG, Simpson JL,et al. Longitudinal Changes in Clinical
outcomes in Older Patients with Asthma, COPD, and Asthma-COPD
overlap Syndrome
Denpasar, 30 Januari 2016
173
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Terapi Invasiv Asma
(Bronkial Termoplasti Pada Asma)
I Gede Ketut Sajinadiyasa
Divisi Pulmonologi Bag/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/RSUP Sanglah
Denpasar
Pendahuluan
Asma adalah merupakan penyakit heterogen yang ditandai dengan
adanya inflamasi kronis saluran napas dengan tanda klins adanya gejala
berupa batuk, sesak napas, dada berat dan mengi yang bervariasi dari
waktu ke waktu dan disertai adanya hambatan aliran udara.1 Asma berat
ditandai dengan gejala yang persisten, kebutuhan obat yang meningkat
dan sering terjadi eksaserbasi. Walaupun kejadian asma berat diprediksi <
10% dari seluruh pasien asma namun pasien ini memiliki morbiditas yang
tinggi dan kebutuhan biaya perawatan yang tinggi. Terapi utama asma
adalah kortikosteroid, beta2 agonis. Terapi ini menekan inflamasi atau
mengurangi penyempitan dengan merelaksasi otot polos saluran napas
tapi tidak mencegah proses perubahan struktur yang kronis dari otot polos
saluran napas pasien asma. Efektivitas obat tersebut tidak sama pada
pasien-pasien dengan asma berat sehingga diperlukan pilihan
terapi
lainnya. Akhir-akhir ini pendekatan baru untuk terapi asma berat adalah
bronkial termoplasti.2
174
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Bronkial termoplasti sebagai terapi pada asma berat
Bronkial termoplasti merupakan konsep baru terapi pada asma,
yang bertujuan menurunkan massa otot polos saluran napas dengan tujuan
utama mengurangi kontriksi bronkus dam memperbaiki gejala asma.
Penurunan massa otot polos saluran napas dilakukan dengan memberikan
energi panas pada dinding saluran napas sebanyak 3 seri melalui tindakann
bronkoskopi. Energi panas diberikan melalui sistem Alair yang terdiri dari
generator listrik frekuensi radio dan kateter sekali pakai dan pada ujungnya
terdapat empat elektrode yang dapat dikembangkan. Energi listrik
diberikan melalui elektrode dan diubah menjadi panas setelah bertemu
jaringan. Pemantauan tetap dilakukan pada generator energi untuk
mamastikan derajat panas dan waktu pemanasan dan suhu yang diinginkan
setinggi 650C. Suhu ini didapatkan pada penelitian binatang dan manusia
dimana pada suhu terebut tercapai penurunan massa otot polos saluran
napas dengan kerusakan struktur saluran napas yang sangat minimal.
Energi diberikan selama 10 detik dietiap tempat terapi dan diperkirakan
mencapai 18 W. Bronkial termoplasti diberikan secara sistematis pada
lokasi di luar bronkus utama yaitu pada bronkus dengan diameter 10 – 3
mm atau pada saluran napas yang lebih distal. 2,3,4
Mekanisme kerja
Pada asma otot polos saluran napas merupakan efektor utama dari
bronkokontriksi yang bertanggungjawab terhadap beberapa stimulus
termasuk mediator inflamasi. Otot polos juga dapat merangsang inflamasi
Denpasar, 30 Januari 2016
175
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dengan memproduksi beberapa sitokin dan kemokin seperti CXCL10 (IP10)
dan fractalkin yang berpartisipasi pada lingkaran autokrin. Sel mast
berperan pada kaskade inflamasi ini dan berhubungan dengan otot polos
saluran napas pada pasien dengan asma. Melalui aktivasi dan degranulasi
juga dibentuk beberapa sitokin dan mediator seperti IL-4 dan leukotrin B4
yang berkontribusi pada hiperresponsip saluran napas dan merangsang
peningkatan massa otot polos saluran napas. Oleh karenanya otot polos
saluran napas berpartispasi aktif dalam respon inflamasi dan berkontribusi
pada eksaserbasi asma.2,5,6
