BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otomomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan dua hal yang amat penting, pertama adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih demokratis dan partisipatif, yang kedua adanya pemerataan pembangunan di seluruh daerah dengan menitikberatkan pada kemampuan, inisiatif, dan kreativitas, disisi lain otomomi yang diberikan dimaksudkan pula untuk mengurangi dominasi Pemerintah Pusat dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. Penyusunan perencanaan pembangunan di daerah yang terjadi dewasa ini mustinya sudah harus diubah, yaitu dengan lebih mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dan peran serta (partisipasi) masyarakat, sesuai dengan semangat desentralisasi dan otonomi daerah. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi sangat penting oleh karena terbatasnya sumberdaya yang dimiliki pemerintah Daerah dan meningkatnya tuntutan akan keterlibatan masyarakat serta semakin pentingnya dukungan masyarakat bagi keberhasilan program-program pembangunan. Pemerintah Pusat sendiri pada tataran normatif telah memberikan kewenangan kepada daerah dalam hal menetapkan mekanisme koordinasi perencanaan pembangunan daerah (desentralisasi perencanaan pembangunan). 8 Prinsip desentralisasi perencanaan pembangunan dimaksudkan untuk mendekatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat. Fungsi pelayanan Negara kepada masyarakat dalam bentuk alokasi anggaran dan pelaksanaan program pembangunan. Dengan desentralisasi diharapkan perencanaan dilakukan berbasis pada kebutuhan yang secara nyata diperlukan masyarakat. Dengan demikian diharapkan terwujud sinkronisasi antara anggaran dan kebutuhan. Dalam kerangka inilah dibutuhkan peran masyarakat secara optimal dalam perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif. Koordinasi perencanaan pembangunan di Kabupaten Gunungkidul dewasa ini, masih mengalami berbagai kendala dalam mengimplementasikan desentralisasi pembangunan. Alternatif solusi guna mengatasi kendala dan persoalan yang muncul adalah dilakukannya koordinasi perencanaan pembangunan daerah yang partisipatif. Perencanaan pembangunan partisipatif masih dirasakan belum dapat sepenuhnya dilaksanakan di Pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Masyarakat sebagai salah satu aktor dalam pembangunan daerah kurang mendapat bagian dalam proses perencanaan pembangunan. Sistem pembangunan yang mengadopsi dua sistem yaitu top down dan buttom up masih belum optimal pelaksanaannya. Hal ini terlihat pada saat pelaksanaan suatu program pembangunan desa yang terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan desa ataupun karakteristik desa, sebagai contoh adalah pengembangan industri di desa terutama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dalam hal ini masyarakat, hanya dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Kegiatan dan Pembangunan Daerah pada tahun anggaran tersebut. 9 Dominasi birokrasi atau aparatur pemerintah sangat terlihat dalam dokumen tersebut, dimana program yang diakomodasi sebagian besar adalah program yang diusulkan oleh birokrasi sementara program yang disampaikan oleh masyarakat melalui musyawarah pembangunan desa belum dapat banyak diserap. Permasalahan tersebut disebabkan beberapa kemungkinan diantaranya adalah masyarakat yang belum siap dalam proses penyusunan pembangunan daerah, artinya masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan tingkat desa sehingga perencanaan lebih didominasi pengetahuan dari perangkat desa atau penyusunan perencanaan tingkat desa yang disusun oleh pemerintah desa belum mencerminkan kebutuhan masyarakat setempat. Kemungkinan permasalahan lainnya adalah sikap dari pemerintah daerah yang menganggap bahwa perencanaan yang dilakukan secara partisipatif mulai dari masyarakat, desa, dan kecamatan dianggap belum memenuhi kebutuhan masyarakat dan lebih mengedepankan pengetahuan atau hasil penjaringan aspirasi masyarakat oleh pemerintah daerah. Dengan latar belakang tersebut di atas maka penelitian ini akan mencoba untuk mengkaji keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah. 1.2. Perumusan Masalah Koordinasi perencanaan pembangunan daerah yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang matang baik dari aspek mekanisme maupun substansinya. Berkait dengan mekanisme pilihan perencanaan dari bawah (bottom 10 up) digunakan untuk mencapai sebuah proses perencanaan yang partisipatif, dalam arti penentuan kebutuhan masyarakat (needs) dan substansi, yaitu penentuan jenis kebutuhan secara nyata yang diperlukan masyarakat. Hal ini barangkali karena adanya pihak-pihak yang tidak konsisten