BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes melitus (DM) dan penyakit kardiovaskular sering tampak sebagai dua sisi koin. DM dianggap ekuivalen dengan penyakit jantung koroner (Maqri and Fava, 2012). Sebagai konsekuensinya, mortalitas dan insiden semua bentuk penyakit kardiovaskular pada orang dengan DM lebih tinggi dua sampai delapan kali lipat dibandingkan dengan orang tanpa DM (Timon et al, 2014). Disamping penyakit jantung koroner, diabetes juga merupakan faktor risiko aritmia. Faktor risiko yang berperan sebagai substrat aritmogenik pada pasien diabetes meliputi gangguan sistem saraf otonom, iskemia, pemanjangan waktu konduksi interatrium, repolarisasi heterogen pada atrium dan ventrikel, kerusakan miokardium dan pembentukan skar (Nakou et al, 2012). Berdasarkan penelitian meta analisis, saat ini risiko fibrilasi atrium meningkat secara signifikan pada pasien diabetes (Zhang et al, 2014). DM merupakan faktor risiko bebas terhadap fibrilasi atrium (Watanabe et al, 2012). Penelitian Framingham Heart Study menyatakan bahwa diabetes terbukti sebagai penyebab fibrilasi atrium onset baru pada penelitian kohort pria dan wanita yang diikuti selama 38 tahun (OR 1,4 untuk pria dan 1,6 untuk wanita) (Nakou et al, 2012). Penelitian meta analisis baru-baru ini mengindikasikan bahwa individu dengan DM memiliki risiko > 40% untuk terjadi fibrilasi atrium dibanding individu tanpa DM (Liu et al, 2012). Risiko ini akan meningkat dengan durasi diabetes yang lebih lama dan pada kontrol glikemik yang buruk (Dublin et al, 2010). Fibrilasi atrium merupakan penanda prognosis yang buruk pada pasien DM (Lin et al, 2013). Fibrilasi atrium berisiko > 60% terhadap semua penyebab mortalitas dan memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kematian kardiovaskular, stroke, dan gagal jantung. Namun, konstribusi diabetes terhadap prevalensi dan insidensi fibrilasi atrium masih memerlukan berbagai penelitian lanjutan (Goudis et al, 2015). Patofisiologi fibrilasi atrium pada pasien DM belum diketahui sepenuhnya (Liu et al, 2012; Yazici et al, 2007). Adanya remodeling aritmogenik pada atrium diperkirakan memiliki peran penting dalam patofisiologi fibrilasi atrium pada pasien diabetes. Remodeling aritmogenik atrium didefinisikan sebagai perubahan struktur dan fungsi atrium yang dapat mencetuskan aritmia atrium berupa fibrilasi atrium (Nattel and Harada, 2014). Patofisiologi fibrilasi atrium pada diabetes meliputi: remodeling sistem otonom, elektrik, elektromekanikal, dan anatomi akibat stres oksidatif, remodeling koneksin, dan fluktuasi gula darah (Goudis et al, 2015). Remodeling anatomi dapat menjadi substrat utama terjadinya fibrilasi atrium pada diabetes (Liu et al, 2014). Substrat fibrilasi atrium adalah abnormalitas fungsi elektrik pada jaringan atrium itu sendiri (Quintana et al, 2012). Penelitian Kato et al (2008) melaporkan adanya gangguan konduksi interatrium akibat fibrosis interstisial atrium yang dapat menjadi substrat kunci inisiasi fibrilasi atrium. Hiperglikemia menyebabkan dilatasi dan fibrosis interstisial atrium, serta remodeling elektrik sehingga terjadi pemanjangan waktu konduksi interatrium dan peningkatan kerentanan terhadap fibrilasi atrium (Liu et al, 2014). Perubahan bentuk sistem elektrik pada atrium berupa pemendekan periode refrakter atrium dan propagasi impuls sinus yang tidak homogen merupakan karakteristik elektrofisiologi yang cenderung menyebabkan fibrilasi pada atrium (Bakirci et al, 2015). Pemendekan periode refrakter atrium dan propagasi impuls sinus yang tidak homogen menyebabkan pemanjangan waktu konduksi interatrium. Akibatnya terjadi penundaan antara aktivasi elektrik dengan kontraksi mekanik sehingga fungsi elektromekanik atrium terganggu (Goudis et al, 2015). Waktu konduksi interatrium total mencerminkan fungsi elektromekanik atrium dan dapat digunakan sebagai penanda remodeling atrium baik remodeling elektrik maupun anatomi (Uijl et al, 2011; Deniz et al, 2012). Pemanjangan waktu konduksi interatrium berkaitan erat dengan mekanisme yang mendasari kelainan pada atrium secara langsung maupun tidak langsung dan salah satu syarat untuk inisiasi dan perkembangan fibrilasi atrium (Weijs et al, 2011). Pemanjangan waktu konduksi interatrium total telah terbukti meningkatkan risiko fibrilasi atrium pada berbagai penelitian (Antoni et al, 2010). Berbagai metode yang berbeda dapat digunakan untuk mengevaluasi waktu konduksi interatrium total. Meskipun pemeriksaan elektrokardiografi dan ekokardiografi biasa digunakan untuk mengukur waktu konduksi interatrium, pemeriksaan elektrofisiologi jantung masih merupakan pemeriksaan standar emas (Merckx et al, 2005). Saat ini, pemeriksaan ekokardiografi dengan dopler jaringan