Bronkial termoplasti dapat menurunkan massa otot polos saluran
napas melalui ablasi radiofrequency pada binatang sehat saluran napas
manusia, dimana penurunan
massa otot polos saluran napas
dapat
direproduksi pada saluran napas pasien asma atau merupakan satusatunya mekanisme yang bertanggungjawab untuk mafaat klinis terlihat
pada pasien asma berat masih perlu penelitian lanjutan. Alternatif dan
kontribusi mekanisme bronkial termoplasti
yatu dapat memodifikasi
matrik ekstraseluler yang dapat membuat struktur saluran napas tetap
utuh, mengurangi hiperplasia kelenjar mukus dan perubahan pada automic
tone saluran napas.2,3
Aspek prosedural
Bronkial termoplasti dilakukan melalui 3 sesi bronkoskopi
dengan interval 2-3 minggu. Sesi pertama dan kedua bronkial termoplasti
dilakukan pada lobus bawah sedangkan sesi ke tiga dilakukan pada kedua
176
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
lobus atas secara bersamaan. Kenapa bronkial termoplasti dilakukan dalam
3 sesi adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk menterapi saluran napas
dalam lobus dan mencegah terjadinya iritasi yang luas. Saluran napas pada
lobus medius kanan dihindari oleh karena dikawatirkan terjadi stenosis
bronkus.2,3
Pasien diberikan prednisolon 50 mg selama 5 hari yang
dimulai 2-3 hari sebelum tindakan, untuk mengurangi respon inflamasi
setelah tindakan. Pada hari akan dilaksanakan bronkoskopi pasien
hendaknya dievaluasi apakah ada tanda klinis eksaserbasi atau ada infeksi
saluran napas, bila ada sebaiknya tindakan bronkial termoplasti ditunda.
Pemeriksaan spirometri dan terapi bronkodiltor sebelum tindakan
direkomen. Oksigen selama tindakan sebaiknya diturunkan untuk
mencegah kemungkinan percikan api. Bronkoskop yang digunakan adalah
standar dewasa dengan diameter working channel minimal 2 mm.
Bronkoskopi dengan bronkial termoplasti dapat dikerjakan dengan anastesi
lokal dan dengan sedasi sedang sampai dalam. Prosedur dimulai dengan
melihat saluran napas untuk menilai mukosa dan sekresi akibat infeksi dan
bila ada tanda-tanda infeksi sebaiknya tindakan di tunda. Kemudian
bronkoskop diarahakan ke distal bronkus dari saluran napas yang
ditentukan dan berhenti pada titik dimana bronkoskopik dapat melihat
dinding bronkus dengan jelas. Kateter kemudian dimasukan melalui
bronkoskop untuk mencapai bronkus distal yang masih memungkinkan.
Elektrode kemudian dikembangkan sampai menempel dengan dinding
bronkus. Energi kemudian diberikan selama 10 detik untuk setiap tindakan.
Denpasar, 30 Januari 2016
177
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Bila telah selesai satu tindakan elektrode dikuncupkan kembali dan ditarik
5 mm untuk memulai tindakan selanjutnya dan selanjutnya ke proksimal
dan pindah ke percabangan bronkos lainnya. Oleh karena adanya variasi
anatomi saluran napas pada pasien jumlah tindakan yang dilakukan dapat
berbeda dengan kisaran 40-60 tindakan dan bronkial termoplasti dapat
berlangsung sekitar 45-60 menit.2,3,4
Efektivitas Bronkial Termoplasti
Bronkial termoplasti merupakan alternatif terapi yang cukup efektif
pada pasien asma. Ada tiga studi yaitu studi AIR(Asthma Intervention
Research), RISA(The Research in Severe Asthma) dan AIR2 yang memberi
bukti bahwa bronkial termoplasti efektif untuk asma.
Efek pada kualiatas hidup. Studi AIR mendapatkan kualitas hidup
yang lebih baik pada kelompok pasien yang mendapat terapi bronkial
termoplasti dibanding kelompok pasien tanpa bronkial termoplasti. Begitu
juga hasil yang didapatkan pada studi RISA dan AIR2 dimana kualitas hidup
yang diukur dengan AQLQ(Asthma Quality of Life Questionnaire)
menunjukan perbaikan dibanding kelompok kontrol.3,4
Efek pada kontrol asma.