dan tidak patuh terhadap kesepakatan yang telah dihasilkan, atau barangkali dalam proses berikutnya terjadi pembelokan lewat proses politik yang tidak demokratis. Proses perencanaan dari bawah sesungguhnya merupakan tindakan agregasi (hasil kesepakatan bersama) yang harus dipatuhi secara konsisten dan menjadi pijakan bagi proses selanjutnya. Prinsip di atas menjadi tolok ukur apakah proses perencanaan dari level yang paling bawah (desa), kemudian ke tingkat Kecamatan dan sampai tingkat daerah Kabupaten. Dalam praktek yang berlangsung di banyak daerah seringkali terjadi adanya mata rantai yang hilang antara hasil perencanaan dari bawah dengan keputusan penganggaran yang dilakukan Pemerintah Kabupaten. Dari uraian di atas secara ringkas rumusan masalah dalam penelitian dapat dinyatakan dalam suatu pertanyaan penelitian yaitu: Bagaimanakah partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah di Kabupaten Gunungkidul ? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian tentang latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan di muka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pelaksanaan koordinasi perencanaan pembangunan daerah di kabupaten Gunungkidul. 11 Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan referensi dan masukan dalam rangka evaluasi koordinasi perencanaan pembangunan daerah khususnya di Kabupaten Gunungkidul. 1.4. Kerangka Teori Konsep Koordinasi perencanaan pembangunan dapat dianalisis berdasarkan kerangka teoritis dan dialektika, yang satu sama lain dapat saling menguatkan diantara beberapa teori yang dipakai. Dalam evaluasi koordinasi perencanaan pembangunan ada beberapa perspektif yang dipakai antara lain: 1. Konsep Perencanaan Konsep perencanaan oleh beberapa ahli didefinisikan dalam berbagai ragam definisi. Namun dari berbagai definisi dari para ahli perencanaan, pada umumnya memiliki kesamaan dalam memandang perencanaan, yaitu sebagai proses awal untuk melakukan suatu tindakan, yang dilakukan berdasarkan berbagai informasi yang menyeluruh (komprehensif) untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai. Berikut ini akan diuraikan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli perencanaan. Menurut Abdulrachman (1973), perencanaan adalah pemikiran rasional berdasarkan fakta-fakta dan atau perkiraan yang mendekat (estimate) sebagai persiapan untuk melaksanakan tindakan-tindakan kemudian. Menurut Siagian (1994), perencanaan adalah keseluruhan proses pemikiran dan penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang akan datang dalam rangka pencapaian yang telah ditentukan. 12 Sementara itu menurut Terry perencanaan adalah pemilihan dan menghubungkan fakta-fakta, membuat serta menggunakan asumsi-asumsi yang berkaitan dengan masa datang dengan menggambarkan dan merumuskan kegiatankegiatan tertentu yang diyakini diperlukan untuk mencapai suatu hasil tertentu (Terry, 1975, dalam Kusmiadi, 1995). Menurut Y. Dror, perencanaan adalah suatu proses penyiapan seperangkat keputusan untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang yang diarahkan pada pencapaian sasaran tertentu (Y. Dror, dalam Riyadi, 2004). Sedangkan menurut Diana Conyers dan Peter Hills, perencanaan adalah suatu proses yang terus-menerus yang melibatkan keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber daya yang ada dengan sasaran untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masa yang akan datang (Diana Conyers dan Peter Hills, dalam LAN-DSE, 1999). Dari uraian mengenai berbagai definsi tentang perencanaan di atas terlihat bahwa dalam perencanaan ada beberapa unsur pokok yakni: a. Perencanaan berarti memilih atau membuat pilihan, baik pilihan yang berkait dengan prioritas, ataupun memilih cara atau alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan. b. Perencanaan berarti pengalokasisian sumberdaya, baik sumberdaya alam, manusia, dan penganggaran, serta pengumpulan dan analisis data sumberdaya yang tersedia. c. Perencanaan berkaitan dengan masa yang akan datang. 13 d. Perencanaan merupakan kegiatan yang terus menerus, oleh karenanya dalam proses perencanaan dan pelaksanaan sering dilakukan reformulasi rencana. Dari teori di atas, maka dalam penelitian ini konsep perencanaan yang dimaksudkan adalah proses yang terus menerus yang melibatkan keputusankeputusan atau pilihan-pilihan penggunaan sumber daya yang ada, pemikiran dan penentuan arah kebijakan tentang pembangunan daerah di Kabupaten Gunungkidul yang dikaitkan dengan program kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka pencapaian kebijakan pembangunan yang telah ditentukan. 