sering digunakan untuk mengukur waktu konduksi interatrium pada berbagai penelitian. Meskipun bukan pemeriksaan standar emas, pemeriksaan ini lebih dipilih untuk mengukur waktu konduksi interatrium karena bersifat noninvasif dan hasilnya dipercaya sesuai dengan pemeriksaan elektrofisiologi jantung (Fatma et al, 2015). Penelitian sebelumnya menunjukkan pemanjangan waktu konduksi interatrium total merupakan prediktor yang kuat terhadap kejadian fibrilasi atrium (Weijs et al, 2011). Berbagai data juga menunjukkan bahwa semakin lama durasi diabetes atau semakin buruk kontrol glikemik, semakin meningkat pula risiko fibrilasi atrium. (Dublin et al, 2010). Penelitian Dublin et al (2010) melaporkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kadar HbA1C dengan risiko fibrilasi atrium. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan kadar HbA1C sebesar 1% berkaitan dengan peningkatan risiko relatif fibrilasi atrium 1.14 (95% Confidence Interval 0.96 – 1.35). Oleh karena itu, terdapat hubungan bebas antara DM dan kadar HbA1C yang buruk dengan peningkatan risiko fibrilasi atrium. Namun, kontribusi diabetes terhadap prevalensi dan insidensi fibrilasi atrium berdasarkan kontrol glikemiknya masih memerlukan berbagai penelitian lanjutan (Zhang et al, 2014). DM telah terbukti berkaitan dengan adanya produksi reactive oxygen species yang berlebihan dan penurunan kapasitas antioksidan, sehingga terjadi kerusakan jaringan (Stadler, 2012). Berbagai penelitian juga melaporkan bahwa inflamasi dan stres oksidatif berperan pada remodeling anatomi dan elektrik atrium sehingga berperan penting dalam pembentukan dan perkembangan fibrilasi atrium (Ozaydin, 2010; Korantzopoulos et al, 2007; Rudolph et al, 2010). Inflamasi dan stres oksidatif diperkirakan menjadi salah satu penyebab fibrosis interstisial atrium dan gangguan fungsi elektromekanik atrium, sehingga memfasilitasi terjadinya dan berkembangnya fibrilasi atrium (Fu et al, 2013; Liu and Li, 2008). Inflamasi sistemik pada DM meningkatkan kadar C-reactive protein (CRP) sehingga menjadi faktor predisposisi terjadi fibrilasi atrium. Aktivasi lokal sistem komplemen dimediasi melalui ikatan CRP dengan komponen fosfolipid sel yang rusak (Antonio, 2006). Pemeriksaan highsensitivity C-reactive protein (hsCRP) merupakan penanda inflamasi sistemik dan kerusakan jaringan yang dapat memprediksi risiko penyakit kardiovaskular (Antonio, 2006). Berbagai penelitian juga menunjukkan, peningkatan kadar hsCRP menjadi prediktor kuat terjadinya fibrilasi atrium (Galea et al, 2014). Namun, belum ada literatur yang cukup mengenai hubungan fibrilasi atrium dengan inflamasi pada pasien DM (Bakirci et al, 2015). Saat ini, belum ada penelitian mengenai efek inflamasi terhadap waktu konduksi interatrium total yang merupakan prediktor awal perkembangan fibrilasi atrium pada pasien DM tipe 2 berdasarkan kontrol glikemiknya. Oleh karena itu, penulis ingin mengevaluasi efek DM tipe 2 terhadap waktu konduksi interatrium total dan meneliti kemungkinan hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan kadar hsCRP pada pasien DM tipe 2 berdasarkan kadar HbA1c. B. Rumusan Masalah 1. Apakah terdapat hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada pasien DM tipe 2? 2. Apakah terdapat hubungan antara status kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien DM tipe 2? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum: a. Mengetahui hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada pasien DM tipe 2. b. Mengetahui hubungan antara status kontrol glikemik dengan waktu konduksi interatrium total pada pasien DM tipe 2. 2. Tujuan Khusus : a. Menganalisis apakah waktu konduksi interatrium total yang lebih lama mempunyai kadar hsCRP yang lebih tinggi pada pasien DM tipe 2. b. Menganalisis apakah waktu konduksi interatrium total lebih lama pada pasien DM tipe 2 terkontrol buruk D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik a. Mendapatkan data empiris tentang hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada pasien DM tipe 2. b. Mendapatkan data empiris tentang hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2. 2. Manfaat Praktis a. Dengan mengetahui hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan hsCRP pada pasien DM tipe 2, diharapkan pemeriksaan waktu konduksi interatrium total dapat digunakan sebagai tambahan parameter pemeriksaan ekokardiografi pada pasien DM yang memiliki kadar hsCRP yang tinggi. b. Dengan mengetahui hubungan antara waktu konduksi interatrium total dengan status kontrol glikemik pada pasien DM tipe 2, diharapkan pemeriksaan waktu konduksi interatrium total dapat digunakan sebagai tambahan parameter pemeriksaan ekokardiografi pada pasien DM yang terkontrol buruk.