Pada studi awal dilaporkan terjadi
perbaikan dimana pasien yang mendapat bronkial termoplasti didapatkan
peningkatan hari bebas serangan dalam pemantauan 3 bulan pasca
bronkial termoplasti. Pada studi AIR
kontrol asma membaik setelah
bronkial termoplasti, lebih banyak memiliki hari tanpa gejala asma dan
bermakana memperbaiki kualitas hidup. Kelompok yang mendapatkan
178
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
bronkial termoplasti lebih sedikit menggunakan obat pelega, rata-rata dua
kali lebih sedikit dalam setahun. Pada studi RISA dan AIR2 juga mendapat
kontrol asma yang lebih baik.3
Efek pada eksaerbasi, perawatan darurat dan absen dari kerja dan
sekolah. Pada studi AIR kelompok bronkial termoplasti didapatkan
serangan yang lebih sedikit selama tidak mengunakan beta2 agonis kerjang
panjang selama satu tahun dibanding kelompok kontrol. Pada studi AIR2
dibanding dengan kontrol, kelompok bronkial termoplasti menunjukan
lebih sedikit eksaserbasi berat, lebih sedikit kunjungan ke perawatan
emergensi dan lebih sedikit absen di tempak kerja ataupun sekolah.3,4
Efek Pada Fungsi Paru dan hiperesponsif saluran napas. Studi
kelayakan melaporkan terjadi perbaikan pada aliran ekspirasi dan
responsivitas saluran napas setelah 3 dan 12 bulan tindakan bronkial
termoplasti. Perbaikan ini bertahan samapai 3 tahun walaupun ini tidak
bermakna oleh karena sampel tidak semuanya dapat dievaluasi terutama
pada kelompok tanpa bronkial termoplasti. Pada studi AIR peak flow pagi
lebih baik dibanding kelompok kontrol. Pada studi AIR2 tidak ada
perubahan pada fungsi paru setelah satu tahun pasca tindakan tapi terjadi
penurunan pada konsumsi steroid. Faktanya efek bronkial termoplasti pada
asma sebanding dengan omalizumab dengan perbaikan pada kejadian
eksaserbasi dan kualitas hidup namun tidak berefek pada fungsi respirasi.3
Denpasar, 30 Januari 2016
179
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Keamanan
Kejadian yang merugikan yang diobservasi selama terapi dan
setelah terapi dapat dilihat dari 4 studi yaitu studi kelayakan pada asma
ringan dan sedang, Studi AIR pada asma sedang dan berat, Studi RISA dan
AIR2.3
Kejadian merugikan pada peride awal tindakan. Kelompok yang
diterapi dengan bronkial termoplasti menunjukan lebih banyak mengalami
gejala khas asma seperti batuk, wesing, sesak dan terbangun di malam hari
dibanding kelompok kontrol dan kadang dijumpai gejala lain seperti
demam beberapa jam setelah terapi. Gejala ini biasanya menghilang dalam
7 hari tapi juga bisa membutuhkan perawatan dirumah sakit pada 3,4%
dari bronkoskopi pada asma sedang dan berat dari studi AIR2 dan 15,6%
dari asma berat pada studi RISA. Penemuan ini menekankan bahwa
pentingnya kontrol asma yang optimal sebelum tindakan dan monitor yang
ketat setelah periode tindakan. Pada studi AIR2 satu pasien mengalami
hemoptisis dari lobus atas kanan 1 bulan setelah sesi terakhir dan
membutuhkan embolisasi arteri bronkial.2,3
Kejadian merugikan setelah satu tahun dan waktu yang lebih lama.
Setelah pemantauan jangka panjang pada 4 studi tersebut diatas tidak ada
bukti terjadi stenosis akibat terapi ataupun bronkiektasis. Tidak satupun
studi ini mendapatkkan kerusakan pada bronkus setelah memantau selama
satu tahun. Satu kasus terjadi abses paru pada 14 bulan pada studi AIR2.
Abses ini diduga oleh karena infeksi sekunder bukan secara langsung akibat
bronkial termoplasti.3,4
180
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Setelah diikuti selama 5 tahun, FEV1 sebelum bronkodilator tetap
stabil pada dua studi pada pasien asma sedang dan berat. Gambaran
rontgen dada dan HRCT pada 3 dan 5 tahun tidak menunjukan perubahan
struktur yang bermakna. Pada studi RISA pemantauan rontgen dada pada 5
tahun pada kelompok dengan asma berat, tidak dijumpai perubahan yang
bermakna,
FEV1
tidak
mengalami
penurunan
dan
jumlah
yang
membutuhkan perawatan rumah sakit karena eksaserbasi dari asma
menurun selama periode ini.3
Kontraindikasi
Konraindikasi dari bronkial termoplasti adalah adanya alat yang
teranam dalam tubuh, adanya hipersensitif terhadap obat yang digunakan
selama prosedur bronkoskopi dan adanya kondisi komorbid yang berat
yang dapat meningkatkan risiko yang tidak diinginkan.