2. Konsep Pembangunan Pembangunan seringkali diartikan sebagai proses melakukan perubahan secara terencana menuju keadaan yang lebih baik. Seperti yang didefinisikan oleh Tjokroamidjojo, pembangunan adalah upaya suatu masyarakat bangsa yang merupakan perubahan sosial yang besar dalam berbagai kehidupan kearah masyarakat yang lebih maju dan baik sesuai dengan pandangan masyarakat bangsa itu (Tjokroamidjojo, 1996). Konsepsi Amidjojo tentang pembangunan senada dengan apa yang didefinisikan oleh Siagian, dimana pembangunan didefinisikan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1994). Dalam melakukan proses perubahan melalui pembangunan terdapat berbagai pendekatan yang bisa digunakan, penentuan mengenai pendekatan apa 14 yang dipilih tergantung bagaimana penentuan prioritas hasil pembangunan yang hendak dicapai. Dari penjelasan teori di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul yang berencana dan sistematis yang merupakan perubahan sosial yang besar dalam berbagai aspek kehidupan ke arah masyarakat yang lebih maju dan baik sesuai kebutuhan masyarakat dan kemampuan pemerintah daerah Kabupaten Gunungkidul. 3. Konsep Perencanaan Pembangunan Daerah Dengan bergesernya paradigma penyelenggaraan Pemerintah daerah dari yang bersifat sentralistik kerarah otonomi daerah yang lebih luas (desentralisasi) membawa implikasi tiap-tiap daerah memiliki kewenangan yang lebih luas pula untuk melakukan pembangunan di daerahnya masing-masing, Kewenanngan membawa konsekuensi daerah untuk membuat sebuah perencanaan pembangunan yang dapat membawa perubahan yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat daerah tersebut. Perencanaan pembangunan daerah pada umumnya diartikan sebagai sebuah proses perumusan alternatif-alternatif ataupun keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan dipergunakan sebagai bahan untuk rnelaksatiakan suatu rangkaian kegiatan/aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik, (Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah, 2004). 15 Dikaitkan dengan perencanaan pembangunan daerah maka arti perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetapi tetap berpegang pada azas prioritas, (Riyadi dan Deddy Supriadi Bratakusumah, 2004). Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembangunan daerah merupakan suatu kegiatan penyusunan tahapan-tahapan kerja yang melibatkan berbagai unsur dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang ada dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan sosial pada suatu wilayah/daerah tertentu dalam waktu tertentu. Dari penjelasan teori diatas bahwa perencanaan pembangunan daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sebagai proses perumusan alternatifalternatif ataupun keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan faktafakta yang akan dipergunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/ aktivitas masyarakat baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spiritual) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul yang didasarkan atas sistem perencanaan pembangunan daerah yaitu dimulai di tingkat desa (Musbangdes/ Musrenbang tingkat Desa), tingkat kecamatan (Diskusi UDKP/ Musrenbang tingkat Kecamatan) dan tingkat Kabupaten (Musyawarah Pembangunan/ Musrenbang Kabupaten). 16 4. Konsep partisipasi Pada umumnya peran serta masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah diartikan sebagai penyediaan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan pokok-pokok harapan, kebutuhan, dan kepentingan dasarnya, dimana formulasi diajukan oleh masyarakat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah dengan menetapkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang mengacu pada apa yang telah dirumuskan masyarakat. Dengan kerangka berpikir seperti tersebut di atas maka perencanaan pembangunan daerah sudah seharusnya dilakukan dengan menerapkan konsep perencanaan pembangunan partisipatif. Perencanaan pembangunan partisipatif adalah adalah sebuah proses perencanaaan yang sepenuhnya mencerminkan kebutuhan konkret masyarakat dan dalam proses penyusunannya melibatkan masyarakat (Alexander Abe, 2002). Disamping menegaskan perlunya partisipasi masyarakat, konsep pembangunan partisipatif juga memberikan tekanan pada pentingnya musyawarah dan jalinan kemitraan antara setiap unsur pelaku. Menurut Khairuddin perencanaan pembangunan partisipatif merupakan bentuk kemitraan yang dibangun berdasarkan dialog diantara berbagai pihak pelaku, yang selama dialog tersebut agenda disusun bersama, pandangan lokal dan pengalaman asli secara berhati-hati diusahakan dan diharga (Khairuddin, 2000). Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah dapat diartikan sebagai sebuah peran aktif masyarakat untuk turut serta menentukan perencanaan pembangunan daerah dalam bentuk-bentuk kemitraan dengan pemerintah dan segenap unsur pelaku. 17 Dari penjelasan teori di atas maka konsep partisipasi masyarkat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah penyediaan ruang dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengajukan kebutuhan, harapan dan kepentingannya yang selanjutnya diformulasikan melalui pemerintah desa dan secara hierarki diteruskan melalui kecamatan dan pemerintah Kabupaten Gunungkidul. Tingkat partisipasi masyarakat, menurut Sherry Arnstein1 terdiri dari delapan tingka tpartisipasi berdasarkan kadar kekuatan masyarakat dalam memberikan pengaruh terhadap perencanaan, yaitu sebagai berikut: a. Manipulation (manipulasi) Tingkat partisipasiini adalah yang paling rendah, yang memposisikan masyarakat hanya dipakai sebagai pihak yang memberikan persetujuan dalamberbagai badan penasehat. Dalam hal ini tidak ada partisipasi masyarakat yang sebenarnya dan tulus, tetapi diselewengkan dan dipakai sebagai alat publikasi dari pihak penguasa. b. Theraphy (terapi/penyembuhan). c. Dengan berkedok melibatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan, para ahli memperlakukan anggota masyarakat seperti proses penyembuhan pasien dalam terapi. Meskipun masyarakat terlibat dalam kegiatan, pada kenyataannya kegiatan tersebut lebih banyak untuk mendapatkan masukan dari masyarakat demi kepentingan pemerintah. 1 Arnstein, Sherry R. A Ladder of Citizen Participation, Journal of the American Institute of Planners, Vol. 35, No . 4, July 1969 18 d. Informing (informasi) Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak-hak mereka, tanggung jawab dan berbagai pilihan, dapat menjadi langkah pertama yang sangat penting dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat. Meskipun yang sering terjadi adalah pemberian informasi satu arah dari pihak pemegang kekuasaan kepada masyarakat, tanpa adanya kemungkinan untuk memberikan umpan balik atau kekuatan untuk negosiasi dari masyarakat. Dalam situasi saat itu terutama informasi diberikan pada akhir perencanaan, masyarakat hanya memiliki sedikit kesempatan untuk mempengaruhi rencana. e. Consultation (konsultasi) Mengundang, setelah memberikan informasi kepada mereka, dapat merupakan langkah penting dalam menuju partisipasi penuh dari masyarakat. Meskipun telah terjadi dialog dua arah, akan tetapi cara ini tingkat keberhasilannya rendah karena tidak adanya jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Metode yang sering digunakan adalah survei, pertemuan lingkungan masyarakat, dan dengar pendapat dengan masyarakat. f. Placation (penentraman/perujukan) Pada tingkat ini masyarakat mulai mempunyai beberapa pengaruh meskipun beberapa hal masih tetap ditentukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan. Dalam pelaksanaannya beberapa anggota masyarakat dianggap mampu dimasukkan sebagai anggota dalam badan-badan kerjasama pengembangan kelompok masyarakat yang anggota-anggotanya wakil dari berbagai instansi 19 pemerintah. Walaupun usulan dari masyarakat diperhatikan sesuai dengan kebutuhannya,namun suara masyarakat seringkali tidak didengar karena kedudukannya relatif rendah atau jumlah mereka terlalu sedikit dibanding anggota dari instansi pemerintah. g. Partnership (kerjasama) Pada tingkat ini, atas kesepakatan bersama, kekuasaan dalam berbagai hal dibagi antara pihak masyarakat dengan pihak pemegang kekuasaan. Dalam hal ini disepakati bersama untuk saling membagi tanggungjawab dalam perencanaan danpembuatan keputusan serta pemecahan berbagai masalah. Telah ada kesamaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat. h. Delegated Power (pelimpahan kekuasaan) Pada tingkat ini masyarakat diberi limpahan kewenangan untuk memberikan keputusan dominan pada rencana atau program tertentu. Untuk memecahkan perbedaan yang muncul, pemilik kekuasaan harus mengadakan tawar menawar dengan masyarakat dan tidak dapat memberikan tekanan-tekanan dari atas. Jadi masyarakat diberi wewenang untuk membuat keputusan rencana dan rencana tersebut kemudian ditetapkan oleh pemerintah. i. Citizen Control (kontrol masyarakat) Pada tingkat ini masyarakat memiliki kekuatan untuk mengatur program atau kelembagaan yang berkaitan dengan kepentingan mereka. Mereka mempunyai kewenangan dan dapat mengadakan negosiasi dengan pihakpihak luar yang hendak melakukan perubahan. Dalam hal ini usaha bersama warga dapat langsung berhubungan dengan sumber-sumber dana untuk 20 mendapat bantuan atau pinjaman tanpa melalui pihak ketiga. Jadi masyarakat memiliki kekuasaan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program yang dibuatnya. 21