Pasien dengan riwayat asma mengancam jiwa di keluarkan dari
program penelitian. Pasien yang 3 kali atau lebih dirawat di rumah sakit
dalam satu tahun karena serangan asma atau 4 kali atau lebib dalam satu
tahun mengunakan steroid sistemik. Menggunakan bronkodilator kerja
singkat lebih dar 4 hirup dalam satu hari. Infeksi saluran napas dan
bronkiektasis merupakan kontraindikasi absolut bronkial termoplasti.
Rinosinusitis kronis juga dikontraindikasi oleh karena sulit membedakan
kejadian klinis karena rinosinusitis atau asma. Subyek dengan riwayat
merokok melebihi 10 pack years juga dikeluarkan.2,3
Denpasar, 30 Januari 2016
181
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
Keuntungan dan Kerugian Bronkial Termoplasti
Bronkial termoplasti merupakan terapi non-medikamentosa untuk
pasien dengan asma berat yang telah menggunakan obat yang optimal tapi
masih dengan status kontrol yang buruk. Adanya perkembangan terapi
baru tentu disambut oleh semua pihak dan memberi harapan baru, namun
bronkial termoplasti memerlukan dana yang besar untuk bronkoskopi dan
kateter sekali pakai yang digunaka, terutama untuk negara berkembang.
Mungkin masih perlu penelitian lebih lanjut apakah terapi ini memberikan
keuntungan secara ekonomi.2
Ringkasan
Bronkial termoplasti merupakan terapi baru untuk pasien asma
berat dengan konsep untuk murunkan massa otot polos saluran napas
dengan tujuan utama mengurangan kontriksi bronkus dan menghilangkan
gejala asma. Penurunan massa otot polos saluran napas dilakukan dengan
memberikan energi panas pada dinding saluran napas sebanyak 3 seri
melalui tindakann bronkoskopi. Energi panas diberikan melalui sistem Alair
yang terdiri dari generator listrik frekuensi radio dan kateter sekali pakai
pada ujungnya terdapat empat elektrode yang dapat dikembangkan. Terapi
ini cukup efektif. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa kelompok
yang mendapat bronkial termoplasti dijumpai adanya peningkatan kualitas
hidup, meningkatkan hari besas gejala asma, menurunkan kejadian
ekserbasi berat. Secara ekonomi tindakan ini relatif masih mahal
mengingat akan peralatan seperti peranngkat bronkoskopi dan kateter
182
Denpasar, 30 Januari 2016
ASTHMA MEETING: COMPREHENSSIVE APPROACH OF ASTHMA
dengan elektrode yang sekali pakai. Masih diperlukan kajian terhadap
terapi ini apakah dapat memberi manfaat baik klinis dan ekonomi.
Daftar Pustaka
1. FitzGerald JM, Bateman ED, Boulet L-P, et al. Global Initiative for
Asthma (GINA) Global Strategy for Asthma Management and
Prevention (2015 update).
2. Wahidi MM, Kraf M. Bronchial thermoplasty for severe asthma. Am
J Respir Crit Care Med 2012 ; 185:709-714
3. Dombret MC, Alagha K, Boulet LP, Brillet PY, Joos G, Laviolette3
M, Louis R, Rocha T, Soccal P, Aubiel M,Chanez P. Bronchial
thermoplasty: a new therapeutic option for the treatment of
severe, uncontrolled asthma in adults. Eur Respir Rev 2014; 23:
510–518
4. Laxmanan B, Hogarth D K. Bronchial thermoplasty in asthma:
current perspectives. Journal of Asthma and Allergy 2015:8: 39-49
5. Cox C, Kjarsgaard M, Surette MG,
Cox PG, Nair P. A
multidimensional approach to the management of severe asthma:
Inflammometry,
molecular
microbiology
and
bronchial
thermoplasty. Can Respir J 2015;22(4):221-224
6. Keglowich LF, Borger P. The Three A’s in Asthma – Airway Smooth
Muscle, Airway Remodeling & Angiogenesis. The Open Respiratory
Medicine Journal 2015; 9: 70-80
Denpasar, 30 Januari 2016
183
Download